Anda di halaman 1dari 12

1

PENDAHULUAN
AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit yang
timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus) ditemukan dalam tubuh terutama darah, cairan sperma, cairan
vagina, air susu Ibu (WHO, 2013). Angka kejadian HIV/AIDS menunjukkan peningkatan
yang cukup besar. Berdasarkan data WHO tahun 2002 terdapat lebih dari 25 juta orang di
daerah Sub Sahara Afrika yang terinfeksi HIV. UNAIDS, WHO yang mengurusi masalah
AIDS, memperkirakan jumlah penderita HIV/AIDS di seluruh dunia sampai akhir tahun 2009
sebanyak 33,3 juta orang (UNAIDS, 2013). Meski telah dilakukan pencegahan, HIV terus
menyebar ke seluruh dunia dengan perkiraan 14.000 infeksi baru setiap harinya. Berdasarkan
statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia pada tahun 2010 terjadi peningkatan kasus sebanyak
591 kasus sehingga pada tahun 2010 ini telah tercatat sebanyak 20.564 kasus dengan angka
kematian sebanyak 3.936 kasus. (Depkes RI, 2010).
Saat ini belum ditemukan penyembuh infeksi HIV. Pengobatan antiretroviral merupakan
bagian dari pengobatan HIV dan AIDS untuk mengurangi risiko penularan HIV, menghambat
perburukan infeksi oportunistik, meningkatkan kualitas hidup penderita HIV, dan
menurunkan jumlah virus (viral load) dalam darah sampai tidak terdeteksi. Kenyataan sampai
saat ini secara global terdapat sekitar 22 juta atau 60% (tiga dari lima orang) HIV yang masih
tidak dapat mengakses ARV, sekitar 75% (tiga dari empat anak) yang hidup dengan HIV
tidak menerima pengobatan ARV (UNAIDS, 2013). Hal ini juga ditemukan di Indonesia,
dimana masih terdapat gap yang lebar antara jumlah pasien HIV/AIDS yang memenuhi
syarat untuk mendapatkan ARV dengan pasien HIV/AIDS yang tidak menerima ARV
sebesar 22,63% (23.845 dari 105.363 orang). Permasalahan lain terkait dengan antiretroviral
therapy (ART) di Indonesia adalah perluasan layanan skrining pemeriksaan HIV di layanan
kesehatan primer menemukan jumlah pasien HIV/AIDS yang memerlukan terapi ARV setiap
tahun cenderung meningkat, adanya kejadian kasus lost to follow up pada pemantauan
pemberian ARV pasien HIV/AIDS. Jumlah pasien HIV/AIDS yang lost to follow up pada
pemberian ARV di Indonesia sekitar 17,95% (14.630 dari 81.518) (Kemenkes RI, 2014).
Berdasarkan kajian diatas perlu dilakukan untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien
HIV/AIDS dan akses pelayanan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer Kabupaten Kebumen,
diharapkan penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan pelayanan pada pasien dengan
HIV/AIDS.

1
2

METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian ini adalah studi kasus yang bersifat deskriptif dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah 15 orang yang masih menjalani
pengobatan atau mengkonsumsi ARV, dan bersedia ikut dalam penelitian. Data sampel
penelitian diambil dari data pasien di Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer di Kabupaten
Kebumen yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Teknik Analisis Data


Cara pengumpulan data dengan melakukan wawancara mendalam (in-depth interview)
kepada sampel sesuai dengan panduan wawancara pada sampel dan dilakukan perekaman
(voice recorder) pada saat berlangsungnya wawancara, sebelumnya lembar permohonan dan
persetujuan sebagai responden selama penelitian berlangsung. Teknik analisis data yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik induktif. Proses pengolahan data dilakukan
setelah pengumpulan data dengan menyusun transkrip hasil wawancara mendalam. Proses ini
meliputi membuat transkrip data dari hasil wawancara mendalam, melakukan koding dengan
memecah data menjadi unit yang lebih kecil, untuk selanjutnya kode-kode yang dihasilkan
dikelompokkan kedalam kategori. Selanjutnya peneliti mengkaji data-data yang ada dengan
triangulasi. Triangulasi peneliti dilakukan dengan cara melakukan koding yang dilakukan
oleh tiga orang koder terdiri dari satu alumni mahasiswa strata dua Ilmu Kedokteran Klinik
dengan pendidikan terakhir Master Kedokteran Keluarga yang telah memiliki tingkat
pengetahuan yang sama, satu programer HIV/AIDS Dinas Kesehatan, satu konselor
(perawat/bidan) puskesmas.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Pasien HIV/AIDS

Data yang diperoleh berdasarkan wawancara mendalam dari 15 responden yang diambil dari
3 Puskesmas karena 3 Puskesmas tersebut paling sering melaporkan kasus HIV/AIDS.
Puskesmas tersebut yaitu Puskesmas Alian 2 responden, Puskesmas Petanahan 9 responden,
dan Puskesmas Puring 4 responden. Data yang diperoleh atas rekomendasi dan ijin dari
dokter yang merawat dan konselor (perawat/bidan) HIV/AIDS didaerah puskesmas masing-
masing.

2
3

Hasil pada penelitian sebagian besar responden adalah perempuan sebanyak 8 orang (53%).
Semua responden tinggal di wilayah Kabupaten Kebumen, dengan usia terbanyak dalam
kelompok umur 21-30 tahun yaitu dengan distribusi frekuensi sebanyak 6 responden (40%).
Sebagian besar responden memiliki pendidikan tingkat pendidikan. Karakteristik Jenis Pekerjaan
responden dari yang bekerja tetap terdiri dari 4 orang, bekerja tidak tetap terdiri dari 9 orang,
dan tidak bekerja terdiri dari 2 orang (masih ikut orang tua dan masih berstatus pelajar).
Sebagaian besar responden adalah pekerja tidak tetap sebanyak 9 orang (60%). Karakteristik
status perkawinan responden, 13 responden 15 orang (87%) berstatus sudah menikah.
Tingkat penghasilan pada penelitian ini paling banyak berpenghasilan 2 juta/bulan sebanyak
5 orang (39%).

Akses Pelayanan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer di Kabupaten Kebumen

Dari hasil wawancara mendalam tentang akses pelayanan kesehatan pasien HIV/AIDS dan
kemudian dilakukan transkrip oleh peneliti. Hasil transkrip dibaca dan dipahami kemudian
dikelompokkan menjadi 8 tema dan subtema.

a. Hubungan Dokter atau Paramedis-Pasien


Untuk hubungan dokter atau paramedis pada pasien, pada penelitian ini semua responden (2
diwakili oleh wali) mengatakan bahwa selama ini dokter atau petugas paramedis sudah
memberikan informasi yang dibutuhkan mengenai penyakitnya, sudah cukup ramah dalam
memberikan pelayananan, dan mampu menjawab semua pertanyaan yang berkaitan dengan
penyakitnya

“Ya Menurut saya sudah baik, dan sudah memberikan informasi yang saya butuhkan
tentang penyakit saya, jadi saya merasa sangat jelas dan tahu akan penyakit saya”. (rata-
rata pendapat responden).

Sebelum didiagnosa penyakitnya, semua responden dilakukan test laboratorium terlebih


dahulu. Semua responden mengatakan sebelum di lakukan test laboratorium, responden tidak
dijelaskan tentang maksud dan tujuan test laboratorium tersebut. Setelah hasil laboratorium
ada, responden diberitahukan hasil laboratorium, dan dijelaskan tentang penyakitnya.
Sebagian responden mengatakan dokter dan petugas paramedis tidak menjelaskan faktor
risiko atau penyebab penyakitnya. Namun, menurut konselor HIV/AIDS Puskesmas dan

3
4

programer HIV/AIDS Dinkes, sudah menjelaskan tentang faktor risiko atau perilaku yang
berisiko pada responden, Kuotasinya menurut responden adalah sebagai berikut:

“Awalnya dulu saya datang ke puskesmas karena dianjurkan bu bidan untuk cek darah, saya
ikut saja, setelah nunggu sebentar, saya dijelaskan hasil cek darah tadi, saya kaget dan tidak
percaya, saya tidak pernah berbuat aneh-aneh, mungkin dulu saya sering donor darah,
makanya saya tertular penyakit itu, trus saya dianjurkan mengambil obat kerumah sakit
Kebumen”.

Berbeda dengan pernyataan dari konselor HIV/AIDS Puskesmas dan programer HIV/AIDS
Dinkes, peneliti dijelaskan secara rinci terkait pernyatan pasien, sebetulnya pasien sudah
dijelaskan dari awal pemeriksaan, mulai dari pasien datang untuk berobat sampai disarankan
untuk pemeriksaan lanjutan.

b. Cara mendapatkan ARV


Pada penelitian ini sebanyak 12 dari 15 responden (2 diwakili oleh wali) mengatakan dalam
mendapatkan ARV, responden mendapatkan dari RSUD dr. Soedirman Kebumen (RSDS).
Sedangkan 3 dari 15 responden (2 responden diwakili oleh wali) mendapatkan ARV dari
puskesmas melalui konselor (bidan atau perawat). Kuotasinya adalah sebagai berikut :

“Saya sering lupa mengambil obat, tapi bu bidan atau perawat yang tlaten mengirimkan obat
kerumah, kalau tidak saya yang ke puskesmas, ketemu langsung dengan bu bidan atau
perawat”.

Menurut semua responden saat pengambilan obat ARV tidak dipungut biaya sepeser pun.
Cara mendapatkan ARV pun sangat mudah, tidak ada kendala dalam proses mendapatkan
ARV.

Dalam mendapatkan pengobatan ARV pasien dapat menghubungi petugas lewat telepon/HP
baik petugas dari Rumah Sakit atau Puskesmas, jika obat ARV yang dikonsumsi tinggal
sedikit. Dalam hal ini juga tidak lepas dari peran KDS, yang membantu konselor mengawasi,
memberikan motivasi dan edukasi kepada responden.

c. Lama Pengobatan
Semua responden mengatakan bahwa sudah mengetahui jika obat ARV harus diminum
seumur hidup. Dalam wawancara 12 dari 15 responden (2 responden diwakili oleh wali)
menyampaikan bahwa mengkonsumsi ARV seumur hidup membosankan, 1 dari 15

4
5

responden (2 diwakili oleh wali) menyampaikan selama mengkonsumsi ARV tidak ada rasa
bosan sama sekali, dan 2 dari 15 responden (2 responden diwakili oleh wali) menyampaikan
bosan karena efek samping obat ARV yang ditimbulkan. Kuotasinya adalah sebagai berikut :

“Saya minum obat selama ini merasa bosan karena saya sering kaya orang mabuk,
gemeteran, kalau minum obat ARV”

Sedangkan efek mengkonsumsi ARV, sebanyak 13 dari 15 responden (2 responden diwakili


oleh wali) menyampaikan bahwa jika mengkonsumsi ARV tubuh merasa lebih enak,
sedangkan 2 dari 15 responden (2 responden diwakili oleh wali) menyampaikan tidak ada
efek selama minum obat ARV. Kuotasinya adalah sebagai berikut:

“Kalau minum obat ARV saya merasa segar, sehat dan baik”

Saran dari responden untuk pengobatan penyakit HIV/AIDS, yang paling banyak
diungkapkan dan disampaikan oleh responden adalah responden berharap bisa sembuh
selama minum obat ARV. Obat ARV yang dikonsumsi harus terus-menerus atau sampai
seumur hidup dan efek samping obat berpotensi menurunkan kepatuhan pasien HIV/AIDS
dalam menjalani proses pengobatan. Kondisi ini akan memudahkan terjadinya dropout atau
putus pengobatan.
d. Kepatuhan Minum Obat
Dari hasil wawancara tentang kerutinan dalam konsumsi ARV, sebagian besar sealam
pengobatan responden tidak pernah putus obat. Semua responden mengetahui efek samping
bila putus minum obat ARV, informasi di dapat oleh responden dari dokter atau paramedis
yang ada di rumah sakit atau puskesmas, maupun dari KDS. Kuotasinya adalah sebagai
berikut :

“Iya saya tahu, efeknya biasanya saya merasa demam, pusing, mual, lemas, gemeteran,
sariawan, diare”.

Sebanyak 8 dari 15 responden (2 responden diwakili oleh wali) menyampaikan pernah putus
obat karena rasa bosan (putus obat ± 1 minggu), sedangkan 7 dari 15 responden (2 responden
diwakili oleh wali) belum pernah putus minum obat ARV. Kuotasinya adalah sebagai berikut
:

5
6

“Pernah, karena saya merasa bosan minum obat terus”.

Keberadaan konselor akan membantu meningkatkan kepatuhan pasien HIV/AIDS untuk


menjalani setiap proses pengobatan seumur hidup. Oleh sebab itu, dari hasil wawancara
pasien HIV/AIDS membutuhkan seorang konselor yang ideal yang dipunyai dan diharapkan
responden yaitu seseorang yang dekat dengan pasien HIV/AIDS baik dari segi jarak maupun
hubungan.
e. Pendampingan Pengobatan
Sebanyak 9 dari 15 responden (2 responden diwakili oleh wali) menyampaikan selama
menjalani pengobatan yang mendampingi dan yang mengambilkan obat ARV adalah suami,
sebanyak 3 dari 15 responden (2 responden diwakili oleh wali) menyampaikan selama
menjalani pengobatan yang mendampingi adalah bidan atau perawat puskesmas, dan
sebanyak 3 dari 15 responden (2 responden diwakili oleh wali) menyampaikan selama
menjalani pengobatan tidak ada yang mendampingi. Kuotasinya adalah sebagai berikut :

“Yang mendampingi dan yang mengambil obat biasanya suami, dan saya jarang ikut karena
saya harus mengurusi anak dan pekerjaan rumah”

Dalam penelitian ini 9 dari 15 responden (2 responden diwakili oleh wali) menyampaikan
selama didampingi merasa nyaman karena orang terdekat dan serumah, dan bisa saling
mengingatkan dalam konsumsi obat ARV. Responden dengan adanya pendampingan ini
merasa terbantu, baik dalam pengambilan obat maupun konsumsi obat. Tetapi ada juga
respoden yang mengatakan tidak membutuhkan pendampingan.
Sangat dibutuhkan kedekatan dari pendamping dan pasien HIV/AIDS. Pendamping pasien
diharapkan memiliki kesabaran, perhatian, dan rasa sayang terhadap pasien HIV/AIDS,
sehingga bisa mendampingi dan mengawasi pasien HIV/AIDS dalam jangka waktu lama
yaitu seumur hidup. Supaya Pasien HIV/AIDS dapat menyelesaikan proses pengobatan.
f. Jarak Mendapatkan Pengobatan
Pada penelitian ini sebagian besar menyampaikan jarak mendapat pengobatan tidak terlalu
jauh, ± ½ jam - 1 jam, ditempuh dengan kendaraan sendiri (motor, mobil), maupun angkot
(mini bus). sedangkan sebanyak 2 dari 15 responden (2 responden diwakili oleh wali)
menyampaikan keberatan, karena pengambilan jaraknya jauh dari tempat tinggal dan harus
berganti kendaraan/angkutan umum. Kuotasinya adalah sebagai berikut :

6
7

“Ngambil obatnya jauh, harus ganti kendaraan/angkutan umum”

jarak rumah dalam mendapatkan pengobatan dan pekerjaan sehari-hari menurut sebagian
besar responden sama sekali tidak masalah, karena akses untuk mengambil obat ARV ke
rumah sakit sangat mudah baik dari alat transport dan jalan yang di tempuh. Kuotasinya
adalah sebagai berikut :

“Pekerjaan sehari-hari tidak mengganggu waktu mengambil obat ARV, karena saya bisa
membagi waktu, kapan waktu untuk kerja, kapan waktu untuk mengambil obat”.

Jarak mendapatkan pengobatan dapat diukur dengan kemudahan mengakses layanan seperti
tersedianya ketersediaan obat, jarak rumah dengan fasilitas kesehatan, alat transportasi yang
tersedia, biaya transportasi, dan kesibukkan pasien. (Sosiawan, 2015).
g. Lingkungan Tempat Tinggal Pasien
Dari koding pendapat yang paling banyak diungkapkan dan disampaikan oleh responden
adalah sebanyak 4 dari 15 responden (2 diwakili oleh wali) menyampaikan bahwa yang
mengetahui penyakit responden hanya keluarga intinya saja (suami, istri dan anak), sebanyak
3 dari 15 responden (2 diwakili oleh wali) menyampaikan selain keluarga intinya (suami, istri
dan anak) yang tahu akan penyakitnya adalah orang tua dan saudara responden mengetahui,
dan 2 dari 15 responden (2 diwakili oleh wali) menyampaikan selain keluarga intinya
(suami, istri dan anak), orang tua dan saudara responden juga mengetahui, disamping itu
tetangga juga mengetahui tentang penyakitnya, serta dari pihak sekolah juga mengetahui dan
memberikan bantuan, dukungan atau motivasi baik moril maupun materiil. Selain itu
sebanyak 6 dari 15 responden (2 diwakili oleh wali) lainnya menjaga atau menutup rapat
akan penyakitnya. kuotasinya adalah sebagai berikut:

“Saya minta agar rahasia penyakit saya jangan ada orang lain yang tahu, saya takut dan
malu kalau sampai keluarga dan tetangga tahu, jangan sampai diexpose”

Sebagian besar responden menyampaikan bahwa tanggapan keluarga terhadap responden


adalah menerima, mendukung atau memberikan support, akan penyakit yang diderita
responden. Kuotasinya adalah sebagai berikut :

7
8

”Tanggapan dari orang tua, suami/istri, saudara (kakak/adik), mau menerima, mendukung
atau memberikan support, itu yang membuat saya tambah semangat dan merasa tidak
dikucilkan”.

Lingkungan tempat tinggal pasien adalah dimana pasien hidup dan menghabiskan waktu
bersama dengan orang tua, suami/istri, saudara (kakak/adik). Dukungan dari keluarga dapat
berupa sikap tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggotanya yang meliputi dukungan
emosional, dukungan penghargaan, dukungan materi, dukungan informasi.
h. Sosial-Ekonomi-Psikologis Pasien
Dari koding pendapat yang paling banyak diungkapkan dan disampaikan oleh responden
adalah sebanyak 13 dari 15 responden (2 responden diwakili oleh wali) menyampaikan
bahwa pada awalnya rasa minder atau patah semangat dan rasa sedih itu pasti ada, tapi lama
kelamaan tampak seperti biasa saja. Kuotasinya adalah sebagai berikut :

“Waktu tahu penyakit saya, saya merasa sedih rasa dan tidak percaya kenapa harus saya
yang sakit seperti ini, tapi mau gimana lagi, mau nggak mau ya dijalani saja”.

Semua responden juga menyampaikan tidak ada masalah dalam pekerjaan sehari-hari.
Kuotasinya adalah sebagai berikut :

“Saya sehari-hari seperti biasa saja, penyakit yang saya derita sama sekali tidak
mengganggu”.

Sangat disarankan agar pasien HIV/AIDS berterus terang dengan penyakit yang di deritanya
baik dengan pasangannya maupun keluarganya. Hal tersebut diharapkan dapat meminimalisir
meningkatnya angka kejadian HIV/AIDS yang ada di Kabupaten Kebumen, selain itu
mengganggu perasaan pasien.

PEMBAHASAN
Gambaran karakteristik pasien paling banyak di usia 20-35 karena usia 20-29 tahun. Hal ini
dapat disimpulkan bahwa di usia reproduktif sangatlah berpengaruh tehadap aktifitas seksual
yang berkaitan erat dengan penularan HIV/AIDS.
Penelitian ini menunjukan bahwa sebagian besar responden memiliki pendidikan tingkat
pendidikat terakhir SMA. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin cenderung

8
9

dapat mengantisipasi untuk menghindari penyakit. Hal ini yang menyebabkan sebagian orang
memiliki kesadaran untuk memeriksakan dirinya ke fasilitas kesehatan mengenai apa yang
dirasakan pada dirinya.
Hasil penelitian menunjukan sebagaian besar responden adalah pekerja tidak tetap sebanyak
9 orang (60%). Seorang pekerja yang memiliki penghasilan merasa memiliki hak untuk
mendapatakan sesuatu yang mereka inginkan dengan upah yang mereka dapatkan, dalam hal
ini meliputi hak untuk memuaskan nafsunya salah satunya adalah menggunakan PSK untuk
memuaskan nafsu seksualnya saat bekerja dan jauh dari istri, karena tidaklah mungkin
membawa keluarga kemana saja mengikuti tugas kerja.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan memiliki distribusi frekuensi 13 dari 15 responden
(87%) berstatus sudah menikah. Status telah menikah menunjukan bahwa orang tersebut
sudah aktif secara seksual. Penjelasan ini dapat dijadikan dasar bahwa status perkawinan
menjadi salah satu hal penting dalam penularan dan penyebaran penyakit HIV/AIDS.
Tingkat penghasilan pada penelitian ini dari semua responden bervariasi dari yang tidak
berpenghasilan terdiri dari 2 orang (masih pelajar), berpenghasilan <500 ribu/bulan terdiri
dari 2 orang, berpenghasilan 500 ribu-1 juta/bulan terdiri dari 2 orang, berpenghasilan 2
juta/bulan terdiri dari 5 orang, dan yang berpenghasilan >2 juta/bulan terdiri dari 4 orang.
Sehingga dapat disimpulkan responden paling banyak berpenghasilan 2 juta/bulan sebanyak 5
orang (39%). Tingkat pendapatan yang tinggi sangat berpengaruh terhadap perilaku. Dengan
rata-rata tingkat pendapatan responden Rp 2.000.000,-per bulan bahkan lebih, diduga
penghasilan responden cukup lumayan. Dengan demikian kebutuhan hidupnya merasa
tercukupi. Jika kebutuhan hidup primer sudah bisa terpenuhi di khawatirkan penghasilan juga
digunakan untuk kebutuhan sekunder yang lain, seperti kebutuhan biologis, contohnya seperti
mencoba dengan PSK.
Dari hasil wawancara didapatkan untuk mengetahui akses pelayanan pasien HIV/AIDS di
FKTP, menurut sebagian besar pasien proses komunikasi interpersonal antara dokter dan
pasien sudah berjalan sebagaimana mestinya. Seorang dokter atau konselor bertugas
membagi informasi dan pengetahuan yang mereka miliki tentang HIV dan AIDS secara
mendalam kepada pasien HIV dan AIDS.
Pasien harus memahami tujuan pemberian ARV, antara lain: ARV tidak menyembuhkan,
selama pengobatan virus masih dapat ditularkan atau didapat sehingga perlu diterapkan safe
sex dan safe injection. Pengobatan ARV seumur hidup, sehingga jangan memulai jika: Pasien
tidak memiliki motivasi, tahap konseling intensif , pengobatan tidak dapat dilanjutkan,
asimtomatik dan tidak ada informasi tentang hitung CD4, tidak dapat memonitor secara

9
10

biologis, tidak ada akses terhadap diagnosis dan pengobatan IO (Infeksi Oportunistik).
(Nursalam, 2008).
Kepatuhan menentukan seberapa baik pengobatan antiretroviral (ARV) dalam menekan
jumlah viral load. Ketika lupa meminum satu dosis, meskipun hanya sekali, virus akan
memiliki kesempatan untuk menggandakan diri lebih cepat. Hasil yang tidak dapat dielakkan
dari semua tantangan ini adalah ketidakpatuhan, perkembangan resistensi, kegagalan terapi
dan risiko pada kesehatan masyarakat akibat penularan jenis virus yang resistan. Obat ARV
perlu diminum sesuai petunjuk dokter baik dosis maupun waktunya. Mengingat bahwa HIV
adalah virus yang selalu bermutasi, maka jika tidak mematuhi aturan pemakaian obat ARV,
obat yang dikonsumsi tidak bisa lagi memperlambat laju HIV menuju ke tahap AIDS.
Pendampingan ARV, lingkungan, dan dukungan sosial sangat mempengaruhi responden
dalam memgkonsumsi ARV.
Hambatan dan kendala dalam akses pelayanan pada penelitian ini bisa berasal dari pasien
HIV/AIDS itu sendiri, seperti masih ada yang lupa mengambil obat, tidak menghubungi
petugas bila obat ARV tinggal sedikit, bosan dalam mengkonsumsi obat ARV karena merasa
sudah sehat, sibuk mengurusi anak, sibuk bekerja, menghentikan sendiri minum obat ARV
karena efek samping yang ditimbulkan, tidak ada yang mendampingi waktu pengambilan
obat ARV, jarak tempuh rumah dengan tempat pengambilan obat ARV yang terlalu jauh,
akomodasi seperti kendaraan umum/transport yang dinilai dan dianggap susah, dan malu
dalam mengambil obat. Petugas medis (dokter), paramedis perawat/bidan (konselor),
programer HIV/AIDS dinkes, dan KDS juga sudah mengingatkan, menawarkan bantuan,
mendukung dan mengedukasi, tapi masalah seperti itu masih terjadi sampai sekarang ini.
Sebagian besar responden berada atau mengalami kesedihan terkait penyakitnya berdasarkan
(Kubler Ross Cycle of Grief), sebagian besar responden sudah dalam tahap menerima.
Responden sudah mengetahui penyakit yang dideritanya baik dari petugas rumah sakit
maupun puskesmas, dan responden tidak mempermasalahkan akan penyakitnya yang
dideritanya, tanpa ada rasa penyesalan apapun.
Keterbatasan dari penelitian ini meliputi subjektifitas dari peneliti, dimana penelitian
tergantung pada interpretasi peneliti tentang makna yang tersirat dalam hasil wawancara
mendalam (indepth interview). sehingga kecenderungan bias tetap ada. Sedikitnya jumlah
responden merupakan salah satu keterbatasan pada penelitian ini sehingga tidak dapat
menggambarkan akan kualitas Akses Pelayanan Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer yang
lebih luas.

10
11

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan, gambaran karakteristik pasien HIV/AIDS di
Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer Kabupaten Kebumen sebagian besar berusia antara 21-30 tahun,
berjenis kelamin perempuan, berpendidikan terakhir SMA, pekerjaan IRT, berstatus sudah menikah,
dan berpenghasilan 2 juta/bulan.
Pada penelitian ini petugas kesehatan melaksanakan tugas dengan cara mengawasi, mengingatkan,
mengantarkan, mengedukasi, memotivasi dan memberikan sosialisasi. Petugas kesehatan berusaha
mengatasi hambatan dengan cara memberikan motivasi, edukasi, sosialisasi HIV/AIDS, dan
melakukan kunjungan rumah. Hambatan petugas antara lain responden lupa mengambil obat, bosan
dalam mengkonsumsi obat ARV karena merasa sudah sehat, menghentikan sendiri minum obat ARV
karena efek samping yang ditimbulkan, tidak ada yang mendampingi waktu pengambilan obat ARV,
jarak tempuh rumah dengan tempat pengambilan obat ARV yang terlalu jauh, dan malu mengambil
obat, masih kurangnya pengetahuan dari pasien HIV/AIDS terkait penyakitnya, disebabkan akibat
minimnya koordinasi antara tenaga kesehatan dalam memotivasi dan mengedukasi yang dibutuhkan
pasien HIV/AIDS, tahap kesedihan pada pasien HIV/AIDS belum mendapatkan penanganan dan
perhatian yang adekuat dari petugas kesehatan ataupun KDS. Sebagian besar responden berdasarkan
tahap kesedihan dalam teori (Kubler Ross Cycle of Grief), sudah memasuki tahap penerimaan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Balitbang Kemenkes RI. 2014. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang
Kemenkes RI.
2. Brooks, GF, Butell JS, Morse SA. “AIDS dan Lentivirus”. In: Buku Ajar Mikrobiologi
Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg Edisi 23. Editor: Elferia RN, Ramadhani D,
Karolina S, Indriyani F, Rianti SSP, Yulia P. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2007; p. 617.
3. Carlos Avila-Figueroa and Paul Delay. 2009. Impact of The Global Economic Crisis on
Antiretroviral Treatment Programs. HIV Ther.3(6), 545–548.
4. Chen NE, Gallant JE, Page KR. A systematic review of HIV/AIDS survival and delayed
diagnosis among hispanics in the United States. Journal of Immigrant and Minority
Health. 2012; 14(1):65-81. (Abstrak).
5. Creswell, John W (2010). Research Design:Qualitative and Quantitative Approaches.
California: Sage Publications, Inc McMillan J.H. & Schumacher, Sally. 2001. Research in
Education. New Yprk: Longman, chapter 16
6. Depkes RI (2010) Pedoman Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Masyarakat di
Puskesmas. Jakarta : Depkes RI

11
12

7. Direktorat Jendral PP dan PL Kementrian Kesehatan RI. Laporan Situasi Perkembangan


HIV/AIDS di Indonesia s.d. 30 Juni 2012. Jakarta (Indonesia); 2012.
8. Irianto K. 2014. Epidemologi Penyakit Menular dan Tidak Menular Panduan Klinis.
Bandung: ALVABETA.
9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Triwulan Pertama 2011 Kasus
HIV- AIDS. 2011.
10. Kementerian Kesehatan RI. 2014. Laporan Situasi Perkembangan HIV&AIDS di
Indonesia Tahun 2014, Jakarta.
11. Komisi Penanggulangan HIV/AIDS. Dinas kesehatan Kebumen. 2016.
12. World Health Organization. UNAIDS Report on the global AIDS Epidemic 2013.
http://www.who.int/mediacenter/facth/fs312en/indenx.html. [diakses tanggal 26 desember
2013]
13. WHO, 2014 Antiretroviral therapy. Available at:
http://www.who.int/topics/antiretroviral_therapy/en/ [Accessed September 22, 2014].
http://www.who.int/topics/hiv_aids/en/ [Accessed August 26, 2014].

12

Anda mungkin juga menyukai