Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PENGARUH KELUARNYA BRITANIA RAYA DARI UNI EROPA DALAM PERDAGANGAN


INTERNATIONAL

NAMA : HENDRA KUSWANDI


NIM : 5118221068
ANGKATAN : 41
MATA KULIAH : INTERNATIONAL BUSINESS
DOSEN :DR. TUBAGUS HARYONO, S.Si, SE, MM, Ak.

GASAL 2019/2020
PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN
UNIVERSITAS PANCASILA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Inggris merupakan salah satu negara yang berada di Eropa bagian Barat. Inggris berbatasan
dengan Skotlandia di sebelah Utara dan Wales di sebelah Barat. Selanjutnya Laut Irlandia di sebelah
Barat Laut, Laut Keltik di sebelah Barat Daya, dan Laut Utara di bagian Timur, serta Selat Inggris di
sebelah Selatan. Selat Inggris merupakan selat yang memisahkan negara Inggris dari dataran Eropa.
Inggris adalah sebuah negara kesatuan yang berdiri di bawah sistem monarki konstitusional dan
mengadopsi sistem parlementer. Kedudukan pemerintahan pusat berada di ibukota negara Inggris,
yaitu London. Inggris, Irlandia Utara, Skotlandia, dan Wales adalah negara-negara yang termasuk
dalam kedaulatan Britania Raya.
Setelah Perang Dunia Kedua, masyarakat di kawasan Eropa yang terkena imbas perang,
berkeinginan untuk menyatukan kekuatan demi memulihkan kondisi perekonomian Eropa pasca
perang (Pusca, 2004). Keinginan tersebut pun diwujudkan dengan terbentuknya European Coal and
Steel Community (ECSC) yang dibentuk oleh negara Jerman, Italia, Luxemburg, Belanda, dan
Belgia. Kemudian, ECSC berganti nama menjadi European Economic Community (EEC) pada 25
Maret 1957. Maksud dan tujuan pergantian nama tersebut adalah agar dapat tercipta sebuah pasar
bersama, yakni sebuah tahap integrasi yang dilakukan oleh suatu wilayah, di mana arus barang, jasa,
modal, serta imigrasi yang bebas dan tidak terdapat hambatan. Komunitas inilah yang kini dikenal
dengan nama Uni Eropa (Pusca, 2004).
Pada tahun 1973, terjadi krisis minyak dunia yang mengakibatkan rendahnya pertumbuhan
ekonomi di negara Inggris (Sudaryono, 2016). Akibatnya, Inggris berkeinginan untuk bergabung
menjadi anggota Uni Eropa dengan tujuan untuk membenahi perekonomian negaranya. Hal yang
menjadi daya tarik Inggris untuk bergabung dengan Uni Eropa adalah terdapat kesenjangan
pendapatan nasional yang cukup jauh antara Inggris dengan negara-negara anggota Uni Eropa.
Dengan bergabungnya Inggris dalam keanggotaan Uni Eropa pada 1 Januari 1973, Inggris berharap
perekonomian negaranya dapat meningkat (Cawood, 2004). Setelah diterima dan bergabung dalam
keanggotaan Uni Eropa, Inggris harus melakukan penyesuaian terkait kebijakan-kebijakan yang
diterapkan dalam Uni Eropa. Inggris merupakan negara yang aktif dalam berbagai kegiatan
kelembagaan, perumusan kebijakan dan pendanaan, serta sebagai penasihat yang seringkali
memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang terjadi di Uni Eropa. Inggris juga merupakan
salah satu negara dengan pendapatan nasional tertinggi di antara negara-negara anggota Uni Eropa.
Bersama dengan Amerika Serikat dan Cina, Uni Eropa adalah salah-satu dari tiga besar pemain
global untuk perdagangan internasional. Ke-28 negara Uni Eropa memiliki porsi terbesar kedua
untuk expor dan impor barang global dalam tahun 2016. Kebijaksanaan policy Uni Eropa adalah
mempertahankan perkembangan yang ber-kesinambungan dengan melakukan investasi dalam bidang
transportasi, riset dan enersi dengan me-minimalisasi dampak perkembangan ekonomi terhadap
lingkungan sekitar.
B. Perumusan Masalah

Dalam Penulisan Makalah ini, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :


1. Bagaimana sejarah keikutsertaan Britania Raya (Inggris) dalam Uni Eropa?
2. Apa penyebab Britania Raya (Inggris) keluar dari Uni Eropa?
3. Apa saja pengaruh dalam keluarnya Britania Raya (Inggris) dari Uni Eropa dalam
perdagangan International?

C. Tujuan Penulisan

Penyusunan Makalah ini bertujuan untuk :


1. Untuk mengetahui sejarah keikutsertaan Britania Raya (Inggris) dalam Uni Eropa?
2. Untuk mengetahui penyebab Britania Raya (Inggris) keluar dari Uni Eropa
3. Untuk mengetahui pengaruh dalam keluarnya Britania Raya (Inggris) dari Uni Eropa
dalam perdagangan International
BAB II

TEORI

Teori ini dikemukakan oleh david Ricardo dalam bukunya principles of political economy and
taxation (1871). Menurut bukunya bahwa suatu negara yang kurang efisien dalam memproduksi barang
dan jasa dengan negara lain dapat memproduksi barang yang dihasilkan dengan melakukan spesialisasi
dalam memproduksi barang dan jasa yang memiliki kerugian absolute yang lebih kecil. Dan mengimpor
barang yang memiliki kerugian yang besar dalam memproduksi suatu barang dan jasa. Jadi keunggulan
komparatif suatu negara bila terjadi biaya yang lebih murah dalam memproduksi barang dan jasa di suatu
negara dibandingkan dengan negara lain. Beberapa yang mendukung teori ini (yang disebut dengan
Ricardian) mengatakan bahwa suatu negara harus melakukan spesialisasi penuh daripada memproduksi
bermacam macam barang dan jasa. Tetapi model Ricardian tidak dilengkapi faktor faktor pendukung
seperti jumlah pekerja dan modal dari dalam suatu negara. Selain Ricardian, Teori Hecksher – Ohlin
(Teori H-O) juga menjelaskan tentang teori komparatif tetapi lebih memfokuskan pada faktor-faktor
pendukungnya. Berdasarkan teori H-O perdagangan international dapat terwujud karena perbedaan faktor
pendukung yang dimiliki oleh negara. Hecksher-Ohlin mengatakan bahwa negara akan mengekspor
barang yang diproduksi dengan menggunakan secara insentif faktor produksi yang tersedia berlimpah
(abundace factors) di negara tersebut dan mengimpor barang yang diproduksi dengan menggunakan
faktor produksi yang langka di negara tersbeut. Dalam teori komparatif dikenal juga model gravitasi yang
meniru hukum gravitasi Newton. Model ini melihat perdagangan berdasarkan jarak dan interaksi antar
negara dalam ukuran ekonominya. Model ini lebih kuat secara empiris dibandingkan secara teoritis
karena didukung analisis ekonometri. Faktor lain seperti pendapatan, hubungan diplomatik dan kebijakan
suatu negara dimasukkan dalam model ini. Teori keunggulan komparatif juga melihat faktor spesifik
seperti mobilitas buruh antara industri dalam jangka pendek ketika modal tidak bergerak. Teori tersebut
menjelaskan bahwa modal fisik tidak mudah dipindahkan antar industri. Berbeda dengan model Ricardian
dan H-O, model tidak bisa melihat pola perdagangan antar negara namun model ini dapat digunakan
untuk melihat distribusi pendapatan.

Perdagangan internasional merupakan salah satu kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup masyarakat pada era globalisasi dan digitalisasi. Perdagangan saat ini mustahil untuk
dapat menghentikan produk luar negeri yang masuk ke Indonesia dengan mudah (Satryana dan
Karmini,2016) Dengan adanya skema pasar dunia yang semakin bebas dengan tingkat kompetisi yang
tinggi namun menguntungkan sektor perdagangan suatu 2 komoditas memiliki resiko dan keuntungan
yang besar. Memiliki resiko yang tinggi apabila negara tidak mampu menghadirkan produk barang atau
jasa yang sesuai dengan permintaan pasar internasional, namun akan memiliki keuntungan yang
signifikan apabila segala aspek di dalam perdagangan tersebut dijadikan sebagai standar mutu suatu
barang atau jasa dari suatu negara. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan meningkatkan daya
saing produk Indonesia. Pengertian daya saing sangat luas yang mencakup ruang lingkup yang sangat
besar tentang masalah makro ekonomi dan mikro ekonomi seperti pendapatan perkapita, kinerja lembaga,
tingat produktifitas, biaya komparatif dan banyak lainnya (Benkovskis dalam Satryana dan
Karmini,2016). Daya saing dalam pasar komoditas merefleksikan banyak faktor yaitu faktor komparatif
dan faktor kompetitif (Sarwono dan Pratama, 2014).
Keunggulan komparatif merupakan dasar perekonomian yang didayagunakan melalui
pembangunan ekonomi sehingga unggul dalam melakukan persaingan (competitive advantage) (Satryana
dan Karmini,2016). Daya saing ekspor dapat diidentifikasikan dengan nilai produktivitas dimana tingkat
output yang dihasilkan untuk setiap unit input yang digunakan (Ustriaji, 2016). Teori yang
dikemukakan oleh (Adam Smith) menyatakan bahwa keuntungan mutlak merupakan keuntungan yang
didapahkan oleh sebuah negara karena berhasil membuat biaya produksi barang dengan harga yang lebih
murah dari negara lain. Dalam teori ini, jika biaya produksi antar negara tidak berbeda, maka
perdagangan internasional tidak ada alasan untuk dapat melangsungkan perdagangan tersebut.

Menurut Sadono Sukirno, manfaat perdagangan internasional adalah sebagai berikut.

 Menjalin Persahabatan Antar Negara


 Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri
Banyak faktor-faktor yang memengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara.
Faktor-faktor tersebut di antaranya. Kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan iptek
dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi
kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.
 Memperoleh keuntungan dari spesialisasi
Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan
yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu
barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi adakalanya
lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.
 Memperluas pasar dan menambah keuntungan
Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan
maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan
turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha
dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk
tersebut keluar negeri.
 Transfer teknologi modern
Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi
yang lebih efesien dan cara-cara manajemen yang lebih modern.
Banyak faktor yang mendorong suatu negara melakukan perdagangan internasional, di antaranya
sebagai berikut:

 Faktor Alam/ Potensi Alam


 Untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dalam negeri
 Keinginan memperoleh keuntungan dan meningkatkan pendapatan negara
 Adanya perbedaan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
mengolah sumber daya ekonomi
 Adanya kelebihan produk dalam negeri sehingga perlu pasar baru untuk menjual produk
tersebut.
 Adanya perbedaan keadaan seperti sumber daya alam, iklim, tenaga kerja, budaya, dan
jumlah penduduk yang menyebabkan adanya perbedaan hasil produksi dan adanya
keterbatasan produksi.
 Adanya kesamaan selera terhadap suatu barang.
 Keinginan membuka kerja sama, hubungan politik dan dukungan dari negara lain.
 Terjadinya era globalisasi sehingga tidak satu negara pun di dunia dapat hidup sendiri.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Sejarah Bergabungnya Britania Raya ke dalam anggota Uni eropa

Britania Raya atau yang sering disebut Inggris merupakan negara kepulauan yang terletak
di sebelah timur Samudra Pasifik. Dahulu, Inggris berbentuk kerajaan yang menambah
wilayahnya dengan menaklukkan negara lain. Semakin berjalannya waktu wilayah Inggris
semakin luas. Wilayah yang pertama bergabung adalah Wales pada tahun 1542, disusul oleh
Skotlandia pada tahun 1707, kemudian terbentuklah Britania Raya yang terdiri dari England,
Scotlandia, dan Wales. Wilayah Irlandia sebelumnya berada di bawah kendali Inggris, kemudian
secara resmi mendapatkan kemerdekaannya pada tahun 1922 dan memutuskan untuk bergabung
ke Britania Raya. Setelah itu, nama negara ini berubah menjadi United Kingdom ( terdiri dari
Britania Raya dan Irlandia Utara). Nama Resmi Inggris menjadi United Kingdom of Great Britain
and Northern Ireland. Inggris juga dikenal selalu mempertahankan hubungan dengan bagian dari
bekas kerajaan jajahannya melalui Commonwealth. Saat ini, Inggris terdiri atas beberapa wilayah
yaitu Great Britain (England, Skotland, Wales), North Ireland, dan sejumlah kepulauan Kanal,
Orkney, Sketland, dan Hebrides. Luas seluruh wilayah daratan Inggris adalah 93,278 sq mi (
241,590 sq km ) dengan populasi sebanyak 65.630.000 jiwa (2016). Wilayah England adalah
wilayah terbesar yang mencakup 130.410 kilometer persegi (50.350 sq mi), Scotland terdiri dari
30.410 sq mi, Wales and North Ireland memiliki luas jauh lebih kecil yaitu 20.758 dan 14.160
kilometer persegi (8.010 dan 5.470 sq mi).
Kepala negara Inggris saat ini dipegang oleh Ratu Elizabeth II. Sistem pemerintahan
Inggris adalah gabungan Monarki Konstitusional dan Demokrasi Parlementer. Monarki
Konstitusional merupakan sistem pemerintahan berbentuk kerajaan ( monarki ) dibawah sistem
konstitusional yang mengakui adanya raja atau ratu sebagai kepala negara. Sedangkan demokrasi
parlementer adalah suatu bentuk pemerintahan demokratis dimana partai yang meraih kursi
terbanyak di House of Commonbertugas membentuk sebuah pemerintahan. Pemimpin dari partai
yang memperoleh kursi terbanyak di House of Commonakan menjadi Perdana Menteri yang
menjabat menjadi kepala pemerintahan negara. Parlemen Inggris terdiri dari House of Common
dan House of Lords .House of Lords berisi orang orang yang mempunyai hubungan kekerabatan
dengan keluarga kerajaan ( Ratu ) , orang -orang yang diberi gelar khusus, dan 26 uskup. Fungsi
dari House of Lordadalah untuk merevisi undang undang. Sedangkan House of Common adalah
651 anggota perwakilan seluruh daerah di Inggris yang dipilih langsung oleh rakyat selama
periode lima tahun. Dari segi perekonomian, Inggris memiliki ekonomi dan perdagangan yang
independen sejak revolusi industri pada abad ke-19. Sejak dulu Inggris memiliki Partner investasi
yang penting dalam bidang produksi lokal yaitu Amerika dan Jepang. Dari abad ke-18, Britania
Raya telah menduduki posisi dominan di bidang perdagangan kerajaan Eropa, dan juga menjadi
negara barat pertama yang maju di bidang industri.
Dalam proses awal pembentukan Uni Eropa, sebenarnya Inggris memiliki beberapa
peluang untuk berpartisipasi, akan tetapi Inggris memutuskan untuk tidak mengambil bagian
dalam berdirinya Uni Eropa ( pada saat itu masih berbentuk European Community ). Awal mula
terbentuknya Uni Eropa tidak luput dari Proposal Prancis yang dikenal sebagai Schuman
Declaration mengenai pendirian European Coal and Steel Community.Cikal bakal pembentukan
Uni Eropa diawali oleh usulan Jean Monnet, seorang negosiator Prancis kepada Menteri Luar
Negeri Prancis Robert Schuman dan Kanselir Jerman Konrad Alexander. Jean Monnet
mengusulkan suatu masyarakat yang berkepentingan bersama dapat dibentuk untuk mengatur
pasar batu bara dan besi baja dibawah badan pengawas yang independen. Pada tanggal 18 April
1951 melalui The Treaty of Paris, The Schuman Plan diterima oleh Prancis, Jerman, Italia,
Belgia, Belanda, dan Luxemburg. European Coal and Steal Community resmi berdiri pada
tanggal 10 Agustus 1952 dengan deklarasi yang ditandatangani oleh 6 negara tersebut. Tujuan
Utama ECSC adalah penghapusan berbagai hambatan perdagangan dan menciptakan pasar
bersama. Dilatarbelakangioleh keinginan negara-negara di Eropa yang ingin memulihkan
perekonomian mereka pasca kehancuran Perang Dunia II sekaligus membentuk sebuah wadah
kerjasama untuk menyatukan negara negara aktor perang dunia agar konflik tidak terpicu
kembali.
Pada awalnya Inggris menolak tawaran untuk membentuk European Coal and Steel
Community.Inggris lebih memprioritaskan hubungan bilateral dengan mantan koloninya yaitu
Amerika Serikat dan Uni Soviet .Pada saat itu, Inggrismenganggap ECSC tidak begitu
menguntungkan bagi Inggris yang sudah mempunyai ekonomi yang stabil dibanding negara
anggota ECSC.Terlebih karena tujuan didirikannya untuk membuat kerjasama antar negara
terkait konflik akibat perang dunia keduagunamencegah konflik berkelanjutan antara Prancis dan
Jerman.Inggris tidak merasa diuntungkan dalam tujuan tersebut. Akan tetapi pandangan politik
luar negeri Inggris mulai berubah ketikaInggris berada pada masa jabatan Perdana Menteri
Harold Macmillan ( 1957 – 1963 ) setelah melihat adanya keberhasilan ECSC. Pada tahun 1973
Inggris sedang terkena dampak krisis minyak yang menyebabkan rendahnya pertumbuhan
ekonomi di Inggris. Sedangkan disekitarnya, keberhasilan ECSC terdengar sampai ke parlemen
Inggris. Beberapa keberhasilan ECSC yang menonjol adalah ECSC mampu menangani krisis
minyak yang terjadi pada saat itu dengan produksi baja meningkat empat kali lipat di negara
anggota ECSC. Jika dibandingkan dengan tahun 1950- an, ECSC juga meningkatkan
kesejahteraan pekerja tambang.
Para menteri luar negeri negara anggota ECSC memutuskan untuk memperluas integrasi
Eropa ke semua bidang ekonomi dengan membentuk European Atomic Energy Community (
Euratom ) dan European Economic Community pada tanggal 25 Maret 1957 di Roma. Tujuan
utamanya adalah penciptaan suatu bentuk pasar bersama antar negara anggota. Setelah 8 tahun
berjalan, pada tanggal 8 April 1965 ke-enam negara anggota mengadakan perjanjian di Brussel
yang berisi penggabungan European Coal and Steel Community, Euratom, dan European
Economic Community menjadi European Community. Seiring berjalannya waktu, Inggris mulai
melihat Perancis dan Jerman berhasil membangun pemulihan ekonomi negaranya pascaperang
dan membentuk aliansi yang kuat dengan negara anggota yang lain.Ditambah dengan
berkembangnya European Coal and Steel Community menjadi European Community, Inggris
merasa semakin perlu berada dalam meja kepemimpinan Eropa demi menancapkan pengaruhnya
terhadap negara di Eropa.Awal ketertarikan Inggris untuk bergabung adalah untuk memperoleh
keuntungan ekonomi dari kerjasama ekonomi Eropa tersebut. Akan lebih menguntungkan bagi
Inggris untuk masuk dan menjalin hubungan ekonomi yang lebih leluasa apabila berada dalam
satu hubungan kerjasama ekonomi dengan beberapa negara anggota ECSC. Daripada Inggris
membangun hubungan bilateral dengan setiap negara diluar suatu komunitas. Inggris kemudian
menyadari PNB perkapita negara-negara yang tergabung dalam European Community dengan
PNB Inggris mempunyai perbedaan yang cukup jauh. Kondisi tersebut yang kemudian
melatarbelakangi keinginan Inggris untuk bergabung dengan European Community
Inggrismenyampaikan permintaan untuk bergabung ke European Community pertama kali pada
tahun 1961.Namun permintaan tersebut mendapat penolakan dari sejumlah negara Eropa
khususnya Prancis.Kemudian tahun 1963 Inggris kembali melamar dan ditolak kembali oleh
Charles de Gaule yang menjabat sebagai presiden Prancis pada saat itu. Alasan Charles de Gaule
menolak Inggris dua kali adalah ketakutan Prancis apabila Inggris akan menjadi musuh dalam
selimut bagi Eropa karna kedekatan Inggris dengan Amerika Serikat. Setelah Charles de Gaule
lengser, Inggris mengajukan permohonan kembali pada tahun 1967 pada masa kepemimpinan
Edward Heath dari Partai Konservatif.Akhirnya perjuangan Inggris membuahkan hasil pada saat
itu, permohonan Inggris diterima dan Inggris resmi bergabung dengan European Community
pada 1 Januari 1973 bersama dengan Denmark dan Irlandia.
Setelah diterima dalam European Community, Inggris harus melakukan beberapa
penyesuaian dengan aturan – aturan European Community. Sejak bergabung, Inggris menjadi
negara yang secara aktif ikut dalam setiap kelembagaan, kebijakan, pendanaan, dan pemecahan
masalah di Uni Eropa. Hubungan Inggris dan Uni Eropa juga mengalami dinamika. Beberapa kali
Inggris sejalan dengan Uni Eropa akan tetapi tidak sedikit juga Inggris merasa tidak setuju
dengan beberapa keputusan Uni Eropa. Setelah diterima dalam European Community, Inggris
harus melakukan beberapa penyesuaian dengan aturan – aturan European Community. Sejak
bergabung, Inggris menjadi negara yang secara aktif ikut dalam setiap kelembagaan, kebijakan,
pendanaan, dan pemecahan masalah di Uni Eropa. Hubungan Inggris dan Uni Eropa juga
mengalami dinamika. Beberapa kali Inggris sejalan dengan Uni Eropa akan tetapi tidak sedikit
juga Inggris merasa tidak setuju dengan beberapa keputusan Uni Eropa.

B. Penyebab Keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa

Keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa (UE) atau yang biasa sering kita dengar dan
disingkat Brexit (lakuran "Britain" dan "exit"),adalah kemungkinan (proses dan rencana)
penarikan diri Britania Raya dari Uni Eropa sebagai hasil dari referendum Brexit yang diadakan
pada Kamis 23 Juni 2016, referendum Brexit ini diadakan untuk memutuskan apakah Britania
Raya harus meninggalkan keanggotaannya atau tetap tergabung dalam Uni Eropa. Referendum
ini diikuti oleh 30 juta pemilih, yang berarti partisipasi total didalamnya mencapai 71,8% dari
penduduk yang memiliki hak pilih di Britania Raya, hasilnya sendiri adalah 51,9% memilih untuk
keluar dari Uni Eropa dan 48,1% memilih untuk tetap tergabung dengan Uni Eropa.[1]
Sebagai salah satu tahapan untuk secara resmi meninggalkan Uni Eropa, Britania Raya
diharuskan untuk meminta digunakannya Artikel 50 dari Perjanjian tentang Uni Eropa kepada
Dewan Eropa, dan pada 29 Maret 2017, pemerintah Britania Raya resmi menggunakan Artikel
50 dan mengajukan penarikan diri kepada Dewan Uni Eropa. Sesuai dengan aturan yang tertulis
dalam Artikel 50 mengenai waktu tenggang yang diberikan untuk negara yang berencana keluar
dari Uni Eropa, Britania Raya diberikan waktu hingga tepat pada tengah malam tanggal 30 Maret
2019, Waktu Eropa Tengah, untuk secara resmi meninggalkan Uni Eropa
Pada 17 Januari 2017, Perdana Menteri Theresa May mengumumkan 12 pokok rencananya untuk
meninggalkan Uni Eropa, May juga sekaligus memastikan bahwa nantinya Britania Raya tidak
akan lagi tergabung dalam Pasar Tunggal dan Serikat Pabean Uni Eropa. Bersamaan dengan
itu, May juga berjanji untuk mencabut Undang-Undang Masyarakat Eropa tahun 1972, dan
menggabungkan semua hukum dan aturan Uni Eropa yang masih berlaku kedalam hukum dan
aturan Britania Raya. May membentuk kementerian sendiri untuk mengatur mundurnya Britania
Raya dari Uni Eropa, kementerian ini diberi nama Departemen untuk Keluar dari Uni Eropa
(Department for Exiting European Union - DExEU) dan diresmikan pada Juli 2016, May juga
menunjuk David Davis sebagai Sekretaris Negara memimpin departemen tersebut. Perundingan
antara pemerintah Britania Raya dan Uni Eropa pada akhirnya resmi dimulai pada 19 Juni 2017.
Menilik dari sejarahnya, Britania Raya sendiri mulai bergabung dalam Komunitas Eropa pada
tahun 1973, meski begitu terdapat dorongan untuk melakukan referendum dari banyak pihak yang
tidak setuju apabila Britania Raya bergabung dalam Komunitas Eropa, sehingga pada tahun 1975
diadakan referendum 1975, tetapi hasil dari referendum tersebut justru memenangkan pihak yang
setuju untuk bergabung sehingga semakin melegitimasi kebijakan Britania Raya untuk tetap
tergabung dalam Komunitas Eropa. Di era 1970-an dan 1980-an, wacana untuk mengundurkan
diri dari Komunitas Eropa utamanya banyak digalang oleh anggota dan tokoh-tokoh dari Partai
Buruh dan Serikat Buruh. Mulai era 1990-an, pendukung kuat dari wacana ini adalah Partai
Kemerdekaan Britania Raya (UKIP) dan anggota-anggota dari Partai Konservatif yang memiliki
pandangan "Eurosceptic".
Untuk efek Brexit ini sendiri dalam jangka pendek, terdapat penelitian yang berfokus pada
pengaruh kebijakan Brexit sejak diadakannya referendum hingga Juli 2017, penelitian ini
mengungkapkan bahwa Britania Raya mengalami kerugian tahunan sebesar £404 untuk tiap
rumah tangga rata-rata, kemudian menurunnya nilai mata uang pound sterling dimana nilai pound
sterling masih 10% dibawah nilai sebelum referendum, lalu meningkatnya inflasi hingga
1,7%.[9] Banyak pakar riset ekonomi dunia yang beranggapan bahwa keluarnya Britania
Raya dari Uni Eropa ini akan memiliki efek terhadap perekonomian Britania Raya, mereka
memprediksi bahwa langkah Britania Raya ini akan mengurangi pendapatan riil per-kapita
Britania Raya dalam jangka menengah dan panjang.[10][11] Keluarnya Britania Raya dari Uni
Eropa juga diprediksi akan menurunkan jumlah pendatang dari negara-negara Area Ekonomi
Eropa ke Britania Raya, dan hal ini dapat berimplikasi kepada pendidikan tinggi dan riset
akademis di Britania Raya. Dampak persis keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa sendiri masih
harus melihat apakah keluaran ini terjadi dengan cara keras (Hard Brexit) yang berarti tidak
terjadi kesepakatan sama sekali antara Britania Raya dan Uni Eropa, atau cara lunak (Soft Brexit)
dimana masih terdapat hak-hak yang dapat dinikmati oleh Britania Raya meskipun telah keluar
dari Uni Eropa.
Pada tanggal 24 Juni 2016, hasil dari referendum Brexit diumumkan, hasilnya 51,9%
suara menginginkan Britania Raya untuk keluar dari Uni Eropa, dan 48,1% mendukung Britania
Raya untuk tetap tergabung dalam Uni Eropa.[52] Petisi yang menuntut pemerintah untuk
mengadakan referendum kedua pun menjadi populer paska referendum, dan petisi ini berhasil
menarik dukungan hingga empat juta tanda tangan.[53] Sejatinya petisi ini telah diunggah oleh
William Oliver Healey sebelum referendum dimulai, dan hanya mendapatkan dukungan 22 tanda
tangan hingga sampai hasil referndum diumumkan, petisi ini juga menuntut agar setidaknya
diadakan debat parlemen, karena Parlemen Britania Raya selalu mengadakan debat apabila
terdapat petisi yang dapat mengumpulkan lebih dari 100.000 suara, tetapi petisi ini ditolak oleh
pemerintah secara resmi pada 9 Juli 2016.

C. Dampak Pengaruh Keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa dalam Perdagangan
International

Brexit merupakan fenomena yang terjadi dalam lingkup Uni Eropa dan mantan
anggotanya Inggris. Inggris sebagai salah satu anggota terkuat Uni Eropa melihat bahwa
keanggotaannya tidak menguntungkan dan memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa, yang proses
penentuan keputusannya dipasrahkan melalui referendum. Hasil dari referendum menunjukkan
bahwa 52% dari rakyat Inggris setuju untuk keluar dari Uni Eropa.
Bagi kedua belah pihak, adanya Brexit ini membawa keuntungan dan kerugian secara
simultan. Baik Inggris dan Uni Eropa akan sama-sama menghadapi tantangan dan potensi yang
harus mereka lalui. Keuntungan bagi Inggris sebagai pihak yang merasa terbebani dengan
keanggotaannya di masa lalu adalah akan adanya keleluasaan dan kedaulatan yang lebih bagi
negaranya sendiri untuk mengatur berbagai hal krusial, seperti pengontrolan perbatasan, imigrasi
dan pengadilan. Selama ini, di bawah Uni Eropa, Inggris harus patuh dan mengikuti prosedur serta
sikap yang diambil Uni Eropa dalam menghadapi masalah migran dari negara-negara berkonflik.
Ini dianggap sebagai ancaman bagi Inggris yang merasa bahwa stabilitas negaranya juga
dipertaruhkan jika Uni Eropa menerima migran. Dengan keluarnya ia dari Uni Eropa, maka
Inggris tidak terobligasi untuk menerima migran-migran tersebut. Selain itu, ketidakstabilan
perekonomian di Uni Eropa yang selalu akan merembet ke setiap anggota-anggotanya akan dapat
dihindari oleh Inggris yang memang kuat secara ekonomi, menduduki posisi ke-5 secara global.
Namun, Inggris tentu memiliki harga yang harus ia bayar dengan keputusannya untuk
bercerai dari Uni Eropa. Inggris sebelumnya memiliki pasar sebesar 440 juta orang dalam wilayah
Uni Eropa, yang harus ia relakan ketika ia mengundurkan diri dari Uni Eropa. Perdagangannya
dengan negara-negara dalam Uni Eropa juga akan dipersulit dengan berbagai macam tarif ekspor
dan impor yang akan memengaruhi pengusaha Inggris. Ia juga harus melalui berbagai prosedur
pemeriksaan perbatasan yang tidak hanya memakan waktu, tetapi juga uang.
Sebagai pihak yang menginisiasi perceraian, Inggris harus membayar uang sejumlah 52
milyar euro yang berlaku sebagai kompensasi. Inggris juga kemudian harus menunggu proses
perceraian dari Uni Eropa sebelum ia dapat berunding secara bilateral dengan negara di dalam Uni
Eropa dan menjalankan perdagangan, yang akan menyakiti perekonomian Inggris lebih jauh lagi.
Selain itu, Inggris masih harus menjamin kesejahteraan 4 juta rakyat Uni Eropa yang ada di dalam
wilayah Inggris. Ini berarti Inggris harus siap menggelontorkan dana lagi untuk hal tersebut. Yang
kemudian menjadi permasalahan lain dari keluarnya Inggris dari Brexit adalah keinginan
Skotlandia sebagai bagian dari Britania Raya (Inggris) untuk berpisah atau merdeka dari Inggris
karena mereka masih ingin bergabung dengan Uni Eropa. Skotlandia sendiri kehilangan ribuan
pekerjaan dari aksi Brexit, yang memicunya untuk menjadi lebih vokal dalam wacana untuk
merdeka dari Inggris. Inggris harus dapat meyakinkan Skotlandia untuk bertahan atau setidaknya
menunda referendum sampai permasalahan perceraian Inggris dari Uni Eropa selesai untuk
menjaga kestabilan negaranya sendiri.
Uni Eropa, sebagai pihak yang ditinggalkan, juga ternyata harus mengalami kerugian-
kerugian yang besar meskipun sikapnya terhadap Inggris sangat lugas dan terkesan tidak
memohon Inggris untuk bertahan. Uni Eropa akan secara langsung dirugikan atas kehilangannya
mengingat Inggris adalah pilar perekonomiannya yang sangat kuat, tercermin dari segi nilai
poundsterling yang tinggi. Kemudian, Inggris juga menjadi pilar keamanan Uni Eropa, karena
hanya Inggris dan Prancis yang memiliki senjata nuklir dalam area Uni Eropa sebelum adanya
Brexit yang mengekslusi Inggris dari keanggotaan. Dengan adanya kekuatan Inggris tersebut, Uni
Eropa tidak dapat seenaknya menghambat perdagangan Inggris karena Inggris juga balik
mengancam Uni Eropa dengan dukungan pertahanannya tersebut. Pun demikian, Uni Eropa juga
akan terbebas dari kericuhan berupa eksistensi Inggris sendiri yang memang telah bemasalah dari
sejak bergabungnya Inggris ke dalam Uni Eropa. Inggris sendiri telah berkali-kali mengutarakan
keberatan dan ketidaksukaannya pada kebijakan Uni Eropa yang dianggap dapat menyakitinya,
terlebih ketika masa kepemimpinan PM Margaret Thatcher yang melegenda. Dan akhirnya,
dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa, ia akan dapat menjaga stabilitas di dalam kawasannya
sendiri. Uni Eropa hanya harus mencegah lahirnya Brexit yang lain, dan akan tercipta kohesivitas
yang lebih kuat di antara negara-negara Uni Eropa.
Negara-negara anggota Uni Eropa mengalami surplus neraca perdagangan sekitar 100
miliar euro dalam perdagangan dengan Inggris. Sementara nilai ekspor Inggris lebih besar 20
miliar euro ketimbang nilai impornya. Kondisi serupa juga berlaku di bidang jasa keuangannya.
Banyak ekonom memperkirakan Brexit akan setidaknya, untuk sementara, mengurangi
pertumbuhan Inggris. Faktor ketidakpastian juga akan memengaruhi permintaan domestik dan
melemahkan mata uang pound sterling. Ini akan berimplikasi terhadap kinerja ekspor Uni Eropa
ke Inggris, yang nilainya mencapai sekitar 2,6 persen dari total PDB Uni Eropa pada 2014.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dengan keluarnya Britania Raya dari anggota Uni Eropa memiliki banyak pengaruh atau
dampak dalam hal perdagangan international bahkan di sektor lainnya. Begitupun dengan
Britania Raya sendiri Brexit akan membuat Britania Raya lebih miskin dikarenakan munculnya
hambatan-hambatan baru terhadap perdagangan, investasi luar negeri, dan juga imigrasi. Uni
Eropa juga akan secara langsung dirugikan atas kehilangannya mengingat Inggris adalah pilar
perekonomiannya yang sangat kuat, dapat dilihat nilai poundsterling yang tinggi. Inggris juga
menjadi pilar keamanan Uni Eropa, karena hanya Inggris dan Prancis yang memiliki senjata nuklir
dalam area Uni Eropa sebelum adanya Brexit yang mengekslusi Inggris dari keanggotaan. Dengan
adanya kekuatan Inggris tersebut, Uni Eropa tidak dapat seenaknya menghambat perdagangan
Inggris karena Inggris juga balik mengancam Uni Eropa dengan dukungan pertahanannya tersebut.
Pun demikian, Uni Eropa juga akan terbebas dari kericuhan berupa eksistensi Inggris sendiri yang
memang telah bemasalah dari sejak bergabungnya Inggris ke dalam Uni Eropa

B. Saran

Sikap yang harus diambil Uni Eropa dalam keluarnya Britania Raya, mereka harus terus
menjaga kesetabilan ekonomi karena dengan keluarnya Inggris sangat berpengaruh dalam hal-hal
kesetabilan ekonomi begitu pun dengan perdagangan international yang harus di jaga
keseimabangannya. Dan bagi Britania Raya juga harus semakin memperkuat di sektor
pedagangan internationalnya karena dengan Britania Raya Keluar pasti akan ada hambatan-
hambatan yang akan terjadi dalam perdagangan international

Daftar Pustaka
Sukirno, Sadono (2004). “Perdagangan Internasional”. Yogyakarta: BPFE

https://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_Uni_Eropa

https://id.wikipedia.org/wiki/Brexit

https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/06/160627_dunia_inggris_ekonomi

https://medium.com/@striratnanityahayu/keuntungan-dan-kerugian-brexit-bagi-inggris-dan-uni-eropa-
c010c8f4c924

Anda mungkin juga menyukai