Anda di halaman 1dari 40

1.

CHRONIC KIDNEY DISEASE


A. Anatomi Fisiologi
1. Makroskopis
Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang peritonium
(retroperitoneal), didepan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar
(transversus abdominis, kuadratus lumborum dan psoas mayor) di bawah hati
dan limpa. Di bagian atas (superior) ginjal terdapat kelenjaradrenal (juga
disebut kelenjar suprarenal). Kedua ginjal terletak di sekitar vertebra T12
hingga L3. Ginjal pada orang dewasa berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7
cm, tebal 2,3-3 cm, kira-kira sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Berat
kedua ginjal kurang dari 1% berat seluruh tubuh atau kurang lebih beratnya
antara 120-150 gram.

Bentuknya seperti biji kacang, dengan lekukan yang menghadap ke


dalam. Jumlahnya ada 2 buah yaitu kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari
ginjal kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari pada ginjal
wanita. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit ke bawah dibandingkan ginjal
kiri untuk memberi tempat lobus hepatis dexter yang besar. Ginjal
dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Kedua
ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak
pararenal) yang membantu meredam guncangan.
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula
fibrosa, terdapat cortex renalis di bagian luar, yang berwarna coklat gelap, dan
medulla renalis di bagian dalam yang berwarna coklat lebih terang
dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk kerucut yang disebut
pyramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari
lubang-lubang kecil disebut papilla renalis.
Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu
masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus. Pelvis renalis
berbentuk corong yang menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi
dua atau tiga kaliks renalis majores yang masing-masing akan bercabang
menjadi dua atau tiga kaliks renalis minores.
Medulla terbagi menjadi bagian segitiga yang disebut piramid. Piramid-
piramid tersebut dikelilingi oleh bagian korteks dan tersusun dari segmen-
segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papila atau apeks dari tiap
piramid membentuk duktus papilaris bellini yang terbentuk dari kesatuan
bagian terminal dari banyak duktus pengumpul.
2. Mikroskopis
Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2
juta buah pada tiap ginjal. Nefron adalah unit fungsional ginjal. Setiap nefron
terdiri dari kapsula bowman, tumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus
proksimal, lengkung henle dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan
diri keduktus pengumpul.
Unit nephron dimulai dari pembuluh darah halus / kapiler, bersifat
sebagai saringan disebut Glomerulus, darah melewati glomerulus/ kapiler
tersebut dan disaring sehingga terbentuk filtrat (urin yang masih encer) yang
berjumlah kira-kira 170 liter per hari, kemudian dialirkan melalui pipa/saluran
yang disebut Tubulus. Urin ini dialirkan keluar ke saluran Ureter, kandung
kencing, kemudian ke luar melalui Uretra.
Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama
elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi
cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan
lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan
mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir yang kemudian
diekskresikan disebut urin.
3. Vaskularisasi ginjal
Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi
vertebra lumbalis II. Vena renalis menyalurkan darah kedalam vena
kavainferior yang terletak disebelah kanan garis tengah. Saat arteri renalis
masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi arteri interlobaris
yang berjalan diantara piramid selanjutnya membentuk arteri arkuata
kemudian membentuk arteriola interlobularis yang tersusun paralel dalam
korteks. Arteri interlobularis ini kemudian membentuk arteriola aferen pada
glomerulus.
Glomeruli bersatu membentuk arteriola aferen yang kemudian
bercabang membentuk sistem portal kapiler yang mengelilingi tubulus dan
disebut kapiler peritubular. Darah yang mengalir melalui sistem portal ini akan
dialirkan kedalam jalinan vena selanjutnya menuju vena interlobularis, vena
arkuarta, vena interlobaris, dan vena renalis untuk akhirnya mencapai vena
cava inferior. Ginjal dilalui oleh sekitar 1200 ml darah permenit suatu volume
yang sama dengan 20-25% curah jantung (5000 ml/menit) lebih dari 90%
darah yang masuk keginjal berada pada korteks sedangkan sisanya dialirkan
ke medulla. Sifat khusus aliran darah ginjal adalah otoregulasi aliran darah
melalui ginjal arteiol afferen mempunyai kapasitas intrinsik yang dapat
merubah resistensinya sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah
arteri dengan demikian mempertahankan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerulus tetap konstan.
4. Persarafan Pada Ginjal
Ginjal mendapat persarafan dari nervus renalis (vasomotor), saraf ini
berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk kedalam ginjal, saraf ini
berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal”.

FISIOLOGI GINJAL
Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat banyak
(sangat vaskuler) tugasnya memang pada dasarnya adalah “menyaring /
membersihkan” darah. Aliran darah ke ginjal adalah 1,2 liter/menit atau 1.700
liter/hari, darah tersebut disaring menjadi cairan filtrat sebanyak 120 ml/menit (170
liter/hari) ke Tubulus. Cairan filtrat ini diproses dalam Tubulus sehingga akhirnya
keluar dari ke-2 ginjal menjadi urin sebanyak 1-2 liter/hari.
Fungsi Ginjal
1. memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau racun,
2. mempertahankan keseimbangan cairan tubuh,
3. mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh.
4. mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan
amoniak.
5. Mengaktifkan vitamin D untuk memelihara kesehatan tulang.
6. Produksi hormon yang mengontrol tekanan darah.
7. Produksi Hormon Erythropoietin yang membantu pembuatan sel darah merah.

Tahap Pembentukan Urine

1. Filtrasi Glomerular
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus,
seperti kapiler tubuh lainnya, kapiler glumerulus secara relatif bersifat
impermiabel terhadap protein plasma yang besar dan cukup permabel terhadap
air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa
nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 25% dari
curah jantung atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau
sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula bowman. Ini
dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate).
Gerakan masuk ke kapsula bowman’s disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal
dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula
bowman’s, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah
filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula
bowman’s serta tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya
dipengaruhi oleh tekanan-tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas
dinding kapiler.
2. Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit,
elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-
zat tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi.
3. Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran
darah melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak
terjadi secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara
alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion
hidrogen.
Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga
telibat dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini,
tiap kali carier membawa natrium keluar dari cairan tubular, cariernya bisa
hidrogen atau ion kalium kedalam cairan tubular “perjalanannya kembali” jadi,
untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus disekresi
dan sebaliknya.
Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi cairan
ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium).
Pengetahuan tentang pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu
kita memahami beberapa hubungan yang dimiliki elektrolit dengan lainnya.
Sebagai contoh, kita dapat mengerti mengapa bloker aldosteron dapat
menyebabkan hiperkalemia atau mengapa pada awalnya dapat terjadi
penurunan kalium plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara theurapeutik.

B. DEFINISI
Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis
didefinisikan sebagai kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan
atau tanpa penurunan glomerulus filtration rate (GFR) (Nahas &
Levin,2010).
CKD atau gagal ginjal kronis (GGK) didefinisikan sebagai kondisi
dimana ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif,
irreversibel, dan samar (insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam
mempertahankan metabolisme, cairan, dan keseimbangan elektrolit,
sehingga terjadi uremia atau azotemia (Smeltzer, 2009).
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan gangguan fungsi
renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah). CKD merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif
dan lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun..
Adanya kelainan ginjal berupa kelainan struktural atau fungsional, yang
ditandai oleh kelainan patologi atau petanda kerusakan ginjal secara
laboratorik atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan (radiologi), dengan
atau tanpa penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG) yang berlangsung > 3 bulan.
C. ETIOLOGI
1. Infeksi misalnya pielonefritis kronik (Infeksi saluran kemih),
glomerulonefritisi (penyakit peradangan). Pielonefritis merupakan
infeksi bakteri piala ginjal, tubulus, dan jaringaninterstisial dari salah
satu atau kedua ginjal. Bakteri mencapai kandung kemih melaluiuretra
dan naik ke ginjal. salah satu jenis penyakit ginjal di mana terjadi
peradangan pada glomerulus. Glomerulus merupakan bagian ginjal
yang berfungsi sebagai penyaring dan membuang cairan serta elektrolit
berlebih, juga zat sisa (sampah) dari aliran darah.
2. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis disebabkan karena
terjadinya kerusakan vaskularisasi di ginjal oleh adanya peningkaan
tekanan darah akut dan kronik.
3. Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus
sistemik, poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif
4. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubulus ginjal
5. Penyakit metabolik misalnya DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis
6. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati timbal
7. Nefropati obstruktif misalnya
- Saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis netroperitoneal
- Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra,
anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra
D. KLASIFIKASI
1. Tahap I : Penurunan Cadangan Ginjal
- GFR 40-70 ml/min/menurun 50%
- BUN dan Creatinin normal tinggi
- Tidak ada manifestasi klinik
- CCT : 76-100 ml/min
Pada stage ini tidak ada akumulasi sisa metabolic. Nefron sehat mampu
mengkompensasi nefron yang sudah rusak. Penurunan kemmapuan
mengkonsentrasi urin menyebabkan nokturia dan poliuria.
2. Tahap II : Insufisiensi Ginjal
- GFR 20-40 ml/min atau GFR 20-35%
- BUN dan Creatinin naik
- Anemia ringan, polyuria, nocturia, edema
- CCT : 26-75 ml/min
Nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena
beratnya beban yang dterima. Mulai terjadi akumulasi sisa metabolic
dalam darah karena nefron sehat tidak mampu lagi mengkompensasi.
3. Tahap III : Gagal Ginjal
- GFR : 10-20 ml/min atau <20% normal
- Anemia sedang, azotemia
- Gangguan elektrolit : Na ↑, K ↑, dan PO4 ↑
- CCT : 6-25 ml/min
Makin banyak nefron yang mati
4. Tahap IV : ESRD (End Stage Renal Disease)
- GFR : < 10 ml/min atau <5% normal
- Kerusakan fungsi ginjal dalam pengaturan, excretory dan
hormonal
- BUN dan Creatinin
- CCT : < 5 ml/min
Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Diseluruh ginjal ditemukan
jaringan parut dan atrofi tubulus. Akumulasi sisa metabolic dalam jumlah
banyak seperti ureum, kreatinin, dalam darah. Ginjal tidak mampu
mempertahankan homeostatsis. Membutuhkan pengobatan dialisa /
transplantasi ginjal
Menurut American Diabete Association, 2007

Stadium 1
Seseorang yang berada pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK)
biasanya belum merasakan gejala yang mengindikasikan adanya kerusakan
pada ginjal. Hal ini disebabkan ginjal tetap berfungsi secara normal meskipun
tidak lagi dalam kondisi 100%, sehingga banyak penderita yang tidak
mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium 1. Kalaupun hal tersebut diketahui
biasanya saat penderita memeriksakan diri untuk penyakit lainnya seperti
diabetes dan hipertensi.
Stadium 2
Sama seperti pada stadium awal, tanda – tanda seseorang berada pada
stadium 2 juga tidak merasakan gejala karena ginjal tetap dapat berfungsi
dengan baik. Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat penderita
memeriksakan diri untuk penyakit lainnya seperti diabetes dan hipertensi.
Stadium 3
Seseorang yang menderita GGK stadium 3 mengalami penurunan GFR
moderat yaitu diantara 30 s/d 59 ml/min. Dengan penurunan pada tingkat ini
akumulasi sisa–sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah yang disebut
uremia. Pada stadium ini muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi
(hipertensi), anemia atau keluhan pada tulang. Gejala- gejala juga terkadang
mulai dirasakan seperti:
a. Fatique: rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
b. Kelebihan cairan: Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat
ginjal tidak dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam
tubuh. Hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan
sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga
dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada
dalam tubuh.
c. Perubahan pada urin: urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami
perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur
dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan
terkadang penderita sering trbangun untuk buang air kecil di tengah
malam.
d. Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada
dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal
seperti polikistik dan infeksi.
e. Sulit tidur: Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur
disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
f. Penderita GGK stadium 3 disarankan untuk memeriksakan diri ke
seorang ahli ginjal hipertensi (nephrolog). Dokter akan memberikan
rekomendasi terbaik serta terapi – terapi yang bertujuan untuk
memperlambat laju penurunan fungsi ginjal. Selain itu sangat
disarankan juga untuk meminta bantuan ahli gizi untuk mendapatkan
perencanaan diet yang tepat. Penderita GGK pada stadium ini biasanya
akan diminta untuk menjaga kecukupan protein namun tetap
mewaspadai kadar fosfor yang ada dalam makanan tersebut, karena
menjaga kadar fosfor dalam darah tetap rendah penting bagi
kelangsungan fungsi ginjal. Selain itu penderita juga harus membatasi
asupan kalsium apabila kandungan dalam darah terlalu tinggi. Tidak ada
pembatasan kalium kecuali didapati kadar dalam darah diatas normal.
Membatasi karbohidrat biasanya juga dianjurkan bagi penderita yang
juga mempunyai diabetes. Mengontrol minuman diperlukan selain
pembatasan sodium untuk penderita hipertensi.
Stadium 4
Pada stadium ini fungsi ginjal hanya sekitar 15–30% saja dan apabila
seseorang berada pada stadium ini sangat mungkin dalam waktu dekat
diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal/dialisis atau melakukan
transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau
uremia biasanya muncul pada stadium ini. Selain itu besar kemungkinan
muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia, penyakit
tulang, masalah pada jantung dan penyakit kardiovaskular lainnya. Gejala yang
mungkin dirasakan pada stadium 4 hampir sama dengan stadium 3, yaitu:
a. Fatique: rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
b. Kelebihan cairan: Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal
tidak dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal
ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian
bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat mengalami sesak
nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam tubuh.
c. Perubahan pada urin: urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami
perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur
dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan
terkadang penderita sering trbangun untuk buang air kecil di tengah
malam.
d. Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada
dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal
seperti polikistik dan infeksi.
e. Sulit tidur: Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur
disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupunrestless legs.
f. Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.
g. Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang
dikonsumsi tidak terasa seperti biasanya.
h. Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi
melalui bau pernafasan yang tidak enak.
i. Sulit berkonsentrasi
Stadium 5 (gagal ginjal terminal)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk
bekerja secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal
(dialisis) atau transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup. Gejala yang
dapat timbul pada stadium 5 antara lain:
a. Kehilangan nafsu makan
b. Nausea.
c. Sakit kepala.
d. Merasa lelah.
e. Tidak mampu berkonsentrasi.
f. Gatal – gatal.
g. Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
h. Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.
i. Kram otot
j. Perubahan warna kulit

Sesuai dengan test kreatinin klirens maka GGK dapat di klasifikasikan


derajat penurunan faal ginjal sebagai berikut:
Derajat Primer (LFG) Sekunder = Kreatinin (mg %)
A Normal Normal
B 50 – 80 % normal Normal – 2,4
C 20 – 50 % normal 2,5 – 4,9
D 10 – 20 % normal 5,0 – 7,9
E 5 – 10 % normal 8,0 – 12,0
F < 5 % normal > 12,0

E. PATOFISIOLOGI
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa
nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume
filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan
penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal
untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang
harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat
diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron
yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa.
Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan
muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah
hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin
clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan
produk sampah, akan semakin berat.
1. Gangguan Klirens Ginjal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan
jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens
substansi darah yang sebenarnya dibersihkan oleh ginjal
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24-jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin. Menurut
filtrasi glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomeruli) klirens kreatinin akan
menurunkan dan kadar kreatinin akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen
urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator
yang paling sensitif dari fungsi karena substansi ini diproduksi secara
konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi
juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme (jaringan dan luka RBC),
dan medikasi seperti steroid.
2. Retensi Cairan dan Ureum
Ginjal juga tidakmampu untuk mengkonsentrasi atau mengencerkan urin
secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai
terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari, tidak terjadi.
Pasien sering menahan natrium dan cairan, meningkatkan resiko terjadinya
edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi
akibat aktivasi aksis rennin angiotensin dan kerja sama keduanya
meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan
untuk kwehilangan garam, mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia.
Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang
semakin memperburuk status uremik.
3. Asidosis
Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis metabolic
seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+)
yang berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan
tubulus gjnjal untuk menyekresi ammonia (NH3‾) dan mengabsopsi natrium
bikarbonat (HCO3) . penurunan ekskresi fosfat dan asam organic lain juga
terjadi
4. Anemia
Sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya
usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami
perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran
gastrointestinal. Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin menurun dan
anemia berat terjadi, disertai keletihan, angina dan sesak napas.
5. Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfat
Abnormalitas yang utama pada gagal ginjal kronis adalah gangguan
metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh
memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya meningkat, maka
yang satu menurun. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal,
terdapat peningkatan kadar serum fosfat dan sebaliknya penurunan kadar
serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi
parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun, pada gagal ginjal tubuh tak
berespon secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon dan
mengakibatkan perubahan pada tulang dan pebyakit tulang. Selain itu juga
metabolit aktif vitamin D (1,25-dehidrokolekalsiferol) yang secara normal
dibuat di ginjal menurun.
6. Penyakit Tulang Uremik
Disebut Osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat
dan keseimbangan parathormon.

F. MANIFESTASI KLINIK
1. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi
perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan
irama jantung dan edema.
2. Gannguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak,
suara krekels.
3. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan
metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran
gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia.
4. Gangguan muskuloskeletal
Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu
digerakan), burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar,
terutama ditelapak kaki), tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi otot
– otot ekstremitas).
5. Gangguan Integumen
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan
akibat penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan
rapuh, kering bersisik, kulit mudah memar.
6. Gangguan endokrim
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun,
gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa,
gangguan metabolic lemak dan vitamin D.
7. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi
kehilangan natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia,
hipomagnesemia, hipokalsemia.
8. System hematologi
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi
eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang
berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam
suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis
dan trombositopeni.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Radiologi
1. Ultrasono ginjal
Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya massa, kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
2. Biopsi ginjal
Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histologis
3. Endoskopi ginjal nefroskopi
Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal ; keluar batu, hematuria
dan pengangkatan tumor selektif
4. Pemeriksaan Foto Dada
Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat kelebihan air (fluid
overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikadial.
5. Pemeriksaan Radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi dan kalsifikasi metastatik.
b. Urine :
Volume, Warna, Sedimen, Berat jenis, Kreatinin, Protein
c. Darah :
Bun / kreatinin, Hitung darah lengkap, Sel darah merah, Natrium serum,
Kalium, Magnesium fosfat, Protein, Osmolaritas serum
d. Pielografi intravena
Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
e. Pielografi retrograd
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel
f. Arteriogram ginjal
Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular, massa.
g. Sistouretrogram berkemih
Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks kedalam ureter, retensi.
h. Foto Polos Abdomen
Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi
ginjal. Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau
obstruksi lain.
i. EKG
Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam
basa, aritmia, hipertrofi ventrikel dan tanda tanda perikarditis.

H. PENATALAKSANAAN
1. Konservatif
Diet TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein)
Protein dibatasi karena urea, asam urat dan asam organik
merupakan hasil pemecahan protein yang akan menumpuk secara
cepat dalam darah jika terdapat gangguan pada klirens renal. Protein
yang dikonsumsi harus bernilai biologis (produk susu, telur, daging) di
mana makanan tersebut dapat mensuplai asam amino untuk perbaikan
dan pertumbuhan sel. Biasanya cairan diperbolehkan 300-600 ml/24
jam. Kalori untuk mencegah kelemahan dari Karbohidrat dan lemak.
Pemberian vitamin juga penting karena pasien dialisis mungkin
kehilangan vitamin larut air melalui darah sewaktu dialisa.
b. Simptomatik
Hipertensi ditangani dengan medikasi antihipertensi kontrol
volume intravaskuler. Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner
perlu pembatasan cairan, diit rendah natrium, diuretik, digitalis atau
dobitamine dan dialisis. Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya
tanpa gejala dan tidak perlu penanganan, namun suplemen natrium
bikarbonat pada dialisis mungkin diperlukan untuk mengoreksi asidosis.
Anemia pada CKD ditangani dengan epogen (erytropoitin
manusia rekombinan). Anemia pada pasaien (Hmt < 30%) muncul tanpa
gejala spesifik seperti malaise, keletihan umum dan penurunan toleransi
aktivitas. Abnormalitas neurologi dapat terjadi seperti kedutan, sakit
kepala, dellirium atau aktivitas kejang. Pasien dilindungi dari kejang.
c. Terapi Pengganti
Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal adalah terapi yang paling ideal mengatasi
gagal ginjal karena menghasilkan rehabilitasi yang lebih baik
disbanding dialysis kronik dan menimbulkan perasaan sehat seperti
orang normal. Transplantasi ginjal merupakan prosedur menempatkan
ginjal yang sehat berasal dari orang lain kedalam tubuh pasien gagal
ginjal. Ginjal yang baru mengambil alih fungsi kedua ginjal yang telah
mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsinya. Seorang ahli
bedah menempatkan ginjal yang baru (donor) pada sisi abdomen
bawah dan menghubungkan arteri dan vena renalis dengan ginjal yang
baru. Darah mengalir melalui ginjal yang baru yang akan membuat urin
seperti ginjal saat masih sehat atau berfungsi. Ginjal yang
dicangkokkan berasal dari dua sumber, yaitu donor hidup atau donor
yang baru saja meninggal (donor kadaver).
Cuci Darah (dialisis)
Dialisis adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami
difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari satu
kompartemen cair menuju kompartemen cair lainnya. Hemodialisis dan
dialysis merupakan dua teknik utama yang digunakan dalam dialysis,
dan prinsip dasar kedua teknik itu sama, difusi solute dan air dari
plasma ke larutan dialisis sebagai respons terhadap perbedaan
konsentrasi atau tekanan tertentu.
a. Dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan atau CAPD
Dialisis peritoneal adalah metode cuci darah dengan bantuan
membran selaput rongga perut (peritoneum), sehingga darah tidak
perlu lagi dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan seperti yang
terjadi pada mesin dialisis. CAPD merupakan suatu teknik dialisis
kronik dengan efisiensi rendah sehingga perlu diperhatikan kondisi
pasien terhadap kerentanan perubahan cairan (seperti pasien
diabetes dan kardiovaskular).
b. Hemodialisis klinis di rumah sakit
Cara yang umum dilakukan untuk menangani gagal ginjal di
Indonesia adalah dengan menggunakan mesin cuci darah (dialiser)
yang berfungsi sebagai ginjal buatan.

Penatalaksanaan terhadap gagal ginjal meliputi :


1. Restriksi konsumsi cairan, protein, dan fosfat.
2. Obat-obatan : diuretik untuk meningkatkan urinasi; alumunium hidroksida
untuk terapi hiperfosfatemia; anti hipertensi untuk terapi hipertensi serta
diberi obat yang dapat menstimulasi produksi RBC seperti epoetin alfa
bila terjadi anemia.
3. Dialisis Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal
akut yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Perikarditis
memperbaiki abnormalitas biokimia ; menyebabkan caiarn, protein dan
natrium dapat dikonsumsi secara bebas ; menghilangkan kecendurungan
perdarahan ; dan membantu penyembuhan luka.
4. Penanganan hiperkalemia
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah utama pada
gagal ginjal akut ; hiperkalemia merupakan kondisi yang paling
mengancam jiwa pada gangguan ini. Oleh karena itu pasien dipantau
akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar
elektrolit serum ( nilai kalium > 5.5 mEq/L ; SI : 5.5 mmol/L), perubahan
EKG (tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi), dan
perubahan status klinis. Pningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan
pemberian ion pengganti resin (Natrium polistriren sulfonat [kayexalatel]),
secara oral atau melalui retensi enema.
5. Mempertahankan keseimbangan cairan
Penatalaksanaan keseimbanagan cairan didasarkan pada berat badan
harian, pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum,
cairan yang hilang, tekanan darah dan status klinis pasien. Masukkan dan
haluaran oral dan parentral dari urine, drainase lambung, feses, drainase
luka dan perspirasi dihitung dan digunakan sebagai dasar untuk terapi
penggantia cairan.

6. Transplantasi ginjal (Reeves, Roux, Lockhart, 2001)

I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain :
1. Hiperkalemia akibat penurunana ekskresi, asidosis metabolic,
katabolisme dan masukan diet berlebih.
2. Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system
rennin-angiotensin-aldosteron
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi toksin dna kehilangan
drah selama hemodialisa
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah dan metabolisme vitamin D abnormal.
6. Asidosis metabolic
7. Osteodistropi ginjal
8. Sepsis
9. neuropati perifer
10. hiperuremia
infeksi vaskuler zat toksik
Obstruksi saluran kemih
reaksi arteriosklerosis tertimbun ginjal
antigen Retensi urin batu besar dan kasar iritasi / cidera jaringan
antibodi suplai darah ginjal turun
menekan saraf hematuria
perifer
anemia
nyeri pinggang

GFR turun

GGK

sekresi protein retensi Na sekresi eritropoitiN turun


terganggu
sindrom uremia urokrom total CES naik resiko suplai nutrisi dalam produksi Hb turun
tertimbun di kulit gangguan nutrisi darah turun
tek. kapiler oksihemoglobin turun
perpospatemia gang.
perubahan warna naik
keseimbangan gangguan intoleransi
pruritis asam - basa kulit vol. interstisial naik suplai O2 kasar turun aktivitas
perfusi jaringan
prod. asam naik
edema payah jantung kiri bendungan atrium kiri
(kelebihan volume cairan)
as. lambung naik naik
COP turun
nausea, vomitus iritasi lambung preload naik
tek. vena pulmonalis
aliran darah ginjal suplai O2 suplai O2 ke
resiko infeksi perdarahan beban jantung naik
turun jaringan turun otak turun kapiler paru naik
gangguan
gastritis - hematemesis
nutrisi hipertrofi ventrikel kiri RAA turun metab. syncope edema paru
mual, - melena
anaerob (kehilangan
muntah retensi Na & H2O timb. as.
anemia naik laktat naik kesadaran)
gang. pertukaran
kelebihan vol. - fatigue gas
intoleransi aktivitas
cairan - nyeri sendi
HEMODIALISA
1. Definisi Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi darah yang
terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan menggunakan mesin
hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal.
Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute
Kidney Injury) yang memerlukan terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan
HD dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan
HD kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007).
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan
sakit akut dan memerlukan terapi dialisys jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa
minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal disease
(ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Tujuan hemodialisa adalah
untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air
yang berlebihan (Suharyanto dan Madjid, 2009).

2. Tujuan Hemodialisis
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya
dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.

3. Indikasi Hemodialisis
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD kronik.
Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
a. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007):
 Kegawatan ginjal
a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5 mmol/l )
e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f. Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g. Ensefalopati uremikum
h. Neuropati/miopati uremikum
i. Perikarditis uremikum
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k. Hipertermia
 Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.
b. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan seumur
hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis
dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak
selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari
hal tersebut di bawah ini (Daurgirdas et al., 2007):
 GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
 Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea dan muntah.
 Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
 Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
 Komplikasi metabolik yang refrakter

4. Kontra Indikasi Hemodialisis


Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi
yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik.
Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah tidak
mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas
hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah
penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan
ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003)
5. Prinsip Dan Cara Kerja Hemodialisis

a. Mekanisme Hemodialisis
Pada hemodialisis, aliran darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen
dialihkan dari tubuh pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian
dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Sebagian besar dializer merupakan lempengan rata
atau ginjal serat artificial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus dan
bekerja sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut
sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran limbah dari darah ke
dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membrane semipermeabel tubulus (Brunner &
Suddarth, 2002).
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen:
 kompartemen darah
 kompartemen cairan pencuci (dialisat)
 ginjal buatan (dialiser).
Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu larutan
(kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini dengan
larutan lain (kompartemen dialisat) melalui membran semipermeabel (dialiser).
a. Difusi
Adalah proses berpindahnya zat karena adanya perbedaan kadar di dalam darah,
makin banyak yang berpindah ke dialisat. Mekanisme difusi bertujuan untuk
membuang zat-zat terlarut dalam darah (blood purification),
b. Osmosis
Adalah proses berpindahnya air karena tenaga kimiawi yaitu perbedaan osmolitas
dan dialisat
c. Ultrafiltrasi
Adalah proses berpindahnya zar dan air karena perbedaan hidrostatik di dalam
darah dan dialisat. Mekanisme ultrafiltrasi bertujuan untuk mengurangi kelebihan
cairan dalam tubuh (volume control) (Roesli, 2006).
Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu difusi, osmosis,
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi
dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat
dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit
yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan dari
dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan
menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak dari daerah dengan tekanan yang
lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradient ini
dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negative yang dikenal sebagai
ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negative diterapkan pada alat ini sebagai
kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air (Suharayanto dan
Madjid, 2009).

b. Penggunaan antikoagulan dalam terapi hemodialisa


Selama proses hemodialisis, darah yang kontak dengan dialyzer dan selang
dapat menyebabkan terjadinya pembekuan darah. Hal ini dapat mengganggu kinerja
dialyzer dan proses hemodialisis. Untuk mencegah terjadinya pembekuan darah selama
proses hemodialisis, maka perlu diberikan suatu antikoagulan agar aliran darah dalam
dialyzer dan selang tetap lancar. Antikoagulan yang biasa digunakan untuk hemodialisa,
yaitu :
a. Heparin
Heparin merupakan antikoagulan pilihan untuk hemodialisa, selain karena mudah
diberikan dan efeknya bekerja cepat, juga mudah untuk disingkirkan oleh tubuh. Ada
3 tehnik pemberian heparin untuk hemodialisa yang ditentukan oleh faktor
kebutuhan pasien dan faktor prosedur yang telah ditetapkan oleh rumah sakit yang
menyediakan hemodialisa, yaitu :
(1) Routine continuous infusion (heparin rutin)
Tehnik ini sering digunakan sehari-hari. Dengan dosis injeksi tunggal 30-50 U/kg
selama 2-3 menit sebelum hemodialisa dimulai. Kemudian dilanjutkan 750-1250
U/kg/jam selama proses hemodialisis berlangsung. Pemberian heparin dihentikan
1 jam sebelum hemodialisa selesai.
(2) Routine repeated bolus
Dengan dosis injeksi tunggal 30-50 U/kg selama 2-3 menit sebelum hemodialisa
dimulai. Kemudian dilanjutkan dengan dosis injeksi tunggal 30-50 U/kg berulang-
ulang sampai hemodialisa selesai.
(3) Tight heparin (heparin minimal)
Tehnik ini digunakan untuk pasien yang memiliki resiko perdarahan ringan
sampai sedang. Dosis injeksi tunggal dan laju infus diberikan lebih rendah
daripada routine continuous infusion yaitu 10-20 U/kg, 2-3 menit sebelum
hemodialisa dimulai. Kemudian dilanjutkan 500 U/kg/jam selama proses
hemodialisis berlangsung. Pemberian heparin dihentikan 1 jam sebelum
hemodialisa selesai.
b. Heparin-free dialysis (Saline)
Tehnik ini digunakan untuk pasien yang memiliki resiko perdarahan berat atau tidak
boleh menggunakan heparin. Untuk mengatasi hal tersebut diberikan normal saline
100 ml dialirkan dalam selang yang berhubungan dengan arteri setiap 15-30 menit
sebelum hemodialisa. Heparin-free dialysis sangat sulit untuk dipertahankan karena
membutuhkan aliran darah arteri yang baik (>250 ml/menit), dialyzer yang memiliki
koefisiensi ultrafiltrasi tinggi dan pengendalian ultra filtrasi yang baik.
c. Regional Citrate
Antikoagulan sitrat jarang digunakan, namun dapat digunakan untuk menggantikan
Heparin-free dialysis. Regional Citrate diberikan untuk pasien yang sedang
mengalami perdarahan, sedang dalam resiko tinggi perdarahan atau pasien yang
tidak boleh menerima heparin. Kalsium darah adalah faktor yang memudahkan
terjadinya pembekuan, maka dari itu untuk mengencerkan darah tanpa
menggunakan heparin adalah dengan jalan mengurangi kadar ion kalsium dalam
darah. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan infuse trisodium sitrat dalam
selang yang berhubungan dengan arteri dan menggunakan cairan dialisat yang
bebas kalsium. Namun demikian, akan sangat berbahaya apabila darah yang telah
mengalami proses hemodialisis dan kembali ke tubuh pasien dengan kadar kalsium
yang rendah. Sehingga pada saat pemberian trisodium sitrat dalam selang yang
berhubungan dengan arteri sebaiknya juga diimbangi dengan pemberian kalsium
klorida dalam selang yang berhubungan dengan vena (Swartzendruber et al., 2008)
c. Asupan makanan, cairan dan elektrolit selama proses hemodialisa
Asupan makanan pasien hemodialisa mengacu pada tingkat perburukan fungsi
ginjalnya. Sehingga, ada beberapa unsur yang harus dibatasi konsumsinya yaitu,
asupan protein dibatasi 1-1,2 g/kgBB/hari, asupan kalium dibatasi 40-70 meq/hari,
mengingat adanya penurunan fungsi sekresi kalium dan ekskresi urea nitrogen oleh
ginjal. Kemudian,jumlah kalori yang diberikan 30-35 kkal/kgBB/hari (Suwitra, 2006).
Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah urin yang ada ditambah
dengan insensible water loss, sekitar 200-250 cc/hari.Asupan natrium dibatasi 40-120
meq/hari guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Selain itu, apabila asupan
natrium terlalu tinggi akan menimbulkan rasa haus yang memicu pasien untuk terus
minum,sehingga dapat menyebabkan volume cairan menjadi overload yangmengarah
pada retensi cairan. Asupan fosfat juga harus 600-800mg/hari

d. Dosis hemodialisa dan kecukupan dosis hemodialisa


a) Dosis hemodialisa
Dosis hemodialisa yang diberikan pada umumnya sebanyak 2 kali seminggu
dengan setiap hemodialisa selama 5 jam atau sebanyak 3 kali seminggu dengan
setiap hemodialisa selama 4 jam(Suwitra, 2006).
Lamanya hemodialisis berkaitan erat dengan efisiensi dan adekuasi
hemodialisis, sehingga lama hemodialisis juga dipengaruhioleh tingkat uremia akibat
progresivitas perburukan fungsi ginjalnya dan faktor-faktor komorbiditasnya, serta
kecepatan aliran darah dan kecepatan aliran dialisat (Swartzendruber et al., 2008).
Namun demikian, semakin lama proses hemodialisis, maka semakin lama darah
berada diluar tubuh, sehingga makin banyak antikoagulan yang dibutuhkan, dengan
konsekuensi sering timbulnya efek samping (Roesli, 2006).
Dosis waktu hemodialisis untuk 3 kali seminggu adalah 12 jam sampai
dengan 15 jam atau 5 jam setiap kali tindakan. Sedangkan target Kt/Vyang harus
dicapai adalah 1,2 dengan rasio reduksi ureum 65% (NKFDOQI, 2006).
Rekomendasi dari PERNEFRI (2003) targetKt/Vadalah 1,2 untuk hemodialisis 3 kali
seminggu selama 4 jam setiap hemodialisis dan Kt/V 1,8 untuk hemodialisis 5 jam
setiaphemodialisis. RRU yang ideal adalah diatas 65% setiap kali tindakan
hemodialisis (PERNEFRI, 2003). Dosis hemodialisis yang berdasarkantarget Kt/V
bisa dihitung dengan rumus generasi kedua dari rumusDaugirdas yaitu:
Kt/V =-Ln( R-0,008 x t ) + ( 4–3,5 x R ) x UF/W
Keterangan :
a. Ln adalah logaritma natural
b. R adalah BUN setelah hemodialisis dibagi BUN sebelum hemodialysis
c. T adalah lama waktu hemodialysis
d. UF adalah jumlah ultrafiltrasi dalam liter
e. W adalah berat badan pasien setelah hemodialisis
Target dosis hemodialisis disamping dengan Kt/V dapat juga dihitungberdasarkan
RRU.
b) Kecukupan dosis hemodialisa
Kecukupan dosis hemodialisa yang diberikan disebut dengan adekuasi
hemodialisis. Adekuasi hemodialisis diukur dengan menghitung urea reduction ratio
(URR) dan urea kinetic modeling (Kt/V). Nilai URR dihitung dengan mencari nilai
rasio antara kadar ureum pradialisis yang dikurangi kadar ureum pasca dialisis
dengan kadar ureum pasca dialisis. Kemudian, perhitungan nilai Kt/V juga
memerlukan kadar ureum pradialisis dan pascadialisis, berat badan pradialisis dan
pascadialisis dalam satuan kilogram, dan lama proses hemodialisis dalam satuan
jam. Pada hemodialisa dengan dosis 2 kali seminggu, dialisis dianggap cukup bila
nilai URR 65-70% dan nilai Kt/V 1,2-1,4 (Swartzendruber et al., 2008).

e. Akses pada Sirkulasi Darah Pasien


Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas kateter subklavikula dan femoralis,
fistula dan tandur.
1) Kateter subklavikula dan femoralis
Akses segera ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat dicapai
melalui kateterisasi subklavikula untuk pemakaian sementara. Kateter femoralis
dapat dimasukkan ke dalam pembuluh darah femoralis untuk pemakaian segera dan
sementara.
2) Fistula
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya dilakukan pada
lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau menyambung (anastomosis)
pembuluh arteri dengan vena secara side to side (dihubungkan antara ujung dan sisi
pembuluh darah). Fistula tersebut membutuhkan waktu 4 sampai 6 minggu menjadi
matang sebelum siap digunakan. Waktu ini diperlukan untuk memberikan
kesempatan agar fistula pulih dan segmenvena fistula berdilatasi dengan baik
sehingga dapat menerima jarum berlumen besar dengan ukuran 14-16. Jarum
ditusukkan ke dalam pembuluh darah agar cukup banyak aliran darah yang akan
mengalir melalui dializer. Segmen vena fistula digunakan untuk memasukkan
kembali (reinfus) darah yang sudah didialisis.
3) Tandur
Dalam menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum dialisis, sebuah tandur
dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh arteri atau vena dari sapi,
material Gore-tex (heterograft) atau tandur vena safena dari pasien sendiri. Biasanya
tandur tersebut dibuat bila pembuluh darah pasien sendiri tidak cocok untuk dijadikan
fistula.

f. Sistem Kerja Dializer


Terdapat 2 (dua) tipe dasar dializer (Suharyanto dan Madjid, 2009), yaitu :
a) Pararel plate dialyzer
Pararel plate dializer, terdiri dari dua lapisan selotan yang dijepit oleh dua
penyokong. Darah mengalir melalui lapisan-lapisan membran, dan cairan dialisa
dapat mengalir dalam arah yang sama seperti darah, atau dengan daerah
berlawanan.
b) Hollow Fiber atau capillary dialyzer
Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung kecil, dan cairan dialisa
membasahi bagian luarnya. Aliran cairan dialisa berlawanan dengan arah aliran
darah. Suatu sistem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi
untuk cairan dialisa. Bila sistem ini bekerja, darah mengalir dari penderita melalui
tabung plastik (jalur arteri), melalui dializer hollow fiber dan kembali ke penderita
melalui jalur vena.
Dialisat kemudian dimasukkan ke dalam dializer, dimana cairan akan
mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan
antara darah dan dialisat terjadi di sepanjang membrane dialisis melalui proses
difusi, osmosis dan ultrafiltrasi.
Komposisi cairan dialisis diatur sedemikian rupa sehingga mendekati
komposisi ion darah normal, dan sedikit dimodifikasi agar memperbaiki gangguan
cairan dan elektrolit yang sering menyertai gagal ginjal. Unsur-unsur yang umum
terdiri dari Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl-, asetat dan glukosa. Urea, kreatinin, asam urat,
dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari darah ke dalam cairan dialisis karena
unsur-unsur ini tidak terdapat dalam cairan dialisis. Natrium asetat yang lebih tinggi
konsentrasinya dalam cairan dialisis, akan berdifusi ke dalam darah. Tujuan
menambahkan asetat adalah untuk mengoreksi asidosis penderita uremia. Asetat
dimetabolisme oleh tubuh penderita menjadi bikarbonat. Glikosa dalam konsentrasi
yang rendah (200 mg/100 ml) ditambahkan ke dalam bak dialisis untuk mencegah
difusi glukosa ke dalam bak dialisis yang dapat mengakibatkan kehilangan kalori.
Heparin secara terus menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui infuse
lambat untuk mencegah pembekuan. Bekuan darah dan gelembung udara dalam
jalur vena akan menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke aliran darah.
Waktu yang dibutuhkan seseorang untuk melakukan hemodialisa adalah tiga kali
seminggu, dengan setiap kali hemodialisa 3 sampai 5 jam.

6. Komplikasi Hemodialisis
komplikasi hemodialisis mencakup hal-hal sebagai berikut :
a. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan.
b. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika udara
memasuki sistem vaskuler pasien
c. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi
darah di luar tubuh.
d. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.
e. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul
sebagai serangan kejang. Komplikasi ini memungkinkan terjadinya lebih besar jika
terdapat gejala uremia yang berat.
f. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkan
ruang ekstrasel.
g. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.

7. Nyeri dada
Frekuensi nyeri dada saat hemodialisis adalah 2-5 % dari keseluruhan hemodialisis
(Holley, 2007). Lebih lanjut daurgirdas, 2008 menyebutkan bahwa nyeri dada hebat saat
hemodialisis ferekuensinya adalah 1-4%. Nyeri dada saat hemodialisis dapat terjadi pada
pasien akibat penurunan hematokrit dan perubahan volume darah karena penarikan cairan
(Kallenbach, et all, 2005). Perubahan dalam volume darah menyebabkan terjadinya
penurunan aliran darah miokard dan mengakibatkan berkurangnya oksigen miokard. Nyeri
dada juga bisa menyertai kompilkasi emboli udara dan hemolisis (Kallenbach, et all, 2005,
Thomas, 2003).
Nyeri dada akibat adanya ultrafiltrasi yang cepat dan volume tinggi dapat
menyebabkan penarikan cairan yang berlebihan dan cepat ke dalam dialiser sehingga
menyebabkan penurunan volume cairan, penurunan PCO2, elektrolit dalam tubuh yang
bersama dengan terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh dapat mengakibatkan hipovolemik
dan dapat terjadi nyeri dada pada pasien dengan CKD.
Nyeri dada saat hemodialisis dapat menimbulkan masalah keperawatan penurunan
curah jantung, gangguang rasa nyaman, dan intoleransi aktivitas. Nyeri dada yang terjadi
perlu dicegah dan diatasi perawat. Observasi monitor volume darah dan hematokrit dapat
mencegah resiko timbulnya nyeri dada. Perawat dapat berkolaborasi memberikan
nitroglisernin dan obat anti angina untuk mengurangi nyeri dada (Kallenbach, et all, 2005).
Pemberian oksigen, menurunkan Ob dan TMP juga meringankan nyeri dada.

KONSEP HIPOGLIKEMIA AKIBAT HEMODIALISA

Kebutuhan insulin setelah hemodialisis pemeliharaan bervariasi, dan penting untuk


monitor gula darah. Banyak pasien diabetes dengangagal ginjal terminal terjadi penurunan
kebutuhan insulin. Banyak pasien diabetes pada awal hemodialisis membutuhkaninsulin,
dan sebagian kontrol gula darah dengan sulfonilurea. Sejumlah glukosa akan bergeser dari
darah ke kompartemen dialisat, diperkirakan25-30 mg setiap kali prosedur hemodialisis.
Hipoglikemia dapat terjadi pada pasien diabetes saat hemodialisis,hal ini disebabkan
karena :
a. Menurunnya katabolisme insulin.
b. Menurunnyaasupanmakanan
c. Resiko hipoglikemia meningkat pada pasien diabetes yangmalnutrisi
d. Menggunakan β Bloker (mempengaruhi glikogenolisis).Pada pasien diabetes yang
menjalanihemodialisis, untukmencegah hipoglikemia saat hemodialisis, cairan dialisat
harusdipertahankan mengandung 200 mg/dL glukosa (11 mmol/L).
Suatu penelitian di Yugoslavia tahun 2001 pada 20 orang pasiendiabetes yang
menjalani hemodialisis, pasien dibagi atas 2 kelompokyaitu kelompok yang menggunakan
cairan dialisat dengan konsentrasiglukosa 5,5 mmol/L, dibandingkan dengan kelompok
kedua yang menggunakan cairan dialisat dengan konsentrasi glukosa 11 mmol/L,setelah
diikuti selama 14 minggu ternyata angka kejadian hipoglikemialebih tinggi pada pasien yang
menggunakan cairan dialisat yang rendah konsentrasi glukosanya.
Hipoglikemia merupakan kumpulan gejala klinis yang disebabkan konsentrasi glukosa
darah yang rendah. Hipoglikemia secara harafiah berarti konsentrasi glukosa darah
dibawah harga normal. Batas konsentrasi glukosa darah untuk mendiagnosis hipoglikemia
tidak sama untuk setiap orang. Sehingga untuk mendiagnosis hipoglikemia kita
menggunakan Triad Whipple, yang terdiri dari gejala-gejala hipoglikemia (tabel 1),
konsentrasi glukosa plasma yang rendah, dan hilangnya gejala hipoglikemia setelah
konsentrasi glukosa plasma meningkat (Tomky, 2005).
Tabel 1. Tanda dan gejala umum hipoglikemia
Gejala adrenergic Tanda neuroglikopenik

Pucat Bingung

Keringat dingin Bicara tidak jelas

Takikardi Perubahan sikap perilaku

Gemetaran Lemah yang berat

Lapar Disorientasi

Cemas Penurunan kesadaran

Gelisah Kejang

Sakit kepala Mata sembab

Mengantuk Penurunan respons terhadap stimulus


berbahaya

Hipoglikemia dibagi menjadi hipoglikemia ringan, sedang, dan berat (Setyohadi et al, 2012).

Tabel 2. Klasifikasi Hipoglikemia


Klasifikasi Tanda dan gejala

Ringan Simptomatik, dapat diatasi sendiri,


tidak ada gangguan aktivitas sehari-
hari yang nyata.

Simptomatik, dapat diatasi sendiri,


Sedang menimbulkan gangguan aktivitas
sehari-hari yang nyata.

Sering (tidak selalu) simptomatik,


karena gangguan kognitif pasien tidak
Berat dapat mengatasi sendiri.

Membutuhkan pihak ketiga tetapi


tidak memerlukan terapi parenteral.

Membutuhkan terapi parenteral


(glukagen, intramuscular atau
glucagon intravena).

Disertai dengan koma atau kejang.

Penatalaksanaan

1. Non-Farmakologik
Penatalaksanaan utama pada hipoglikemia adalah mengatasi hipoglikemia dan
mencari penyebabnya, penilaian keadaan pasien yang meliputi keadaan umum pasien,
tingkat kesadaran, tanda vital (tekanan darah, frekuensi pernafasan, frekuensi nadi,
dan suhu), pengukuran konsentrasi glukosa darah, pemasangan jalur intravena, riwayat
penggunaan insulin dan obat antidiabetik oral (waktu dan jumlah yang diberikan) dan
penilaian riwayat nutrisi yang diberikan kepada pasien serta tatalaksana sesuai dengan
alur pengelolaan hipoglikemi harus segera dilakukan. Terapi insulin atau obat
antidiabetik lainnya yang menyebabkan hipoglikemia segera dihentikan.
Jika pasien masih sadar dapat diterapi menggunakan sumber karbohidrat oral,
pilihlah jenis terapi yang tepat, atau menggunakan terapi yang paling sederhana yaitu
menggunakan larutan glukosa murni 20-30 gram. Bila pasien mengalami kesulitan
menelan dan keadaan tidak terlalu gawat, pemberian made atau gel glukosa lewat
mukosa rongga mulut (buccal) dapat dicoba (Waspadji, 2002).
2. Farmakologik
Jika pasien tidak sadar atau tidak dapat mengkonsumsi apapun melalui oral (nil
per os-NPO), jalur intravena harus terpasang. Pemberian 50 cc dekstrosa 40% secara
bolus merupakan terapi awal yang dianjurkan. Terapi ini diteruskan setiap 10-20 menit
jika pasien belum sadar sampai pasien sadar. Selain itu diberikan cairan dekstrosa
10% per infuse 6 jam per kolf untuk mempertahankan glukosa darah dalam nilai normal
atau di atas normal disertai pemantauan glukosa darah. Apabila pasien tetap tidak
sadar tetapi glukosa sudah dalam batas normal, maka dilakukan pemberian
hidrokortison 100 mg per 4 jam selama 12 jam atau deksametason 10 mg iv bolus,
dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan manitol iv 1,5-2 g/kgBB setiap 6-8 jam. Selanjutnya cari
penyebab lain dari hipoglikemia. Untuk menghindari hipoglikemia berulang, setiap
selesai menatalaksana pasien DM dengan hipoglikemia, perlu dilakukan pencarian
penyebab timbulnya hipoglikemia, atasi penyebab tersebut, dan jika terdapat indikasi,
dapat dilakukan evaluasi dosis dan waktu pemberian insulin atau obat antidiabetik oral.
Selain itu perlu diperhatikan jumlah dan waktu pemberian nutrisi dan olahraga pada
pasien (Waspadji, 2002)

1. ASUHAN KEPERAWATAN
1.1 Pengkajian
 Biodata
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia muda, dapat
terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.

 Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan (anoreksi), mual,
muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau (ureum), gatal pada kulit.

 Riwayat penyakit
1) Sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan kardiogenik.

2) Dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hyperplasia,
prostatektomi.

3) Keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).

 Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat dan dalam
(Kussmaul), dyspnea.

 Pemeriksaan Fisik :
1) Pernafasan (B 1 : Breathing)
Gejala:

Nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk dengan/tanpa sputum,


kental dan banyak.
Tanda:

Takhipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, Batuk produktif dengan / tanpa


sputum.

2) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Gejala:

Riwayat hipertensi lama atau berat.Palpitasi nyeri dada atau angina dan sesak
nafas, gangguan irama jantung, edema.

Tanda

Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting pada kaki, telapak tangan,
Disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi ortostatik, friction rub perikardial,
pucat, kulit coklat kehijauan, kuning.kecendrungan perdarahan.

3) Persyarafan (B 3 : Brain)
Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai koma.

4) Perkemihan-Eliminasi Uri (B 4 : Bladder)


Gejala:

Penurunan frekuensi urine (Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine
kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing), oliguria, anuria (gagal tahap lanjut)
abdomen kembung, diare atau konstipasi.

Tanda: Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau
anuria.

5) Pencernaan - Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)


Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis erosiva dan Diare

6) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Gejala:

Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, (memburuk saat malam hari),
kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.
Tanda:

Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis pada kulit, fraktur
tulang, defosit fosfat kalsium,pada kulit, jaringan lunak, sendi keterbatasan gerak
sendi.

 Pola aktivitas sehari-hari


1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana
hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gagal ginjal kronik
sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan
kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang
lama, oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti
pasien.

2) Pola nutrisi dan metabolisme


Anoreksia, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut, intake minum yang
kurang.dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan
klien. Peningkatan berat badan cepat (oedema) penurunan berat badan
(malnutrisi) anoreksia, nyeri ulu hati, mual muntah, bau mulut (amonia),
Penggunaan diuretic, Gangguan status mental, ketidakmampuan berkonsentrasi,
kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, kejang, rambut tipis,
kuku rapuh.

3) Pola Eliminasi
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat, tidak
dapat kencing.Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut)
abdomen kembung, diare atau konstipasi, Perubahan warna urine, (pekat,
merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria.

4) Pola tidur dan Istirahat


Gelisah, cemas, gangguan tidur.

5) Pola Aktivitas dan latihan


Klien mudah mengalami kelelahan dan lemas menyebabkan klien tidak mampu
melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, Kelemahan otot, kehilangan
tonus, penurunan rentang gerak.
6) Pola hubungan dan peran
Kesulitan menentukan kondisi. (tidak mampu bekerja, mempertahankan fungsi
peran).

7) Pola sensori dan kognitif


Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami neuropati / mati rasa
pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma. Klien mampu melihat
dan mendengar dengan baik/tidak, klien mengalami disorientasi/ tidak.

8) Pola persepsi dan konsep diri


Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita
mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya
biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan
dan gangguan peran pada keluarga (self esteem).

9) Pola seksual dan reproduksi


Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi
sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas maupun
ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme. Penurunan
libido, amenorea, infertilitas.

10) Pola mekanisme / penanggulangan stress dan koping


Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor stress,
perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, karena
ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah,
kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan klien tidak
mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif / adaptif. Faktor
stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.Menolak,
ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian.

11) Pola tata nilai dan kepercayaan


Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta gagal
ginjal kronik dapat menghambat klien dalam melaksanakan ibadah maupun
mempengaruhi pola ibadah klien

1.2 Diagnosa Keperawatan:


 Diagnosa Pre Hemodialisa
- Kelebihan volume cairan berhubungan dengan edema sekunder : volume cairan
tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O
- Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penumpukan cairan (edema paru)
- Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan karena supply oksigen
menurun
- Gangguan pola seksual berhubungan dengan penurunan hormone seksual
- Perubahan eliminasi urin berhubungan dengan gangguan filtrasi ginjal
- Kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan tingginya kadar urochrome, toksik
uremik
- Gangguan pertukaan gas berhubungan dengan peningkatan tekanan kapiler paru
dan edema paru
- Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan supply darah dan oksigen ke
jaringan menurun
- Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional, perubahan status kesehatan
- Ketidakseimbangan nutrisi: kurang/lebih dari kebutuhan tubuh behubungan dengan
prognosis penyakit dan gangguan metabolik serta kadar asam basa dalam tubuh
- Nyeri akut behubungan dengan aterosklerosis, perikarditis, efusi pericardial
 Diagnosa Intra Hemodialisa
- Resiko ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan dilakukannya
dialisat darah
- Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan peningkatan atau
penurunan kadar elektrolit tubuh
- Resiko syok berhubungan dengan penarikan cairan (UF goal)
- Resiko perdarahan berhubungan dengan penggunaan heparin
 Diagnosa Post Hemodialisa
- Nyeri akut behubungan dengan aktivasi receptor nyeri di area insersi
- Resiko Infeksi berhubungan dengan port de entry akibat penusukan daerah insersi
Tg No Diagnosa
Tujuan Kriteria Standart Intervensi TT
l Dx Keperawatan

1 Kelebihan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 Fluid management


volume cairan jam, volume cairan seimbang
1-4. 1 kaji intake dan output cairan,
NOC
2,3. 1 timbang berat badan secara rutin
Fluid overload severity
2,3. 2 Jelaskan pada pasien dan
No Indikator 1 2 3 4 5 keluarga tentang pembatasan
cairan
1 Tekanan darah
1-4. 2 monitor hasil lab terkait retensi
2 Berat badan cairan
3 Edema 2-4. 1 Kaji lokasi dan berat edema
4 Pusing 1-4. 3 Kolaborasi tindakan dialisis
Keterangan Penilaian : 2.1 monitor BB pasien setelah dialisis
1 : Severe

2 : Substantial.

3 : Moderate

4 : Mild deviation

5 : None.
Tg No Diagnosa
Tujuan Kriteria Standart Intervensi TT
l Dx Keperawatan

2 Intoleransi Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 Activity therapy, pain management
aktivitas jam, terdapat perbaikan dalam klien beraktivitas
1-4. 1 kaji kemampuan pasien untuk
beraktivitas sehari hari

NOC 1-4. 2 dampingi pasien saat beraktivitas

Activity tolerance 1-4.2 dampingi pasien atau keluarga


untuk mengidentifikasi defisit aktivitas
N Indikator 1 2 3 4 5
o 1-4.3 berikan reinforcement saat klien
biasa beraktivitas mandiri
1 Jarak berjalan
1-4. 4 monitor status emosional, sosial
2 kelelahan dan spiritual sebagai respon aktivitas
3 kemampuan 4.1 kaji dampak nyeri terhadap aktivitas
beraktivitas sehari
hari 4.2 ajarkan manajemen nyeri misal
teknik distraksi, relaksasi
4 nyeri otot

Keterangan Penilaian :

1 : Severe compromised

2 : Substantial compromised

3 : Moderate compromised

4 : Mild deviation compromised

5 : No compromised
Tg No Diagnosa
Tujuan Kriteria Standart Intervensi TT
l Dx Keperawatan

3 Resiko infeksi Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 1-4.1 monitor TTV
b.d prosedur jam, tidak terdapat tanda tanda infeksi
invasif 1-4.2 hindari mengukur TD di lengan
hemodialisa NOC yang terdapat fistula

N Indikator 1 2 3 4 5 1-3. 1 pakai teknik aseptik saat prosedur


o dialisa

1 Warna kulit sekitar 1-4.3 ajarkan klien dan keluarga tanda


insersi gejala yang membutuhkan penanganan
medis
Suhu disekitar
2 insersi 1-4.4 kaji daerah sekitar insersi
3 Rembesan drainase
di sekitar insersi

4 Pergeseran kanula

Keterangan Penilaian :

1 : Severe compromised

2 : Substantial compromised

3 : Moderate compromised

4 : Mild deviation compromised

5 : No compromised
Daftar Pustaka

Almatsier, S .2007 .Penuntun Diet, Instalasi Gizi Perjan RSCM .Jakarta : Gramedia .

Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam.Volume 3 Edisi 13. Jakarta:
EGC, 2000.1435-1443.

Hartono, Andry .2004 . Terapi Gizi dan Diett Rumah Sakit .Jakarta : Buku Kedokteran EGC .

Kristanto, David . 2011. Gagal Ginjal Kronik .Bekasi : Media Komunitas Info .

Mansjoer A, et al. 2002. Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3.
Jakarta: Media Aesculapius FKUI

National Kidney Foundation, K/DOQI.Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney


Disease : Evaluation, classification, and stratification. Am J Kidney Dis. 2002;39(1).

Price SA dan Wilson LMC. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Edisi
6.Vol 2.Jakarta: Kedokteran EGC

Smeltzer SC dan Bare BG. 2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth.Ed.8. Vol.2. Jakarta: Kedokteran EGC

Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP.2001. Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI

Suwitra K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Tierney LM, et al. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran Penyakit Dalam
Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.2003.

Anda mungkin juga menyukai