Naskah masuk: 14 September 2015, disetujui:22 Maret 2016, revisi akhir: 22 Maret 2016
Abstrak: Karya sastra merupakan manifestasi hasrat pengarang. Dalam sejarahnya, hasrat terbentuk
dari rasa kekurangan subjek. Menulis karya sastra merupakan upaya untuk menutupi kekurangan tersebut.
Upaya itu dapat dilihat dalam pandangan pengarang akan ego-ego ideal di dalam karya-karyanya. Novel
Cermin Bening adalah sampel untuk melihat apa dan bagaimana hasrat Nano Riantiarno. Tujuannya
adalah menemukan apa yang menjadi pembayangan ego-ego ideal bagi Nano. Telisik hasrat ini akan
menggunakan kajian psikoanalisis Lacanian (PL). Melalui PL ini akan digunakan metode metafora dan
metonimia dalam melihat penanda-penanda hasrat Nano dalam Cermin Bening. Kajian ini menemukan
bahwa hasrat menjadi penulis dan seniman seolah membuat Nano menemukan kebebasan dari berbagai
jerat dan belenggu “yang simbolik”. “Kebebasan” menjadi objek a Nano untuk mendapatkan jouissance
bagi dirinya. Menjadi seniman dan penulis merupakan anchoring point Nano dalam menyudahi
keambiguitasan dan ketidakmenentuan dirinya.
Kata kunci: hasrat, seniman, psikoanalisis, Lacan, Nano Riantiarno
Abstract: Literary work is a manifestation of the writer’s desires. In its history, desires were
created from the lack of writing subject. Writing a literary work is an effort to cover this insufficieny.
This effort can be seen in the writer’s view about his ego-ideal in his works. A novel entitled
Cermin Bening is a sample to see what and how Nano Riantiarno’s desires are. It is aimed to find
the shadow of his ego-ideal.This research applies Lacanian Psychoanalysis (LP) study. Through
this LP study, the method of metaphor and metonymy is used to see the signs of Nano’s desires in
Cermin Bening.This study reveals that a desire to be a writer and an artist makes Nano find his
freedom from snares and shackles of The Simbolic.The freedom becomes Nano’s object to get
jouissance for himself. Being an artist and a writer is Nano’s anchoring point in finishing his
ambiguity and instability.
Key words: desire, artist, psychoanalysis, Lacan, Nano Riantiarno
1. PENDAHULUAN
kehendak/hasrat, dan ruh/jiwa. Akan
Penemuan Freud akan hasrat tetapi, para kaum rasionalisme Barat lebih
(ketidaksadaran) meruntuhkan pandangan mengagung-agungkan rasio/akal sebagai
rasionalisme Barat yang gagal konstruksi diri, sedangkan hasrat cenderung
mendefenisikan ketaksadaran (Bracher, diabaikan. Hasrat hanya sebagai entitas
2009: ix). Hal ini dikarenakan sikap tidak “pelengkap” bagi keutuhan rasio.
peduli (indifferent) atas hasrat yang diidap Freud menggeledah hasrat pada
oleh para rasionalis sejak Yunani Kuno. Diri wilayah ketidaksadaran dan menemukan
dipercayai dikonstruksi oleh rasio/akal, hasrat primordial yang liar, disruptif,
109
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 109—124
instingtif, dan irasional. Penemuan Freud pernah didapati kembali. Perasaan yang
ini, di satu sisi dapat dilihat sebagai usaha mendekam di alam ketidaksadaran ini
yang sangat eksploratif dan revolusioner, melahirkan hasrat yang tak pernah habis
tetapi di sisi lain bersifat reduktif. Freud terpuaskan.
menyempitkan hasrat hanya sebagai energi Lalu, bagaimana melihat hasrat ini
libidinal atau seksual. Sifat liar dari hasrat terhadap sastra? Jika dikatakan segala
ini dilihat sebagai kandungan tindakan manusia itu merupakan hasil/
ketidaksadaran yang mesti “dipotong” arus produksi dari hasrat, tindakan
pertumbuhannya karena dianggap bisa menghasilkan karya sastra oleh pengarang
membahayakan otoritas Ego (Hartono, tersebut merupakan manifestasi dari
2007: 33). hasratnya. Pengarang dalam pengertian
Masuknya subjek ke dalam wilayah Lacanian adalah subjek yang
sosial ini dengan pengebirian hasrat dalam berkekurangan itu. Teori Lacan tentang
konsep pembentukan Ego Freud inilah yang subjek adalah bahwa manusia itu diwakili
pada akhirnya membuat Freud juga oleh bahasa, oleh objek-objek khusus yang
mengagung-agungkan rasio/kesadaran dan disebut “kata-kata”. Istilah teknis Lacan
terjebak dalam subjek Cartesian dengan untuk “kata” adalah “penanda”. Bilamana
adagiumnya cogito ergo sum. seseorang berbicara atau menulis, ia selalu
Salah seorang “neofreudian” Prancis, mewujudkan diri dengan bahasa, dengan
yakni Lacan menolak ego sebagai sumber penanda-penanda. Penanda-penanda
kekuatan psikologis. Ego menurutnya tidak adalah satu-satunya cara subjek itu dapat
mampu membedakan hasratnya dan hasrat mewujudkan dirinya (Hill, 2002: 29-30).
orang lain serta cenderung kehilangan Begitu pula dengan sastra yang merupakan
dirinya dalam samudra objek-objek: penanda sebagai perwujudan diri si
manusia dan citraan (Adian, 2009: xxxvi). pengarangnya.
Bagi Lacan, pembentukan ego yang pertama Dalam hal ini, slogan Lacan adalah
atau ego primordial adalah terjadi pada “penanda mewakili subjek bagi penanda
tahap cermin. Pada tahap ini anak lainnya”. Apabila karya sastra dianggap
mengidentifikasi diri pada citraannya yang sebagai penanda (bahasa) perwakilan
ada di cermin. Dorongan anak subjek pengarang, ada penanda lainnya
mempersepsikan citraan di cermin sebagai yang berbeda dari subjek pengarang.
dirinya merupakan hasratnya untuk Bahasa (penanda) menjadi tujuan penting
memiliki identitas. Momen ini akan dalam kajian psikoanalisis Lacanian karena
senantiasa bekerja dalam rentang hidup ketidaksadaran terstruktur seperti bahasa
manusia. Manusia memiliki dimensi imajiner yang memainkan peranannya di dalam
dalam hidup psikisnya, yaitu metafora dan metonimia. Dalam perspektif
kecenderungan untuk mengidentifikasikan Lacanian, Seperti yang dikemukan oleh
diri dengan diri-diri ideal. Faruk, memahami karya sastra adalah usaha
Lacan mengatakan bahwa apa yang untuk menemukan ketidaksadaran subjek
menggerakkan kehidupan manusia adalah dalam mencari keutuhan/kepenuhan
hasrat. Manusia sejak dilahirkan hingga dirinya. Oleh karena kondisi ketidaksadaran
melepaskan diri dari kesatuan-kesatuan itu tidak mungkin untuk diakses sepenuhnya
eksistensial dalam dunia “real” selalu maka untuk dapat memahami karya sastra
mengalami kekurangan-kekurangan (lack), tersebut adalah dengan cara melihat bahasa
manusia dianggap selamanya berlubang. karya sastra tersebut, yaitu melalui
Rasa kekurangan, selamanya mengikuti— fenomena metafora dan metonimia (Faruk,
seperti hantu yang menggentayangi— 2012: 197). Melalui metafora dan metonimia
kehidupan manusia. Padahal kesatuan yang digunakan sebagai alat atau media
eksistensial (dalam dunia real) itu tidak akan karya sastra oleh pengarang ini, akan dapat
110
RICKY APTIFIVE MANIK: HASRAT NANO RIANTIARNO DALAM CERMIN BENING: KAJIAN...
111
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 109—124
112
RICKY APTIFIVE MANIK: HASRAT NANO RIANTIARNO DALAM CERMIN BENING: KAJIAN...
113
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 109—124
114
RICKY APTIFIVE MANIK: HASRAT NANO RIANTIARNO DALAM CERMIN BENING: KAJIAN...
bahasa adalah jalan menuju domain sosial tatanan simbolik. Manusia tidak akan
(Hartono, 2007: 26—27). pernah bisa melepaskan diri dari
Dengan tenggelam ke dalam bahasa, cengkeraman simbolik. Bagi Lacan, tidak ada
manusia masuk ke dalam “permainan hasrat yang autentik, “man’s desire is the de-
bahasa” dengan segala atribut linguistiknya. sire of the Other” (Lacan, 1977: 312). Nano
Permainan atribut bahasa inilah yang sendiri pernah beranggapan bahwa dunia
kemudian menentukan identitas subjek: teater yang digelutinya dapat menjamin
menentukan wilayah sadar (ego) subjek. keberlangsungan hidupnya dan
Ada dua cara kerja bahasa dalam keluarganya, tetapi anggapan itu pada
memengaruhi identifikasi subjek. Pertama, kenyataannya belum memberikan bukti. Hal
bahasa yang bekerja dengan hukum ini seperti yang dituliskannya dalam
pembedaan (metonimia). Kedua, adalah makalah berikut.
fungsi metaforis penanda. “Memang, pernah pada suatu masa saya
Metafora dan metonimia merupakan sangat yakin teater di Indonesia bisa
dua jenis negosiasi utama yang berlangsung dijadikan ladang hidup. Tapi nyatanya
pada penanda-penanda. Dalam pemikiran hingga kini hal itu tetap belum mungkin.
Lacan, metonimia terkait dengan cara Akhirnya saya menyerah.” (Riantiarno,
penanda-penanda itu terhubung dengan 1997: 3—4)
penanda lain dalam sebuah rantai dan Oleh karena dunia teater belum
akhirnya dengan seluruh jaringan memberikan jaminan sebagai ladang hidup,
memberikan jalur tempat bekerjanya sementara kebutuhan keluarga meningkat,
identifikasi dan hasrat. Bracher (2009) Nano sangat menerima pinangan Putu
mengatakan bahwa metonimia adalah Wijaya untuk mendirikan dan bekerja
sebuah fungsi diskursif membentuk sebagai redaktur di majalah Zaman. Pilihan
persekutuan dan pertentangan pada itu tentu dirasakan tepat bagi dirinya karena
penanda-penanda ini. dunia tulis-menulis adalah bidang yang
Menurut konsep bahasa Lacanian, disukainya. Dalam CB ini, Nano
suatu penanda selalu menandakan penanda mengukuhkan dirinya sebagai penulis, baik
lain: tidak ada kata yang bebas dari dirinya bekerja sebagai wartawan maupun
metaforisitas (metafora adalah penanda sebagai penulis naskah drama untuk pentas-
yang menandakan penanda lain). Lacan pentas teater dan perfilman.
bicara tentang glissement (keterpelesetan, “Akhir 1967, aku mengembara ke Jakarta.
ketergelinciran) dalam mata rantai Aku bekerja di dunia perfilman dan
penandaan, dari penanda yang satu ke mengalami berbagai peristiwa. Empat
penanda yang lain. Karena setiap penanda tahun lalu aku keliling nusantara dengan
dapat menerima pemaknaan, tidak pernah niat membaca kembali Indonesia.
ada makna yang tertutup, makna yang Kuhabiskan waktu satu tahun
memuaskan (Sarup, 2009: 10). Metafora perjalanan. Berbagai pelajaran kuserap.
merepresentasikan salah satu cara yang Membuat aku makin yakin hidup tidak
digunakan untuk menstruktur pelbagai sia-sia. Begitu kembali ke Jakarta,
macam wacana. kudirikan sebuah kelompok seni
pertunjukan, Teater Langit. Aku bekerja
3. HASIL DAN PEMBAHASAN di dunia teater, film, dan televisi sebagai
aktor, penulis, sekaligus sutradara.” (CB,
3.1 Hasrat atas Identitas Penulis hlm. 2)
Dalam perspektif psikoanalisis Dunia tulis-menulis tentu tidak menjadi
Lacanian, setiap subjek ingin keluar dari hasrat yang muncul dengan sendirinya.
tatanan simboliknya dan mencari ke tatanan Hasrat berdasarkan perspektif Lacanian
real-nya. Maka ia akan kembali terjebak pada muncul dari berbagai kehilangan yang
115
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 109—124
116
RICKY APTIFIVE MANIK: HASRAT NANO RIANTIARNO DALAM CERMIN BENING: KAJIAN...
117
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 109—124
sebab cermin memberitahu apa yang harus Penuh gairah kuserap berbagai konsep
dihasrati dan bagaimana cara dan pola teater rakyat. Pada dasarnya
menghasratinya. tontonan mereka mengandung ajaran
“Ada satu kesimpulan yang hingga kini moral, humor, tari, musik, dan nyanyian.
masih kuyakini, yakni ‘kesenian itu Semua unsur itu direkat oleh kisah yang
lentur’. Dia bisa hidup di mana pun. Di kadang linear, tapi sering kali terdiri dari
tanah gersang ataupun di kawasan penggalan penting kisah-kisah Wayang
subur. Seni pertunjukan berawal dari Purwa, Madya, Panji, dan Wayang Menak.”
ritual sakral keagamaan. Dimulai dengan (CB, hlm. 115—116)
lisan berupa mantra-mantra yang Gambaran tentang perjalanan
dihafal, kemudian membentuk jadi mengelilingi nusantara yang dilakukan oleh
gabungan lisan dengan visual, bunyi, Arsena dan Edu dalam mempelajari
dan gerak. Perkembangan menyusul. kesenian tradisi membawa satu pandangan
Teknologi merupakan salah satu tentang kesenian tradisi yang dimiliki oleh
unsurnya dan masyarakat jadi masyarakat nusantara. Pandangan ini
konsumen. Lalu, seni pertunjukan tidak mengindikasikan bahwa Nano menghasrati
hanya ritual tapi juga hiburan. Meski dunia kesenian, terutama seni pertunjukan.
begitu, semangat ritualnya, sebagian Kesenian, seniman, dan masyarakat sebagai
masih terasa. pemiliknya menjadi cermin hasrat Nano
Betulkah kesenian itu lentur? Mungkin. untuk mengakuisisi dirinya sebagai seniman.
Tengok ‘teater kematian’ di Bali dan Cermin ini memberi fantasi diri ideal tentang
Toraja. Ratusan bahkan ribuan orang manusia yang ikhlas, manusia yang saling
terlibat. Audiens juga sering merasa menghargai satu sama lain, dan manusia
sebagai pelaku upacara ritual itu. Di Bali, yang saling berbagi kebahagiaan, tidak ada
ngaben menjadi milik masyarakat. ketimpangan sosial dan tidak ada
Dengan khusyuk mereka mengikuti stigmatisasi. Kutipan tersebut
seluruh rangkaian upacara yang mahal, mengindikasikan bahwa Nano bukan saja
bergengsi, dan mengharukan. Di Toraja, berhasrat pada identitas seniman, tetapi ada
puluhan kerbau dan babi disembelih penanda lain yang memiliki hubungan
untuk korban. Ma’badong dilantunkan metafora dan metonimia akan penanda
oleh puluhan orang setiap malam, “seniman”, yakni bijaksana, baik, menghargai
mendoakan arwah yang sedang berjalan orang lain, dan jujur sebagai ciri khas
menuju Rumah Tuhan. Masyarakat Bali “seniman sejati”. Pengejawantahan
dan Toraja yang makmur mampu penanda inilah yang terus dilakukan oleh
menyediakan dana besar untuk Nano karena penanda “seniman sejati” telah
membiayai upacara ‘teater kematian’ memenangkan cinta Liyan. Pada situasi dan
mereka. Mereka yang kena musibah kondisi yang lain, penulis menjauhkan diri
kematian menjalankannya dengan dari penanda yang sebaliknya, seperti pada
ikhlas. Adat leluhur harus dijunjung kutipan berikut.
tinggi. “...Pergilah ke Pusat Kesenian Jakarta
Tapi, di pedalaman Sumbawa yang Taman Ismail Marzuki. Kita dulu sering
gersang aku melihat pentas ‘teater ke sana. Perhatikan semuanya dan
miskin’ yang hanya diperagakan tiga or- bergaullah dengan para seniman. Hati-
ang. Disaksikan masyarakat desa, yang hati. Pilih dengan teliti. Jangan buru-buru
hidup dari hasil pertanian bawang memilih. Jangan salah pilih. Di TIM
merah, tiga seniman menabuh gendang banyak seniman hebat, tapi banyak juga
kecil, biola, dan suling sambil yang mengaku-ngaku seniman. Pintar
menyanyikan lirik-lirik mistis untuk omong, rambut gondrong, dan bersikap
memanggil hujan... eksentrik seperti seniman, padahal
118
RICKY APTIFIVE MANIK: HASRAT NANO RIANTIARNO DALAM CERMIN BENING: KAJIAN...
119
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 109—124
memberikan fantasi ideal tentang citra-citra kaum-kaum homoseksual maupun bagi or-
diri yang menghargai keindahan, berterima ang-orang terpinggirkan lainnya adalah
kasih pada alam semesta dan kehidupan. bentuk kekurangan diri secara universal.
Dengan demikian, kemunculan hasrat Kekurangan diri Arsena adalah manifestasi
untuk menjadi seniman ini juga dari kekurangan Nano.
mengharapkan cinta “Liyan yang simbolik” Kekurangan diri ini menimbulkan
(alam, masyarakat, Tuhan [kehidupan]). kegelisahan karena mengira ada yang
Citra-citra ideal seniman ini juga dianggap hilang, yakni objek a (objek-penyebab-
mampu melepaskan upaya “yang simbolik” hasrat). Stigmatisasi merupakan persoalan
yang dapat merusak identitas diri yang lain. yang menjadi kegelisahan bagi Nano, sebab
membuat diri menjadi kehilangan. Orang
3.3 Mendirikan Kelompok Teater dan
diperlakukan “berbeda” dengan orang lain
Menjadi Sutradara
dan keberadaannya tidak diakui. Pada saat
Hasrat manusia bergerak karena adanya identitas sesorang di dalam lingkungan
lack. Pergerakan hasrat inilah yang sosialnya tidak diakui, ia akan merasa ada
menentukan arah “menjadi” seseorang. yang hilang dan tak lengkap di dalam
Ketika Lacan membicarakan identifikasi dirinya. Kehilangan dalam Lacanian adalah
dalam relasi dengan hasrat, dia sering kesalahmengiraan. Stigmatisasi membuat
mendasarkan sifat konfliktual dari dua Nano mengira ada yang hilang dalam
fenomena: ketika suatu identifikasi menjadi identitas dirinya. Oleh sebab itu, subjek
mapan maka ini juga berarti berfungsinya (Nano) harus mencari objek hasrat lain yang
suatu sistem yang merepresi semua hasrat dapat mendatangkan jouissance bagi diri
yang inkongruen dengan identitas ini subjek. Objek hasrat ini di(salah)kira oleh
(Audifax, 2006: 295). Nano ada pada identitas “seniman”,
Dengan memilih identitas sebagai terutama menjadi seniman teater.
seniman, Nano merepresi hasrat-hasrat Di dalam tatanan imajinernya, Nano
identitasnya yang lain. Gambaran ini dapat menggambarkan bagaimana kelompok-
dilihat dari tindakan Arsena yang kelompok teater dan seniman yang ada di
mengidentifikasi dirinya dan dalamnya telah menjadi citraan-citraan ideal
mengejawantahkan setiap penanda- baginya untuk mengakuisisi identitas
penanda yang mengatributi penanda seniman teater tersebut. Untuk dapat
identitas seniman. Tindakan yang dilakukan mewujudkan hasratnya menjadi seniman
oleh Arsena adalah mengindikasikan teater itu adalah dengan cara mendirikan
tindakan dari Nano sendiri. Jika di dalam sebuah kelompok teater. Keinginan ini juga
trilogi ini Nano menggambarkan bahwa merupakan bentuk pengejawantahan
pemantapan identitas seniman pada tokoh dirinya terhadap penanda “seniman teater”
Arsena dikarenakan adanya kekurangan bahwa seniman teater harus memiliki
pada diri Arsena dalam menghasrati sebuah kelompok teater. Hal ini tergambar
identitas dirinya yang lain seperti bekerja di pada kutipan berikut.
bank adalah metafora dari kekurangan diri “Aku mempelajari cara Arifin C. Noer
Nano dalam menghasrati identitas dirinya melatih anggota kelompoknya, Teater
yang lain. Gambaran lain yang menjadi Kecil. Kuserap teknik penyutradaraannya
kekurangan diri Nano dihadirkan melalui walau hanya dengan melihat saja. Aku
stigmatisasi identitas diri Arsena sebagai tak berani bicara langsung dengannya,
keluarga tapol dan homoseksual. apalagi bertanya. Dia orang besar. Aku
Kekurangan-kekurangan diri yang hanya seniman udik yang tengah
dihadirkan dalam diri Arsena juga bermimpi memiliki sebuah kelompok
merupakan metafora dari kekurangan- teater.” (CB, hlm. 202)
kekurangan bagi diri Nano. Sebab, persoalan
stigmatisasi, baik bagi keluarga tapol dan
120
RICKY APTIFIVE MANIK: HASRAT NANO RIANTIARNO DALAM CERMIN BENING: KAJIAN...
“Aku menyerap metode latihan Teater kelompok teater yang menjadi objek hasrat,
Mandiri. Kelompok yang dipimpin Putu melainkan dengan memiliki kelompok teater
Wijaya ini sangat unik dalam memilih atau seni pertunjukan memberikan nilai
waktu latihan..... yang ontologis kepada cermin ideal sebagai
Aku mempelajari pentas-pentas Bengkel seniman teater sejati seperti Teguh Karya,
Teater Yogya. Pimpinannya, W.S. Rendra, W.S. Rendra, Putu Wijaya, Arifin C. Noor,
selain penyair juga dianggap sebagai dan para seniman rakyat yang
pemuka kaum muda yang anti mendedikasikan dirinya terhadap dunia
kemapanan..... kesenian. Inilah yang sesungguhnya diincar
oleh Nano ketika dirinya berhasrat untuk
Kelompok teater yang dibilang tenang
adalah Teater Populer pimpinan Teguh
mendirikan kelompok teater: the being of
Karya. Mereka lebih banyak
other.
mementaskan karya-karya asing 3.4 Menjadi Penulis dan Seniman sebagai
terjemahan atau saduran.” (CB, hlm. 203) Hasrat “Kebebasan”
“Ketika mengunjungi berbagai kawasan
nusantara, aku berhasil menyerap spirit Apa yang digambarkan oleh Nano
dan semangat berkesenian para seniman tentang persoalan stigmatisasi yang terjadi
rakyat. Sesuatu yang abstrak, yang maya, pada diri manusia merupakan gambaran
tak bisa disentuh, tapi bisa dirasakan. tentang kekurangan diri manusia tersebut.
Aku menyimpannya sebagai modal Stigmatisasi merupakan metafora dari
utama dalam berteater. Aku bahagia kekurangan diri manusia yang terjadi dalam
karena diberi peluang memiliki ranah simbolik (kebudayaan). Kebudayaan
pengalaman menikmati keindahan. yang diciptakan oleh manusia itu dipelihara
Kuserap sebagai konsep tentang dan dijaga sehingga pada akhirnya terlihat
keindahan.” (CB, hlm. 370) seperti alamiah bahkan supernatural
sekalipun dan keberadaannya seolah tidak
Kutipan tersebut memperlihatkan perlu lagi dipertanyakan, seperti agama
bahwa seniman-seniman (sutradara) teater misalnya.
seperti Rendra, Teguh Karya, Arifin C. Noer,
Faruk mengatakan bahwa kebudayaan
Putu Wijaya dengan kelompok seni
ini adalah lingkungan yang kedua bagi
pertunjukannya dan para seniman rakyat
manusia, lingkungan yang diciptakan
menjadi cerminan bagi diri Nano yang
sendiri, tetapi yang seakan berdiri di luar
membentuk citraan-citraan ideal.
dirinya, realitas subjektif yang diubah
Menghasrati apa yang menjadi hasrat
menjadi realitas objektif. Sebagai realitas
cermin ideal itu adalah bukan saja
objektif yang sifatnya eksternal ini,
menghasrati identitas seniman itu saja,
kebudayaan menjadi sebuah kekuatan yang
melainkan ada penanda-penanda lain yang
bisa dikatakan “memaksa”, sebuah
secara metafora dan metonimia memberikan
kekuatan yang sekaligus kekuasaan yang
kualitas pada penanda “seniman”.
dapat menentukan identitas dan
Penanda-penanda hasrat lain itu berupa
subjektivitas manusia yang menghidupi dan
orang besar, seniman udik bisa
sekaligus dihidupinya (Faruk, 2012: 17).
mengindikasikan pada hasrat penanda
sebaliknya, seperti seniman hebat, seniman Gambaran akan pemantapan identitas
terkenal, atau seniman kota, sedangkan diri menjadi penulis dan seniman di dalam
Rendra yang menjadi cermin ideal juga CB ini bukan semata sesuatu yang konkret
membawa pada hasrat pada penanda dari hasrat Nano. Hasrat ingin menjadi
menjadi idola. penulis dan seniman secara metafora adalah
hasrat akan “kebebasan”. Dunia penulis dan
Mendirikan kelompok teater merupakan
seniman memberikan fantasi citraan ideal
objek hasrat yang digambarkan Nano pada
akan “kebebasan”. Seseorang bebas
tokoh Arsena. Di sini, bukan kualitas
121
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 109—124
5. DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral. 2009. “Pesona Hasrat dalam Psikoanalisis-Struktural Jacques Lacan: Refleksi atas
Ketegangan antara Hasrat Memiliki dan Hasrat Menjadi”. Kata pengantar dalam Jacques
Lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial: Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis .
Yogyakarta: Jalasutra.
Althusser, Louis. 2010. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies.
Terjemahan Olsy Vinoli Arnof. Yogyakarta: Jalasutra
Anwar, Syaiful. 2005. N. Riantiarno: Dari Rumah Kertas ke Pentas Dunia. Jakarta: fftv ikj press.
Audifax. 2006. “Lara Croft: Antara Hasrat Menjadi dan Hasrat Memiliki” dalam Adlin, Alfatri (Editor).
Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multiperspektif. Yogyakarta: Jalasutra.
122
RICKY APTIFIVE MANIK: HASRAT NANO RIANTIARNO DALAM CERMIN BENING: KAJIAN...
Bracher, Mark. 2009. Jacques Lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial: Pengantar Kritik-Budaya
Psikoanalisis. Terjemahan Gunawan Admiranto. Yogyakarta: Jalasutra.
Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
-_______. 2012. Sastra sebagai Produk dan Produsen Kebudayaan Sebuah (De-) Konstruksi.
Yogyakarta: Yasayo.
Hartono, Agustinus. 2007. Skizoanalisis Deleuze + Guattari: Sebuah Pengantar Genealogi Hasrat.
Yogyakarta: Jalasutra.
Hill, Philip. 2002. Lacan untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius.
Lacan, Jacques. 1977. Ecrits: A Selection. Terjemahan Alan Sheridan. London: Tavistock.
_______. 1988. The Seminar of Jacques Lacan, Book II. The Ego in Freud’s Theory and in the
Technique of Psycoanalysis, 1954-195. Terjemahan S. Tomaselli. NY, London: W.W. Norton
& Company.
Piliang, Yasraf Amir. 2006. “Antara Minimalisme dan Pluralisme Manusia Indonesia dalam Serangan
Posmodernisme” dalam Adlin, Alfatri (Editor). Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan
Multiperspektif. Yogyakarta: Jalasutra.
Riantiarno, N. 2005. Cermin Bening. Jakarta: Grasindo.
_______. 1997. “Catatan Ulang Tahun Ke-20 Teater Koma, 1977-1997”. Jakarta: Kumpulan Tulisan
Makalah.
Sarup, Madam. 2011. Panduan Pengantar untuk Memahami Postrukturalisme dan Posmodernisme.
Terjemahan Medhy Aginta Hidayat. Yogyakarta: Jalasutra.
123
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 109—124
124