Anda di halaman 1dari 10

[tutup]

Ikuti Wikipedia bahasa Indonesia di Facebook, Twitter, Instagram, dan Telegram

Opium
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Jump to navigationJump to search
Perhatian: Artikel ini membahas mengenai narkotika, psikotropika,
dan zat adiktif lainnya. Informasi mengenai narkoba hanya digunakan
untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan bukan untuk mencelakai
setiap orang. Kepemilikan dan peredaran narkoba di berbagai negara
dilarang, dan diancam maksimal hukuman mati. Dampingi anak
Anda jika ingin membuka artikel ini.

Opium

Opium, apiun, atau candu (slang Bahasa Inggris: poppy) adalah getah bahan baku narkotika yang
diperoleh dari buah candu (Papaver somniferum L. atau P. paeoniflorum) yang belum matang.
Opium merupakan tanaman semusim yang hanya bisa dibudidayakan di pegunungan kawasan
subtropis. Tinggi tanaman hanya sekitar satu meter. Daunnya jorong dengan tepi bergerigi. Bunga
opium bertangkai panjang dan keluar dari ujung ranting. Satu tangkai hanya terdiri dari satu bunga
dengan kuntum bermahkota putih, ungu, dengan pangkal putih serta merah cerah. Bunga opium
sangat indah hingga beberapa spesies Papaver lazim dijadikan tanaman hias. Buah opium berupa
bulatan sebesar bola pingpong bewarna hijau.
Istilah untuk candu yang telah dimasak dan siap untuk dihisap adalah madat. Istilah ini banyak
digunakan di kalangan para penggunanya bukan hanya sebagai kata nomina tetapi juga kata kerja.

Daftar isi

 1Produksi
 2Sejarah madat dan candu di Jawa
 3Lihat pula
 4Referensi dan pranala luar

Produksi[sunting | sunting sumber]


Buah opium yang dilukai dengan pisau sadap akan mengeluarkan getah kental berwarna putih.
Setelah kering dan berubah warna menjadi cokelat, getah ini dipungut dan dipasarkan sebagai
opium mentah.
Opium mentah ini bisa diproses secara sederhana hingga menjadi candu siap konsumsi. Kalau
getah ini diekstrak lagi, akan dihasilkan morfin. Morfin yang diekstrak lebih lanjut akan
menghasilkan heroin.
Tanaman opium yang berasal dari kawasan pegunungan Eropa Tenggara ini sekarang telah
menyebar sampai ke Afganistan dan "segitiga emas" perbatasan Myanmar, Thailand, dan Laos.
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, Afganistan saat ini merupakan penghasil opium terbesar di
dunia dengan 87%. Laos juga merupakan salah satu penghasil terbesar.
Di Indonesia, bunga poppy yang tidak menghasilkan narkotik banyak ditanam di kawasan
pegunungan seperti Cipanas, Bandungan, Batu, dan Ijen.

Sejarah madat dan candu di Jawa[sunting | sunting sumber]

Madat dan candu di Jawa sekitar tahun 1888

Figurin orang yang menggunakan candu, koleksi Tropenmuseum.

Candu sudah dikenal oleh orang Jawa sejak berabad-abad lalu, setidaknya pada abad 17 ketika
Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan candu sebagai komoditas perdagangan yang penting
untuk dimonopoli serta menjadi objek pajak.
Satu dari 20 orang Jawa mengisap candu, tulis pakar candu Henri Louis Charles Te Mechelen tahun
1882, seperti yang tercantum dalam buku Opium To Java karya James R.Rush. Kebiasaan
mengisap candu bukan hanya terjadi di tanah Jawa, tetapi juga di sejumlah wilayah koloni Eropa di
Asia, tulis TeMechelen yang waktu itu menjabat sebagai Inspektur Kepala Regi Opium dan Asisten
Residen Yuwana di wilayah Jawa Tengah masa kini.
Opium atau bunga poppy (papaver somniferum) tidak tumbuh di Jawa, melainkan didatangkan dari
daerah lain, diduga dari Turki dan Persia. Dalam buku Opium To Java yang ditulis James R.Rush
itu, saudagar Arab disebutkan membawa masuk candu ke wilayah ini, meskipun tidak ditemukan
bukti-bukti lain yang menunjukkan sejak kapan candu mulai diperdagangkan di Jawa.
Candu merupakan komoditas penting yang pada awalnya diperebutkan bersama oleh Inggris,
Denmark dan Belanda, tetapi kemudian Belanda yang memenangkan monopoli perdagangannya,
sedangkan pelaksananya adalah para elit China di Jawa.
Belanda melalui Kompeni Belanda di Hindia Timur (Vereenigde Ost Indische Companie/ VOC) pada
1677 mendapatkan perjanjian dengan raja Jawa ketika itu, Amangkurat II untuk memasukkan candu
ke Mataram dan memonopoli perdagangan candu di seluruh negeri. Perjanjian serupa juga disusul
di Cirebon setahun kemudian. Sejak tahun 1619-1799 VOC bisa memasukkan 56.000 kg opium
mentah setiap tahun ke Jawa. Dan pada 1820 tercatat ada 372 pemegang lisensi untuk menjual
opium.
Penikmat candu tersebar di berbagai kalangan dan meluas di Jawa khususnya Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Pada papan atas, candu dikonsumsi sebagai gaya hidup, disuguhkan sebagai tanda
kehormatan bagi tetamu di rumah para bangsawan Jawa dan China, tetapi kelompok masyarakat
lain juga menjadi pecandu, meskipun kebanyakan mengonsumsi candu kualitas rendah.
Mereka adalah kaum pengembara musisi, seniman teater rakyat, pedagang keliling dan tukang-
tukang upahan di perkebunan yang memakai candu untuk menikmati sensasi khayali, merajut mimpi
dan mengurangi pegal-pegal di badan.
Namun di Banten dan tanah Pasundan, jumlah pecandu tidak besar. Budaya, moral dan agama
Islam yang kuat di kalangan masyarakat telah menjadi benteng yang memagari opium di wilayah
tersebut.
Sempat ada larangan resmi memperdagangkan opium di wilayah tersebut dan Banten menutup
perdagangan opium pada awal abad 19, meskipun demikian pasar gelap candu dapat ditemukan.
James R.Rush juga menuliskan terjadi penyelundupan opium di Priangan pada waktu itu dan ketika
kemudian Belanda berhasil membuka perdagangan di wilayah tersebut, jumlah pemakainya jauh
lebih kecil bila dibandingkan dengan wilayah Surakarta, Yogyakarta Kediri, Madiun, Rembang,
Kedu, Pasuruan, Probolinggo bahkan juga di eks karesidenan Besuki jauh di timur.
Seorang dokter Inggris, Thomas Syndenham pada 1680 pernah menulis, "Di antara semua obat-
obatan yang disediakan bagi manusia atas perkenan Tuhan, tidak ada yang semanjur dan
seuniversal opium untuk meringankan penderitaan."
Secara klinis, morfin, sampai sekarang adalah obat paling unggul untuk menghilangkan rasa sakit
dan dipergunakan sebagai pengobatan resmi, meskipun penyalahgunaannya juga meluas di seluruh
pelosok dunia.
Karakter analgesik opium yang dapat meredakan rasa sakit tidak diragukan menyebabkan benda itu
disukai orang Jawa terutama mengingat fasilitas layanan kesehatan yang tidak memadai,
lingkungan tinggal yang tidak sehat sehingga banyak penyakit merebak di antara penduduk seperti
diare, malaria, tipus, campak, demam.
Dalam suatu survei di kalangan pemakai pada 1890, banyak yang mengaku pada awalnya mereka
mencoba opium untuk meringankan penderitaan atas keluhan sakit kepala, disentri, asma, demam
biasa hingga malaria, tuberkolosis (batuk berdarah), menghilangkan letih-lesu bahkan mengobati
penyakit kelamin.
Di kalangan para seniman yang harus begadang karena pekerjaan, misalnya sinden dan dalang,
penari, pemain teater, candu diyakini dapat membuat mereka kuat terjaga dan tetap bugar.
Sempat ada anggapan bahwa candu dapat meningkatkan vitalitas, gairah seksual dan eforia,
sampai-sampai tertulis dalam syair Jawa Suluk Gatoloco buah karya priyaji Jawa yang menguasai
tradisi dan mistik.
Tersebutlah tokoh dalam syair itu, Gatoloco, berwujud kelamin laki-laki yang membentengi diri
dengan menelan opium dan merasakan kekuatan candu yang memabukkan itu menyebar ke
seluruh tubuh dan membuat seluruh kekuatannya kembali.
Pemakaian candu semakin meluas, dampak negatif juga terlihat cukup termasuk dari pemakaian
uang yang cukup besar untuk belanja candu, bahkan juga di kelas pekerja buruh.
Tetapi, pandangan orang Jawa terhadap candu tidaklah seragam. Pada masa itu pun sudah ada
kelompok anti candu yang berjuang untuk memeranginya dan menabukan candu dengan
memasukkannya pada larangan "molimo" yaitu ajaran moral yang melarang kaum laki-laki berbuat
lima kegiatan yang berawalan dengan kata M, yaitu Maling (mencuri), Madon (main perempuan),
Minum (alkohol), Main (berjudi) dan Madat (mengisap candu).
Penguasa Surakarta, Raja Paku Buwono IV yang memerintah pada 1788-1820 menuliskan ajaran
moral yang benar dalam syair panjang Wulang Reh (ajaran berperilaku benar).
Ia menggambarkan pemadat sebagai pemalas dan orang yang bersikap masa bodoh, yang hanya
gemar tidur di bale-bale untuk mengisap candu.
"Jauihi madat: madat tidak baik untukmu semua, mengisap madat itu tidak baik," tulisnya.
Pujangga Ronggowarsito menilai peringatan Paku Buwono IV tentang opium dapat dibaca sebagai
komentar terhadap merosotnya nilai-nilai moral istana/kerajaan di Jawa yang membantu
mempercepat perpecahan politik dan perbudakan yang dilakukan Belanda terhadap pihak kerajaan.
Peringatan bagi kalangan tinggi di kerajaan akan bahaya opium telah dinyatakan secara berkala
dalam dokumen-dokumen sastra. Paku Buwono II malahan menyerukan larangan mengisap opium
bagi seluruh keturunannya.
Di pihak Belanda juga tumbuh gerakan etis sejak 1880, yang dilakukan untuk meningkatkan
kemakmuran warga (termasuk pribumi). Pieter Brooshooft misalnya mengeluarkan Memorie yang
menyerukan pengurangan pajak pada orang pribumi, dan proyek-proyek yang dapat memajukan
pertanian rakyat.
Pada 1899 C.Th Deventer membujuk pemerintah Belanda untuk membayar utang kehormatan
sebagai ganti rugi atas sikap mengabaikan penduduk di wilayah jajahan, disusul dengan pernyataan
resmi Ratu Wilhelmina pada 1901 yang menyatakan penyesalan atas hilangnya kesejahteraan
penduduk Jawa.
Tahun-tahun etis ini ditandai dengan perluasan kesempatan pendidikan bagi penduduk,dan upaya
perbaikan kesejahteraan lainnya termasuk peraturan mengenai peredaran candu.
Belanda membentuk suatu lembaga khusus yang diberi nama Regi untuk meluruskan kesalahan
pada masa lalu. Sejak itu semua urusan opium dipusatkan di ibukota, juga pabrik-pabrik opium yang
dulu tersebar di daerah dan dikuasai para bandar yang menghasilkan produksi dengan variasi luas
baik dari kualitas dan citarasa, kini dipusatkan di Batavia dalam bentuk produksi yang seragam.
Birokrasi dalam pembuatan dan peredaran mulai diterapkan juga untuk mengantisipasi
penyalahgunaannya, dan banyak orang terpelajar bergabung dalam regi hingga di tingkat daerah.
Jika Opium To Java (Cornel University Press 1990, diterjemahkan Matabangsa, 2000) mengupas
masa kelam legalitas peredaran candu lebih dari tiga abad yang lalu, adalah Alberthien Endah,
seorang wartawan masa kini, menulis buku berjudul "Jangan Beri Aku Narkoba" (Gramedia Pustaka
Utama, 2004) sebuah karya fiksi untuk mengingatkan generasi masa kini tentang ancaman narkoba.
Dalam pengantarnya Alberthien Endah mempersembahkan buku itu bagi semua (anak muda) yang
mempu menyatakan "Narkoba No Way". Sebab narkoba takkan memberimu apa-apa atau
membuatmu menjadi siapa-siapa, bahkan akan membuatmu kenapa-kenapa di dunia yang memberi
begini banyak kesempatan, tulisnya.
Buku tersebut mengangkat kisah sosial yang sebenarnya klasik dalam cerita-cerita fiksi, keluarga
mapan yang kehilangan makna hidup sebagai keluarga dan anak-anak yang terjerumus pada
narkoba (sebagai pelarian) dan menunjukkan kegagalan orangtua serta lembaga pemberantas
narkoba dalam menyelesaikan persoalan narkoba.
Perang (terhadap) candu masih terus bergulir dan diperlukan keseriusan untuk melakoninya dengan
sungguh-sungguh.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]


 Ganja
 Kokain
 Morfin
 Heroin
 Sabu-sabu
 Narkoba
 Rokok

Referensi dan pranala luar[sunting | sunting sumber]


 (Indonesia) F. Rahardi, Ganja, Opium, dan Koka, Kolom Bahasa
KOMPAS, 7 Mei 2005

National Institute on Drug Abuse: Heroin dan related topik
Iowa Substance Abuse Information Center: Heroin and other
[tutup]
Ikuti Wikipedia bahasa Indonesia di Facebook, Twitter, Instagram, dan Telegram

Opium
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Jump to navigationJump to search
Perhatian: Artikel ini membahas mengenai narkotika, psikotropika,
dan zat adiktif lainnya. Informasi mengenai narkoba hanya digunakan
untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan bukan untuk mencelakai
setiap orang. Kepemilikan dan peredaran narkoba di berbagai negara
dilarang, dan diancam maksimal hukuman mati. Dampingi anak
Anda jika ingin membuka artikel ini.

Opium

Opium, apiun, atau candu (slang Bahasa Inggris: poppy) adalah getah bahan baku narkotika yang
diperoleh dari buah candu (Papaver somniferum L. atau P. paeoniflorum) yang belum matang.
Opium merupakan tanaman semusim yang hanya bisa dibudidayakan di pegunungan kawasan
subtropis. Tinggi tanaman hanya sekitar satu meter. Daunnya jorong dengan tepi bergerigi. Bunga
opium bertangkai panjang dan keluar dari ujung ranting. Satu tangkai hanya terdiri dari satu bunga
dengan kuntum bermahkota putih, ungu, dengan pangkal putih serta merah cerah. Bunga opium
sangat indah hingga beberapa spesies Papaver lazim dijadikan tanaman hias. Buah opium berupa
bulatan sebesar bola pingpong bewarna hijau.
Istilah untuk candu yang telah dimasak dan siap untuk dihisap adalah madat. Istilah ini banyak
digunakan di kalangan para penggunanya bukan hanya sebagai kata nomina tetapi juga kata kerja.

Daftar isi

 1Produksi
 2Sejarah madat dan candu di Jawa
 3Lihat pula
 4Referensi dan pranala luar

Produksi[sunting | sunting sumber]


Buah opium yang dilukai dengan pisau sadap akan mengeluarkan getah kental berwarna putih.
Setelah kering dan berubah warna menjadi cokelat, getah ini dipungut dan dipasarkan sebagai
opium mentah.
Opium mentah ini bisa diproses secara sederhana hingga menjadi candu siap konsumsi. Kalau
getah ini diekstrak lagi, akan dihasilkan morfin. Morfin yang diekstrak lebih lanjut akan
menghasilkan heroin.
Tanaman opium yang berasal dari kawasan pegunungan Eropa Tenggara ini sekarang telah
menyebar sampai ke Afganistan dan "segitiga emas" perbatasan Myanmar, Thailand, dan Laos.
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, Afganistan saat ini merupakan penghasil opium terbesar di
dunia dengan 87%. Laos juga merupakan salah satu penghasil terbesar.
Di Indonesia, bunga poppy yang tidak menghasilkan narkotik banyak ditanam di kawasan
pegunungan seperti Cipanas, Bandungan, Batu, dan Ijen.

Sejarah madat dan candu di Jawa[sunting | sunting sumber]

Madat dan candu di Jawa sekitar tahun 1888


Figurin orang yang menggunakan candu, koleksi Tropenmuseum.

Candu sudah dikenal oleh orang Jawa sejak berabad-abad lalu, setidaknya pada abad 17 ketika
Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan candu sebagai komoditas perdagangan yang penting
untuk dimonopoli serta menjadi objek pajak.
Satu dari 20 orang Jawa mengisap candu, tulis pakar candu Henri Louis Charles Te Mechelen tahun
1882, seperti yang tercantum dalam buku Opium To Java karya James R.Rush. Kebiasaan
mengisap candu bukan hanya terjadi di tanah Jawa, tetapi juga di sejumlah wilayah koloni Eropa di
Asia, tulis TeMechelen yang waktu itu menjabat sebagai Inspektur Kepala Regi Opium dan Asisten
Residen Yuwana di wilayah Jawa Tengah masa kini.
Opium atau bunga poppy (papaver somniferum) tidak tumbuh di Jawa, melainkan didatangkan dari
daerah lain, diduga dari Turki dan Persia. Dalam buku Opium To Java yang ditulis James R.Rush
itu, saudagar Arab disebutkan membawa masuk candu ke wilayah ini, meskipun tidak ditemukan
bukti-bukti lain yang menunjukkan sejak kapan candu mulai diperdagangkan di Jawa.
Candu merupakan komoditas penting yang pada awalnya diperebutkan bersama oleh Inggris,
Denmark dan Belanda, tetapi kemudian Belanda yang memenangkan monopoli perdagangannya,
sedangkan pelaksananya adalah para elit China di Jawa.
Belanda melalui Kompeni Belanda di Hindia Timur (Vereenigde Ost Indische Companie/ VOC) pada
1677 mendapatkan perjanjian dengan raja Jawa ketika itu, Amangkurat II untuk memasukkan candu
ke Mataram dan memonopoli perdagangan candu di seluruh negeri. Perjanjian serupa juga disusul
di Cirebon setahun kemudian. Sejak tahun 1619-1799 VOC bisa memasukkan 56.000 kg opium
mentah setiap tahun ke Jawa. Dan pada 1820 tercatat ada 372 pemegang lisensi untuk menjual
opium.
Penikmat candu tersebar di berbagai kalangan dan meluas di Jawa khususnya Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Pada papan atas, candu dikonsumsi sebagai gaya hidup, disuguhkan sebagai tanda
kehormatan bagi tetamu di rumah para bangsawan Jawa dan China, tetapi kelompok masyarakat
lain juga menjadi pecandu, meskipun kebanyakan mengonsumsi candu kualitas rendah.
Mereka adalah kaum pengembara musisi, seniman teater rakyat, pedagang keliling dan tukang-
tukang upahan di perkebunan yang memakai candu untuk menikmati sensasi khayali, merajut mimpi
dan mengurangi pegal-pegal di badan.
Namun di Banten dan tanah Pasundan, jumlah pecandu tidak besar. Budaya, moral dan agama
Islam yang kuat di kalangan masyarakat telah menjadi benteng yang memagari opium di wilayah
tersebut.
Sempat ada larangan resmi memperdagangkan opium di wilayah tersebut dan Banten menutup
perdagangan opium pada awal abad 19, meskipun demikian pasar gelap candu dapat ditemukan.
James R.Rush juga menuliskan terjadi penyelundupan opium di Priangan pada waktu itu dan ketika
kemudian Belanda berhasil membuka perdagangan di wilayah tersebut, jumlah pemakainya jauh
lebih kecil bila dibandingkan dengan wilayah Surakarta, Yogyakarta Kediri, Madiun, Rembang,
Kedu, Pasuruan, Probolinggo bahkan juga di eks karesidenan Besuki jauh di timur.
Seorang dokter Inggris, Thomas Syndenham pada 1680 pernah menulis, "Di antara semua obat-
obatan yang disediakan bagi manusia atas perkenan Tuhan, tidak ada yang semanjur dan
seuniversal opium untuk meringankan penderitaan."
Secara klinis, morfin, sampai sekarang adalah obat paling unggul untuk menghilangkan rasa sakit
dan dipergunakan sebagai pengobatan resmi, meskipun penyalahgunaannya juga meluas di seluruh
pelosok dunia.
Karakter analgesik opium yang dapat meredakan rasa sakit tidak diragukan menyebabkan benda itu
disukai orang Jawa terutama mengingat fasilitas layanan kesehatan yang tidak memadai,
lingkungan tinggal yang tidak sehat sehingga banyak penyakit merebak di antara penduduk seperti
diare, malaria, tipus, campak, demam.
Dalam suatu survei di kalangan pemakai pada 1890, banyak yang mengaku pada awalnya mereka
mencoba opium untuk meringankan penderitaan atas keluhan sakit kepala, disentri, asma, demam
biasa hingga malaria, tuberkolosis (batuk berdarah), menghilangkan letih-lesu bahkan mengobati
penyakit kelamin.
Di kalangan para seniman yang harus begadang karena pekerjaan, misalnya sinden dan dalang,
penari, pemain teater, candu diyakini dapat membuat mereka kuat terjaga dan tetap bugar.
Sempat ada anggapan bahwa candu dapat meningkatkan vitalitas, gairah seksual dan eforia,
sampai-sampai tertulis dalam syair Jawa Suluk Gatoloco buah karya priyaji Jawa yang menguasai
tradisi dan mistik.
Tersebutlah tokoh dalam syair itu, Gatoloco, berwujud kelamin laki-laki yang membentengi diri
dengan menelan opium dan merasakan kekuatan candu yang memabukkan itu menyebar ke
seluruh tubuh dan membuat seluruh kekuatannya kembali.
Pemakaian candu semakin meluas, dampak negatif juga terlihat cukup termasuk dari pemakaian
uang yang cukup besar untuk belanja candu, bahkan juga di kelas pekerja buruh.
Tetapi, pandangan orang Jawa terhadap candu tidaklah seragam. Pada masa itu pun sudah ada
kelompok anti candu yang berjuang untuk memeranginya dan menabukan candu dengan
memasukkannya pada larangan "molimo" yaitu ajaran moral yang melarang kaum laki-laki berbuat
lima kegiatan yang berawalan dengan kata M, yaitu Maling (mencuri), Madon (main perempuan),
Minum (alkohol), Main (berjudi) dan Madat (mengisap candu).
Penguasa Surakarta, Raja Paku Buwono IV yang memerintah pada 1788-1820 menuliskan ajaran
moral yang benar dalam syair panjang Wulang Reh (ajaran berperilaku benar).
Ia menggambarkan pemadat sebagai pemalas dan orang yang bersikap masa bodoh, yang hanya
gemar tidur di bale-bale untuk mengisap candu.
"Jauihi madat: madat tidak baik untukmu semua, mengisap madat itu tidak baik," tulisnya.
Pujangga Ronggowarsito menilai peringatan Paku Buwono IV tentang opium dapat dibaca sebagai
komentar terhadap merosotnya nilai-nilai moral istana/kerajaan di Jawa yang membantu
mempercepat perpecahan politik dan perbudakan yang dilakukan Belanda terhadap pihak kerajaan.
Peringatan bagi kalangan tinggi di kerajaan akan bahaya opium telah dinyatakan secara berkala
dalam dokumen-dokumen sastra. Paku Buwono II malahan menyerukan larangan mengisap opium
bagi seluruh keturunannya.
Di pihak Belanda juga tumbuh gerakan etis sejak 1880, yang dilakukan untuk meningkatkan
kemakmuran warga (termasuk pribumi). Pieter Brooshooft misalnya mengeluarkan Memorie yang
menyerukan pengurangan pajak pada orang pribumi, dan proyek-proyek yang dapat memajukan
pertanian rakyat.
Pada 1899 C.Th Deventer membujuk pemerintah Belanda untuk membayar utang kehormatan
sebagai ganti rugi atas sikap mengabaikan penduduk di wilayah jajahan, disusul dengan pernyataan
resmi Ratu Wilhelmina pada 1901 yang menyatakan penyesalan atas hilangnya kesejahteraan
penduduk Jawa.
Tahun-tahun etis ini ditandai dengan perluasan kesempatan pendidikan bagi penduduk,dan upaya
perbaikan kesejahteraan lainnya termasuk peraturan mengenai peredaran candu.
Belanda membentuk suatu lembaga khusus yang diberi nama Regi untuk meluruskan kesalahan
pada masa lalu. Sejak itu semua urusan opium dipusatkan di ibukota, juga pabrik-pabrik opium yang
dulu tersebar di daerah dan dikuasai para bandar yang menghasilkan produksi dengan variasi luas
baik dari kualitas dan citarasa, kini dipusatkan di Batavia dalam bentuk produksi yang seragam.
Birokrasi dalam pembuatan dan peredaran mulai diterapkan juga untuk mengantisipasi
penyalahgunaannya, dan banyak orang terpelajar bergabung dalam regi hingga di tingkat daerah.
Jika Opium To Java (Cornel University Press 1990, diterjemahkan Matabangsa, 2000) mengupas
masa kelam legalitas peredaran candu lebih dari tiga abad yang lalu, adalah Alberthien Endah,
seorang wartawan masa kini, menulis buku berjudul "Jangan Beri Aku Narkoba" (Gramedia Pustaka
Utama, 2004) sebuah karya fiksi untuk mengingatkan generasi masa kini tentang ancaman narkoba.
Dalam pengantarnya Alberthien Endah mempersembahkan buku itu bagi semua (anak muda) yang
mempu menyatakan "Narkoba No Way". Sebab narkoba takkan memberimu apa-apa atau
membuatmu menjadi siapa-siapa, bahkan akan membuatmu kenapa-kenapa di dunia yang memberi
begini banyak kesempatan, tulisnya.
Buku tersebut mengangkat kisah sosial yang sebenarnya klasik dalam cerita-cerita fiksi, keluarga
mapan yang kehilangan makna hidup sebagai keluarga dan anak-anak yang terjerumus pada
narkoba (sebagai pelarian) dan menunjukkan kegagalan orangtua serta lembaga pemberantas
narkoba dalam menyelesaikan persoalan narkoba.
Perang (terhadap) candu masih terus bergulir dan diperlukan keseriusan untuk melakoninya dengan
sungguh-sungguh.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]


 Ganja
 Kokain
 Morfin
 Heroin
 Sabu-sabu
 Narkoba
 Rokok

Referensi dan pranala luar[sunting | sunting sumber]


 (Indonesia) F. Rahardi, Ganja, Opium, dan Koka, Kolom Bahasa
KOMPAS, 7 Mei 2005
 National Institute on Drug Abuse: Heroin dan related topik
 Iowa Substance Abuse Information Center: Heroin and other
opiates
 DEA drug information: Opium, morphine, and heroin
 Erowid: Opiates / Opioids
 Hall of Opium Virtual museum (Macromedia Flash presentation)
 Opium Museum: Opium paraphernalia and historical photos of
opium smokers
 The New Yorker Magazine: photos of Opium production and
eradication in Afghanistan
 Opium Made Easy by Michael Pollan (originally appeared
in Harper's.)
 Confessions of a Poppy Tea addict
 Geopium: Opium politics, geography, and photos (site mostly
in (Perancis))
 Opium in India
 From Flowers to Heroin, CIA publication
 BLTC Research: Speculations on the future of opioids
 Thailex photo: Traditional method of using opium in Thailand
 Aaron Huey, photographer: Photo Essay on Poppy Eradication in
Afghanistan
 Israel's Dr. Wash claims to cure opiate addiction in 36 hours
 Tsur Shezaf, Witer, The Opium Growers of Sinai

 opiates
 DEA drug information: Opium, morphine, and heroin
 Erowid: Opiates / Opioids
 Hall of Opium Virtual museum (Macromedia Flash presentation)
 Opium Museum: Opium paraphernalia and historical photos of
opium smokers
 The New Yorker Magazine: photos of Opium production and
eradication in Afghanistan
 Opium Made Easy by Michael Pollan (originally appeared
in Harper's.)
 Confessions of a Poppy Tea addict
 Geopium: Opium politics, geography, and photos (site mostly
in (Perancis))
 Opium in India
 From Flowers to Heroin, CIA publication
 BLTC Research: Speculations on the future of opioids
 Thailex photo: Traditional method of using opium in Thailand
 Aaron Huey, photographer: Photo Essay on Poppy Eradication in
Afghanistan
 Israel's Dr. Wash claims to cure opiate addiction in 36 hours
 Tsur Shezaf, Witer, The Opium Growers of Sinai

Anda mungkin juga menyukai