Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-
menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena
adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction.
Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan
pulih kembali.1
Miastenia gravis (MG) adalah gangguan neuromuskular kronis yang ditandai
dengan kelemahan dan kelelahan otot skeletal yang fluktuatif. Kondisi autoimun ini
jarang terjadi sehingga dapat menjadi sebuah tantangan diagnostik untuk klinisi.
Karena insiden yang rendah dalam praktek klinis sehari-hari dan gejalanya sering
tidak dikenali, keterlambatan sering terjadi dalam mendiagnosis selama 1 sampai 2
tahun. Mengenali gejala klinis adalah komponen kunci dari diagnosis yang tepat.
Untuk menghindari keterlambatan dalam pengobatan, klinisi harus mengetahui
variasi gejala MG dan alat yang digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis.2
Myasthenia gravis (MG) adalah kelainan autoimun yang relatif jarang terjadi
di mana tubuh membentuk antibodi yang melawan reseptor nikotinik asetilkolin
(ACh) di neuromuskuler junction (NMJ) otot rangka. Reaksi ini merupakan respon
imun hipersensitivitas tipe-II. Patologi dasarnya yaitu pengurangan jumlah reseptor
ACh (AChRs) pada membran otot postsinaptik yang ditimbulkan oleh reaksi
autoimun yang diperoleh yang menghasilkan antibodi anti-AChR.
Pengurangan jumlah AChR menghasilkan pola karakteristik kekuatan otot
yang semakin berkurang saat penggunaan berulang dan pemulihan kekuatan otot
setelah istirahat. Kelemahan otot yang paling umum terjadi dan paling parah yaitu
pada otot okular dan bulbar, tetapi pada beberapa pasien dapat berkembang menjadi
kelemahan otot general. Aspek paling penting dari MG dalam situasi darurat yaitu

1
kelemahan akut yang memburuk yang menyebabkan kegagalan neuromuskuler
pernapasan. Diagnosis antara krisis miastenik maupun krisis kolinergik dan
penatalaksanaannya juga merupakan tantangan yang signifikan dalam keadaan
darurat.3
Acquired myasthenia gravis (MG) adalah gangguan yang relatif tidak umum,
dengan tingkat prevalensi yang meningkat menjadi sekitar 20 per 100.000 pada
populasi AS. Penyakit autoimun ini ditandai oleh kelemahan otot yang berfluktuasi,
memburuk dengan aktivitas, dan membaik dengan istirahat. Pada sekitar dua pertiga
pasien, keterlibatan otot mata ekstrinsik (EOMs) muncul sebagai gejala awal,
biasanya berkembang dengan melibatkan otot bulbar lain dan otot tungkai, yang
menghasilkan general myasthenia gravis (gMG). Pada sekitar 10% dari pasien
myasthenia gravis, gejala terbatas pada EOM, dengan kondisi yang dihasilkan disebut
ocular MG (oMG). Jenis kelamin dan usia tampaknya mempengaruhi terjadinya
myasthenia gravis. Di usia <40 tahun, rasio perempuan: laki-laki adalah sekitar 3:
1. Namun, di usia 40-50 tahun serta selama masa pubertas, kira-kira sama. Di usia
>50 tahun, MG lebih sering terjadi pada pria. MG anak jarang terjadi di Eropa dan
Amerika Utara, terdiri dari 10% hingga 15% dari kasus MG. Di negara-negara Asia,
hingga 50% pasien memiliki onset di bawah 15 tahun, terutama dengan manifestasi
okular murni.4
MG adalah penyakit yang dipahami dan dikelola dengan baik. Terapi
farmakologis meliputi agen antikolinesterase, seperti piridostigmin, dan agen
imunosupresif, seperti kortikosteroid, azathioprine, mikofenolat mofetil, tacrolimus,
sirolimus, siklosporin, siklofosfamid, rituximab, plasmapheresis (imunoglobulin).
Timektomi memiliki peran penting dalam pengobatan pasien dengan MG general
disertai tes antibodi reseptor asetilkolin yang positif. Timektomi menjadi keharusan
jika ada timoma. Pasien-pasien dengan MG memerlukan perawatan lanjutan intensif
oleh seorang ahli saraf atau spesialis neuromuskuler bekerja sama dengan dokter
layanan primer mereka.3

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-
menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena
adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction.
Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan
pulih kembali.1
Myasthenia gravis (MG) adalah kelainan autoimun yang relatif jarang terjadi
di mana tubuh membentuk antibodi yang melawan reseptor nikotinik asetilkolin
(ACh) di neuromuskuler junction (NMJ) otot rangka. Reaksi ini merupakan respon
imun hipersensitivitas tipe-II. Patologi dasarnya yaitu pengurangan jumlah reseptor
ACh (AChRs) pada membran otot postsinaptik yang ditimbulkan oleh reaksi
autoimun yang diperoleh yang menghasilkan antibodi anti-AChR.3

2.2 Epidemiologi
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui.Angka kejadiannya
20 dalam 100.000 populasi.Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada
umurdiatas 50 tahun.Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria
dan dapat terjadi pada berbagai usia.5 Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia
yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering
terjadi pada usia 60 tahun.1

2.3 Etiologi dan Patofisiologi


Observasi klinik yang mendukung timbulnya kelainan autoimun terkait pasien
yang menderita miastenia gravis, yaitu autoimun tiroiditis, sistemik lupus

3
eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.Sehingga mekanisme imunogenik
memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis.
Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita
dengan miatenia gravis.Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana
autoantibodi pada serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan
konstituen pada otot.Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik
asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia
gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada
serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.1
Ketika antibodi berikatan dengan AChR pada membran postsinap, mereka
menukarkan senyawa AChR, yang dapat diserap pada serabut otot dan kemudian
terpisah kembali. Selain itu, system pelengkap diaktifkan untuk memediasi kerusakan
lebih lanjut pada membran postsinap.
Antibodi AChR dapat muncul dari germinal center pada thymus, dimana sel
myoid berkelompok yang mengeluarkan AChR pada lapisan membran plasma.
Sekitar 60% antibodi yang positif AChR pada pasien miastenia gravis terjadi
pembesaran thymus, dan 10 % mempunyai timoma – tumor pada sel epitel thymus.
Sebaliknya, sekitar 15 % pasien dengan timoma mempunyai miastenia gravis klinis,
dan lebih dari 20 % memiliki antibodi anti AChR pada serum tanpa gejala miastenia
gravis. Seperti AChr, MuSK adalah komponen transmembran dari postsinap
neuromuscular junction. Selama pembentukan dari neuromuscular junction, MuSK
diaktifkan lewat ikatan dari agrin (saraf bentukan proteoglikan) ke lipoprotein yang
terikat protein 4 (LRP4), setelah sinyal intracellular yang rumit memicu pemasangan
dan penyeimbangan dari AChR.
Tidak seperti antibodi AChR, antibodi anti MuSK tidak mengaktifkan sistem
pelengkap, dan fiksasi pelengkap tidak penting untuk munculnya gejala klinis
miastenia gravis. Juga miastenia gravis dengan antibodi MuSK jarang ditemukan
dengan timoma. Percobaan dengan hewan yang disuntikkan protein MuSK atau

4
dengan Ig G menunjukkan penurunan drastis dari kelompok AChR dan kerusakan
dari struktur neuromuscular junction.
Selain itu, antibodi MuSK membuat disfungsi presynaps, yang mengakibatkan
pengurangan jumlah asetikolin. Informasi ini berdasar penelitian pada tikus dan pada
percobaan in vitro analisis elektrofisiologis neuromuscular junction dari pasien
dengan penyakit ini. Akhirnya antibodi MuSK secara tidak langsung dapat
mempengaruhi pengolahan asetikolin. Setelah pengaktifan postsinap, asetikolin
biasanya dihidrolisa oleh enzim asetikolinsterase, yang terletak pada cleft synaps tapi
terikat dengan MuSK pada membran postsinap. Antibodi MuSK menghambat
menghambat ikatan MuSK pada asetikolinsterase, yang dapat membuat rendahnya
akumulasi dari asetikolinsterase. Proses ini dapat menjelaskan mengapa pasien
dengan antibodi positif MuSK miastenia gravis memiliki respon yang rendah pada
asetikolinsterase inhibitor.
Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan
mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara
lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan
mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara
menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga
mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor
asetilkolin yang baru disintesis.3

5
Gambar 1. Neuromuscular Junction Normal dan Pada Miastenia Gravis.2

2.4 Klasifikasi
Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) membagi MG menjadi 5
kelas utama dan beberapa subkelas. Dirancang untuk mengidentifikasi subkelompok
pasien MG dengan berbagai gambaran klinis yang berbeda atau tingkat keparahan
penyakit yang dapat menunjukkan prognosis atau respon yang berbeda terhadap
terapi.
MG Kelas I ditandai oleh:
i. Kelemahan otot okular.

6
ii. Mungkin memiliki kelemahan dalam penutupan mata.
iii. Semua kekuatan otot lainnya normal.
MG Kelas II ditandai oleh :
i. Kelemahan ringan mempengaruhi otot selain otot mata,
ii. Mungkin juga memiliki kelemahan otot mata dari setiap tingkat
keparahan.
MG Kelas IIa ditandai oleh :
i. Dominan mempengaruhi ekstremitas, otot aksial, atau keduanya
ii. Mungkin juga memiliki keterlibatan otot orofaring.
MG Kelas IIb ditandai oleh :
i. Dominan mempengaruhi oropharyngeal, otot pernapasan, atau keduanya,
ii. Mungkin juga memiliki keterlibatan anggota gerak, otot aksial yang lebih
rendah atau sama, atau keduanya.
MG Kelas III ditandai oleh :
i. Kelemahan moderat mempengaruhi otot selain otot mata,
ii. Mungkin juga memiliki kelemahan otot mata dari setiap tingkat
keparahan.
MG Kelas IIIa ditandai oleh :
i. Dominan mempengaruhi ekstremitas, otot aksial, atau keduanya,
ii. Mungkin juga memiliki keterlibatan otot orofaring.
MG Kelas IIIb ditandai oleh :
i. Dominan mempengaruhi oropharyngeal, otot pernapasan, atau keduanya,
ii. Mungkin juga memiliki keterlibatan anggota gerak, otot aksial yang lebih
rendah atau sama, atau keduanya.
MG Kelas IV ditandai oleh :
i. Kelemahan parah yang mempengaruhi otot selain otot mata,
ii. Mungkin juga memiliki kelemahan otot mata dari setiap tingkat
keparahan.

7
MG Kelas IVa ditandai oleh :
i. Dominan mempengaruhi ekstremitas, otot aksial, atau keduanya,
ii. Mungkin juga memiliki keterlibatan otot orofaring.
MG Kelas IVb ditandai oleh :
i. Dominan mempengaruhi orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya,
ii. Mungkin juga memiliki keterlibatan anggota gerak, otot aksial yang lebih
rendah atau sama, atau keduanya.
MG Kelas V ditandai oleh :
i. Intubasi dengan atau tanpa ventilasi mekanik, kecuali bila digunakan
selama manajemen pasca operasi rutin,
ii. Penggunaan NGT tanpa intubasi menempatkan pasien di kelas IVb.3

2.5 Gejala Klinis


Gambaran klinis MG ditandai dengan kelemahan otot lurik tanpa rasa nyeri
yang memburuk setelah aktivitas berulang atau berkelanjutan dan membaik dengan
istirahat. Tingkat gejala dapat bervariasi dari hari ke hari atau bahkan pada jam
tertentu dalam setiap hari, tetapi gambaran klinis biasanya menjadi lebih jelas
beberapa jam sebelum waktu tidur. Selain aktivitas fisik atau olahraga, kelemahan
MG dapat menjadi lebih jelas dengan beberapa faktor : stres emosional, lingkungan
panas, perubahan yang cepat dalam suhu tubuh, infeksi, hipertiroidisme, operasi,
trauma, dan obat-obatan tertentu (misalnya, aminoglikosida, beta adrenergik, calcium
channel blockers, chloroquine, fluoroquinolone, haloperidol, kontras iodinasi,
lidocaine, makrolida, magnesium, muscle relaxant, fenitoin, procainamide, quinidine,
quinolon, dan tetrasiklin).
Manifestasi okular yaitu, diplopia dan ptosis adalah gejala utama pada
sebagian besar pasien. Kelemahan otot ekstraokular dapat terjadi asimetris, sehingga
terjadi diplopia. Orang dewasa dengan diplopia dapat mencari perawatan dari dokter
mata mereka; konvergensi visual dan adanya lirikan mata ke atas dapat terdeteksi

8
selama pemeriksaan mata. Unilateral atau bilateral ptosis dapat terlihat saat bekerja di
depan komputer, membaca, atau selama periode mengemudi yang panjang pada
orang dewasa lain mungkin menemukan diri mereka harus memiringkan kepala
mereka kembali untuk memperpanjang bidang visual bawah karena ptosis.
Pada sekitar 10% sampai 40% kasus, gejala terbatas pada otot-otot
ekstraokular (MG okular). Namun, kelemahan otot lebih sering berkembang menjadi
MG, yang dapat mempengaruhi orofaringeal, rangka, dan/atau otot-otot pernapasan.
Pola bicara mungkin mencerminkan kelemahan dari palatum durum (intonasi
hidung), lidah, bibir, dan otot-otot wajah yang mendukung (slurring of words).
Kelemahan dan kelelahan otot juga dapat mengakibatkan perubahan dalam ekspresi,
kelelahan mengunyah, kesulitan menelan dan ketidakmampuan untuk
mempertahankan penutupan rahang setelah mengunyah. Bagi mereka dengan MG
ringan, kelemahan leher fleksor mungkin satu-satunya temuan klinis, dan pasien
dapat memegang rahang dan leher mereka dengan tangan mereka. Secara umum,
gejala kelemahan ekstremitas atas lebih umum daripada kelemahan ekstremitas
bawah. Kelemahan ekstremitas cenderung proksimal dan simetris, namun kelemahan
tidak dibatasi terhadap distribusi setiap saraf tunggal atau tingkat sistem saraf pusat.
Pasien kemungkinan memiliki kesulitan untuk mengatur lengan mereka dalam posisi
abduksi. Kelemahan tersebut berimplikasi pada kesulitan menyikat gigi, menyisir
rambut, atau mengendarai sepeda kendaraan bermotor. Ketika pergerakan motorik
tangan sudah memburuk, akan muncul gejala kesulitan menulis. Pada ekstremitas
bawah, mereka sering mengeluh kesulitan bangkit dari posisi duduk, naik dan turun
tangga, atau berjalan seperti apa yang akan mereka anggap jarak “normal”. Pada
orang dengan MG stadium lanjut, fungsi kandung kemih juga dapat terkena. Dalam
kasus lain, MG juga dapat melibatkan otot pernapasan dan dapat menyebabkan
gangguan pernapasan atau kegagalan napas.
Kognisi, koordinasi, sensasi, dan refleks peregangan otot adalah normal pada
pasien miastenia.3

9
Tabel 1. Gejala yang Umum pada Miastenia Gravis2
Location Symptoms
Ocular  Ptosis, sometimes alternating from one eye to the other
 Diplopia
 Weakness of eye closure
Bulbar • Dysarthria with nasal speech
 Dysphagia with nasal regurgitation
• Facial weakness
 Neck flexor weakness causing head-lag upon lifting up from lying
Cervical • down
 Neck extensor weakness manifesting as posterior neck ain and
head-drop
Limb  Proximal limb weakness, arm more than leg Finger extensor weakness
 Intercostal and diaphragm muscle weakness causing respiratory
Respiratory • failure
 Accessory muscle usage sometimes not prominent

2.6 Diagnosis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis
suatu miastenia gravis.
Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya myasthenic
sneer dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal dan miastenia gravis
biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajah.
Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang
menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice)
serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu,
penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta
menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabkan

10
penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi
pada penderita dengan miastenia gravis.Ditandai dengan kelemahan otot-otot rahang
yang menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, dan dagu penderita harus
terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga
terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher.
Otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan
otot-otot anggota tubuh bawah. Musculus deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot
pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot
trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah,
sering kali terjadi kelemahan melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan
dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki dan saat melakukan fleksi panggul.
Hal yang paling membahayakan adalah kelemahan otot-otot pernapasan yang
dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat
darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot faring
dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas dan kelemahan otot-otot interkostal
serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat
terjadinya hipoventilasi. Sehinggga pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi
pada pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan.
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan
tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus kranialis. Serta
biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Hal ini merupakan
tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan
pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu
pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan
adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi.1

11
Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk membantu diagnosa MG yaitu :
 Tes Wartenberg
Pada tes ini, pasien diminta untuk memandang objek di atas bidang antara kedua
bola mata selama >30 detik, atau pasien diminta untuk mengedipkan matanya
secara terus menerus.
Jika Ptosis (+), maka tes wartenberg (+).5
 Tes Pita Suara
Pada tes ini, pasien diminta untuk menghitung dengan suara yang keras.
Hasil positif jika suara menjadi serak dan menghilang secara bertahap.5
 Tes ice-pack
Dilakukan dengan menempatkan sebungkus es pada mata yang ptosis selama 2-5
menit dan menilai derajat perbaikan ptosis yang terlihat. Tes ini tidak terlalu
membantu untuk menilai kelemahan motor okular.2,3
 Uji Tensilon
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat
reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera
setelah tensilon disuntikkankita harus memperhatikan otot-otot yang lemah
seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan
segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan
sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.1,5

12
Gambar 2. (a) Foto seorang pasien dengan MG menunjukkan ptosis kanan
parsial. Palpebra kiri menunjukkan retraksi pseudolid kompensasi karena persarafan
yang sama dari levator palpabrae superioris (hukum Herring). (B) Tes Post-Tensilon:
perhatikan peningkatan ptosis yang mengartikan bahwa Tes Tensilon (+).4

 Uji Prostigmin
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan
itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya
ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.1,5
 Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3
tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan
juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis,
strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat.1
 Laboratorium
Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita
timoma dalam usia kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan salah satu tes yang

13
pentingpada penderita miastenia gravis. Pada pasien tanpa timomaanti-SM
Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih dari 40
tahun.1
Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab
negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-
MuSK Ab.1
Antistriational antibodies
Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine
(RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien timomadengan miastenia
gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu
kecurigaaan yang kuat akan adanya timoma pada pasien muda dengan miastenia
gravis. Hal ini disebabkan dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis
menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada
otot rangka dan otot jantung penderita. 1
Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia
gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita
miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular
murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada
pasien timomatanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR
antibody.1
 Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuscular melalui 2 teknik1 :
Single-fiber Electromyography (SFEMG)
SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa
peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum

14
single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita.
Sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer(variabilitas pada interval
interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama)
dan suatufiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat
direkam oleh jarum perekam).1
Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Tes stimulasi elektrofisiologis saraf secara berulang (repetitive nerve
stimulation/RNS) digunakan dengan rasio rendah (2-5 Hz) untuk stimulasi
elektrik berulang. Hasil positif bila respon motoris ditolak lebih dari 10%.
Meskipun, pengurangan respon tidak spesifik pada miastenia gravis, dapat dilihat
dari kelainan neuromuscular lain seperti penyakit motor neuron atau Sindrom
Lambert-Eaton miastenia.2
Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,
sehingga pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi.1
 Pemeriksaan Radiologis
Pada foto polos thoraks anteroposterior dan lateral dapat mengidentifikasi timoma
sebagai massa mediastinum anterior. Foto polos thoraks negatif tidak dapat
mengidentifikasi thymoma yang lebih kecil, dalam hal ini diperlukan CT scan
dada. CT scan dada harus diperoleh untuk mengidentifikasi atau menyingkirkan
thymoma atau pembesaran thymus dalam semua kasus MG, terutama pada
individu yang lebih tua.3

Gambar 3. CT scan dada dan mediastinum menunjukkan thymoma pada pasien MG3

15
Gambar 4. CT scan dada menunjukkan masa mediastinum anterior (thymoma) pada
pasien MG3

16
2.7 Diagnosa Banding
Tabel 2. Diagnosa Banding Miastenia Gravis2

Clinical features distinct from Ancillary testing features


Main Differential
autoimmune myasthenia distinct from autoimmune
symptom diagnoses
gravis myasthenia
Thyroid Stable restrided Enlarged extraocular muscle
ophthalmopathy ophthalmopathy on imaging
Muscle biopsy revealing
Chronic progressive ptosis and
Mitochondrial ragged red
ophthalmoparesis, diplopia
myopathy fibers, presence of specific
rare, slow saccadic movement
mutations
Ptosis & Autosomal dominant
diplopia Oculopharyngeal inheritance Muscle biopsy revealing
Slowly progressive ptosis and intranuclear inclusion
dystrophy
dysphagia in 4th and 5th Mutations in PABPNI gene
decades
Autosomal dominant Eledromyogram revealing
inheritance myotonia
Myotonic dystrophy
Charaderistic facial features, Mutations in DMPK or CNBP
distal weakness, myotonia gene
Brainstem mass lesion Hyperreflexia, nonfluctuating
Brainstem imaging findings
or encephalitis symptoms
Dysarthria Progressive course, spastic
And Eledromyogram revealing
dysarthria, tongue atrophy,
dysphagia Motor neuron disease hyperreflexia, asym-metrical widespread denervation or
reinnervation
weakness, fasciculations
Lambert-Eaton Leg more than arm weakness,
Positive voltage-gated calcium
myasthenic syndrome bulbar symptoms rare, channel antibody, facilitation
autonomic dysfunction (dry
on electrophysiologic testing
mouth, erectile dysfunction)
Congenital Positive family history, early Lack of AChR or MUSK
myasthenic childhood onset with slow and antibody,
Proximal syndromes steady progression presence of specific mutations
muscle Botulism Facilitation on
Prominent autonomic features
weakness electrophysiologic testing
Guillain-Barre High cerebrospinal fluid
syndrome protein
Hyporeflexia, sensory loss,
Chronic inflammatory Nerve conduction study
ataxia
demyelinating showing features suggesting
polyneuropathy acquired demyelination

17
Myopathy or limb-
Nonfluctuating weakness, Creatine phosphokinase
girdle
ocular elevation, muscle biopsy
dystrophy
findings rare revealing myopathic changes

2.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan MG harus disesuaikan dengan karakteristik pasien dan
tingkat keparahan penyakit. Ada dua pendekatan untuk manajemen MG berdasarkan
patofisiologi penyakit. Yang pertama adalah dengan meningkatkan jumlah asetilkolin
yang tersedia untuk berikatan dengan reseptor postsinaptik menggunakan agen
inhibitor asetilkolinesterase, dan yang kedua adalah dengan menggunakan obat
imunosupresif yang mengurangi pengikatan reseptor asetilkolin oleh antibodi.
Ada empat terapi dasar yang digunakan untuk mengobati MG:
i) Pengobatan simtomatik dengan inhibitor asetilkolinesterase,
ii) Pengobatan imunomodulasi jangka pendek yang cepat dengan plasmapheresis
dan imunoglobulin intravena,
iii) Pengobatan imunomodulasi jangka panjang kronis dengan glukokortikoid dan
obat imunosupresif lainnya,
iv) Perawatan bedah.4

2.8.1 Inhibitor Acetylcholinesterase


Inhibitor asetilkolinesterase merupakan pengobatan lini pertama pada pasien
dengan MG. Respon terhadap pengobatan ini bervariasi. Inhibitor asetilkolinesterase
digunakan sebagai terapi simtomatik dan bertindak dengan meningkatkan jumlah
asetilkolin yang tersedia di NMJ. Pyridostigmine adalah obat yang paling umum
digunakan.
Pyridostigmine memiliki onset of action yang cepat dalam waktu 15 hingga
30 menit dan mencapai aktivitas puncak dalam waktu sekitar dua jam. Efeknya
berlangsung sekitar tiga hingga empat jam. Dosis oral awal adalah 15-30 mg setiap 4-
6 jam dan dititrasi ke atas tergantung pada respons pasien. Efek samping yang

18
merugikan dari Pyridostigmine sebagian besar disebabkan oleh sifat kolinergik obat
tersebut seperti kram perut, diare, peningkatan pengeluaran air liur dan sekresi
bronkial, mual, berkeringat, dan bradikardia. Efek samping nikotinik juga sering
terjadi seperti fasikulasi dan kram otot. Pyridostigmine dosis tinggi melebihi 450 mg
setiap hari yang diberikan kepada pasien dengan gagal ginjal dilaporkan dapat
menyebabkan perburukan kelemahan otot.4

2.8.2 Terapi Imunomodulasi Jangka Pendek dengan Plasmapheresis dan


Imunoglobulin Intravena
Pertukaran plasma dan imunoglobulin intravena memiliki onset of action yang
cepat dengan perbaikan dalam beberapa hari, tetapi ini merupakan efek sementara.
Digunakan dalam situasi tertentu seperti krisis myasthenic dan sebelum operasi
timektomi atau prosedur bedah lainnya. Dapat digunakan untuk mempertahankan
remisi pada pasien MG yang tidak terkontrol selain menggunakan obat-obatan
imunomodulasi kronis.4
Plasmapheresis dan immunoglobulin intravena bekerja cepat selama sehari,
tapi pada banyak pasien efeknya bertahan beberapa minggu. Keduanya digunakan
sebagai terapi awal untuk krisis miastenia, terapi sambungan untuk imunoterapi kerja
lambat, atau pengobatan terusan untuk kasus sulit dikontrol. Beberapa penelitian
retrospektif menunjukkan efikasi dari plasmapheresis pada lebih 80% pasien dengan
gejala umum.
Penelitian acak pada pasien dengan terapi umum, immunoglobulin intravena
meningkatkan kekuatan otot pada kelompok pasien dengan gejala berat. Dosis efektif
immunoglobulin intravena bervariasi dari 1-2 gr/kg tanpa perbedaan antar dosis.
Percobaan membandingkan efikasi dari immunoglobulin intravena dan
plasmapheresis pada miastenia gravis akut dan berat tidak menunjukkan perbedaan
efikasi. Imunoglobulin intravena dosis minilam 0,4 gr/kg tiap 3 bulan telah sukses

19
sebagai monoterapi jangka panjang, dan berperan besar pada pasien untuk penelitian
selanjutnya.
Pilihan antara plasmapheresis dan immunoglobulin intravena didasarkan pada
kemampuan pasien menoleransi tiap pengobatan dan pada ketersediaan prosedur
plasmapheresis. Imunoglobulin intravena lebih mudah dilakukan, sebanding dengan
sedikitnya efek samping yang berhubungan dengan akses vascular, dan lebih tersedia
dari pada plasmapheresis pada beberapa pusat.2
Plasmapheresis meningkatkan kekuatan pada pasien MG dengan langsung
mengeluarkan AChR dari sirkulasi. Efek buruk dari plasmapheresis meliputi
hipotensi, parestesia, infeksi, komplikasi trombotik terkait akses vena, dan
kecenderungan perdarahan akibat penurunan faktor koagulasi.4
Mekanisme aksi IVIg sangat kompleks, termasuk penghambatan kompetisi
sitokin dengan autoantibodi, dan penghambatan deposisi komplemen. Gangguan
dengan pengikatan reseptor Fc pada makrofag, reseptor Ig pada sel B, dan gangguan
dengan pengenalan antigen oleh sel T yang peka adalah mekanisme lain. Teknik yang
lebih spesifik untuk menghilangkan antibodi anti-AChR yang bersifat patogen
dengan memanfaatkan imunoadsorpsi telah dikembangkan baru-baru ini, yang
menawarkan pendekatan yang lebih bertarget untuk pengobatan MG.
IVIg dianggap aman, tetapi jarang terjadi komplikasi seperti trombosis karena
peningkatan viskositas darah dan komplikasi lain yang terkait dengan volume besar
preparat yang diinfuskan.
Dibandingkan dengan plaspheresis, IVIg serupa dalam hal kemanjuran,
mortalitas, dan komplikasi. Namun, plasmapheresis memiliki keunggulan biaya yang
cukup besar dibandingkan IVIg dengan rasio manfaat biaya 2: 1 untuk pengobatan
myasthenia gravis.4

20
2.8.3 Terapi Kekebalan Jangka Panjang
Tujuan terapi imunomodulasi jangka panjang pada MG adalah untuk
mencegah remisi pada pasien yang nyaris sembuh dari gejala dan
mempertahankannya.

Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat imunosupresan pertama dan paling umum
digunakan di MG. Prednison umumnya digunakan ketika gejala-gejala MG tidak
dikontrol secara memadai oleh inhibitor cholinesterase saja. Respons yang baik dapat
dicapai dengan dosis tinggi di awal pemberian dan kemudian tapering off ke dosis
terendah untuk mempertahankan respons.
Dosis prednison yang efektif tergantung keparahan dan distribusi gejala, yaitu
lebih dari 1,0 mg/kg/hari (biasanya 50-80 mg per hari). Pada pasien dengan gejala
ringan sampai sedang, dosis maksimum terendah 20-40 mg per hari mungkin cukup.
Penurunan dosis prednison dapat mulai setelah pasien menggunakan dosis tinggi 1-2
bulan dan terdapat peningkatan signifikan yang jelas. Penurunan dosis bulanan 5-10
mg lebih dipilih, kemudian diperlambat setelah dosis harian mencapai 30 mg. Dosis
rawatan rutin rata-rata sekitar 5 mg per hari.
Eksaserbasi sementara dapat terjadi setelah memulai prednison dosis tinggi
dalam 7-10 hari pertama yang dapat berlangsung selama beberapa hari. Dalam kasus-
kasus ringan, inhibitor cholinesterase biasanya digunakan untuk mengelola serangan
akut. Dalam kasus yang diketahui memiliki eksaserbasi parah, pertukaran plasma atau
IVIg dapat diberikan sebelum terapi prednison untuk mencegah atau mengurangi
keparahan kelemahan yang diinduksi kortikosteroid dan untuk menginduksi respon
yang lebih cepat. Prednison oral mungkin lebih efektif daripada obat antikolinesterase
dalam oMG dan karenanya harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan oMG.4

21
Agen Imunosupresif Nonsteroid
Azathioprine, merupakan analog purin yang mengurangi sintesis asam
nukleat sehingga mengganggu proliferasi sel T dan B. Azathioprine telah digunakan
sebagai agen imunosupresan di MG sejak 1970-an dan efektif pada 70% -90% pasien
dengan MG. Biasanya dibutuhkan hingga 15 bulan untuk mendeteksi respons klinis.
Ketika dikombinasi dengan prednisone, mungkin lebih efektif dan ditoleransi lebih
baik daripada prednison saja. Efek samping yang merugikan yaitu hepatotoksisitas
dan leukopenia.4
Mikofenolat mofetil, secara selektif menghambat sintesis purin, sehingga
menekan proliferasi sel-T dan sel-B. Dosis standar yang digunakan dalam MG yaitu
1000 mg dua kali sehari, tetapi dosis hingga 3000 mg setiap hari dapat digunakan.
Dosis yang lebih tinggi dikaitkan dengan myelosupresi, dan jumlah darah lengkap
harus dipantau setidaknya sekali sebulan. Obat ini dikontraindikasikan pada
kehamilan dan harus digunakan dengan hati-hati pada penyakit ginjal, penyakit GI,
supresi sumsum tulang, dan pasien usia lanjut.4
Siklofosfamid, yang diberikan secara intravena dan oral merupakan
pengobatan yang efektif untuk MG. Lebih dari separuh pasien menjadi tanpa gejala
dalam 1 tahun perawatan. Efek samping yang tidak diinginkan yaitu rambut rontok,
mual, muntah, anoreksia, dan perubahan warna kulit.4 Cyclophosphamide adalah
agen alkylating yang mengurangi proliferasi sel B dan sel T, efektif untuk pasien
miastenia gravis , tetapi efek samping yang serius membatasi penggunaannya.2
Rituximab, merupakan antibodi monoklonal terhadap membran sel B
penanda CD20. Rituximab tampak sangat efektif pada MG dengan antibodi MuSK
positif, melalui mekanisme mengurangi titer antibodi MuSK dan memiliki efek
pengobatan yang bertahan beberapa tahun. Dosis standar adalah 375 mg/m2 tiap
minggu selama 4 minggu berturut-turut. Sel B perifer cenderung untuk dikeluarkan
dalam waktu 2 minggu setelah infus pertama, sedangkan populasi sel T tetap tidak
berubah. Reaksi infus minimum seperti kemerahan dan menggigil dapat dilihat

22
dengan infus pertama. Pasien mungkin lebih rentan terhadap infeksi tertentu seperti
reaktivasi herpes zoster, namun rituximab umumnya ditoleransi dengan baik. Kasus
lain yang jarang terjadi yaitu progressive multifocal leukoencephalopathy.2
Siklosporin menghambat sintesis reseptor sitokin IL-2 dan protein lain yang
penting untuk fungsi sel T CD4 +. Siklosporin digunakan terutama pada pasien yang
tidak mentolerir atau merespons azathioprine. Studi retrospektif mendukung
penggunaannya sebagai agen hemat steroid.4 Sebuah uji coba secara acak dengan
sejumlah kecil pasien menyarankan bahwa cyclosporin sangat efektif sebagai
monotherapy. Onset tindakan pada miastenia gravis lebih cepat dari agen hemat
kortikosteroid lain, dan manfaat klinis dapat dilihat selama 1-2 bulan. Dosis 5
mg/kg/hari dan mempertahankan tingkat serum 100-150 ng/mL umumnya
direkomendasikan. Namun, toksisitas ginjal, hati dan hematologi dan interaksi
dengan obat lain membuat siklosporin kurang menjadi pilihan.2
Tacrolimus telah berhasil digunakan untuk mengobati MG dengan dosis
rendah. Tacrolimus memiliki keuntungan nefrotoksisitas yang lebih rendah daripada
siklosporin. Namun, ada lebih banyak data uji coba yang mendukung penggunaan
siklosporin. Seperti agen imunosupresif lainnya, Tacrolimus juga memiliki potensi
efek samping yang parah.4
Etanercept, penghambat reseptor tumor necrosis factor (TNF) rekombinan
dan reseptor, juga telah terbukti memiliki efek hemat steroid dalam penelitian pada
kelompok kecil pasien.4
Pasien MG yang resisten terhadap terapi telah berhasil diobati dengan
siklofosfamid yang dikombinasi dengan transplantasi sumsum tulang atau dengan
rituximab, antibodi monoklonal terhadap penanda permukaan sel B CD20.4

23
3.8.4 Manajemen Bedah
Timektomi
Perawatan bedah sangat dianjurkan untuk pasien dengan timoma. Manfaat
dari thymectomy berkembang selama beberapa tahun. Timektomi disarankan segera
setelah tingkat kelemahan pasien cukup terkontrol dan memungkinkan pembedahan.
Pasien yang menjalani operasi biasanya diobati dengan glukokortikoid dosis rendah
dan IVIg. Timektomi mungkin bukan pendekatan terapi yang layak untuk pasien MG
dengan anti-MuSK positif karena timus mereka tidak memiliki pusat germinal dan
infiltrat limfosit yang menjadi ciri timus pada pasien MG dengan antibodi anti-AChR
positif. Sebagian besar ahli menganggap thymectomy sebagai pilihan terapi untuk
pasien MG dengan anti-AChR Ab-positive dan onset penyakit sebelum usia 50
tahun.4

3.8.5 Rehabilitasi
Program rehabilitasi yang dikombinasikan dengan bentuk perawatan medis
lainnya dapat membantu meringankan gejala. Tujuan utama rehabilitasi adalah
membangun kekuatan individu untuk kembali bekerja dan kegiatan kehidupan sehari-
hari. Intensitas dan perkembangan latihan tergantung pada stadium penyakit dan
kesehatan keseluruhan. Pendekatan interdisipliner seperti pengobatan neuromuskuler,
pengobatan fisik dan rehabilitasi, dan terapi pernapasan direkomendasikan. Terapi
fisik bermanfaat untuk pemulihan kekuatan otot jangka panjang. Latihan penguatan
bertingkat membantu individu tetap sefungsional mungkin. Terapi okupasi membantu
individu beradaptasi dengan cara-cara baru dalam melakukan tugas hidup sehari-hari
menggunakan konservasi energi dan teknik kompensasi. Ada terapi wicara untuk
pelatihan setelah trakeostomi. Konseling kejuruan mungkin diperlukan jika
persyaratan pekerjaan saat ini tidak dapat dipenuhi. Intervensi psikologis untuk
mengatasi penyakit mungkin diperlukan.4

24
Tabel 3. Jenis Terapi Obat Untuk Miastenia Gravis2

Obat Dosis Keterangan


Terapi simptomatis (AChE inhibitors)
Efek samping kolinergik
Pyridostigmine • Inisial : 30 mg setiap 4 sampai 6 jam tergantung
(Mestinon) • Pemeliharaan: 60 mg empat kali sehari (180 mg dosis yang umum termasuk mual,
rilis berkelanjutan) muntah, diare, kram perut atau
• Pemeliharaan dosis sampai 1500 mg per hari otot,
mungkin diperlukan pada kasus yang berat. dan peningkatan produksi air
Titrasi dosis untuk meminimalkan risiko krisis mata,
kolinergik. air liur, dan sekresi bronkial.
Korelasikan dosis terbesar dengan waktu yang
paling menonjol kelemahannya.

Immune-directed therapy
Steroids
Prednison Umumnya dimulai selama rawat
• Awal: 60-100 mg per hari
inap. Sementara memburuknya
• Pemeliharaan: 5 sampai 15 mg per hari
kelemahan otot dapat terjadi.
• Dosis secara bertahap dikurangkan, setelah 2
Sering digunakan dalam
sampai 4 minggu, sebagai perbaikan gejala yang
kaitannya
disebutkan
dengan inhibitor AChE.
Non-steroid immunomodulators
Sering dibutuhkan ketika tidak
• Awal: 1 mg / kg per hari (50 mg)
dapat meruncingan dosis
• Maksimum: 2,5 mg / kg per hari
Azathioprine perawatan
• Memantau CBC dan LFT
steroid yang rendah. Mungkin
Mycophenolate • Awal: 250 mg twice daily memakan waktu berbulan-bulan
mofetil • Maksimum: 3 g per day untuk merespon yang jelas. Efek
• Memantau CBC dan CMP samping yang parah, seperti
keganasan (misalnya limfoma)
• Awal: 25 mg dua kali sehari dan
• Maximum: 3 sampai 6 mg / kg per hari dibagi
Cyclosporine infeksi oportunistik dapat terjadi.
dua
kali sehari
• Memantau BP, fungsi ginjal, kadar obat
Cyclophosphamide • Awal: 25 mg sehari
• Maximum: 2 sampai 5 mg / kg per hari
• Memantau CBC, BMP, dan UA (sistitis
hemoragik)

25
Obat Yang Harus Dihindari
Beberapa obat dapat memperburuk kelemahan pada miastenia gravis dan
harus dihindari atau digunakan dengan hati-hati. Obat yang harus dihindari yaitu
penicillamine, interferon, procainamide, quinidine, dan antibiotik, seperti quinolone
dan aminoglikosida.2

3.9 Komplikasi
Krisis miastenik merupakan suatu kegawatdaruratan yang terjadi bila otot
yang mengendalikan pernafasan menjadi sangat lemah. Kondisi ini dapat
menyebabkan gagal pernafasan akut.5 Komplikasi lain yang dapat terjadi selebihnya
dapat juga diakibatkan dari terapi yang diberikan.
Terapi imunomodulasi jangka panjang dapat mempengaruhi pasien dengan
MG untuk berbagai komplikasi. Penggunaan steroid jangka panjang dapat
menyebabkan atau memperburuk osteoporosis, katarak, hiperglikemia, penambahan
berat badan, nekrosis avaskular pinggul, hipertensi, infeksi oportunistik, dan
komplikasi lainnya. Penggunaan steroid jangka panjang juga meningkatkan risiko
gastritis atau penyakit tukak lambung. Pasien yang menjalani terapi tersebut juga
harus mengonsumsi H2-blocker atau antasid.
Beberapa komplikasi umum terjadi pada terapi imunomodulasi apa pun,
terutama jika pasien menggunakan lebih dari 1 agen. Infeksi yang dapat terjadi
seperti TBC, infeksi jamur sistemik, dan pneumonia Pneumocystis carinii. Risiko
keganasan limfoproliferatif dapat meningkat dengan imunosupresi kronis. Obat
imunosupresif mungkin memiliki efek teratogenik.
Kemunduran awal pada kelemahan sebelum perbaikan adalah masalah umum
dan serius dalam 3 minggu pertama terapi imunomodulator; komplikasi potensial ini
memerlukan inisiasi dosis tinggi dalam pengaturan yang diawasi.

26
Penggunaan inhibitor cholinesterase yang berlebihan dapat menyebabkan
krisis kolinergik. Obat imunosupresif lain meningkatkan insidensi infeksi
oportunistik, insufisiensi ginjal, dan hipertensi.3

3.10 Prognosis
Progresi penyakit lambat, mencapai puncak sesudah 3-5 tahun, kemudian
berangsur-angsur baik dalam 15-20 tahun dan + 20% antaranya mengalami remisi.5

27
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pada banyak kasus miastenia gravis, pasien memiliki antibodi yang melawan
asetikolin receptor (AChR) atau muscle-specific tyrosin kinase (MuSK). Penegakan
diagnosis miastenia gravis didapatkan dari gejala klinis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium tes serologi untuk antibodi AChR atau antibodi MuSK, tes
elektrofisiologi dan radiologi. Asetikolinsterase inhibitor adalah terapi lini pertama,
namun pada pasien dengan gejala sedang hingga berat membutuhkan tambahan terapi
imunomodulator. Banyak jenis obat yang dapat memperburuk kelemahan otot pada
miastenia gravis dan harus dihindari atau pemakaian dengan hati-hati, seperti
penicillamine, interferons, procainamide, quinidine, dan antibiotic seperti quinolone
dan aminoglikosida.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Arie, A. 2016. Diagnosis dan Tatalaksana Myasthenia Gravis. Denpasar : Ilmu


Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
2. Kurniawan, S.N. 2014. Myasthenia Gravis : an Update dalam Continuing
Neurological Education, Malang 2014. UB Media, Universitas Brawijaya,
Malang. p59-80
3. Aashit K Shah. Miastenia Gravis Medication. Last update Aug 27, 2018. Diunduh
dari URL : https://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview. Diakses
tanggal 1 Januari 2018.
4. Trouth,A. Myasthenia Gravis : A Review. Last update Oct 31, 2012. NCBI.
Diunduh dari URL:https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3501798/.
Diakses tanggal 1 Januari 2018.
5. Munir, B. 2017. Miastenia Gravis. In: Munir, B. (Eds.). Neurologi Dasar (2nd
ed., pp. 351-356). Malang : Sagung Seto.
6. Panji, P. Laporan Kasus Miastenia Gravis. SMF Ilmu Anestesi dan Reanimasi.
Diunduh dari URL:
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/6d1ec14cbd71ca54bc213
e471e598c9e.pdf. Diakses tanggal 12 Januari 2019
7. Wijayanti, S. 2016. Aspek Klinis dan Penatalaksanaan Miastenia Gravis. SMF
Neurologi FK UNUD / RSUP Sanglah
Diunduh dari URL:
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/bccf7d50d5873e07c3211e8
91fa2769c.pdf. Diakses tanggal 12 Januari 2019
8. Nandar, S. 2018. Kegawatan Pada Neuromuskular (Emergency on
Neuromuscular). Last Update July 2015. Universitas Brawijaya. Diunduh dari
URL:
https://www.researchgate.net/publication/326439020_KEGAWATAN_PADA_N

29
EUROMUSKULAR_EMERGENCY_ON_NEUROMUSCULAR. Diakses
tanggal 12 Januari 2019
9. Wendell, L. 2011. Myasthenic Crisis. Last update : Jan 2011. NCBI.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3726100/. Diakses tanggal 12
Januari 2019
10. Adeyinka, A. 2018. Cholinergic Crisis. Last Update: October 27, 2018. NCBI
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482433/. Diakses tanggal 12 Januari
2019

30

Anda mungkin juga menyukai