(Studi Kasus Suku Bajo Di Desa Latawe Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi
Tenggara)
Oleh :
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat dan limpahan rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan sebuah
makalah dengan tepat waktu.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul
“Konstruksi Sosial Masyarakat Maritim Suku Bajo ” yang menurut penulis dapat
memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajarinya.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon
memaklumi bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang penulis
buat kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca.
Dengan ini penulis mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima
kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan
manfaat.
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................... 1
KATA PENGANTAR........................................................................................ 2
DAFTAR ISI...................................................................................................... 3
I PENDAHULUAN
II TINJAUAN PUSTAKA
IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan …………………………………………………….. . 18
4.2. Saran……………………………………………………………. . 18
DAFTAR PUSTAKA
3
I. PENDAHULUAN
Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahandi darat dan laut, sedangkan Perairan Pesisir adalah laut
yang berbatasan dengan daratan meliputi perairansejauh 12 (dua belas) mil laut
diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungan pantai dan pulau- pulau,
estuary, teluk perairan dangkal, rawa payau, dan laguna.
4
juragan (pemilik kapal). Hal tersebut dikarenakan kekurangan ataupun ketiadaan
modal finansial yang memadai. Kekurangan modal tersebut semakin menambah
beban dan tantangan serta persaingan yang besar dalam hal pemanfaatan sumberdaya
laut. Disatu sisi nelayan buruh dengan kemampuan serta keterampilan menangkap
ikan adalah potensi, disisi lain tidak adanya modal adalah kendala, mengingat
wilayah laut adalah wilayah terbuka yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja yang
memiliki kemampuan untuk mengelola sumberdaya yang ada di dalamnya.
1.3. Tujuan
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
Asal usul konstruksi sosial dari filsafat kontruktivisme dimulai dari gagasan-
gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pengertian konstruktif
kognitif muncul dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan
disebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagsan
pokok Konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang
epistemologi dari Italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme (Suparno, 1977).
Konstruksi sosial memiliki arti yang luas dalam ilmu sosial. Hal ini biasanya
dihubungkan pada pengaruh sosial dalam pengalaman hidup individu. Asumsi
dasarnya pada “realitas adalah konstruksi sosial” dari Berger dan Luckmann.
Selanjutnya yang dikatakan bahwa konstruksi sosial memiliki berberapa kekuatan.
Pertama, peran sentral bahasa memberikan menkanisme konkret, dimana budaya
mempengaruhi pikiran dan tingkah laku individu. Kedua, konstruksi sosial dapat
mewakili kompleksitas dalam satu budaya tunggal. Hal ini tidak mengansumsikan
keseragaman. Ketiga, hal ini bersifat konsisten dengan masyarakat dan waktu
(Ngangi, 2011).
Menurut DeLamater dan Hyde juga bahwa konstruksi sosial menyatakan tidak
ada kenyataan pokok yang benar. Realitas adalah konstruksi sosial ole karena itu
fenomena seperti homoseksual adalah konstruksi sosial. Hasil dari suatu budaya,
bahasanya, dan juga institusi-institusi. Konstruksi sosial juga memfokuskan bukan
6
pada pasangan seksualitas yang menarik tapi pada variasi-variasi budaya dalam
mempertimbangkan yang menarik itu (Ngangi,2011).
Konstruksi sosial adalah sebuah pandangan bahwa semua nilai, ideologi dan
institusi sosial adalah buatan manusia. Konstruksi sosial merupakan sebuah
pernyataan keyakinan dan juga sebuah sudut pandang bahwa kandungan dari
kesadran dan cara berhubungan dengan orang lain itu diajarkan oleh kebudayaan dan
masyarakat.3 Tercakup di dalamnya pandangan bahwa kuantitas metafisik riil dan
abstrak yang dianggap sebagai suatu kepastian itu dipelajari dari orang lain di sekitar
kita (Ian, 1997)
7
Dari ketiga macam konstruktivisme, terdapat kesamaan dimana
konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan
dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan
atau orang di sekitarnya. Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan atas
realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada
sebelumnya, inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut dengan konstruksi sosial.
A. Eksternalisasi
8
untuk mengatur pengalaman individu yang berubah-ubah sehingga masyarakat
terhindar dari kekacauan dan dari situasi tanpa makna.
Dalam momen eksternalisasi ini, kenyataan sosial itu ditarik keluar dari
individu. Didalam momen ini, realitas sosial berupa proses adaptasi dengan
kekuasaan, hukum, norma, nilai dan sebagainya yang hal itu semua berada diluar diri
manusia, sehingga dalam proses konstruksi sosial melibatkan momen adaptasi diri
atau diadaptasikan antara peraturan tersebut dengan dunia sosio – kultural institusi
yang sudah ada. Peranan sudah dibangun polanya dan dilengkapi dengan lambang
yang mencerminkan pola–pola dari peranan. Dalam kehidupan sehari-hari individu
menyesuaikan dirinya dengan pola kegiatan peranannya serta ukuran dari
pelaksanaan atau performance peranan yang dipilih. Peranan menjadi unit dasar dari
aturan yang terlembaga secara objektif (Sanderson, 2003).
B. Objektivasi
Dalam proses konstruksi sosial, momen ini disebut sebagai interaksi sosial
melalui pelembagaan dan legitimasi. Dalam pelembagaan dan legitimasi tersebut,
agen bertugas untuk menarik dunia subjektifitasnya menjadi dunia objektif melalui
interaksi sosial yang dibangun secara bersama. Pelembagaan akan terjadi manakala
terjadi kesepahaman intersubjektif atau hubungan subjek-subjek. Hal ini terjadi
karena adanya proses eksternalisasi. Ketika dalam proses eksternalisasi semua ciri-
ciri dan simbol-simbol diadaptasikan dan dikenal masyarakat umum. maka
terdapatlah pembeda di antara masyarakat dan terjadilah legitimasi oleh masyarakat.
Satu kasus yang khusus tetapi sangat penting dari objektivasi adalah signifikasi, yakni
9
pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Sebuah tanda dapat dibedakan dari objektivasi-
objektivasi lainnya, karena tujuannya yang eksplisit untuk digunakan sebagai tanda,
isyarat atau indeks bagi makna-makna subejktif. Memang benar bahwa semua
objektivasi dapat digunakan sebagai tanda meskipun mereka semula tidak dibuat
untuk itu. Momen ini terdapatlah realitas sosial pembeda dari realitas lainnya (Syam,
2005).
C. Internalisasi
10
merupakan tujuan dari pada proses sosialisasi itu sendiri. Lebih lagi dijelaskan
bahwa, Sosialisasi sendiri memiliki pengertian yakni proses dimana manusia
berusaha menyerap isi kebudayaan yang berkembang ditempat kelahirannya
(Sanderson, 2003).
11
Sebutan “Bajo”, “Suku Bajo”, atau “Orang Bajo”, umumnya digunakan oleh
penduduk di wilayah Indonesia Timur untuk menyebut suku pengembara laut ini,
yang tersebar di berbagai wilayah (Anwar, 2006). Menurut Francois-robert Zacot
(2008). Suku bajo biasanya membangun pemukiman mereka di tepi laut, tetapi masih
dalam sisi air, tidak di sisi darat. Karena mereka hidup tersebar di wilayah yang luas,
istilah digunakan untuk menunjukkan mereka juga bervariasi tergantung pada lokasi
geografis sekitar pemukiman. (Benny Baskara and Oce Astuti).
Suku Bajo sejak dulu telah menempati laut, pesisir dan kepulauan, bahkan
terkesan mereka tidak bisa melangsungkan aktivitasnya di daratan dibanding dengan
suku lain seperti Bugis-Makassar yang mampu menyelenggarakan kehidupannya di
semua tempat. Hampir setiap program modernisasi berdampak pada kehidupan serta
sistem sosial dalam suatu komunitas tertentu. Suku Bajo mayoritas bekerja sebagai
nelayan secara turun temurun. Oleh karena kehidupan Suku Bajo sangat dekat dengan
laut, maka suatu hal yang perlu dikaji bahwa bagi mereka nelayan dan laut dapat
dipandang sebagai budaya, sumber mencari nafkah ataupun sarana pelestarian
lingkungan laut dan pesisir. Dinamika kehidupan yang sangat sulit dipisahkan dengan
laut, membuat kajian tentang uku Bajo termasuk dari sisi kehidupan sosial menjadi
menarik.
Beberapa kajian yang di lakukan oleh pihal akademisi maupun penelti tentang
kehidupan suku Bajo menunjukkan bahwa mereka merupakan suku bahari yang
umumnya hidup di laut. Suku ini tersebar di kawsan pantai pesisisr Indonesia,
Malaysia Fhilipina dan Brunai darussalam. Suku laut ini sering di beri nama
bermacam macam, seprti di kawasan timur indonesia di sebut Bajo, di kawasan barat
suku ini di sebut orang laut, sedangkan di fhilipina d sebut sama bajau.meskipun suku
ini bermacam macam ,menurut geografisnya memmiliki satu rumpun yaitu suku
bajo.ini di dasarkan kepada adat istiadat,budaya tempat tinggal dan aktifitas
keseharianya yaitu nelayan atau melaut (Suardika, 2014).
12
Pekerjaan utama suku Bajo adalah tingkat pendidikan formal yang rendah.
sebagai nelayan (Hamid, 1987). Mereka Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Yamin
pada Suku Bajo di Kabupaten mengumpulkan hasil hasil laut seperti Bone (1996)
yang menegaskan bahwa ikan, sirip ikan hiu, kerangan-kerangan tingkat pendidikan
Suku Bajo sebelum dan hasil laut lainnya untuk mereka jual. tahun 1970-an sangat
rendah, bahkan Suku Bajo terkenal memiliki kebiasaan, pada umumnya tidak pernah
mengalami keberanian, dan keuletan mengarungi pendidikan formal. Nanti setelah
tahun lautan dengan peralatan yang sederhana seperti sopek, pane' 1970-an, etnis
Bajo mulai menetap dan uig, panah dan pukat berbaur dengan masyarakat sekitarnya
atau jaring.
III. PEMBAHASAN
13
Desa Latawe merupakan salah satu desa di Kabupaten Muna Provinsi
Sulawesi Tenggara yang matoritasnya bekerja sebagai nelayan karena letaknya yang
berada di kawasan pesisir pantai. Seperti halnya kehidupan nelayan pada umumnya,
kehidupan nelayan di Desa Latawe utamanya lapisan buruh dalam kegiatan
produksinya (penangkapan ikan) sebagian besar tergantung dari hubungan baik
dengan pihak juragan (pemilik kapal). Hal tersebut dikarenakan kekurangan ataupun
ketiadaan modal finansial yang memadai. Kekurangan modal tersebut semakin
menambah beban dan tantangan serta persaingan yang besar dalam hal pemanfaatan
sumberdaya laut. Disatu sisi nelayan buruh dengan kemampuan serta keterampilan
menangkap ikan adalah potensi, disisi lain tidak adanya modal adalah kendala,
mengingat wilayah laut adalah wilayah terbuka yang dapat dimanfaatkan oleh siapa
saja yang memiliki kemampuan untuk mengelola sumberdaya yang ada di dalamnya.
Namun beberapa tahun mulai terjadi perubahan pola penangkapan ikan oleh
masyarakat nelayan di Desa Latawe dimana awalnya alat untuk menagkap ikan
menggunakan alat tradisional mulai beralih menggunakan sarana modernisasi berupa
penerapan teknologi kapal mini pursein kapasitas 5 - 10 GT dengan alat tangkap
pukat cincin (gae). Perubahan tersebut terus menerus dilakukan karena pemanfaatan
sumberdaya perikanan yang masih belum optimal dibanding potensi sumberdayanya.
14
nelayan. Oleh karena itu setiap peralihan penggunaan sarana tersebut menimbulkan
perubahan pula pada pola kerja, struktur sosial serta tingkat kesejahteraan nelayan itu
sendiri. Hasil tangkapan yang diperoleh juga berbeda-beda. Pada penggunaan alat
tradisional koli-koli hasil yang diperoleh tidak terlalu banyak oleh karena jangkauan
melaut hanya pada pinggiran pantai. Pada periode selanjutnya hasil yang diperoleh
lebih bisa lebih banyak karena ketergantungan terhadap tenaga fisik nelayan dapat
dibantu oleh mesin.
15
kesejahteraan nelayan setiap penggunaan sarana tersebut. Kesejahteraan tersebut
berdasarkan indikator pendapatan, pola makan, kondisi rumah, pendidikan serta cara
berpakaian anggota keluarga nelayan. Peningkatan pendapatan tersebut adalah
sebagai implikasi dari alih teknologi sarana penangkapan. Penggunaan mesin pada
perahu akan memudahkan kelompok nelayan untuk menentukan wilayah tangkapan
tanpa mempertimbangkan tenaga untuk mendayung. Ukuran perahu yang lebih besar
juga memungkinkan kapasitas muatan hasil tangkapan lebih besar. Disamping itu alat
tangkap yang lebih modern juga menghasilkan tangkapan yang lebih banyak
dibanding sarana sebelumnya.
IV. PENUTUP
16
4.1. Kesimpulan
1. Proses eksternalisasi yang terjadi pada suku bajo di Desa Latawe adalah perubahan
dalam penggunaan alat tangkap ikan dari tradisional ke alat yang lebih modern
akibat adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat itu sendiri apabila
memanfaatkan teknologi modern dibandingkan alat tradisional. Hal ini merupakan
bentuk adaptasi penyesuaian diri terhadap kondisi social lingkungannya.
2. Objektivasi yang terjadi pada masyarakat suku bajo di Desa Latawe dapat dilihat
dengan adanya kelembagaan dalam kegiatan penangkapan ikan dimana
terbentuknya posisi kerja bagi setiap anggota nelayan yang memiliki tugas dan
peranan masing-masing.
3. Internalisasi yang terjadi pada masyarakat nelayan suku bajo di Desa Latawe
terjadi melalui adanya anggapan bahwa dengan menggunakan alat tangkap modern
maka hasil tangkapan yang diperoleh lebih memuaskan dibandingkan hanya
dengan menggunakan alat tangkap tradisional sehingga masyarakat suku bajo
tersebut mulai meninggalkan penggunaan alat tradisional dan memanfaatkan
teknologi modern.
4.2. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan adalah meskipun makalah ini mungkin
jauh dari kesempurnaan penulis mengharapkan dengan adanya makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya.
DAFTAR PUSTAKA
17
Abdulsyani. 2012 Sosiologi Skematik, Teori dan Terapan. Bumi Aksara. Jakarta.
Anwar, 2006. Kajian Pendidikan dan Kebudayaan Bajo, Tinjauan Historis dan
Kontemporer, makalah Seminar Perumusan Naskah Sejarah (tidak terbit),
Kendari: Universitas Haluoleo.
Berger., Peter. L.1991. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial. Jakarta.
Ian, Rory. 1997. Pendekatan Konstruksi Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
18