PENDAHULUAN
Ibadah haji adalah Rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban sekali
seumur hidup bagi setiap orang Islam yang mampu menunaikannya. Dalam Alquran
Surat Ali Imran ayat 97 dijelaskan bahwa mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu (istithaah) mengadakan
perjalanan ke Baitullah. Dengan demikian, istithaah menjadi hal penting dalam
pelaksanaan ibadah haji, yang dalam Fiqih Islam, Istithaah (termasuk Istithaah
Kesehatan) dinyatakan sebagai salah satu syarat wajib untuk melaksanakan ibadah
haji.1,2
Ibadah haji adalah ibadah fisik, sehingga jemaah haji dituntut mampu secaram
fisik dan rohani agar dapat melaksanakan rangkaian ibadah haji dengan baik dan
lancar. Salah satu kegiatan penyelenggaraan kesehatan haji yang sangat penting dan
strategis adalah serangkaian upaya kegiatan melalui program pemeriksaan dan
pembinaan kesehatan haji agar terpenuhinya kondisi istithaah kesehatan (kemampuan
kesehatan jemaah haji untuk melakukan serangkaian aktivitas rukun dan wajib haji).
Penyelenggaraan kesehatan haji menuju istithaah kemudian diatur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) Nomor 15 Tahun 2016
tentang Istithaah Kesehatan Jemaah Haji.1,4
Dalam rangka memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dalam
bidang kesehatan kepada jemaah haji, perlu pula memperhatikan dan
mempertimbangkan amanah Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 menyatakan bahwa pembangunan
kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia
setinggi-tingginya melalui peningkatan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang termasuk masyarakat Indonesia yang melaksanakan ibadah
haji.2,3
1
Kesehatan Jiwa adalah suatu kondisi kesehatan yang memungkinkan seseorg
hidup harmonis dan produktif sebagai bagian yang utuh dari kualias hidupnya dengan
memperhatikan semua segi kehidupan manusia.1
Pada umumnya pasien yang mengalami gangguan jiwa berat antara lain
skizofrenia berat, dimensia berat, maupun retardasi mental berat tidak memenuhi
syarat untuk melakukan perjalanan haji. Berbeda dengan pasien dengan gangguan
jiwa yang lebih ringan yang masih diperbolehkan untuk melakukan ibadah haji, tetapi
dengan perhatian khusus oleh petugas.2,3
Adapun penanganan yang diperlukan oleh pasien yang mengalami gangguan
jiwa saat melakukan ibadah haji yaitu sesuai dengan klinis yang timbul pada pasien
seperti pasien yang dengan gangguan cemas, seorang petugas kesehatan haji harus
memberikan pendampingan serta memberikan terapi berupa obat-obatan yang dapat
mengurangi gejala dari kecemasan. Dengan penanganan yang tepat dan
pendampingan, maka pasien yang mengalami gangguan jiwa akan lebih terarah dalam
melakukan ibadah haji.1,2
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kesehatan Haji
1. Defini
Secara umum, Istithaah Kesehatan Jemaah Haji didefinisikan sebagai
kemampuan jemaah haji dari aspek kesehatan yang meliputi fisik dan mental yang
terukur dengan pemeriksaan dan pembinaan yang dapat dipertanggungjawabkan
sehingga jemaah haji dapat menjalankan ibadahnya sesuai tuntunan agama Islam.
Untuk memenuhi kriteria istithaah kesehatan, persiapan sejak dini di Tanah Air harus
dilakukan sebagai upaya pemerintah dalam mengantar jemaah haji sehat sejak di
Indonesia, selama perjalanan, dan di Arab Saudi selama menjalankan ibadah haji.2
3
B. Kesehatan Jiwa
1. Definisi
Kesehatan Jiwa adalah suatu kondisi kesehatan yang memungkinkan seseorang
hidup harmonis dan produktif sebagai bagian yang utuh dari kualias hidupnya dengan
memperhatikan semua segi kehidupan manusia.3,5
Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat adalah
tujuan utama dalam melakukan pelayanan kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera
yang harus dilakukan secara tepat adalah: 1,6
4
- Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan oeh seorang dokter di
unit gawat darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien. Tekanan ddarah,
suhu, nadi adalah sesuatu yang mudah diukur dan dapat memberikan
informasi bermakna. Misalnya seorang yang gaduh gelisah dan mengalami
halusinasi, demam, frekuensi nadi 120 per-menit dan tekanan darah
meningkat, kemungkinan besar mengalami delirium dibandingkan dengan
suatu gangguan psikiatrik.
Lima hal yang harus ditentukan sebelum menangani pasien selanjutnya: 1,6
a. Keamanan pasien. Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat
memastikan bahwa situasi di UGD, jumlah pasien di ruangan tersebut
aman bagi pasien. Jika intervensi verbal tidak cukup atau kontraindikasi,
perlu dipikirkan pemberian obat atau pengekangan.
b. Medik atau psikiatrik ? Penting bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya
medik, psikiatrik atau kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan
jauh berbeda. Kondisi medik umum seperti trauma kepala, infeksi berat
dengan demam inggi, kelainan metabolisme, intoksikasi atau gejala putus
zat seringkali menyebabkan gangguan fungsi mental yang menyerupai
gangguan psikiatrik umumnya. Dokter gawat darurat tetap harus
menelusuri semua kemungkinan penyebab gangguan fungsi mental yang
tampak.
c. Psikosis. Yang penting bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi seberapa
jauh ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya tilikan. Hal
ini dapat mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang kita berikan
serta kepatuhannya dalam berobat.
d. Suicidal atau homicidal. Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri
harus dobservasi secara ketat. Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan
tindak kekerasan atau pikiran bunuh diri harus selalu ditanyakan kepada
pasien.
5
e. Kemampuan merawat diri sendiri. Sebelum memulangkan pasien, harus
dipertimbangkan apakah pasien mampu merawat dirinya sendir, mampu
menjalankan saran yang dianjurkan. Ketidak mampuan pasien dan atau
keluarganya untuk merawat pasien di rumah merupakan salah satu indikasi
rawat inap.
6
Ketika seseorang berusia lanjut, kepikunan sebenarnya merupakan hal biasa di
Tanah Air karena adanya dukungan keluarga dan lingkungan yang cukup familiar
bagi lansia. Namun, dalam ibadah haji, lingkungannya jelas berubah dan berbeda,
mulai dari teman sampai situasi. "Ini berakibat seseorang yang lambat dalam
beradaptasi bisa merasa asing. Selain pikun, keterasingan bagi orang lansia akan
menyebabkan dampak-dampak lain yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan. 2,3,6
Adapun masalah kesehatan jiwa yang sering terjadi pada jamaah yang sedang
menunaikan ibadah haji yaitu : 2,3,6
1. Gangguan Cemas
2. Depresi Ringan
3. Depresi Sedang
4. Dimensia
Ketika dalam keadaan kesehatan jiwa terganggu, biasanya para jamaah haji
akan memperlihatkan perilaku yang berbeda pada saat pertama sampai diArab Saudi.
Adapun perubahan sikap yang diperlihatkan jamaah berupa : 2,3,6
a. Gangguan Depresi
a) Merasa murung, mudah sedih
b) Hilang minat & ketertarikan terhadap aktivitas yang biasanya menyenangkan
c) Perasaan mudah lelah, gangguan lambung, sakit kepala, atau keluhan
d) Fisik lain yang berkepanjangan
e) Gangguan tidur
b. Gangguan Cemas
a) Merasa kuatir atau takut yang berlebihan
b) Merasa gelisah atau tidak dapat duduk tenang
c) Mudah berkeringat dingin, berdebar-debar, gemetar, keluhan fisik lain seperti
pusing, mual
7
c. Dimensia
a) Masalah dengan memori (kepikunan yang berat)
b) Orientasi terganggu (kesadaran akan waktu, tempat, dan orang)
c) Kehilangan kontrol emosional (mudah kecewa dan marah)
d) Iritabel (mudah menangis)
e) Bermasalah pada perilaku dan kesulitan dalam aktivitas sehari-hari
Hal ini paling sering terjadi pada jamaah yang berusia lanjut, akibat proses
adaptasi yang buruk dan juga karena adanya proses degenerasi yang tidak dapat
dihindari. 2,3,6
Apabila Masalah kejiwaan ini terus berlanjut dan tidak ditangani dengan cepat
dan tepat, jamaah haji yang mengalami gangguan jiwa akan semakin memberat dan
akan menyebabkan distress dan disability sehingga prognosis dari gangguan jiwa
semakin buruk. 2,3,6
(Bila jumlah jawaban "YA": Sebanyak 3 (tiga) atau lebih pada pertanyaan 1-7 Atau Sebanyak 1 atau
lebih pada pertanyaan 8-10. Sebaiknya menghubungi petugas kesehatan haji) 2,3,6
8
E. Penanganan Kesehatan Jiwa Jamaah Haji
1. Psikoterapi.6
9
c. Psikoterapi Dinamik Jangka Pendek
Pokok-pokok pendekatan psikoterapeutik ini adalah fleksibilitas (terapis harus
mengadaptasi teknik dengan kebutuhan pasien). Pengandalian kecenderungan regresif
pasien, intervensi aktif sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan pasien untuk
mengembangkan ketergantungan yang berlebihan pada terapis, dan tilikan intelektual
pasien serta pengalaman emosional didalam transferens. Pengalaman emosional ini
menjadi korektif sebagai akibat dari interpretasi. 6
d. Psikoterapi Jangka Pendek yang Mencetuskan Ansietas
Terapi dapat dibagi menjadi empat fase utama : pertemuan terapis-pasien, terapi
dini, tingkat terapi, dan bukti perubahan serta penghentian terapi. Terapis
menggunakan teknik berikut ini selama keempat fase tersebut. 6
1) Peremuan terapis-pasien : terapis menegakkan persekutuan kerja dengan
menggunakan rapor segera dengan pasien dan perasaan positif pasien untuk
terapis yang muncul didalam fase ini.
2) Terapi Dini : Di dalam transferens, perasaan untuk terapis diklarifikasi
segera setelah perasaan itu timbul, suatu teknik yang menghasilkan
berdirinya persekutuan terapeutik sejati.
3) Tingkat terapi : fase ini menekankan konsentrasi aktif pada konflik oedipus
yang telah dipilih sebagai fokus terapeutik untuk terapi; penggunaan
berulang pertanyaan dan konfrontasi yang mencetuskan ansietas;
menghindari masalah karaktelogis pragenital, yang digunakan oleh pasien
dengan defensi untuk menghindari berhadapan dengan teknik pencetus
ansietas terapis; penghindaran total neurosis transferens; penunjukkan
berulang cara neurotik atau pola perilaku maladaptif; konsentrasi pada hal-
hal bermuatan ansietas.
4) Bukti perubahan dan penghentian psikoterapi : Fase ini menekankan
penunjukkan perubahan nyata perilaku pasien diluar terapi, bukti bahwa
pola perilaku adaptif sedang digunakan, dan mengawali pembicaraan
mengenai penghentian terapi.
10
2. Farmakoterapi.7
a. Obat Anti-Depresi
1) Golongan SSRI ( Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor)
Fluoxetine (10-40 mg per hari)
Citalopram (10-60 mg per hari)
2) Golongan Trisiklik
Amitripthyline (75-300 mg per hari)
Tianeptine (25-50 mg per hari)
3) Golongan Tetrasiklik
Maprotolone (100-225 mg per hari)
b. Obat Anti-Ansietas
1) Golongan Benzodiazepine
Diazepam (0ral 2,5-40 mg per hari) (Inj. 5-10 mg per hari)
Clobazam (20-30 mg per hari)
Lorazepam (2-6 mg per hari)
Alprazolam (0,25-4 mg per hari)
2) Golongan Non-Benzodiazepine
Sulpiride (2-3x50-100 mg per hari)
Buspirone (10-60 mg per hari)
c. Obat Anti-Psikosis
1) Golongan Tipikal
Haloperidol (5-20 mg per hari)
Chlorpromazine (Oral 300-1000 mg per hari) (Inj. 50-100 mg setiap 4-6
jam i.m)
2) Golongan Atipikal
Risperidon (2-8 mg per hari)
Clozapine (150-600 mg per hari)
11
BAB III
KESIMPULAN
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.
Surabaya: Airlangga University Press.
2. Kemenkes. Petunjuk Teknis Pemeriksaan dan Pembinaan Kesehatan Haji. 2016
3. Yolly D. Masalah Kesehatan Jiwa Haji, Slide Power Point. 2014
4. Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC.
5. Adjuh M. Identifikasi dan Pengelolaan Masalah Kesehatan Jiwa. Slide Power
Point. 2015
6. Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis.
Edisi 2. New York : EGC. 2014.
7. Maslim R. Panduan Praktik Pengunaan Klinis Obat Psikotropik (Psychotripic
Medication. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Universitas Atma Jaya. Jakarta. 2014.
13