Anda di halaman 1dari 22

ASUHAN KEGAWATDARURATAN MATERNAL DAN NEONATAL

“PREEKLAMPSIA BERAT”

Disusun oleh :

EKKI NOVIANA

P 1337424818009

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SEMARANG

PROGRAM STUDI PROFESI BIDAN

2018
TINJAUAN TEORI

I. TINJAUAN TEORI MEDIS


a. Pengertian
Preeklampsi adalah tekanan darah tinggi yang terjadi setelah umur
kehamilan 20 minggu dengan munculnya proteinuria (Prawiroharjo, 2013).
Preeklampsi adalah sindrom yang spesifik dalam kehamilan berupa
berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel,
proteinuria adalah tanda penting preeklampsi, terdapatnya proteinuria 300
mg/+1 (Cunningham, 2013).
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang
ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap
adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis
preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang
disebabkan kehamilan disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada
usia kehamilan diatas 20 minggu. Preeklampsia, sebelumya selalu
didefinisikan dengan adanya hipertensi dan proteinuri yang baru terjadi pada
kehamilan (new onset hypertension with proteinuria). Meskipun kedua
kriteria ini masih menjadi definisi klasik preeklampsia, beberapa wanita lain
menunjukkan adanya hipertensi disertai gangguan multsistem lain yang
menunjukkan adanya kondisi berat dari preeklampsia meskipun pasien
tersebut tidak mengalami proteinuri. Sedangkan, untuk edema tidak lagi
dipakai sebagai criteria diagnostic karena sangat banyak ditemukan pada
wanita dengan kehamilan normal (Baha dan Churchill dalam PNPK, 2016).

b. Klasifikasi Preeklampsia
Preeklampsi dapat membahayakan kesehatan maternal maupun neonatal
dan merupakan penyulit kehamilan yang akut. Gejala klinik preeklampsi
dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Preeklampsia ringan
a) Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg pada usia kehamilan 20 minggu
b) Tes celup urin menunjukkan proteinuria 1+ atau pemeriksaan protein
kuantitatif menunjukkan hasil >300 mg/24 jam.
2. Preeklampsia berat
a) Tekanan darah >160/110 mmHg pada usia kehamilan 20 minggu atau
lebih
b) Tes celup urin menunjukkan proteinuria ≥ 2+ atau pemeriksaan
protein kuantitatif menunjukkan hasil >5 g/24 jam
c) Atau disertai keterlibatan organ lain :
1) Trombositopenia (<100.000 sel/uL), hemolisis mikroangiopati
2) Peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran kanan atas
3) Sakit kepala, skotoma penglihatan
4) Pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion
5) Edema paru dan atau gagal jantung kongestif
6) Oliguria (<500ml/24jam), kreatinin > 1,2mg/dl
(KEMENKES RI, 2013)

c. Etiologi
Terdapat beberapa teori yang diduga sebagai etiologi dari preeklampsia,
meliputi (Cuningham, 2013):
1. Abnormalitas invasi tropoblas
Invasi tropoblas yang tidak terjadi atau kurang sempurna, maka
akan terjadi kegagalan remodeling a. spiralis. Hal ini mengakibatkan
darah menuju lakuna hemokorioendotel mengalir kurang optimal dan bila
jangka waktu lama mengakibatkan hipooksigenasi atau hipoksiaplasenta.
Hipoksia dalam jangka lama menyebabkan kerusakan endotel pada
plasenta yang menambah berat hipoksia. Produk dari kerusakan vaskuler
selanjutknya akan terlepas dan memasuki darah ibu yang memicu gejala
klinis preeclampsia (Pribadi, A, et al, 2015).
2. Maladaptasi imunologi antara maternal-plasenta (paternal)-fetal
Berawal pada awal trimester kedua pada wanita yang kemungkinan akan
terjadi preeklampsia, Th1 akan meningkat dan rasio Th1/Th2 berubah. Hal
ini disebabkan karena reaksi inflamasi yang distimulasi oleh mikropartikel
plasenta dan adiposity.
3. Maladaptasi kadiovaskular atau perubahan proses inflamasi dari proses
kehamilan normal.
4. Faktor genetik, termasuk faktor yang diturunkan secara mekanisme
epigenetik.
Dari sudut pandang herediter, preeklampsia adalah penyakit
multifaktorial dan poligenik. Predisposisi herediter untuk preeclampsia
mungkin merupakan hasil interaksi dari ratusan gen yang diwariskan
baiksecara maternal ataupun paternal yang mengontrol fungsi enzimatik
dan metabolism pada setiap sistem organ. Faktor plasma yang diturunkan
dapat menyebabkan preeclampsia. Pada ulasan komprehensifnya, Ward
dan Taylor (2014) menyatakan bahwa insidensi preeklampsia bisa terjadi
20 sampai 40 persen pada anak perempuan yang ibunya mengalami
preeklampsia; 11 sampai 37 persen saudara perempuan yang mengalami
preeklampsia dan 22 sampai 47 persen pada orang kembar.
5. Faktor nutrisi, kurangnya intake antioksidan.
John et al (2009) menunjukan pada populasi umumnya konsumsi
sayuran dan buah-buahan yang tinggi antioksidan dihubungkan dengan
turunnya tekanan darah. Penelitian yang dilakukan Zhang et al (2009)
menyatakan insidensi preeklampsia meningkat dua kali pada wanita yang
mengkonsumsi asam askorbat kurang dari 85 mg.

d. Faktor Risiko
Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum bisa diketahui secara pasti.
Namun banyak teori yang telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi
dalam kehamilan tetapi tidak ada satupun teori tersebut yang dianggap
benar-benar mutlak. Beberapa faktor resiko ibu terjadinya preeklampsi :
1. Nulipara dan multipara
Nulipara adalah seorang wanita yang belum pernah mencapai
kehamilan melewati tahap abortus. Ia mungkin pernah hamil, mungkin
juga tidak, atau mungkin pernah mengalami spontaneous abortus atau
elektif (Leveno, 2009: 41). Pada umumnya pre eklamsia diperkirakan
sebagai penyakit pada kehamilan pertama. Bila kehamilan sebelumnya
normal, maka insiden pre eklamsia akan menurun, bahkan abortus pada
kehamilan sebelumnya merupakan faktor protektif terhadap kejadian pre
eklamsia. Hal ini disebabkan pada kehamilan pertama atau nulipara,
pembentukan antibodi penghambat belum sempurna, sehingga
meningkatkan risiko terjadinya pre eklamsia (Indriani, 2012: 9).
Dari hasil penelitian pasien nulipara pada kelompok preeklamsia
adalah 53,8% dan pada nulipara non preeklamsia 48,8% sedangkan pada
pasien preeklamsia yang sudah pernah melahirkan anak 1-4 proporsinya
adalah 46,3% dan pada yang non preeklamsia adalah 48,8 % sama
dengan yang nulipara dan untuk yang sudah pernah melahirkan >4 pada
sampel pasien preeklamsia tidak ada atau 0%, sedangakan nilai odds
ratio (OR) untuk kelompok nulipara menunjukkan bahwa ibu nulipara
mempunyai resiko 1.222 lebih besar untuk mengalami pre eklamsia
daripada ibu yang sudah melahirkan sebelumnya (Indriani, 2012: 38).
Multipara dengan persalinan yang berulang-ulang dengan jarak
yang terlalu dekat ataupun terlalu jauh akan mempunyai banyak resiko
terhadap kehamilan dan persalinan karena organ reproduksi mengalami
ketidaksiapan, penurunan dan penuaan terhadap system kerja sehingga
multipara lebih beresiko untuk terkena preeklamsia berat. Berdasarkan
hasil tabulasi silang hubungan paritas dengan kejadian preeklamsia pada
ibu hamil di Puskesmas Bangetayu Kota Semarang, yang dilakukan
terhadap 69 responden diperoleh hasil sebagai berikut. responden
dengan paritas primipara sebanyak 22 responden, sebagian besar
mengalami preeklamsia sebanyak 12 (54,5%) responden, sedangkan
responden yang tidak mengalami kejadian preeklamsia 10 (45,5%)
responden. Responden dengan paritas multipara sebanyak 46 responden,
sebanyak 43 (93,5%) responden tidak mengalami kejadian preeklamsia
lebih besar dibandingkan yang mengalami kejadian preeklamsia
sebanyak 3 (6,5%) responden. Responden dengan paritas grande
multipara sebanyak 1 responden, secara keseluruhan sebanyak 100%
responden tidak mengalami kejadian preeklamsia. Dimana ada
hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Karena nilai p
value lebih kecil dari 0.05 dengan demikian Ha diterima, yang berarti
ada hubungan paritas dengan kejadian Preeklamsia pada ibu hamil di
Puskesmas Bangetayu Kota Semarang (Hidayati,2012).
2. Penyakit yang menyertai kehamilan misalnya diabetes mellitus
Preeklamsia cenderung terjadi pada wanita yang menderita
diabetes melitus karena diabetes merupakan penyakit yang dapat
menjadi faktor pencetus terjadinya preeklamsia (Manuaba, 1998).
Penyakit diabetes melitus hampir 50% yang terjadi pada wanita hamil
berkembang menjadi preeklamsi (Varney,2006). Hal ini terjadi karena
saat hamil, plasenta berperan untuk memenuhi semua kebutuhan janin.
Pertumbuhan janin dibantu oleh hormon dari plasenta, namun hormon-
hormon ini juga mencegah kerja insulin dalam tubuh ibu hamil. Hal ini
disebut dengan resistensi insulin atau kebal insulin. Resistensi insulin
membuat tubuh ibu hamil sulit untuk mengatur kadar gula darah
sehingga glukosa tidak dapat diubah menjadi energi dan menumpuk di
dalam darah keadaan ini menyebabkan kadar gula dalam darah menjadi
tinggi. Hasil analisis didapatkan OR=14,37artinya ibu dengan diabetes
melitus mempunyai peluang 14,37 kali mengalami preeklamsia
dibandingan dengan ibu yang tidak mengalami diabetes mellitus
(Kurniasari, 2015).
3. Obesitas
Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan cara termudah untuk
memperkirakan obesitas serta berkorelasi tinggi dengan massa lemak
tubuh (Lisbet, 2004). Hubungan antara berat badan ibu dan resiko
preeklampsi bersifat progresif. Obesitas lebih beresiko terkena
preeklampsi dikarenakan adanya peningkatan peredaran darah di
jantung, karena kerja jantung lebih berat untuk mengalirkan oksigen
dalam tubuh sehiggga tekanan jantung meningkat dan mengakibatkan
hipertensi. Orang yang menderita hipertensi belum tentu menderita
preeklampsi karena ditandai dengan tiga hal yaitu hipertensi, protein
urine positif, dan oedem (Sugondo, 2006).
Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) (kg/m2)

-Kurus IMT < 18,5


-Normal IMT ≥18,5 - <24.9
-Berat Badan Lebih IMT ≥25,0 - <27
-Obesitas IMT ≥27,0
(Kemenkes,2013)

4. Distensi rahim berlebihan karena hidramnion, hamil kembar


Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 68 persalinan
ibu yang mengalami preeklampsia adalah 34 orang ibu bersalin, yang
mengalami gemeli yaitu 28 (82,3%). Dimana ada hubungan antara
gemeli dengan kejadian preeklampsia di RSUD Arifin Achmad
Pekanbaru Tahun 2014. Dengan nilai Odds Ratio (OR) = 4,14 yang
artinya preeklampsia beresiko 4,14 kali lebih besar terjadi pada ibu
bersalin dengan gemeli dibandingkan dengan ibu bersalin tidak dengan
gemeli (Apriyanti,2014).

Hal ini diterangkan dengan penjelasan bahwa keregangan uterus yang


berlebihan menyebabkan iskemia plasenta. Berdasarkan teori iskemia
implantasi plasenta, bahan trofoblas akan diserap kedalam sirkulasi,
yang dapat meningkatkan sensitivitas terhadap angiotensin II, renin, dan
aldesteron, spasme pembuluh darah arteriol dan tertahannya garam dan
air (Prawirohardjo, 2007).

Preeklampsia dan eklampsia 3-4 kali lebih sering terjadi pada


kehamilan ganda. Dari 105 kasus kembar dua didapat 28,6%
preeklampsia dan satu kematian ibu preeklampsia. Dari hasil pada
kehamilan tunggal, dan sebagai faktor penyebabnya ialah distensia
uterus (Rozikhan, 2007).

5. Usia lebih dari 35 tahun


Hasil analisis antara usia ibu hamil dengan kejadian preeklamsia
diperoleh dari 43 ibu hamil dengan usia beresiko (usia 35 tahun) yang
mengalami preeklamsia berat yaitu 74,4% (32 ibu hamil) dan yang
mengalami preeklamsia ringan 25,6 % (11 ibu hamil), sedangkan dari
19 ibu hamil dengan usianya tidak beresiko yang mengalami
preeklamsia ringan sebanyak 84,2% (16 ibu hamil) dan 3 orang ibu
hamil mengalami preeklamsia berat atau 15,8%. Artinya ibu yang
memiliki usia beresiko memiliki kejadian preeklamsia lebih besar bila
dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki usia beresiko (Kurniasari,
2015).

Wanita pada usia lebih dari 35 tahun lebih mudah mengalami


berbagai masalah kesehatan salah satuya hipertensi dan preeklamsia.
(Cunningham,1995). Hal ini terjadi karena terjadinya perubahan pada
jaringan alat-alat kandungan dan jalan lahir tidak lentur lagi begitu juga
dengan pembuluh darah, juga diakibatkan karena tekanan darah yang
meningkat seiring dengan pertambahan usia, sehingga menimbulkan
oedema dan proteinuria (Ketul,2009)(Cunningham, 2012 dan Manuaba,
2010).
6. Riwayat PE pada kehamilan sebelumnya
Wanita yang pernah mengalami preeklampsi pada kehamilan
sebelumnya berisiko untuk mengalami preeklampsi pada kehamilan
selanjutnya. Dari seluruh wanita yang mengalami preeklampsi, 1,9%
wanita memiliki riwayat preeklampsi pada kehamilan sebelumnya
(Bastani, dkk, 2008)
e. Patofisiologi
Pada pre eklampsia terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan
retensi garam dan air. Pada biopsi ginjal ditemukan spasme hebat arteriola
glomerulus. Pada beberapa kasus, lumen arteriola sedemikian sempitnya
sehingga hanya dapat dilakui oleh satu sel darah merah. Jadi jika semua
arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tenanan darah akan naik
sebagai usaha untuk mengatasi tekanan perifer agar oksigenasi jaringan dapat
dicukupi. Sedangkan kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan oleh
penimbunan air yang berlebihan dalam ruangan interstitial belum diketahui
sebabnya, mungkin karena retensi air dan garam. Proteinuria dapat
disebabkan oleh spasme arteriola sehingga terjadi perubahan pada glomerulus
(Rustam, 1998).
Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan
patologis pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan
oleh vasospasme dan iskemia (Cunniangham,2003). Wanita dengan
hipertensi pada kehamilan dapat mengalami peningkatan respon terhadap
berbagai substansi endogen (seperti prostaglandin,tromboxan) yang dapat
menyebabkan vasospasme dan agregasi platelet. Penumpukan trombus dan
perdarahan dapat mempengaruhi sistem saraf pusat yang ditandai dengan
sakit kepala dan defisit syaraf lokal dan kejang. Nekrosis ginjal dapat
menyebabkan penurunan laju filtrasi glomelurus dan proteinuria. Kerusakan
hepar dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan nyeri epigastrium dan
peningkatan tes fungsi hati. Manifestasi terhadap kardiovaskuler meliputi
penurunan volume intavaskuler, meningkatnya kardiakoutput dan
peningkatan tahanan pembuluh perifer. Peningkatan hemolisis
microangiopati menyebabkan anemia dan trobositopeni. Infark plasenta dan
obstruksi plasenta menyebabkan pertumbuhan janin terhambat bahkan
kematian janin dalam rahim (Michael,2005).
Penyakit Kegagalan invasi sel Pertumbuhan sel
vaskuler: trofoblas pada arterioli trofoblas berlebihan
dalam otot uterus
Hipertensi
(trimester II)

Gangguan perfusi
retroplasenta sirkulasi

Peningkatan vasoaktif
substan : Noxious substan:
Gangguan fungsi endothel
 Prostaglandin  Cytokines
 Nitric oxyde  Endothelial aktivasi
 Lipid peroxidase
 Endothelin

Permeabiliatas kapiler meningkat Sistem koagulasi


Vasokonstriksi meningkat meningkat

 Hipertensi
 Ekstravasasi cairan edema Thrombositopenia
 Oligouria
 Hemokonsentrasi
 Konvulsi Hemolisis sel erithrosit
 Proteinuria
 Solusio placenta
 Gangguan alat vital, Gangguan pembekuan-DIC
perdarahan, nekrosis, seperti Gambar
: 1.1 Patologis terjadinya preeklamsi
liver, ginjal, CNS.
Mortalitas maternal/perinatal

 Acute vascular accident


 Perdarahan-solusio plasenta
 Ganguan alat vital

(Sinsin, 2008 dan Taber, 2003)

f. Perubahan fisiologis
1. Perubahan kardiovaskuler
Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada
preeklamsia dan eklampsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya
berkaitan dengan peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload
jantung yang secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara
patologis hipervolemia kehamilan atau yang secara iatrogenik
ditingkatkan oleh larutan onkotik / kristaloid intravena, dan aktifasi
endotel disertai ekstravasasi kedalam ekstravaskuler terutama paru
(Cunningham,2003).
2. Metabolisme air dan elektrolit
Hemokonsentrasi yang menyerupai preeklampsia dan eklampsia tidak
diketahui penyebabnya. Jumlah air dan natrium dalam tubuh lebih banyak
pada penderita preeklamsia dan eklampsia dari pada wanita hamil biasa
atau penderita dengan hipertensi kronik. Penderita preeklamsia tidak
dapat mengeluarkan dengan sempurna air dan garam yang diberikan. Hal
ini disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun, sedangkan penyerapan
kembali tubulus tidak berubah. Elektrolit, kristaloid, dan protein tidak
mununjukkan perubahan yang nyata pada preeklampsia. Konsentrasi
kalium, natrium, dan klorida dalam serum biasanya dalam batas normal
(Trijatmo,2005).
3. Mata
Dapat dijumpai adanya edema retina dan spasme pembuluh darah.
Selain itu dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan oleh edema
intraokuler dan merupakan salah satu indikasi untuk melakukan terminasi
kehamilan. Gejala lain yang menunjukkan pada preeklampsia berat yang
mengarah pada eklampsia adalah adanya skotoma, diplopia dan
ambliopia. Hal ini disebabkan oleh adaanya perubahan peredaran darah
dalam pusat penglihatan dikorteks serebri atau didalam retina
(Rustam,1998).
4. Otak
Pada penyakit yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan
anemia pada korteks serebri, pada keadaan yang berlanjut dapat
ditemukan perdarahan (Trijatmo,2005).
5. Uterus
Aliran darah ke plasenta menurun dan menyebabkan gangguan pada
plasenta, sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin dan karena
kekurangan oksigen terjadi gawat janin. Pada preeklampsia dan
eklampsia sering terjadi peningkatan tonus rahim dan kepekaan terhadap
rangsangan, sehingga terjad partus prematur.
6. Paru-paru
Kematian ibu pada preeklampsia dan eklampsia biasanya disebabkan
oleh edema paru yang menimbulkan dekompensasi kordis. Bisa juga
karena aspirasi pnemonia atau abses paru (Rustam, 1998).
g. Perubahan psikologis
Kehamilan dan persalinan bukan merupakan penyakit psikiatri.
Namun timbulnya stress psikologik dan fisik yang terkait dengan kehamilan
dan persalinan dapat mengakibatkan krisis emosional yang dapat berdampak
pada kesehatan ibu dan bayi serta mempengaruhi integrasi keluarga dan
menghambat ikatan emosional antara ibu dan bayi (Bobak, Lawdermilk,
2005). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Anisah, dkk (2010),
menyebutkan bahwa terjadi perubahan psikologis pada perempuan yang
mengalami kehamilan dengan PEB. Ibu hamil mengalami kecemasan berat
dengan penyebab cemas karena kurangnya informasi. Hal ini sejalan dengan
penelitian Supriyadi (2006) yang menyatakan bahwa pengiriman informasi
bertujuan untuk menimbulkan perubahan tingkah laku yang diingnkan.
Berbagai macam masalah dalam kehamilan termasuk salah satunya
adalah karena PEB, sehingga petugas kesehatan terutama yang bergerak di
bidang maternitas agar dapat menunjukkan sikap, sensitivitas serta
kepedulian terhadap perempuan yang mengalami kondisi PEB untuk lebih
meningkatkan pelayanan dalam memenuhi kebutuhan klien (Anisah, dkk,
2010).

h. Penegakkan Diagnosis Preeklampsia Berat


Menurut Baha dan Churchill dalam PNPK (2016), beberapa gejala
klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada preeklampsia, dan
jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan menjadi kondisi
pemberatan preeklampsia atau disebut dengan preeklampsia berat.
Kriteria gejala dan kondisi yang menunjukkan kondisi pemberatan
preeklampsia atau preklampsia berat adalah salah satu dibawah ini :
1. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110
mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama.
2. Trombositopenia : trombosit < 100.000 /mikroliter
3. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
4. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal
dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atasabdomen
5. Edema Paru
6. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
7. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan
antara kuantitas protein urin terhadap luaran preeklampsia, sehingga
kondisi protein urin masif ( lebih dari 5 g) telah dieleminasi dari
kriteria pemberatan preeklampsia (preeklampsia berat). Kriteria
terbaru tidak lagi mengkategorikan lagi preeklampsia ringan,
dikarenakan setiap preeklampsia merupakan kondisi yang berbahaya
dan dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas
secara signifikan dalam waktu singkat.

i. Penatalaksanaan
1. Medikamitosa
Salah satu upaya pengobatan medikamentosa untuk mengendalikan
preeklampsia adalah supaya tidak menjadi eklampsia yaitu dengan
pemberian Magnesium Sulfat (MgSO4). MgSO4 menghambat atau
menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan
menghambat transisi neomuskuler. Pada pemberian MgSO4 menghambat
kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif
inhibition antara ion kalsium dan ion Magnesium). Kadar kalsium yang
tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat dan
sebaliknya. Dikarenakan efek MgSO4 itu sendiri untuk merelaksasikan
otot polos pada uterus. Sehingga kala IV pada ibu yang telah terpapar
MgSO4 memiliki resiko lebih tinggi untuk terjadi perdarahan postpartum
(Wildan, 2013).
Magnesium sulfat sudah cukup lama dikenal sebagai obat utama pada
preeklampsia di Amerika Serikat, namun kini telah diterima dan
bahkan menjadi obat utama diberbagai pusat layanan sebagai obat
tokolitik. Mendemonstrsikan adanya aksi paralisis dari magnesium
sulfat. Melihat bahwa pada kondisi kadar yang berbeda memberikan
respon yang berbeda pula. Tapi keadaan yang berlawanan justru terjadi
yakni adanya efek relaksasi uterus pada keadaan tidak
adanyamagnesium maupun pada keadaan kadar magnesium yang
tinggi. Bila kadar magneriumsulfat berada dalam kadar menengah,
nampaknya terjadi kontraksi myometrium.
Menurut Kemenkes RI (2013), tatalaksana umum pada preeklamsi
antara lain :
1) Bila terjadi kejang, perhatikan jalan napas, pernapasan (oksigen)
dan sirkulasi (cairan intravena).
2) MgSO4 diberikan secara intravena kepada ibu dengan eklampsia
(sebagai tatalaksana kejang) dan preeklampsia berat (sebagai
pencegahan kejang). Syarat pemberian MgSO4 menurut kemenkes
2013
a) Tersedia Ca Gluconas 10%
b) Ada reflek patella
c) Jumlah urin minimal 30 ml/jam dalam 4 jam terakhit
d) Ferkuensi pernapasan minimal 16x/menit
3) Cara pemberian MgSO4 adalah:
a) Dosisi Awal :
4 gram MgSO4 20 % (20 cc) injeksikan selama 10 menit., atau
4 gram MgSO4 40 % (10 cc MGSO4 40% diencerkan dengan
10cc aquabidest, ringer laktat atau dektrose 5 %) injeksikan
selama 10 menit.

b) Dosis Rumatan :
Dengan syringe pump, lanjutkan pemberian MgSO4 1 gram per
jam : 6 gram MgSO4 (20 % dalam 30 cc), atau 6 gram MgSO4
(40 % dalam 15 cc diencerkan dengan 15cc aquabidest.

Jika didapatkan kejang ulangan setelah pemberian MgSO4,


tambahkan 2g iv bolus (MgSO4 20%) 100 cc ( jika tersedia MgSO4
) berikan selama 2-5 menit, dapat diulang 2 kali. jika masih kejang
kembeli beri diazepam.

4) Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam meliputi tekanan darah,


frekuensi nadi, frekuensio pernapasan, refleks patella dan jumlah
urin
5) Bila frekuensi pernapasan <16x/menit dan atau tidak didapatkan
reflek tendon patella dan atau terdapat oliguria (produksi urin <0,5
ml/kg BB/jam), segera hentikan pemberian MgSO4., jika terjadi
depresi napas berikan Ca Glukonas1 g IV (10 ml larutan 10%)
bolus dalam 10 menit.
Menurut Jurnal Preeclampsia : pathophhysiology, old and new
strategies for managemen oleh Stock (2014) pada artikel Eur J
Anaesthesiol penanganan pada preeklamsi yang biasa digunakan antara
lain:

1) Hidralizine
2) Labetalol
3) Nifedipine
4) Urapidil
5) Methildopa
6) MgSO4
2. Nutrisi
Bahan materi kuliah prinsip diet ibu hamil dengan preeklamsia oleh
Rahmawati, Ana Yuliah (2017)

1) Ciri khas diit : memperhatikan asupan garam dan protein


2) Tujuan Diet Preeklamsia :
a) Mencapai dan mempertahankan status gizi optimal
b) Mencapai dan mempertahankan tekanan darah normal
c) Mencegah atau mengurangi retensi garam atau air
d) Mencapai keseimbangan nitrogen
e) Menjaga agar penambahan berat badan tidak melebihi normal
f) Mengurangi/ mencegah timbulnya faktor resiko lain atau
penyulit baru pada saat kehamilan/ setelah melahirkan
3) Syarat Diet Preeklamsia :
a) Energi dan semua zat gizi cukup. Dalam keadaan berat, makanan
diberikan secara berangsur sesuai kemampuan pasien menerima
makanan. Penambahan energi tidak melebihi 300 kkal dari
makanan/ diet sebelum hamil
b) Garam diberikan rendah sesuai berat ringannya retensi garam/ air.
Penambahan BB diusahakan di bawah 3 kg/ bulan atau di bawah 1
kg/ minggu
c) Protein tinggi ( 1 ½ - 2 g/ kg BB)
d) Lemak sedang, sebagian lemak berupa lemak tidak jenuh tunggal
dan lemak tidak jenuh ganda
e) Vitamin cukup, vit C dan B6 diberikan sedikit lebih tinggi
f) Mineral cukup terutama Ca dan K
g) Bentuk makanan disesuaikan dengan kemampuan makan pasien
h) Cairan diberikan 2500 ml kkal. Pada keadaan oligoria, cairan
dibatasi dan disesuaikan dengan cairan yang keluar melalui urin,
muntah, keringat dan pernafasan
i) Optimalkan pemberian nutrisi sebelum konsepsi fokus pada folat,
natrium, kalsium, kalium, besi, tembaga dan zinc (Tande et al,
2013)
4) Macam Diet Preeklamsia :
a) Diet preeklamsia I
(1) Diberikan kepada pasien dengan preeklampsia berat.
Makanan diberikan dalam bentuk cair : susu, sari buah
(2) Jumlah cairan yang diberikan paling sedikit 1500 ml sehari
per oral dan kekurangannya diberikan parenteral
(3) Makanan ini kurang energi dan zat gizi karena itu diberikan
selama 1 – 2 jam
b) Diet preeklamsia II
Diberikan sebagai makanan perpindahan dari diet preeklamsia I
atau kepada pasien dengan preeklampsia yang penyakitnya tidak
terlalu berat. Makanan berbentuk saring atau lunak dan diberikan
sebagai Diet Rendah Garam I. Makanan ini cukup energi dan zat
gizi lainnya.

c) Diet preeklamsia II
Diberikan sebagai makanan perpindahan dari Diet preeklampsia II
atau kepada pasien pre eklampsia ringan. Makanan ini
mengandung protein tinggi dan garam rendah, diberikan dalam
bentuk lunak atau biasa. Makanan ini cukup zat gizi. Jumlah ini
harus disesuaikan dengan kenaikan berat badan yang lebih dari 1
kg/ bulan

Tatalaksana preeklamsi
(Crisdiono, 2004), (Rukiyah dan Yulianti, 2010) dan (Pudiastuti, 2010)

j. Komplikasi yang bisa timbul karena PEB


Komplikasi pada preeklamsi terdiri dari:
1. Komplikasi pada ibu
a. Sindrom Hemolysis Elevated Liver enzyme Low Platelet Count
(HELLP) yaitu: mengalami hemolisis (H), peningkatan enzim hati
(EL), dan jumlah trombosit rendah (low platelet, LP).
b. Eklamsia
c. Edema paru
d. Dekompensasi jantung
e. Koagulopati
f. Gagal ginjal
g. Nyeri epigastrik, gejala-gejala serebral
2. Kelainan pada janin
a. Terjadinya gawat janin
II. TINJAUAN TEORI KEBIDANAN
Menurut Helen Varney via Rukiyah (2011) proses menajemen terdiri dari 7
langkah yaitu :
a) Langkah I : Pengumpulan Data
Pada langkah ini dilakukan pengkajian dengan mengumpulkan semua data
yang diperlukan untuk mengevaluasi keadaan klien secara lengkap, yaitu:
Riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik sesuai dengan kebutuhannya,
meninjau catatan terbaru atau catatan sebelumnya. Semua informasi yang
akurat dari semua sumber yang berkaitan dengan kondisi klien dikumpukan.
b) Langkah II : Interpretasi Data Dasar
Pada langkah ini dilakukan identifikasi terhadap diagnosa atau masalah
berdasarkan interpretasi yang benar atas data-data yang telah dikumpulkan.
Data dasar yang telah dikumpulkan diinterpretasikan sehingga dapat
merumuskan diagnosa dan masalah yang spesifik.
c) Langkah III : Mengidentifikasi Diagnosa atau Masalah Potensial
Pada langkah ini dilakukan pengidentifikasian masalah atau diagnosa
potesial lain berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosa yang sudah
diindentifikasi. Langkah ini membutuhkan antisipasi, bila memungkinkan
dilakukan pencegahan, sambil mengamati klien, bidan diharapkan dapat
bersiap-siap bila diagnosa/masalah potensial terjadi. Pada langkah ini
penting untuk melakukan asuhan yang aman.
d) Langkah IV : Mengidentifikasi dan Menetapkan yang Memerlukan
Penanganan Segera
Pada langkah IV bertujuan untuk mengidentifikasi perlunya tindakan segera
oleh bidan dan/atau untuk dikonsultasikan atau ditangani bersama dengan
anggota tim kesehatan yang lain sesuai dengan kondisi klien. Langkah IV
merupakan langkah yang berkesinambungan dari proses manajemen
kebidanan jadi, manajemen kebidanan bukan hanya selama asuhan primer
periodik atau kunjungan prenatal saja, tetapi juha selama wanita tersebut
bersama bidan secara terus-menerus.
e) Langkah V : Merencanakan Asuhan yang Menyeluruh
Pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh, ditentukan oleh
langkah-langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan kelanjutan
manajemen terhadap diagnosa atau masalah yang telah diidentifikasi atau
diantisipasi. Pada langkah ini informasi atau data dasar yang tidak lengkap
dapat dilengkapi. Rencana asuhan yang menyeluruh tidak hanya meliputi
apa yang telah teridentifikasi dari kondisi klien atau dari setiap masalah yang
berkaitan tetapi juga dari kerangka pedomen antisipasi terhadap wanita
tersebut terhadap diagnosa potensial yang akan muncul.
f) Langkah VI : Melaksanakan Perencanaan
Pada langkah VI ini rencana asuhan yang telah disusun pada langkah V
dilaksanakan secara efisien dan aman. Perencanaan yang telah disusun dapat
dilakukan seluruhnya oleh bidan atau sebagian dilakukan oleh bidan dan
sebagian oleh klien atau oleh tim tenaga kesehatan lain. Jika bidan tidak
melakukan asuhan secara keseluruhan, bidan tetap memegang tanggung
jawab untuk mengarahkan pelaksanaanya sedangkan, jika bila bidan
berkolaborasi untuk menangani komplikasi dengan dokter maka, bidan
bertanggung jawab atas terlaksananya rencana asuhan bersama yang
menyeluruh.
g) Langkah VII : Evaluasi
Pada langkah VII dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang sudah
diberikan meliputi kebutuhan akan bantuan apakah benar-benar telah
terpenuhi sesuai dengan kebutuhan yang telah diidentifikasi di dalam masalah
dan diagnosa. Rencana tersebut dapat dianggap efektif apabila efektif dalam
pelaksanaanya. Proses manajemen kebidanan merupakan suatu asuhan yang
kontinum maka, perlu mengulang kembali dari awal setiap asuhan yang tidak
efektif melalui proses manajemen untuk mengidentifikasi mengapa proses
manajemen tidak efektif serta melakukan penyesuaian pada rencana asuhan
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Anisah, Ulfatul dan Anggraeni, Mekar Dwi. 2010. Pengalaman Perempuan yang
Mengalami Sectio Caesarea atas indikasi Preeklampsia Berat. Purwokerto :
Jurnal Keperawatan Soedirman, Volume 5, No.1.

Apriyanti, Fitri. 2014. Hubungan Kehamilan Gemeli dan Paritas Ibu dengan
Kejadian Preeklampsia di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 2014. Jurnal
Kebidanan STIKES Tuanku Tambusai Riau.

Bastani, P, dkk. 2008. Faktor Resiko Preeklampsia pada Perempuan Multigravida.


Jurnal Penelitian Sains Biologi. Volume 3 Nomor 1.

Bobak, I.M., Lawdermilk. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Edisi 4. Alih
Bahasa : Maria & Peter. Jakarta : EGC.

Bothamley, J., & Boyle, M. 2012. Patofisiologi dalam Kebidanan. Jakarta EGC

Cunningham G. 2013. Hipertensi dalam kehamilan dalam : Obstetri Williams Edisi


23 Vol 1. Jakarta : EGC.

Hani U, Jiarti K, Marjati R. Asuhan Kebidanan pada Kehamilan Fisiologis.


Yogyakarta: Salemba Medika; 2014

Hidayati, Novida dan Kurniawati, Titik. 2012. Hubungan Umur dan Paritas dengan
Kejadian Preeklampsia pada Ibu Hamil di Puskesmas Bangetayu Kota
Semarang.

Kemenkes. 2016. PNPK Diagnosis Dan Tata Laksana Preeklamsia. Jakarta:


Kemenkes.
Kurnia sari, devi, dan Arifandini fiki. 2015. Hubungan Usia, Paritas Dan Diabetes
Mellitus Pada Kehamilan Dengan Kejadian Preeklamsia Pada Ibu Hamil Di
Wilayah Kerja Puskesmas Rumbia Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2014.
Jurnal Kesehatan Holistik Vol 9, No 3, Juli 2015: 142-150.

Machmudah. 2015. Penerapan Model Konsep Need for Help dan Self Care pada
Asuhan Keperawatan Ibu Pre Eklampsia Berat dengan Terminasi Kehamilan.
Jurnal Keperawatan Maternitas, Volume 3, No.1.

Manuaba, Ida Ayu Chandranita. 2009. Memahami kesehatan reproduksi Wanita.


Jakarta : EGC.
Manuaba, IGB. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB untuk
Pendidikan Bidan Edisi 2. Jakarta : EGC

Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri. Obstetri Fisiologi dan Obstetri Patologi
Jilid 1. Jakarta: EGC.

Nugroho, Taufan. 2012. Patologi Kebidanan. Yogyakarta : Nuha Medika

Pantiawati, Ika. Saryono. 2010. Asuhan Kebidanan 1 Kehamilan. Yogyakarta : Nuha


Medika

Prawirohardjo S. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo

Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo

Rozikhan. 2007. Fatktor-faktor Risiko Terjadinya Preeklampsia Berat di Rumah


Sakit DR.H.Soewondo Kendal. Tesis. Universitas Diponegoro.

Rukiyah, Ai Yeyeh, Lia Yulianti, Maemunah, dan Lilik Susilawati. 2009. Asuhan
Kebidanan II Persalinan. Jakarta : TIM.
Saifuddin A. 2010. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Sulistyawati, Ari. 2011. Asuhan Kebidanan Pada Masa Kehamilan. Jakarta : Salemba
Medika

Taber, Ben-zion. 1994. Kapita Selekta Kedaruratan Obsteri dan Ginekologi. Jakarta :
EGC.

Varney H, dkk. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Ed. 4 Vol. 1. Jakarta: EGC.

Varney H, dkk. 2008. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Ed. 4 Vol. 2. Jakarta: EGC.

Wiknjosastro, Hanifa. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo

Wiknjosastro, Hanifa. Ilmu Kebidanan. Edisi 3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo

Wildan, Moh, dkk. 2013. Hubungan Pemberian MgSO4 pada Ibu dengan
Preeklampsia Berat terhadap Kontraksi Uterus di RSD Kalisat Kabupaten
Jember Tahun 2013. Jurnal Ilmu Kebidanan Volume 2 Nomor 2 Halaman 51-99
Yuliah 2017

( dapus yang baru nama dan tahun,,,, dicari judul nya ya dik. Aku lupa. Itu
mengambil di jurnal2,kalau susah mencari kamu ganti jurnalnya tidak apa. Paling
jurnal faktor resiko terjadinya preeklamsi)

Anda mungkin juga menyukai