Anda di halaman 1dari 18

SOSIOLOGI MARITIM

KONSTRUKSI SOSIAL MASYARAKAT MARITIM PADA PENGGUNAAN


ALAT TANGKAP SUKU BAJO

(Studi Kasus Suku Bajo Di Desa Latawe Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi
Tenggara)

Oleh :

Elsa Damayanti Darlin


(P032191009)

PROGRAM STUDI PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2019

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat dan limpahan rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan sebuah
makalah dengan tepat waktu.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul
“Konstruksi Sosial Masyarakat Maritim Suku Bajo ” yang menurut penulis dapat
memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajarinya.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon
memaklumi bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang penulis
buat kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca.
Dengan ini penulis mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima
kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan
manfaat.

Makassar, Desember 2019

Elsa Damayanti Darlin

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................... 1

KATA PENGANTAR........................................................................................ 2

DAFTAR ISI...................................................................................................... 3

I PENDAHULUAN

1.1.. Latar Belakang............................................................................ 4


1.2. Rumusan Masalah....................................................................... 5

1.3. Tujuan …………………………………………………………. 5

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konstruksi Sosial ........................................................................ 6


2.2. Kehidupan Masyarakat Suku Bajo.............................................. 12

III PEMBAHASAN …………………………………………………..... 16

IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan …………………………………………………….. . 18
4.2. Saran……………………………………………………………. . 18

DAFTAR PUSTAKA

3
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahandi darat dan laut, sedangkan Perairan Pesisir adalah laut
yang berbatasan dengan daratan meliputi perairansejauh 12 (dua belas) mil laut
diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungan pantai dan pulau- pulau,
estuary, teluk perairan dangkal, rawa payau, dan laguna.

Secara geografis, letak kepulauan Nusantara (Indonesia) sangat strategis


dalam konteks perdagangan laut internasional antara dunia Barat dan Timur. Pada
berbagai wilayah tersebut laut merupakan penghubung antara pulau-pulau tersebut
disamping sebagai tempat utama kegiatan penangkapan ikan serta hasil laut lainnya
oleh nelayan.

Indonesia sebagai Negara Kepulauan, yang luas wilayahnya 70% merupakan


wilayah lautan. Di wilayah lautan ini terkandung potensi ekonomi kelautan yang
sangat besar dan beragam, antara lain sumber daya ikan. Dengan melimpahnya
sumber daya ikan maka seharusnya pendapatan nelayan sangatlah memadai untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun dalam realita tidaklah demikian, kemiskinan
masih banyak melanda kehidupan nelayan. Dari sisi ekonomi hasil tangkapan nelayan
masih jauh dari memadahi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini disebabkan
karena minimnya modal yang dimiliki nelayan, tekanan dari pemilik modal, sistem
bagi hasil yang tidak adil, perdagangan atau pelelangan ikan yang tidak transparan
(dikuasai tengkulak) dan otoritas tidak punya wibawa untuk mengatur dan
menegakkan aturan. Serta pola atau budaya kerja yang masih apa adanya.

Kehidupan nelayan utamanya lapisan buruh dalam kegiatan produksinya


(penangkapan ikan) sebagian besar tergantung dari hubungan baik dengan pihak

4
juragan (pemilik kapal). Hal tersebut dikarenakan kekurangan ataupun ketiadaan
modal finansial yang memadai. Kekurangan modal tersebut semakin menambah
beban dan tantangan serta persaingan yang besar dalam hal pemanfaatan sumberdaya
laut. Disatu sisi nelayan buruh dengan kemampuan serta keterampilan menangkap
ikan adalah potensi, disisi lain tidak adanya modal adalah kendala, mengingat
wilayah laut adalah wilayah terbuka yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja yang
memiliki kemampuan untuk mengelola sumberdaya yang ada di dalamnya.

Modernisasi melalui peningkatan dan penggunaan teknologi alat tangkap serta


bantuan permodalan berimplikasi pada kegiatan serta organisasi penangkapan ikan
dan pada akhirnya terjadi perubahan dalam suatu komunitas. Program motorisasi
perahu dan modernisasi perikanan tangkap pada 1980-an yang dikenal dengan istilah
Revolusi Biru, menurut Solihin (Hamzah et al, 2016) bukannya menciptakan
perikanan tambah maju dan pelakunya (nelayan) menjadi sejahtera. Hal tersebut
menjadi perhatian karena tidak semua lapisan nelayan dapat memanfaatkan peluang
modernisasi. Sebelum program modernisasi perikanan oleh pemerintah, nelayan Suku
Bajo masih didominasi oleh sistem perikanan tradisional, dimana salah satu cirinya
adalah struktur komunitas homogen dan tingkat diferensiasi sosial yang masih
rendah.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penuliasan ini adalah bagaimana bentuk


konstruksi social masyarakat maritim terhadap penggunaan alat tangkap suku bajo?

1.3. Tujuan

Adapun tujuan dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui bentuk


konstruksi social masyarakat maritim terhadap penggunaan alat tangkap suku ba

5
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konstruksi Sosial

Istilah konstruksi sosial atas realitas (sosial construction of reality)


didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu
menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama
secara subyektif (Poloma, 2004).

Asal usul konstruksi sosial dari filsafat kontruktivisme dimulai dari gagasan-
gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pengertian konstruktif
kognitif muncul dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan
disebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagsan
pokok Konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang
epistemologi dari Italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme (Suparno, 1977).

Konstruksi sosial memiliki arti yang luas dalam ilmu sosial. Hal ini biasanya
dihubungkan pada pengaruh sosial dalam pengalaman hidup individu. Asumsi
dasarnya pada “realitas adalah konstruksi sosial” dari Berger dan Luckmann.
Selanjutnya yang dikatakan bahwa konstruksi sosial memiliki berberapa kekuatan.
Pertama, peran sentral bahasa memberikan menkanisme konkret, dimana budaya
mempengaruhi pikiran dan tingkah laku individu. Kedua, konstruksi sosial dapat
mewakili kompleksitas dalam satu budaya tunggal. Hal ini tidak mengansumsikan
keseragaman. Ketiga, hal ini bersifat konsisten dengan masyarakat dan waktu
(Ngangi, 2011).

Menurut DeLamater dan Hyde juga bahwa konstruksi sosial menyatakan tidak
ada kenyataan pokok yang benar. Realitas adalah konstruksi sosial ole karena itu
fenomena seperti homoseksual adalah konstruksi sosial. Hasil dari suatu budaya,
bahasanya, dan juga institusi-institusi. Konstruksi sosial juga memfokuskan bukan

6
pada pasangan seksualitas yang menarik tapi pada variasi-variasi budaya dalam
mempertimbangkan yang menarik itu (Ngangi,2011).

Konstruksi sosial adalah sebuah pandangan bahwa semua nilai, ideologi dan
institusi sosial adalah buatan manusia. Konstruksi sosial merupakan sebuah
pernyataan keyakinan dan juga sebuah sudut pandang bahwa kandungan dari
kesadran dan cara berhubungan dengan orang lain itu diajarkan oleh kebudayaan dan
masyarakat.3 Tercakup di dalamnya pandangan bahwa kuantitas metafisik riil dan
abstrak yang dianggap sebagai suatu kepastian itu dipelajari dari orang lain di sekitar
kita (Ian, 1997)

Menurut Suparno(1997) Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme yakni


konstruktivisme radikal; realisme hipotesis dan konstruktivisme biasa. Dari ketiga
tersebut, akan dijelaskan lebih lanjut dibawah ini :

 Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh


pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dari dunia nyata. Kaum
konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan
kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Bagi mereka pengetahuan tidak
merefleksi suatu realitas ontologisme obyektif, namun sebuah realitas yang
dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan
konstruksi dari individdu yang mengetahui dan tidak dapat ditransfer kepada
individu lain yang pasif karena itu konstruksi harus dilakukan sendiri olehnya
terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah saran terjadinya
konstruksi itu.
 Realisme hipotesis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas
yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki.
 Konstruktivisme biasa mengambil semua konsekuensi konstruktivisme dan
memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu. Kemudian
pengetahuan individu dipandang sebagai gambaran yang dibentuk dari realitas
obyektif dalam dirinya sendiri

7
Dari ketiga macam konstruktivisme, terdapat kesamaan dimana
konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan
dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan
atau orang di sekitarnya. Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan atas
realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada
sebelumnya, inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut dengan konstruksi sosial.

A. Eksternalisasi

Eksternalisasi adalah sebuah kebutuhan antropologis. Seorang manusia


sebagaimana kita mengenalinya secara empiris, tidak akan bisa dipahami secara
terpisah dari konteks keterlibatan dia dengan masyarakat dimana dia hidup. Manusia
tidak bisa dipahami sebagai dirinya sendiri, yang tercabut dari struktur jejaring
sosialitasnya. Sejak awal keberadaannya, manusia berangkat dan tumbuh dalam
ruangruang yang telah terdefinisikan secara sosial. Menurut Berger proses
eksternalisasi yakni proses penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai
produk manusia. Hal ini adalah suatu pencurahan ke diri manusia secara terus-
menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik ataupun mentalnya (Berger,
1991).

Harus diakui adanya eksistensi kenyataan sosial objektif yang ditemukan


dalam hubungan individu dengan lembaga-lembaga sosial. Selain itu, aturan sosial
atau hukum yang melandasi lembaga sosial bukan lah hakikat dari lembaga, karena
lembaga itu ternyata hanya produk buatan manusia dan produk dari kegiatan manusia.
Ternyata struktur sosial yang objektif merupakan suatu perkembangan aktivitas
manusia dalam proses eksternalisasi atau interaksi manusia dengan struktur sosial
yang sudah ada. Aturan-aturan sosial yang bersifat memaksa secara dialektis
bertujuan untuk memelihara struktur sosial yang sudah berlaku, tetapi belum tentu
menyelesaikan proses eksternalisasi individu yang berada dalam struktur itu.
Sebaliknya, dalam pengalaman sejarah umat manusia, kenyataan objektif dibangun

8
untuk mengatur pengalaman individu yang berubah-ubah sehingga masyarakat
terhindar dari kekacauan dan dari situasi tanpa makna.

Dalam momen eksternalisasi ini, kenyataan sosial itu ditarik keluar dari
individu. Didalam momen ini, realitas sosial berupa proses adaptasi dengan
kekuasaan, hukum, norma, nilai dan sebagainya yang hal itu semua berada diluar diri
manusia, sehingga dalam proses konstruksi sosial melibatkan momen adaptasi diri
atau diadaptasikan antara peraturan tersebut dengan dunia sosio – kultural institusi
yang sudah ada. Peranan sudah dibangun polanya dan dilengkapi dengan lambang
yang mencerminkan pola–pola dari peranan. Dalam kehidupan sehari-hari individu
menyesuaikan dirinya dengan pola kegiatan peranannya serta ukuran dari
pelaksanaan atau performance peranan yang dipilih. Peranan menjadi unit dasar dari
aturan yang terlembaga secara objektif (Sanderson, 2003).

B. Objektivasi

Objektivasi adalah disandangnya produk-produk aktivitas itu dalam interaksi


sosial dengan intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses intitusional.
Pada momen objektivasi ada proses pembedaan antara dua realitas sosial, yaitu
realitas diri individu dan realitas sosial lain yang berada diluarnya, sehingga realitas
itu menjadi sesuatu yang objektif.

Dalam proses konstruksi sosial, momen ini disebut sebagai interaksi sosial
melalui pelembagaan dan legitimasi. Dalam pelembagaan dan legitimasi tersebut,
agen bertugas untuk menarik dunia subjektifitasnya menjadi dunia objektif melalui
interaksi sosial yang dibangun secara bersama. Pelembagaan akan terjadi manakala
terjadi kesepahaman intersubjektif atau hubungan subjek-subjek. Hal ini terjadi
karena adanya proses eksternalisasi. Ketika dalam proses eksternalisasi semua ciri-
ciri dan simbol-simbol diadaptasikan dan dikenal masyarakat umum. maka
terdapatlah pembeda di antara masyarakat dan terjadilah legitimasi oleh masyarakat.
Satu kasus yang khusus tetapi sangat penting dari objektivasi adalah signifikasi, yakni

9
pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Sebuah tanda dapat dibedakan dari objektivasi-
objektivasi lainnya, karena tujuannya yang eksplisit untuk digunakan sebagai tanda,
isyarat atau indeks bagi makna-makna subejktif. Memang benar bahwa semua
objektivasi dapat digunakan sebagai tanda meskipun mereka semula tidak dibuat
untuk itu. Momen ini terdapatlah realitas sosial pembeda dari realitas lainnya (Syam,
2005).

C. Internalisasi

Internalisasi adalah peresapan kembali realitas-realitas yang ada di luar


individu dan menstransformasikannya dari struktur dunia objektif kedalam struktur
kesadaran dunia subjektif. Melalui internalisasi, maka manusia merupakan hasil dari
masyarakat. Pada momen internalisasi, dunia relitas sosial yang objektif tersebut
dimasukan kembali kedalam diri individu, sehingga seakan-akan berada dalam diri
individu. Proses penarikan kedalam ini melibatkan lembaga yang terdapat dalam
masyarakat. Lembaga berperan dalam proses ini dikarenakan wujud konkret dari
pranata sosial. Pranata sosial meliputi aturan, norma, adat-istiadat dan semacamnya
yang mengatur kebutuhan masyarakat dan telah terinternalisasi dalam kehidupan
manusia, dengan kata lain pranata sosial ialah sistem atau norma yang telah
melembaga atau menjadi kelembagaan di suatu masyarakat(Bungin, 2007). Oleh
karena itu untuk melestarikan identifikasi tersebut maka digunakanlah sosialisasi.
Dalam hidup bermasyarakat manusia senantiasa dituntut untuk mampu menyesuaikan
diri dengan lingkungan sosialnya melalui suatu proses. Proses ini dapat disebut proses
penyesuaian diri individu kedalam kehidupan sosial, atau lebih singkat dapat disebut
dengan sosialisasi (Abdulsyani, 2012).

Manusia sebagai makhluk individu agar dapat mempertahankan eksistensinya


dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat maka mau tidak mau atau pun secara
tidak sadar proses pembauran atau sosialisasi akan terjadi pada diri individu tersebut.
Ini juga dilakukan agar individu tersebut dapat diterima oleh masyarakat, karena itu

10
merupakan tujuan dari pada proses sosialisasi itu sendiri. Lebih lagi dijelaskan
bahwa, Sosialisasi sendiri memiliki pengertian yakni proses dimana manusia
berusaha menyerap isi kebudayaan yang berkembang ditempat kelahirannya
(Sanderson, 2003).

Dalam kehidupan manusia, objektivasi, internalisasi, dan eksternalisasi


merupakan tiga proses yang berjalan secara terus menerus. Dengan adanya dunia
sosial objektif yang membentuk individu-individu dalam arti manusia adalah produk
dari masyarakat. Beberapa dari dunia ini eksis dalam bentuk hukum-hukum yang
mencerminkan norma-norma sosial. Aspek lain dari relitas objektif bukan sebagai
realitas yang langsung dapat diketahui, tetapi bisa mempengaruhi segalanya, mulai
dari cara berpakaian, cara berbicara, realitas sosial yang objektif ini dipantulkan oleh
orang lain yang cukup berarti bagi individu itu sendri (walaupun realitas yang
diterima tidak selalu sama antara individu satu dengan yang lain). Pada dasarnya
manusia tidak seluruhnya ditentukan oleh lingkungan, dengan kata lain proses
sosialisasi bukan suatu keberhasilan yang tuntas, manusia mempunyai peluang untuk
mengeksternalisir atau secara kolektif membentuk dunia sosial mereka.

Eksternalisasi mengakibatkan terjadinya perubahan sosial. Mereka


memperkenalkan konsep konstruksionisme realitas kehidupan sehari-hari memiliki
dimensi subjektif dan objektif. Manusia sebagai instrumen dalam menciptakan
realitas sosial yang objektif melalui proses ekternalisasi, sebagaimana ia
mempengaruhi melalui proses internalisasi. Masyarakat merupakan produk manusia
dan manusia merupakan produk masyarakat.

2.2. Kehidupan Masyarakat Suku Bajo

11
Sebutan “Bajo”, “Suku Bajo”, atau “Orang Bajo”, umumnya digunakan oleh
penduduk di wilayah Indonesia Timur untuk menyebut suku pengembara laut ini,
yang tersebar di berbagai wilayah (Anwar, 2006). Menurut Francois-robert Zacot
(2008). Suku bajo biasanya membangun pemukiman mereka di tepi laut, tetapi masih
dalam sisi air, tidak di sisi darat. Karena mereka hidup tersebar di wilayah yang luas,
istilah digunakan untuk menunjukkan mereka juga bervariasi tergantung pada lokasi
geografis sekitar pemukiman. (Benny Baskara and Oce Astuti).

Suku Bajo sejak dulu telah menempati laut, pesisir dan kepulauan, bahkan
terkesan mereka tidak bisa melangsungkan aktivitasnya di daratan dibanding dengan
suku lain seperti Bugis-Makassar yang mampu menyelenggarakan kehidupannya di
semua tempat. Hampir setiap program modernisasi berdampak pada kehidupan serta
sistem sosial dalam suatu komunitas tertentu. Suku Bajo mayoritas bekerja sebagai
nelayan secara turun temurun. Oleh karena kehidupan Suku Bajo sangat dekat dengan
laut, maka suatu hal yang perlu dikaji bahwa bagi mereka nelayan dan laut dapat
dipandang sebagai budaya, sumber mencari nafkah ataupun sarana pelestarian
lingkungan laut dan pesisir. Dinamika kehidupan yang sangat sulit dipisahkan dengan
laut, membuat kajian tentang uku Bajo termasuk dari sisi kehidupan sosial menjadi
menarik.

Beberapa kajian yang di lakukan oleh pihal akademisi maupun penelti tentang
kehidupan suku Bajo menunjukkan bahwa mereka merupakan suku bahari yang
umumnya hidup di laut. Suku ini tersebar di kawsan pantai pesisisr Indonesia,
Malaysia Fhilipina dan Brunai darussalam. Suku laut ini sering di beri nama
bermacam macam, seprti di kawasan timur indonesia di sebut Bajo, di kawasan barat
suku ini di sebut orang laut, sedangkan di fhilipina d sebut sama bajau.meskipun suku
ini bermacam macam ,menurut geografisnya memmiliki satu rumpun yaitu suku
bajo.ini di dasarkan kepada adat istiadat,budaya tempat tinggal dan aktifitas
keseharianya yaitu nelayan atau melaut (Suardika, 2014).

12
Pekerjaan utama suku Bajo adalah tingkat pendidikan formal yang rendah.
sebagai nelayan (Hamid, 1987). Mereka Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Yamin
pada Suku Bajo di Kabupaten mengumpulkan hasil hasil laut seperti Bone (1996)
yang menegaskan bahwa ikan, sirip ikan hiu, kerangan-kerangan tingkat pendidikan
Suku Bajo sebelum dan hasil laut lainnya untuk mereka jual. tahun 1970-an sangat
rendah, bahkan Suku Bajo terkenal memiliki kebiasaan, pada umumnya tidak pernah
mengalami keberanian, dan keuletan mengarungi pendidikan formal. Nanti setelah
tahun lautan dengan peralatan yang sederhana seperti sopek, pane' 1970-an, etnis
Bajo mulai menetap dan uig, panah dan pukat berbaur dengan masyarakat sekitarnya
atau jaring.

III. PEMBAHASAN

13
Desa Latawe merupakan salah satu desa di Kabupaten Muna Provinsi
Sulawesi Tenggara yang matoritasnya bekerja sebagai nelayan karena letaknya yang
berada di kawasan pesisir pantai. Seperti halnya kehidupan nelayan pada umumnya,
kehidupan nelayan di Desa Latawe utamanya lapisan buruh dalam kegiatan
produksinya (penangkapan ikan) sebagian besar tergantung dari hubungan baik
dengan pihak juragan (pemilik kapal). Hal tersebut dikarenakan kekurangan ataupun
ketiadaan modal finansial yang memadai. Kekurangan modal tersebut semakin
menambah beban dan tantangan serta persaingan yang besar dalam hal pemanfaatan
sumberdaya laut. Disatu sisi nelayan buruh dengan kemampuan serta keterampilan
menangkap ikan adalah potensi, disisi lain tidak adanya modal adalah kendala,
mengingat wilayah laut adalah wilayah terbuka yang dapat dimanfaatkan oleh siapa
saja yang memiliki kemampuan untuk mengelola sumberdaya yang ada di dalamnya.

Sejak dahulu nelayan di Desa Latawe menggunakan berbagai jenis sarana


tangkap berupa perahu dan alat tangkap untuk menangkap ikan di laut. Penggunaan
berbagai sarana tangkap tersebut terdiri dari perahu tradisional dengan penggerak
dayung (boseh) dalam istilah lokal koli-koli, dengan alat tangkap pancing atau jaring
tassi. Selanjutnya nelayan menggunakan perahu layar motor (ngkuru-ngkuru), dengan
alat tangkap pancing dan jaring tassi (pukak tassi).

Namun beberapa tahun mulai terjadi perubahan pola penangkapan ikan oleh
masyarakat nelayan di Desa Latawe dimana awalnya alat untuk menagkap ikan
menggunakan alat tradisional mulai beralih menggunakan sarana modernisasi berupa
penerapan teknologi kapal mini pursein kapasitas 5 - 10 GT dengan alat tangkap
pukat cincin (gae). Perubahan tersebut terus menerus dilakukan karena pemanfaatan
sumberdaya perikanan yang masih belum optimal dibanding potensi sumberdayanya.

Penggunaan setiap jenis sarana tersebut menimbulkan konsekuensi atau


dampak yang terjadi yakni pola kerja, struktur sosial serta tingkat kesejahteraan

14
nelayan. Oleh karena itu setiap peralihan penggunaan sarana tersebut menimbulkan
perubahan pula pada pola kerja, struktur sosial serta tingkat kesejahteraan nelayan itu
sendiri. Hasil tangkapan yang diperoleh juga berbeda-beda. Pada penggunaan alat
tradisional koli-koli hasil yang diperoleh tidak terlalu banyak oleh karena jangkauan
melaut hanya pada pinggiran pantai. Pada periode selanjutnya hasil yang diperoleh
lebih bisa lebih banyak karena ketergantungan terhadap tenaga fisik nelayan dapat
dibantu oleh mesin.

Dari segi efisiensi, masyarakat Desa Latawe menganggap dengan


menggunakan teknologi baru pekerjaan sawi menjadi lebih ringan dibandingkan
ketika menggunakan teknologi lama. Pada masa sebelumnya nelayan
memperhitungkan resiko tenaga serta jarak yang sukar dijangkau. Pekerjaan lebih
santai, tidak memerlukan tenaga untuk mendayung, serta tidak memerlukan
perawatan pukat yang sering seperti jaring kecil sebelumnya.

Selain itu penggunaan alat tangkap modern menyebabkan terbentuknya posisi


kerja dalam masyarakat nelayan di Desa Latawe dimana dulunya nelayan baik yang
terdiri dari ponggawa dan sawi saling terpisah, kini terdapat perubahan dimana dari
masing –masing nelayan memiliki posisi yang baru dalam kegiatan penangkapan
ikan. Terbentuknya posisi kerja tersebut adalah dimana Nahkoda atau ponggawa
memiliki posisi atau tugas yaitu mengemudikan kapal, menentukan arah kapal, dan
menentukan lokasi penangkapan. Kemudian posisi kedua ditempati oleh masinis/bass
yang bertugas untuk mengoperasikan, merawat, dan memperbaiki mesin. Pakacca
bertugas untuk mengamati jumlah ikan sebelum ditarik. Tukang listrik bertugas untuk
menjalankan dan mengoperasikan mesin generator. Tukang lingkar bertugas untuk
melingkarkan pukat disekeliling lampu. Tukang Tare (tukang tarik) bertugas untuk
menarik pukat keatas kapal. Tukang Bage bertugas untuk Memilah ikan sesuai jenis
dan ukurannya dan membagi bonus (jame-jame) bagi sawi. Kemudian yang terakhir
adalah Tukang Lume bertugas untuk Membersihkan air laut dan kotoran lain yang
masuk ke dalam kapal. Dari pembagian tersebut maka terjadi pula perubahan

15
kesejahteraan nelayan setiap penggunaan sarana tersebut. Kesejahteraan tersebut
berdasarkan indikator pendapatan, pola makan, kondisi rumah, pendidikan serta cara
berpakaian anggota keluarga nelayan. Peningkatan pendapatan tersebut adalah
sebagai implikasi dari alih teknologi sarana penangkapan. Penggunaan mesin pada
perahu akan memudahkan kelompok nelayan untuk menentukan wilayah tangkapan
tanpa mempertimbangkan tenaga untuk mendayung. Ukuran perahu yang lebih besar
juga memungkinkan kapasitas muatan hasil tangkapan lebih besar. Disamping itu alat
tangkap yang lebih modern juga menghasilkan tangkapan yang lebih banyak
dibanding sarana sebelumnya.

IV. PENUTUP

16
4.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut maka konstruksi social yang terjadi pada


masyarakat maritime suku bajo di Desa Latawe Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi
Tenggara terhadap penggunaan alat tangkap adalah :

1. Proses eksternalisasi yang terjadi pada suku bajo di Desa Latawe adalah perubahan
dalam penggunaan alat tangkap ikan dari tradisional ke alat yang lebih modern
akibat adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat itu sendiri apabila
memanfaatkan teknologi modern dibandingkan alat tradisional. Hal ini merupakan
bentuk adaptasi penyesuaian diri terhadap kondisi social lingkungannya.

2. Objektivasi yang terjadi pada masyarakat suku bajo di Desa Latawe dapat dilihat
dengan adanya kelembagaan dalam kegiatan penangkapan ikan dimana
terbentuknya posisi kerja bagi setiap anggota nelayan yang memiliki tugas dan
peranan masing-masing.

3. Internalisasi yang terjadi pada masyarakat nelayan suku bajo di Desa Latawe
terjadi melalui adanya anggapan bahwa dengan menggunakan alat tangkap modern
maka hasil tangkapan yang diperoleh lebih memuaskan dibandingkan hanya
dengan menggunakan alat tangkap tradisional sehingga masyarakat suku bajo
tersebut mulai meninggalkan penggunaan alat tradisional dan memanfaatkan
teknologi modern.

4.2. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan adalah meskipun makalah ini mungkin
jauh dari kesempurnaan penulis mengharapkan dengan adanya makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya.

DAFTAR PUSTAKA

17
Abdulsyani. 2012 Sosiologi Skematik, Teori dan Terapan. Bumi Aksara. Jakarta.

Anwar, 2006. Kajian Pendidikan dan Kebudayaan Bajo, Tinjauan Historis dan
Kontemporer, makalah Seminar Perumusan Naskah Sejarah (tidak terbit),
Kendari: Universitas Haluoleo.

Berger., Peter. L.1991. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial. Jakarta.

Bungin, Bungin. 2007. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma dan Diskursus


Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Kencana. Jakarta.

Hamid, Abu. 1987. Suatu Tinjauan Sosio Antropologi Ekonomi Peningkatan


Kehidupan Nelayan dan Sektor Kemaritiman di Su1.SeL Ujung Pandang:
Universitas Hasanuddin.

Ian, Rory. 1997. Pendekatan Konstruksi Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

Ngangi, Charles R. Konstruksi Sosial dalam Realitas Sosial-Volume 7 Nomor 2,


(Mei 2011),hlm.hlm.53.

Poloma, Margareth,. 2004. Sosiologi Kontemporer. PT. Raja Grafindo Persada.


Jakarta.

Syam, Nur. 2005. Islam Pesisir. LKiS. Yogyakarta.

Sanderson, Stephen,. 2003. Makro Sosiologi. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Suparno. 1977. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Kanisius . Yogyakarta.

Suardika.I., Ketut. 2014. Problematika Pendidikan Suku Bajo, Penerbit Ombak


Yogyakarta

18

Anda mungkin juga menyukai