Paper Peritonitis
Paper Peritonitis
Nilai :
Dokter Pembimbing
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan “Paper” ini guna memenuhi
persyaratan mengikuti Persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di SMF Bedah
RSUD Dr. Pirngadi Medan yang berjudul “Peritonitis pada Kehamilan”.
Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada
pembimbing selama menjalani KKS di bagian ini yaitu dr. Azwarto Lubis, Sp.B
atas segala bimbingan dan arahannya dalam menjalani KKS dan dalam
pembuatan paper ini.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun untuk paper
ini menjadi lebih baik lagi. Harapan penulis semoga paper ini dapat memberikan
manfaat bagi kita semua.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena
setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya
tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks.
Dibagian belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada
iga, dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari
berbagai lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kutis dan
subkutis, lemak subkutan dan facies superficial, kemudian ketiga otot dinding
perut m. obliqus abdominis eksterna, m. abdominis internus dan m. transversum
abdominis, dan akhirnya lapis preperitoneum dan peritoneum, yaitu fascia
transversalis, lemak preperitoneal dan peritoneum. Otot di bagian depan tengah
terdiri dari sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis tengah
dipisahkan oleh linea alba.
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epithelial.
Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu
coelom. Diantara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding
enteron. Enteron di daerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm,
dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian
menjadi peritoneum.
Lapisan peritoneum dibagi menjadi 3 yaitu :
Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika
serosa).
Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina
parietalis.
Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.
3
Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis
kanan kiri saling menempel dan membentuk suatu lembar rangkap yang disebut
duplikatura. Dengan demikian, baik di ventral maupun dorsal usus terdapat suatu
duplikatura. Duplikatura ini mengubungkan usus dengan dinding ventral dan
dinding dorsal perut dan dapat dipandang sebagai suatu alat penggantung usus
yang disebut mesenterium. Mesenterium dibedakan menjadi mesenterium ventral
dan dorsal. Mesenterium ventral yang terdapat pada sebelah kaudal pars superior
duodeni kemudian menghilang. Lembaran kiri dan kanan mesenterium ventral
yang masih tetap ada, bersatu pada tepi kaudalnya. Mesenterium setinggi
ventrikulus disebut mesogastrium ventral dan mesogastrium dorsal. Pada waktu
perkembangan dan pertumbuhan, ventrikulus dan usus mengalami pemutaran.
Usus atau enteron pada suatu tempat berhubungan dengan umbilicus dan saccus
vitellinus. Hubungan ini membentuk pipa yang disebut ductus omphaloentericus.
Pada tempat-tempat peritoneum visceral dan mesenterium dorsal mendekati
peritoneum dorsal, terjadi perlekatan. Tetapi, tidak semua tempat terjadi
perlekatan. Akibat perlekatan ini, ada bagian-bagian usus yang tidak mempunyai
alat-alat penggantung lagi, dan sekarang terletak disebelah dorsal peritoneum
sehingga disebut retroperitoneal. Bagian-bagian yang masih mempunyai alat
penggantung terletak di dalam rongga yang dindingnya dibentuk oleh peritoneum
4
parietal, disebut letak intraperitoneal. Rongga tersebut disebut cavum peritonei.
Dengan demikian :
Duodenum terletak retroperitoneal
Jejunum dan ileum terletak intraperitoneal dengan alat penggantung
mesenterium
Colon ascendens dan colon descendens terletak retroperitoneal
Colon transversum terletak intraperitoneal dan mempunyai alat
penggantung mesosigmoideum
Caecum terletak intraperitoneal
Processus vermiformis terletak intraperitoneal dengan alat penggantung
mesenterium
5
visceral biasanya tidak dapat menunjuk dengan tepat letak nyeri sehingga
biasanya pasien menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menunjuk daerah
yang nyeri.
Peritoneum parietal dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat timbul
Karena adanya rangsang berupa rabaa, tekanan, atau proses radang. Nyeri
dirasakan seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan dengan
tepat lokasi nyeri.
2.2 Definisi
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput
organ perut (peritoneum). Peritoneum merupakan selaput tipis dan jernih yang
membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa
terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan pathogenesis disebabkan oleh
infeksi atau aseptik.
Peritonitis merupakan suatu kegawatdaruratan yang biasanya disertai
dengan bakteremia atau sepsis. Akut peritonitis sering menular dan sering
dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila tidak
ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis dikategorikan sebagai
primary peritonitis.
2.3 Etiologi
Peritonitis merupakan suatu peradangan membran serosa rongga abdomen
dan organ-organ yang terkandung didalamnya. Peritonitis bisa terjadi karena
proses infeksi atau proses steril dalam abdomen melalui perforasi dinding perut,
misalnya pada rupture apendiks atau divertikulum colon. Penyakit ini juga bisa
terjadi karena adanya iritasi bahan kimia, misalnya asam lambung dari perforasi
ulkus gaster atau kandung empedu dari kantong yang pecah atau hepar yang
mengalami laserasi. Pada wanita, peritonitis juga dapat terjadi terutama karena
terdapat infeksi tuba falopii atau ruptur kista ovarium.
6
Di Indonesia penyebab tersering dari peritonitis adalah perforasi
apendisitis, perforasi typhus abdominalis, trauma organ hollow viscus, peritonitis
yang disebabkan infeksi kuman mycobacterium Tuberculosis.
2.4 Prevalensi
Peritonitis dapat terjadi selama masa kehamilan setelah terjadi ruptur tuba
pada kehamilan ektopik atau kondisi intra abdominal lainnya. Tetapi peritonitis
bakteri spontan/peritonitis primer jarang terjadi selama kehamilan. Hanya 2 – 4 %
kasus peritonitis primer dengan staphylococcus aureus yang disebutkan dalam
literatur.
Selain itu, kasus peritonitis yang terjadi pada kehamilan yang telah
dilaporkan dalam literatur adalah peritonitis TB. Peritonitis TB sangat jarang
terjadi pada kehamilan, dan tingkat peritonitis TB di antara semua bentuk TB
bervariasi dari 0,1% hingga 0,7% di seluruh dunia. Beberapa kasus peritonitis TB
dalam kehamilan telah dilaporkan dalam literatur dengan usia kehamilan mulai
dari 20 hingga 24 minggu kehamilan, tetapi dalam kasus lain usia kehamilan
adalah 13 minggu.
2.5 Klasifikasi
7
b) Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi apendisitis,
perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi colon (paling
sering colon sigmoid) akibat diverticulitis, kanker serta strangulasi usus
halus.
c) Peritonitis tersier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan
akibat tindakan operasi sebelumnya dapat menyebabkan terjadinya
peritonitis tersier.
2.6 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong abses terbentuk diantara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstruksi
usus.
8
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau
bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan
peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang, sampai timbul ileus paralitik;
usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam
lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.
Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan
dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus dapat menimbulkan ileus karena adanya
gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai
usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu
obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat
total atau parsial. Pada ileus strangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh
darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir dengan nekrosis atau gangrene
dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga
abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
9
sehingga oedem bertambah kemudian aliran arteri terganggu sehingga terjadi
infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau gangrene dinding
apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis
baik lokal maupun general.
Pada trauma abdomen, baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai
organ yang berongga intraperitoneal. Rangsangan peritoneal yang timbul sesuai
dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia
samapi dengan colon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat
dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah
lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi
gejala peritonitis hebat sedangkan bila dibawah seperti colon, mula-mula tidak
terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang
biak. Setelah 24 jam, timbul gejala akut abdomen Karena perangsangan
peritoneum.
Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada peritonitis.
Nyeri biasanya datang dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita
dengan perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen.
10
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, rasa
seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa
pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya intensitas dan
penyebaran nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika
intensitasnya bertambah meningkat disertai dengan perluasan daerah nyeri
menandakan penyebaran dari peritonitis.
Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan facies Hipocrates. Gejala ini
termasuk ekspresi yang tamapk gelisah, pemandangan kosong, kedua telinga
menjadi dingin, dan muka tampak pucat.
Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua faktor.
Pertama akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke
lumen dari intestinal. Yang kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata.
Yang utama dari septikemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman
gram negatif dimana dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok.
Mekanisme dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui
bahwa efek dari endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan sindrom atau
gejala-gejala yang mirip seperti gambaran yang terlihat pada manusia.
11
2.8 Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi
dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak
menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada awal
dari perjalanan penyakit, karena dalam 2 – 3 hari baru terdapat tanda-tanda
distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi
kebanyakan distensi abdomen terjadi karena ileus paralitik.
Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara usus
dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai
hampir tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan ileus.
Adanya suara peristaltik yang terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada suara
perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen
akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang mengalami
strangulasi.
Perkusi
Palpasi
12
melahirkan dan orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya kekakuan atau
spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan paling penting adalah adanya nyeri
tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan
menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara
involunter.
Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu proses
inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi lokal,
atau dapat menjadi menyebar seperti pada pankreatitis berat. Nyeri tekan lepas
dapat hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan
yang maksimal.
Laboratorium
Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari
20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat tua atau seseorang yang
sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat mengerahkan mekanisme
pertahanannya.
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan
didominasi oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan,
meskipun jumlah leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang nyata.
Pemeriksaan juga dapat dilakukan pada cairan peritoneal dengan
menggunakan Diagnostic Peritoneal Lavage. Pada peritonitis tuberculosa cairan
peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak
limfosit ; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan
atau secara laparaskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan
merupakan dasar diagnose sebelum hasil pembiakan didapat.
13
Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup
foto thoraks PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thoraks dapat
memperlihatkan proses pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan
proses intraabdomen. Dengan menggunakan foto thoraks, diafragma dapat terlihat
terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya udara bebas dalam cavum
peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen.
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis. Usus halus dan
usus besar mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi.
Foto polos abdomen paling tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi
berdiri/tegak lurus atau lateral decubitus atau keduanya. Foto harus dilihat ada
tidaknya udara bebas. Gas harus dievaluasi dengan memperhatikan pola, lokasi,
dan jumlah udara di usus besar dan usus halus.
Gambaran radiologis pada peritonitis secara umum yaitu adanya kekaburan
pada cavum abdomen, preperitoneal fat dan psoas line menghilang, dan adanya
udara bebas subdiafragma atau intraperitoneal.
Pada kasus peritonitis Karena perdarahan, gambarannya tidak jelas pada
foto polos abdomen. Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan USG.
Sedangkan gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada
pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi akibat ulkus
peptikum, pecahnya apendiks atau karena sebab lain, tanda utama radiologi adalah
sebagai berikut :
Posisi tidur, didapatkan preperitoneal fat menghilang, psoas line
menghilang, dan kekaburan pada cavum abdomen
Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air subdiafragma berbentuk
bulan sabit (semilunar shadow)
Posisi LLD, didapatkan free air intra peritoneal pada daerah perut yang
paling tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara
pelvis dengan dinding abdomen.
14
2.10 Penatalaksanaan
Tata laksana utama pada peritonitis adalah pemberian cairan dan elektrolit,
kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.
Antibiotik
Bakteri penyebab tersering pada peritonitis dapat dibedakan menjadi
bakteri aerob yaitu E. coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus,
sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp,
Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam terapi
peritonitis. Pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman
aerob atau anaerob yang menginfeksi peritoneum.
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil
kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika
15
masih terdapat tanda infeksi. Agar menjadi lebih efektif, terapi antibiotik
harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi.
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus
segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan
dalam dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin
juga memberikan cakupan dan bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa
juta unit dari penicillin dan 2 gram streptomycin sehari smapai didapatkan
hasil kultur merupakan regimen terapi yang logis. Pada penderita yang
sensitive terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara
parenteral lebih baik daripada chlorampenicol pada stadium awal infeksi.
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan
aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua.
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram
negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob.
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anaerob lebih penting
daripada pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotik
awal yang kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan
aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena gangguan ginjal
merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan penurunan pH
intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel. Pemberian
antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung
sel darah puith yang normal.
16
yang ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang
cepat dan dangkal.
17
Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun
anaerob segera dilakukan setelah memasuki cavum peritoneum.
Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (>3 liter)
dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta
bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak
berguna bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi (misalnya :
tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan secara parenteral
akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek
tambahan pada pemberian bersama lavage, semua cairan di cavum
peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan
lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana
fagosit menghancurkan bakteri.
Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intraabdominal dan
peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari cavum
peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase
yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat
menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak
dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya
abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada
kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk peradangan massa
terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi.
18
pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama 10 – 14 hari, bergantung pada
keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang
normal, penurunan demam, dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum
membaik.
Apendisitis
Pankreatitis
Gastroenteritis
Kolesistitis
Demam tifoid
2.12 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana
komplikasi tersebut dapat dibagi atas :
a. Komplikasi dini
Septikemia dan syok septik
Syok hipovolemik
Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan
kegagalan multi sistem
Abses residual intraperitoneal
b. Komplikasi lanjut
Adhesi (perlengketan)
Obstruksi intestinal rekuren
2.13 Prognosis
Tingkat moralitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor –
faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit
19
primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multiple sebelum pengobatan,
serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada
pasien dengan ulkus perforasi dan apendisitis, pada usia muda, pada pasien
dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis lebih awal.
Prognosis peritonitis juga dipengaruhi oleh :
a. Lamanya peritonitis
<24 jam : >90%
24 – 48 jam : 60%
>48 jam : 20%
b. Usia
c. Komplikasi
20
BAB III
KESIMPULAN
21
DAFTAR PUSTAKA
2. Dahlan. M., Jusi. D., Sjamsuhidajat. 2000. Gawat Abdomen dalam Buku
Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.
5. Schrock. T. R., 2000. Peritonitis dan Massa Abdominal dalam Ilmu Bedah
Ed 7. Jakarta : EGC.
22