Anda di halaman 1dari 17

HIV/AIDS

Tugas: Farmakologi dan Imunologi Gizi

Disusun Oleh Kelompok 4:


AGUSTINA DAUNDY (19120166)
ANITA LIDYA PRATIWI (18120078)
DESY RIANITA TARIGAN (18120080)
NIATIKA WINDARI (18120079)
NORFARIDA KAUSAR (19120163)
RAMADINA W (18120072)
SHAFA HAYA F (18120073)
WAN SILVA LELY FAIZA (18120071)
WINI DWI RAHAYU (18120077)

PROGRAM STUDI S1-ILMU GIZI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA

2019/2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat yang diberikan. Berkat
petunjuk-Nya makalah ini dapat diselesaikan. Salawat kepada Rasulullah Muhammad SAW
akan selalu tercurah.
Sehingga kami dapat membuat makalah Farmakologi mengenai HIV/AIDS ini, dan
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya. Terima kasih untuk anggota
kelompok yang sudah berpartisipasi dan mengerjakan tugasnya dengan baik.
Jika terdapat kesalahan dalam pembuatan makalah ini, kami harap ada kritik dan
saran karena karena kami dalam tahap belajar.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun
demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii


DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 1
C. Tujuan ............................................................................................................... 2
D. Manfaat .............................................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 3
A. Pengertian HIV/AIDS ........................................................................................ 3
B. Penyebab dan Mekanisme Reaksi Hipersensitivas HIV/AIDS.......................... 4
C. Gejala HIV/AIDS Berkaitan Dengan Hipersensitivitas tipe IV......................... 8
D. Penanganan atau Terapi Pengobatan Pada Pasien HIV/AIDS ......................... 10
E. Peran Ahli Gizi Pada Pasien dengan HIV/AIDS .................................................. 11
BAB III PENUTUP ................................................................................................ 14
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 14
B. Saran ............................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah infeksi yang disebabkan oleh
Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyebabkan suatu penyakit yang
menyerang sel-sel kekebalan tubuh. Diseluruh dunia pada tahun 2013 terdapat 35 juta
orang dengan HIV yang meliputi 16 juta perempuan dan 3.2 juta anak berusia < 15 tahun.
Jumlah infeksi baru HIV pada tahun 2013 sebesar 2.1 juta yang terdiri dari 1.9 juta dewasa
dan 240.000 anak berusia < 15 tahun. Jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 1.5 juta
yang terdiri dari 1.3 juta dewasa dan 190.000 anak usia < 15 tahun (Ersha & Ahmad,
2018).
Di Indonesia HIV sudah menyebar di 386 kabupaten/kota di seluruh provinsi di
Indonesia Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui perantara darah, semen dan
sekret vagina. Human Immunodeficiency Virus tergolong retrovirus yang mempunyai
materi genetik RNA yang mampu menginfeksi limfosit CD4 (Cluster Differential Four),
dengan melakukan perubahan sesuai dengan DNA inangnya. Virus HIV cenderung
menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen CD4 terutama limfosit
T4 yang memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem
kekebalan tubuh (Ersha & Ahmad, 2018). Virus tersebut ternyata juga dapat menginfeksi
makrofag. CD4 dan makrofag yang terinfeksi akan menimbulkan masalah pada sistem
imun yaitu hipersensitivitas (Sudigdoadi, 2015).
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian HIV/AIDS?
2. Bagaimana penyebab dan mekanisme terjadinya reaksi hipersentivitas pada penderita
penyakit HIV/AIDS
3. Bagaimana gejala yang terjadi akibat dari HIV/AIDS.
4. Bagaimana penanganan atau cara pengobatan pada penderita penyakit HIV/AIDS.

1
5. peran seorang ahli gizi dalam menangani permasalahan yang terjadi pada penderita
penyakit tersebut.

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian HIV/AIDS tersebut
2. Mengetahui penyebab dan mekanisme terjadinya reaksi hipersentivitas pada penderita
penyakit HIV/AIDS.
3. Mengetahui gejala yang terjadi akibat dari HIV/AIDS.
4. Mengetahui penanganan atau cara pengobatan pada penderita penyakit HIV/AIDS.
5. Mengetahui peran seorang ahli gizi dalam menangani permasalahan yang terjadi pada
penderita HIV/AIDS.

D. Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini ialah untuk memberikan informasi kepada para
pembaca, utamanya bagi sesama pelajar dan generasi muda tentang HIV/AIDS. Sehinga
dengan demikian kita dapat berusaha untuk menghindarkan diri dari segala sesuatu yang
bisa saja menyebabkan penyakit tersebut.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian HIV/AIDS
1. HIV

Gambar 2. 1 Virus HIV

HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, sebuah virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. (Murni dkk, 2016). Human
Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat menyebabkan AIDS. HIV termasuk
keluarga virus retro yaitu virus yang memasukan materi genetiknya ke dalam sel tuan
rumah ketika melakukan cara infeksi dengan cara yang berbeda (retro), yaitu dari
RNA menjadi DNA, yang kemudian menyatu dalam DNA sel tuan rumah,
membentuk pro virus dan kemudian melakukan replikasi (Widoyono, 2005).
2. AIDS
AIDS singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. AIDS muncul
setelah virus (HIV) menyerang sistem kekebalan tubuh kita selama lima hingga
sepuluh tahun atau lebih (Murni dkk, 2016). Penyakit AIDS disebabkan oleh
melemah atau menghilangnya sistem kekebalan tubuh yang tadinya dimiliki karena
sel CD4 pada sel darah putih yang banyak dirusak oleh Virus HIV. Ketika kita terkena
Virus HIV kita tidak langsung terkena AIDS. Untuk menjadi AIDS dibutuhkan waktu
yang lama, yaitu beberapa tahun untuk dapat menjadi AIDS yang mematikan. Saat ini
3
tidak ada obat, serum maupun vaksin yang dapat menyembuhkan manusia dari Virus
HIV penyebab penyakit AIDS (Widoyono, 2005)
B. Penyebab dan Mekanisme Reaksi Hipersensitivitas Pada HIV/AIDS
1. Penyebab HIV/AIDS
Penyebab Virus HIV/AIDS HIV tidak ditularkan atau disebarkan melalui
hubungan sosial yang biasa seperti jabatan tangan, bersentuhan, berciuman biasa,
berpelukan, penggunaan peralatan makan dan minum, gigitan nyamuk, kolam renang,
penggunaan kamar mandi atau WC/Jamban yang sama atau tinggal serumah bersama
Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Melainkan dari (Murni dkk, 2016):
a. Darah
b. Air mani
c. Cairan vagina
d. Air susu ibu (ASI)
Timbulnya penyakit HIV/AIDS dapat disebabkan oleh:
a. berhubungan seks yang memungkinkan darah, air mani, atau cairan vagina dari
orang terinfeksi HIV masuk ke aliran darah orang yang belum terinfeksi (yaitu
hubungan seks yang dilakukan tanpa kondom melalui vagina atau dubur; juga
melalui mulut, walau dengan kemungkinan lebih kecil).
b. memakai jarum suntik secara bergantian dengan orang lain yang terinfeksi HIV.
c. menerima transfusi darah dari donor yang terinfeksi HIV.
d. dari ibu terinfeksi HIV ke bayi dalam kandungan, waktu melahirkan, dan jika
menyusui sendiri Biasakan mempunyai sikat gigi dan pisau cukur sendiri, karena
selain untuk kebersihan pribadi, jika terdapat darah akan ada risiko penularan
virus lain yang menular melalui darah (misalnya hepatitis), bukan hanya HIV
(Murni dkk, 2016)
2. Mekanisme hipersensitivitas pada HIV
Infeksi oleh HIV terjadi melalui 3 cara, yaitu infeksi langsung ke dalam
pembuluh darah, melalui permukaan mukosa yang rusak atau dari ibu kepada
anaknya secara in utero, selama pesalinan atau melalui air susu. Molekul CD4
4
diperlukan untuk perlekatan HIV dan masuk ke dalam beberapa sel. Sesaat setelah
infeksi HIV dalam bentuk partikel virus bebas atau di dalam sel-sel T CD4+ yang
terinfeksi akan mencapai limfonodus regional dan merangsang rerspons imun selular
dan humoral yang penting untuk melawan infeksi virus. Namun banyaknya sel-sel
limfosit pada limfonodus akan menyebabkan sel-sel CD4 semakin banyak terinfeksi.
Setelah beberapa hari akan terjadi limfopenia dengan menurunnya secara cepat
jumlah sel-sel T CD4+ dalam sirkulasi. Selama periode awal ini virus-virus bebas dan
protein virus p24 dapat dideteksi dalam kadar yang tinggi di dalam darah dan jumlah
sel-sel CD4 yang terinfeksi HIV meningkat. Pada fase ini virus mengadakan replikasi
secara cepat dengan sedikit kontrol dari respons imun. Kemudian setelah 2 – 4
minggu akan terjadi peningkatan yang sangat mencolok dari jumlah sel-sel limfosit
total karena peningkatan jumlah sel-sel T CD8 sebagai bagian dari respons imun
terhadap virus. CD4 kembali dalam kadar hampir sama dengan sebelum infeksi.
Antibodi akan terbentuk setelah minggu kedua atau ketiga, namun pada beberapa
kasus respons ini berlangsung lebih lambat sampai beberapa bulan.
3. Penyebab hipersensitivitas HIV
a. Defek pada fungsi sel T CD4
Banyak penelitian yang difokuskan unrtuk menentukan penyebab dan awal
terjadinya defek fungsi sel-sel CD4 pada infeksi HIV. Walaupun pada fase awal
infeksi HIV didapatkan jumlah sel CD4 masih tinggi yaitu lebih dari 500/ L,
namun telah ada penurunan di dalam kemampuan sel CD4+ mengadakan
proliferasi pada respons terhadap beberapa antigen yang berbeda dan hilangnya
kemampuan di dalam membentuk sitokin yang penting dalam fungsi penolong.
Hilangnya fungsi sel-sel CD4 dapat dilihat dari kemampuan berproliferasi dalam
respons terhadap aktivasi secara in vitro, yaitu ketidak mampuan dalam respons
terhadap antigen (bakteri, virus, dan toksin) diikuti dengan hilangnya respons
terhadap sel-sel asing (respons alogenik) dan respons terhadap mitogen
nonspesifik seperti fitohemaglutinin (Sudigdoadi, 2015)
Penurunan jumlah sel T CD4+ selama infeksi HIV secara langsung dapat
5
mempengaruhi beberapa reaksi imunologik yang diperankan oleh sel T CD4+
seperti hipersensitivitas tipe lambat, transformasi blast limfosit yang dirangsang
mitogen, dan aktivitas limfosit T sitotoksik (CTL). Defek fungsi sel CD4+ juga
menyebabkan gangguan pada ekspresi reseptor IL-2, defek pada pembentukan IL-
2 yang dirangsang oleh antigen dan mitogen, serta penekanan pada respons sel T
sitotoksik HLA-tertentu (Rosenberg & Fauci, 1992 dalam Sudigdoadi, 2015).
b. Hipersensitivitas tipe IV (reaksi hipersensitivitas lambat)
Reaksi Tipe IV (reaksi hipersensitivitas lambat) dimediasi oleh sel T. Reaksi
tipe IV yang juga disebut reaksi hipersensitivitas lambat, timbul lebih dari 24 jam
setelah tubuh terpajan dengan antigen. Dewasa ini, reaksi Tipe 4 dibagi dalarn
Delayed Type Hyper-sensitivity yang terjadi melalui sel CD4 dan T cell Mediated
Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8 (Surbakt, 2017).

Gambar 2. 2 Mekanisme Hipersensitivitas Tipe IV

Delayed Type Hypersensitivity (DTH). Pada DTH, sel CD4.Thl yang


mengaktifkan makrofag berperan sebagai sel efektor. CD4 yang berdiferensiasi
Th1 melepas sitokin (IFN-y) yang mengaktifkan makrofag dan menginduksi
inflamasi. Pada DTH, kerusakan jaringan disebabkan oleh produk makrofag yang
diaktifkan seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediet, oksida nitrat dan
sitokin proinflamasi. Sel efektor yang berperan pada DTH adalah makrofag
(Surbakt, 2017). Contoh reaksi DTH adalah sebagai berikut :
1) Reaksi tuberkulin
Reaksi tuberkulin adalah reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi
dermatitis kontak dan terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi
6
terdiri atas infiltrasi sel mononuklear (50% adalah limfosit dan sisanya
monosit). Setelah 48 iam, timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar sekitar
pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat kolagen kulit. Bila reaksi
menetap, reaksi tuberkulin dapat berlanjut menimbulkan kavitas atau
granuloma (Surbakt, 2017).
2) Dermatitis kontak
Reaksi DTH dapat terjadi sebagai respons terhadap bahan yang tidak
berbahaya dalam lingkungan seperti nikel yang menimbulkan dermatitis
kontak. Dermatitis kontak dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang timbul
pada kulit tempat kontak dengan alergen. Reaksi maksimal terjadi setelah 48
jam dan merupakan reaksi epidermal. Sel Langerhats sebagai antigen
presenling cell (APC), sel Th l dan makrofag memegang peranan pada reaksi
tersebut (Surbakt, 2017).
3. Reaksi granuloma
Pada keadaan yang paling menguntungkan DTH berakhir dengan
hancurnya mikrooorganisme oleh enzim lisosom dan produk makrofag lainnya
seperti peroksid radikal dan superoksid. Pada beberapa keadaan terjadi hal
sebaliknya, antigen bahkan terlindung, misalnya telur skistosoma dan
mikobakteriumyang ditutupi kapsul lipid. DTH laonis sering menimbulkan
fibrosis sebagai hasil sekresi sitokin dan gro wth factor oleh makrofdg yang
dapat menimbulkan granuloma. Reaksi granuloma merupakan reaksi tipe IV
yang dianggap paling penting oleh karena menimbulkan banyak efek patologis.
Hal tersebut terjadi oleh karena adanya antigen yang persisten di dalam
makrofag yang biasanya berupa mikroorganisme yang tidak dapat dihancurkan
atau kompleks imun yang menetap misalnya pada alveolitis alergik. Reaksi
granuloma terjadi sebagai usaha badan untuk membatasi kehadiran antigen
yang persisten dalam tubuh, sedangkan reaksi tuberkulin merupakan respons
imun selular yang terbatas. Kedua reaksi tersebut dapat terjadi akibat sensitasi
terhadap antigen mikroorganisme yang sama misalnya M tuberkulosis dan M
7
lepra. Granuloma terjadi pula pada hipersensitivitas terhadap zerkonium
sarkoidosis dan rangsangan bahan non-antigenik seperti bedak (talcum). Dalam
hal ini makrofag tidak dapat memusnahkan benda inorganik tersebut.
Granuloma nonimunologis dapat dibedakan dari yang imunologis oleh karena
yang pertama tidak mengandung limfosit. Dalam reaksi granuloma ditemukan
sel epiteloid yang diduga berasal dari sel-sel makrofag. Sel-sel raksasa yang
memiliki banyak nukleus disebut sel raksasa Langhans. Sel tersebut
mempunyai beberapa nukleus yang tersebar di bagian perifer sel dan oleh
karena itu diduga sel tersebut merupakan hasil diferensiasi terminal sel monosit
/ makrofag. Granuloma imunologik ditandai oleh inti yang terdiri atas sel
epiteloid dan makrofag, kadang-kadang ditemukan sel raksasa yang dikelilingi
oleh ikatan limfosit. Di samping itu dapat ditemukan fibrosis (endapan serat
kolagen) yang terjadi akibat proliferasi f,rbroblas dan peningkatan sintesis
kolagen. Pada beberapa penyakit seperti tuberkolusis, di bagian sentral dapat
ditemukan nekrosis dengan hilangnya struktur jaringan (Subakt, 2017)
4. Mekanisme AIDS
Virus HIV ini dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah
putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia
yang pada akhirnya tidak dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang
sangat ringan sekalipun. Virus HIV menyerang sel CD4 dan merubahnya menjadi
tempat berkembang biak Virus HIV baru kemudian merusaknya sehingga tidak dapat
digunakan lagi. Sel darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan tubuh.
Tanpa kekebalan tubuh maka ketika diserang penyakit maka tubuh kita tidak memiliki
pelindung. Dampaknya adalah kita dapat meninggal dunia akibat terkena pilek biasa
(Widoyono, 2005)
C. Gejala HIV/AIDS yang berkaitan dengan hipersensitivitas tipe IV
1) HIV
Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui perantara darah, semen dan
sekret vagina. Human Immunodeficiency Virus tergolong retrovirus yang
8
mempunyai materi genetik RNA yang mampu menginfeksi limfosit CD4 (Cluster
Differential Four), dengan melakukan perubahan sesuai dengan DNA inangnya.
Virus HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai
antigen CD4 terutama limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam mengatur
dan mempertahankan system kekebalan tubuh. Virus juga dapat menginfeksi sel
monosit makrofag, sel Langerhans pada kulit, sel dendrit folikuler pada kelenjar
limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan sel-sel mikroglia
otak. Virus yang masuk kedalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi
sehingga menjadi banyak dan menghancurkan sel limfosit (Ersha & Ahmad, 2018).
Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut sindrom retroviral akut
atau Acute Retroviral Syndrome. Sindrom ini diikuti oleh penurunan jumlah CD4
dan peningkatan kadar RNA HIV dalam plasma. CD4 secara perlahan akan menurun
dalam beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada 1,5 – 2,5
tahun sebelum pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load (jumlah virus HIV
dalam darah) akan cepat meningkat pada awal infeksi dan pada fase akhir penyakit
akan ditemukan jumlah CD4 < 200/mm3 kemudian diikuti timbulnya infeksi
oportunistik, berat badan turun secara cepat dan muncul komplikasi neurulogis. Pada
pasien tanpa pengobatan ARV, rata-rata kemampuan bertahan setelah CD4 turun <
200/mm3 adalah 3,7 tahun (Ersha & Ahmad, 2018).
2) AIDS
AIDS diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu, yang
dikelompokkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization)
sebagai berikut (Putri, 2016):
a. Tahap I penyakit HIV tidak menunjukkan gejala apapun dan tidak dikategorikan
sebagai AIDS. Namun kadangkala timbul dalam bentuk influenza, tetapi sudah
dapat menularkan HIV ke orang lain, fase ini dikenal dengan periode jendela
(window period) (Depertemen Kesehatan RI, 2009).
b. Tahap II meliputi infeksi-infeksi saluran pernafasan bagian atas yang tak kunjung
sembuh.
9
c. Tahap III meliputi diare kronis yang tidak jelas penyebabnya yang berlangsung
lebih dari satu bulan, infeksi bakteri yang parah, dan TBC paru-paru.
d. Tahap IV meliputi penyakit parasit pada otak (toksoplasmosis), infeksi jamur
kandida pada saluran tenggorokan (kandidiasis), saluran pernafasan (trachea),
batang saluran paru-paru (bronchi) atau paru-paru.
D. Penanganan Atau Terapi Pengobatan pada Pasien HIV/AIDS
Tatalaksana medis infeksi HIV adalah pengobatan ARV, yang bertujuan mengurangi
laju penularan HIV di masyarakat, menurunkan angka kesakitan dan kematian,
memperbaiki kualitas hidup ODHA, memulihkan/memelihara fungsi kekebalan tubuh,
menekan penggandaan virus secara maksimal dan terus-menerus (Harrison. 2000 dalam
Widiyanti dkk., 2015). Selain itu pengidap HIV memerlukan Antiretroviral (ARV) untuk
menurunkan jumlah HIV dalam tubuh agar tidak berlanjut ke stadium AIDS. Terapi ARV
mencegah terjadinya infeksi oportunistik dengan berbagai komplikasinya (Ditjen P2PL,
2011 dalam Anwar dkk., 2018). Sehingga penting bagi penderita HIV/AIDS mematuhi
terapi ARV untuk menekan perkembangan virus dan hidup normal lebih lama (Anwar
dkk., 2018).
Meskipun obat tersebut belum dapat membunuh virus penyebab AIDS, pengobatan
ini mampu meningkatkan harapan dan kualitas hidup pasiennya. Pengobatan ini
dilakukan dengan pemberian adalah kombinasi obat-obat antiretroviral. Meskipun hanya
sekitar separuh penderita HIV/AIDS yang menerima terapi antiretroviral pada akhir tahun
2016, pengobatan ini memiliki tingkat keberhasilan yang menjanjikan. Laporan UNAIDS
juga menunjukkan tren yang bagus, dimana persentase penggunaan obat antiretroviral di
kalangan penderita HIV/AIDS meningkat dari tahun ke tahun . Meskipun demikian,
untuk dapat memberikan hasil terapi yang optimal, penggunaan obat-obat ini harus
dilakukan dengan beberapa persyaratan yang ketat. Beberapa hal di antaranya adalah
penggunaan kombinasi yang tepat, kepatuhan pasien, serta dengan mewaspadai efek yang
tidak diinginkan akibat adanya interaksi obat. Terapi antiretoroviral, sebagaimana halnya
penggunaan obat-obat untuk penyakit lainnya, perlu dievaluasi terutama terkait dengan
kesesuaian terapi dengan standar yang sudah ditetapkan. Selain itu, evaluasi penggunaan
10
obat merupakan salah satu tugas dari apoteker dan menjadi salah satu standar pelayanan
kefarmasian di rumah sakit. Di dalam proses evaluasi penggunaan obat, gambaran
tentang pola penggunaan obat dapat diketahui dan bisa dibandingkan dengan pola
penggunaannya pada periode waktu tertentu. Salah satu tujuan penting lainnya adalah
sebagai sumber masukan untuk melakukan intervensi perbaikan penggunaan obat di masa
yang akan datang (Yuliandra dkk., 2017).
Pedoman nasional penggunaan antiretroviral sudah menggariskan penggunaan
kombinasi beberapa obat sepanjang proses terapi. Untuk terapi lini pertama, regimen
yang disarankan oleh 2 obat dari golongan NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor) yang dikombinasi dengan salah satu obat dari golongan NNRTI (Non-
nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor). Panduan pengobatan dari WHO menyatakan
bahwa pengobatan lini pertama, ke dua, maupun ke tiga harus menggunakan tiga
kombinasi obat antiretroviral dengan komposisi yang sudah ditentukan. Penggunaan obat
yang tepat merupakan aspek yang sangat penting di dalam terapi antiretroviral. Salah satu
tantangan di dalam pengobatan infeksi HIV adalah resistensi yang sudah terjadi terhadap
obat-obat antiretoroviral (Yuliandra dkk., 2017).
E. Peran Ahli Gizi pada Pasien dengan HIV/AIDS
Peran ahli gizi dalam menangani pasien dengan HIV/AIDS adalah dengan
memberikan asuhan gizi yg tepat dan konseling untuk memberikan pemahaman tentang
pelaksanaan diet dan efek obat terhadap makanan. (Kementerian Kesehatan RI, 2017).
1. Asuhan gizi
a. Pengkajian gizi
Anamnesis diet (riwayat gizi ) : untuk mengetahui pola makan, kebiasaan makan,
adanya pantangan makanan, alergi makanan, intoleransi makanan, keamanan
makanan dan minuman, efek samping obat ARV, masalah yang mempengaruhi
nafsu makan ( masalah mengunyah, mual, muntah, konstipasi, diare, rasa panas di
dada), penggunaan suplemen vitamin, mineral, herbal, konsumsi alkohol dan
kafein (Kementerian Kesehatan RI, 2017).

11
1) Riwayat personal meliputi riwayat penyakit, riwayat keluarga, sosial ekonomi,
kebiasaan merokok
2) Pengukuran antropometri mencakup BB, TB/PB, IMT dan LiLA.
3) Pemeriksaan klinis/fisik : tanda dan gejala kurang gizi ( sesuai stadium HIV
dan AIDS ); kehilangan massa lemak, massa otot, kekurangan cairan dan zat
gizi mikro
4) Pemeriksaan laboratorium :
a) CD4+, Viral load, C-reactive Protein, Fibronectin
b) Pemeriksaan kadar Hemoglobin, hematokrit untuk mengetahui apakah
ODHA menderita anemia
c) Pemeriksaan albumin dan prealbumin dianjurkan pada ODHA dengan
penyakit ginjal dan hati, untuk mengetahui apakah terjadi peningkatan atau
penurunan kadar albumin
d) Pemeriksaan laboratorium lain seperti kolesterol, trigliserida, enzim-enzim
hati, kadar besi, magnesium, dan apabila memungkinkan juga diperiksa
asam folat, vitamin B12 dan vitamin A. Tujuan pemeriksaan hal tersebut,
untuk mengetahui profil lipid, fungsi hati, kekurangan vitamin dan mineral
dalam tubuh. Kadar serum feritin akan meningkat pada fase akut infeksi
HIV
b. Penentuan Masalah Gizi
Merupakan hasil penilaian dari pengkajian gizi, misalnya :
1) Asupan makanan/minuman yang tidak adekuat
2) Kehilangan berat badan
3) Efek samping obat-obatan, misalnya ARV
4) Kurangnya pengetahuan tentang gizi Masalah gizi bisa berkembang sesuai
dengan keadaan klinis ODHA
c. Intervensi Gizi Pada
ODHA yang memperoleh obat Anti Retro Viral - Opportunistic Infection (ARV-OI)
perlu diperhatikan efek ARV-OI terhadap fungsi pencernaan seperti mual, muntah,
12
diare, karena keadaan ini dapat mempengaruhi asupan gizi dan status gizinya
(Kementerian Kesehatan RI, 2017).
1) Stadium I : kebutuhan gizi mengikuti gizi seimbang
2) Stadium II : kebutuhan energi meningkat 10% dari kebutuhan normal; Stadium
III dan IV meningkat 20 – 30 % dari kebutuhan normal
2. Konseling Gizi
Konseling gizi diberikan kepada ODHA, keluarga, pendamping ODHA dan
masyarakat lingkungannya. Konseling mencakup penyuluhan tentang HIV dan AIDS
dan pengaruh infeksi HIV terhadap status gizi. Konseling juga meliputi asuhan gizi,
terapi gizi medis serta penyusunan diet, termasuk pemilihan bahan makanan
setempat, cara memasak dan cara penyajian, keamanan makanan dan minuman, serta
aspek psikologi dan efek samping dari ARV-OI yang mempengaruhi nafsu makan
(Kementerian Kesehatan RI, 2017).

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, sebuah virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. (Murni dkk, 2016). Human
Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat menyebabkan AIDS, AIDS
singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. AIDS muncul setelah virus
(HIV) menyerang sistem kekebalan tubuh kita selama lima hingga sepuluh tahun atau
lebih.
2. Penyebab Virus HIV/AIDS HIV disebarkan melalui, darah,mani,cairan vagina dan air
susu ibu (ASI). Infeksi oleh HIV terjadi melalui 3 cara, yaitu infeksi langsung ke
dalam pembuluh darah, melalui permukaan mukosa yang rusak atau dari ibu kepada
anaknya secara in utero, selama pesalinan atau melalui air susu serta hipersensitivitas
tipe IV pada penderita HIV/AIDS disebababkan menurunnya jumlah dan hilangnya
fungsi CD4.
3. Gejalah HIV AIDS pemeriksaan biokimia CD4 < 200 mm3, berat badan turun secara
cepat dan muncul komplikasi neurulogis infeksi oportunistik.
4. Tatalaksana medis infeksi HIV adalah pengobatan antiretroviral (ARV), yang
bertujuan mengurangi laju penularan HIV di masyarakat, menurunkan angka kesakitan
dan kematian, memperbaiki kualitas hidup ODHA, memulihkan/memelihara fungsi
kekebalan tubuh, menekan penggandaan virus secara maksimal dan terus-menerus.
5. Sarah ahli gizi menangani pasien dengan HIV/AIDS adalah pasien ODHA
mengkonsumsi makanan yang sesuai dengan asuhan gizi yang tepat dan mengikuti
konseling untuk memberikan pemahaman tentang pelaksanaan diet dan efek obat
terhadap makanan.
B. Saran
1. Penulis menyarankan memperbanyak refrensi jurnal dan buku yang berkaitan dengan
masalah hipersensitivitas pada pasien HIV/AIDS.

14

Anda mungkin juga menyukai