Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH TEKNOLOGI PENGOLAHAN BUAH DAN SAYUR

PERSIAPAN SAUERKRAUT YANG DIBUMBU DENGAN


MENGGUNAKAN BAKTERI ASAM LAKTAT
DAN FERMENTASI ALAMI

Disusun oleh:

Sekar Layung Prabandari (A1F017029)


Devita Nuring Saliasih (A1F017058)
Adji Abiyyu Hanif (A1F017065)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milih Allah SWT, Tuhan sumber segala ilmu
pengetahuan yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga makalah ini
dapat diselesaikan dengan baik tepat pada waktunya. Shalawat dan salam selalu
terlimpah curahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat rahmat-Nya penulis mampu
menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Teknologi
Pengolahan Buah dan Sayur. Tidak lupa penulis sampaikan banyak terima kasih
kepada Dosen Pengampu Mata kuliah, teman-teman dan semua pihak yang telah
terlibat dalam memberikan bantuan dalam bentuk moril maupun materil dalam
proses penyusunan makalah ini, sehingga selesai tepat pada waktunya.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk memberikan kontribusi


kepada mahasiswa lain dan juga pembaca. Penulis sadar bahwa makalah ini
banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis menerima berbagai
saran maupun kritikan yang bersifat membangun.

Purwokerto, 3 Desember 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fermentasi adalah salah satu metode tertua dalam persiapan dan


pelestarian makanan. Makanan yang difermentasi membentuk komponen penting
dari diet di sebagian besar dunia karena nilai gizinya yang tinggi dan karakteristik
organoleptik. Fermentasi sayuran meningkatkan daya cerna mereka,
meningkatkan nilai gizi; memperpanjang ketersediaan musiman, penerimaan
keseluruhan selain memperpanjang umur simpannya. Sejumlah besar fermentasi
sayuran telah dipelajari secara ekstensif untuk menentukan perubahan
mikrobiologis dan biokimia yang terjadi selama fermentasi (Breidt et. al., 2007)

Studi-studi ini termasuk fermentasi kol, mentimun, wortel, kembang kol


dan beberapa campuran sayuran lainnya. Sebagian besar fermentasi ini dilakukan
oleh bakteri asam laktat (BAL) seperti Leuconostoc mesenteroides, Lactobacillus
plantarum dan Lactobacillus brevis (Swain et. al., 2014). Kubis (Brassica
oleracea var. capitata) ditanam di daerah tropis dunia dan merupakan sumber
vitamin A, B dan C yang baik, mineral dan karoten (Jahangir et. al., 2009). Di
banyak bagian dunia, kol parut mengalami fermentasi bakteri yang dikontrol
dengan garam sehingga menghasilkan kol asam yang juga dikenal sebagai
Sauerkraut (Johanningsmeier et. al., 2007). Selama fermentasi, asam diproduksi
yang bertindak sebagai pengawet selain pengembangan rasa yang diinginkan
(Breidt et. al., 2007). Sauerkraut sangat populer di Amerika dan negara-negara
Eropa. Ini sering dimakan sebagai adjuvant dengan makanan lain untuk
membuatnya lebih membangkitkan selera, pencernaan dan meningkatkan rasa
makanan lainnya. Telah dilaporkan bahwa isothiocyanate yang diproduksi selama
fermentasi Sauerkraut mencegah pertumbuhan sel kanker (Peñas et. al., 2012).

Namun di India itu tidak terlalu populer sehingga beberapa inovasi


diperlukan untuk meningkatkan rasanya yang sesuai dengan konsumen India. Di
India, kubis ditanam dan tersedia di sebagian besar wilayah negara. Namun,
ketersediaan kol hanya untuk waktu yang singkat dan karena sifatnya yang mudah
rusak, sebagian besar dari total produksi dihancurkan karena kurangnya
pemrosesan. Kubis digunakan sebagai salad mentah atau sayuran yang dimasak.
Selama memasak, vitamin C yang merupakan komponen penting dari kubis
dihancurkan jika tidak diproses dengan benar (VanGarde & Woodburn, 1994).

Jadi melalui fermentasi vitamin C dan nutrisi lainnya dapat dipertahankan


dan ketersediaan kol dapat ditingkatkan sepanjang tahun. Namun, fermentasi
alami kubis, tergantung pada mikroflora alami adalah proses yang memakan
waktu dan dapat mengakibatkan pembusukan, jika bakteri asam laktat yang
diinginkan tidak hadir dalam jumlah yang cukup. Pengembangan kultur starter
spesifik dengan bakteri yang diinginkan sangat penting untuk mencapai kualitas
Sauerkraut yang konsisten. Jadi karya ini dirancang untuk mempersiapkan
Sauerkraut dengan fermentasi alami dan dengan inokulasi kultur murni
Lactobacillus plantarum dengan dan tanpa penambahan rempah-rempah.
Penambahan rempah-rempah direncanakan untuk mempopulerkan Sauerkraut di
antara konsumen India.

B. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari ketahanan difenoconazole


dalam buah tomat dan produk-produknya. Penelitian ini juga bertujuan untuk
menyoroti pengaruh pemrosesan yang berbeda pada penghilangan residu tersebut
dari tomat yang diolah di lapangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sauerkraut

Sauerkraut merupakan produk hasil fermentasi sayur sawi yang memiliki


karakteristik warna, tekstur, dan aroma khas yang diperoleh dari proses fermentasi
dengan cara mengiris - iris sawi dan dicampur dengan larutan garam. Sama
dengan produk sayur asin lainnya, sauerkraut merupakan sayuran yang telah
diberi asam, akan tetapi asamnya diperoleh dari proses fermentasi sakarida (gula)
yang terdapat dalam bahan baku oleh bakteri asam laktat. Asam yang dihasilkan
berkisar pada rentang 1,5 ± 2,0 % pada akhir fermentasi dan di identifikasi berupa
asam laktat. Pelunakan pada sauerkraut berawal dari kerusakan flavour karena
penyebab kerusakan yaitu khamir dan kapang masuk ke dalam seluruh bagian
sauerkraut sehingga menjadi lunak. Di Jerman, sauerkraut dengan rasanya yang
asam-asam segar disajikan dengan hidangan utama berupa sosis bratwurst atau
roti. Gula yang terkandung dalam sayur sawi terdiri dari 85% glukosa dan15%
fruktosa. Komposisi zat gizi termasuk gula dalam sawi / kol bervariasi tergantung
pada varietas dan kondisi lokasi penanaman (Frazier dan Westhoff. 1988).
Kandungan gula dalam pembuatan sauerkraut, memainkan peranan yang penting
karena pengaruhnya terhadap keasaman maksimal yang dihasilkan saat
fermentasi. Perbedaan kandungan gula dengan kisaran 2,9 % - 6,4% pada
kebanyakan jenis sawi, menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan gula maka
produk yang dihasilkan juga akan mengandung kadar asam yang tinggi, jika tidak
dilakukan proses penghentian fermentasi yakni dengan cara pendinginan atau
pengalengan. sayuran yang digunakan berfungsi sebagai bahan utama yang
digunakan untuk pembuatan sauerkraut, selain itu sayuran juga mengandung zat-
zat gizi untuk pertumbuhan mikroba dan mengandung bakteri asam laktat secara
alami, sehingga dalam pembuatan sauerkraut tidak di tambahkan inokulum atau
ragi. Kadar garam yang ditambahkan dalam pembuatan sauerkraut berkisar antara
2,25 -2,5 % berat sawi untuk menghasilkan kraut dengan kualitas yang baik dan
garam harus terdistribusi secara merata. Kadar garam untuk pembuatan produk
asinan juga dapat berkisar antara 5-15%. Garam yang ditambahkan akan menarik
keluar cairan dari jaringan sayur yang mengandung gula dan nutrisi lain, yang
mengontrol mikroflora yang tumbuh. Garam juga akan merangsang pertumbuhan
bakteri asam laktat dan mencegah pertumbuhan bakteri pembusuk (Tjahjadi,
2011).

B. Kubis

Kubis adalah salah satu tanaman yang banyak dan mudah dijumpai di
Indonesia. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2012) hasil panen kubis
cukup banyak jika dibandingkan dengan hasil panena sayuran yang lain itu 20,88
ton/ hektar. Oleh sebab itu, kubis banyak dijumpai di pasar modern maupun
tradisional dengan berbagai varietas. Kubis dapat tumbuh di ketinggian 800-2000
meter dari permukaan laut. Berdasarkan hal tersebut maka, Bandungan daerah
Gedongsongo dapat digunakan untuk daerah pengambilan kubis, karena
ketinggian Bandungan yaitu 800 meter dari permukaan laut. Kubis putih
(Brasicca oleracea) merupakan tanaman jenis sayur yang memiliki daun
berbentuk bulat. Kubis banyak mengandung protein, vitamin B1, vitamin A, serta
vitamin C. Swain et al. (2014) menambahkan bahwa kandungan nutrisi pada
kubis putih terdiri atas karbohidrat 5,8%, gula 3,2%, protein 1,28%, lemak 0,1%
serta serat 2,5 gram. Oleh karena kubis mengandung banyak komponen gizi, kubis
dapat dijadikan sebagai media pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri asam
laktat dalam proses fermentasi.

C. Garam

Pada proses fermentasi kubis yang dilakukan secara spontan dengan


ditambahkan garam untuk menyeleksi mikroorganisme yang dapat tumbuh
(Wiander & Palva, 2011). Penambahan garam juga berfungsi untuk menarik
nutrisi kubis yang akan digunakan 3 oleh bakteri asam laktat untuk dapat tumbuh
(Thakur & Kabir, 2015). Penggunaan kadar garam yang terlalu tinggi pada proses
fermentasi akan menghambat proses fermentasi serta menimbulkan warna
kecoklatan pada sauerkraut, sedangkan kadar garam yang terlalu rendah akan
menyebabkan tumbuhnya bakteri proteolitik dan selulotik yang nantinya juga
akan menghambat proses fermentasi dan menimbulkan aroma yang tidak
dikehendaki. Kadar garam yang umumnya digunakan untuk proses fermentasi
sayuran adalah 2-10% (Swain et al., 2014).

D. Bakteri Asam Laktat (BAL)

Bakteri asam laktat merupakan bakteri yang umumnya berperan dalam


proses fermentasi, contohnya pada pembuatan berbagai produk seperti yoghurt,
susu asam, keju, mentega, asinan dan lain sebagainya. Jenis bakteri asam laktat
yang berperan dalam proses fermentasi kubis putih antara lain adalah
Lactobacillus mesenteroides, Lactobacillus plantarum, Lactobacillus brevis, serta
Lactobacillus rhamnosus. Bakteri asam laktat tersebut dapat menghasilkan asam
yang akan menurunkan nilai pH sehingga memberikan efek pengawetan bagi
kubis putih (Swain et al., 2014). Berdasarkan produk yang dihasilkan, bakteri
asam laktat dibedakan menjadi dua jenis yaitu homofermentatif dan
heterofermentatif. Bakteri asam laktat homofermentatif akan menghasilkan asam
laktat saja, namun untuk bakteri asam laktat heterofermentatif akan menghasilkan
asam laktat, etanol, asam asetat dan karbondioksida (Adams & Nout, 2001).

Ciri-ciri dari bakteri asam laktat yaitu bersifat Gram positif, non-spora,
non-motil, serta berbentuk batang atau bulat (Aly et al., 2006). Gram positif
ditunjukkan dengan timbulnya warna ungu pada isolat ketika dilakukan
pengamatan dengan menggunakan mikroskop. Warna ungu tersebut disebabkan
pengikatan yang kuat antara warna ungu dari kristal violet dengan lapisan dinding
sel bakteri sehingga, warna ungu akan sulit dihilangkan dengan menggunakan
alkohol ( Safrida et al., 2012). Motilitas positif (tumbuh menyebar) dikarenakan
bakteri yang diuji memiliki flagela sehingga dapat tumbuh menyebar ( Safrida et
al., 2012). Ciri lain dari bakteri asam laktat adalah katalase negatif, dimana
bakteri asam laktat tidak menghasilkan gelembung. Selain itu, bakteri yang dapat
memiliki spora akan 4 menghasilkan warna hijau pada isolat setelah dilakukan uji
pewarnaan spora (Rahayu, 2001). Selain itu, bakteri asam laktat juga mampu
tumbuh pada kodisi pH 4,4 sampai dengan 9,6 dengan kisaran suhu 10℃-
45℃(Rahayu & Margino, 1997). Ciri lain dari bakteri asam laktat adalah
membentuk zona hambat pada media MRSA yang telah ditambahkan dengan
CaCO3 (Astuti, 2016). Karakteristik tumbuh tersebut digunakan untuk menguji
genus pada bakteri asam laktat yang telah berhasil isolasi. Beberapa faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan bakteri asam laktat, seperti:

1. Suhu penyimpanan : suhu optimal untuk pertumbuhan bakteri asam laktat


adalah 37℃ .Namun beberapa jenis bakteri asam laktat dapat tumbuh pada suhu
5℃, dan beberapa lainnya dapat tumbuh pada suhu 45℃.

2. pH : pertumbuhan bakteri asam laktat terjadi pada kisaran pH 3 sampai dengan


10,5. Namun, faktor pH ini juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor
pertumbuhan yang lainnya.

3. Substrat yang akan difermentasikan : jenis subtrat yang berbeda akan


menghasilkan bakteri asam laktat yang dapat tumbuh pada substrat tersebut.
Sehingga dapat dikatakan perbedaan substrat akan menumbuhkan bakteri asam
laktat dengan jenis yang berbeda pula (Rahayu & Margino, 1997).

4. Aktivitas air

5. Perlakuan panas
E. Faktor- Faktor pada Pengolahan Sauerkraut

Faktor-faktor yang utama dalam fermentasi sayuran adalah konsentrasi


garam yang cukup, distribusi garam yang merata, terciptanya keadaan
mikroaerofilik, suhu yang sesuai, dan tersedianya bakteri asam laktat. Selanjutnya
disebutkan bahwa kebersihan bahan baku juga merupakan salah satu faktor yang
harus diperhatikan dalam fermentasi sayuran. Mikroorganisme membutuhkan
nutrien untuk kehidupan dan pertumbuhannya yang terdiri dari sumber karbon,
sumber nitrogen, sumber energi dan faktor pertumbuhan yaitu vitamin dan
mineral. Nutrien tersebut dibutuhkan untuk menghasilkan energi kimia dan untuk
menyusun komponen-komponen sel (Buckle, et.all. 1987). Menurut Marta (2011),
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengolahan sauerkraut adalah:

1. Garam Garam menarik air dan zat-zat gizi dari jaringan sayuran.

Zat-zat gizi tersebut melengkapi substrat untuk pertumbuhan bakteri asam


laktat. Garam bersama dengan asam yang dihasilkan oleh fermentasi menghambat
pertumbuhan dari organisme yang tidak diinginkan dan menunda pelunakan
jaringan sawi yang disebabkan oleh kerja enzim oleh bakteri pektinolitik. Selain
itu, garam juga memberikan cita rasa pada produk. Garam, dapat membantu
memecahkan karbohidrat dan asam-asam amino secara anaerobik oleh
mikroorganisme dalam proses fermentasi. Garam dan asam laktat inilah yang
akan menghambat pertumbuhan organisme lain yang tidak diinginkan selama
proses berlangsung. Selain itu juga dapat menghambat kerja enzim dalam hal
pelunakan jaringan sawi. Jumlah garam yang ditambahkan harus memiliki
perbandingan yang tepat yaitu berkisar antara 2,25-2,5% berat sawi untuk
menghasilkan suerkraut yang berkualitas baik karena jika terlalu tinggi akan
menunda fermentasi ilmiah sehingga menyebabkan warna menjadi gelap.

2. Suhu Pengaturan suhu yang sesuai untuk fermentasi agar fermentasi


berlangsung dengan baik, suhu ruang harus berkisar 300 C.

Bila suhunya rendah maka pertumbuhan bakteri asam laktat berlangsung


lambat, sehingga tidak cukup banyak asam dihasilkan sehingga produk menjadi
busuk. Suhu selama proses fermentasi sangat menentukan jenis mikroorganisme
dominan yangakan tumbuh.

3. Oksigen Ketersediaaan oksigen harus diatur selama proses fermentasi. Hal ini
berhubungan dengan sifat mikroorganisme yang digunakan.

Contoh khamir dalam pembuatan anggur dan roti biasanya membutuhkan


oksigen selama proses fermentasi berlangsung, sedangkan untuk bakteri-bakteri
penghasil asam tidak membutuhkan oksigen selama proses fermentasi
berlangsung.
BAB III
METODE

A. Bahan

1. Kubis
Kubis putih segar (Brassica olearaceae var. Capitata) dibeli dari pasar
lokal dan dicuci bersih sebelum diproses lebih lanjut.
2. Komponen Media Bahan Kimia dan Mikrobiologis
Semua komponen bahan kimia dan media memiliki standar AR atau GR
grade dan diproduksi oleh Glaxo Laboratories (India) Limited, Mumbai, E. Merck
Limited, Worli, Mumbai dan Hi-Media Laboratories, Pvt. Ltd., Mumbai.
3. Rempah-rempah
Garam masala yang disiapkan oleh MDH, New Delhi dan garam biasa
yang disiapkan oleh Tata diperoleh dari pasar.
4. Strain Bakteri
Strain Lactobacillus plantarum 201 LRR yang digunakan sebagai starter
culture diperoleh dari Culture Collection Center, NDRI, Karnal.

B. Metode

1. Persiapan Kubis untuk Fermentasi

Kubis dicuci dengan air dan daun hijau bagian atas yang rusak
dihilangkan. Kepala kol dipangkas dan diiris menjadi 1-2 mm. Kubis parut
dicampur dengan 2,25% (b / b) food-grade salt (NaCl) dan disimpan dalam empat
botol kaca steril 1L berbeda dalam rangkap tiga (Gbr.1). Perlakuan yang diberikan
pada kol dicacah ditunjukkan pada Tabel 1.
2. Persiapan Inokula Bakteri untuk Fermentasi Terkendali

Lactobacillus plantarum strain 201 LRR disubkultur dua kali pada 30ºC
dalam kaldu MRS. Kultur ditanam dalam kaldu MRS selama 48 jam sebelum
inokulasi, kultur disentrifugasi pada 10.000 g dan pelet yang diperoleh dicuci dua
kali dengan normal steril, salin (0,85% b / v NaCl). Akhirnya, pelet diresuspensi
dalam 200 ml salin normal segar steril untuk digunakan atau inokulum.

3. Proses Fermentasi

Fermentasi dilakukan pada bulan Desember-Januari ketika suhu kamar


sekitar 20ºC selama 15 hari sampai pH mencapai sekitar 4 dan keasaman total
maksimum tercapai. Ketika keasaman total menjadi konstan, maka botol disimpan
di lemari es untuk disimpan (6 hingga 8 ºC).

4. Pencacahan Mikroorganisme

Sampel air garam ditarik dalam rangkap tiga dari masing-masing botol
menggunakan satu ml pipet kaca steril. Sampel diencerkan dengan teknik
pengenceran serial dan 0,1 ml alikuot pengenceran yang tepat disebarkan pada
dua jenis media dalam rangkap tiga. Pelat yang mengandung media RS diinkubasi
pada suhu 37ºC sedangkan piring yang mengandung media agar nutrisi diinkubasi
pada suhu 30ºC dalam inkubator selama 48 jam atau sampai munculnya koloni
yang terlihat.
5. Analisis Kimia terhadap Air Garam

Lima gram sampel diambil dan dihancurkan dalam mortar alu,


ditambahkan 10 ml air. Produk yang dihancurkan disaring melalui Whatman filter
no. 20. Filtrat kemudian diambil untuk analisis gula total, gula pereduksi, asam
total, asam volatil dan kandungan vitamin C. Gula total diperkirakan secara
colourimetrically dengan metode asam fenol sulfat seperti yang dijelaskan
menurut Dubois et. al. (1956). Pengurangan gula diperkirakan dengan metode
DNSA (Miller, 1959). PH ditentukan menggunakan pH meter (PHS-25, Shanghai
Precision Scientific Instruments Company, China).

6. Total Asam

Total asam ditentukan dengan titrasi 5,0 ml sampel dengan 0,1 N NaOH
hingga pH 8,3 seperti yang diperiksa dengan menggunakan pH meter. Total asam
sebagai persentase asam laktat dihitung menggunakan rumus:
1 ml 0,1 N NaOH = 9 mg asam laktat
7. Asam Volatil

Untuk 5 ml sampel dalam labu alas bulat, 20,0 ml air suling ditambahkan.
Sampel yang diencerkan didistilasi dan 10 ml distilat dikumpulkan. Distilat yang
dikumpulkan kemudian dititrasi terhadap larutan NaOH 0,02 N standar
menggunakan fenolftalein sebagai indikator. Asam volatil sebagai persen asam
asetat dihitung menggunakan rumus (Chopra & Kanwar, 1976):

1 ml 0,02 NaOH = 7 mg asam asetat


8. Asam askorbat / Vitamin C
Satu g sampel dimaserasi dalam mortar alu dengan 5 ml asam metafosfat 3
persen. Itu disaring melalui kertas saring Whatman 20 dan volume dibuat menjadi
10 ml dengan 3 persen asam metafosfat. Lima ml alikuot dititrasi terhadap
pewarna 2,6-diklorofenol-indofenol hingga warna merah muda muncul (AOAC,
1990).
Asam askorbat (mg / 100g) = Nilai titer × Faktor pewarna × Volume
dibuat hingga / Volume filtrat yang diambil × Berat atau Volume sampel diambil
× 100, Sedangkan Faktor pewarna = 0,5 / Nilai titre

9. Tes Biokimia

Isolat bakteri ditandai dengan metode yang dijelaskan dalam Manual of


Microbiological Methods (Conn dan Pelczar, 1957), Manual Laboratorium
Mikrobiologis (Cappuccin dan Sherman, 1983) dan metode Mikrobiologis
(Collins dan Lyne, 1976). Tes biokimia yang digunakan adalah produksi Indole,
reaksi metil merah, uji Voges-Proskauer, uji Catalase, pencairan Gelatin, reduksi
Nitrat, Pemanfaatan sitrat, Fermentasi gula (produksi asam dan gas), uji oksidase,
hidrolisis Esculin, Pertumbuhan pada nutrient agar dengan 7,5 % NaCl.

10. Identifikasi Molekuler

DNA diekstraksi dari isolat terpilih dengan menggunakan ZR Fungi /


Bacterial DNA kit (Zymo Research, California, USA). DNA yang diekstraksi
digunakan sebagai template untuk amplifikasi PCR dari gen 16S rRNA
menggunakan universal gen 16S rRNA primer pA (5'-
AGAGTTTGATCCTGGCTCAG-3') dan pH (5'
AAGGAGGTGATCCAGCCGCA -3') untuk mendapatkan produk sekitar 1500
bp [11]. Program PCR yang digunakan adalah sebagai berikut: inkubasi awal pada
94 º C selama 5 menit diikuti oleh 35 siklus (94 º C selama 50 detik, 55 º C selama
1 menit dan 72 º C selama 90an) dan ekstensi akhir pada 72 º C selama 10 menit
menggunakan pengendara sepeda termal (BioRad). Gen 16S rRNA disekuensing
oleh Xcelris Labs (Ahmedabad, India) menggunakan metode sekuensing di-deoxy
nucleotide Sanger. Pencarian kesamaan untuk urutan dilakukan dengan
menggunakan program BLAST dari Pusat Nasional Informasi Bioteknologi
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov). Pohon filogenetik digambar dengan Mega 5.0
(Chin et. al., 2006). Untuk mengevaluasi secara statistik kepercayaan
percabangan, bootstrap dilakukan dengan data yang di-resampling 1.000 kali.

11. Penentuan Coliform


Untuk memastikan keamanan bakteri coliform produk akhir ditentukan
oleh MPN. Media selektif yang digunakan adalah media MacConkey yang
mengandung penghambatan garam empedu untuk pertumbuhan bakteri fermentasi
laktosa non-usus. Metode statistik digunakan untuk memperkirakan jumlah
coliform yang paling mungkin.

12. Pencacahan Bakteri Coliform

Sampel air garam ditarik dalam rangkap tiga dari setiap botol
menggunakan 1 ml pipet kaca steril. Coliform ditentukan dengan metode nomor
yang paling memungkinkan (MPN) setelah diinokulasi tabung kaldu MacConkey
(menggunakan 10,1 dan 0,1 ml air garam sebagai inokulum dalam rangkap tiga).
Sampel-sampel ini diperiksa lebih lanjut untuk mengkonfirmasi tes dengan teknik
pengenceran serial dan 0,1 ml alikuot pengenceran yang tepat disebarkan pada
media EMB dalam rangkap tiga. Pelat diinkubasi pada 37 ºC dalam desikator
selama 48 jam.

13. Evaluasi Sensorik

Produk akhir Sauerkraut dievaluasi oleh panel dari sepuluh juri


menggunakan skala Hedonic. Berbagai parameter diberi skor bervariasi dari 1
hingga 9. Penerimaan produk ditentukan oleh satu analisis statistik faktorial.

14. Nomor Aksesi Urutan Nukleotida


Urutan yang dihasilkan dalam penelitian ini disimpan di NCBI GenBank.
Urutan gen 16S rRNA yang diambil dari kultur yang diisolasi dari Sauerkrat
diberi nomor tambahan KP862662, KP862661, KP862660, KP872765 dan
KP862657.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Fermentasi Sauerkraut

Fermentasi dilakukan selama 15 hari sampai keasaman maksimum


tercapai. Selama fermentasi, ditemukan bahwa air garam dilepaskan dari kubis
setelah penambahan Natrium klorida dan bahan lainnya. Secara umum, kubis
diamati segar tanpa perubahan warna alami kecuali rempah-rempah dan tetap
renyah selama fermentasi dan penyimpanan hingga 90 hari (Gbr.1).

Gambar 1: Sauerkraut disiapkan oleh empat perlakuan berbeda


2. Perubahan Biokimia Selama Fermentasi Sauerkraut

Selama fermentasi dan penyimpanan, air garam yang dikeluarkan


dianalisis untuk total gula, mengurangi gula, keasaman total, keasaman volatil, pH
dan asam askorbat.

3. Total Gula

Gula terlarut dilepaskan perlahan ke dalam larutan air garam dan


meningkat dari 1,8% menjadi 3,8% setelah 6 hari fermentasi. Jumlah total gula
menurun menjadi 1,1% setelah 15 hari fermentasi dan kemudian tetap konstan
dalam Sauerkraut disiapkan dengan penambahan hanya Sodium klorida (Gbr. 2).
Hampir serupa jenis pola diikuti dalam perawatan lain di mana rempah-rempah
dan / atau L. plantarum ditambahkan (Gbr.2). Kandungan gula ditemukan lebih
tinggi dalam perawatan di mana Lactobacillus Plantarum diinokulasi untuk
misalnya gula total adalah 4,2 dan 4,1 persen dalam pengobatan no. II dan IV
setelah 6 hari fermentasi (Gbr. 2) dibandingkan dengan 3,8 dan 3,6 dalam
pengobatan nomor I dan II. Kandungan gula akhir setelah 90 hari fermentasi dan
penyimpanan ditemukan dalam kisaran 0,8 hingga 0,95 persen dalam berbagai
perlakuan.
4. Pengurangan Gula

Pengurangan gula Sauerkraut disiapkan oleh berbeda perawatan


ditentukan pada interval waktu yang berbeda. Di interval yang berbeda setelah
dimulainya fermentasi dan selama penyimpanan, dalam semua empat perawatan
mengurangi gula meningkat dari 0,3 persen menjadi dalam kisaran 1,9-2,1 persen
setelah 6 hari dimulainya fermentasi (Gbr. 1). Pengurangan gula menurun
setelahnya dan ditemukan dalam kisaran 0,18 hingga 0,23 persen setelah 90 hari
penyimpanan. Tidak ada perbedaan penurunan pola pengurangan gula ditemukan
di perawatan yang berbeda (Gbr. 2).
Gambar 2: Perubahan total gula dan mengurangi gula dalam keempat
perlakuan selama fermentasi Sauerkraut

5. Total Keasaman

Jumlah total asam hadir dalam air garam yang ditarik selama fermentasi
dan penyimpanan Sauerkraut dianalisis. Dalam sauerkraut dibuat dengan
penambahan Sodium klorida saja, total asam awal ditemukan 0,45% yang
meningkat hingga 2% pada hari ke-15 dan 2,18% setelah 90 hari fermentasi dan
penyimpanan (Gbr. 3). Peningkatan asam lebih cepat saat fermentasi dilakukan
dengan inokulasi Lactobacillus plantarum.g total asam adalah 1% setelah 2 hari-
hari dimulainya fermentasi ketika Lactobacillus plantarum diinokulasi, sedangkan
0,6% pada Sauerkraut disiapkan tanpa inokulasi L. plantarum (Gbr.3). Namun,
setelah 15 hari fermentasi ada tidak banyak perbedaan dalam keasaman total.
Gambar 3: Perubahan keasaman total, keasaman volatil dan pH di keempat
perlakuan selama fermentasi Sauerkraut

6. Asam Volatile

Asam volatil diukur dalam persen asam asetat, meningkat dari 0,2%
menjadi 1,02-1,50% dalam 15 hari. Itu peningkatan asam volatil ditemukan lebih
banyak di hadapan L. plantarum dalam pengobatan no. II dan IV (Gbr.3).
Sauerkraut disiapkan dengan penambahan garam saja, mudah menguap asam
ditemukan 1,25% setelah 15 hari fermentasi sedangkan asam volatil meningkat
menjadi 1,5% dalam Sauerkraut disiapkan dengan inokulasi Lactobacillus
plantarum. Itu konsentrasi asam volatil ditemukan berada dalam kisaran dari 1,0
persen hingga 1,32 persen pada perawatan lain (Gbr. 3). Asam volatil menurun
selama penyimpanan dan final konten berkisar antara 0,65 hingga 0,78 persen di
keempatnya perawatan (Gbr. 3).

7. Pengaruh Fermentasi pada pH

PH Sauerkraut yang hampir netral (6,9) pada awal fermentasi menurun


perlahan menjadi kira-kira 4 setelah 15 hari fermentasi dan kemudian menjadi
konstan dalam keempat perawatan (Gbr. 3). PH dari Sauerkraut ditemukan
menjadi 4,1, 3,9, 4,0 dan 3,8 di pengobatan no. I, II, III danIV masing-masing
(Gbr.3).

8. Pengaruh Fermentasi terhadap Kandungan Vitamin C dari Kol Parut

Vitamin C adalah salah satu nutrisi terpenting kubis yang perlu


dilestarikan. Vitamin C awal isi kol parut adalah 27,5 mg / 100mg kubis. Vitamin
C dari kol menurun dari 27,5mg / 100g hingga 17,5mg / 100g saat kol
difermentasi dan disimpan selama 90 hari dengan penambahan Sodium hanya
klorida (Gbr.4). Penurunan kandungan vitamin C juga diamati pada tiga
perawatan lainnya (Gbr.4). Itu penurunan ditemukan signifikan secara statistik.
Meskipun ada penurunan di keempat perawatan, jumlah vitamin C ditemukan
sedikit lebih tinggi di Sauerkraut disiapkan dengan penambahan rempah dan
inokulasi dari Lactobacillus plantarum. Perbedaan vitamin C isi dalam perawatan
no. II, III dan IV secara statistik signifikan dalam perbandingan dengan
pengobatan nomor 1.

Gambar 4: Pengaruh fermentasi pada kandungan Vitamin C di Indonesia


perawatan yang berbeda
9. Pencacahan Mikroorganisme selama Fermentasi
Jumlah berbagai mikroorganisme yang ada hadir pada awal proses
fermentasi atau dikembangkan selama fermentasi ditentukan oleh menyebarkan
pengenceran air garam yang tepat pada dua jenis media yaitu de Man Rogosa
Sharpe (MRS) dan nutrisi media agar. Jumlah koloni yang muncul di dua jenis
media setelah 48 jam inkubasi dihitung dari piring yang berisi 100-300 koloni.
Jumlah bakteri pada media agar nutrisi pada awal fermentasi ditemukan (1.2-1.5)
× 104 (Tabel tidak diberikan) di Sauerkraut disiapkan tanpa inokulasi L.
Plantarum. Setelah itu jumlah bakteri menurun pada awalnya menjadi (2,0-2.6) ×
103per ml pada hari ke-6. Setelah itu meningkat menjadi (1,2–2.1) × 106 setelah
60 hari dan kemudian tetap konstan hingga 90 hari. Padahal, di dalam Sauerkraut
disiapkan dengan inokulasi Lactobacillusplantarum, jumlah bakteri pada awalnya
fermentasi adalah 1,2 × 105 yang meningkat menjadi 2,3 × 106 dan kemudian
tetap konstan hingga 90 hari. Jumlah mikroorganisme pada media MRS pada awal
fermentasi ditemukan 2,0 × 104 di Sauerkraut disiapkan tanpa inokulasi
Lactobacillus plantarum yang meningkat secara eksponensial ke (1.8-2.8) × 107
pada hari ke 15 dan tetap konstan setelahnya. Di Sauerkraut disiapkan dengan
inokulasi Lactobacillus plantarum, jumlah bakteri pada awal fermentasi adalah
(2.3-2.5) × 106 dan kemudian tetap konstan hingga 90 hari.

10. Morfologis, Budaya dan Biokimia Karakteristik

Setelah menghitung, mikroorganisme diisolasi dari piring berdasarkan


morfologi dan warna koloni koloni pada kedua jenis media. Secara morfologis
karakteristik lima jenis utama koloni diamati selama berbagai tahap fermentasi
adalah 1. Berkerut, putih dan besar (HAU-6) 2. Melingkar, putih dan kecil (HAU-
4) 3. Kemerahan, Sirkular dan kecil (HAU-3) 4.Edaran, terangkat, putih dan kecil
(HAU-7) 5. Edaran, terangkat putih dan besar (HAU-6) (Tabel 2). Itu karakteristik
morfologis, budaya dan biokimia diamati dijelaskan dalam Tabel no 2. Dari
karakteristik morfologis, budaya dan biokimia, itu disimpulkan bahwa kelompok
bakteri yang berbeda termasuk Bacillussp, Pseudomonas sp., Micrococcus sp.,
Leuconostoc sp. dan Lactobacillus sp. Tabel no 2.A parsial Urutan gen 16S rRNA
dari semua isolat bakteri adalah diajukan di Genebank. Analisis filogenetik
mengungkapkan bahwa tetangga filogenetik terdekat HAU-5, HAU-4, HAU-3,
HAU-7 dan HAU-6 adalah Bacillus subtilis, Pseudomonas sp., Micrococcus
flavus, Leuconostocmesenteroides dan Lactobacillus plantarum (Gbr.5).

Gambar 5: Pohon filogenetik dari bakteri yang dapat dikultur berdasarkan urutan
gen 16S rRNA yang diisolasi selama Sauerkraut
Fermentasi

11. Penentuan Coliforms

Tidak ada pembentukan asam dan gas yang diamati di tabung kaldu
MacConkey (menggunakan 10, 1 dan 0,1 ml air garam sebagai inokulum dalam
rangkap tiga), menunjukkan tidak adanya coliforms. Demikian pula, tes
konfirmasi pada agar EMB piring memberi hasil negatif. Tidak ada koloni yang
memiliki hijau kemilau logam diamati pada pelat agar EMB.

12. Evaluasi Sensorik

Evaluasi sensorik dari Sauerkraut disiapkan oleh perlakuan berbeda


dilakukan oleh majelis hakim dengan menggunakan 9- titik skala Hedonic.
Perbedaan yang signifikan adalah diamati dalam penampilan dan warna
Sauerkraut disiapkan di hadapan dan tidak adanya rempah-rempah dan mustard
bubuk. Untuk rasa, perlakuan nomor II dan IV adalah diberikan skor 7,3 dan 6,9,
masing-masing, sedangkan perawatan tidak ada I dan IV diberikan 4.8 dan 4.2.
Perawatan no. III dan IV diberikan 7,3 dan 6,9 sedangkan, pengobatan no I dan II
dianugerahi 6.3 dan 5.8 untuk asam. Untuk bau, perlakuan nomor III dan IV
diberikan 7,3 dan 6,4, sedangkan I dan II dianugerahi 5.4 dan 4.9. Tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam kepedasan ditemukan di antara empat
perawatan. Sauerkraut disiapkan tanpa bumbu tambahan dan bubuk mustard lebih
renyah dari yang lain perawatan dan perawatan nomor I dan II diberikan 7.2 dan
6.8, sedangkan, pengobatan nomor III dan IV adalah diberikan 4.0 dan 4.1.
Penerimaan keseluruhan lebih tinggi dalam Sauerkraut disiapkan dengan
penambahan bumbu dan bubuk mustard dan poin yang diberikan adalah 7.2 dan
6.8, sedangkan, inokulasi Lactobacillus plantarum dibuat no perbedaan signifikan
(Tabel no. 3).

Tabel 3: Evaluasi sensoris Sauerkraut menggunakan sepuluh poin skala hedonis


B. Pembahasan

Fermentasi sayuran adalah salah satu yang penting metode pengawetan


makanan dan retensi nutrisi kualitas sayuran selama akhir musim. Kubis yang
difermentasi sangat populer di negara-negara Eropa. Tapi untuk membuatnya
lebih diterima di kalangan orang India, rempah - rempah dan bubuk mustard
ditambahkan untuk membawa rasa dan rasa ke dalam produk fermentasi. Tren
perubahan biokimia di Indonesia ketentuan total gula, gula pereduksi, total asam,
mudah menguap kandungan asam, pH dan vitamin C hampir masuk perjanjian
dengan beberapa literatur yang diterbitkan. Kubis biasanya mengandung 4 hingga
5% gula, terdiri dari sekitar 2,5% glukosa dan 2% fruktosa. Selama gula
fermentasi hadir dalam difusi kubis dalam air garam dan konsentrasi gula
meningkat dalam air garam. Hal yang sama tren perubahan gula diamati saat ini
penyelidikan. Total gula awal ditemukan rendah, tetapi saat fermentasi
berlangsung, gula larut dari kubis dilepaskan dalam air garam dan gula total
meningkat dari 1,8% menjadi 3,9-4% di keempat perawatan setelah 6 hari
fermentasi. Ketika gula total terdegradasi, jumlahnya mengurangi gula meningkat
dari 0,3% menjadi 2% setelah 6 hari fermentasi. Pengurangan gula dimetabolisme
oleh mikroorganisme menjadi asam organik dan dengan demikian keduanya
berkurang gula serta total gula menurun menjadi 0,8% dan 1,1%, masing-masing.
Selama penyimpanan asinan kubis dalam kulkas kedua jenis gula tetap konstan
hingga 90 hari. Ini mungkin karena sifat statis pertumbuhan mikroba pada suhu
rendah. Peningkatan keasaman total disertai dengan penurunan pH. Pola dari
perubahan diamati dalam hal keasaman total dan pH biasanya serupa ditemukan
di sebagian besar sayuran fermentasi. Keasaman total dicapai selama kembang kol
fermentasi adalah 0,39% dengan pH 4,1. Demikian juga di fermentasi seluruh
wortel keasaman 1,1 hingga 1,3% dengan pH 3,3 telah dilaporkan oleh Niketic-
Aleksic et al bahwa penambahan bumbu dan L. plantarum dibuat tidak ada
perbedaan pola jumlah gula total dan mengurangi gula yang dikeluarkan dan
jumlah total dan volatile asam yang diproduksi. Vitamin C, salah satu yang
penting nutrisi kubis umumnya hilang selama memasak dan penyimpanan.
Namun, vitamin C bisa berupa sayuran diawetkan dengan fermentasi
mikrobiologis. Dalam investigasi saat ini, penurunan kadar vitamin C adalah
signifikan tetapi masih 60% vitamin C dipertahankan selama fermentasi dan
penyimpanan Sauerkraut. Itu juga mengamati bahwa kandungan Vitamin C lebih
tinggi dalam Sauerkraut disiapkan dengan inokulasi Lactobacillus plantarum.
Temuan ini perlu penyelidikan lebih lanjut bahwa apakah Lactobacillus memiliki
beberapa peran dalam pengawetan vitamin C. Telah dilaporkan bahwa karbon
dioksida diproduksi selama fermentasi membuat lingkungan menjadi anaerob dan
karenanya membantu dalam stabilisasi asam askorbat dan warna alami sayuran.
Morfologis, budaya, studi fisiologis dan molekuler dari bakteri yang diisolasi
selama fermentasi kol mengungkapkan bahwa Bacillus, Pseudomonas dan
Micrococcus merupakan yang alami permukaan mikroflora kubis. Sudah
dilaporkan itu sebelum fermentasi, buah-buahan dan sayuran segar dipelihara
berbagai mikroorganisme, termasuk aerob mikroorganisme yang bertanggung
jawab atas kerusakan seperti Pseudomonas, Micrococcus, Bacillus, Erwinia dan
Enterobacter serta ragi dan jamur fermentasi melanjutkan LAB menjadi dominan
pada keduanya fermentasi alami dan terkontrol. Untuk sayuran hasil fermentasi
dalam produksi asam organik oleh Bakteri asam laktat (BAL) dan berbagai
mikroba senyawa. Karena LAB lebih tahan terhadap asam dari mikrobiota
pembusuk, mereka mendominasi fermentasi sayuran asin. Leuconostoc sp, adalah
penting dalam inisiasi fermentasi Sayuran. L. mesenteroides tumbuh lebih cepat
daripada kebanyakan lainnya LAB pada kisaran suhu (5 hingga 35ºC) dan
konsentrasi NaCl pada air asin (0 hingga 5%). L.mesenteroides membawa keluar
fermentasi heterolactic gula nabati, biasanya fruktosa dan glukosa dan
menghasilkan karbon dioksida dan asam (laktat dan asetat). Produksi dari asam
dengan cepat menurunkan pH dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme
dan aktivitas enzim yang tidak diinginkan. Karbon dioksida yang dihasilkan
menciptakan anaerob kondisi yang membuat lingkungan tidak cocok untuk
pertumbuhan aerobik seperti Bacillus, Pseudomonas dan Micrococcus. Keasaman
tinggi dihasilkan oleh L.mesenteroides dan LAB heterofermentatif lainnya
menghambat pertumbuhan mikroba heterofermentatif ini di mendukung LAB
homofermentatif lebih toleran asam. Itu Lactobacillus plantarum, LAB
homofermentatif akhirnya mendominasi fermentasi. Telah dilaporkan bahwa L.
plantarum hanya menghasilkan asam laktat dari yang tersisa gula difermentasi.
Sependapat dengan saat ini investigasi, telah dilaporkan bahwa L.plantarum
akhirnya mengalahkan LAB lain di sebagian besar fermentasi sayuran karena
toleransi asam yang tinggi. Suksesi mikroba ini terkenal dan membentuk dasar
fermentasi dan pengawetan sayuran. Pederson dan Albury telah melaporkan
Sauerkraut itu fermentasi diprakarsai oleh Leuconostocmesentroides diikuti oleh
Lactobacillus brevis, Pediococcuscerevisae dan L. plantarum. Demikian pula,
Stamer et al melaporkan itu Leuconostoc mesentroides menggambarkan periode
jeda yang lebih pendek dan waktu generasi cepat ketika tumbuh dalam jus kol
sebagai dibandingkan dengan mikroorganisme lainnya. Coliforms seperti
Escherisichia coli yang membentuk mikroflora alami air irigasi umumnya ada di
permukaan sebagian besar sayuran. Karena adanya coliforms ditentukan hanya
setelah fermentasi selesai, coliform tidak ada di Sauerkraut dan Sauerkraut yang
disiapkan dengan fermentasi aman untuk manusia konsumsi. Penambahan
rempah-rempah meningkatkan keseluruhan penerimaan produk. Sauerkraut
disiapkan oleh perawatan yang berbeda renyah dan menyenangkan aroma dan
rasa.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Data yang dihasilkan dari penelitian tersebut diantaranya yaitu fermentasi


sauerkraut, perubahan biokimia selama fermentasi sauerkraut, total gula,
pengurangan gula, total keasaman, asam volatile, pengaruh asam pada pH,
pengaruh fermentasi terhadap kandungan vitamin c dari kol parut, pencacahan
mikroorganisme selama fermentasi, analisis morfologis, budaya dan karakteristik
biokimia, penentuan coliform, evaluasi sensorik. Dari beberapa treatment yang
dilakukan tidak ada perbedaann yang signifikan pada data yang diamati.
DAFTAR PUSTAKA

Adams, M.R and M.J.R. Nout. 2001. Fermentation an Food Safety. Aspen
Publication. Maryland.
Aly, S., Q. Cheik A.T., B. Imael H.N., and T.S. Alfred. 2006. Bacteriocins and
Lactic Acid Bacteria - a mini review. African Journal of Biotechnology.
Vol 5(9) :678- 683.
Cheigh, H.S., Park, K.Y., Lee, C., Biochemical, microbiological, and nutritional
aspects of kimchi (Korean fermented vegetable products. Critical Reviews
in Food Science & Nutrition. 34 (2) (1994); pp. 175-203.
Direktorat Jenderal Hortikultura. 2012. Statistik Porduksi Hortikultura Tahun
2011. Kementrian Pertanian, Direktorat Jenderal Hortikultura.
Fleming, H., McFeeters, R., Humphries, E.G., A fermentor for study of sauerkraut
fermentation. Biotechnology and bioengineering. 31 (3) (1988); pp. 189-
197.
Frazier, W. C. 1977. Food microbiology. Second edition. McGraw-Hill Pub. New
Delhi: Comp., Ltd.
Martinez-Villaluenga, C., Penas, E., Frias, J., Honke, J., Piskula,M.K dan C.
Vidal, V. 2009. Influence of fermentation conditions on glucosinolates,
ascorbigen, and ascorbic acid content in white cabbage (Brassica oleracea
var. capitata cv. Taler) cultivated in different seasons. Journal of Food
Science, 74(1).
Rahayu, E.S. 2001. Lactic Acid Bacteria in Fermented Foods of Indonesian
Origin. Jurnal Agritech Vol 23 (2):75-84.
Rhee, S.J., Lee, J.-E., Lee, C.-H., Importance of lactic acid bacteria in Asian
fermented foods. Microb Cell Fact. 10 (1) (2011); pp. S5.
Safrida, Yuni Dewi, Cut Yulvizar , dan Cut Nanda Devira. 2012. Isolasi dan
Karakterisasi Bakteri Berpotensi Probiotik pada Ikan Kembung
(Rastrelliger sp.). Depok, Vol 1 (2):200-203.
Swain, M.R., Anandharaj, M., Ray, R.C., Praveen Rani, R., 2014. Fermented
Fruits and Vegetables of Asia: Potential Source of Probiotics.
Biotechnology research international.
Wiander, Britta dan Airi Palva. 2011. Sauerkraut and sauerkraut juice fermented
spontaneosly using mineral salt, garlic, and algae. Agricultural and Food
Science.Vol 2 (2011):169-175.

Anda mungkin juga menyukai