Anda di halaman 1dari 17

RUMAH SAKIT UMUM KALIDERES

PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

Yth. Direktur Rumah Sakit Umum Kalideres

Laporan/Penjelasan/Jawaban LAPORAN HASIL WORKSHOP DAN SEMINAR


atas disposisi Direktur TATALAKSANA PENYAKIT INFEKSI EMERGING DAN RE-
Rumah Sakit Umum EMERGING
Kalideres
Bersama ini kami sampaikan kepada Bapak Direktur Rumah
Sakit Umum Kalideres tentang hasil workshop dan seminar
tatalaksana penyakit infeksi emerging dan re-emerging, sesuai
dengan Surat Tugas Direktur RSUD Kalideres, No. 1459/-082.74,
tanggal 7-9 Agustus 2019.
Telah dilaksanakan pada tanggal 7-9 Agustus 2019, bertempat
di Auditorium Lt. 4 RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso, Jakarta Utara.

Adapun laporan yang kami maksud, sebagai berikut :


 Workshop dan Seminar dimulai pada pukul 07.30 s. d 17.00
WIB, Acara dibuka oleh Moderator bapak Wiryono.
 Hasil Workshop dan Seminar, yaitu :

Penyakit Infeksi Emerging:


 Penyakit infeksi yang bersifat cepat menular pada suatu
populasi manusia, penyebabnya bisa virus, bakteri atau
parasit
 Hampir 75% penyakit ini ditularkan ke manusia dari hewan
(penyakit zoonosis)
 Dapat menjadi ancaman penting bagi keamanan kesehatan
global
 Dapat menimbulkan kejadian luar biasa (KLB)
 Dapat menyebabkan kematian yang banyak
 Dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar

Pada penyakit infeksi emerging tertentu dilakukan kewaspadaan


ketat terhadap penderita, terduga penderita, orang yang kontak
dengan penderita untuk pencegahan penyebaran penyakit (karena
merupakan penyakit baru yang belum diketahui severitasnya atau
karena sifat penyakitnya yang berpotensi menjadi kedaruratan
kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia (KKMMD) atau
dapat menyebar dengan cepat menjadi pandemi.
Penyakit Infeksi Emerging

Perkembangan
tekhnologi

Ekonomi
Lingkungan ,
Penyakit
Infeksi Mobilisasi
manusia
emerging
hewan
,

Perubahan iklim


Penyakit New Emerging

Penyakit infeksi yang muncul/ menyerang manusia untuk pertama kalinya


Penyakit yang telah ada sebelumnya namun menyebar ke daerah geografis baru

Re-emerging
Penyakit infeksi di suatu daerah yang kasusnya sudah sangat menurun atau terkontrol kemudian

Penanganan penderita penyakit infeksi emerging tertentu memerlukan penanganan yang cepat dan tepat untuk
kepentingan pencegahan penyebaran penyakit

Penyakit infeksi emerging antara lain:


• Penyakit virus ebola
• Penyakit virus MERS-CoV
• Influensa A (H5N1)/ Flu burung
• Penyakit virus hanta
• Penyakit virus nipah
• Demam kuning
• Demam lassa
• Demam congo
• Meningitis meningokokus

• Penyakit infeksi emerging baru RESPONS dan TATALAKSANA

• Pada PIE tertentu (new emerging)  pasien terduga, pasien atau orang yg kontak dengan pasien, terduga
pasien  kewaspadaan ketat

• Tatalaksana: pemeriksaan, pengobatan, perawatan, isolasi penderita, karantina

• PIE potensi pandemi: poliomielitis, peny virus ebola, MERS-CoV, Avian Influenza, virus Hanta, virus
Nipah, demam kuning, demam Lassa, demam Congo, peny baru lain

KEGIATAN DETEKSI DINI PENYAKIT INFEKSI EMERGING YANG DILAKUKAN:


a.Meningkatkan kewaspadaan :
deteksi dini (gejala, riwayat perjalanan, masa inkubasi) ketika menerima pasien rujukan,
pasien datang di UGD, pasien poli
b.Monitoring penerapan PPI pada semua petugas dan pasien (penempatan ruang isolasi ketat).
c.Penerimaan pasien
d.Pelaporan (Pokja PINERE, Surevielans RS, DPJP, PHEIC 1x24 jam).
e.Pengiriman spesimen ke Litbangkes.
f. Monitoring petugas kesehatan yang kontak.
g.Monitoring pengelolaan kesehatan lingkungan.
h.Pemulasaran jenazah.
Deteksi dini dengan mengenali gejala/sindrom

RESPONS KESIAPSIAGAAN DIAGNOSIS FLU BURUNG H5N1

Karakteristik dari virus influenza tipe A subtipe Flu Burung (H5N1) :

 Subtipe H5N1 dapat bertahan hidup pada air sampai suhu 4 hari pada suhu 22 oC dan dapat bertahan
lebih dari 30 hari pada suhu 0oC
 Subtipe H5N1 dapat mati dengan deterjen/sabun, desinfektan seperti fromalin, karbol, kaporit, klorin
dan cairan yang mengandung iodin atau alkohol 70%
 Didalam feses unggas atau tubuh unggas yang terinfeksi subtipe H5N1 dapat bertahan hidup lebih lama,
akan tetapi akan mati pada pemanasan 60 oC selama 30 menit, 56oC selama 3 jam, dan pemanasan 80 oC
selama 1 menit
 Masa inkubasi rata-rata adalah 3 hari (dengan rentang 1-7 hari) dan masa infeksius pada manusia adalah
1 hari sebelum masa inkubasi, sampai 3-5 hari setelah gejala muncul
 pada anak dapat berlangsung sampai 21 hari (anak kurang dari 12 tahun dapat berlangsung sampai 21
hari sejak muncul gejala pertama
 anak usia lebih dari 12 tahun dapat berlangsung hingga 7 hari bebas demam.
Penularan
 Kontak langsung dengan unggas atau hewan lain di wilayah yang terjangkit H5N1 dalam 1 bulan
terakhir
 Konsumsi langsung produk unggas mentah atau tidak dimasak dengan benar dari wilayah yang
dicurigai atau dipastikan terjangkit H5N1 dalam satu bulan terakhir
 Kontak atau menangani langsung sampel hewan atau manusia yang dicurigai dalam laboratorium
atau tempat lain.
 Seseorang dengan demam ≥ 38oC dan ILI , dan disertai satu atau lebih pajanan di bawah ini dalam 7
hari sebelum mulainya gejala, yaitu :
o Terpajan (misalnya memegang, menyembelih, mencabuti bulu, memotong, mempersiapkan untuk
konsumsi) dengan ternak ayam, unggas liar, unggas air, bangkai unggas atau terhadap lingkungan
yang tercemar oleh kotoran unggas itu dalam wilayah terjangkit dalam satu bulan terakhir.
o Mengkonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak dimasak dengan sempurna dari wilayah
yang dicurigai atau dipastikan terdapat hewan atau manusia yang terkonfirmasi H5N1 dalam satu
bulan terakhir.
o Kontak erat dengan binatang lain (selain ternak unggas atau unggas liar), misalnya kucing atau
babi yang telah terkonfirmasi terinfeksi H5N1. Memegang/ menangani sampel (hewan atau
manusia) yang dicurigai mengandung virus H5N1 dalam suatu laboratorium atau tempat lainnya.

VIRUS EBOLA

Sejarah Penyakit Virus EBOLA

• Ditemukan pertama kali tahun 1976 pada kejadian luar biasa (KLB) di dua tempat yang terjadi
bersamaan, yaitu: Nzara, Sudan, dan Yambuku, DR Kongo (d/h Zaire).
• Virus ditemukan di desa yang dekat dengan sungai Ebola, di DR Kongo, sehingga diambil menjadi nama
dari virus ini.
• Asal virus: dari bukti yang ada berasal dari kelawar (fruit bat)
• Penyakit ini menyerang Primata dan Manusia
• Masa inkubasi: 2 – 21 hari (rata-rata 8-10 hari)
• Tingkat Fatalitas: 25% – 90%
• Penyakit Virus Akut Berat ditandai dengan :
 Demam tiba – tiba, lemah & lesu, sakit otot, sakit kepala dan tenggorokan.
 Diikuti: muntah, diare, ruam kulit, penurunan fungsi ginjal dan hati, perdarahan luar dan dalam
 Lab darah: Leukopeni, Peningkatan platelet dan enzim hati

Perjalanan gejala virus Ebola pada manusia


TRANSMISI DAN PENULARAN PENYAKIT VIRUS EBOLA

Transmisi:
 Kontak dengan darah, sekret, organ atau cairan tubuh hewan yang terinfeksi.
 Di Afrika Infeksi terjadi setelah menangani simpanse, gorila, kera, kelalawar, dan rusa yang sakit atau mati.

Transmisi antar manusia terjadi dengan cara :


 Kontak Langsung:
Selaput lendir atau kulit terluka dengan darah atau cairan tubuh orang terinfeksi.
 Kontak Tidak langsung:
Dengan barang, alat medis, atau lingkungan terkontaminasi cairan tubuh pasien terinfeksi – Kelompok
berisiko:
 Petugas kesehatan (mendekati 9% terinfeksi)
 Anggota keluarga dan pelayat yang melakukan kontak langsung
 Pemburu yang kontak dengan hewan buruan.
 Masa Penularan:
 Mulai ketika timbul gejala dan selama masih ditemukan didalam darah dan sekret.
 Pria yang telah sembuh masih bisa menularkan penyakit melalui cairan sperma sampai 7 minggu
setelah sembuh

Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV)

 MERS-CoV : penyakit yang disebabkan oleh virus Corona baru yang menyerang saluran napas,
menimbulkan gejala ringan s/d berat, masa inkubasi 2-14 hari
 Perjalanan penyakit: infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yaitu demam, batuk, sesak napas hingga
pneumonia berat, ARDS, biasanya menjadi berat bila memiliki penyakit ko-morbid.

PENULARAN MERS-CoV
• Sumber utama penularan: unta (dromedary camel) terinfeksi
• MERS-CoV merupakan virus zoonosis infeksi sekunder pada manusia
• MERS-CoV menempel pada saluran napas di sel alveoli tipe 2 dan sel clara
• Reseptor MERS-CoV adalah dipeptidyl dipeptase 4 (DDP4)
• Penularan MERS-CoV, yaitu:
1. Animal to human
kontak langsung atau tidak langsung dengan unta terinfeksi atau produk mentah atau tidak
diolah matang/pasteurisasi (kasus primer).
2. Human to human
kontak erat dengan orang terinfeksi MERS-CoV, penularan terbatas (kasus sekunder).
 Hospital acquired: penularan dari orang ke orang di RS karena pencegahan dan
pengendalian infeksi tidak diterapkan dengan tepat.
 Community acquired: didapat di masyarakat.

PENULARAN MERS-CoV DIAGNOSIS MERS-CoV


 RIWAYAT PERJALANAN: Timur Tengah, Korea Selatan dalam 14 hari sebelum munculnya gejala.

DIAGNOSIS MERS-CoV
 RIWAYAT PAJANAN/KONTAK:
dalam 14 hari sebelum munculnya gejala
 Kontak dengan unta (tanyakan kontak bagaimana)
Konsumsi produk unta mentah atau tidak dipasteurisasi
seperti susu atau produk dari susu
 Kontak dengan orang yang mempunyai gejala sama
(status orang tsb underivestigation, propable atau
confirmed MERS-CoV)
 Pemeriksaan penunjang:
o Radiologi: Foto toraks dapat ditemukan infiltrat,
konsolidasi sampai gambaran ARDS
o Laboratorium: diagnostik dengan RT-PCR dan
konfirmasi dengan sekuensing

Deteksi Dini
 Untuk dapat melakukan deteksi dini maka harus mengetahui kriteria menetapkan kasus
 Kasus MERS –CoV diklasifikasikan menjadi 3:
1. Kasus dalam penyelidikan (underinvestigation)
2. Kasus probabel
3. Kasus konfirmasi

Kasus dalam investigasi MERS-CoV

Pasien dengan ISPA yaitu demam atau riwayat demam, batuk dan pneumonia berat atau dengan
ARDS DAN salah satu dari berikut :
 Riwayat perjalanan ke Timur Tengah atau Negara terjangkit dalam waktu 14 hari sebelum
mulainya gejala kecuali ditemukan etiologi lainnya
 Penyakit muncul dalam satu klaster yang terjadi dalam waktu 14 hari, tanpa
memperhatikan tempat tinggal atau riwayat bepergian, kecuali ditemukan etiologi lain

Kasus dalam investigasi MERS-CoV


Pneumonia yang mengalami perburukan meskipun sudah mendapat terapi adekuat tanpa
memperhatikan tempat atau riwayat perjalanan dan tidak ditemukan etiologi lainnya atau
etiologi yang ditemukan tidak dapat menjelaskan perjalanan penyakit

Tidak perlu menunggu hasil tes untuk patogen lain sebelum pengujian untuk MERS CoV.

Kasus probabel
 Seseorang dengan pneumonia atau ARDS dengan bukti klinis, radiologis atau histopatologis
DAN adanya hubungan epidemiologis langsung dengan kasus konfirmasi MERS Co-V DAN
tidak tersedia pemeriksaan untuk MERS-CoV atau hasil laboratoriumnya negatif pada satu
kali pemeriksaan spesimen yang tidak adekuat.
 Seseorang dengan pneumonia atau ARDS dengan bukti klinis, radiologis atau histopatologis
DAN adanya hubungan epidemiologis langsung dengan kasus konfirmasi MERS Co-V
dan/atau memiliki riwayat tinggal atau berpergian dari negara terjangkit sejak 14 hari
terakhir DAN hasil pemeriksaan laboratorium inkonklusif (pemeriksaan skrining hasilnya
positif tanpa konfirmasi lebih lanjut

Kasus Konfirmasi
Seseorang terinfeksi MERS-CoV dengan hasil pemeriksaan laboratorium MERS-CoV positif.
SISTEM RUJUKAN PENYAKIT INFEKSI EMERGING

 Merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yg mengatur pelimpahan tugas dan


tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik
 Rujukan secara vertikal atau horizontal

Kebijakan Sistem Rujukan PIE


 Memperkuat RS Rujukan di wilayah atau pintu masuk negara
 Memperkuat sistem rujukan, penetapan RS Rujukan nasional, provinsi dan regional

PINTU MASUK PASIEN SUSPEK PIE KE FASKES PA

Pasien

Puskesmas
1 RS rujukan
Dokter
3
Praktek Poli
swasta RS Non rujukan IGD
2 Isolasi
Poli
IGD

Rawat
inap
ICU Isolasi atau Kamar
sembuh Isolasi Ketat jenazah

KESIMPULAN
 Penyakit infeksi emerging yang bersifat cepat menular pada suatu populasi manusia.
 Pencegahan penyebaran penyakit salah satu yang harus dilakukan adalah
melaksanakan deteksi dini di masing-masing faskes dan melakukan rujukan ke
layanan RS rujukan.
DIFTERI

Penyebab Difteria
 Difteria disebabkan Corynebacterium diphtheriae
 Korynee: club shaped bacteria; diphtheria=leather hide looking pharyngeal
membrane
 4 tipe C. diphtheriae berdasarkan bentuk yang tumbuh pada media tellurite:
 Mitis – black colonies with a gray periphery
 Gravis – large, gray colonies
 Intermedius – small, dull gray to black.
 Belfanti – Ditumbuhkan pada suhu 35-370C selama 24 jam dan 3 tipe dapat
menghasilkan toksin

Manifestasi Klinis
 Masa inkubasi 1-8 hari
 Dengan munculnya tanda dan gejala difteria (terutama beslag) dalam 2-5 hari setelah
masa inkubasi (perlahan)
 Demam < 390C
 Penyakit mulai dari: tanpa gejala – mirip infeksi respiratori akut (ARI) atas – fatal
 94% kasus difteria mengenai tonsil dan faring

DIAGNOSIS

Anamnesis

 Kontak dengan penderita difteria


 Definisi kontak: orang serumah dan teman bermain; kontak
dengan sekret nasofaring (a.l.: resusitasi mulut ke mulut);
individu seruang dengan penderita dalam waktu >4 jam selama 5
hari berturut-turut atau >24 jam dalam seminggu (a.l.: teman
sekelas, teman mengaji).
 Suara serak dan disfagia
 Stridor, batuk menggonggong, “ngences”, dan tanda lain
obstruksi jalan napas
 Demam tidak begitu tinggi
 Riwayat imunisasi tidak lengkap

Pemeriksaan Fisik
 Tampak toksik dan sakit berat, padahal demam tidak terlalu tinggi
 Muka pucat bahkan sampai sianosis
 Cari tanda-tanda syok
 Kesulitan bicara
 Penglihatan ganda
 Umumnya menunjukkan tanda tonsilitis dan faringitis
 Terdapat membran pada tempat infeksi berwarna putih keabu-abuan,
mudah berdarah bila diangkat

Suspek difteri
 gejala faringitis, tonsilitis, laringitis, trakeitis, atau kombinasinya disertai demam atau
tanpa demam dan adanya pseudomembran putih keabu-abuan yang sulit lepas, mudah
berdarah apabila dilepas atau dilakukan manipulasi.

Klasifikasi kasus difteri:


 Kasus konfirmasi laboratorium: kasus suspek difteri dengan hasil kultur positif
strain toksigenik
 Kasus konfirmasi hubungan epidemiologi: kasus suspek difteri yang mempunyai
hubungan epidemiologi dengan kasus konfirmasi laboratorium.
 Kasus kompatibel klinis; kasus suspek difteri dengan hasil laboratorium negative,
atau tidak diambil specimen, atau tidak dilakukan tes toksigenisitas, dan tidak
mempunyai hubungan epidemiologi dengan kasus konfirmasi laboratorium
 Discarded: kasus suspek difteri yang setelah dikonfirmasi oleh Ahli tidak memenuhi
kriteria suspek difteri.
Apa yang dapat menyebabkan spot di tonsil?

Tonsilitis
• Muncul cepat, akut
• Tidak tampak toksik
• Muka mungkin kemerahan, dengan suhu tinggi hingga >390C
• Sulit membedakan beslag tonsilitis dan difteria apabila terjadi tonsilitis berat dengan
erosi yang dilapisi membran abu dan coklat

Difteria
• Pasien tampak toksik
• Muka pucat, walaupun suhu tubuh < 390C
• Laju nadi cepat tetapi lemah
• Muncul beslag berangsur-angsur (2-3 hari)
• Seringkali, beslag difteria hanya unilateral dengan sekelilingnya kemerahan
• Membran sulit diangkat dan akan berdarah, serta tampak dasarnya erosi
• Pasien bayi, umumnya difteria kulit di nasal atau konjungtivitis
• tercium bau busuk, sekret serosanguinis/purulen
• ulkus dangkal pada hidung dan bibir atas

DIAGNOSIS BANDING FAUCIAL DIFTERIA


 membranous pharyngitis: severe streptococcal sore throat, Vincent’s angina, or
glandular fever, streptococcal pharyngitis and infectious mononucleosis
 diphtherial laryngitis: Haemophilus influenzae type b epiglottitis, spasmodic croup,
or the presence of a foreign body, laryngotracheobronchitis, peritonsillar abscess,
retropharyngeal abscess
Tata laksana difteri
1. Ambil spesimen swab tenggorok untuk dikirim ke laboratorium
Litbangkes Jakarta
2. Lapor dinkes surveilans
3. Antibiotik untuk eradikasi bakteri
4. Anti difteri toksin (ADS) untuk netralisir eksotoksin
5. Antiinflamasi kortikosteroid jika ada inflamasi/ obstruksi jalan nafas
6. Isolasi di ruang terpisah
7. Gunakan alat pelindung diri (masker bedah, sarung tangan, apron
lengan panjang, faceshield) dan imunisasi Td
8. Suportif
9. Monitor tanda2 komplikasi miokarditis, neuropati, gangguan ginjal

TATALAKSANA PENDERITA DI RUMAH SAKIT


• Dokter tentukan diagnosis difteria berdasarkan gejala dan klinis.
• Pada kasus difteri tatalaksana dimulai dengan antibiotik tanpa perlu
konfirmasi laboratorium (kultur baik swab/apus tenggorok).
• Pemberian Anti Difteri Serum (ADS)
• Penderita difteria diisolasi sampai tidak menular yaitu 48 jam setelah
pemberian antibiotik. Namun tetap dilakukan kultur setelah pemberian
antibiotik.
• Untuk pemberian ADS kepada penderita maka perlu di konsultasikan
dengan Dokter Spesialis (Anak, THT, Penyakit Dalam).

Antibiotik
• Antibiotik Penicillin procaine IM 25.000-50.000 U/kg BB maks 1,2 juta
selama 14 hari, (maksimal 1 sisi 600.000IU) selama 14 hari atau
• Eritromisin oral atau injeksi diberikan 40 mg/KgBB/hari dibagi 4
dosis(maks 2 g/hari) interval 6 jam selama 14 hari.
• Eritromisin lebih superior daripada penisilin untuk eradikasi karier
difteria nasofaring.

Suportif dan ADS


• Lakukan penilaian apakah ditemukan keadaan gawat napas akibat
obstruksi saluran napas karena membran dan edema perifaringeal 
trakeostomi
• Lakukan klasifikasi kasus
• Pemberian ADS (antidifteria serum) berdasarkan diagnosis klinis untuk
menetralisasi toksin bebas
• dosis tunggal dalam 100-200 mL dekstrosa IV selama 30-60 menit,
sebelumnya dilakukan uji kepekaan.
• Uji kepekaan dengan pemberian 0,02 mL penyuntikan intradermal
pengenceran 1:1000
ADS/ Diphtheria Antitoxin
• Diphtheria antitoxin (DAT) was first produced in the 1890s and is still
produced using serum from horses hyperimmunized with diphtheria
toxoid.
• Mortality rates for clinical diphtheria frequently exceeded 50% in the
preantitoxin era.
• Pemberian:
• 24-48 jam kematian : 4%
• Hari ke-3 kematian : 16.1%
• >3 hari kematian : 29.9%

PEMBERIAN ANTITOKSIN PADA PENGOBATAN DIFTERIA

Tipe Difteri Dosis ADS (KI) Cara pemberian

Difteri tonsil 40.000 Intravena


Difteri faring 40.000 Intravena
Difteri laring 40.000 Intravena
Difteri nasofaringeal 60.000 Intravena
Kombinasi lokasi di atas, tanpa melibatkan 80.000 Intravena
hidung/nasal
Difteri + penyulit dan/atau ditemukan bullneck 80.000-100.000 Intravena

Terlambat berobat (> 72 jam), lokasi dimana saja 80.000-100.000 Intravena

Komplikasi Difteri
• Obstruksi jalan nafas
• Diawali dengan nafas berbunyi dan sesak nafas
• Sianosis akibat hipoksia
• Kadang perlu dilakukan trakheostomi
• Miokarditis
• Diawali dengan takikardi
• Perubahan denyut jantung: aritmia, iregular
• Heart block (A-V block), heart failure
• Kelumpuhan syaraf (peripheral neuritis)
• Kelumpuhan otot larings: suara sengau, mudah tersedak
• Kelemahan anggota badan, diafragma
Nowsen L. Diphtheria. www.patient.info.2014

Komplikasi Difteri
 Myocarditis :
o Biasanya terjadi pada awal minggu kedua
o Takikardi atau bradikardi, bunyi jantung redup, muntah, nyeri abdomen,
dyspnea
 Komplikasi Neurologis:
o Paralysis palatum ( akhir minggu ke-2)
o Polyneuritis umum ( minggu ke-3 – 6 )
o Gangguan akomodasi ( minggu ke-3 )
 Komplikasi renal (nefritis):
o Oliguria dan proteinuria

PROGNOSIS
 Virulensi organisme
 Tempat pada tubuh terjadinya infeksi
 Pada difteria faring umumnya berat dan toksik
 Usia <5 tahun
 Status imunisasi: belum/tidak lengkap
 Kecepatan pemberian antitoksin
 Obstruksi mekanik laring atau difteria bull-neck
Walaupun dilakukan pengobatan, 1 dari 10 pasien difteria kemungkinan
meninggal. Tanpa pengobatan 1 dari 2 pasien difteria akan meninggal

CDC WHO, 15 Januari 2016:


 Pasien difteria diisolasi sampai tidak menular
 yaitu 48 jam setelah pemberian antibiotik.
 Namun tetap dilakukan kultur setelah 14 hari pemberian antibiotik
 Pada orang sakit yang tidak diberi antibiotik: inkubasi sd 2 minggu
setelah munculnya gejala (sd 6 minggu)
 Setelah diberi antibiotik: penularan dipersingkat menjadi 2 hari
(WHO, Januari 2016).

Tata Cara Pencegahan Tertular Difteria


 Pemberian antibiotik profilaksis
 Eritromisin lebih superior daripada penisilin untuk eradikasi karier
difteria nasofaring.
 Eritromisin p.o. 7 hari (40 mg/kg/day untuk anak dan 1g/hari untuk
dewasa)
 Terutama untuk kontak erat
 Apabila ada masalah, sehingga surveilans tidak optimal:
 Identifikasi karier dan kontak erat
 Tetap berikan antibiotik profilaksis
 Isolasi bagi pasien dan karier

Kebijakan Imunisasi dalam Penanggulangan Difteri di Indonesia

 Imunisasi Rutin
 1983: Dasar (bayi): DPT 1-3
 1998: Booster BIAS – SD kl 1: DT
 2011: Booster BIAS – SD kl 1 s/d 3: DT & Td
 2014: Booster DPT pd 18 bln
 2017: Booster BIAS – SD kl 1, 2 & 5: DT & Td

 Imunisasi pada KLB:


 sasaran sampai dengan usia tertua kasus
 Jenis vaksin disesuaikan dengan usia:
o < 3 th: DPT
o 3 – 7 th: DT
o > 7 th: Td
o Luas wilayah disesuaikan kajian epidemiologi
o Metode pemberian disesuaikan kajian cakupan imunisasi

Outbreak Response Immunization (ORI)


 Usia sasaran:
o Sesuai Jenis vaksin (DPT s/d 3 th, DT 3 – 6 th, Td 7 th >)
o Luas wilayah dipengaruhi oleh sebaran kasus dan karier
o Lokasi: di masyarakat atau Sekolah
 Frekuensi dan metode:
o Tanpa melihat status imunisasi sebelumnya,
pemberian 3 kali dengan interval: 0-1-6 bln
o Untuk mencegah penularan difteri: cakupan imun
dasar DPT 3 kali minimal 90% (WHO, Immunization,
Vaccines and Biologicals 2009)

Kesimpulan
 Deteksi dini kasus difteri
 Tata laksana kasus difteri dengan tepat
 Obati karier untuk memutuskan transmisi
 Laporkan dinkes surveilans setempat
 Lengkapi imunisasi vaksin difteri melalui ORI dan imunisasi rutin
DEMAM DENGUE
Laporan/Penjelasan/Jawaban Demikian laporan ini kami sampaikan, mohon arahan dari
atas disposisi Direktur Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Kalideres. Atas arahan dan
Rumah Sakit Umum
perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.
Kalideres

Jakarta, 10 Agustus 2019

Mengetahui,
Ka. Seksi Pelayanan Medis
RSUD Kalideres Pembuat Laporan :

dr. Raden Chandra Meydia dr. Khairiyah Gusleni


NIP. 1982205092006041008 NIK.RSKd19880810201680159

Disposisi
Direktur RSU Kalideres

Anda mungkin juga menyukai