Anda di halaman 1dari 26

50

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Hasil Ekstrak Kulit Batang Kayu Jawa

Ekstraksi sampel kulit batang Kayu Jawa (Lannea coromendelica) basah

dan kering menggunakan metode maserasi dengan pelarut etil asetat dan etanol

70%. Karakterisasi sampel hasil ekstraksi Kayu jawa basah dengan pelarut etil

asetat (KJBEA) dan Kayu Jawa basah pelarut etanol 70% (KJBE70%) memiliki

warna coklat kehitaman dengan berbentuk semi padat dan bau khas sedangkan

ekstraksi Kayu jawa kering pelarut etil asetat (KJKEA) dan Kayu Jawa kering

pelarut etanol 70% (KJKE70%) memiliki warna coklat dengan dan berwujud

serbuk kering.

Hasil ekstrak yang diperoleh dari proses maserasi yaitu 10,05 gram ekstrak

kulit batang Kayu Jawa basah pelarut etil asetat dengan nilai rendeman 2,87%,

18,22 ekstrak kulit batang Kayu Jawa basah pelarut etanol 70% dengan nilai

rendeman 5,20%, 6,18 gram ekstrak kulit batang Kayu Jawa kering pelarut etil

asetat dengan nilai rendeman 1,76 %, 20,09 gram ekstrak kulit batang Kayu Jawa

kering pelarut etanol 70% dengan nilai rendeman 5,74%. Perbandingan hasil

rendeman dari ekstrak kulit batang Kayu Jawa basah dan kering dengan pelarut

etil asetat dan etanol 70% dapat dilihat pada gambar 4.1.
51

6 5.73
5.21
5
Rendeman (%)

2.87
3

2 1.76

0
KJBE70% KJKE70% KJKEA KJBEA

Jenis Ekstrak

Gambar 4.1: Hasil Persentase Rendemen

2. Hasil Skrining Fitokimia

Komponen yang terdapat dalam ekstrak kulit kulit batang Kayu Jawa

(Lannea coromendelica) golongan senyawanya dengan tes uji warna dengan

beberapa pereaksi untuk golongan senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, tanin,

steroid, triterpenoid dan fenol. Hasil skrining fitokimia kulit batang kayu jawa

dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.1: Hasil Skrining Fitokimia

Sampel
Identifikasi
Pereaksi
Senyawa KJBE70 KJKE70
KJKEA KJBEA
% %
Mayer - - + +
Alkaloid
Wagner - - + +
Serbuk
Flavonoid - + + +
Mg+HCL
Pb Asetat - - - +
Saponin H2O (Aquades) - + - +
52

Tanin FeCl3 + + - +
Steroid CH₃COOH dan H₂SO₄ - - - -
Terpenoid CH₃COOH dan H₂SO₄ - - - -
Fenol FeCl3 + + + +
Keterangan: (+) = Memberikan reaksi positif
(˗ ) = Memberikan reaksi negatif

3. Hasil Aktivitas Antioksidan

Aktivitas antioksidan ekstrak kulit batang Kayu Jawa (Lannea

coromendelica) basah dan kering pelarut etil asetat dan etanol 70% dilakukan

pengujian secara kuantitatif dengan menggunakan metode DPPH (2,2-difenil-1-

pikrilhidrazil). Pengukuran aktivitas antioksidan dilakukan dengan mengukur

absorbansi pada spektofotometer dengan panjang gelombang (λ) maksimum

larutan DPPH adalah 517 nm (Fatimah, 2016). Nilai absorbansi yang didapatkan

dari tiap pengujian selanjutnya digunakan untuk menghitung persentase

peredaman DPPH.

Hasil analisis menunjukkan data normal dan homogen dengan nilai

signifikansi lebih besar dari α = 0,05 sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk uji

Anova dan kemudian dilanjutkan dengan uji Tuckey. Hasil rata-rata % peredaman

DPPH sampel menunjukkan aktivitas standar BHT berbeda tidak nyata dengan

sampel ekstrak KJBEA dan berbeda sangat nyata terhadap sampel ekstrak

KJKEA, KJKE70%, dan KJBE70%. Berdasarkan data, sampel yang memiliki

aktivitas antioksidan paling tinggi adalah ekstrak kulit batang Kayu Jawa Basah

(KJBEA). Adapun hasilnya dapat dilihat pada grafik berikut.


53

100 92.84ᵈ
90
80
% Peredaman DPPH

70 63.9 ͨ
57.37ᵇ
60
50
40
31.27a
30
20
10
0
KJBE70% KJKE70% KJKEA KJBEA BHT
Sampel

Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan hasil yang “berbeda tidak nyata dan huruf yang
berbeda menunjukkan hasil yang “berbeda sangat nyata” berdasarkan uji Tuckey dengan taraf
kepercayaan α 0,05.

Gambar 4.2: Hasil Aktivitas Antioksidan ekstrak kulit batang Kayu Jawa.

4. Hasil Aktivitas Antibakteri

Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak kulit batang Kayu Jawa (Lannea

coromendelica) dilakukan dengan menggunakan dua macam pelarut yaitu etil

asetat dan etanol 70%, dengan masing-masing pelarut tersebut dibuat menjadi tiga

konsentrasi yaitu 5%, 10% dan 15%. Pengujian ini menggunakan metode difusi

dengan cara sumuran (hole/cup), yaitu dengan melihat diameter zona bening yang

terbentuk di sekitar kertas cakram dan diukur menggunakan jangka sorong.

Bakteri uji yang digunakan yaitu bakteri gram positif (Staphylococcus aureus) dan

bakteri gram negatif (Escherichia coli, Vibrio sp, dan Pseudomonas sp). Kontrol

positif yang digunakan sebagai pembanding adalah tetrasiklin dan kontrol negatif
54

menggunakan dimetil sulfoksida (DMSO). Adapun hasil dari pengujian aktivitas

antibakteri dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.2. Hasil Pengujian Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol 70% Kulit Batang
Kayu Jawa Basah (KJBE70%)

Bakteri Uji
Ekstrak
Pseudomonas
E. coli S. aureus Vibrio sp
sp
KN 7,00ª 7,00ª 7,00ª 7,00ª
KJBE70% 5% 7,00ª 11,31ᵇ 15,00ᵇ 11,82ªᵇ
KJBE70% 10% 7,00ª 12,99ᵇ 16,51ᵇͨ 12,31ªᵇ
KJBE70% 15% 7,00ª 14,15ᵇ 17,85ͨ 14,16ᵇ
KP 38,88ᵇ 40,23ͨ 36,57ᵈ 35,72ͨ

Keterangan: Huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan “berbeda tidak nyata”. Huruf yang
berbeda dalam satu kolom menunjukkan “berbeda nyata”. Huruf yang berbeda antar kolom
menunjukkan”sangat berbeda nyata.”Berdasarkan uji Tuckey dengan taraf kepercayaan α 0,05.

Tabel 4.3. Hasil Pengujian Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol 70% Kulit Batang
Kayu Jawa Kering (KJKE70%)

Bakteri Uji
Ekstrak
Pseudomonas
E. coli S. aureus Vibrio sp
sp
KN 7,00ª 7,00 ª 7,00 ª 7,00 ª
KJKE70% 5% 7,00 ª 7,00 ª 10,58ᵇ 7,00 ª
KJKE70% 10% 7,00 ª 7,00 ª 12,15ᵇͨ 10,98ᵇ
KJKE70% 15% 7,00 ª 7,00 ª 13,90ͨ 10,79ªᵇ
KP 38,71ᵇ 40,70ᵇ 36,69ᵈ 37,95ͨ
Keterangan: Huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan “berbeda tidak nyata”. Huruf yang
berbeda dalam satu kolom menunjukkan “berbeda nyata”. Huruf yang berbeda antar kolom
menunjukkan”sangat berbeda nyata.”Berdasarkan uji Tuckey dengan taraf kepercayaan α 0,05.

Tabel 4.4. Hasil Pengujian Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etil Asetat Kulit Batang
Kayu Jawa Kering (KJKEA)

Bakteri Uji
Ekstrak
E. coli S. aureus Pseudomonas Vibrio sp
55

sp
KN 7,00 ª 7,00 ª 7,00 ª 7,00 ª
KJKEA 5% 7,00 ª 11,99ᵇ 7,00 ª 7,00 ª
KJKEA 10% 7,00 ª 10,32ᵇ 7,00 ª 7,00 ª
KJKEA 15% 7,00 ª 11,09ᵇ 7,00 ª 7,00 ª
KP 38,53ᵇ 41,14ͨ 39,02ᵇ 39,40ᵇ
Keterangan: Huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan “berbeda tidak nyata”. Huruf yang
berbeda dalam satu kolom menunjukkan “berbeda nyata”. Huruf yang berbeda antar kolom
menunjukkan”sangat berbeda nyata.”Berdasarkan uji Tuckey dengan taraf kepercayaan α 0,05.

Tabel 4.5. Hasil Pengujian Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etil Asetat Kulit Batang
Kayu Jawa Basah (KJBEA)

Bakteri Uji
Ekstrak
Pseudomonas
E. coli S. aureus Vibrio sp
sp
KN 7,00 ª 7,00 ª 7,00 ª 7,00ª
KJBEA 5% 12,39ᵇ 14,40ᵇ 18,43ᵇ 17,50ᵇ
KJBEA 10% 12,75ᵇ 16,41ᵇ 18,55ᵇ 18,67ᵇ
KJBEA 15% 14,08ͨ 16,49ᵇ 19,88ᵇ 20,14ᵇ
KP 42,50ᵈ 41,89ͨ 37,73ͨ 40,15ͨ
Keterangan: Huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan “berbeda tidak nyata”. Huruf yang
berbeda dalam satu kolom menunjukkan “berbeda nyata”. Huruf yang berbeda antar kolom
menunjukkan”sangat berbeda nyata.”Berdasarkan uji Tuckey dengan taraf kepercayaan α 0,05.

B. Pembahasan

1. Penyiapan Sampel Kulit

Kulit Batang Kayu Jawa (Lannea coromandelica) merupakan bagian

tanaman yang digunakan pada penelitian ini. Kayu jawa yang menjadi sampel

penelitian diperoleh dari Pattojo, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Tanaman

ini banyak tumbuh liar ataupun sengaja ditanam sebagai tanaman pagar. Sebanyak

5 kg kulit batang segar disortasi basah untuk memisahkan dengan kotoran seperti

tanah ataupun bagian tanaman yang tidak digunakan dalam penelitian dan terbawa

pada saat proses pengumpulan sampel. Kulit batang selanjutnya dicuci dengan air
56

mengalir. Kulit batang yang telah dicuci diparut untuk memperbesar luas

permukaan sampel sehingga pelarut lebih mudah berpenetrasi ke dalam sel

sehingga penarikan senyawa kimia yang terkandung dalam sampel lebih

maksimal.

Pada penelitian ini digunakan dua macam sampel kulit batang Kayu Jawa

yaitu sampel basah dan kering. Sampel kulit batang Kayu Jawa yang sudah

diparut dinamakan simplisia basah sedangkan kulit batang Kayu Jawa yang sudah

diparut dan dikeringkan dinamakan simplisia kering. Pengeringan yang p ertama

dengan cara dikering-anginkan. Pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar

air serta menghentikan reaksi enzimatik yang dapat menyebabkan penguraian

atau perubahan kandungan kimia yang terdapat pada kulit batang. Selain itu,

pengeringan dilakukan di tempat yang terlindung dari cahaya matahari langsung.

Hal ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan terjadinya kerusakan pada

kandungan kimia kulit batang akibat pemanasan. Kulit batang yang telah kering

disortasi kering untuk memisahkan dari kotoran yang masih terbawa pada saat

proses pengeringan. Setelah itu, kulit batang Kayu Jawa dikeringkan didalam

oven suhu 40°C dengan waktu tertentu dan dinyatakan kering setelah menimbang

bahan sampai diperoleh berat konstan kemudian dihaluskan menggunakan blender

hingga diperoleh serbuk simplisia kering.

2. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat

menjadi komponen-komponen yang terpisah. Ekstraksi juga dapat diartikan

sebagai proses penarikan komponen atau zat aktif menggunakan pelarut tertentu.
57

(Ukieyanna et al., 2012). Prinsip dasar ekstraksi adalah melarutkan senyawa

dengan suatu pelarut sesuai dengan tingkat kepolarannya (Tarore et al., 2015).

Maserasi bertingkat merupakan suatu proses penyarian simplisia dengan

menggunakan lebih dari satu jenis pelarut berdasarkan tingkat kepolaran. Pelarut

yang digunakan adalah etil asetat yang bersifat semi polar dan etanol 70% yang

bersifat polar.

Menurut (Tiwari, et al. 2011), etanol lebih efisien dalam degradasi dinding

sel sehingga polifenol akan tersaring lebih banyak. Selain itu, flavonoid

ditemukan lebih tinggi pada penggunaan etanol pada proses ekstraksi. Etanol juga

mempunyai titik didih yang rendah dan cenderung aman, tidak beracun dan tidak

berbahaya. Konsentrasi etanol yang digunakan adalah 70% hal ini dikarenakan

semakin tinggi konsentrasi etanol maka akan semakin rendah tingkat kepolaran

pelarut yang digunakan (Phaza, 2010). (Aziz, et al. 2014) dalam penelitiannya

mengemukakan bahwa Konsentrasi optimal pelarut etanol adalah 70%. Etanol

dengan konsentrasi 70% sangat efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif

yang optimal, dimana bahan penganggu hanya skala kecil yang turut ke dalam

cairan pengekstraksi (Indraswari, 2008). Selain daripada itu, etanol 70 % mudah

ditemukan dan memiliki harga yang lebih ekonomis dibandingkan dengan etanol

90 %. Hougton dan Raman (1998) mengemukakan bahwa, Etil asetat merupakan

salah satu jenis pelarut semipolar. Pelarut yang bersifat semipolar digunakan

untuk melarutkan komponen yang bersifat polar sekaligus nonpolar. Pelarut

semipolar seperti etil asetat mampu melarutkan komponen dari golongan

alkaloida, aglikon dan gikosida.


58

Tujuan dari maserasi adalah untuk mengambil zat aktif yang ada di dalam

sampel kulit batang Kayu Jawa. Maserasi dipilih karena proses pengerjaan yang

mudah dan peralatan yang cukup sederhana. Metode ini merupakan metode

perendaman tanpa melibatkan panas sehingga tidak merusak senyawa yang tidak

tahan panas (Djarwis, 2004).

Ekstraksi yang lebih efisien bila dilakukan berulang kali dengan jumlah

pelarut yang lebih kecil, jika dibandingkan dengan jumlah pelarutnya banyak

tetapi ekstraksinya hanya sekali (Khopar, 2008). Sebanyak 1400 gram simplisia

dimaserasi selama 3 x 24 jam, dimana setiap 24 jam ekstrak disaring dan

residunya dimaserasi kembali menggunakan pelarut baru, Maserasi dilakukan

pada suhu ruang dan sesekali dibantu dengan pengadukan. Maserat hasil maserasi

kemudian dievaporasi untuk menguapkan pelarut yang terdapat pada ekstrak

sehingga dihasilkan ekstrak yang kental.

Ekstrak yang diperoleh selanjutnya dihitung rendemennya. Persen

rendemen ekstrak kulit batang Kayu Jawa basah pelarut etil asetat 2,87%, ekstrak

kulit batang Kayu Jawa basah pelarut etanol 70% 5,20%, ekstrak kulit batang

Kayu Jawa kering pelarut etil asetat 1,76 %, ekstrak kulit batang Kayu Jawa

kering pelarut etanol 70% 5,74%. Nilai persen rendemen ekstrak pelarut etanol

70% lebih besar daripada ekstrak pelarut etil asetat. Hal ini menunjukkan bahwa

jenis pelarut mempengaruhi jumlah ekstrak yang dihasilkan, ekstrak

menggunakan pelarut etanol 70% (polar) memiliki rendemen paling tinggi, diikuti

rendemen ekstrak dengan menggunakan pelarut etil asetat (semi polar).


59

Rendemen pada pelarut etil asetat lebih kecil dibandingkan dengan pelarut

etanol 70%, hal ini diduga adanya gugus metoksi yang terdapat pada struktur

kimia etil asetat. Adanya gugus metoksi tersebut yang menyebabkan etil asetat

dapat membentuk ikatan hidrogen dengan senyawa yang terdapat pada sampel.

Ikatan hidrogen yang terbentuk pada pelarut etil asetat lebih lemah dibandingkan

dengan ikatan hidrogen yang terbentuk pada pelarut etanol 70% sehingga

mempengaruhi hasil rendemen dari pelarut etil asetat yang lebih sedikit

(Romadanu, 2014).

Selain itu, pada ekstraksi cara kering tingkat kehalusan dan penghancuran

bahan lebih tinggi dibandingkan dengan cara basah yang masih berupa serbuk.

Semakin halus atau hancur bahan maka sel-sel pada bahan akan cepat rusak dan

pecah sehingga pelarut mudah masuk ke dalam sel bahan dan senyawa

didalamnya mudah terekstraksi. Disamping itu, ekstraksi menggunakan etanol

70% masih terdapat aquades sekitar 30% sehingga tidak penguapan pelarut tidak

sempurna. Harborne (1987) di dalam Lazuardi (2010) menyatakan bahwa struktur

molekul yang makin sederhana menyebabkan porositas atau pori-pori bahan

makin besar, sehingga pelarut makin mudah berdifusi ke dalam sel-sel bahan yang

diekstraksi.

Besar kecilnya nilai rendemen menunjukkan keefektifan proses ekstraksi,

keefektifan proses ekstraksi dapat dipengaruhi oleh jenis pelarut yang digunakan,

ukuran partikel sampel, lamanya waktu ekstraksi, dan metode ekstraksi yang

digunakan(Alviana et al., 2016). Selain itu perhitungan rendemen dilakukan

untuk mengetahui persentase jumlah ekstrak yang dihasilkan dari suatu sampel.
60

3. Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia bertujuan untuk mengetahui golongan senyawa

metabolit sekunder yang terkandung dalam ekstrak. Pengujian yang dilakukan

yaitu.

a. Alkaloid

Uji senyawa metabolid sekunder pada golongan alkaloid menggunakan

pereaksi wagner akan menghasilkan endapan coklat sedangkan pereaksi meyer

akan menghasilkan endapan putih kekuningan. Ekstrak KJKEA dan KJBEA

menunjukkan hasil positif yang ditandai dengan adanya endapan coklat dan

endapan putih kekuningan sedangkan pada ekstrak KJKE70% dan KJBE70%

menunjukkan hasil negatif ditandai dengan tidak adanya endapan yang terbentuk.

Alkaloid mengandung atom nitrogen yang mempunyai pasangan elektron bebas

sehingga dapat digunakan untuk membentuk ikatan kovalen koordinat dengan ion

logam. Pada uji alkaloid dengan pereaksi Mayer, diperkirakan nitrogen pada

alkaloid akan bereaksi dengan ion logam K+ dari kalium tetraiodomerkurat (II)

membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap ( Marliana et al., 2005).

b. Flavonoid

Flavonoid dapat diuji keberadaannya dengan menggunakan reagen Mg dan

HCl pekat, yang reaksi perubahannya akan membentuk warna kuning, merah atau

jingga pada ekstrak yang mengandung flavonoid. Pada identifikasi flavonoid

menggunakan uji Wilstater ekstrak KJKEA, KJBEA, dan KJBE70%

menunjukkan warna merah yang berarti positif adanya flavonoid sedangkan

ekstrak KJBE70% menunjukkan hasil negatif ditandai dengan tidak dihasilkannya


61

warna kuning, merah, atau jingga melainkan warna hijau. Magnesium dan asam

klorida pada uji Wilstater bereaksi membentuk gelembunggelembung yang

merupakan gas H2, sedangkan Logam Mg dan HCl pekat pada uji ini berfungsi

untuk mereduksi inti benzopiron yang terdapat pada struktur flavonoid sehingga

terbentuk perubahan warna menjadi merah atau jingga (Prashant et al., 2011).

Flavonoid adalah golongan pigmen organik yang tidak mengandung

molekul nitrogen. Pigmen ini merupakan antraktan bagi serangga dan merupakan

agen polinasi. Pigmen juga bermanfaat bagi manusia dan salah satu manfaat yang

penting adalah sebagai antioksidan (Singh et al., 2009).

c. Saponin

Identifikasi adanya saponin menggunakan pereaksi berupa aquades

menunjukkan pada ekstrak KJBEA dan KJKE70% positif saponin dibuktikan

dengan terbentuknya busa dan dapat bertahan tidak kurang dari 5 menit

sedangkan ekstrak KJKEA dan KJBE70% negatif saponin dikarenakan tidak

adanya busa terbentuk. Menurut Ihwan et al., (2018) Keberadaan saponin positif

jika ekstrak yang diuji membentuk busa dengan selang waktu 5 menit. Timbulnya

busa menunjukkan adanya glikosida yang mempunyai kemampuan membentuk

buih dalam air yang terhidrolisis menjadi glukosa dan senyawa lainnya ( Agustina

et al., 2014).

Menurut Agoes (2012), Saponin adalah senyawa aktif yang kuat dan

menimbulkan busa jika digosok dalam air sehingga bersifat seperti sabun dan

mempunyai kemampuan antibakterial. Saponin dapat meningkatkan permeabilitas

membran sel bakteri sehingga dapat mengubah struktur dan fungsi membran.
62

d. Tanin

Identifikasi terhadap senyawa tanin dilakukan melalui penambahan FeCl3.

Senyawa tanin adalah senyawa yang bersifat polar karena adanya gugus OH,

ketika ditambahkan FeCl3 10 % akan terjadi perubahan warna menjadi biru tua

atau hijau kehitaman yang menandakan adanya tanin (Agoes, 2012).

Ekstrak KJBE70%, dan KJKE70% menunjukkan adanya perubahan warna

menjadi hijau kehitaman, ekstrak KJBEA menunjukkan adanya perubahan warna

menjadi biru kehitaman sehingga ketiga ekstrak ini menandakan positif

mengandung tanin. Pada ekstrak KJKEA tidak dihasilkan warna biru tua atau

hijau kehitaman melainkan dihasilkan warna coklat yang menandakan tidak

mengandung senyawa tanin. Terbentuknya warna hijau kehitaman pada ekstrak

setelah ditambahkan FeCl3 1% dikarenakan tanin akan beraksi dengan ion Fe3+

membentuk senyawa kompleks (Harborne J.B, 1987)

Sifat antioksidan dari tanin berasal dari kemampuan untuk mentransfer

sebuah elektron ke senyawa radikal bebas, dengan mekanisme tersebut flavonoid

dan tanin memiliki efek yaitu menghambat peroksidasi lipid dan menekan

kerusakan jaringan oleh radikal bebas (Baud et al., 2014).

e. Fenol

Ekstrak KJBE70%, KJKE70%, KJKEA, dan KJBEA menunjukkan hasil

positif terhadap uji fenol. Hal ini dibuktikan dengan terbentuknya warna hijau

kehitaman yang menandakn positif fenol.

Fenol bersifat asam. Karena sifat gugus –OH yang mudah melepaskan diri,

Karakteristik lainnya adalah kemampuannya membentuk senyawa kelat dengan


63

logam, mudah teroksidasi dan membentuk polimer yang berwarna gelap (Pratt

dan Hudson, 1990).

f. Triterpenoid dan Steroid

Pada pengujian triterpenoid dan steroid analisis senyawa didasarkan pada

kemampuan senyawa tersebut membentuk warna dengan H2SO4 pekat dalam

pelarut asam asetat anhidrat, asam sulfat pekat dan kloroform. Hasil positif yaitu

adanya cincin cokelat atau violet untuk triterpenoid dan cincin biru kehijauan

untuk steroid (Wijayanti, 2016). Pengujian ini dihasilkan hasil negatif stiterpenoid

dan steroid dikarenakan tidak terbentuknya cincin coklat atau violet mapun cincin

kehijauan.

Pelarut yang bersifat polar dapat mengikat komponen senyawa fenolik

termasuk flavonoid dan tanin. Metanol lebih polar dibandingkan dengan etanol.

Senyawa yang diikat oleh etanol lebih bersifat nonpolar dibandingkan senyawa

yang terikat oleh metanol (Purwanti 2009). Menurut Mohamad et al. (2012)

senyawa fenolik yang mempunyai gugus fungsi hidroksil yang banyak atau dalam

kondisi bebas (aglikon) akan menghasilkan kandungan fenolik total yang tinggi

dan dapat berikatan dengan pelarut yang bersifat polar.

4. Aktivitas Antioksidan

Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH (2,2-

diphenyl-2-picrylhidrazyl), yaitu metode yang banyak dipilih karena proses

pengerjaannya sederhana dan menggunakan sampel dalam jumlah sedikit namun

tidak kalah sensitive dibandingkan dengan metode-metode lainnya (Pisochi at al.,

2009). Prinsip dari metode DPPH adalah interaksi antioksidan dengan DPPH baik

secara transfer elektron atau radikal hydrogen pada DPPH akan menetralkan
64

karakter radikal bebas dari DPPH. Jika semua elektron pada radikal bebas DPPH

menjadi berpasangan maka warna larutan dari ungu tua menjadi kuning terang

dan absorbansi diukur pada panjang gelombang 517 nm (Green, 2004; Gurav et

al, 2007).

Pembanding atau kontrol yang digunakan yaitu BHT (Butylated

Hydroxytoluene) merupakan salah satu antioksidan sintetik. Menurut ….. BHT

merupakan…Metanol dipilih sebagai pelarut karena metanol dapat melarutkan kristal

DPPH dan juga memiliki sifat yang dapat melarutkan komponen non polar di dalamnya

(Molyneux, 2004).

Diuji dalam konsentrasi 60 µM, Aktivitas antioksidan pada semua sampel

menunjukkan adanya pemudaran warna. Hasil pengukuran aktivitas antioksidan

sampel dengan metode DPPH dapat dilihat pada Lampiran 2. Data hasil

pengukuran antioksidan dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis

ragam (Anova) dan dilanjutkan dengan uji lanjut Tuckey pada tingkat

kepercayaan 95%. Hasil pengolahan statistik data hasil pengukuran aktivitas

antioksidan dengan metode DPPH dapat dilihat pada Lampiran 3. Data hasil

pengolahan analisis ragam menunjukkan bahwa nilai signifikansi sampel yang

diujikan diketahui bahwa ekstrak KJBE70%, KJKE70%, dan KJKEA terhadap

kontrol (BHT) sangat berbeda nyata sedangkan ekstrak KJBEA terhadap kontrol

(BHT) diperoleh hasil yang tidak berbeda nyata.

Gambar 4.3. menunjukkan bahwa, secara keseluruhan dari sampel

aktivitas antioksidan tertinggi terdapat pada BHT sebagai kontrol dengan

persentase peredaman 92,84% kemudian berturut-turut ekstrak KJBEA yaitu


65

92,84%, ekstrak KJKEA yaitu 63,90%, ekstrak KJKE70% yaitu 57,37%, dan

terendah pada ekstrak KJBE70% yaitu 31,27%.

Aktivitas antioksidan dari ekstrak dipengaruhi oleh keberadaan metabolit

sekunder suatu tanaman yang digunakan. Hasil uji fitokimia yang dilakukan

ekstrak KJBEA mengandung metabolit sekunder (Tabel 4.1) yang merupakan

golongan fenol. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Molyneux (2004) yang

menyatakan bahwa jika di dalam suatu bahan memiliki konsentrasi senyawa fenol

yang tinggi maka aktivitas antioksidan dalam bahan tersebut juga tinggi.

Aktivitas antioksidan dari suatu tumbuhan pada umumnya disebabkan oleh

adanya senyawa fenolik baik sebagai polifenol maupun fenol sederhana. Semakin

besar kandungan senyawa fenolik pada suatu tumbuhan maka semakin besar

aktivitas antioksidannya. Senyawa fenolik dapat berupa golongan flavonoid dan

tanin yang merupakan polifenol (Mohamad et al., 2012). Menurut Pratt dan

Hudson (1990), flavonoid sangat efektif digunakan sebagai antioksidan, begitu

juga dengan tanin yang dapat berfungsi sebagai antioksidan biologis (Malangngi

et al., 2012).

Fungsi kebanyakan flavonoid dalam tubuh manusia adalah sebagai

antioksidan sehingga sangat baik untuk pencegahan kanker selain itu flavonoid

baik untuk melindungi struktur sel, memiliki hubungan sinergis dengan vitamin C,

antiinflamasi, mencegah keropos tulang dan sebagai antibiotik (Haris, 2011).

Flavonoid sebagai antioksidan secara langsung adalah dengan mendonorkan ion

hidrogen sehingga dapat menetralisir efek toksik dari radikal bebas (Gutteridge et

al., 1999). Tanin merupakan senyawa makromolekul dari golongan polifenol yang
66

berisifat polar sehinga larut dalam pelarut polar (Fengel dan Wegener, 1995).

Fungsi tanin sangat kompleks mulai dari pegendap protein hingga penghelat

logam, selain berfungsi antioksidan tanin dalam dunia pengobatan berfungsi

sebagai pengobatan diare, hemostatik (menghentikan pendarahan) (Romadanu,

2014). Tanin dapat berfungsi sebagai antioksidan karena kemampuannya dalam

menstabilkan fraksi lipid dan keaktifannya dalam penghambatan lipoksigenase

(Zeuthen dan Sorensen, 2003).

5. Aktivitas Antibakteri

Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak KJBE70%, KJKE70%, KJKEA,

dan KJBEA dengan variasi tiga konsentrasi yaitu 5%, 10% dan 15% dilakukan

menggunakan metode difusi dengan cara sumuran (hole/cup), dasar pemilihan

metode ini dikarenakan keefektifan untuk menghambat pertumbuhan bakteri dan

zat aktif dapat berdifusi langsung tanpa penghalang kertas cakram (seperti pada

metode Kirby Bauer yang menggunakan kertas cakram). Selain itu, dengan

metode ini lebih mudah mengukur luas zona hambat yang terbentuk karena isolat

beraktivitas tidak hanya di permukaan atas nutrien agar tetapi juga sampai ke

bawah. Diameter zona hambat merupakan petunjuk kepekaan bakteri uji. Semakin

besar zona hambat maka daya antibakteri yang semakin baik (Panagan & Syarif,

2009; Haryanti et al., 2017). Pengujian ini dilakukan dengan tujuan melihat

kemampuan ekstrak Kayu Jawa dengan variasi konsentrasi dalam menghambat

pertumbuhan bakteri.

Bakteri uji yang digunakan adalah bakteri gram positif (Staphylococcus

aureus) dan bakteri gram negatif (Escherichia coli, Vibrio sp, dan Pseudomonas
67

sp). Penggunaan dua jenis bakteri tersebut bertujuan untuk untuk mengetahui

spektrum dari senyawa antibakteri yang terdapat pada ekstrak Kayu Jawa, dimana

dikatakan berspektrum luas apabila dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram

negatif dan gram positif, berspektrum sempit apabila hanya menghambat

pertumbuhan dari salah satu bakteri tersebut (Pelczar dan Chan, 1998).

Kontrol positif yang digunakan dalam penelitian ini adalah tetrasiklin.

Tetrasiklin dipilih karena berspektrum luas yaitu efektif untuk bakteri gram positif

dan gram negatif serta mikroorganisme lain. Mekanisme kerja tetrasiklin adalah

menghalangi terikatnya RNA pada bagian spesifik dari ribosom, akibatnya

sintesis protein mengalami hambatan (Widjajanti, 1988). Kontrol negatif yang

dugunakan adalah dimetil sulfoxida (DMSO) 100%. DMSO adalah senyawa

organosulfur, yang dapat melarutkan baik senyawa polar dan nonpolar dan larut

dalam berbagai pelarut organik maupun air (Pratiwi, 2008). Natheer (2012)

meneyebutkan bahwa kontrol negatif adalah pelarut yang digunakan sebagai

pengencer ekstrak, tujuannya agar kontrol negatif tidak mempengaruhi uji

aktivitas ekstrak.

Hasil pengujian antibakteri menunjukkan bahwa respon yang diberikan

oleh Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Pseudomonas sp, dan Vibrio sp

terhadap ekstrak dan tetrasiklin berbeda. Keempat bakteri tersebut lebih efektif

dihambat oleh tetrasiklin dibandingkan dengan ekstrak Kayu Jawa. Data yang

diperoleh dianalisis mengunakan SPSS IBM 22. Terlebih dahulu data dianalisis

untuk mengetahui data yang diperoleh peneliti berdistribusi normal. Selanjutnya

dilakukan analisis menggunakan uji One Way ANOVA dan dilanjutkan dengan
68

uji lanjut Tuckey pada selang kepercayaan 95%. Hasil pengolahan statistik data

dapat dilihat pada Lampiran 4, dimana huruf yang sama dalam satu kolom

menunjukkan “berbeda tidak nyata”, huruf yang berbeda dalam satu kolom

menunjukkan “berbeda nyata” dan huruf yang berbeda antar kolom menunjukkan

“sangat berbeda nyata” berdasarkan uji Tuckey dengan taraf kepercayaan α 0,05.

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa ekstrak KJBE70% dapat menghambat

pertumbuhan bakteri S. aureus, Pseudomonas sp, dan Vibrio sp pada konsentrasi

5%, 10% dan 15% namun tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri E. coli.

Semakin tinggi konsentrasi ekstrak KJBE70%, semakin besar diameter zona

hambat yang dihasilkan, artinya aktivitas antibakteri semakin tinggi tetapi

diameter tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan diameter kontrol positif.

Hasil yang paling optimum adalah pada konsentrasi ekstrak KJBE70% 15%

dengan bakteri uji Pseudomonas sp yaitu sebesar 17,85 mm.

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa ekstrak KJKE70% dapat menghambat

pertumbuhan bakteri Pseudomonas sp dan Vibrio sp pada konsentrasi 5%, 10%

dan 15% namun tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dan S.

aureus. Pada bakteri uji Pseudomonas Sp diameter zona hambat yang terbentuk

meningkat seiring dengan tingginya konsentrasi ekstrak tetapi diameter tersebut

lebih kecil jika dibandingkan dengan diameter kontrol positif, sedangkan pada

bakteri Vibrio Sp hasil optimum yaitu pada konsentrasi ekstrak KJKE70% 10%

yaitu sebesar 10,79 mm dan pada konsentrasi ekstrak KJKE70% 5% tidak

terbentuk zona hambat.


69

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa ekstrak KJKEA hanya dapat menghambat

pertumbuhan bakteri S. Aureus namun tidak dapat menghambat ketiga bakteri uji

lain yaitu E. coli, Pseudomonas sp, dan Vibrio Sp. Zona hambat terbesar

didapatkan pada konsentrasi berturut-turut 5%, 15%, dan 10% dengan nilai zona

hambat sebesar 11,99 mm, 10,32 mm, dan 11,09 mm, tetapi diameter tersebut

lebih kecil jika dibandingkan dengan diameter kontrol positif. Berdasarkan hasil

uji lanjut terhadap bakteri S aureus dapat disimpulkan bahwa terdapat

perbedaan nyata antara kontrol positif dengan perlakuan beberapa macam

konsentrasi ekstrak KJKEA 5%, 10%, dan 15% dan tidak ada perbedaan nyata

antara perlakuan beberapa macam konsentrasi ekstrak KJKEA.

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa ekstrak KJBEA dapat menghambat semua

bakteri uji yaitu E. coli, S. Aureus , Pseudomonas sp, dan Vibrio Sp. Semakin

tinggi konsentrasi ekstrak KJBEA, semakin besar diameter zona hambat yang

dihasilkan, artinya aktivitas antibakteri semakin tinggi tetapi diameter tersebut

lebih kecil jika dibandingkan dengan diameter kontrol positif. Hasil optimun

didapatkan pada konsentrasi ekstrak KJBEA 15% dengan bakteri uji Vibro Sp

terbentuk zona hambat sebesar 20,14 mm sedangkan hasil minimum didapatkan

pada bakteri uji E. coli dengan diameter zona hambat sebesar 14,08 mm.

Davis and Stout (1971) mengemukakan apabila diameter zona hambat

yang terbentuk memiliki nilai 0-5 mm maka daya antibakterinya lemah, apabila

zona hambat yang terbentuk 5-10 mm maka daya antibakterinya sedang,

sedangkan 10-20 mm maka daya antibakterinya kuat dan >20 mm daya

antibakterinya sangat kuat.


70

Pelczar dan Chan (1998) mengemukakan bahwa setiap bakteri memiliki

kerentanan yang berbeda terhadap sifat fisik dan kimia yang dimiliki oleh

senyawa antibakteri. Selain itu, sifat resistensi terhadap senyawa antibakteri dapat

disebabkan oleh sifat yang dimiliki mikroorganisme itu sendiri. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa zona hambat yang terbentuk antara pelarut yang satu

dengan lainnya berbeda. Perbedaan zona hambat yang terbentuk menandakan

bahwa senyawa bioaktif yang terkandung dalam ekstrak kulit batang Kayu Jawa

pada pelarut yang berbeda. Talaro et al., (2009) menambahkan bahwa aktivitas

antibakteri dipengaruhi oleh konsentrasi ekstrak, kandungan senyawa

antibakteri, daya difusi ekstrak dan jenis bakteri yang dihambat.

Ekstrak KJBE70%, KJKE70%, dan KJBEA memiliki daya hambat lebih

besar pada bakteri Pseudomonas sp dan Vibrio sp yang termasuk golongan bakteri

gram negatif tetapi pada bakteri E.coli dengan golongan bakteri yang sama, zona

hambat yang terbentuk lebih kecil dibandingkan dengan bakteri S aureus yang

termasuk golongan bakteri gram positif. Sementara itu ekstrak KJKEA hanya

mampu menghambat bakteri S aureus dan tidak dapat menghambat ketiga bakteri

uji yang lain yang termasuk golongan bakteri gram negatif,

Perbedaan zona hambat yang terjadi pada bakteri S aureus dan E coli

disebabkan karena adanya perbedaan struktur dinding sel antara kedua bakteri

yang mempengaruhi kerja ekstrak sebagai senyawa antibakteri. Artinya ekstrak

kulit batang Kayu Jawa baru dapat menimbulkan efek jika ekstrak tersebut dapat

masuk ke dalam sel bakteri yang diuji. Alni et al, (2011) berpendapat bahwa

bakteri gram positif memiliki struktur gram dinding sel dengan lebih banyak
71

peptidoglikan, sedikit lipid dan dinding sel mengandung polisakarida (asam

teikoat). Asam teikoat merupakan polimer yang larut dalam air, yang berfungsi

sebagai transport ion positif untuk keluar atau masuk. Karena sifat larut air inilah

yang menunjukkan bahwa dinding sel bakteri gram positif bersifat lebih polar.

Senyawa flavonoid dan tanin merupakan bagian yang bersifat polar sehingga lebih

mudah menembus lapisan peptidoglikan yang bersifat polar dari pada lapisan lipid

yang non polar. Hal tersebut menyebabkan aktivitas penghambatan pada bakteri

gram positif lebih besar dari pada bakteri gram negatif.

Bakteri E. coli memiliki struktur dinding sel yang lebih kompleks

dibandingkan bakteri S.aureus. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Jawetz et al

(2007) E. coli adalah bakteri gram negatif yang resisten terhadap beberapa

antibakteri hal ini disebabkan karena tiga lapisan dinding sel pada bakteri ini,

sehingga beberapa senyawa tidak mampu merusak jaringan dari dinding sel

bakteri E.coli. Dinding sel bakteri gram negatif mengandung tiga polimer yaitu

lapisan luar lipoprotein, lapisan tengah lipopolisakarida dan lapisan dalam

peptidoglikan dan membran luar berupa bilayer (mempunyai ketahanan lebih baik

terhadap senyawa – senyawa yang keluar atau masuk sel dan menyebabkan efek

toksik). Helmiyati dan Nurrahman (2010) menambahkan bahwa pada dasarnya

dinding sel yang paling mudah terjadi denaturasi adalah dinding sel yang tersusun

oleh polisakarida di bandingkan dengan dinding sel yang tersusun oleh fosfolipid.

Gram positif dinding selnya mengandung peptidoglikan dan juga asam teikoat dan

asam teikuronat. Oleh sebab itu dinding sel bakteri gram positif sebagian adalah

polisakarida. Sedangkan pada dinding sel bakteri gram negatif terdapat


72

peptidoglikan yang sedikit sekali dan berada diantara selaput luar dan selaput

dalam dinding sel. Dinding sel bakteri gram negatif sebelah luar merupakan

komponen yang terdiri dari fosfolipid dan beberapa protein yang sering disebut

sebagai auto layer. Dapat disimpulkan bakteri gram positif mengalami proses

denaturasi sel terlebih dahulu dibandingkan dengan bakteri gram negatif.

Ekstrak KJKEA dengan bakteri uji S aureus dihasilkan zona hambat

terbesar pada konsentrasi terendah yaitu 5%. Perbedaan besar zona hambat

tersebut dikarenakan adanya perbedaan konsentrasi pada ekstrak. Hal ini sesuai

dengan yang dikatakan oleh Auliyah (2016), bahwa semakin tinggi kadar

konsentrasi ekstrak, maka semakin tinggi pula jumlah senyawa atau kandungan

zat aktif di dalamnya dalam menghambat bakteri, sehingga terbentuknya zona

hambat yang sangat kuat, karena kerja zat aktif antibakteri pada bahan uji.

Sementara itu peningkatan konsentrasi dari 5%, 10%, dan 15% tidak

menunjukkan peningkatan yang signifikan zona hambat. Dengan perkataan lain

pada konsentrasi 10% dan 15% zona hambat yang terbentuk lebih kecil

dibandingkan dengan konsentrasi 5%. Hal ini dapat disebabkan oleh karena

kepekatan stok konsentrasi 10% dan 15% yang lebih pekat sehingga mengurangi

daya difusi pada media. Dengan demikian meskipun konsentrasi bertambah, tetapi

banyaknya zat bioaktif yang dapat berdifusi ke dalam medium lebih sedikit,

sehingga pengaruhnya pada pembentukan zona hambat juga sedikit (Tauchid et

al., 2012). Menurut Dewi (2010), diameter zona hambat tidak selalu naik

sebanding dengan naiknya konsentrasi antibakteri, kemungkinan ini terjadi karena

perbedaan kecepatan difusi senyawa antibakteri pada media agar serta jenis dan
73

konsentrasi senyawa antibakteri yang berbeda juga memberikan diameter zona

hambat yang berbeda pada lama waktu tertentu.

Ekstrak KJKE70% dengan bakteri uji Vibrio Sp, konsentrasi yang

memberikan hambatan antibakteri terbesar adalah 10% sedangkan konsentrasi 5%

tidak mempu terbentuk zona hambat. Hal ini dapat dijelaskan bahwa konsentrasi

ekstrak 5% memiliki konsentrasi yang kecil sehingga belum mampu

menyebabkan terjadinya perubahan sistem fisiologis sel bakteri uji, sehingga

bakteri masih dapat tumbuh (Darmayasa, 2008). Hal ini terbukti ketika

konsentrasi ditambah, daya hambat mulai tampak yaitu pada konsentrasi 10% dan

15%.

Ekstrak KJBEA merupakan satu-satunya ekstrak yang dapat menghambat

semua bakteri uji. Alamsyah, et al. (2014), melaporkan hasil penelitiannya pada

uji aktivitas bakteri ekstrak rumput laut (Sargassum cinereum) dengan

menggunakan tiga pelarut (etil asetat, metanol dan n-heksan) diperoleh hasil

bahwa ekstrak etil asetat memiliki daya hambat paling efektif terhadap bakteri

Escherichia coli dibanding dengan ekstrak yang menggunakan metanol dan n-

heksan. Hal ini diduga karena etil asetat memiliki sifat hidrofilik dan lipofilik

sehingga polaritas menjadi optimum dan zat antimikroba yang diperoleh menjadi

maksimal (Harborne, 1987).

Zona hambat yang terdapat pada penelitian ini dapat dihubungkan

dengan adanya senyawa yang terkandung di dalamnya. Sesuai dengan skrining

fitokimia ekstrak kulit batang Kayu Jawa yang ditampilkan pada table 4.1 bahwa
74

setiap ekstrak memiliki kadar metabolit sekunder yang berbeda-beda sesui dengan

kemampuannya menghambat bakteri juga berbeda.

Senyawa metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin

memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu

senyawa alkaloid mampu menghambat pertumbuhan bakteri, Hal ini didukung

oleh Naim (2005) yang menyatakan bahwa yang menyatakan bahwa alkaloid

merupakan senyawa nitrogen heterosilik yang banyak terkandung pada tanaman

dan dan digunakan sebagai bahan antimikrobial karena mampu membunuh bakteri

dengan cara merusak DNA bakteri tersebut. Mekanisme lain dari alkaloid adalah

terdapatnya gugus basa yang mengandung nitrogen akan bereaksi dengan

senyawa asam amino yang menyusun dinding sel dan DNA bakteri. Reaksi ini

mengakibatkan terjadinya perubahan struktur susunan asam amino. sehingga akan

menimbulkan perubahan keseimbangan genetik pada rantai DNA sehingga akan

mendorong terjadinya lisis sel yang akan menyebabkan kematian sel pada

mikroba (Rinawati, 2011). Flavonoid mempunyai aktivitas antimikroba dengan

mengganggu fungsi metabolisme melalui perusakan dinding sel dan

mendenaturasi protein mikroba. Menurut Cowan (1999) senyawa flavon,

flavonoid dan flavonol merupakan senyawa fenolik yang diketahui disintesis oleh

tanaman sebagai respon terhadap infeksi mikroba. Mekanisme kerja sebagai

antibakteri kerena kemampuan untuk membentuk kompleks dengan protein

ekstraseluler dan terlarut dengan dinding sel mikroba.

Senyawa tanin dapat mengkerutkan dinding sel atau membran sel sehingga

mengganggu permeabilitas sel itu sendiri. Akibat terganggunya permeabilitas, sel


75

tidak dapat melakukan aktivitas hidup sehingga pertumbuhannya terhambat atau

bahkan mati (Kusumawati et al., 2017). Saponin memiliki aktivitas antimikroba

dengan menggangggu tegangan permukaan dinding sel. Saat tegangan permukaan

terganggu zat antimikroba akan dengan mudah masuk kedalam sel dan akan

mengganggu metabolisme hingga akhirnya terjadilah kematian sel bakteri

(Karlina et al., 2013). Berdasarkan beberapa penelitian diatas dapat diduga bahwa

aktivitas antibakteri kulit batang Kayu Jawa berasal dari metabolit sekunder yang

terkandung pada masing-masing ekstrak.

Anda mungkin juga menyukai