Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PBL

MODUL I : KUNING

OLEK KELOMPOK IX :

Nurul Annisa Hasan 105421101317

Nur Aisyah 105421101417

Rizki Safitri 105421101517

Ilham 105421104717

Aflin Bihar 105421104817

Darmianti. DN 105421104917

Faradiba 105421108317

Ahmad Al Muhtadi Billah 105421108417

Miftahul Jannah 105421108517

Muftihatur Rizqiyah 105421111117

Aulia Sabrina Ramadhanty 105421111317

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2019-2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum. Wr. Wb

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT dengan karunianya kami dapat
menyelesaikan laporan PBL Modul 1 GASTROENTERO HEPATOLOGI. Meskipun banyak
hambatan yang kami alami dalam proses pengerjaannya, tapi kami berhasil menyelesaikan
laporan ini tepat pada waktunya.

Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada Tutor pembimbing kami yang telah
membantu dalam pengerjaan laporan ini.Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-
teman kelompok 9 yang sudah memberi kontribusi langsung dalam pembuatan laporan ini.

Kami menyadari bahwa dalam laporan ini masih jauh dari kesempurnaan untuk itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna sempurnanya laporan ini.
Kami berharap laporan ini dapat bermanfaat untuk semua orang.

Makassar, Desember 2019

Kelompok 9
Modul I

Kuning

Skenario
Seorang Ibu datang ke Rumah Sakit membawa bayi perempuannya yang baru berumur 3
hari dengan keluhan kulit bayi berwarna kuning. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda
yang signifikan selain kulit dan mata bayi tampak kuning. Bayi dilahirkan cukup bulan melalui
persalinan normal yang dibantu oleh Bidan Polindes (Pondok Bersalin Desa). Ibu berumur 40
tahun dan selama menjalani kehamilan tidak memiliki keluhan kesehatan yang berarti.

Kata Sulit

- Bayi perempuan, umur 3 hari


- Bayi dilahirkan cukup bulan
- Ibu berumur 40 tahun dan selama menjalani kehamilan tidak memiliki keluhan kesehatan
yang berarti
- Kulit dan mata bayi tampak kuning

Identifikasi Masalah

1. Jelaskan anatomi, histologi dan fisiologi sistem hepatologi !


2. Jelaskan etiologi ikterus !
3. Jelaskan faktor predisposisi ikterus !
4. Jelaskan patofisiologi terjadinya ikterus !
5. Jelaskan langkah diagnostic !
6. Jelaskan differential diagnosis penyakit !
7. Jelaskan penatalaksanaan !
8. Berikan edukasi terkait dengan penyakit yang diderita !
Jawaban

1. Metabolisme Bilirubin
Pada individu normal, pembentukan dan eskresi bilirubin berlangsung melalui
langkah-langkah pada gambar.dalam system Sekitar 80% hingga 85% terbentuk dari
pemecahan eritrosit tua dalam sistem monosit makrofag. Masa hidup rata-rata eritrosit
adalah 120 hari. Setiap hari dihancurkan sekitar 15-20% pigmen empedu total tidak
bergantung pada mekanisme ini, tetapi berasal dari destruksi sel eritrosit matur dalam
sum-sum tulang (hemtopoiesis tak efektif ) dan dari hemoprotein lain, terutama hati.
Pada katabolisme hemoglobin ( terutama terjadi dalam limpa), globin mula-mula
dipisahkan dari heme, setelah itu heme di ubah menjadi biliverdin. Biliverdin tak
terkonjugasi kemudian dibentuk dari biliverdin. Bilirubin adalah pigmen kehijauan yang
dibentuk melalui oksidasi bilirubin. Bilirubin tak terkonjugasi larut dalam lemak, tidak
larut dalam air, dan tidak dapat di ekskresi dalam empedu atau urin.Bilirubin tak
terkonjugasi berikatan dengan albumin dalam suatu kompleks larut air, kemudian di
angkut oleh darah ke sel-sel hati. Metabolisme bilirubin di dalam hati berlangsung dalam
tiga langkah : ambilan, konjugasi, dan ekskresi. Ambilan oleh sel hati memerlukan dua
protein hati, yaitu yang di beri symbol sebagai protein Y dan Z. Konjugasi bilirubin
dengan asam glukuronat dikatalisis oleh enzim glukoronil trnsferase dalam reticulum
endoplasma.Bilirubin terkonjugasi tidak larut dalam lemak tetapi larut dalam air dan
dapat di sekresi dalam empedu dan urine. Langkah terakhir dalam metabolisme bilirubin
hati adalah transport bilirubin terkonjugasi melalui membrane sel ke dlaam empedu
melalui suatu proses aktif. Bilirubin tak terkonjugasi tidak di ekskresi ke dalam empedu,
kecuali setelah proses foto-oksidasi atau fotoisomerisasi.
Bakteri usus mereduksi bilirubin terkonjugasi menjadi serangkaian senyawa yang
disebut sterkobilin atau urobilinogen. Zat-zat ini menyebabkan feses berwarna
coklat.Sekitar 10-20% urobilinogen mengalami siklus enterohepatik, sedangkan sejumlah
kecil diekskresi dalam urin.
2. Etiologi ikterus
a) Prehepatik
Peningkatan hemolisis
Contohnya : Anemia hemolitik
b) Intrahepatik
Peningkatan bilirubin direct ataupun indirect bisa karena hepatitis infeksiosa,
alcohol, reaksi obat.
c) Posthepatik
Adanya penyumbatan baik oleh batu ataupun tumor yang menyumbat saluran
empedu

3. Faktor predisposisi ikterus


Adapun faktor predisposisi terjadinya ikterus yaitu :
a. bayi cukup bulan dan bayi prematur → hemolisis (Martiza, 2010).
b. bayi BBLR, pembentukan hepar belum sempurna (imaturitas hepar) (Sukadi,
2008).
4. Patofisiologis terjadinya ikterus
Umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar bilirubin tak terkonyugasi pada minggu
pertama > 2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan mendapat susu formula kadar bilirubin akan
mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan
menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL
selama 1 sampai 2 minggu. Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI kadar bilirubin
puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi (7-14 mg/dL) dan penurunan terjadi lebih
lambat.bisa terjadi dalam waktu 2-4 minggu , bahkan dapat mencapai waktu 6
minggu.pada bayi kurang bulan yang mendapat susu formula juga akan mengalami
peningkatan dengan puncak yang lebih tinggi dan lebih lama, begitu jugan dengan
penurunannya jika tidak diberikan fototerapi pencegahan. Peningkatan sampai 10-12
mg/dL masih dalam kisaran fisiologis, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa diserta kelainan
metabolism bilirubin. Kadar normal bilirubin tali pusat kurang dari 2 mg/dL dan berkisar
antara 1,4-1,9 mg/dL.
Ikterus fisiologis mempunyai sifat :
- Timbul setelah 24 jam (umumnya 2-3 hari kehidupan)
- Berlangsung ±7-14 hari
- Bilirubin yang meningkat adalah bilirubin indirek
- Kadar tertinggi bilirubin total < 15 mg/dL dan bilirubin direk < 2 mg/dL
- Bilirubin < 12 mg/dL (aterm) &< 15 mg/dL (preterm)

Ikterus patologis mempunyai sifat :

- Timbul 24 jam pertama kehidupan

- Menetap > 2 minggu

- Kenaikan kadar bilirubin > 5 mg/dL/24 jam

- Kadar bilirubin > 12 mg/dL (aterm) atau > 15 mg/dL (prematur)

- Peningkatan bilirubin II > 1 mg/dL bila bilirubin total < 5 mg/dL atau > 20% dari
bilirubin total bila bilirubin total > 5 mg/dL
5. Langkah Diagnostik

Anamnesis Tambahan

- Sejak kapan terjadi kuning/jaundice?


- Apakah sudah diberikan asi?
- Berapa jumlah anak? Jika lebih dari 1 apakah anak sebelumnya juga mengalami keluhan
yang sama?
- Riwaya tmengonsumsi obat-obatan saat hamil?

Pemeriksaan Fisis
 Inspeksi
- Lokasi jaundice ( untukmenentukan Kramer)
- Warna Urine : seperti berwarna gelap atau normal
- Warna Feses : dempul, abu-abu atau normal
 Palpasi
- Adanya splenomegali atau tidak

6. Differential Diagnosis
A. Ikterus fisiologis

Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang maupun
cukup bulan selama minggu pertama kehidupan yang frekuensinya pada bayi cukup
bulan dan kurang bulan berturut turut 50-60% dan 80%. Untuk kebanyakan bayi
fenomena ini ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan.Ikterus fisiologis tidak
disebabkan oleh factor tunggal tapi kombinasi dari beberapa factor yang berhubungan
dengan maturitas fisiologis bayi baru lahir. Peningkatan kadar bilirubin tidak
terkonyugasi dalam sirkulasi pada bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan
ketersediaan bilirubin dan penurunan clearance bilirubin.

Peningkatan ketersediaan bilirubin merupakan hasil dari produksi bilirubin dan early
bilirubin yang lebih besar serta penurunan usia sel darah merah. Resirkulasi aktif
bilirubin dienterohepatik, yang meningkatkan kadar serum bilirubin tidak terkonjugasi,
disebabkan oleh penurunan bakteri flora normal, aktifitas beta glukuronidase yang tinggi
dan penurunan motilitas usus halus.

Bayi  ± 60% mengalami ikterus fisiologis yang disebabkan oleh :

1. Bilirubin selama janin dieksresi melalui plasenta ibu sekarang harus diekskresi bayi
sendiri

2. Jumlah eritrosit (RBC) lebih banyak pada neonatus

3. Umur (lama hidup) RBC pada neonatus lebih singkat serta ukuran RBC lebih besar

4. Uptake & konyugasi oleh hati belum sempurna

5. Sirkulasi enterohepatik meningkat

Ikterus fisiologis mempunyai sifat :

1. Timbul setelah 24 jam (umumnya 2-3 hari kehidupan)

2. Berlangsung ±7-14 hari

3. Bilirubin yang meningkat adalah bilirubin indirek

4. Kadar tertinggi bilirubin total < 15 mg/dL dan bilirubin direk < 2 mg/dL

5. Bilirubin < 12 mg/dL (aterm) &< 15 mg/dL (preterm)

Peningkatan kadar bilirubin menurut Kramer :

* Kramer I : 4-8 mg/dL (Kepala & leher)

* Kramer II : 5-12 mg/dL (Tubuh bagian atas)

* Kramer III : 11-18 mg/dL (Tubuh bagian bawah)

* Kramer IV : > 15 mg/dL (telapak tangan & kaki)


Diagnosis

Beberapa factor resiko dapat meningkatkan kejadian hiperbilirubinemia yang


berat. Perlu penilaian pada bayi baru lahir terhadap berbagai resiko, terutama untuk bayi
bayi yang pulang lebih awal. Selain itu juga perlu dilakukan pencatatan medis bayi dan
disosialisasikan pada dokter yang menangani bayi tersebut sebelumnya.

Tampilan ikterus dapat ditentukan dengan memeriksa bayi dalam ruangan dengan
pencahayaan yang baik, dan menekan kulit dengan tekanan ringan untuk melihat warna
kulit jaringan subkutan. Ikterus pada kulit bayi tidak terperhatikan pada kadar bilirubin
kurang dari 4 mg/dL.

Pemeriksaan fisis harus difokuskan pada identifikasi dari salah satu penyebab
ikterus patologis. Kondisi bayi harus diperiksa pucat, petekie, ekstravasasi darah, memar
kulit yang berlebihan, hepatosplenomegali, kehilangan berat badan dan bukti adanya
dehidrasi.

Guna mengantisipasi komplikasi yangmunkgin timbul, maka perlu diketahui


daerah letak kadar bilirubin serum total beserta factor risiko terjadinya hiperbilirubinemia
yang berat.

Manejemen

Berbagai cara telah digunakan untuk mengelolah bayi baru lahir dengan
hiperbilirubinemia indirek. Strategi tersebut termasuk pencegahan, penggunaan
farmakologi, fototerapi dan tranfusi tukar.

B. Defisiensi G6PD(Glukose 6 Phosphat Dehydrogenases)


Definisi
Defisiensi G6PD merupakan enzimopati yang paling umum diderita manusia dan
terkait dengan kromosom X. Gen pengkode enzim ini terletak di lengan panjang
kromosom X (Xq28).
Epidemiologi
Prevalensi anemia defisiensi G6PD di dunia cukup tinggi dimana di seluruh dunia
dijumpai lebih dari 100 juta penderita. Laporan mengenai anemia defisiensi G6PD di
Indonesia belum banyak dijumpai, di perkirakan prevalensinya sekitar 1-1,4%. Wanita
heterosigot terhadap defisiensi G6PD resisten terhadap malaria.

Patogenesis

Mekanisme penyakit anemia defisiensi G6PD telah banyak diteliti dimana anemia jenis
ini :

a. Timbul karena mutasi gen yang mengkode rangkaian asam amino enzim G6PD yang
terletak pada lengan panjang dari kromosom-x. Enzim ini sangat diperlukan untuk
mempertahankan eritrosit dari proses oksidasi akibat obat, infeksi, dan lain-lain.
b. Secara elektroforetik ada 2 tipe isoensim, yaitu :
- Tipe A : khusus pada orang negro.
- Tipe B : varian normal terbanyak.
c. Defisiensi G6PD menyebabkan NADPH menurun sehingga reduced glutationjuga
menurun yang menyebabkan eritrosit mudah terkena bahan oksidan yang mengakibatkan
kerusakan membran dan pembentukan Heinz’s bodiesjika eritrosit mendapat pemaparan
obat tertentu aau bahan toksis. Eritrosit yang mengalami keruskan ini difagositir RES,
jika berat dapat menimbulkan hemolisis intravaskuler. Jika tidak terjadi pemaparan,
eritrosit akan berfungsi normal.

Mutasi pada gen untuk G6PD

Berkurangnya aktivitas G6PD

Berkurangnya kadar NADPH

Berkurangnya pembentukan GSH dari GSSG oleh


glutation reduktase (yang menggunakan NADPH)
Oksidasi gugus SH pada Hb (membentuk badan Heinz) serta
protein membran karena berkurangnya kadar GSH dan
meningkatnya kadar oksidan intrasel yang mengubah struktur
membran serta meningkatkan kerentanan terhadap ingesti
oleh makrofag

Hemolisis

(sumber : Biokimia harper, edisi 27)

Penyebab hemolisis

Hemolisis pada anemia defisiensi G6PD dapat dipicu oleh beberapa hal seperti :

1. Obat-obatan terdiri atas :


a. Anti malaria : primakuin, pirimetamin, kinine dan khlorokuin.
b. Anti bakteri : sulfonamid, nitrofurantoin, penisilin, streptomisin dan INH.
c. Analgetika : fenasetin, salisilat, parasetamol.
d. Lain-lain : vitamin K, probenesid, quinidin dan dapson.
2. Infeksi dan ketoasidosis diabetik
3. Fava bean (mengandung conviciene) sehingga menimbulkan favism

Gambaran klinik

Sebagian besar penderita defisiensi G6PD tidak bergejala dan tidak mengetahui
kondisinya. Penyakit ini muncul apabila eritrosit mengalami stres oksidatif dipicu obat,
infeksi, maupun konsumsi kacang fava. Hemolisis akut pada penderita defisiensi G6PD
biasanya ditandai dengan rasa lemah, nyeri punggung, anemia dan ikterus. Terjadi
peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, laktat dehidrogenase dan retikulositosis.
1. Anemia Hemolitik Terinduksi Obat
Hemolisis dan ikterus klinis biasanya muncul24-72 jam setelah konsumsi obat.
Urin berwarna gelap akibat hemoglobinuria merupakan tanda khas. Anemia memburuk
hingga 7-8 hari, kadar hemoglobin akankembali meningkat setelah 8-10 hari
obatdihentikan. Heinz bodies (Gambar 5) di darah tepi yang merupakan presipitat
hemoglobin terdenaturasi merupakan tanda khas pada pemeriksaan apusan darah.
2. Anemia Hemolitik Terinduksi Infeksi
Infeksi merupakan penyebab hemolisis tersering pada penderita defisiensi G6PD.
Beberapa infeksi yang dapat mencetuskannya antara lain infeksi virus Hepatitis A dan
B, Cytomegalovirus, pneumonia dan demam tifoid. Beratnya hemolisis dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain pemberian obat, fungsi hati dan usia. Pada hemolisis berat,
transfusi darah segera memperbaiki luaran. Komplikasi serius akibat infeksi virus
hepatitis pada penderita defisiensi G6PD adalah gagal ginjal akut; dapat disebabkan
nekrosis tubular akut akibat iskemi ginjal maupun obstruksi tubular karena hemoglobin
cast. Beberapa pasien mungkin memerlukan hemodialisis.
3. Favisme
Konsumsi fava beans/kacang fava dapat menyebabkan hemolisis dan kondisi ini
disebut favisme. Favisme ditemukan di negara-negara Mediterania, Timur Tengah dan
Afrika Utara, tidak ditemukan di Indonesia. Tidak semua penderita defisiensi G6PD
yang memakan kacang fava menderita favisme, dapat terjadi respons berbeda-bedadari
individu yang sama tergantung kesehatan pasien dan jumlah kacang fava yang
dikonsumsi. Divicine, isouramil danconvicine diperkirakan sebagai bahan toksik dari
kacang fava yang meningkatkan aktivitas hexose monophosphate shunt, sehingga
mmenyebabkan hemolisis pada penderita defisiensi G6PD.
Favisme menyebabkan anemia hemolitik akut, biasanya 24 jam setelah kacang
fava dikonsumsi. Hemoglobinuria yang muncul lebih berat dibanding yang disebabkan
oleh induksi obat maupun infeksi meskipun kadar bilirubinnya lebih rendah. Hemolitik
akibat favisme dapat terjadi intravaskular maupun ekstravaskular dan dapat
menyebabkan gagal ginjal akut.
4. Ikterus Neonatorum
Sepertiga neonatus laki-laki ikterus neonatorum menderita defisiensi G6PD
,insidens pada neonatus perempuan lebih jarang. Ikterus biasanya muncul pada umur 1-4
hari, mirip ikterus fisiologis. Karena ikterus jarang terjadi, dapat menyebabkan
kerusakan saraf yang bersifat permanen jika tidak segera ditangani. Ikterus neonatorum
lebih berat pada bayi defisiensi G6PD prematur. Jika skrining defisiensi G6PD tidak
rutin dilakukan, pemeriksaan lebih seksama perlu dilakukan pada neonatus yang
menderita hiperbilirubinemia >150 mmol/L dalam 24jam pertama atau memiliki saudara
dengan riwayat ikterus neonatorum.
5. Anemia Hemolitik Non-sferosis Kongenital
Pada beberapa pasien, varian defisiensi G6PD dapat menyebabkan hemolisis
kronik yang disebut anemia hemolitik non-sferosis kongenital. Kondisi ini dapat muncul
sporadis. Diagnosis didasarkan pada temuan klinis bahwa kelainan ini ditemukan sejak
bayi atau kanak-kanak. Kebanyakan pasien memiliki riwayat ikterus neonatorum yang
berat, anemia kronik yang dieksaserbasi oleh stres oksidatif yang biasanya memerlukan
transfusi darah, adanya retikulositosis, batu empedu dan splenomegali. Kadar bilirubin
dan LDH meningkat dan hemolisisnya terjadi terutama ekstravaskular.

Gambaran laboratorium

Gambaran laboratorium diluar serangan menunjukkan gambaran hematologik


normal, hanya aktivitas enzim G6PD eritrosit menurun. Pada saat serangan gambaran
laboratorium yang dapat dijumpai adalah :

a. Tanda-tanda hemolisis intravaskuler


b. Gambaran apusan darah tepi menunjukkan contracted and fragmented cells, bite
cells, dan blister cells. Terdapat inclusion bodies pada eritrosit.

Diagnosis

Diagnosis pasti defisiensi G6PD didasarkan pada aktivitas enzimatik dengan analisis
kuantitatif spektrofotometri tingkatproduksi NADPH dari NADP. Untuk skrining cepat
beberapa metode semikuantitatif telah dikembangkan seperti dye-decolouration test oleh
Motulsky dan tes fluorescent spot yang mengindikasikan defisiensi G6PD jika spot darah
tidak berfluoresen di bawah sinar ultra violet. Tes fenotip aktivitas enzimatik G6PD pada
darah vena segar merupakan metode diagnostik yang paling umum. Tes fenotip dapat dibagi
menjadi 4 kategori :
a. Tes direk yang langsung menilai aktivitas enzimatik G6PD. Standar perhitungan adalah
berdasarkan spektrofotometer. Tes spotfl uorescent Beutler’s merupakan tes skrining
populer yang menginkubasi hemolisat dengan substrat reaksi G6PD, ditempatkan di
kertas filter dan disinari ultra violet (450nm). Fluoresensi menunjukkan aktivitas G6PD.
Tes ini paling mudah meskipun masih jauh dari ideal.
b. Tes indirek yang mencakup tes reduksi methemoglobin. Sel eritrosit direaksikan dengan
nitrit dan substrat glukosa kemudian tingkat NADPH-dependent
methaemoglobinreduction dinilai dengan katalis redoks. Derajat NADPH-dependent
methaemoglobinreduction berkorelasi dengan aktivitas G6PD. Metode indirek lain
menggunakan kromofor seperti brillian cresil blue, resazurin, formazan untuk memantau
produksi NADPH.
c. Tes sitokimia yang menilai status G6PD eritrosit, dapat digunakan untuk deteksi laki-laki
defisiensi homozigot, perempuan defisiensi homozigot dan heterozigot. Tes sitokimia
mencakup methaemoglobin elutiontest dengan melabel eritrosit berdasarkan jumlah
relatif methemoglobinnya sesuai metode indirek dengan tes reduksimethe-moglobin.
Metode terbaru sitofluorometrik mendeteksi autofluoresens terinduksi glutaral-dehid
dengan formazan yang menggunakan teknik flowsitometri. Tes cepat dengan point of
care tests (POCT).

Diagnosis anemia defisiensi G6PD dibuat berdasarkan sebagai berikut :

1. Riwayat klinis pemaparan obat atau infeksi


2. Tanda-tanda hemolisis
3. Adanya Heinz’s body
4. Aktivitas enzim G6PD menurun, yang dapat diukur secara langsung.

Terapi

Terapi anemia defisiensi G6PD tergantung dari derajat penyakit. Yang terpenting adalah
menghentikan obat yang memicu terjadinya hemolisis. Jika terjadi hemolisis intravaskuler
berat, tetapi terpenting ditujukan untuk mempertahankan fungsi ginjal. Pertahankan output
urine, atasi syok jika terjadi anemia berat dapat diberikan transfusi.

C. Sindrom Crigler-Najjartipe I dan II


Definisi
Sindrom Crigler-Najja rmerupakan penyakit yang jarang dan diturunkan sebagai
sifat autosomal resesif dan selalu merupakan mutasi sekunder yang menyebabkan
pemberhentian kodondini atau mutasi frameshift dengan demikian menghilangkan
aktifitas UGT1A1 atau UDP-Glucoronosyltransferase (tipe I) dan penurunan (sebagian)
aktiftasenzim (tipe 2).

Epidemiologi
Kejadiannya sangat jarang terjadi. Menurut Haide A dkk menyebutkan bahwa
frekuensi terjadinya penyakit ini hanya 0,6 per satu juta kelahiran.

Etiologi

Herediter.

Faktor risiko
Menurut Mukherjee, dkk, bayi yang dilahirkandariperkawinansesamesaudara
(consangineaous marriage) berkaitandengan faktor risikotimbulnya CN2 pada bayinya.

ManifestasiKlinis
Satu-satunya gejala yang ditunjukkan adalah jaundice atau icterus pada 3 hari
pertama kehidupan dimana keadaan ini diakibatkan karena hiperbilirubinemia tidak
terkonjugasi berat. Keadaan tersebut dapat bertahan (persisten) melewati 1 minggu
kehidupan. Pada pemeriksaan didapatkan feses berwarna pucat (CN1). Komplikasi
kernicterus sering terjadi.
Keadaan yang terjadi pada CN2, hampir sama dengan yang terjadi pada CN1
tetapi pada penyakit ini ditunjukkan bahwa hiperbilirubinemia yang terjadi bukan hanya
akibat bilirubin tak terkonjugasi melainkan juga karena bilirubin terkonjugasi atau
bilirubin direk. Sehinggawarnafeses yang didapatkansaatpemeriksaanfisikberwarna
normal.Keadaan inijarangmenimbulkankomplikasi kernicterus.

Patomekanisme

(Sumber: https://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-crigler.pdf)

Langkah-langkah diagnostik
Anamnesis Tambahan

- Sejak kapan terjadi kuning/jaundice?


- Apakah sudah diberikan asi?
- Berapa jumlah anak? Jika lebih dari 1 apakah anak sebelumnya juga mengalami keluhan
yang sama?
- Riwaya tmengonsumsi obat-obatan saat hamil?
Pemeriksaan Fisis
 Inspeksi
- Kuning pada kulit dan sclera (derajat Kramer)
- Warna Urine : seperti berwarna gelap atau normal
- Warna Feses : dempul atau abu-abu(CN1), normal (CN2)
 Palpasi
- Hepatosplenomegali (-)
 Penunjang
- Tipe 1: Bilirubin total 18-45 (>20)
- Fraksi bilirubin: Bilirubin glucoronide (-)
- Tes fungsi hati normal
- Tes mengukur aktifitas glukoronil transferase (closed biopsy)
- Tes DNA kedua orang tua dan bayi
- Tipe 2: Bilirubin total 6-25 mg/dl (<20mg/dL)
- Fraksi bilirubin : bilirubin monoglukoronide yang dominan
- Tes fungsi hati normal
- Tes menguku raktifitas glucoronyl transferase (closed biopsy)
- Tes DNA kedua org tua

(Sumber: Harrisons, edisi 19)


Penatalaksanaan
- Tipe 1: phototherapy segera, transfuse tukar, kalsium fosfat oral (meningkatkan
efektifitas fototerapi), liver transplantasi.
- Tipe 2: fenobarbital jangka panjang 5mg/kgbb/hari

Pencegahan
a. Konseling genetik sebelumhamil
b. Asamfolat 10mg/hariselamakehamilan
c. Maternal bilirubin serum harus<10mg/dl
d. Pemberianphenobarbitonedosisrendah 60mg/hari
e. Hindariobat-obatan yang meningkatkan bilirubin takterkonjugasiseperti sulfonamide,
salisilat, furosemide, ampicillin, dan ceftriaxone.

D. Inkomptabilitas “ABO”
Inkompatibilitas ABO adalah kondisi medis dimana golongan darah antara ibu dan bayi
berbeda sewaktu masa kehamilan.
1. Golongan Darah ABO
Dasar penggolongan darah ABO adalah adanya aglutinogen (antigen) pada eritrosit, dan
adanya aglutinin (antibodi) di dalam plasma darah.Aglutinogen berarti antigen yang
digumpalkan, sedangkan aglutinin adalah jenis antibodi yang menggumpalkan.

Menurut sistem ABO darah manusia terbagi atas 4 golongan, yaitu:

Golongan darah Genotype Antigen Antibody Frekuensi

O OO - Anti-A & Anti-B 40%

A AA/AO A Anti-B 26%

B BB/BO B Anti-A 27%


AB AB AB - 7%

Pemahaman mengenai aglutinogen dan aglutinin inilah yang mendasari teknik


transfusi darah.Dalam transfusi darah, orang yang memberikan darah disebut donor,
sedangkan yang menerima disebut resipien. Transfusi (pindahtuang darah) ini harus
memperhatikan masalah aglutinin-aglutinogen, sebab jika terjadi inkompatibilitas
(ketakcocokan) golongan darah, maka akan menyebabkan terjadinya aglutinasi
(penggumpalan) darah, dan bisa menyebabkan kematian sang resipien.

Jika aglutinin a bertemu dengan aglutinogen A, atau agglutininb bertemu


dengan aglutinogen B akan menyebabkan aglutinasi(penggumpalan)

2. Inkompatibilitas ABO
Inkompatibilitas sel darah merah (inkompatibilitas ABO) dapat disebabkan oleh
dua hal, yang pertama akibat ketidakcocokan (Inkompatibilitas) golongan darah ABO
saat melakukan transfusi sehingga terjadi reaksi hemolisis intravaskular akut dan juga
dapat disebabkan oleh reaksi imunitas antara antigen dan antibodi yang sering terjadi
pada ibu dan janin yang akan dilahirkan.
Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan
inkompatibilitas sel darah merah (inkompatibilitas ABO). Antibodi dalam plasma
pasien akan melisiskan sel darah merah yang inkompatibel. Meskipun volume darah
inkompatibelhanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat menyebabkan reaksi berat.
Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka akan semakin meningkatkan
risiko. Penyebab terbanyak reaksi hemolisis intravaskular akut adalah inkompatibilitas
ABO. Hal ini biasanya terjadi akibat kesalahan dalam permintaan darah, pengambilan
contoh darah dari pasien ke tabung yang belum diberikan label, kesalahan
pemberian label pada tabung dan ketidaktelitian memeriksa identitas pasien
sebelum transfusi. Selain itu penyebab lainnya adalah adanya antibodi dalam
plasma pasien melawan antigen golongan darah lain (selain golongan darah ABO)
dari darah yang ditransfusikan, seperti sistem Idd, Kell atau Duffy.
Jika pasien sadar, gejala dan tanda biasanya timbul dalam beberapa menit
awal transfusi, kadang-kadang timbul jika telah diberikan kurang dari 10 ml. Jika
pasien tidak sadar atau dalam anestesia, hipotensi atau perdarahan yang tidak
terkontrol mungkin merupakan satu-satunya tanda inkompatibilitas transfusi.
Pengawasan pasien dilakukan sejak awal transfusi dari setiap unit darah. Dapat
terjadi lisis eritrosit donor karena antibodi resipien. Bila terjadi cepat (segera
setelah transfusi 50 ml darah) atau lambat (beberapa jam beberapa hari). Dapat
juga terjadi lisis eritrosit resipien akibat antibodi donor, biasanya bersifat ringan, dan
sering terjadi pada transfusi dengan donor universal.
Tanda-tanda klinis :
1. Segera : nyeri lumbal, nyeri sternal dan nyeri di tempat masuknya darah, demam
disertai menggigil dan kekakuan, gelisah, mual, muntah, urtikaria, dispnea, dan
hipotensi.
2. Lanjut : perdarahan yang tidak dapat diatasi, hemoglobinuria, oliguria sampai
anuria, ikterus dan anemia. Reaksi hemolitik dapat juga terjadi akibat
penyimpanan darah yan kurang baik, darah kadaluwars atau darah yang sudah
hemolisis karena terlalu dipanaskan/terlalu didinginkan

Penyebab kedua yang mengakibatkan Inkompatibilitas pada golongan darah ABO


adalah reaksi imunitas antara antigen dan antibody pada ibu dan janin yang
dikandungnya. Inkompatibilitas pada golongan darah ABO terjadi jika Ibu golongan
darah O mengandung janin golongan darah A atau B.
Ibu yang golongan darah O secara alamiah mempunyai antibody anti-A dan anti-
B pada sirkulasinya. Jika janin mempunyai golongan darah A atau B, eritroblastosis
dapat terjadi. Sebagian besar secara alamiah, membentuk anti-A atau anti-B berupa
antibody IgM yang tidak melewati plasenta. Beberapa ibu juga relative mempunyai
kadar IgG anti-A atau anti-B yang tinggi yang potensial menyebabkan eritroblastosis
karena melewati sawar plasenta.
Sekitar sepertiga bayi golongan A atau B dari ibu golongan darah O akan
mempunya iantibody ibu yang dapat dideteksi pada eritrositnya. Ini lebih sering terjadi
pada bayi golongan darah B daripada A dan lebih sering pada bayi kulit hitam daripada
bayi kulit putih dengan golongan darah A atau B. Hanya sebagian kecil dari bayi ini
yang akan mengalami gejala klinis. Pada mereka dengan penyakit klinis, terdapat jauh
lebih sedikit antibody ibu yang melekat pada tempat antigen pada eritrosis daripada
yang ada pada penyakit Rhesus klinis. Akibatnya penyakit klinis sangat ringan dengan
reaksi antiglobulin langsung bervariasi dari hanya positif secara mikroskopis sampai
2+. Ada sedikit atau tidak ada anemia dan bilirubinemia dapat dikendalikan dengan
dengan fototerapi atau pada kebanyakan diatasi dengan satu transfuse tukar. Dengan
demikian bayi dengan reaksi antiglobulin direk 2+ dengan penyakit ABO biasanya
akan menderita bilirubinemia lebih berat daripada bayi dengan 2+ karena penyakit Rh.
Ringannya Hemolytic Disease of Newborn (HDN) ABO dapat dijelaskan sebagian
oleh antigen A dan Antigen B yang belum sepenuhnya berkembang pada saat lahir dan
karena netralisir sebagian antibody IgG ibu oleh antigen A dan B pada sel-sel lain yang
terjadi dalam plasma dan cairan jaringan. HDN ABO dapat ditemukan pada kehamilan
pertama dan dapat atau tidak mempengaruhi kehamilan berikutnya. Pemeriksaan
sediaan hapus darah memperlihatkan autoaglutinasi dan sferositosis polikromasi dan
eritroblastosis.
Hal-hal yang perlu diperhatikan berhubungan dengan hemolisis sistem ABO : Ibu
golongan darah O dapat membentuk anti-A dan anti-B. Destruksi pada eritrosit janin
bergolongan darah A atau B tergantung dari kekuatan antigen A dalam eritrosit.
Hemolisis pada sistem ABO terjadi pada bayi baru lahir.Bayi berwarna kuning, karena
bilirubin manifes ke kulit. Berat ringannya bayi kuning tergantung dari kadar IgG. Ciri
khas destruksi: Mikro sferositosis menyebabkan fragil osmotik, volume sel kecil,
protein lipid membran sedikit sehingga aglutinasi mudah terjadi.
Dua puluh sampai 25% kehamilan terjadi inkompabilitas ABO, yang berarti
bahwa serum ibu mengandung anti-A atau anti-B sedangkan eritrosit janin
mengandung antigen respective. Inkompabilitas ABO nantinya akan
menyebabkan penyakit hemolitik pada bayi yang baru lahir dimana terdapat lebih dari
60% dari seluruh kasus. Penyakit ini sering tidak parah jika dibandingkan dengan
akibat Rh, ditandai anemia neonatus sedang dan hiperbilirubinemia neonatus ringan
sampai sedang serta kurang dari 1% kasus yang membutuhkan transfusi
tukar.Inkompabilitas ABO tidak pernah benar-benar menunjukkan suatu penyebab
hemolisis dan secara umum dapat menjadi panduan bagi ilmu pediatrik dibanding
masalah kebidanan.
Mayoritas inkompatibilitas ABO diderita oleh anak pertama (40% menurut
Mollison), dan anak-anak berikutnya makin lama makin baik keadaannya. Gambaran
klinis penyakit hemolitik pada bayi baru lahir berasal dari inkompabilitas ABO sering
ditemukan pada keadaan dimana ibu mempunyai tipe darah O, karena tipe darah grup
masing-masing menghasilkan anti A dan anti B yang termasuk kelas IgG yang dapat
melewati plasenta untuk berikatan dengan eritrosit janin. Pada beberapa kasus,
penyakit hemolitik ABO tampak hiperbilirubinemia ringan sampai sedang selama 24-
48 jam pertama kehidupannya. Hal ini jarang muncul dengan anemia yang
signifikan.Tingginya jumlah bilirubin dapat menyebabkan kernikterus terutama pada
neonatus preterm.Fototerapi pada pengobatan awal dilakukan meskipun transfusi tukar
yang mungkin diindikasikan untuk hiperbilirubinemia. Seks predominan eritroblastosis
fetalis akibat inkompatibilitas ABO adalah sama antara laki-laki dan perempuan.

Patofisiologi
Patofisologi yang dapat menjelaskan timbulnya reaksi hemolitik pada
inkompatibilas ABO akibat kesalahan transfusi adalah akibat antibodi dalam plasma
pasien akan melisiskan sel darah merah yang inkompatibel. Meskipun volume darah
inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat menyebabkan reaksi berat.
Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka akan semakin meningkatkan
risiko.
Sedangkan patofisologi yang dapat menjelaskan timbulnya penyakit
inkompabilitas Rh dan ABO adalah terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan
antibodi yang melawan sel darah merah janin yang dikandungnya.Pada saat ibu hamil,
eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang
dinamakan fetomaternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen seperti yang
terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk membentuk imun
antibodi. Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian masuk
kedalam peredaran darah janin sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti (coated)
dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian
akan menyebabkan anemia (reaksi hipersensitivitas tipe II). Hal ini akan dikompensasi
oleh tubuh bayi dengan cara memproduksi dan melepaskan sel-sel darah merah yang
imatur yang berinti banyak, disebut dengan eritroblas (yang berasal dari sumsum
tulang) secara berlebihan.
Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dan
limpa yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa. Produksi
eritroblas ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet dan faktor
penting lainnya untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan
dapat menyebabkan terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat memperberat
komplikasi.
Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal
sebelumnya, misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan,
amniosentesis, transfusi darah Rhesus positif atau pada kehamilan kedua dan
berikutnya.Penghancuran sel-sel darah merah dapat melepaskan pigmen darah merah
(hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal dengan bilirubin. Bilirubin secara
normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi tubuh dapat mengatasi
kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada suatu waktu. Eritroblastosis
fetalis menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin yang dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia, yang nantinya menyebabkan jaundice pada bayi.Bayi dapat
berkembang menjadi kernikterus.
Gejala lain yang mungkin hadir adalah peningkatan kadar insulin dan
penurunan kadar gula darah, dimana keadaan ini disebut sebagai hydrops fetalis.
Hydrops fetalis ditujukkan oleh adanya penumpukan cairan pada tubuh, yang
memberikan gambaran membengkak (swollen).Penumpukan cairan ini menghambat
pernafasan normal, karena paru tidak dapat mengembang maksimal dan mungkin
mengandung cairan. Jika keadaan ini berlanjut untuk jangka waktu tertentu akan
mengganggu pertumbuhan paru. Hydrops fetalis dan anemia dapat menimbulkan
masalah jantung.
Diagnosis
Diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu.Metode
paling sering digunakan untuk menapis antibodi ibu adalah tes Coombs tak langsung.
(penapisan antibodi atau antiglobulin secara tak langsung). Tes ini bergantung kepada
pada kemampuan anti IgG (Coombs) serum untuk mengaglutinasi eritrosit yang dilapisi
dengan IgG.
Disamping tes Coombs, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat bayi
yang dilahirkan sebelumnya, ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca persalinan, kadar
hemoglobin darah tali pusat < 15 gr%, kadar bilirubin dalam darah tali pusat > 5 mg%,
hepatosplenomegali dan kelainan pada pemeriksaan darah tepi.

Penatalaksanaan
Penatalaksaan terbagi menjadi dua bagian yaitu tergantung penyebab dari
inkompatibilas ABO itu sendiri. Inkompatibilas ABO yang disebabkan oleh karena
reaksi transfusi, yang dimaksud dengan reaksi transfusi disini adalah reaksi hemolitik,
inkompatibilitas, dan reaksi alergi yang berat maka penatalaksanaan yang seharusnya
segera dilakukan adalah:

1. Transfusi segera dihentikan, diambil lagi contoh darah pasien dan darah donor
untukpemeriksaan ulang.
2. Perbaiki keadaan hipovolemia dengan plasma atau cairan kristaloid. Tekanan
vena sentral dipantau.
3. Koreksi keadaan asidosis, dan kemih dibuat menjadi sedikit alkalis. (pH = 8).
4. Setelah volume cukup, berikan manitol 12,5 – 50 g selama 15 menit, Bila belum
terjadi diuresis berikan furosemid 20 – 40 mg. Bila belum terjadi diuresis, segera
dilakukan dialisis peritoneal (bila mungkin, lakukan hemodialisis).
5. Hitung jumlah trombosit, partial tromboplastin time dan kadar fibrinogen serum.
6. Bila terjadi koagulasi intra vaskuler yang menyeluruh (disseminated intra vasculer
coagulation = DIC), segera dimulai terapi dengan heparin.
7. Pasien harus dirawat di unit perawatan intensif, agar pemantauan dan berbagai
tindakan dapat dilakukan dengan baik
Penatalaksanaan inkompatibilas ABO yang disebabkan oleh reaksi imunitas
antara antigen dan antibody yang sering terjadi pada ibu dan janin yang akan dilahirkan
dalam bentuk ringan tidak memerlukan pengobatan spesifik, kecuali bila terjadi kenaikan
bilirubin yang tidak wajar. Bentuk sedang memerlukan tranfusi tukar, umumnya
dilakukan dengan darah yang sesuai dengan darah ibu (Rhesus dan ABO).Jika tak ada
donor Rhesus negatif, transfusi tukar dapat dilakukan dengan darah Rhesus positif
sesering mungkin sampai semua eritrosit yang diliputi antibodi dikeluarkan dari tubuh
bayi.Bentuk berat tampak sebagai hidrops atau lahir mati yang disebabkan oleh anemia
berat yang diikuti oleh gagal jantung.Pengobatan ditujukan terhadap pencegahan
terjadinya anemia berat dan kematian janin.

Transfusi tukar :
Tujuan transfusi tukar yang dapat dicapai :

1. memperbaiki keadaan anemia, tetapi tidak menambah volume darah


2. menggantikan eritrosit yang telah diselimuti oleh antibodi (coated cells) dengan
eritrosit normal (menghentikan proses hemolisis)
3. mengurangi kadar serum bilirubin
4. menghilangkan imun antibodi yang berasal dari ibu

Yang perlu diperhatikan dalam transfusi tukar :

a. berikan darah donor yang masa simpannya ≤ 3 hari untuk menghindari kelebihan
kalium
b. pilih darah yang sama golongan ABO nya dengan darah bayi dan Rhesus negatif (D-)
c. dapat diberikan darah golongan O Rh negatif dalam bentuk Packed red cells
d. bila keadaan sangat mendesak, sedangkan persediaan darah Rh.negatif tidak tersedia
maka untuk sementara dapat diberikan darah yang inkompatibel (Rh positif) untuk
transfusi tukar pertama, kemudian transfusi tukar diulangi kembali dengan
memberikan darah donor Rh negatif yang kompatibel.
e. pada anemia berat sebaiknya diberikan packed red cells
f. darah yang dibutuhkan untuk transfusi tukar adalah 170 ml/kgBBbayi dengan lama
pemberian transfusi ≥ 90 menit
g. lakukan pemeriksaan reaksi silang antara darah donor dengan darah bayi, bila tidak
memungkinkan untuk transfusi tukar pertama kali dapat digunakan darah ibunya,
namun untuk transfusi tukar berikutnya harus menggunakan darah bayi.
h. sebelum ditransfusikan, hangatkan darah tersebut pada suhu 37°C
i. pertama-tama ambil darah bayi 50 ml, sebagai gantinya masukan darah donor
sebanyak 50 ml. Lakukan sengan cara diatas hingga semua darah donor ditransfusikan.

Transfusi intra uterin :


Pada tahun 1963, Liley memperkenalkan transfusi intrauterin. Sel eritrosit donor
ditransfusikan ke peritoneal cavity janin, yang nantinya akan diabsorbsi dan masuk
kedalam sirkulasi darah janin (intraperitoneal transfusion). Bila paru janin masih belum
matur, transfusi intrauterin adalah pilihan yang terbaik. Darah bayi Rhesus (D) negatif tak
akan mengganggu antigen D dan karena itu tak akan merangsang sistem imun ibu
memproduksi antibodi. Tiap antibodi yang sudah ada pada darah ibu tak dapat
mengganggu darah bayi.Namun harus menjadi perhatian bahwa risiko transfusi intrauterin
sangat besar sehingga mortalitas sangat tinggi.Untuk itu para ahli lebih memilih intravasal
transfusi, yaitu dengan melakukan cordocentesis (pungsi tali pusat perkutan). Transfusi
dilakukan beberapa kali pada kehamilan minggu ke 26–34 dengan menggunakan Packed
Red Cells golongan darah O Rh negatif sebanyak 50–100 ml. Induksi partus dilakukan
pada minggu ke 32 dan kemudian bayi dibantu dengan transfusi tukar 1x setelah partus.
Induksi pada kehamilan 32 minggu dapat menurunkan angka mortalitas sebanyak 60%.

Transfusi albumin
Pemberian albumin sebanyak 1 mg/kg BB bayi, maka albumin akan mengikat
sebagian bilirubin indirek. Karena harga albumin cukup mahal dan resiko terjadinya
overloading sangat besar maka pemberian albumin banyak ditinggalkan.
Fototerapi
Foto terapi dengan bantuan lampu blue violet dapat menurunkan kadar bilirubin.
Fototerapi sifatnya hanya membantu dan tidak dapat digunakan sebagai terapi tunggal.

Prognosis
Pengukuran titer antibodi dengan tes Coombs indirek < 1:16 berarti bahwa janin
mati dalam rahim akibat kelainan hemolitik tak akan terjadi dan kehidupan janin dapat
dipertahankan dengan perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang lebih tinggi
menunjukan kemungkinan adanya kelainan hemolitik berat.Titer pada ibu yang sudah
mengalami sensitisasi dalam kehamilan berikutnya dapat naik meskipun janinnya Rhesus
negatif.
Jika titer antibodi naik sampai secara klinis bermakna, pemeriksaan titer antibodi
diperlukan.Titer kritis tercapai jika didapatkan nilai 1:16 atau lebih. Jika titer di dibawah
1:32, maka prognosis janin diperkirakan baik.

Mortalitas
Angka mortalitas dapat diturunkan jika :

1. Ibu hamil dengan Rhesus negatif dan mengalami imunisasi dapat dideteksi secara dini
2. Hemolisis pada janin dari ibu Rhesus negatif dapat diketahui melalui kadar bilirubin yang
tinggi didalam cairan amnion atau melalui sampling pembuluh darah umbilikus yang
diarahkan secara USG
3. Pada kasus yang berat, janin dapat dilahirkan secara prematur sebelum meninggal di
dalam rahim atau/dan dapat diatasi dengan transfusi intraperitoneal atau intravaskuler
langsung sel darah merah Rhesus negatif. Pemberian Ig-D kepada ibu Rhesus negatif
selama atau segera setelah persalinan dapat menghilangkan sebagian besar proses
isoimunisasi D.

E. Atresia Biliaris
Atresia biliaris adalah suatu kaeadaan dimana terjadi gangguan dari sistim bilier
ekstra hepatik .Karakteristik dari atresia biliarias adalah tidak terdapatnya sebagian sistim
bilier antara duodenum dan hati sehingga terjadi hambatan aliran empedu dan
menyebabkan gangguan fungsi hati tapi tidak menyebabkan Kern icterus karena hati
masih tetap membentuk konyugasi bilirubin dan tidak dapat menembus blood brain
barier.

Klasifikasi
 Tipe I : obliterasi dari duktus kholedekus ,duktus hepatikus normal.
 Tipe II : atresia duktus hepatikus dengan struktur kistik tampak pada derah porta
hepatis
 Tipe III : pada lebih 90% pasien ,atresia pada duktus hepatikus kiri dan kanan
setinggi porta hepatis.
Variasi ini tidak boleh dibingungkan dengan hipoplasia duktus biliaris intra hepatal ,
yang tidak dapat dikoreksi dengan pembedahan.

Epidemiologi
Amerika Serikat studi individu kejadian secara keseluruhan di Amerika Serikat
dari 1 per 10.000-15.000 kelahiran hidup.Internasional Insiden atresia bilier adalah
tertinggi pada populasi Asia, dan mungkin lebih umum pada bayi Cina dibandingkan
dengan bayi Jepang.
Sebelum pengembangan transplantasi hati sebagai pilihan terapi untuk anak-anak
dengan penyakit hati stadium akhir, tingkat kelangsungan hidup jangka panjang untuk
bayi dengan atresia bilier berikut portoenterostomy adalah 47-60% pada 5 tahun dan 25-
35% pada 10 tahun. Dalam sepertiga dari semua pasien, aliran empedu adalah operasi
berikut tidak memadai, dan anak-anak ini menyerah pada komplikasi sirosis bilier dalam
beberapa tahun pertama kehidupan kecuali transplantasi hati dilakukan.Berikut
portoenterostomy, komplikasi termasuk kolangitis (50%) dan hipertensi portal (> 60%).
hepatocellular carcinoma mungkin risiko bagi pasien dengan sirosis dan tidak ada bukti
klinis hipertensi portal. fibrosis progresif dan sirosis bilier berkembang pada anak-anak
yang tidak mengalirkan empedu.Dengan demikian, seperti yang dibahas di bawah ini
(lihat Prognosis), transplantasi hati mungkin satu-satunya pilihan untuk kelangsungan
hidup jangka panjang pada sebagian besar pasien.
Insiden atresia bilier adalah tertinggi pada populasi Asia.Gangguan juga terjadi
pada bayi hitam, dengan kejadian sekitar 2 kali lebih tinggi daripada yang diamati antara
bayi putih.Ekstrahepatik atresia bilier lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada
pria.Atresia bilier adalah gangguan yang unik untuk periode neonatal.Bentuk janin /
perinatal jelas dalam 2 minggu pertama kehidupan; jenis postnatal menyajikan pada bayi
berusia 2-8 minggu.

Etiologi
Penyebab dari Atresia bilier tidak diketahui dengan pasti .Mekanisme auto imun
mungkin merupakan sebagian penyebab terjadinya progresivitas dari Atresia bilier.Dua
tipe dari atresia biliaris adalah bentuk fetal dan terjadi selama masa fetus dan timbul
ketika lahir, serta bentuk perinatal lebih spesifik dan tidak terlihat pada minggu kedua
sampai minggu keempat kehidupan.Penelitian terbaru mengatakan infeksi virus pada bayi
sangat sugestif merupakan penyebab dari Atresia bilier. Kurang lebih 10 % dari Atresia
bilier terutama bentuk fetal bersama sama dengan kelainan kongenital lainnya seperti
kelainan jantung ,limpa dan ususAtrsia biliaris bukan kelainan heriditer ini terlihat pada
bayi kembar atresia bilier tidak terjadi pada keda bayi tersebut. Atresia bilier terjadi
selama periode fetus atau neonatal kemungkinan triger nya adalah salah satu atau
kombinasi faktor dibawah ini :
-Infeksi dengan virus atu bakteri
- Masalah sistim imun
- Komponen empedu yang abnormal
- Ganguan pertumbuhan dari liver dan duktus biliaris

Patofisiologi
Patofisiologi dari Atresia biliaris masih sulit dimengerti , penelitian terakhir
dikatakan kelainan kongenital dari sistim biliris.Masalah ontogenesis hepatobilier
dicurigai dengan bentuk atresia bilier yang berhubungan dengan kelainan kongenital yang
lain. Walaupun yang banyak pada tipe neonatal dengan tanda khas inflamasi yang
progresif,dengan dugaan infeksi atau toksik agen yang menyebabkan obliterasi duktus
biliaris . Pada tipe III :yang sering terjadi adalah fibrosis yang menyebabkan obliterasi
yang komplit sebagian sistim bilaris ekstra hepatal . Duktus biliaris intra hepatal yang
menuju porta hepatis biasanya pada minggu pertama kehidupan tampak paten tetapi
mungkin dapat terjadi kerusakan yang progresif.Adanya toksin didalam saluran empedu
menyebabkan kerusakan saluran empedu extrahepatis.Identifikasi dari aktivitas dari
inflamasi dan kerusakan Atresia sistim bilier ekstrahepatal tampaknya merupakan lesi
yang didapat. Walaupun tidak dapat didentifikasi faktor penyebab secara khusus tetapi
infeksi merupakan faktor penyebab terutama isolasi dari atresia bentuk neonatal .Banyak
penelitian yang menyatakan peninggian titer antibodi reovirus tipe 3 pada penderita
atresia biliaris dibandingkan dengan yang normal. Virus yang lain yang sudah diimplikasi
termasuk rotavirus dan cytomegali virus (CMV).

Gejala Klinis
Bayi –bayi dengan Atresia bilier biasanya lahir dengan berat badan yang normal
dan perkembangannya baik pada minggu pertama Hepatomegali akan terlihat lebih awal.
Splenomegali sering terjadi, dan biasanya berhubsungan dengan progresivitas penyakit
menjadi Cirrhosis hepatis dan hipertensi portal. Ikterus karena peninggian bilirubin direk
.Ikterus yang fisiologis sering disertai dengan peninggian bilirubin yang konyugasi .Dan
harus diingat peninggian bilirubin yang tidak konyugasi jarang sampai 2 minggu Pasien
dengan bentuk fetal /neonatal (sindrom polisplenia/asplenia) pertengahan liver bisa teraba
pada epigastrium Adanya murmur jantung pertanda adanya kombinasi dengan kelainan
jantung.

Diagnosis Atresia biliaris


1. Laboratorium
Pemeriksaan darah ,urine dan feses untuk menilai fungsi hati dengan peninggian
bilirubin, tes fungsi hati (LFT): LFT abnormal pada semua pasien dari BA. Ada
kenaikan bilirubin total serum (terutama terkonjugasi) dan penurunan protein serum
(terutama albumin) dan pembalikan rasio albumin / globulin pada kasus
lanjut.alkaline phosphatase dan transaminase (mis SGOT, SGPT) tingkat meningkat.
2. Biopsi liver
Dengan jarum yang khusus dapat diambil bagian liver yang ti[is dan dibawah
mikroskop dapat dinilai obstruksi dari sistim bilier
3. Radiologi
a. USG
b. Skintigrafi
Radiofarmaka (99m TC )-labeled iminodiasetic acid derivated sesudah 5
hari dari intake phenobarbital , ditangkap oleh hepar tapi tidak dapat keluar
kedalam usus ,karena tidak dapat meliwati sistim bilier yang rusak.Tes ini
sensitif untuk atresia bilier (100%)tapi kurang spesifik (60 %) . Pada keadaan
Cirrhosis penangkapan pada hepar sangat kurang.
c. Kholangiografi
1) Intra operatif atau perkutaneus kholangiografi melalui kandung
empedu yang terlihat :
- Gambaran atresia bilier bervariasi
- Pengukuran dari hilus hepar jika atresia dikoreksi secara
pembedahan dengan menganastomosis duktus biliaris yang
intak
2) Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP)
Dengan menyuntik senyawa penontras dapat dilihat langsung keadaan
duktus biliaris ekstra hepatal seperti:-Obstruksi duktus kholedokus
- dapat melihat distal duktus biliaris ekstra hepatal distal dari
duktus hepatikus komunis
- dapat melihat kebocoran dari sistim bilier ekstra hepatal
daerah porta hepatis
d. MRI
Dapat melihat dengan jelas duktus biliaris ekstra hepatal untuk menentukan
ada tidaknya atresia bilier
e. Intubasi duodenum
Jarang dilakukan untuk diagnosis Atresia bilier. Nasogastrik tub diletakkan
didistal duodenum.tidak adanya bilirubin atau asam empedu ketika diaspirasi
menunjukkan kemungkinan adanya obstruksi.
Pengobatan
- Atresia bilier adalah keadaan penyakit yang serius dan dapat menyebabkan cirrhosis
hepatis, hipertensi portal, karsinoma hepatoseluler, dan kematian terjadi sebelum
umur 2 tahun.
- Nutrisi pada pasien Atresia bilier harus diperhatikan terutama untuk lemak,asam
lemak esensial yang mudah diabsorbsi dan pemberian protein dan kalori yang baik.
- Operasi
a. Kasai prosedur :Tujuannya untuk mengangkat daerah yang mengalami atresia
dan menyambung hepar langsung ke usus halus sehingga cairan empedu dapat
lansung keluar ke usus halus disebut juga Roux-en-Y hepatoportojejunostomy .
b. ransplantasi hati : Dilakukan pada keadaan Kasai prosedur tidak berhasil ,
atresia total atau dengan komplikasi cirhosis hepatis

Komplikasi
1. Cirrhosis bilier yang progresif
2. Hipertensi portal da/atau perdarahan dari varses oesopagus ini terlihat pada 40 %
anak dibawah 3 tahun. Yang paling sering komplikasi dari Kasai prosedur adalah
asending kholangitis,infeksi bakteri. Pada keadaan normal bakteri ada dalam usus
dan bergerak keatas melalui Roux-en-menyebabkan infeksi.
DAFTAR PUSTAKA

1) Al-shurafa, Haider A, dkk. Management of Crigler-Najjar Syndrome type I. Saudi


Med J 2001; vol 22 (6): 486-489 [Tersedia di:
https://www.researchgate.net/publication/11914843_Management_of_Crigler-
Najjar_Syndrome_type_I]
2) Bakta, I Made. 2014. Hematologi Ringkas. Jakarta: EGC
3) Chaubal, Alisha N, dkk. Management of Pregnancy in CriglerNajjar Syndrome
type 2. World J Hepatol. 2016 April 18; 8(11): 530-532 [Tersedia di:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4832095/]
4) Kasper, Dennis L, dkk. Harrison’s Principles of Internal Medicine 19th Edition, p.
2001. 2015. United States: McGraw-Hill Education
5) Kliegman, Robert M, dkk. Nelson Textbook of Pediatrics 20th Edition, Vol 2, p.
1937-8. 2016. Philadelphia: Elsevier
6) Kurniawan, Boy Liong. (2014). “Skrining, Diagnosis, dan Aspek Klinis Defisiensi
Glukosa-6-FosfatDehidrogenase (G6PD)”. Continuing Medical Education.
41(11).
7) Mukherjee, dkk. Case report: A girl with yellow eyes- An enlightening
experience. Journal of Hepatology and Gastrointestinal Disorder 2015, 1:1
[Tersedia di: http://www.omicsonline.org/open-access/a-girl-with-yellow-eyes-
an-enlightening-experience-jhgd-1000109.pdf]
8) Murray, Robert K, dkk. 2013. Biokimia Harper. Jakarta : EGC. Edisi 27.

Anda mungkin juga menyukai