MODUL I : KUNING
OLEK KELOMPOK IX :
Ilham 105421104717
Darmianti. DN 105421104917
Faradiba 105421108317
FAKULTAS KEDOKTERAN
2019-2020
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum. Wr. Wb
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT dengan karunianya kami dapat
menyelesaikan laporan PBL Modul 1 GASTROENTERO HEPATOLOGI. Meskipun banyak
hambatan yang kami alami dalam proses pengerjaannya, tapi kami berhasil menyelesaikan
laporan ini tepat pada waktunya.
Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada Tutor pembimbing kami yang telah
membantu dalam pengerjaan laporan ini.Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-
teman kelompok 9 yang sudah memberi kontribusi langsung dalam pembuatan laporan ini.
Kami menyadari bahwa dalam laporan ini masih jauh dari kesempurnaan untuk itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna sempurnanya laporan ini.
Kami berharap laporan ini dapat bermanfaat untuk semua orang.
Kelompok 9
Modul I
Kuning
Skenario
Seorang Ibu datang ke Rumah Sakit membawa bayi perempuannya yang baru berumur 3
hari dengan keluhan kulit bayi berwarna kuning. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda
yang signifikan selain kulit dan mata bayi tampak kuning. Bayi dilahirkan cukup bulan melalui
persalinan normal yang dibantu oleh Bidan Polindes (Pondok Bersalin Desa). Ibu berumur 40
tahun dan selama menjalani kehamilan tidak memiliki keluhan kesehatan yang berarti.
Kata Sulit
Identifikasi Masalah
1. Metabolisme Bilirubin
Pada individu normal, pembentukan dan eskresi bilirubin berlangsung melalui
langkah-langkah pada gambar.dalam system Sekitar 80% hingga 85% terbentuk dari
pemecahan eritrosit tua dalam sistem monosit makrofag. Masa hidup rata-rata eritrosit
adalah 120 hari. Setiap hari dihancurkan sekitar 15-20% pigmen empedu total tidak
bergantung pada mekanisme ini, tetapi berasal dari destruksi sel eritrosit matur dalam
sum-sum tulang (hemtopoiesis tak efektif ) dan dari hemoprotein lain, terutama hati.
Pada katabolisme hemoglobin ( terutama terjadi dalam limpa), globin mula-mula
dipisahkan dari heme, setelah itu heme di ubah menjadi biliverdin. Biliverdin tak
terkonjugasi kemudian dibentuk dari biliverdin. Bilirubin adalah pigmen kehijauan yang
dibentuk melalui oksidasi bilirubin. Bilirubin tak terkonjugasi larut dalam lemak, tidak
larut dalam air, dan tidak dapat di ekskresi dalam empedu atau urin.Bilirubin tak
terkonjugasi berikatan dengan albumin dalam suatu kompleks larut air, kemudian di
angkut oleh darah ke sel-sel hati. Metabolisme bilirubin di dalam hati berlangsung dalam
tiga langkah : ambilan, konjugasi, dan ekskresi. Ambilan oleh sel hati memerlukan dua
protein hati, yaitu yang di beri symbol sebagai protein Y dan Z. Konjugasi bilirubin
dengan asam glukuronat dikatalisis oleh enzim glukoronil trnsferase dalam reticulum
endoplasma.Bilirubin terkonjugasi tidak larut dalam lemak tetapi larut dalam air dan
dapat di sekresi dalam empedu dan urine. Langkah terakhir dalam metabolisme bilirubin
hati adalah transport bilirubin terkonjugasi melalui membrane sel ke dlaam empedu
melalui suatu proses aktif. Bilirubin tak terkonjugasi tidak di ekskresi ke dalam empedu,
kecuali setelah proses foto-oksidasi atau fotoisomerisasi.
Bakteri usus mereduksi bilirubin terkonjugasi menjadi serangkaian senyawa yang
disebut sterkobilin atau urobilinogen. Zat-zat ini menyebabkan feses berwarna
coklat.Sekitar 10-20% urobilinogen mengalami siklus enterohepatik, sedangkan sejumlah
kecil diekskresi dalam urin.
2. Etiologi ikterus
a) Prehepatik
Peningkatan hemolisis
Contohnya : Anemia hemolitik
b) Intrahepatik
Peningkatan bilirubin direct ataupun indirect bisa karena hepatitis infeksiosa,
alcohol, reaksi obat.
c) Posthepatik
Adanya penyumbatan baik oleh batu ataupun tumor yang menyumbat saluran
empedu
- Peningkatan bilirubin II > 1 mg/dL bila bilirubin total < 5 mg/dL atau > 20% dari
bilirubin total bila bilirubin total > 5 mg/dL
5. Langkah Diagnostik
Anamnesis Tambahan
Pemeriksaan Fisis
Inspeksi
- Lokasi jaundice ( untukmenentukan Kramer)
- Warna Urine : seperti berwarna gelap atau normal
- Warna Feses : dempul, abu-abu atau normal
Palpasi
- Adanya splenomegali atau tidak
6. Differential Diagnosis
A. Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang maupun
cukup bulan selama minggu pertama kehidupan yang frekuensinya pada bayi cukup
bulan dan kurang bulan berturut turut 50-60% dan 80%. Untuk kebanyakan bayi
fenomena ini ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan.Ikterus fisiologis tidak
disebabkan oleh factor tunggal tapi kombinasi dari beberapa factor yang berhubungan
dengan maturitas fisiologis bayi baru lahir. Peningkatan kadar bilirubin tidak
terkonyugasi dalam sirkulasi pada bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan
ketersediaan bilirubin dan penurunan clearance bilirubin.
Peningkatan ketersediaan bilirubin merupakan hasil dari produksi bilirubin dan early
bilirubin yang lebih besar serta penurunan usia sel darah merah. Resirkulasi aktif
bilirubin dienterohepatik, yang meningkatkan kadar serum bilirubin tidak terkonjugasi,
disebabkan oleh penurunan bakteri flora normal, aktifitas beta glukuronidase yang tinggi
dan penurunan motilitas usus halus.
1. Bilirubin selama janin dieksresi melalui plasenta ibu sekarang harus diekskresi bayi
sendiri
3. Umur (lama hidup) RBC pada neonatus lebih singkat serta ukuran RBC lebih besar
4. Kadar tertinggi bilirubin total < 15 mg/dL dan bilirubin direk < 2 mg/dL
Tampilan ikterus dapat ditentukan dengan memeriksa bayi dalam ruangan dengan
pencahayaan yang baik, dan menekan kulit dengan tekanan ringan untuk melihat warna
kulit jaringan subkutan. Ikterus pada kulit bayi tidak terperhatikan pada kadar bilirubin
kurang dari 4 mg/dL.
Pemeriksaan fisis harus difokuskan pada identifikasi dari salah satu penyebab
ikterus patologis. Kondisi bayi harus diperiksa pucat, petekie, ekstravasasi darah, memar
kulit yang berlebihan, hepatosplenomegali, kehilangan berat badan dan bukti adanya
dehidrasi.
Manejemen
Berbagai cara telah digunakan untuk mengelolah bayi baru lahir dengan
hiperbilirubinemia indirek. Strategi tersebut termasuk pencegahan, penggunaan
farmakologi, fototerapi dan tranfusi tukar.
Patogenesis
Mekanisme penyakit anemia defisiensi G6PD telah banyak diteliti dimana anemia jenis
ini :
a. Timbul karena mutasi gen yang mengkode rangkaian asam amino enzim G6PD yang
terletak pada lengan panjang dari kromosom-x. Enzim ini sangat diperlukan untuk
mempertahankan eritrosit dari proses oksidasi akibat obat, infeksi, dan lain-lain.
b. Secara elektroforetik ada 2 tipe isoensim, yaitu :
- Tipe A : khusus pada orang negro.
- Tipe B : varian normal terbanyak.
c. Defisiensi G6PD menyebabkan NADPH menurun sehingga reduced glutationjuga
menurun yang menyebabkan eritrosit mudah terkena bahan oksidan yang mengakibatkan
kerusakan membran dan pembentukan Heinz’s bodiesjika eritrosit mendapat pemaparan
obat tertentu aau bahan toksis. Eritrosit yang mengalami keruskan ini difagositir RES,
jika berat dapat menimbulkan hemolisis intravaskuler. Jika tidak terjadi pemaparan,
eritrosit akan berfungsi normal.
Hemolisis
Penyebab hemolisis
Hemolisis pada anemia defisiensi G6PD dapat dipicu oleh beberapa hal seperti :
Gambaran klinik
Sebagian besar penderita defisiensi G6PD tidak bergejala dan tidak mengetahui
kondisinya. Penyakit ini muncul apabila eritrosit mengalami stres oksidatif dipicu obat,
infeksi, maupun konsumsi kacang fava. Hemolisis akut pada penderita defisiensi G6PD
biasanya ditandai dengan rasa lemah, nyeri punggung, anemia dan ikterus. Terjadi
peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, laktat dehidrogenase dan retikulositosis.
1. Anemia Hemolitik Terinduksi Obat
Hemolisis dan ikterus klinis biasanya muncul24-72 jam setelah konsumsi obat.
Urin berwarna gelap akibat hemoglobinuria merupakan tanda khas. Anemia memburuk
hingga 7-8 hari, kadar hemoglobin akankembali meningkat setelah 8-10 hari
obatdihentikan. Heinz bodies (Gambar 5) di darah tepi yang merupakan presipitat
hemoglobin terdenaturasi merupakan tanda khas pada pemeriksaan apusan darah.
2. Anemia Hemolitik Terinduksi Infeksi
Infeksi merupakan penyebab hemolisis tersering pada penderita defisiensi G6PD.
Beberapa infeksi yang dapat mencetuskannya antara lain infeksi virus Hepatitis A dan
B, Cytomegalovirus, pneumonia dan demam tifoid. Beratnya hemolisis dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain pemberian obat, fungsi hati dan usia. Pada hemolisis berat,
transfusi darah segera memperbaiki luaran. Komplikasi serius akibat infeksi virus
hepatitis pada penderita defisiensi G6PD adalah gagal ginjal akut; dapat disebabkan
nekrosis tubular akut akibat iskemi ginjal maupun obstruksi tubular karena hemoglobin
cast. Beberapa pasien mungkin memerlukan hemodialisis.
3. Favisme
Konsumsi fava beans/kacang fava dapat menyebabkan hemolisis dan kondisi ini
disebut favisme. Favisme ditemukan di negara-negara Mediterania, Timur Tengah dan
Afrika Utara, tidak ditemukan di Indonesia. Tidak semua penderita defisiensi G6PD
yang memakan kacang fava menderita favisme, dapat terjadi respons berbeda-bedadari
individu yang sama tergantung kesehatan pasien dan jumlah kacang fava yang
dikonsumsi. Divicine, isouramil danconvicine diperkirakan sebagai bahan toksik dari
kacang fava yang meningkatkan aktivitas hexose monophosphate shunt, sehingga
mmenyebabkan hemolisis pada penderita defisiensi G6PD.
Favisme menyebabkan anemia hemolitik akut, biasanya 24 jam setelah kacang
fava dikonsumsi. Hemoglobinuria yang muncul lebih berat dibanding yang disebabkan
oleh induksi obat maupun infeksi meskipun kadar bilirubinnya lebih rendah. Hemolitik
akibat favisme dapat terjadi intravaskular maupun ekstravaskular dan dapat
menyebabkan gagal ginjal akut.
4. Ikterus Neonatorum
Sepertiga neonatus laki-laki ikterus neonatorum menderita defisiensi G6PD
,insidens pada neonatus perempuan lebih jarang. Ikterus biasanya muncul pada umur 1-4
hari, mirip ikterus fisiologis. Karena ikterus jarang terjadi, dapat menyebabkan
kerusakan saraf yang bersifat permanen jika tidak segera ditangani. Ikterus neonatorum
lebih berat pada bayi defisiensi G6PD prematur. Jika skrining defisiensi G6PD tidak
rutin dilakukan, pemeriksaan lebih seksama perlu dilakukan pada neonatus yang
menderita hiperbilirubinemia >150 mmol/L dalam 24jam pertama atau memiliki saudara
dengan riwayat ikterus neonatorum.
5. Anemia Hemolitik Non-sferosis Kongenital
Pada beberapa pasien, varian defisiensi G6PD dapat menyebabkan hemolisis
kronik yang disebut anemia hemolitik non-sferosis kongenital. Kondisi ini dapat muncul
sporadis. Diagnosis didasarkan pada temuan klinis bahwa kelainan ini ditemukan sejak
bayi atau kanak-kanak. Kebanyakan pasien memiliki riwayat ikterus neonatorum yang
berat, anemia kronik yang dieksaserbasi oleh stres oksidatif yang biasanya memerlukan
transfusi darah, adanya retikulositosis, batu empedu dan splenomegali. Kadar bilirubin
dan LDH meningkat dan hemolisisnya terjadi terutama ekstravaskular.
Gambaran laboratorium
Diagnosis
Diagnosis pasti defisiensi G6PD didasarkan pada aktivitas enzimatik dengan analisis
kuantitatif spektrofotometri tingkatproduksi NADPH dari NADP. Untuk skrining cepat
beberapa metode semikuantitatif telah dikembangkan seperti dye-decolouration test oleh
Motulsky dan tes fluorescent spot yang mengindikasikan defisiensi G6PD jika spot darah
tidak berfluoresen di bawah sinar ultra violet. Tes fenotip aktivitas enzimatik G6PD pada
darah vena segar merupakan metode diagnostik yang paling umum. Tes fenotip dapat dibagi
menjadi 4 kategori :
a. Tes direk yang langsung menilai aktivitas enzimatik G6PD. Standar perhitungan adalah
berdasarkan spektrofotometer. Tes spotfl uorescent Beutler’s merupakan tes skrining
populer yang menginkubasi hemolisat dengan substrat reaksi G6PD, ditempatkan di
kertas filter dan disinari ultra violet (450nm). Fluoresensi menunjukkan aktivitas G6PD.
Tes ini paling mudah meskipun masih jauh dari ideal.
b. Tes indirek yang mencakup tes reduksi methemoglobin. Sel eritrosit direaksikan dengan
nitrit dan substrat glukosa kemudian tingkat NADPH-dependent
methaemoglobinreduction dinilai dengan katalis redoks. Derajat NADPH-dependent
methaemoglobinreduction berkorelasi dengan aktivitas G6PD. Metode indirek lain
menggunakan kromofor seperti brillian cresil blue, resazurin, formazan untuk memantau
produksi NADPH.
c. Tes sitokimia yang menilai status G6PD eritrosit, dapat digunakan untuk deteksi laki-laki
defisiensi homozigot, perempuan defisiensi homozigot dan heterozigot. Tes sitokimia
mencakup methaemoglobin elutiontest dengan melabel eritrosit berdasarkan jumlah
relatif methemoglobinnya sesuai metode indirek dengan tes reduksimethe-moglobin.
Metode terbaru sitofluorometrik mendeteksi autofluoresens terinduksi glutaral-dehid
dengan formazan yang menggunakan teknik flowsitometri. Tes cepat dengan point of
care tests (POCT).
Terapi
Terapi anemia defisiensi G6PD tergantung dari derajat penyakit. Yang terpenting adalah
menghentikan obat yang memicu terjadinya hemolisis. Jika terjadi hemolisis intravaskuler
berat, tetapi terpenting ditujukan untuk mempertahankan fungsi ginjal. Pertahankan output
urine, atasi syok jika terjadi anemia berat dapat diberikan transfusi.
Epidemiologi
Kejadiannya sangat jarang terjadi. Menurut Haide A dkk menyebutkan bahwa
frekuensi terjadinya penyakit ini hanya 0,6 per satu juta kelahiran.
Etiologi
Herediter.
Faktor risiko
Menurut Mukherjee, dkk, bayi yang dilahirkandariperkawinansesamesaudara
(consangineaous marriage) berkaitandengan faktor risikotimbulnya CN2 pada bayinya.
ManifestasiKlinis
Satu-satunya gejala yang ditunjukkan adalah jaundice atau icterus pada 3 hari
pertama kehidupan dimana keadaan ini diakibatkan karena hiperbilirubinemia tidak
terkonjugasi berat. Keadaan tersebut dapat bertahan (persisten) melewati 1 minggu
kehidupan. Pada pemeriksaan didapatkan feses berwarna pucat (CN1). Komplikasi
kernicterus sering terjadi.
Keadaan yang terjadi pada CN2, hampir sama dengan yang terjadi pada CN1
tetapi pada penyakit ini ditunjukkan bahwa hiperbilirubinemia yang terjadi bukan hanya
akibat bilirubin tak terkonjugasi melainkan juga karena bilirubin terkonjugasi atau
bilirubin direk. Sehinggawarnafeses yang didapatkansaatpemeriksaanfisikberwarna
normal.Keadaan inijarangmenimbulkankomplikasi kernicterus.
Patomekanisme
(Sumber: https://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-crigler.pdf)
Langkah-langkah diagnostik
Anamnesis Tambahan
Pencegahan
a. Konseling genetik sebelumhamil
b. Asamfolat 10mg/hariselamakehamilan
c. Maternal bilirubin serum harus<10mg/dl
d. Pemberianphenobarbitonedosisrendah 60mg/hari
e. Hindariobat-obatan yang meningkatkan bilirubin takterkonjugasiseperti sulfonamide,
salisilat, furosemide, ampicillin, dan ceftriaxone.
D. Inkomptabilitas “ABO”
Inkompatibilitas ABO adalah kondisi medis dimana golongan darah antara ibu dan bayi
berbeda sewaktu masa kehamilan.
1. Golongan Darah ABO
Dasar penggolongan darah ABO adalah adanya aglutinogen (antigen) pada eritrosit, dan
adanya aglutinin (antibodi) di dalam plasma darah.Aglutinogen berarti antigen yang
digumpalkan, sedangkan aglutinin adalah jenis antibodi yang menggumpalkan.
2. Inkompatibilitas ABO
Inkompatibilitas sel darah merah (inkompatibilitas ABO) dapat disebabkan oleh
dua hal, yang pertama akibat ketidakcocokan (Inkompatibilitas) golongan darah ABO
saat melakukan transfusi sehingga terjadi reaksi hemolisis intravaskular akut dan juga
dapat disebabkan oleh reaksi imunitas antara antigen dan antibodi yang sering terjadi
pada ibu dan janin yang akan dilahirkan.
Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan
inkompatibilitas sel darah merah (inkompatibilitas ABO). Antibodi dalam plasma
pasien akan melisiskan sel darah merah yang inkompatibel. Meskipun volume darah
inkompatibelhanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat menyebabkan reaksi berat.
Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka akan semakin meningkatkan
risiko. Penyebab terbanyak reaksi hemolisis intravaskular akut adalah inkompatibilitas
ABO. Hal ini biasanya terjadi akibat kesalahan dalam permintaan darah, pengambilan
contoh darah dari pasien ke tabung yang belum diberikan label, kesalahan
pemberian label pada tabung dan ketidaktelitian memeriksa identitas pasien
sebelum transfusi. Selain itu penyebab lainnya adalah adanya antibodi dalam
plasma pasien melawan antigen golongan darah lain (selain golongan darah ABO)
dari darah yang ditransfusikan, seperti sistem Idd, Kell atau Duffy.
Jika pasien sadar, gejala dan tanda biasanya timbul dalam beberapa menit
awal transfusi, kadang-kadang timbul jika telah diberikan kurang dari 10 ml. Jika
pasien tidak sadar atau dalam anestesia, hipotensi atau perdarahan yang tidak
terkontrol mungkin merupakan satu-satunya tanda inkompatibilitas transfusi.
Pengawasan pasien dilakukan sejak awal transfusi dari setiap unit darah. Dapat
terjadi lisis eritrosit donor karena antibodi resipien. Bila terjadi cepat (segera
setelah transfusi 50 ml darah) atau lambat (beberapa jam beberapa hari). Dapat
juga terjadi lisis eritrosit resipien akibat antibodi donor, biasanya bersifat ringan, dan
sering terjadi pada transfusi dengan donor universal.
Tanda-tanda klinis :
1. Segera : nyeri lumbal, nyeri sternal dan nyeri di tempat masuknya darah, demam
disertai menggigil dan kekakuan, gelisah, mual, muntah, urtikaria, dispnea, dan
hipotensi.
2. Lanjut : perdarahan yang tidak dapat diatasi, hemoglobinuria, oliguria sampai
anuria, ikterus dan anemia. Reaksi hemolitik dapat juga terjadi akibat
penyimpanan darah yan kurang baik, darah kadaluwars atau darah yang sudah
hemolisis karena terlalu dipanaskan/terlalu didinginkan
Patofisiologi
Patofisologi yang dapat menjelaskan timbulnya reaksi hemolitik pada
inkompatibilas ABO akibat kesalahan transfusi adalah akibat antibodi dalam plasma
pasien akan melisiskan sel darah merah yang inkompatibel. Meskipun volume darah
inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat menyebabkan reaksi berat.
Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka akan semakin meningkatkan
risiko.
Sedangkan patofisologi yang dapat menjelaskan timbulnya penyakit
inkompabilitas Rh dan ABO adalah terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan
antibodi yang melawan sel darah merah janin yang dikandungnya.Pada saat ibu hamil,
eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang
dinamakan fetomaternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen seperti yang
terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk membentuk imun
antibodi. Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian masuk
kedalam peredaran darah janin sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti (coated)
dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian
akan menyebabkan anemia (reaksi hipersensitivitas tipe II). Hal ini akan dikompensasi
oleh tubuh bayi dengan cara memproduksi dan melepaskan sel-sel darah merah yang
imatur yang berinti banyak, disebut dengan eritroblas (yang berasal dari sumsum
tulang) secara berlebihan.
Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dan
limpa yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa. Produksi
eritroblas ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet dan faktor
penting lainnya untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan
dapat menyebabkan terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat memperberat
komplikasi.
Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal
sebelumnya, misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan,
amniosentesis, transfusi darah Rhesus positif atau pada kehamilan kedua dan
berikutnya.Penghancuran sel-sel darah merah dapat melepaskan pigmen darah merah
(hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal dengan bilirubin. Bilirubin secara
normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi tubuh dapat mengatasi
kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada suatu waktu. Eritroblastosis
fetalis menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin yang dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia, yang nantinya menyebabkan jaundice pada bayi.Bayi dapat
berkembang menjadi kernikterus.
Gejala lain yang mungkin hadir adalah peningkatan kadar insulin dan
penurunan kadar gula darah, dimana keadaan ini disebut sebagai hydrops fetalis.
Hydrops fetalis ditujukkan oleh adanya penumpukan cairan pada tubuh, yang
memberikan gambaran membengkak (swollen).Penumpukan cairan ini menghambat
pernafasan normal, karena paru tidak dapat mengembang maksimal dan mungkin
mengandung cairan. Jika keadaan ini berlanjut untuk jangka waktu tertentu akan
mengganggu pertumbuhan paru. Hydrops fetalis dan anemia dapat menimbulkan
masalah jantung.
Diagnosis
Diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu.Metode
paling sering digunakan untuk menapis antibodi ibu adalah tes Coombs tak langsung.
(penapisan antibodi atau antiglobulin secara tak langsung). Tes ini bergantung kepada
pada kemampuan anti IgG (Coombs) serum untuk mengaglutinasi eritrosit yang dilapisi
dengan IgG.
Disamping tes Coombs, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat bayi
yang dilahirkan sebelumnya, ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca persalinan, kadar
hemoglobin darah tali pusat < 15 gr%, kadar bilirubin dalam darah tali pusat > 5 mg%,
hepatosplenomegali dan kelainan pada pemeriksaan darah tepi.
Penatalaksanaan
Penatalaksaan terbagi menjadi dua bagian yaitu tergantung penyebab dari
inkompatibilas ABO itu sendiri. Inkompatibilas ABO yang disebabkan oleh karena
reaksi transfusi, yang dimaksud dengan reaksi transfusi disini adalah reaksi hemolitik,
inkompatibilitas, dan reaksi alergi yang berat maka penatalaksanaan yang seharusnya
segera dilakukan adalah:
1. Transfusi segera dihentikan, diambil lagi contoh darah pasien dan darah donor
untukpemeriksaan ulang.
2. Perbaiki keadaan hipovolemia dengan plasma atau cairan kristaloid. Tekanan
vena sentral dipantau.
3. Koreksi keadaan asidosis, dan kemih dibuat menjadi sedikit alkalis. (pH = 8).
4. Setelah volume cukup, berikan manitol 12,5 – 50 g selama 15 menit, Bila belum
terjadi diuresis berikan furosemid 20 – 40 mg. Bila belum terjadi diuresis, segera
dilakukan dialisis peritoneal (bila mungkin, lakukan hemodialisis).
5. Hitung jumlah trombosit, partial tromboplastin time dan kadar fibrinogen serum.
6. Bila terjadi koagulasi intra vaskuler yang menyeluruh (disseminated intra vasculer
coagulation = DIC), segera dimulai terapi dengan heparin.
7. Pasien harus dirawat di unit perawatan intensif, agar pemantauan dan berbagai
tindakan dapat dilakukan dengan baik
Penatalaksanaan inkompatibilas ABO yang disebabkan oleh reaksi imunitas
antara antigen dan antibody yang sering terjadi pada ibu dan janin yang akan dilahirkan
dalam bentuk ringan tidak memerlukan pengobatan spesifik, kecuali bila terjadi kenaikan
bilirubin yang tidak wajar. Bentuk sedang memerlukan tranfusi tukar, umumnya
dilakukan dengan darah yang sesuai dengan darah ibu (Rhesus dan ABO).Jika tak ada
donor Rhesus negatif, transfusi tukar dapat dilakukan dengan darah Rhesus positif
sesering mungkin sampai semua eritrosit yang diliputi antibodi dikeluarkan dari tubuh
bayi.Bentuk berat tampak sebagai hidrops atau lahir mati yang disebabkan oleh anemia
berat yang diikuti oleh gagal jantung.Pengobatan ditujukan terhadap pencegahan
terjadinya anemia berat dan kematian janin.
Transfusi tukar :
Tujuan transfusi tukar yang dapat dicapai :
a. berikan darah donor yang masa simpannya ≤ 3 hari untuk menghindari kelebihan
kalium
b. pilih darah yang sama golongan ABO nya dengan darah bayi dan Rhesus negatif (D-)
c. dapat diberikan darah golongan O Rh negatif dalam bentuk Packed red cells
d. bila keadaan sangat mendesak, sedangkan persediaan darah Rh.negatif tidak tersedia
maka untuk sementara dapat diberikan darah yang inkompatibel (Rh positif) untuk
transfusi tukar pertama, kemudian transfusi tukar diulangi kembali dengan
memberikan darah donor Rh negatif yang kompatibel.
e. pada anemia berat sebaiknya diberikan packed red cells
f. darah yang dibutuhkan untuk transfusi tukar adalah 170 ml/kgBBbayi dengan lama
pemberian transfusi ≥ 90 menit
g. lakukan pemeriksaan reaksi silang antara darah donor dengan darah bayi, bila tidak
memungkinkan untuk transfusi tukar pertama kali dapat digunakan darah ibunya,
namun untuk transfusi tukar berikutnya harus menggunakan darah bayi.
h. sebelum ditransfusikan, hangatkan darah tersebut pada suhu 37°C
i. pertama-tama ambil darah bayi 50 ml, sebagai gantinya masukan darah donor
sebanyak 50 ml. Lakukan sengan cara diatas hingga semua darah donor ditransfusikan.
Transfusi albumin
Pemberian albumin sebanyak 1 mg/kg BB bayi, maka albumin akan mengikat
sebagian bilirubin indirek. Karena harga albumin cukup mahal dan resiko terjadinya
overloading sangat besar maka pemberian albumin banyak ditinggalkan.
Fototerapi
Foto terapi dengan bantuan lampu blue violet dapat menurunkan kadar bilirubin.
Fototerapi sifatnya hanya membantu dan tidak dapat digunakan sebagai terapi tunggal.
Prognosis
Pengukuran titer antibodi dengan tes Coombs indirek < 1:16 berarti bahwa janin
mati dalam rahim akibat kelainan hemolitik tak akan terjadi dan kehidupan janin dapat
dipertahankan dengan perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang lebih tinggi
menunjukan kemungkinan adanya kelainan hemolitik berat.Titer pada ibu yang sudah
mengalami sensitisasi dalam kehamilan berikutnya dapat naik meskipun janinnya Rhesus
negatif.
Jika titer antibodi naik sampai secara klinis bermakna, pemeriksaan titer antibodi
diperlukan.Titer kritis tercapai jika didapatkan nilai 1:16 atau lebih. Jika titer di dibawah
1:32, maka prognosis janin diperkirakan baik.
Mortalitas
Angka mortalitas dapat diturunkan jika :
1. Ibu hamil dengan Rhesus negatif dan mengalami imunisasi dapat dideteksi secara dini
2. Hemolisis pada janin dari ibu Rhesus negatif dapat diketahui melalui kadar bilirubin yang
tinggi didalam cairan amnion atau melalui sampling pembuluh darah umbilikus yang
diarahkan secara USG
3. Pada kasus yang berat, janin dapat dilahirkan secara prematur sebelum meninggal di
dalam rahim atau/dan dapat diatasi dengan transfusi intraperitoneal atau intravaskuler
langsung sel darah merah Rhesus negatif. Pemberian Ig-D kepada ibu Rhesus negatif
selama atau segera setelah persalinan dapat menghilangkan sebagian besar proses
isoimunisasi D.
E. Atresia Biliaris
Atresia biliaris adalah suatu kaeadaan dimana terjadi gangguan dari sistim bilier
ekstra hepatik .Karakteristik dari atresia biliarias adalah tidak terdapatnya sebagian sistim
bilier antara duodenum dan hati sehingga terjadi hambatan aliran empedu dan
menyebabkan gangguan fungsi hati tapi tidak menyebabkan Kern icterus karena hati
masih tetap membentuk konyugasi bilirubin dan tidak dapat menembus blood brain
barier.
Klasifikasi
Tipe I : obliterasi dari duktus kholedekus ,duktus hepatikus normal.
Tipe II : atresia duktus hepatikus dengan struktur kistik tampak pada derah porta
hepatis
Tipe III : pada lebih 90% pasien ,atresia pada duktus hepatikus kiri dan kanan
setinggi porta hepatis.
Variasi ini tidak boleh dibingungkan dengan hipoplasia duktus biliaris intra hepatal ,
yang tidak dapat dikoreksi dengan pembedahan.
Epidemiologi
Amerika Serikat studi individu kejadian secara keseluruhan di Amerika Serikat
dari 1 per 10.000-15.000 kelahiran hidup.Internasional Insiden atresia bilier adalah
tertinggi pada populasi Asia, dan mungkin lebih umum pada bayi Cina dibandingkan
dengan bayi Jepang.
Sebelum pengembangan transplantasi hati sebagai pilihan terapi untuk anak-anak
dengan penyakit hati stadium akhir, tingkat kelangsungan hidup jangka panjang untuk
bayi dengan atresia bilier berikut portoenterostomy adalah 47-60% pada 5 tahun dan 25-
35% pada 10 tahun. Dalam sepertiga dari semua pasien, aliran empedu adalah operasi
berikut tidak memadai, dan anak-anak ini menyerah pada komplikasi sirosis bilier dalam
beberapa tahun pertama kehidupan kecuali transplantasi hati dilakukan.Berikut
portoenterostomy, komplikasi termasuk kolangitis (50%) dan hipertensi portal (> 60%).
hepatocellular carcinoma mungkin risiko bagi pasien dengan sirosis dan tidak ada bukti
klinis hipertensi portal. fibrosis progresif dan sirosis bilier berkembang pada anak-anak
yang tidak mengalirkan empedu.Dengan demikian, seperti yang dibahas di bawah ini
(lihat Prognosis), transplantasi hati mungkin satu-satunya pilihan untuk kelangsungan
hidup jangka panjang pada sebagian besar pasien.
Insiden atresia bilier adalah tertinggi pada populasi Asia.Gangguan juga terjadi
pada bayi hitam, dengan kejadian sekitar 2 kali lebih tinggi daripada yang diamati antara
bayi putih.Ekstrahepatik atresia bilier lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada
pria.Atresia bilier adalah gangguan yang unik untuk periode neonatal.Bentuk janin /
perinatal jelas dalam 2 minggu pertama kehidupan; jenis postnatal menyajikan pada bayi
berusia 2-8 minggu.
Etiologi
Penyebab dari Atresia bilier tidak diketahui dengan pasti .Mekanisme auto imun
mungkin merupakan sebagian penyebab terjadinya progresivitas dari Atresia bilier.Dua
tipe dari atresia biliaris adalah bentuk fetal dan terjadi selama masa fetus dan timbul
ketika lahir, serta bentuk perinatal lebih spesifik dan tidak terlihat pada minggu kedua
sampai minggu keempat kehidupan.Penelitian terbaru mengatakan infeksi virus pada bayi
sangat sugestif merupakan penyebab dari Atresia bilier. Kurang lebih 10 % dari Atresia
bilier terutama bentuk fetal bersama sama dengan kelainan kongenital lainnya seperti
kelainan jantung ,limpa dan ususAtrsia biliaris bukan kelainan heriditer ini terlihat pada
bayi kembar atresia bilier tidak terjadi pada keda bayi tersebut. Atresia bilier terjadi
selama periode fetus atau neonatal kemungkinan triger nya adalah salah satu atau
kombinasi faktor dibawah ini :
-Infeksi dengan virus atu bakteri
- Masalah sistim imun
- Komponen empedu yang abnormal
- Ganguan pertumbuhan dari liver dan duktus biliaris
Patofisiologi
Patofisiologi dari Atresia biliaris masih sulit dimengerti , penelitian terakhir
dikatakan kelainan kongenital dari sistim biliris.Masalah ontogenesis hepatobilier
dicurigai dengan bentuk atresia bilier yang berhubungan dengan kelainan kongenital yang
lain. Walaupun yang banyak pada tipe neonatal dengan tanda khas inflamasi yang
progresif,dengan dugaan infeksi atau toksik agen yang menyebabkan obliterasi duktus
biliaris . Pada tipe III :yang sering terjadi adalah fibrosis yang menyebabkan obliterasi
yang komplit sebagian sistim bilaris ekstra hepatal . Duktus biliaris intra hepatal yang
menuju porta hepatis biasanya pada minggu pertama kehidupan tampak paten tetapi
mungkin dapat terjadi kerusakan yang progresif.Adanya toksin didalam saluran empedu
menyebabkan kerusakan saluran empedu extrahepatis.Identifikasi dari aktivitas dari
inflamasi dan kerusakan Atresia sistim bilier ekstrahepatal tampaknya merupakan lesi
yang didapat. Walaupun tidak dapat didentifikasi faktor penyebab secara khusus tetapi
infeksi merupakan faktor penyebab terutama isolasi dari atresia bentuk neonatal .Banyak
penelitian yang menyatakan peninggian titer antibodi reovirus tipe 3 pada penderita
atresia biliaris dibandingkan dengan yang normal. Virus yang lain yang sudah diimplikasi
termasuk rotavirus dan cytomegali virus (CMV).
Gejala Klinis
Bayi –bayi dengan Atresia bilier biasanya lahir dengan berat badan yang normal
dan perkembangannya baik pada minggu pertama Hepatomegali akan terlihat lebih awal.
Splenomegali sering terjadi, dan biasanya berhubsungan dengan progresivitas penyakit
menjadi Cirrhosis hepatis dan hipertensi portal. Ikterus karena peninggian bilirubin direk
.Ikterus yang fisiologis sering disertai dengan peninggian bilirubin yang konyugasi .Dan
harus diingat peninggian bilirubin yang tidak konyugasi jarang sampai 2 minggu Pasien
dengan bentuk fetal /neonatal (sindrom polisplenia/asplenia) pertengahan liver bisa teraba
pada epigastrium Adanya murmur jantung pertanda adanya kombinasi dengan kelainan
jantung.
Komplikasi
1. Cirrhosis bilier yang progresif
2. Hipertensi portal da/atau perdarahan dari varses oesopagus ini terlihat pada 40 %
anak dibawah 3 tahun. Yang paling sering komplikasi dari Kasai prosedur adalah
asending kholangitis,infeksi bakteri. Pada keadaan normal bakteri ada dalam usus
dan bergerak keatas melalui Roux-en-menyebabkan infeksi.
DAFTAR PUSTAKA