Anda di halaman 1dari 16

HASRAT NANO RIANTIARNO DALAM CERMIN BENING:

KAJIAN PSIKOANALISIS LACANIAN

N. Riantiarno’s Desire in “Cermin Bening”: Lacanian Psychonalysis Study

Ricky Aptifive Manik

Kantor Bahasa Provinsi Jambi


Jalan Arif Rahman Hakim No. 101, Telanaipura, Jambi
Telepon: 08126738407, Pos-el: rickymanik@gmail.com

Naskah masuk: 14 September 2015, disetujui:22 Maret 2016, revisi akhir: 22 Maret 2016

Abstrak: Karya sastra merupakan manifestasi hasrat pengarang. Dalam sejarahnya, hasrat terbentuk
dari rasa kekurangan subjek. Menulis karya sastra merupakan upaya untuk menutupi kekurangan tersebut.
Upaya itu dapat dilihat dalam pandangan pengarang akan ego-ego ideal di dalam karya-karyanya. Novel
Cermin Bening adalah sampel untuk melihat apa dan bagaimana hasrat Nano Riantiarno. Tujuannya
adalah menemukan apa yang menjadi pembayangan ego-ego ideal bagi Nano. Telisik hasrat ini akan
menggunakan kajian psikoanalisis Lacanian (PL). Melalui PL ini akan digunakan metode metafora dan
metonimia dalam melihat penanda-penanda hasrat Nano dalam Cermin Bening. Kajian ini menemukan
bahwa hasrat menjadi penulis dan seniman seolah membuat Nano menemukan kebebasan dari berbagai
jerat dan belenggu “yang simbolik”. “Kebebasan” menjadi objek a Nano untuk mendapatkan jouissance
bagi dirinya. Menjadi seniman dan penulis merupakan anchoring point Nano dalam menyudahi
keambiguitasan dan ketidakmenentuan dirinya.
Kata kunci: hasrat, seniman, psikoanalisis, Lacan, Nano Riantiarno

Abstract: Literary work is a manifestation of the writer’s desires. In its history, desires were
created from the lack of writing subject. Writing a literary work is an effort to cover this insufficieny.
This effort can be seen in the writer’s view about his ego-ideal in his works. A novel entitled
Cermin Bening is a sample to see what and how Nano Riantiarno’s desires are. It is aimed to find
the shadow of his ego-ideal.This research applies Lacanian Psychoanalysis (LP) study. Through
this LP study, the method of metaphor and metonymy is used to see the signs of Nano’s desires in
Cermin Bening.This study reveals that a desire to be a writer and an artist makes Nano find his
freedom from snares and shackles of The Simbolic.The freedom becomes Nano’s object to get
jouissance for himself. Being an artist and a writer is Nano’s anchoring point in finishing his
ambiguity and instability.
Key words: desire, artist, psychoanalysis, Lacan, Nano Riantiarno

1. PENDAHULUAN
kehendak/hasrat, dan ruh/jiwa. Akan
Penemuan Freud akan hasrat tetapi, para kaum rasionalisme Barat lebih
(ketidaksadaran) meruntuhkan pandangan mengagung-agungkan rasio/akal sebagai
rasionalisme Barat yang gagal konstruksi diri, sedangkan hasrat cenderung
mendefenisikan ketaksadaran (Bracher, diabaikan. Hasrat hanya sebagai entitas
2009: ix). Hal ini dikarenakan sikap tidak “pelengkap” bagi keutuhan rasio.
peduli (indifferent) atas hasrat yang diidap Freud menggeledah hasrat pada
oleh para rasionalis sejak Yunani Kuno. Diri wilayah ketidaksadaran dan menemukan
dipercayai dikonstruksi oleh rasio/akal, hasrat primordial yang liar, disruptif,

109
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 109—124

instingtif, dan irasional. Penemuan Freud pernah didapati kembali. Perasaan yang
ini, di satu sisi dapat dilihat sebagai usaha mendekam di alam ketidaksadaran ini
yang sangat eksploratif dan revolusioner, melahirkan hasrat yang tak pernah habis
tetapi di sisi lain bersifat reduktif. Freud terpuaskan.
menyempitkan hasrat hanya sebagai energi Lalu, bagaimana melihat hasrat ini
libidinal atau seksual. Sifat liar dari hasrat terhadap sastra? Jika dikatakan segala
ini dilihat sebagai kandungan tindakan manusia itu merupakan hasil/
ketidaksadaran yang mesti “dipotong” arus produksi dari hasrat, tindakan
pertumbuhannya karena dianggap bisa menghasilkan karya sastra oleh pengarang
membahayakan otoritas Ego (Hartono, tersebut merupakan manifestasi dari
2007: 33). hasratnya. Pengarang dalam pengertian
Masuknya subjek ke dalam wilayah Lacanian adalah subjek yang
sosial ini dengan pengebirian hasrat dalam berkekurangan itu. Teori Lacan tentang
konsep pembentukan Ego Freud inilah yang subjek adalah bahwa manusia itu diwakili
pada akhirnya membuat Freud juga oleh bahasa, oleh objek-objek khusus yang
mengagung-agungkan rasio/kesadaran dan disebut “kata-kata”. Istilah teknis Lacan
terjebak dalam subjek Cartesian dengan untuk “kata” adalah “penanda”. Bilamana
adagiumnya cogito ergo sum. seseorang berbicara atau menulis, ia selalu
Salah seorang “neofreudian” Prancis, mewujudkan diri dengan bahasa, dengan
yakni Lacan menolak ego sebagai sumber penanda-penanda. Penanda-penanda
kekuatan psikologis. Ego menurutnya tidak adalah satu-satunya cara subjek itu dapat
mampu membedakan hasratnya dan hasrat mewujudkan dirinya (Hill, 2002: 29-30).
orang lain serta cenderung kehilangan Begitu pula dengan sastra yang merupakan
dirinya dalam samudra objek-objek: penanda sebagai perwujudan diri si
manusia dan citraan (Adian, 2009: xxxvi). pengarangnya.
Bagi Lacan, pembentukan ego yang pertama Dalam hal ini, slogan Lacan adalah
atau ego primordial adalah terjadi pada “penanda mewakili subjek bagi penanda
tahap cermin. Pada tahap ini anak lainnya”. Apabila karya sastra dianggap
mengidentifikasi diri pada citraannya yang sebagai penanda (bahasa) perwakilan
ada di cermin. Dorongan anak subjek pengarang, ada penanda lainnya
mempersepsikan citraan di cermin sebagai yang berbeda dari subjek pengarang.
dirinya merupakan hasratnya untuk Bahasa (penanda) menjadi tujuan penting
memiliki identitas. Momen ini akan dalam kajian psikoanalisis Lacanian karena
senantiasa bekerja dalam rentang hidup ketidaksadaran terstruktur seperti bahasa
manusia. Manusia memiliki dimensi imajiner yang memainkan peranannya di dalam
dalam hidup psikisnya, yaitu metafora dan metonimia. Dalam perspektif
kecenderungan untuk mengidentifikasikan Lacanian, Seperti yang dikemukan oleh
diri dengan diri-diri ideal. Faruk, memahami karya sastra adalah usaha
Lacan mengatakan bahwa apa yang untuk menemukan ketidaksadaran subjek
menggerakkan kehidupan manusia adalah dalam mencari keutuhan/kepenuhan
hasrat. Manusia sejak dilahirkan hingga dirinya. Oleh karena kondisi ketidaksadaran
melepaskan diri dari kesatuan-kesatuan itu tidak mungkin untuk diakses sepenuhnya
eksistensial dalam dunia “real” selalu maka untuk dapat memahami karya sastra
mengalami kekurangan-kekurangan (lack), tersebut adalah dengan cara melihat bahasa
manusia dianggap selamanya berlubang. karya sastra tersebut, yaitu melalui
Rasa kekurangan, selamanya mengikuti— fenomena metafora dan metonimia (Faruk,
seperti hantu yang menggentayangi— 2012: 197). Melalui metafora dan metonimia
kehidupan manusia. Padahal kesatuan yang digunakan sebagai alat atau media
eksistensial (dalam dunia real) itu tidak akan karya sastra oleh pengarang ini, akan dapat

110
RICKY APTIFIVE MANIK: HASRAT NANO RIANTIARNO DALAM CERMIN BENING: KAJIAN...

ditemukan bagaimana struktur pentas Teater Koma-nya seringkali membuat


ketidaksadaran pengarang itu bekerja yang marah para penguasa Orde Baru. Oleh
kemudian disebut sebagai hasratnya. karena itu, Nano dan kelompok teaternya
Dalam penelitian ini penulis ingin tak luput dari pencekalan-pencekalan yang
mengambil sosok Nano Riantiarno yang berupa pelarangan pentas (Anwar, 2005:
penulis nilai sangat produktif dalam 70—72).
menghasilkan karya-karyanya. Artikel ini Akan tetapi, buah dari pencekalan itu
sendiri merupakan bagian dari hasil tidak menyurutkan produktivitasnya.
penelitian penulis yang telah penulis lakukan Karya-karyanya yang lahir justru banyak
dalam bentuk tesis S2 di jurusan Ilmu Sastra yang memperjuangkan identitas kaum
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah pinggiran (orang-orang miskin di Jakarta,
Mada dengan judul “Hasrat N. Riantiarno orang-orang yang dianggap “abnormal”
dalam Trilogi Cermin Kajian Psikoanalisis seperti kaum lesbian, gay, biseksual, dan
Lacanian”. transeksual, atau yang disingkat dengan
Kebenaran tentang hipotesis Lacan LGBT) dan orang-orang terkena dampak
mengenai hasrat subjek yang selalu politik stigmatisasi seperti etnis Tionghoa
berkekurangan akan penulis uji pada sosok dan keluarga PKI. Semua itu terlihat dalam
Nano dalam novel Cermin Bening (2005). naskah-naskah dramanya, yaitu dalam
Novel Cermin Bening (CB) merupakan trilogi Kecoa dan naskah-naskah yang
kelanjutan dari novel Cermin Merah (CM) disadur dari cerita negeri Cina (Sampek
dan novel yang terakhir berjudul Cermin Engtay, Opera Ular Putih dan Sie Jin Kwie).
Cinta. Ketiga novel ini disebut sebagai trilogi Hal ini menjadi bukti bahwa keberadaan
Cermin. identitas kaum yang terpinggirkan atau
Nano adalah seorang sastrawan yang bahkan diabsensi membawa kegelisahan
pada diri Nano. Penulis menduga ada
lebih di kenal lewat naskah-naskah
pertanyaan yang implisit pada diri Nano
dramanya. Ia juga dikenal sebagai sutradara
yang termanifestasi dalam karya-karyanya
sekaligus pendiri Teater Koma (Anwar,
perihal identitas-identitas yang
2005: 61). Selain menulis naskah drama
terpinggirkan ini. Misalnya, mengapa
untuk pentas Teater Koma, ia juga menulis
puisi, cerpen, skenario film dan novel. keberadaan kaum LGBT ini cenderung
dianggap “abnormal”, “perilaku
Meskipun tidak seproduktif menulis naskah
menyimpang”, dan “sakit” di dalam
drama, skenario filmnya yang berjudul
lingkungan sosialnya. Pertanyaan ini tentu
Jakarta-Jakarta pernah memenangi Piala
saja berlaku untuk identitas-identitas lain
Citra pada Festival Film Indonesia tahun
yang juga mendapatkan perlakuan yang
1978. Dua novelnya yang berjudul Ranjang
Bayi dan Percintaan Senja meraih hadiah sama: stigmatisasi. Diskriminasi yang terjadi
terhadap kaum-kaum yang dipinggirkan ini
sayembara novel majalah Femina dan Kartini
telah membawa dampak akan hilangnya
(Anwar, 2005: 61). Untuk menjaga
harmonisasi di dalam kehidupan manusia
produktivitasnya dalam menulis, dapat
tersebut. Kehilangan harmonisasi inilah
dipastikan bahwa selain membaca, Nano
yang penulis asumsikan telah menjadi
juga menyerap banyak hal untuk dipelajari
sebagai sumber inspirasi yang kemudian keresahan/kegelisahan Nano.
menjadi ide dalam tulisannya. Lingkungan Asumsi lainnya adalah adanya satu
sosial di sekitarnya, yaitu Jakarta perasaan persamaan identitas yang tertindas
merupakan hal-hal yang sering muncul dalam sebuah wacana sosial bagi Nano
sebagai ide-ide kreatif menulisnya, di sendiri. Itulah mengapa Lacan mengatakan
samping pengetahuannya tentang sejarah, (dalam Sarup, 2011) individu tidak terpisah
seni, budaya, psikologi, sosial, dan dari masyarakat. Nano tidak bisa
sebagainya. Kritik-kritik sosial yang acap dipisahkan dari masyarakatnya.
hadir dalam naskah-naskah drama dan Masyarakat ada dalam diri setiap individu.

111
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 109—124

Jawaban atas kedua pertanyaan tersebut dalamnya digambarkan atau dibayangkan


ada pada prinsip kekurangan (lack) memiliki keutuhan akan identitasnya. Jika
Lacanian. Dalam bahasa Lacanian, hal itu secara eksplisit yang dihadirkan adalah
dikatakan sebagai subjek-subjek yang tokoh-tokoh ironi atau dunia-dunia ironi,
terbelah. Wacana ini cenderung secara implisit atau yang tidak tampak
mengkonstruksi dalam bentuk perbedaan, adalah gambaran tentang yang ideal
seperti perempuan-laki-laki, yang baik-tidak tersebut. Hal mengenai yang ideal ini
baik, benar-tidak benar, normal-tidak nor- muncul sejak pengenalan diri pada cermin
mal oleh sebuah tatanan simbolik, seperti dan selalu menyertai dalam kehidupan
agama, masyarakat (adat), dan negara. manusia (baca: pengarang) itu.
Wacana ini terjadi pada diri subjek pada fase Oleh karena itu, menulis karya sastra
yang disebut sebagai fase cermin, di mana adalah sebagai kanal tempat mengalirnya
seseorang akan melihat diri-diri yang ideal hasrat Nano selaku pengarang. Oleh karena
dalam konstruksi “yang simbolik”. Fase itu, menelisik aspek intrinsik yang ada di
cermin ini ditafsirkan oleh Althusser sebagai dalam karya tersebut menjadi hal penting,
ideological state apparatus (ISA). Ideologi sebab bahasa yang menjadi media dalam
aparatus negara (ISA) menurut Althusser karya tersebut merupakan alat penting
berbeda dari aparatus negara (state appara- dalam telisik psikoanalisis Lacanian.
tus, SA). SA memuat pemerintah, Menelisik aspek intrinsik ini menjadi jendela
administrasi, angkatan bersenjata, polisi, dalam melihat persoalan wacana sosial yang
pengadilan, penjara, dan sebagainya yang disampaikan oleh pengarang melalui
kemudian disebutnya sebagai aparatus karyanya yang merupakan metafora-
negara represif. Adapun ISA memuat metafora hasrat pengarang yang
agama, pendidikan, keluarga, hukum, termanifestasikan.
politik, serikat buruh, komunikasi, dan
Berdasarkan pemaparan di atas,
budaya. Perbedaan keduanya terletak pada
masalah yang ingin penulis rumuskan
praktiknya. SA pada praktiknya lebih
dalam penelitian ini hanya satu hal pokok
menonjol lewat represif, ISA lebih menonjol
saja, yaitu apa dan bagaimana hasrat Nano
lewat ideologi. (Althusser, 2010: 19—21).
sebagai hasrat subjek yang berkekurangan
ISA inilah yang justru membuat diri (lack) di dalam Cermin Bening. Tujuan
subjek/manusia/Nano itu terpenjara secara penelitian ini adalah mengidentifikasi hasrat
simbolik yang kemudian membuat dirinya Nano dan mendeskripsikan bagaimana
menjadi split (terbelah), yakni di antara hasrat itu terbentuk yang
keinginan asali dan keinginan ISA (Yang dimanifestasikannya di dalam Cermin
Simbolik). Namun, kenyataannya keinginan Bening.
asali cenderung disimpan rapat-rapat agar
Nano lebih dikenal sebagai seorang
tak mencuat ke luar, yang dimunculkan
dramawan atau pegiat teater. Tidaklah
hanya apa yang menjadi keinginan “yang
mengherankan jika penelitian terhadap
simbolik”. Itulah sebabnya mengapa Lacan
karya-karya Nano lebih banyak dilakukan
mengatakan bahwa ego itu ilusif.
pada naskah-naskah dramanya. Dari sekian
Ketegangan-ketegangan akan kekurangan
banyak penelitan yang dilakukan terhadap
eksistensial ini yang secara terus-menerus
karya-karya Nano, belum ada yang melihat
berlangsung sepanjang hidup subjek/Nano.
dan menemukan apa yang membuat Nano
Karya sastra dapat dijadikan media bagi sebegitu produktifnya. Syaiful Anwar dalam
pengarang dalam memanifestasikan hasrat tesis S-2 (UGM) yang kemudian dibukukan
ingin menjadi dan hasrat ingin memilikinya, dengan judul N. Riantiarno: Dari Rumah
yaitu dengan menghadirkan, baik secara Kertas ke Pentas Dunia (2005) hanya
eksplisit maupun implisit tokoh-tokoh ideal menuliskan mengenai siapa Nano dan
dan dunia-dunia ideal di dalam karyanya, kehidupannya dalam menghasilkan karya-
di mana subjek-subjek yang ada di karya serta faktor-faktor yang

112
RICKY APTIFIVE MANIK: HASRAT NANO RIANTIARNO DALAM CERMIN BENING: KAJIAN...

menyebabkannya menjadi seniman teater hasrat (desire) pada diri subjek.


Indonesia. Penelitian ini belum sampai pada Faruk mengatakan bahwa bahasa
hal yang substansial mengenai apa yang merupakan sebuah tatanan kultural yang
menjadi keinginan (hasrat) Nano yang menanamkan subjektivitas bagi manusia,
sesungguhnya. membuat manusia menemukan identitas
atau dirinya. Namun, apa yang dilakukan
2. METODE PENELITIAN bahasa pada subjek itu bersifat mendua: di
satu pihak memberikan rasa subjektivitas, di
Penelitian terhadap CB ini adalah lain pihak menjauhkan sang subjek dari diri
penelitian dengan metode psikoanalisis asalinya. Bahasa, dengan demikian, justru
Lacanian. Metode ini berangkat dari asumsi memperkuat rasa kurang dan rasa
teoritik bahwa identitas manusia (subjek) kehilangan (Faruk, 2012: 196).
atau masyarakat terbentuk dari hasratnya
yang merupakan produk ketidaksadaran. Dengan menemukan dan
Apa yang membentuk diri (ego) berasal dari mengidentifikasi hasrat yang ada dalam CB
ketidaksadaran. Faruk mengemukakan ini, melalui metode subjek Lacanian ini pula
bahwa teori psikoanalisis Lacan akan ditemukan apa yang menjadi hasrat
menganggap alam bawah sadar manusia Nano sebagai subjek yang berkekurangan.
selalu dalam keadaan “kurang”, merasa ada Hal ini penting karena hasrat akan
yang hilang sehingga tumbuh hasrat dan menentukan arah “menjadi” seseorang dan
usaha yang terus-menerus untuk menutupi apa yang ingin “dimiliki”.
kekurangan itu, menemukan kembali apa Untuk mendapatkan konsep diri, Lacan
yang hilang, membuat manusia kembali membagi proses pembentukan subjek itu ke
lengkap, sempurna, utuh, menemukan dalam tiga fase yang memiliki hubungan
identitasnya, menjadi dirinya kembali dengan tiga ranah atau tatanan dalam psikis
(Faruk, 2012: 196). manusia. Yang pertama dinamakan fase pra-
Karya sastra yang diproduksi odipal pada tatanan real (the real), fase
pengarang juga merupakan produk hasrat cermin pada tatanan imajiner (the imaginer),
pengarang/manusia sebagai subjek. Untuk dan fase odipal pada tatanan simbolik (the
mendapatkan konsep diri manusia (subjek) simbolic).
dari lahir menuju dewasa yang dinamakan Pada fase pra-odipal, seperti halnya
sebagai Oedipus Complex, manusia harus Freud, Lacan juga mengatakan pada fase ini
menempuh tiga fase yang berhubungan bayi belum mengenali dirinya dan batasan
dengan tiga ranah (register) atau tatanan egonya. Diri bayi merasa satu dengan diri
(order) psikisnya, yaitu fase pra-oedipal pada ibunya bahkan juga dengan diri yang lain,
tatanan real (the real), fase cermin pada tak ada yang membedakan. Bayi dan ibu
tatanan imajiner (the imaginary), dan fase masih merupakan kesatuan. Dalam fase
odipal pada tatanan simbolik (the simbolic). cermin, terjadi tiga hal penting. Pertama
Ketiga tatanan ini senantiasa mengiringi adalah pada saat bayi menyadari
setiap langkah hidup manusia itu. Dikatakan keterpisahannya dengan ibunya. Hal ini
juga bahwa subjek Lacanian adalah subjek membuat sang bayi merasa kehilangan,
yang terbelah (split), kekurangan, dan tidak kekurangan, dan ingin menyatu kembali
utuh. Dalam konsep kekurangan ini, Lacan dengan ibu. Akan tetapi, bayi masih belum
melihatnya ada determinasi antara “yang mengetahui konsep “diri”-nya. Hal ini
real” dan “yang simbolik”. Oleh karena itu, membawa bayi pada hal penting
subjek ini terus mencari kepastian diri yang berikutnya, yaitu dari kebutuhan menjadi
seringkali mengacu pada “yang lain”. Dalam permintaan. Kedua, dikarenakan
usaha pencarian inilah subjek kebutuhannya tak lagi secara otomatis
mengkonstruksi dirinya terhadap realitas. terpenuhi, sang bayi harus memintanya.
Pengkonstruksian diri ini mengandung Akan tetapi, bayi tak dapat

113
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 109—124

mengartikulasikan permintaannya dengan merupakan gagasan yang fundamental


tepat, akibatnya sang ibu atau siapa pun dalam konsepsi subjek dalam psikoanalisis
tidak dapat memenuhi permintaannya. Di Lacanian. Namun, kehilangan di sini
sini bayi hanya bisa menangis karena bayi merupakan suatu persepsi atau
belum memiliki bahasa. kesalahmengiraan tentang adanya yang
Hal ketiga yang terpenting lainnya hilang. Apa yang hilang itu? Tidak lain
adalah terjadi proses identifikasi pada bayi. adalah objek-penyebab-hasrat, atau yang
Imajiner adalah istilah yang dipakai Lacan disebut Lacan sebagai objek a (objek petit a).
untuk menyebut proses pembentukan subjek Huruf “a” merupakan singkatan bahasa
yang didominasi oleh identifikasi dan Perancis “autre” (other). Hasrat Lacanian
dualitas, sebelum pengenalan pada bahasa selalu berkaitan dengan yang lain.
(Hartono, 2007: 23). Identifikasi menurut Mengakuisisi akan objek ini dapat
Lacan adalah suatu transformasi yang memberikan suatu jouissance. Arti jouissance
terjadi pada benak subjek saat ia di sini tidak dapat diartikan sebagai
membayangkan suatu citra, seperti yang “kenikmatan” saja karena dalam konteks
ditulisnya dalam artikel panjangnya, “Ecrits: Lacanian, jouissance itu seperti kenikmatan
The Transformation That Takes Place in The yang paradoksal: di satu sisi membawa
Subject When He Assumes an Image” (Lacan, nikmat, di sisi lain membawa derita.
1977: 2). Identifikasi pertama kali yang Untuk dapat memahami bagaimana
dilakukan oleh bayi pada saat dirinya subjek terus menerus mencari objek a yang
melihat cermin adalah mencampuradukan nyatanya tidak akan pernah ia dapatkan
bayangannya dengan bayangan orang lain. adalah dengan memahami tentang fase
Di sinilah bayi mengalami cermin kedua Lacanian: Oidipus Complex
kesalahmengertian (misrecognition) terhadap dan bahasa.
dirinya sendiri. Namun, pada saat itulah bayi Pada fase cermin yang kedua ini anak
mulai belajar untuk menciptakan konstruksi belajar konsep citra. Fungsi cermin pada
suatu pusat atau yang Lacan sebut sebagai tahap Oidipus Complex dipresentasikan oleh
“ego ideal”. Kemudian, ketika si anak orang tua. Artinya, orang lain pertama yang
tumbuh dewasa, ia akan terus membuat memberi identitas pada diri subjek adalah
identifikasi imajiner dengan objek-objek orang tua, khususnya ibu. Triangulasi Freud
yang ditemuinya. dalam menjelaskan relasi antara anak-ibu-
Fase ketiga adalah fase odipal atau ayah ditransformasikan oleh Lacan. Ayah
tatanan simbolik. Pada fase inilah anak biologis Freud diterjemahkan Lacan sebagai
harus mengalami kastrasi, di mana anak ayah simbolis dengan konsep “atas-nama-
harus berpisah dari ibunya. Ibu dipandang ayah”. Konsep “atas-nama-ayah” adalah
sebagai “Liyan” sebab ibu tak lagi dilihat representasi dari semua bentuk jejaring
sebagai satu kesatuan pada diri sang anak. kultural yang menentukan identitas anak.
Kemunculan ayah memperparah hubungan Oidipus Complex dilihat sebagai momen di
antara ibu dan anak. Kehadiran “ayah mana anak menyadari diri, orang lain, dan
simbolik” menyebabkan anak kehilangan dunia.
objek hasratnya, yakni ibu (liyan). Konsep Bahasa merupakan representasi jejaring
liyan (l kecil) merujuk pada objek hasrat yang kultural yang paling dominan dalam
disebut Lacan sebagai objek a. Adapun Liyan mendefinisikan subjek. Menurut Lacan,
(L besar) merupakan pusat otoritas kultural subjek ditentukan oleh bahasa, malahan
simbolik. Oleh Freud, hal itu dinamakan subjek tidak mungkin ada tanpa bahasa.
sebagai Phallus (Lacan, 1988: 243—247). Dengan kata lain, tidak ada subjek yang
Konsep hasrat ini juga berangkat dari bebas dari bahasa. Semua subjek tenggelam
suatu kegelisahan (anxiety). Gagasan dalam bahasa dan tidak pernah lepas dari
kegelisahan adalah selalu merupakan reaksi bahasa sehari-hari. Semua manusia
akan suatu kehilangan. Kehilangan mempresentasikan diri melalui bahasa dan

114
RICKY APTIFIVE MANIK: HASRAT NANO RIANTIARNO DALAM CERMIN BENING: KAJIAN...

bahasa adalah jalan menuju domain sosial tatanan simbolik. Manusia tidak akan
(Hartono, 2007: 26—27). pernah bisa melepaskan diri dari
Dengan tenggelam ke dalam bahasa, cengkeraman simbolik. Bagi Lacan, tidak ada
manusia masuk ke dalam “permainan hasrat yang autentik, “man’s desire is the de-
bahasa” dengan segala atribut linguistiknya. sire of the Other” (Lacan, 1977: 312). Nano
Permainan atribut bahasa inilah yang sendiri pernah beranggapan bahwa dunia
kemudian menentukan identitas subjek: teater yang digelutinya dapat menjamin
menentukan wilayah sadar (ego) subjek. keberlangsungan hidupnya dan
Ada dua cara kerja bahasa dalam keluarganya, tetapi anggapan itu pada
memengaruhi identifikasi subjek. Pertama, kenyataannya belum memberikan bukti. Hal
bahasa yang bekerja dengan hukum ini seperti yang dituliskannya dalam
pembedaan (metonimia). Kedua, adalah makalah berikut.
fungsi metaforis penanda. “Memang, pernah pada suatu masa saya
Metafora dan metonimia merupakan sangat yakin teater di Indonesia bisa
dua jenis negosiasi utama yang berlangsung dijadikan ladang hidup. Tapi nyatanya
pada penanda-penanda. Dalam pemikiran hingga kini hal itu tetap belum mungkin.
Lacan, metonimia terkait dengan cara Akhirnya saya menyerah.” (Riantiarno,
penanda-penanda itu terhubung dengan 1997: 3—4)
penanda lain dalam sebuah rantai dan Oleh karena dunia teater belum
akhirnya dengan seluruh jaringan memberikan jaminan sebagai ladang hidup,
memberikan jalur tempat bekerjanya sementara kebutuhan keluarga meningkat,
identifikasi dan hasrat. Bracher (2009) Nano sangat menerima pinangan Putu
mengatakan bahwa metonimia adalah Wijaya untuk mendirikan dan bekerja
sebuah fungsi diskursif membentuk sebagai redaktur di majalah Zaman. Pilihan
persekutuan dan pertentangan pada itu tentu dirasakan tepat bagi dirinya karena
penanda-penanda ini. dunia tulis-menulis adalah bidang yang
Menurut konsep bahasa Lacanian, disukainya. Dalam CB ini, Nano
suatu penanda selalu menandakan penanda mengukuhkan dirinya sebagai penulis, baik
lain: tidak ada kata yang bebas dari dirinya bekerja sebagai wartawan maupun
metaforisitas (metafora adalah penanda sebagai penulis naskah drama untuk pentas-
yang menandakan penanda lain). Lacan pentas teater dan perfilman.
bicara tentang glissement (keterpelesetan, “Akhir 1967, aku mengembara ke Jakarta.
ketergelinciran) dalam mata rantai Aku bekerja di dunia perfilman dan
penandaan, dari penanda yang satu ke mengalami berbagai peristiwa. Empat
penanda yang lain. Karena setiap penanda tahun lalu aku keliling nusantara dengan
dapat menerima pemaknaan, tidak pernah niat membaca kembali Indonesia.
ada makna yang tertutup, makna yang Kuhabiskan waktu satu tahun
memuaskan (Sarup, 2009: 10). Metafora perjalanan. Berbagai pelajaran kuserap.
merepresentasikan salah satu cara yang Membuat aku makin yakin hidup tidak
digunakan untuk menstruktur pelbagai sia-sia. Begitu kembali ke Jakarta,
macam wacana. kudirikan sebuah kelompok seni
pertunjukan, Teater Langit. Aku bekerja
3. HASIL DAN PEMBAHASAN di dunia teater, film, dan televisi sebagai
aktor, penulis, sekaligus sutradara.” (CB,
3.1 Hasrat atas Identitas Penulis hlm. 2)
Dalam perspektif psikoanalisis Dunia tulis-menulis tentu tidak menjadi
Lacanian, setiap subjek ingin keluar dari hasrat yang muncul dengan sendirinya.
tatanan simboliknya dan mencari ke tatanan Hasrat berdasarkan perspektif Lacanian
real-nya. Maka ia akan kembali terjebak pada muncul dari berbagai kehilangan yang

115
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 109—124

terjadi pada tiga tahapan pembentukan Kutipan di atas memperlihatkan


subjek. Hasrat untuk menjadi penulis adanya keinginan Nano untuk
merupakan hasrat yang terbentuk pada menggambarkan bahwa menjadi penulis
tahap simbolik, di mana subjek memiliki juga dikira akan memberikan keutuhan
kebutuhan akan citra atau identitas. identitas. Secara imajiner, penulis-penulis
Kebutuhan akan citra atau identitas ini besar menjadi ego ideal untuk mangakuisisi
adalah hasrat tak sadar untuk memperoleh identitas tersebut dan dihasrati karena
landasan bagi perasaan kedirian yang utuh seolah dapat memberikan sense of identity
yang pada gilirannya akan membuat subjek bagi subjek. Oleh karena dikira identitas
dikenali, diakui, dan dicintai oleh yang lain. penulis dapat memberi keutuhan diri, subjek
Hal ini mengartikan bahwa kebutuhan akan berupaya mendapatkan kegiatan, situasi,
citra atau identitas penulis bagi Nano adalah dan objek-objek yang memberi kesempatan
sesuatu yang fundamental dari kehilangan untuk mengejawantahkan penanda
atau kekurangan yang ada pada dirinya. identitas penulis, seperti pada kutipan
Demikian halnya yang tergambar dalam berikut.
novel CB, melalui tokoh Arsena. Jika untuk “Aku dengar semua yang terjadi. Tapi,
bekerja pada sebuah sistem orang lain tidak jangan patah. Waktumu masih panjang.
memungkinkan bagi Arsena karena Satu novel yang ditolak bukan akhir dari
menyebabkan dirinya kehilangan kehidupan. Masih banyak bentuk
keberadaan identitasnya yang lain. Cara kreativitas lain yang bisa kau gali. Teater,
untuk mendapatkan pengakuan film, atau cobalah menulis novel lagi.
keberadaannya adalah dengan menjadi Bekerjalah! Yang penting, semua
sistem itu sendiri. Pekerjaan yang menjadi pekerjaan kau kerjakan dengan gembira.
sistem sendiri itu seperti membuka usaha Kegembiraan adalah salah satu jalan
sendiri, salon, artis, berdagang, penulis, menuju kebahagiaan yang layak.” (CB,
seniman, dan lain-lain. Pilihan menjadi hlm. 139)
penulis adalah bakat dan potensi yang “Di Jakarta, sambil bekerja membantu
memang telah dimiliki oleh Arsena yang Hilman bikin film, aku mulai coba-coba
digambarkan oleh Nano. menulis puisi dan cerita pendek. Hilman
“...Kamu punya bakat menulis. Terus jadi mentor. Beberapa karyaku dimuat
menulis apa saja, untuk latihan. Aku koran mingguan dan majalah sastra.
yakin kau akan jadi penulis hebat. Tapi Tapi, cita-cita lebih dari itu. Aku ingin
harus kerja keras dan tekun berlatih. Aku menjadi penulis terkenal, novelis. Aku
punya beberapa buku teori penulisan. bekerja keras mewujudkan cita-cita itu.
Ada di peti. Kau harus baca. Penting Membaca dan menulis adalah bagian
mengetahui pengalaman para pengarang paling utama dari kegiatanku sehari-
besar menemukan tema, teknik, dan gaya hari.” (CB, hlm. 140)
menulis.” (CM, hlm 136)
Pada kutipan pertama Nano
“...Saya juga ingat Arsena. Apa yang menggunakan tokoh Hilman dalam
terjadi dengan dia sekarang? Dulu dia pandangannya mengenai keinginan untuk
pernah bermain sandiwara bersama menjadi penulis. Penanda seperti jangan
Herman. Tapi, bakatnya sebagai pemain patah, waktu masih panjang, bentuk kreativitas
agak kurang. Dia terlalu serius. Terlalu lain, menulis novel lagi, kerjakan dengan
sering melamun. Mungkin bakatnya lebih gembira merupakan metafora dan metonimia
condong ke penulisan. Dia bisa menulis dari semangat, pantang menyerah, ulet,
apa saja yang dilamunkan. Kalau dia konsisten, tekun, rajin, yakin, bahagia, suka cita,
mau dan sungguh-sungguh, saya yakin dan lain-lain yang menjadi penanda hasrat
dia bisa jadi pengarang besar.” (CB, hlm. dalam atribut identitas “penulis”.
108—109)

116
RICKY APTIFIVE MANIK: HASRAT NANO RIANTIARNO DALAM CERMIN BENING: KAJIAN...

Kutipan kedua menunjukan adanya menjalani kehidupannya dengan seolah-


upaya pada pengejawantahan penanda- olah mengetahui atau mendapat objek a
penanda identitas penulis tersebut, seperti tersebut. Keseolah-olahan inilah yang
bekerja keras mewujudkan cita-cita menjadi menjamin konsistensi eksistensi subjek di
penulis terkenal, menjadi novelis, tengah kegegaran dan ambiguitas ke-diri-
melakukan kegiatan membaca dan menulis annya, dan yang membuat kehidupan
setiap harinya. Upaya pengejawantahan tampak “normal” dan “wajar-wajar” saja.
penanda identitas penulis ini sama halnya CB ini mengindikasikan bahwa dengan
dengan kutipan yang pertama yang secara menjadi seniman, kehidupan akan menjadi
metafora dan metonimia memiliki normal, wajar, dan baik-baik saja.
hubungan dengan penanda rajin, tekun, ulet, “Akhir 1967, aku mengembara ke Jakarta.
konsisten, dan lain-lain. Pandangan ini, Aku bekerja di dunia perfilman dan
mengindikasikan bahwa Nano selain mengalami berbagai peristiwa. Empat
menghasrati dirinya menjadi penulis, ia juga tahun lalu aku keliling nusantara dengan
menghasrati penanda-penanda lain yang niat membaca kembali Indonesia.
memiliki hubungan secara metafora dan Kuhabiskan waktu satu tahun
metonimia dengan penanda identitas perjalanan. Berbagai pelajaran kuserap.
“penulis” tersebut. Membuat aku makin yakin hidup tidak
sia-sia. Begitu kembali ke Jakarta,
3.2 Seniman sebagai Kemapanan Identitas
kudirikan sebuah kelompok seni
Ketertundukan akan Hukum-Sang- pertunjukan: Teater Langit. Aku bekerja
Ayah agar dapat memasuki tatanan di dunia teater, film, dan televisi sebagai
simbolik lebih terlihat di dalam novel CB aktor, penulis, sekaligus sutradara.
sebagaimana yang digambarkan Nano Dengan nama baru Toya Jingga, aku
terhadap tokoh Arsena yang mengakuisisi semakin dikenal masyarakat.” (CB, hlm.
dirinya secara yakin untuk menjadi seniman 2)
teater. Pengakuisisian diri pada identitas Kutipan ini menggambarkan bahwa
“seniman” adalah keinginan untuk pengakuisisian identitas seniman yang
meredam atau bahkan solusi dari menjadi hasrat Nano ini seolah memberikan
keambiguitasan diri. Seperti yang dikatakan konsistensi eksistensi diri dari
oleh Lacan bahwa hasratlah yang keambiguitasan ke-diri-an. Penggunaan
menyebabkan seseorang mengakuisisi nama baru “Toya Jingga” merupakan
citraan di cermin dan berpaling pada metafora bagi identitas diri yang baru dan
otoritas kultural simbolik meskipun pengakuisisian diri terhadap identitas
menyaratkan alienasi radikal dari dirinya sebagai seniman dan penulis yang membuat
sendiri. Arsena harus membuang dan diri menjadi dikenal oleh masyarakat dan
bertindak menjauhkan dirinya dari identitas kehidupan menjadi terlihat baik-baik saja.
sebagai homoseksual dengan menjadi
Pemantapan identitas diri ini diperlukan
heteroseksual dan menjauhkan dirinya dari
supaya subjek dikenali, diterima, dan bahkan
stigmatisasi keluarga tapol dengan menjadi
dicintai oleh yang lain. Gambaran tentang
seniman. Tindakan ini hanya metafora bagi
Arsena yang mengakuisisi identitas dirinya
diri Nano bahwa penyerahan diri Arsena
sebagai seniman merupakan manifestasi diri
pada otoritas kultural simbolik
Nano dalam memantapkan pilihannya di
sesungguhnya menyebabkan dirinya
jalan kesenian terutama teater. Hasrat
teralienasi dari keinginan asali.
manusia tidak muncul dengan sendirinya,
Akan tetapi, “yang simbolik” ini seolah ada sejarah yang memunculkannya.
memberikan jaminan akan keutuhan bagi Menurut Lacan, cerminlah yang
diri subjek sehingga dengan tunduk pada menyebabkan kemunculan hasrat manusia,
perbudakan “yang simbolik”, subjek dapat

117
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 109—124

sebab cermin memberitahu apa yang harus Penuh gairah kuserap berbagai konsep
dihasrati dan bagaimana cara dan pola teater rakyat. Pada dasarnya
menghasratinya. tontonan mereka mengandung ajaran
“Ada satu kesimpulan yang hingga kini moral, humor, tari, musik, dan nyanyian.
masih kuyakini, yakni ‘kesenian itu Semua unsur itu direkat oleh kisah yang
lentur’. Dia bisa hidup di mana pun. Di kadang linear, tapi sering kali terdiri dari
tanah gersang ataupun di kawasan penggalan penting kisah-kisah Wayang
subur. Seni pertunjukan berawal dari Purwa, Madya, Panji, dan Wayang Menak.”
ritual sakral keagamaan. Dimulai dengan (CB, hlm. 115—116)
lisan berupa mantra-mantra yang Gambaran tentang perjalanan
dihafal, kemudian membentuk jadi mengelilingi nusantara yang dilakukan oleh
gabungan lisan dengan visual, bunyi, Arsena dan Edu dalam mempelajari
dan gerak. Perkembangan menyusul. kesenian tradisi membawa satu pandangan
Teknologi merupakan salah satu tentang kesenian tradisi yang dimiliki oleh
unsurnya dan masyarakat jadi masyarakat nusantara. Pandangan ini
konsumen. Lalu, seni pertunjukan tidak mengindikasikan bahwa Nano menghasrati
hanya ritual tapi juga hiburan. Meski dunia kesenian, terutama seni pertunjukan.
begitu, semangat ritualnya, sebagian Kesenian, seniman, dan masyarakat sebagai
masih terasa. pemiliknya menjadi cermin hasrat Nano
Betulkah kesenian itu lentur? Mungkin. untuk mengakuisisi dirinya sebagai seniman.
Tengok ‘teater kematian’ di Bali dan Cermin ini memberi fantasi diri ideal tentang
Toraja. Ratusan bahkan ribuan orang manusia yang ikhlas, manusia yang saling
terlibat. Audiens juga sering merasa menghargai satu sama lain, dan manusia
sebagai pelaku upacara ritual itu. Di Bali, yang saling berbagi kebahagiaan, tidak ada
ngaben menjadi milik masyarakat. ketimpangan sosial dan tidak ada
Dengan khusyuk mereka mengikuti stigmatisasi. Kutipan tersebut
seluruh rangkaian upacara yang mahal, mengindikasikan bahwa Nano bukan saja
bergengsi, dan mengharukan. Di Toraja, berhasrat pada identitas seniman, tetapi ada
puluhan kerbau dan babi disembelih penanda lain yang memiliki hubungan
untuk korban. Ma’badong dilantunkan metafora dan metonimia akan penanda
oleh puluhan orang setiap malam, “seniman”, yakni bijaksana, baik, menghargai
mendoakan arwah yang sedang berjalan orang lain, dan jujur sebagai ciri khas
menuju Rumah Tuhan. Masyarakat Bali “seniman sejati”. Pengejawantahan
dan Toraja yang makmur mampu penanda inilah yang terus dilakukan oleh
menyediakan dana besar untuk Nano karena penanda “seniman sejati” telah
membiayai upacara ‘teater kematian’ memenangkan cinta Liyan. Pada situasi dan
mereka. Mereka yang kena musibah kondisi yang lain, penulis menjauhkan diri
kematian menjalankannya dengan dari penanda yang sebaliknya, seperti pada
ikhlas. Adat leluhur harus dijunjung kutipan berikut.
tinggi. “...Pergilah ke Pusat Kesenian Jakarta
Tapi, di pedalaman Sumbawa yang Taman Ismail Marzuki. Kita dulu sering
gersang aku melihat pentas ‘teater ke sana. Perhatikan semuanya dan
miskin’ yang hanya diperagakan tiga or- bergaullah dengan para seniman. Hati-
ang. Disaksikan masyarakat desa, yang hati. Pilih dengan teliti. Jangan buru-buru
hidup dari hasil pertanian bawang memilih. Jangan salah pilih. Di TIM
merah, tiga seniman menabuh gendang banyak seniman hebat, tapi banyak juga
kecil, biola, dan suling sambil yang mengaku-ngaku seniman. Pintar
menyanyikan lirik-lirik mistis untuk omong, rambut gondrong, dan bersikap
memanggil hujan... eksentrik seperti seniman, padahal

118
RICKY APTIFIVE MANIK: HASRAT NANO RIANTIARNO DALAM CERMIN BENING: KAJIAN...

bukan. Hanya petualang, pencari Nano menghasrati penanda-penanda


kesempatan.” (CB, hlm. 198) pembawa identitas ini agar identitas
“...Menjadi orang teater adalah bekerja, “seniman” yang diakuisisi pada dirinya
bukan sekadar mengisi waktu kosong. memperoleh eksistensi yang diharapkannya.
Menjadi seniman adalah bekerja, bukan Jika seseorang yang mengakuisisi dirinya
hanya sekadar berangan-angan atau sebagai seniman tetapi tidak mengakusisi
bertingkah eksentrik.” (CB, hlm. 320) penanda-penanda pembawa identitas
seniman itu maka dapat merusak eksistensi
Kutipan di atas merupakan pandangan identitas “seniman sejati” atau “profes-
Hilman ketika menyarankan pada Arsena sional” tersebut.
untuk bergaul dengan seniman-seniman
Seniman-seniman yang dilihat dan
yang ada di TIM. Pandangan Hilman disini
mengindikasikan pandangan Nano sendiri dibaca oleh Nano melalui karya-karyanya
terhadap pengalamannya. Dari pandangan memberikan cermin fantasi ideal tentang
ini terlihat bahwa Nano tidak menyukai diri-diri yang bebas dalam berekspresi,
bijaksana, pintar, dan hebat. Citra diri ideal
penanda-penanda yang tidak membawa
ini seperti memberikan pencerahan bagi diri
kualitas pada penanda identitas seniman,
Nano ketika kekuasaan yang bernama
seperti hanya pintar omong, bergaya seniman
dengan rambut gondrong, eksentrik, petualang, negara atau mungkin agama justru
dan hanya pencari kesempatan. membuat diri semakin gegar dan ambigu
yang cenderung melakukan stigmatisasi
Selain itu, ada juga penanda-penanda seperi pada para tapol, kaum homoseksual,
lain yang menjadi hasrat Nano dalam dan barangkali bagi para penganut agama
atribut penanda identitas seniman ini. yang dianggap “sesat”. Kesenian dianggap
“Kata ‘profesional’ mungkin bisa sebagai citra fantasi ideal yang dapat
berujung pada pengertian ‘bekerja dan memberikan pencerahan akan kebebasan
memperoleh uang dari pekerjaannya’. dalam berekspresi. Hal ini dapat dilihat dari
Tapi bagi kerja kesenian, kalau pandangan tokoh Arsena ketika dirinya
pengertiannya hanya itu, rasanya kurang melakukan perjalanan keliling nusantara
lengkap juga. Bukankah dalam kata untuk mempelajari kesenian tradisional
‘profesional’ terkandung pula makna nusantara.
‘kreativitas?’ Dan di dalamnya juga “Kedua peristiwa itu membekas di hati
harus ada keahlian atau skill, disiplin, hingga sekarang. Seni pertunjukan
tanggung jawab moral, sikap, ketekunan, (ritual) mampu menemukan jalan hidup.
loyalitas, keikhlasan, kegembiraan, dan Dia selalu menciptakan sendiri wajah
dedikasi. Seorang profesional harus dan karakternya. Kekayaan akan
memiliki semua yang sudah kusebutkan semakin memperlengkap kehadiran,
itu.” (CB, hlm. 321) tetapi kemiskinan tak bisa mematikan
Kutipan tersebut menandakan bahwa kreativitasnya. Kesenian memiliki
sudut pandang aku terhadap penanda kekuatan ganda. Dan, lentur. Dia bisa
seniman yang “professional” adalah sudut hadir dengan sangat bersahaja, tapi bisa
pandang Nano sendiri yang juga meriah dan gemerlap. Meski intinya
mengindikasikan bahwa untuk menghasrati tetap sama, ‘Menghargai keindahan,
menjadi seniman yang “professional” harus berterima kasih kepada semesta alam dan
diikuti penanda-penanda lainnya yang kehidupan’. Menghargai dan berterima
memiliki hubungan metafora dan kasih, itulah inti dari kesenian rakyat.”
metonimia seperti kreativitas, keahlian, (CB, hlm. 115)
disiplin, tanggung jawab moral, sikap, Selain memberikan citra fantasi ideal
ketekunan, loyalitas, keikhlasan, kegembiraan, tentang kebebasan berekspresi, bijaksana,
dan dedikasi. Hal ini menandakan bahwa hebat, dan pintar, dunia kesenian juga

119
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 109—124

memberikan fantasi ideal tentang citra-citra kaum-kaum homoseksual maupun bagi or-
diri yang menghargai keindahan, berterima ang-orang terpinggirkan lainnya adalah
kasih pada alam semesta dan kehidupan. bentuk kekurangan diri secara universal.
Dengan demikian, kemunculan hasrat Kekurangan diri Arsena adalah manifestasi
untuk menjadi seniman ini juga dari kekurangan Nano.
mengharapkan cinta “Liyan yang simbolik” Kekurangan diri ini menimbulkan
(alam, masyarakat, Tuhan [kehidupan]). kegelisahan karena mengira ada yang
Citra-citra ideal seniman ini juga dianggap hilang, yakni objek a (objek-penyebab-
mampu melepaskan upaya “yang simbolik” hasrat). Stigmatisasi merupakan persoalan
yang dapat merusak identitas diri yang lain. yang menjadi kegelisahan bagi Nano, sebab
membuat diri menjadi kehilangan. Orang
3.3 Mendirikan Kelompok Teater dan
diperlakukan “berbeda” dengan orang lain
Menjadi Sutradara
dan keberadaannya tidak diakui. Pada saat
Hasrat manusia bergerak karena adanya identitas sesorang di dalam lingkungan
lack. Pergerakan hasrat inilah yang sosialnya tidak diakui, ia akan merasa ada
menentukan arah “menjadi” seseorang. yang hilang dan tak lengkap di dalam
Ketika Lacan membicarakan identifikasi dirinya. Kehilangan dalam Lacanian adalah
dalam relasi dengan hasrat, dia sering kesalahmengiraan. Stigmatisasi membuat
mendasarkan sifat konfliktual dari dua Nano mengira ada yang hilang dalam
fenomena: ketika suatu identifikasi menjadi identitas dirinya. Oleh sebab itu, subjek
mapan maka ini juga berarti berfungsinya (Nano) harus mencari objek hasrat lain yang
suatu sistem yang merepresi semua hasrat dapat mendatangkan jouissance bagi diri
yang inkongruen dengan identitas ini subjek. Objek hasrat ini di(salah)kira oleh
(Audifax, 2006: 295). Nano ada pada identitas “seniman”,
Dengan memilih identitas sebagai terutama menjadi seniman teater.
seniman, Nano merepresi hasrat-hasrat Di dalam tatanan imajinernya, Nano
identitasnya yang lain. Gambaran ini dapat menggambarkan bagaimana kelompok-
dilihat dari tindakan Arsena yang kelompok teater dan seniman yang ada di
mengidentifikasi dirinya dan dalamnya telah menjadi citraan-citraan ideal
mengejawantahkan setiap penanda- baginya untuk mengakuisisi identitas
penanda yang mengatributi penanda seniman teater tersebut. Untuk dapat
identitas seniman. Tindakan yang dilakukan mewujudkan hasratnya menjadi seniman
oleh Arsena adalah mengindikasikan teater itu adalah dengan cara mendirikan
tindakan dari Nano sendiri. Jika di dalam sebuah kelompok teater. Keinginan ini juga
trilogi ini Nano menggambarkan bahwa merupakan bentuk pengejawantahan
pemantapan identitas seniman pada tokoh dirinya terhadap penanda “seniman teater”
Arsena dikarenakan adanya kekurangan bahwa seniman teater harus memiliki
pada diri Arsena dalam menghasrati sebuah kelompok teater. Hal ini tergambar
identitas dirinya yang lain seperti bekerja di pada kutipan berikut.
bank adalah metafora dari kekurangan diri “Aku mempelajari cara Arifin C. Noer
Nano dalam menghasrati identitas dirinya melatih anggota kelompoknya, Teater
yang lain. Gambaran lain yang menjadi Kecil. Kuserap teknik penyutradaraannya
kekurangan diri Nano dihadirkan melalui walau hanya dengan melihat saja. Aku
stigmatisasi identitas diri Arsena sebagai tak berani bicara langsung dengannya,
keluarga tapol dan homoseksual. apalagi bertanya. Dia orang besar. Aku
Kekurangan-kekurangan diri yang hanya seniman udik yang tengah
dihadirkan dalam diri Arsena juga bermimpi memiliki sebuah kelompok
merupakan metafora dari kekurangan- teater.” (CB, hlm. 202)
kekurangan bagi diri Nano. Sebab, persoalan
stigmatisasi, baik bagi keluarga tapol dan

120
RICKY APTIFIVE MANIK: HASRAT NANO RIANTIARNO DALAM CERMIN BENING: KAJIAN...

“Aku menyerap metode latihan Teater kelompok teater yang menjadi objek hasrat,
Mandiri. Kelompok yang dipimpin Putu melainkan dengan memiliki kelompok teater
Wijaya ini sangat unik dalam memilih atau seni pertunjukan memberikan nilai
waktu latihan..... yang ontologis kepada cermin ideal sebagai
Aku mempelajari pentas-pentas Bengkel seniman teater sejati seperti Teguh Karya,
Teater Yogya. Pimpinannya, W.S. Rendra, W.S. Rendra, Putu Wijaya, Arifin C. Noor,
selain penyair juga dianggap sebagai dan para seniman rakyat yang
pemuka kaum muda yang anti mendedikasikan dirinya terhadap dunia
kemapanan..... kesenian. Inilah yang sesungguhnya diincar
oleh Nano ketika dirinya berhasrat untuk
Kelompok teater yang dibilang tenang
adalah Teater Populer pimpinan Teguh
mendirikan kelompok teater: the being of
Karya. Mereka lebih banyak
other.
mementaskan karya-karya asing 3.4 Menjadi Penulis dan Seniman sebagai
terjemahan atau saduran.” (CB, hlm. 203) Hasrat “Kebebasan”
“Ketika mengunjungi berbagai kawasan
nusantara, aku berhasil menyerap spirit Apa yang digambarkan oleh Nano
dan semangat berkesenian para seniman tentang persoalan stigmatisasi yang terjadi
rakyat. Sesuatu yang abstrak, yang maya, pada diri manusia merupakan gambaran
tak bisa disentuh, tapi bisa dirasakan. tentang kekurangan diri manusia tersebut.
Aku menyimpannya sebagai modal Stigmatisasi merupakan metafora dari
utama dalam berteater. Aku bahagia kekurangan diri manusia yang terjadi dalam
karena diberi peluang memiliki ranah simbolik (kebudayaan). Kebudayaan
pengalaman menikmati keindahan. yang diciptakan oleh manusia itu dipelihara
Kuserap sebagai konsep tentang dan dijaga sehingga pada akhirnya terlihat
keindahan.” (CB, hlm. 370) seperti alamiah bahkan supernatural
sekalipun dan keberadaannya seolah tidak
Kutipan tersebut memperlihatkan perlu lagi dipertanyakan, seperti agama
bahwa seniman-seniman (sutradara) teater misalnya.
seperti Rendra, Teguh Karya, Arifin C. Noer,
Faruk mengatakan bahwa kebudayaan
Putu Wijaya dengan kelompok seni
ini adalah lingkungan yang kedua bagi
pertunjukannya dan para seniman rakyat
manusia, lingkungan yang diciptakan
menjadi cerminan bagi diri Nano yang
sendiri, tetapi yang seakan berdiri di luar
membentuk citraan-citraan ideal.
dirinya, realitas subjektif yang diubah
Menghasrati apa yang menjadi hasrat
menjadi realitas objektif. Sebagai realitas
cermin ideal itu adalah bukan saja
objektif yang sifatnya eksternal ini,
menghasrati identitas seniman itu saja,
kebudayaan menjadi sebuah kekuatan yang
melainkan ada penanda-penanda lain yang
bisa dikatakan “memaksa”, sebuah
secara metafora dan metonimia memberikan
kekuatan yang sekaligus kekuasaan yang
kualitas pada penanda “seniman”.
dapat menentukan identitas dan
Penanda-penanda hasrat lain itu berupa
subjektivitas manusia yang menghidupi dan
orang besar, seniman udik bisa
sekaligus dihidupinya (Faruk, 2012: 17).
mengindikasikan pada hasrat penanda
sebaliknya, seperti seniman hebat, seniman Gambaran akan pemantapan identitas
terkenal, atau seniman kota, sedangkan diri menjadi penulis dan seniman di dalam
Rendra yang menjadi cermin ideal juga CB ini bukan semata sesuatu yang konkret
membawa pada hasrat pada penanda dari hasrat Nano. Hasrat ingin menjadi
menjadi idola. penulis dan seniman secara metafora adalah
hasrat akan “kebebasan”. Dunia penulis dan
Mendirikan kelompok teater merupakan
seniman memberikan fantasi citraan ideal
objek hasrat yang digambarkan Nano pada
akan “kebebasan”. Seseorang bebas
tokoh Arsena. Di sini, bukan kualitas

121
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 109—124

mengekspresikan dirinya dengan dunia dengan identitas itu memperoleh pengakuan


yang menjadi imajinernya. Sama halnya eksistensi, bahkan keinginan untuk dicintai
dengan dunia kesenian, para seniman bebas oleh orang-orang di sekitar “yang-Lain”.
berekspresi dalam berkarya. Dunia Pada hakikatnya, hasrat ini adalah hasrat
kebebasan yang terdapat dalam dunia untuk bertahan hidup, kepuasan hakiki
kepenulisan dan dunia kesenian ini telah adalah kepuasan hidup.
menjadi citraan ideal bagi Nano. Dengan “...Membuat aku makin yakin hidup tidak
begitu, hasrat untuk menjadi penulis dan sia-sia.” (CB, hlm. 2)
seniman adalah hasrat untuk mendapatkan
“kebebasan” dari segala “jerat” dan 4. SIMPULAN
“belenggu” Yang Simbolik (kebudayaan?).
Akan tetapi, menjadi penulis dan Dari pembahasan yang telah dilakukan
seniman tetaplah sebagai sesuatu yang terhadap novel CB, dapat disimpulkan
eksternal yang dihasrati oleh diri Nano. bahwa hasrat Nano menjadi seorang penulis
Kemunculan hasrat ini tetap didasarkan atau seniman adalah hasratnya keluar dari
atas permintaan (demand) yang tak linearitas simbolik. Namun alih-alih keluar
terpenuhi. Keinginan untuk menjadi penulis dari satu simbolik justru terjebak pada
dan seniman adalah metamorfosis dari simbolik yang lain. Menjadi penulis dan
permintaan yang tidak terpenuhi tersebut. seniman menuntunnya secara tak sadar
Identitas penulis dan seniman seolah pada penanda-penanda simbolik lainnya
memberikan apa yang tidak diterima dari seperti penulis yang pantang menyerah, ulet,
permintaan. Menjadi seniman dan penulis konsisten, tekun, rajin, dan sebagainya. Bagi
dianggap sebagai dunia yang memberikan Nano menjadi penulis dan seniman
kesatuan diri tersebut, di mana stigmatisasi merupakan anchoring point akan
itu hilang. Sebab, dunia menulis dan keambiguitasan dirinya. Mendirikan
kesenian tidak membutuhkan pengakuan kelompok teater dengan menjadi penulis
identitas antara yang “normal-tidak nor- lakon dan menyutradarainya yang ia
mal”, “PKI-buan PKI”, “kaya-miskin”, dapatkan dari citraan Rendra, Putu Wijaya,
“homoseksual-heteroseksual”, atau “sesat- Arifin C. Noor, dan Teguh Karya
tidak sesat”. Dunia penulisan dan kesenian merupakan hasratnya akan keutuhan yang
adalah dunia yang membutuhkan ontologis bagi identitas tersebut. Menjadi
produktivitas dan kreativitas tanpa ada penulis dan seniman seolah membuat Nano
perbedaan. menemukan kebebasan dari berbagai jerat
Identitas penulis dan seniman dan belenggu “yang simbolik”.
merupakan citraan yang merefleksikan “Kebebasan” menjadi objek a Nano untuk
perasaan diri yang utuh. Perasaan yang mendapatkan jouissance bagi dirinya.
memberikan kepuasan pada diri karena

5. DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral. 2009. “Pesona Hasrat dalam Psikoanalisis-Struktural Jacques Lacan: Refleksi atas
Ketegangan antara Hasrat Memiliki dan Hasrat Menjadi”. Kata pengantar dalam Jacques
Lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial: Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis .
Yogyakarta: Jalasutra.
Althusser, Louis. 2010. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies.
Terjemahan Olsy Vinoli Arnof. Yogyakarta: Jalasutra
Anwar, Syaiful. 2005. N. Riantiarno: Dari Rumah Kertas ke Pentas Dunia. Jakarta: fftv ikj press.
Audifax. 2006. “Lara Croft: Antara Hasrat Menjadi dan Hasrat Memiliki” dalam Adlin, Alfatri (Editor).
Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multiperspektif. Yogyakarta: Jalasutra.

122
RICKY APTIFIVE MANIK: HASRAT NANO RIANTIARNO DALAM CERMIN BENING: KAJIAN...

Bracher, Mark. 2009. Jacques Lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial: Pengantar Kritik-Budaya
Psikoanalisis. Terjemahan Gunawan Admiranto. Yogyakarta: Jalasutra.
Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
-_______. 2012. Sastra sebagai Produk dan Produsen Kebudayaan Sebuah (De-) Konstruksi.
Yogyakarta: Yasayo.
Hartono, Agustinus. 2007. Skizoanalisis Deleuze + Guattari: Sebuah Pengantar Genealogi Hasrat.
Yogyakarta: Jalasutra.
Hill, Philip. 2002. Lacan untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius.
Lacan, Jacques. 1977. Ecrits: A Selection. Terjemahan Alan Sheridan. London: Tavistock.
_______. 1988. The Seminar of Jacques Lacan, Book II. The Ego in Freud’s Theory and in the
Technique of Psycoanalysis, 1954-195. Terjemahan S. Tomaselli. NY, London: W.W. Norton
& Company.
Piliang, Yasraf Amir. 2006. “Antara Minimalisme dan Pluralisme Manusia Indonesia dalam Serangan
Posmodernisme” dalam Adlin, Alfatri (Editor). Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan
Multiperspektif. Yogyakarta: Jalasutra.
Riantiarno, N. 2005. Cermin Bening. Jakarta: Grasindo.
_______. 1997. “Catatan Ulang Tahun Ke-20 Teater Koma, 1977-1997”. Jakarta: Kumpulan Tulisan
Makalah.
Sarup, Madam. 2011. Panduan Pengantar untuk Memahami Postrukturalisme dan Posmodernisme.
Terjemahan Medhy Aginta Hidayat. Yogyakarta: Jalasutra.

123
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 109—124

124

Anda mungkin juga menyukai