Anda di halaman 1dari 48

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan Tutorial tentang “Epilepsi”. Tutorial ini disusun dalam rangka
tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih kepada :
1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Ahmad Wisnu Wardhana, Sp. A selaku Kepala Laboratorium Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. Annisa Muhyi, Sp. A, M. Biomed, selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan saran selama penulis menjalani co-assistance di
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak, terutama di divisi Neurologi.
5. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD AWS/FK
Universitas Mulawarman.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga
penyusun mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan tutorial klinik ini.Akhir
kata, semoga tutorial klinik ini berguna bagti penyusun sendiri dan para pembaca.

Samarinda, Desember 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
BAB 2 LAPORAN KASUS ........................................................................................ 3
2.1. Identitas ......................................................................................................... 3
2.2. Anamnesis ..................................................................................................... 3
2.3 Pemeriksaan Fisik ........................................................................................ 5
2.4 Pemeriksaan Penunjang .............................................................................. 9
2.5. Diagnosis di IGD ......................................................................................... 10
2.6. Diagnosis DM .............................................................................................. 10
2.7. Penatalaksanaan di IGD ............................................................................ 10
2.8. Follow Up Pasien ........................................................................................ 10
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 13
3.1. Definisi ......................................................................................................... 13
3.2. Epidemiologi ............................................................................................... 13
3.3. Etiologi ......................................................................................................... 14
3.4. Patofisiologi ................................................................................................. 15
3.5. Klasifikasi .................................................................................................... 18
3.6. Diagnosis...................................................................................................... 23
3.6.1. Anamnesis .......................................................................................................... 23
3.6.1. Pemeriksaan Fisik dan Neurologis ............................................................... 25
3.6.2. Pemeriksaan Penunjang ................................................................................. 26
3.7. Risiko yang Dihadapi Pasien dengan First Unprovoke Seizure .............. 29
3.7.1. Risiko Kejang Berulang pada First Unprovoke Seizure (FUS) .............. 29
3.7.2. Risiko Gangguan Kognitif .............................................................................. 30
3.8. Penatalaksanaan ......................................................................................... 30
3.9. Prognosis ..................................................................................................... 33

ii
BAB 4 PEMBAHASAN ............................................................................................ 35
4.1. Anamnesis ................................................................................................... 35
4.2. Pemeriksaan Fisik ...................................................................................... 37
4.3. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................ 41
4.4. Penatalaksanaan ......................................................................................... 43
BAB 5 PENUTUP...................................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 45

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

Epilepsi adalah penyakit otak yang ditandai oleh (1) Paling tidak dua bangkitan
kejang spontan dengan jarak lebih dari 24 jam, (2) Satu bangkitan kejang spontan
(FUS) disertai kemungkinan berulang lebih dari 60% dalam 10 tahun berikutnya, dan
(3) Bila bangkitan kejang tersebut merupakan sindrom epilepsi (Fisher, 2014). First
Unprovoked Seizure (FUS) adalah satu bangkitan kejang atau beberapa bangkitan
kejang dalam 24 jam yang terjadi tanpa adanya faktor pencetus FUS dapat digolongkan
dalam epilepsi, bila risiko berulangnya bangkitan kejang melebihi 60% (Djer,
Sekartini, Dewi, & Harijadi, 2015).
Secara global diperkirakan 5 juta orang didiagnosis menderita epilepsi setiap
tahunnya. Di negara maju, diperkirakan terdapat 49 per 100.000 orang yang
didiagnosis epilepsi tiap tahunnya. Sedangkan di negara berkembang, angka tersebut
dapat mencapai 139 per 100.000 orang yang didiagnosis epilepsi setiap tahunnya. Hal
ini kemungkinan dapat disebabkan oleh karena peningkatan risiko kondisi endemik
seperti malaria, insiden kecelakaan lalu lintas yang lebih tinggi, cedera terkait proses
persalinan, serta ketersediaan program kesehatan preventif. Hampir 80% penderita
epilepsi terdapat di negera yang berpenghasilan rendah dan menengah. Di Indonesia
sampai saat ini belum ada data insiden yang pasti karena banyak penderita epilepsi
yang tidak terdeteksi atau tidak mengunjungi pusat kesehatan (Kemenkes, 2017;
(WHO, 2019).
Sebelum memulai pemberian OAE, diagnosis epilepsi ataau sindrom epilepsi
harus pasti. Respon individu terhadap OAE tergantung dari tipe kejang, klasifikasi dan
sindrom epilepsi, serta harus di evaluasi setiap kali kunjungan. Maayoritas anak dengan
first unprovoked seizure tidak mengalami kekambuhan. Anak dengan hasil
pemeriksaan EEG normal dan kejang awitan dini pada saat terjaga, mempunyai angka
kekambuhan dalam 5 tahun sebesar 21%. Faktor risiko kekambuhan adalah etiologi
simtomatik, hasil pemeriksaan EEG aabnormal, riwayat kejang demam, dan usia
kurang dari 3 tahun. Suatu studi klinis acak tersamar dengan jumlah sampel besar

1
menunjukkan bahwa pada anak dengan kejang tonik klonik umum tanpa pencetus
pertama kali, pemberian terapi OAE segera setelah kejang pertama dibandingkan
dengan menunggu sampai kejang berulang tidak mengubah prognosis jangka panjang
dalam hal relaps, serta memiliki angka remisi yang sama (Kemenkes, 2017).
Anak, orang tua dan keluarga harus diberikan edukasi yang baik, dengan
mempertimbangkan bahwa mungkin saja FUS merupakan single event yang tidak
berbahaya dibandingkan risiko pemberian OAE yang mempunyai efek samping.
Manfaat pemberian OAE setelah FUS tampaknya hanya mengurangi kejang dalam
waktu singkat, tetaapi tidak memengaruhi angka kekambuhan jangka panjang
(Kemenkes, 2017).

2
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1. Identitas
a) Identitas Pasien :
Nama : An. G Y
Usia : 3 Tahun 9 Bulan
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Muara Badak
Tanggal MRS : 16 Desember 2019
b) Identitas Orang Tua
Nama Ayah : Tn. J
Usia : 30 Tahun
Alamat : Muara Badak
Pekerjaan : Swasta

2.2. Anamnesis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik dilakukan pada tanggal 18 Desember
2019 di Ruang Melati.
1. Keluhan Utama
Kejang
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS AWS pada tanggal 16 Desember 2019.
Pasien datang dengan keluhan kejang. Pasien kejang sebanyak 3
kali SMRS. Kejang terjadi pada pukul 10.30, lalu pukul 11.00 dan
pukul 14.00. Durasi dari tiap kejang yang dialami pasien kurang
dari 5 menit. Bentuk kejang kaku seluruh tubuh. Diantara periode
kejang pasien sadar. Saat pasien sampai di Ruang Melati, pasien
kejang sebanyak 2x. kejang terjadi pada hari Senin malam dan
Selasa pagi. Saat kejang pasien tidak demam. Keluhan lain yang

3
dirasakan pasien yaitu BAB cair. BAB cair sebanyak 3x SMRS,
BAB disertai dengan ampas, bewarna kuning, tidak ada lendir dan
darah. Selain itu pasien juga menderita batuk, pilek, dan muntah.
Batuk dan pilek selama ± 1 minggu SMRS. Muntah sebanyak 1x
SMRS.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat kejang sebelumnya.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan yang sama.
5. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Selama hamil, ibu pasien rutin kontrol dengan dokter spesialis
kandungan. Selama hamil, ibu pasien hanya mengkonsumsi tablet
besi, tidak ada mengkonsumsi obat-obatan atau vitamin lainnya. Ibu
pasien mengaku tidak memiliki penyakit selama kehamilan. Pasien
lahir spontan di RS dengan usia kehamilan 38 minggu, berat badan
lahir 3.500 gram dan panjang badan lahir 40 cm.
6. Riwayat Makanan dan Minuman
Dari lahir sampai usia 3 bulan pasien mengkonsumsi ASI,
setelahnya minum susu formula sampai saat ini. Pasien mulai
mengkonsumsi bubur saring saat usia 6 bulan. Pasien mulai makan
nasi saat usia 1 tahun.
7. Riwayat Pengobatan
 IVFD D5 ¼ NS 1000 cc/24 jam
 Paracetamol inj 3x120 mg
 Zinc syr 1 x I cth
 Oralit 3 x ½ sach
 Diazepam pulv 3 x 3,5 mg
8. Riwayat Imunisasi
 Polio : 4x (usia 0 bulan, 2 bulan, 3 bulan, 4
bulan)

4
 DPT/HB : 3x (usia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan)
 Hepatitis B : 1x (usia 0 bulan)
 BCG : 1x (usia 0 bulan)
 Campak : Belum Imunisasi
9. Pertumbuhan dan Perkembangan
 BB Lahir : 3.500 gram
 PB Lahir : 40 cm
 BB Sekarang : 14 kg
 TB Sekarang : 89 cm
 LILA : 14,5 cm

2.3 Pemeriksaan Fisik


 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Komposmentis, GCS E4V5M6
 Tanda-Tanda Vital :
a) Tekanan Darah : 90/60 mmHg
b) HR : 100x/menit
c) RR : 28x/menit
d) Suhu : 36°C
e) SpO2 : 99%
 Antropometri :
a) BB : 11 Kg
b) TB : 89 cm
c) BBL : 3.500 gram
d) PBL : 40 cm
e) LILA : 14,5 cm

5
 Status Gizi
Penentuan status gizi berdasarkan Grafik WHO
BB/U : 11 kg / 3 tahun 9 bulan = Kurang dari -2 SD
(Gizi Kurang)

TB/U : 83 cm / 3 tahun 9 bulan = Kurang dari -


3SD (Perawakan sangat pendek/kerdil)

6
BB/TB : 11 kg / 83 cm = 1 SD sampai -1 SD (Gizi Baik)

 Status Generalisata
a) Kepala dan Leher :
- Rambut : Warna hitam, , tidak mudah dicabut
- Mata :Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik
(-/-), Pupil isokor diameter 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+)
- Wajah : Simetris, edema (-), tidak terdapat luka
atau jaringan parut
- Hidung : Pernapasan cuping hidung (-/-)
- Mulut : Tonsil hiperemi (-), Gigi berlubang (-)
- KGB : Tidak terdapat pembesaran KGB

b) Thorax :
- Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris, retraksi
(-)
- Palpasi : Vocal Fremitus dextra=sinistra
- Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru

7
- Auskultasi : Vesikular (+), Rhonki (-/-),Wheezing (-
/-)
c) Jantung :
- Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
- Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS 5
midklavikula sinistra
- Perkusi : Batas jantung normal
- Auskultasi : S1S2 tunggal regular, Murmur (-),
Gallop (-)
d) Abdomen
- Inspeksi : Tampak flat
- Aukultasi : Bising Usus (+), Kesan meningkat.
- Palpasi : Soefl, Nyeri tekan (-), hepar dan lien
tidak teraba
- Perkusi : Timpani pada 4 kuadran
e) Ekstremitas Atas
- Akral teraba hangat, CRT < 2 detik, Edema (-/-)
f) Ekstremitas Bawah
- Akral teraba hangat, CRT < 2 detik, Edema (-/-)
g) Pemeriksaan motorik
- Ekstremitas atas:
 Tidak ditemukan atrofi, fasikulasi
 Normotonus dekstra/ Normotonus sinistra
 Kekuatan: Tangan kanan: 5, Tangan kiri : 5
- Ekstremitas bawah
 Tidak ditemukan atrofi, fasikulasi
 Normotonus dekstra/ Normotonus sinistra
 Kekuatan : Kaki kanan: 5, Kaki kiri : 5

8
h) Refleks fisiologis
- Bisep : +/+
- Trisep : +/+
- Brachioradialis : +/+
- Patella : +/+
- Achilles : +/+
i) Refleks patologis
- Babinski : -/-
- Chaddok : -/-
- Oppenheim : -/-
- Gordon : -/-
- Schaffer : -/-
- Hoffman trommer : -/-

2.4 Pemeriksaan Penunjang


 Hematologi dan Kimia Klinik (16/12/2019)
NO Hasil Hasil Nilai Normal
1 Leukosit 6.36 x 10^3/µL 6.000 – 17.000 /µL
2 Eritrosit 4.26 x 10^6/µL 3,90 – 40,0 x 106/ µL
3 Hemoglobin 11.1 g/dL 14 – 18 g /dL
4 Hematokrit 33.7 % 34 - 40 %
5 MCV 79.0 fl 81,0 – 99,0 fL
6 MCH 26.0 pg 27,0 – 31,0 pg
7 MCHC 32.9 g/dL 33,0 – 37,0 g/dL
8 Trombosit 375 x 10^3/µL 150.000 – 450.000 /µL
9 GDS 98 mg/dL 70-140 mg/dL
10 Natrium 133 mmol/L 135-155 mmol/L
11 Kalium 3.8 mmol/L 3.6-5.5 mmol/L
12 Chloride 102 mmol/L 98-108 mmol/L

9
2.5. Diagnosis di IGD
 KDK + GEA

2.6. Diagnosis DM
 Suspect Epilepsi dan Gastroenteritis
 First Unprovoke Epilepsy

2.7. Penatalaksanaan di IGD


1. IVFD D5 ¼ NS 1000 cc/24 jam
2. Paracetamol inj 3 x 120 mg
3. Zinc syr 1 x I cth
4. Oralit 3 x ½ sach
5. Diazepam pulv 3 x 3,5 mg

2.8. Follow Up Pasien

Tanggal Pemeriksaan Terapi


17 Desember 2019 S : pasien kejang P :
sebanyak 3x SMRS - IVFD D5 ¼ NS
dengan durasi kurang 1000 cc/24 jam
dari 5 menit. Kejang - Diazepam > STOP
tidak disertai dengan - Phenitoin 2 x 25 mg
demam. Setelah di ruang - Zinc Syr 1 x I cth
perawatan, pasien kejang - Oralit 3 x ½ sach
sebanyak 1x pada malam - Rencana EEG
hari, dengan durasi ± 3
menit, kejang seluruh
tubuh, setelah kejang

10
pasien sadar. Pada pagi
hari (17/12/19) pukul
09.00 pasien kejang di
ruang tindakan dengan
durasi ± 3 menit, kejang
seluruh tubuh, tanpa
demam, setelah kejang
pasien sadar.
BAB cair sebanyak 3x
SMRS. BAB bewarna
kuning, disertai ampas,
lendir (-), darah (-).
Nyeri perut (+), Muntah
1x SMRS.

O : CM, KU sakit sedang


- TD : 90/70
mmHg
- HR : 103x/menit
- RR : 23x/menit
- T : 36.4°C
- SpO2 : 98%

A : Suspect epilepsi,
Diare akut
18 Desember 2019 S : Tidak ada kejang, P :
demam (-), Pasien - IVFD D5 ¼ NS
mengeluh nyeri perut, 1000 cc/24jam

11
tidak dapat buang angin, - Inj Paracetamol 3 x
perut kembung. 120 mg (k/p)
- Phenitoin 2 x 25
O : CM, KU sakit sedang mg
- TD : 110/70 - Cefixime 2 x 3cc
mmHg - Susu diganti
- HR : 105x/menit menjadi susu free
- RR : 23x/menit lactose 4 x 150 cc
- T : 37,2°C - Chlorhidrat (untuk
- SpO2 : 99% pre medikasi)
- Rencana EEG hari
A : Suspect Epilepsi, Jumat 20/12/2019
Diare akut.
19 Desember 2019 S : Tidak ada kejang, P :
demam (-), nyeri perut (- - Phenitoin pulv 2 x
), BAB cair (-) 25 mg
- Zinc syr
O : CM, KU sakit ringan - Stesolid rectal 5 mg
- TD : 90/70 - Cefixime syr 2 x 3
mmHg cc
- HR : 100x/menit - Rencana EEG dari
- RR : 21x/menit poli saat kontrol
- T : 36.5°C
- SpO2 : 99%

A : Suspect Epilepsi,
Diare akut.

12
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Epilepsi adalah penyakit otak yang ditandai oleh (1) Paling tidak dua
bangkitan kejang spontan dengan jarak lebih dari 24 jam, (2) Satu bangkitan
kejang spontan (FUS) disertai kemungkinan berulang lebih dari 60% dalam 10
tahun berikutnya, dan (3) Bila bangkitan kejang tersebut merupakan sindrom
epilepsi (Fisher, 2014).
First Unprovoked Seizure (FUS) adalah satu bangkitan kejang atau
beberapa bangkitan kejang dalam 24 jam yang terjadi tanpa adanya faktor
pencetus. FUS didefinisikan dengan menggunakan kriteria dari International
League Against Epilepsy (ILAE), yaitu rangkaian kejang pada seorang anak
yang berusia lebih dari 1 bulan disertai pulihnya kesadaran diantara kejang dan
tidak diketahui adanya faktor pemicu terjadinya kejang seperti demam, trauma
kepala, infeksi sistem saraf pusat, tumor, atau kelainan metabolik seperti
hipoglikemia serta obat-obatan. Dahulu FUS tidak merupakan epilepsi. Dalam
klasifikasi baru, FUS dapat digolongkan dalam epilepsi, bila risiko
berulangnya bangkitan kejang melebihi 60% (Djer, Sekartini, Dewi, &
Harijadi, 2015; Melati, Suwarba, Sutriani M, & Kari, 2014).

3.2. Epidemiologi
Secara global diperkirakan 5 juta orang didiagnosis menderita epilepsi
setiap tahunnya. Di negara maju, diperkirakan terdapat 49 per 100.000 orang
yang didiagnosis epilepsi tiap tahunnya. Sedangkan di negara berkembang,
angka tersebut dapat mencapai 139 per 100.000 orang yang didiagnosis
epilepsi setiap tahunnya. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh karena
peningkatan risiko kondisi endemik seperti malaria, insiden kecelakaan lalu
lintas yang lebih tinggi, cedera terkait proses persalinan, serta ketersediaan

13
program kesehatan preventif. Hampir 80% penderita epilepsi terdapat di
negera yang berpenghasilan rendah dan menengah (WHO, 2019).
Insiden epilepsi secara global sebesar 144 per 100.000 anak di tahun
pertama kehidupan. Sedangkan insiden anak dengan epilepsi yang berusia 2
sampai 10 tahun mencapai 58 per 100.000 anak. Di negara berkembang,
insiden epilepsi sebesar 61-124 per 100.000 anak per tahun. Di Indonesia
sampai saat ini belum ada data insiden yang pasti karena banyak penderita
epilepsi yang tidak terdeteksi atau tidak mengunjungi pusat kesehatan. 40%
anak penderita epilepsi mengalami status epileptikus sebelum usia 2 tahun,
bahkan 75% penderita epilepsi mengalami status epileptikus sebagai gejala
utama epilepsi (Aaberg, Gunnes, Bakker, & Lund, 2017; Kemenkes, 2017).

3.3. Etiologi
International League Against Epilepsy (ILAE) membagi etiologi
epilepsi menjadi struktural, genetik, infeksi, metabolik, imun, dan tidak
diketahui. Penyebab struktural merupakan penyebab epilepsi yang ditandai
dengan adanya kelainan anatomi otak atau adanya lesi pada otak. Kelainan
pada otak dapat terjadi karena adanya trauma kepala, trauma persalinan,
demam tinggi, stroke, intoksikasi, tumor otak, masalah kardiovaskular
tertentu, gangguan keseimbangan eletrolit, infeksi, dan reaksi alergi. Setiap
infeksi yang terjadi di otak atau selaput pembungkus otak, baik infeksi yang
bersifat akut ataupun kronis, dapat menyebabkan kejang. Neurosistiserkosis
adalah infeksi yang paling umum sebagai penyebab epilepsi. Infeksi ini
disebabkan oleh cacing pita yang paling banyak ditemukan di Amerika Latin,
Afrika dan Asia. Infeksi penyebab epilepsi lainnya yaitu HIV, TB, malaria,
meningitis dan ensefalitis. Kondisi sistem imun yang dapat menyebabkan
kejang adalah saat terjadi reaksi autoimun. Tatalaksana kejang yang
disebabkan karena adanya reaksi autoimun ditujukan untuk menurunkan
sistem imun penderita (Brodie, Zuberi, Scheffer, & Fisher , 2018).

14
Penyebab dari FUS belum diketahui dan dikatakan tanpa pencetus jika
tidak ditemukan penyebab kejang yang biasanya terjadi pada anak, seperti
hipoglikemia, hipokalsemia, gangguan elektrolit, paparan toksin, infeksi
sistem saraf pusat, trauma, tumor, iatrogenik seperti pada torbutalin dosis
tinggi , klorpromazin, obat-obat imunosupresan dan lain-lain (Melati,
Suwarba, Sutriani M, & Kari, 2014).

3.4. Patofisiologi
Secara umum kejang terjadi apabila neuron-neuron dalam area otak
teraktivasi dengan cara sinkronisasi. Aktivasi local sekelompok neuron
kemudian menyebar ke neuron sekitarnya dan neuron-neuron jauh dalam
aktivasi abnormal. Terjadinya suatu kejang melibatkan berbagai macam aspek
seluler atau biokimiawi seperti gangguan fungsi kanal ion, level
neurotransmiter, fungsi reseptor neurotransmitter, atau metabolisme energi
yang mengganggu eksitabilitas neuron sehingga menimbulkan kejang. Secara
umum depolarisasi diperantarai oleh neurotransmitter eksitatori yaitu
glutamate dan aspartate. Peningkatan efektivitas sinaptik terjadi akibat
meningkatnya ambilan reseptor NMDA sehingga terjadi influks kalsium ke
dalam sel dan peningkatan eksitabilitas sel. Ketika proses eksitatori meningkat
terjadi reduksi simultan sirkuit inhibisi sehingga manifestasi kejang
berlangsung (Melati, Suwarba, Sutriani M, & Kari, 2014).

1) Gangguan pada membran sel neuron


Potensial membran sel neuron bergantung pada permeabilitas sel
tersebut terhadap ion natrium dan kalium. Membran neuron permeabel
sekali terhadap ion kalium dan kurang permeabel terhadap ion natrium,
sehingga didapatkan konsentrasi ion kalium yang tinggi dan konsentrasi
ion natrium yang rendah di dalam sel dalam keadaan normal. Potensial
membran ini dapat diganggu dan berubah oleh berbagai hal, misalnya
perubahan konsentrasi ion ekstraselular. stimulasi mekanis atau kimiawi,

15
perubahan pada membran oleh penyakit atau jejas, atau pengaruh
kelainan genetik. Bila keseimbangan terganggu, sifat semi permeabel
berubah, membiarkan ion natrium dan kalium berdifusi melalui membran
dan mengakibatkan perubahan kadar ion dan perubahan potensial yang
menyertainya. Potensial aksi terbentuk di permukaan sel, dan menjadi
stimulus yang efektif pada bagian membran sel lainnya dan menyebar
sepanjang akson. Konsep bahwa permeabilitas ion meningkat pada
bangkitan epilepsi saat ini banyak dianut. Tampaknya semua konvulsi,
apapun pencetus atau penyebabnya, disertai berkurangnya ion kalium dan
meningkatnya konsentrasi ion natrium di dalam sel (Vera, Dewi, &
Nursiah, 2014).

2) Gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan pasca-sinaps


sel neuron saling berhubungan sesamanya melalui sinaps-sinaps.
Potensial aksi yang terjadi di satu neuron dihantar melalui neurakason
yang kemudian membebaskan zat transmitter pada sinaps, yang
mengeksitasi atau menginhibisi membrane pasca sinaps. Transmitter
eksitas (asetilkolin, glutamate) mengakibatkan depolarisasi, zat
transmitter inhibisi (GABA, glisin) menyebabkan hiperpolarisasi neuron
penerimanya. Jadi satu impuls dapat mengakibatkan stimulasi atau
inhibisi pada transmisi sinaps. Tiap neuron berhubungan dengan sejumlah
besar neuron-neuron lainnya melalui sinaps eksitasi atau inhibisi,
sehingga otak merupakan struktur yang terdiri dari sel neuron yang saling
berhubungan dan saling memengaruhi aktivitasnya. Pada keadaan normal
didapatkan keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Gangguan terhadap
keseimbangan ini dapat mengakibatkan terjadinya bangkitan kejang. Efek
inhibisi ialah meningkatkan tingkat polarisasi membran sel. Kegagalan
mekanisme inhibisi mengakibatkan terjadinya lepas muatan listrik yang
berlebihan. Zat GABA merupakan neurotransmitter inhibitor mayor dan
reseptornya GABAA dan GABAB . GABAA adalah ligant gated channel

16
ion Cl- yang menyebabkan masuknya ion dan GABAB berpasangan
dengan secondary messenger menyebabkan keluarnya ion K+. kedua
reseptor akan menimbulkan inhibisi potensial aksi pada neuron post
sinaps. Gangguan sintesis GABA mengakibatkan perubahan
keseimbangan eksitasi-inhibsi dan eksitasi lebih unggu dan dapat
menimbulkan bangkitan epilepsi. Fosfat piridoksal penting untuk sintesis
GABA, defisiensi piridoksin metabolic atau nutrisi dapat mengakibatkan
konvulsi pada bayi (Vera, Dewi, & Nursiah, 2014).
Antikonvulsan valproate bekerja melalui pencegahan pemecahan
GABA. Dapat dikemukakan bahwa pada baayi dan anak, bukan saja
maturase anatomic dari sistem saraf pusat mempunyai peranan, tetapi
juga variasi antara keseimbangan sistem inhibisi dan eksitasi di otak
memainkan peranan penting dalam menentukan ambang kejang, dengan
demikian memengaruhi perubahan tinggi rendahnya ambang kejang.
Demikian pula, jaringan saraf dapat menjadi hipereksitibel oleh
perubahan homeostatis tubuh. Perubahan tersebut dapat diakibatkan oleh
demam, hipoksia, hipokalsemia, hipoglikemia, dan perubahan
keseimbangan asam basa. Faktor eksternal dapat pula meningkatkan
hipereksitabilitas, misalnya obat konvulsan, penghentian mendadak obat
aantikonvulsan terutama barbiturate. Dapat ditunjukkana bahwaa
aktivitas letupan listrik abnormal yang berfrekuensi tinggi didapatkan
pada sel neuron di fokus epileptik. Diduga bahwa aktifitas autonom ini
disebabkan oleh depolarisasi dendrit, karena adanya perbedaan potensial
antara badan sel daan dendrit. Perubahan patologis di dendrit ini dapat
diakibatkan oleh tekanan mekais, misalnya oleh jaringan parut. Neuron
epileptik secara histologis mempunyaia sedikit ujung sisnaps, dengan
demikian rangsang eferen yang diterimanya berkurang. Berkurangnya
rangsang eferen ini dapat mengakibatkan sel neuron menjadi
hipersensitif, misalnya terhadap zat kimiawi di sekelilingnya, dengan

17
demikian dapat terjadi lepas muaatan listrik yang berlebihan secara
spontan (Vera, Dewi, & Nursiah, 2014).

3) Sel glia
sel glia di duga berfungsi untuk mengatur ion Kalium ekstraseluler di
sekitar neuron dan terminal presinaps. Pada gliosis atau keadaan cedera,
fungsi glia yang mengatur konsentrasi ion kalium ekstraselular dapat
terganggu dan mengakibatkan meningkatnya eksitabilitas sel neuron di
sekitarnya. Rasio yang tinggi antara kadar ion kalium ekstraselular
disbanding intraselular dapat mendepolarisasi membrane neuron. Telah
didapat banyak bukti bahwa astroglia berfungsi membuang ion kalium
yang berlebihan sewaktu aktifnya sel neuron. Didapatkan bahwa
sewaktu kejang, kadar ion kalium meningkat sebanyak lima kali atau
lebih di cairan interstisial yang mengitari sel neuron. Waktu ion kalium
diserap oleh astroglia, cairan pun ikut terserap dan sel astroglia menjadi
membengkak (edema). Hal ini merupakan jawaban yang khas bagi
astroglia terhadap meningkatnya ion kalium ekstraselular, baik yang
disebabkan oleh hiperaktivitas neuronal, maupun akibat iskemia
serebral (Vera, Dewi, & Nursiah, 2014).

3.5. Klasifikasi
Pembagian kejang menurut ILAE 2017, secara garis besar dibagi
menjadi 3 kelompok utama: kejang fokal, kejang umum dan kejang tidak
terklasifikasikan. Pada kejang fokal dapat disertai gangguan kesadaran atau
tanpa gangguan kesadaran. Beberapa hal yang disorot adalah baik pada kejang
fokal dan umum dibagi berdasarkan gejala non-motor onset dan motor onset,
manifestasi antara kejang non-motor onset pada fokal dan umum dapat berbeda.
Selain itu, terdapat jenis bangkitan yang bisa masuk ke dalam fokal dan umum

18
(kejang tonik). Istilah secondary generalized seizure sudah digantikan dengan
terminologi focal to bilateral tonic-clonic.

Gambar 3.1 Klasifikasi Kejang Menurut ILAE 2017

1. Bangkitan Parsial/Fokal
Terjadi pada satu area otak dan terkadang menyebar ke area yang lain.
Jika menyebar akan menjadi kejang umum (sekunder), paling sering
terjadi kejang tonik klonik. 60% penderita epilepsi adalah kejang parsial,
dan terkadang kejang ini resisten terhadap OAE (Kristanto, 2017).
2. Kejang Umum
Terjadi pada seluruh area otak. Kesadaran dapat terganggu. Kejang umum
dapat diawali dengan kejang parsial simpleks atau kejang parsial
kompleks (Kristanto, 2017).

19
a) Kejang Tonik
Kejang yang ditandai dengan kontraksi otot yang berlangsung
selama beberapa detik sampai menit. Ekstremitas dan tubuh dapat
terlihat kaku. Karakteristik gambaran EEG adalah adanya
perlambatan aktivitas yang bersifat umum, atau tampak
gelombang epileptiform dengan voltase tinggi dan frekuensi cepat
(Kemenkes, 2017).
Kejang umum tonik mempunyai manifestasi berupa kekakuan
dan elevasi pada kedua tungkai, dan sering terjadi kekakuan leher.
Klasifikasi ini menganggap bahwa aktivitas tonik tidak diikuti
dengan gerakan klonik. Aktivitas tonik bisa berupa postur yang
abnormal, antara ekstensi atau fleksi, terkadang bersamaan
dengan tremor pada ektremitas. Aktivitas tonik kadang sulit
dibedakan dengan aktivitas distonik, yang didefinisikan sebagai
kontraksi yang dipertahankan pada kedua kedua otot agonis dan
antagonis yang memproduksi atetoid atau gerakan berputar,
dimana jika berlangsung lama, dapat menggambarkan postur yang
abnormal (ILAE, 2017).
b) Kejang Klonik
Kejang umum klonik mulai, berlangsung, dan selesai dengan
sentakan terus menerus yang berirama pada tungkai di kedua sisi
tubuh dan sering pada kepala, leher, wajah, dan batang tubuh.
Kejang umum klonik jauh lebih jarang terjadi daripada kejang
tonik-klonik , biasanya terjadi pada bayi, dan harus dibedakan dari
serangan gelisah atau gemetar (ILAE, 2017).
Kejang yang ditandai sentakan mioklonik sekelompok otot
dengan pengulangan secara teratur kurang lebih 2-3 siklus per
detik serta berlangsung lama, biasanya melibatkan kedua sisi
tubuh. Gerakan tersebut tampak menyerupai gerakan mioklonik,
namun kejak klonik bersifat repetitif dengan kecepatan yang lebih

20
rendah dibandingkan mioklonik. Gambaran EEG tipikal pada
kejang klonik adalah adanya kompleks paku – ombak lambat
dengan frekuensi tinggi (Kemenkes, 2017).
c) Kejang Mioklonik, Mioklonik-Tonik, Mioklonik-Atonik
Kejang umum mioklonik dapat timbul terpisah atau bersama
aktivitas tonik maupun klonik. Mioklonus dibedakan dari klonus
dengan gerakan berulang yang lebih singkat dan ireguler.
Mioklunus merupakan gejala yang mungkin dapat berasal dari
etiologi epilepsi ataupun non epilepsi. Kejang mioklonik adalah
kontraksi otot tunggal atau multiple yang terjadi secara tiba-tiba,
cepat, dengan topografi yang bervariasi (aksial, ekstremitas
proksimal, distal). Kejang mioklonik dapat terjadi unilateral atau
bilateral. Gambaran EEG tipikal memperlihatkan gambaran
kompleks paku majemuk-ombak, atau lebih jarang berupa
gambaran paku ombak (ILAE, 2017; Kemenkes, 2017).
Kejang umum mioklonik tonik klonik bermula dengan
beberapa sentakan mioklonik dan diikuti dengan aktivitas tonik
klonik. Kejang ini sering ditemukan pada pasien remaja yang
mempunyai epilepsi miolkonik dan terkadang dengan epilepsi
umum yang lain. Masih diperdebatkan apakah gejala awal
merupakan mioklonik atau klonik, tapi cukup jarang dianggap
sebagai klonik (ILAE, 2017).
Kejang mioklonik atonik memiliki gambaran berupa seperti
sentakan yang singkat pada tangan dan kaki, dan berubah menjadi
kelemahan. Kejang ini, yang sebelumnya disebut sebagai kejang
mioklonik astatik, sering ditemukan pada Doose sindrome,
terkadang ditemukan juga pada sindrome Lennox-Gastaud dan
sindrome lainnya. Gambaran EEG memperlihatkan gelombang
paku ombak; gelombang paku terbentuk saat kejang mioklonik
dan gelombang ombak menyertai atonia (ILAE, 2017).

21
d) Kejang Atonik
Atonik berarti tidak adanya tonus. Ketika tonus kaki
menghilang saat kejang umum atonik, pasien akan terjatuh dalam
posisi duduk atau terkadang juga pada posisi berlutut atau muka
terlebih dahulu. Biasanya pasien akan pulih dalam beberapa detik
kemudian. Sebaliknya, kejang tonik atau tonik klonik biasanya
pasien akan terjatuh kebelakang. Kejang yang ditandai dengan
hilangnya tonus otot tanpa didahului kejang mioklonik atau tonik
yang berlangsung >1-2 detik. Melibatkan kepala, batang tubuh,
rahang atau otot ekstremitas (ILAE, 2017; Kemenkes, 2017).
e) Spasme Epileptik
Spasma epileptik sebelumnya dirujuk sebagai infantile
spasma, dan istilah infantile spasma lebih cocok untuk keadaan
epileptic spasma yang terjadi pada kanak-kanak. Epileptik spasma
mempunyai gambaran fleksi, ekstensi, atau campuran antara
ekstensi dan fleksi secara mendadak pada bagian otot proksimal
dan trunkal. Kejang ini sering ditemukan secara berkelompok dan
paling sering selama masa kanak-kanak (ILAE, 2017).
f) Kejang Non-Motor (Absens)
Kejang umum non motorik meliputi beberapa variasi dari
kejang absen. Sekelompok ilmuan mempertahankan perbedaan
antara absen tipikal dan atipikal, karena kedua jenis kejang ini
mempunyai perbedaan pada gambaran EEG, epilepsi sindrom,
terapi, dan prognosis. Menurut klasifikasi tahun 1981,
berdasarkan dari beberapa analisis yang berasal dari beberapa
rekaman video EEG, kejang absen dianggap sebagai atipikal jika
kejang tersebut berupa perubahan tonus yang lebih dibandingkan
absen tipikal atau onsetnya atau selesainya tidak mendadak.
Pemeriksaan EEG mungkin dibutuhkan untuk memperjelas dalam
membedakan kejang absen tipikal dan atipikal (ILAE, 2017).

22
Kejang absen mioklonik merupakan kejang absen yang
disertai gerakan mioklonik yang mempunyai ritmik 3 kali per
detik, yang menyebabkan gerakan abduksi searah dari tungkai atas
yang berujung dengan elevasi tangan yang progresif, dan
dihubungan dengan kelainan gelombang spike 3 kali per detik.
Kejang ini berdurasi 10 sampai 60 detik. Penurunan kesadaran
tidak terlalu jelas. Kejang absen mioklonik timbul bervariasi
berdasarkan keadaan genetik dan tanpa hubungan yang jelas
(ILAE, 2017).
Mioklonik kelopak mata merupakan sentakan mioklonik dari
kelopak mata dan disertai mata melirik ke arah atas, dan sering
diakhiri dengan menutup mata atau dengan cahaya. Mioklonik
kelopak mata sering dihubungkan dengan absen, tapi juga dapat
berupa kejang motorik yang tidak sesuai dengan absen, sehingga
sulit untuk dikategorikan. Klasifikasi tahun 2017
mengelompokkan mereka dengan kejang non motoric (absen),
dimana terlihat sedikit berlawanan, tetapi mioklonik ini seperti
pada yang dicontohkan membuatnya berhubungan dengan absen,
dibandingkan dengan non motorik. Kejang absen dan kejang
mioklonik kelopak mata dan dengan paroxismal EEG yang
diinduksi dengan penutupan mata dan foto sensitifitas merupaka
trias dari Sindroma Jeavons (ILAE, 2017).

3.6. Diagnosis
3.6.1. Anamnesis
Untuk mendiagnosis epilepsi terutama didapatkan dari anamnesis
yang baik. Investigasi selanjutnya berguna untuk menilai gangguan
fungsional dan struktural pada otak. Pada anamnesis terutama dipasktikan
lebih dulu apakah suatu bangkitan epilepsi atau bukan. Kemudian tentukan
jenis bangkitan dan sindroma epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE. Dalam

23
praktik klinis, auto dan alloanamnesis dari orang tua atau saksi mata harus
mencakup pre-iktal, iktal, dan post-iktal (Djer, Sekartini, Dewi, & Harijadi,
2015).
Diaganosis FUS ditegakkan dengan mengesampingkan keadaan lain
yang menyerupai kejang, seperti sinkop, tic, migren, masturbasi infantile,
serta parasomnia. Apabila kejadian yang menyerupai kejang telah
disingkirkan maka penyebab kejang lainnya harus ditelusuri terlebih dahulu
sebelum mendiagnosis FUS. Diagnosis banding dari FUS adalah acute
symptomatic seizure yaitu bangkitan kejang yang terjadi akibat suatu
pencetus sistemik berhubungan dengan kelainan pada otak, yang
berhubungan dengan kelainan lobus temporal. Dikatakan pencetus pada
acute symptomatic seizure apabila kejadian tersebut berlangsung dalam
kurun waktu satu minggu sebelum serangan, pencetus tersebut seperti stroke,
kerusakan otak traumatik, ensefalopati anoksik, subdural hematom, infeksi
pada sistem saraf pusat yang aktif, gangguan metabolik berat dalam kurun
waktu 1 jam sebelum kejang, seperti intoksikasi alcohol (Djer, Sekartini,
Dewi, & Harijadi, 2015; Kemenkes, 2017).
1. Pre Iktal/ Sebelum bangkitan
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya
bangkitan, seperti perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat,
hipotermi, mengantuk, menjadi sensitif, dan lain-lain. Kemudian juga
ditanyakan ingatan terakhir sebelum terjadi serangan, untuk
menentukan berapa lama amnesia terjadi sebelum serangan. Gejala
neurologis mungkin dapat menunjukan lokasi fokal (Kemenkes,
2017).
2. Iktal
Ditanyakan apakah terdapat aura atau adanya gejala yang
dirasakan pada awal bangkitan. Serta bagaimana pola/ bentuk
bangkitan, mulai dari deviasi mata, gerakan kepala, gerakan tubuh,
vokalisasi, automatisasi, gerakan pada salah satu atau kedua lengan

24
dan tungkai, bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit,
pucat, berkeringat, dan lain-lain. Ditanyakan juga apakah terdapat
lebih dari satu pola bangkitan, dan adakah perubahan pola dari
bangkitan sebelumnya, serta aktivitas pasien saat terjadi bangkitan,
misalnya saat tidur, saat terjaga, bermain, dan lain-lain. Serta berapa
lama bangkitan terjadi (Kemenkes, 2017).
3. Post Iktal
Apakah pasien langsung sadar, bingung, nyeri kepala, gaduh
gelisah, Todd’s paresis. (Djer, Sekartini, Dewi, & Harijadi, 2015).
4. Faktor pencetus: kelelahan, hormonal, stress psikologi, dan alkohol
5. Riwayat epilepsi sebelumnya: Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi
bangkitan, interval terpanjang antar bangkitan, dan kesadaran antar
bangkitan.
6. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap obat anti epilepsi
(OAE) sebelumnya. Perlu ditanyakan jenis dan dosis OAE, kepatuhan,
serta kombinasi OAE.
7. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis
psikiatrik maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun
komorbiditas.
8. Riwayat epilepsi dan penyakit lain yang berhubungan dalam keluarga
9. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh
kembang
10. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi SSP, dan lain-lain

3.6.1. Pemeriksaan Fisik dan Neurologis


1. Pemeriksaan fisik umum
Pemeriksaan dilakukan untuk mencari tanda-tanda gangguan yang
berkaitan atau yang mencetuskan epilepsi, seperti: trauma kepala,
tanda infeksi, kelainan kongenital, penggunaan alkohol atau napza,
kelainan pada kulit (neurofakomatosis), dan tanda keganasan.

25
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menyingkirkan penyebab kejang
yang lain seperti demam, penurunan kesadaran, tandatanda perdarahan
intrakranial, gejala intoksikasi, dan lainnya (Djer, Sekartini, Dewi, &
Harijadi, 2015).
2. Pemeriksaan neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologi fokal atau difus yang
dapat berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa
menit setelah bangkitan, maka akan tampak pascabangkitan terutama
tanda fokla yang tidak jarang dapat menjadi pentunjuk lokalisasi
seperti: paresis Todd, gangguan kesadaran post-iktal, dan afasia post-
iktal (Djer, Sekartini, Dewi, & Harijadi, 2015).

3.6.2. Pemeriksaan Penunjang


1. Elektroensefalografi (EEG)
Electro-ensefalografi adalah suatu metode studi aktivitas listrik
di korteks dengan menggunakan lead yang terpasang di skalp.
Elektroda-elektroda ini kemudian menangkap aktivitas listrik otak yang
paling tinggi. Banyak pasien dengan epilepsi memiliki EEG yang
normal, seperti pada epilepsi myoklonik juvenil hanya sekitar 50%
memiliki EEG abnormal. Namun EEG tetp modalitas pemeriksaan yang
paling berguna pada dugaan suatu bangkitan untuk membantu
menunjang diagnosis, penentuan jenis bangkitan maupun sindrom
epilepsi, menentukan prognosis, serta perlu atau tidaknya pemberian
OAE (Kemenkes, 2017).
Walaupun EEG secara rutin dilakukan pada kejang provokasi
pertama dan pada (dugaan) epilepsi, pemeriksaan ini bukanlah gold
standar untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Kelainan pada EEG
ditemukan pada 2-4% anak yang tidak pernah kejang, sebaliknya EEG
interictal pertama dapat normal pada 55% anak dengan kejang pertama
tanpa provokasi. Gambaran EEG saja tanpa memandang informasi

26
klinis tidak dapat menyingkirkan maupun menegakkan diagnosis
epilepsi (Kemenkes, 2017).
Pada EEG diperhatikan frekuensi dan amplitude gelombang
irama dasar, ada tidaknya asimetri, serta ada tidaknya aktivitas
epileptiform yang dapat berupa gelombang paku , gelombang tajam,
paku ombak , tajam ombak, paku multiple, burst suppression, dan
hipsaritmia. Diperhatikan juga lokalisasi aktivitas abnormal, bila ada.
Peran EEG pada epilepsi adalah sebagai berikut (Kemenkes, 2017) :
a) Membantun menentukan tipe kejang
b) Menunjukkan lokalisasi fokus kejang bila ada
c) Membantu menentukan sindrom epilepsi
d) Pemantauan keberhasilan terapi
e) Membantu menentukan apakah terapi obat antiepilepsi dapat
dihentikan
Secara tersediri, sensitivitas EEG untuk diagnosis epilepsi hanya
25-56%, sedangkan spesifitasnya 78-98%. Jika digunakan bersama
dengan temuan klinis pada anamnesis dan pemeriksaan neurologis,
maka sensitivitasnya menjadi 98,3% dan spesifitasnya 86% (Kemenkes,
2017).
Paradigma tidak diperlukan EEG pada kejang pertama harus
diubah. EEG dapat membaantu menetapkan apakah FUS merupakan
sindrom tertentu, apakah bangkitan kejang merupakan kejang parsial
atau umum. EEG abnormal, terutama adanya gelombang paku ombak,
merupakan prediktor yang konsisten dalam menentukan kemungkinan
kejang kembali (Djer, Sekartini, Dewi, & Harijadi, 2015).
2. Pencitraan
Peran pencitraan adalah untuk mendeteksi adanya lesi otak yang
mungkin menjadi faktor penyebab epilepsi atau kelainan neuro
developmental yang menyertai. Pencitraan dilakukan untuk
menentukan etiologi, prognosis, dan merencanakan tatalaksana klinis

27
yang sesuai. MRI merupakan pencitraan pilihan untuk mendeteksi
kelainan yang mendasari epilepsi. Indikasi MRI pada anak dengan
epilepsi adalah sebagai berikut (Djer, Sekartini, Dewi, & Harijadi, 2015;
Kemenkes, 2017) :
a) Epilepsi fokal berdasarkan gambaran klinis atau EEG.
b) Pemeriksaan neurologis yang abnormal, misalnya ada defisit
neurologis fokal, tanda malformasi otak, keterlambatan
perkembangan yang bermakna, dan kemunduran
perkembangan.
c) Anak berusia kurang dari 2 tahun
d) Anak dengan gejala khas sindrom epilepsi simptomatik,
misalnya spasme infantile
e) Epilepsi intraktabel
f) Status epileptikus
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dikerjakan bersifat individual,
berdasarkan riwayat dan kondisi klinis pasien seperti muntah, diare,
dehidrasi dan tidak sadar. Skrining toksikologi dikerjakan jika dicurigai
paparan atau kecanduan obat atau toksin (Kemenkes, 2017).
Pemeriksaan hematologis yang mencakup hemoglobin, leukosit,
dan hitung jenis, hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit,
kadar gula darah sewaktu, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin,
dan albumin. Pemeriksaan ini dilakukan pada (Kemenkes, 2017) :
a) Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan
diagnosis banding dan pemilihan OAE
b) Dua bulan setelah pemberin OAE untuk mendeteksi efek
samping OAE.
c) Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor samping
OAE, atau bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE.

28
Pemeriksaan kadar OAE idealnya untuk melihat kadar OAE
dalam plasma saat bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah
mencapai dosis terapi maksimal atau untuk memonitor kepatuhan
pasien.

3.7. Risiko yang Dihadapi Pasien dengan First Unprovoke Seizure


3.7.1. Risiko Kejang Berulang pada First Unprovoke Seizure (FUS)
Kebanyakan anak tidak akan mengalami kejang berulang setelah FUS.
Identifikasi pasien dengan risiko tinggi berulangnya kejang sangatlah
penting dilakukan sebab pendekatan pasien dengan faktor risiko tidaklah
sama dengan pasien tanpa faktor risiko. Beberapa faktor risiko berulangnya
FUS (Melati, Suwarba, Sutriani M, & Kari, 2014) :
1. Kelainan neurologis dan gambaran EEG epileptiform
Kelainan neurologis yang mendasari seperti retardasi mental, serebral
palsi, pasca trauma kepala, atau pasca infeksi sistem saraf pusat
sebelumnya, serta gambaraan EEG epileptiform.
2. Durasi kejang
Kejang menginduksi kerusakan hipokampus dan faktor risiko.
Beberapa penelitian eksperimental menunjukkan bahwa walaupun
kejang berkepanjangan mungkin tidak menyebabkan kerusakan
hipokampus dalam otak normal, akan tetapi kejang ini dapat
mempengaruhi kemampuan belajar dan tingkah laku. Meskipun durasi
kejang bukan merupakan faktor risiko yang mendukung terjadinya
berulangnya kejang akan tetapi pertimbangan pemberian pengobatan
OAE bukan hanya menurunkan risiko berulangnya kejang tetapi juga
menurunkan risiko terjadinya kejang yang berkepanjangan bahkan
status epileptikus. Berdasarkan alasan ini maka penanganan efektif
untuk mencegah kejang berkepanjang harus diawali dengan tepat.

29
3. Keadaan Tidur
Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan risiko berulangnya
kejang jika kejang terjadi pada saat pasien tidur.Tidur pada saat kejang
pertama menimbulkan risiko berulang sebesar 50% atau lebih dan
berulangnya kejang cenderung terjadi dalam keadaan tidur, sama
seperti pada kejang yang pertama.
4. Riwayat kejang demam kompleks sebelumnya
Risiko berulangnya kejang pada pasien dengan riwayat kejang demam
kompleks sebelumnya . Beberapa penelitian sebelumnya
menunjukkan angka berulangnyakejang bervariasi mulai dari 24%
pada pasien tanpa faktor risiko hingga 65% atau lebih pada pasien yang
memiliki dua atau lebih faktor risiko (misalnya riwayat epilepsi dalam
keluarga, awitan parsial, gambaran EEG epileptiform, dan kelainan
pada sistem saraf pusat.

3.7.2. Risiko Gangguan Kognitif


Suatu penelitian kohort selama 15 tahun terhadap 153 anak dengan FUS
dan 105 anak dengan epilepsi memperlihatkan bahwa kemampuan
kognitif anak dengan kejang satu kali tidak berbeda bermakna dengan
saudara sekandung yang tidak mengalami kejang. Anak yang sudah
mengalami epilepsi menunjukkan prestasi yang lebih buruk
dibandingkan anak dengaan FUS. Sebanyak 28% anak yang mengalami
satu kali kejang dan 40% anak yang mengalami epilepsi memerlukan
Pendidikan khusus. Makin sering bangkitan epilepsi, makin buruk
prestasi akademis (Djer, Sekartini, Dewi, & Harijadi, 2015).

3.8. Penatalaksanaan
Sebelum memulai pemberian OAE, diagnosis epilepsi ataau sindrom
epilepsi harus pasti. Respon individu terhadap OAE tergantung dari tipe
kejang, klasifikasi dan sindrom epilepsi, serta harus di evaluasi setiap kali

30
kunjungan. Mayoritas anak dengan first unprovoked seizure tidak mengalami
kekambuhan. Anak dengan hasil pemeriksaan EEG normal dan kejang awitan
dini pada saat terjaga, mempunyai angka kekambuhan dalam 5 tahun sebesar
21%. Faktor risiko kekambuhan adalah etiologi simtomatik, hasil pemeriksaan
EEG aabnormal, riwayat kejang demam, dan usia kurang dari 3 tahun. Suatu
studi klinis acak tersamar dengan jumlah sampel besar menunjukkan bahwa
pada anak dengan kejang tonik klonik umum tanpa pencetus pertama kali,
pemberian terapi OAE segera setelah kejang pertama dibandingkan dengan
menunggu sampai kejang berulang tidak mengubah prognosis jangka panjang
dalam hal relaps, serta memiliki angka remisi yang sama (Kemenkes, 2017).
Anak, orang tua dan keluarga harus diberikan edukasi yang baik,
dengan mempertimbangkan bahwa mungkin saja FUS merupakan single event
yang tidak berbahaya dibandingkan risiko pemberian OAE yang mempunyai
efek samping. Manfaat pemberian OAE setelah FUS tampaknya hanya
mengurangi kejang dalam waktu singkat, tetaapi tidak memengaruhi angka
kekambuhan jangka panjang (Kemenkes, 2017).
1. Pemberian OAE
Pada epilepsi yang baru terdiagnosis, semua kelompok usia dan
semua jenis kejang, beberapa uji klinis acak menunjukkan bahwa
karbamazepin, asam valproate, klobazam, fenitoin, dan fenobarbital
efektif sebagai OAE, namun penelitian tersebut tidak dapat
membuktikana perbedaan yang bermakna antara obat-obat tersebut dalam
hal efikasi obat-obat tersebut. Selain efikasi, efek samaping OAE pun
harus dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum memilih OAE. Hal yang
tidak kalah pentingnya adalah cost-effectiveness, WHO
merekomendasikan fenobarbital sebagai terapi pilihan kejang fokal dan
tonik-klonik umum pada negara dengan sumber daya terbatas
(Kemenkes, 2017).

31
Gambar 3.2. Pilihan OAE Lini Pertama

2. Kombinasi terapi OAE


Sekitar 70% epilepsy pada anak berespon baik pada pemberian OAE lini
pertama atau lini kedua. Jika OAE lini pertama dan lini kedua masing-
masing gagal sebagai monoterapi, peluang untukmencoba monoterapi
lain dalam memberantas kejang sangat kecil, sehingga terapi OAE
kombinasi perlu dipertimbangkan. Sebelum memulaia terapi kombinasi,
terdapat beberapa ahal yang perlu dipertimbangkan : (1) Apakah
diagnosis sudah tepat, (2) Apakah kepatuhan minum obat sudah baik, (3)
Apakah pilihan OAE dan dosis OAE sudah tepat.
a) Epilepsi Umum Idiopatik
Pada epilepsi umum idiopatik yang resisten terhadap monoterapi,
pemberian topiramat, lamotrigin, dan klobazam efektif sebagai terapi
add-on.

32
b) Epilepsi Umum Simtomatik
Lamotrigin dan topiramat efektif sebagai terapi add-on pada sindrom
Lennox-Gastaut. Klobazam, klonazepam, dan nitrazepam dapat
dipakai sebagai terapi kombinasi baik pada epilepsi umum idiopatik
atau epilepsi umum simtomatik.
c) Kejang Fokal
Lamotrigine, gabapentin, topiramat tiagabine, dan okskarbazepin
efektif sebagai terapi add-on (kombinasi) untuk kejang fokal.
3. Pengehentian OAE
Pengehentian OAE harus dipertimbangkan kalau anak bebas
kejang selama 2 tahun atau lebih. Secara keseluruhan 60% sampai 70%
anak penyandang epilepsi yang telah bebas kejang 2 tahun atau lebih tidak
akan mengalami kejang kembali meskipun OAE dihentikan. Sekitar 30-
40% anak penyandang epilepsi akan mengalami kekambuhan dalam 2
tahun setelah bebas kejang. Meskipun mengalami kekambuhan, remisi
jangka paanjang dapat diperoleh kembali setelah mendapat terapi standar
(Kemenkes, 2017).
Beberapa faktor risiko yang dapat memprediksi kekambuhan
adalah epilepsi simtomatik, sindrom epilepsi, usia awitan kejang lebih
dari 12 tahun, periode bebas kejang kurang dari 6 bulan, dan hasil
pemeriksaan EEG abnormal pada saat penghentian obat (Kemenkes,
2017).

3.9. Prognosis
Kekambuhan setelah bangkitan pertama terjadi kurang dari setengah
pada anak atau dewasa muda dengan EEG normal, neuroimaging normal, dan
tidak ada riwayat penyebab epilepsi simptomatis. Sedangkan pada usia tua
kekambuhan dapat mencapai 70%. Bangkitan yang pertama kali timbul pada
usia tua lebih mudah diobati dibandingkan pada kelompok usia yang lebih
muda, dengan persentase kejadian bebas kejang 60%-70% dengan

33
monoterapi. Kejang yang tidak ditangani juga dapat menimbulkan bahaya
seperti jatuh, fraktur, cedera kepala, sudden death, dan status epileptikus
(Kemenkes, 2017).

34
BAB 4
PEMBAHASAN

4.1. Anamnesis

Kasus Teori
Keluhan : - Pasktikan lebih dulu apakah
- Kejang sebanyak 3x SMRS, suatu bangkitan epilepsi atau
kejang kaku seluruh tubuh, tidak bukan. Kemudian tentukan
disertai dengan demam. Durasi jenis bangkitan dan sindroma
tiap kejang kurang dari 5 menit. epilepsi berdasarkan klasifikasi
Diantara kejang, anak sadar. ILAE.
- Di ruang perawatan, pasien - Fase Pre Iktal : Kondisi fisik
kembali kejang sebanyak 2x. dan psikis yang
kejang tanpa demam, kejang mengindikasikan akan
seluruh tubuh, dengan durasi terjadinya bangkitan, seperti
kurang lebih 3 menit. perubahan perilaku, perasaan
- Keluhan lain : BAB cair lapar, berkeringat, hipotermi,
sebanyak 3x SMRS, BAB warna mengantuk, menjadi sensitif,
kuning, disertai ampas, lendir (-), dan lain-lain. Kemudian juga
daarah (-). selain itu pasien batuk ditanyakan ingatan terakhir
dan pilek sejak 1 minggu SMRS. sebelum terjadi serangan, untuk
- Tidak terdapat riwayat kejang menentukan berapa lama
sebelumnya. Di keluarga juga amnesia terjadi sebelum
tidak terdapat riwayat kejang. serangan. Gejala neurologis
- Tidak terdapat riwayat infeksi mungkin dapat menunjukan
otak, atau cedera pada kepala. lokasi fokal
- Imunisasi belum lengkap. Belum - Fase Iktal : Ditanyakan apakah
mendapat imunisasi campak terdapat aura atau adanya
gejala yang dirasakan pada

35
awal bangkitan. Serta
bagaimana pola/ bentuk
bangkitan, mulai dari deviasi
mata, gerakan kepala, gerakan
tubuh, vokalisasi, automatisasi,
gerakan pada salah satu atau
kedua lengan dan tungkai,
bangkitan tonik/klonik,
inkontinensia, lidah tergigit,
pucat, berkeringat, dan lain-
lain. Ditanyakan juga apakah
terdapat lebih dari satu pola
bangkitan, dan adakah
perubahan pola dari bangkitan
sebelumnya, serta aktivitas
pasien saat terjadi bangkitan,
misalnya saat tidur, saat
terjaga, bermain, dan lain-lain.
Serta berapa lama bangkitan
terjadi.
- Fase post iktal : Apakah pasien
langsung sadar, bingung, nyeri
kepala, gaduh gelisah, Todd’s
paresis.
- Riwayat epilepsi sebelumnya:
Usia awitan, durasi bangkitan,
frekuensi bangkitan, interval
terpanjang antar bangkitan, dan
kesadaran antar bangkitan.

36
- Terapi epilepsi sebelumnya dan
respon terhadap obat anti
epilepsi (OAE) sebelumnya.
Perlu ditanyakan jenis dan
dosis OAE, kepatuhan, serta
kombinasi OAE.
- Penyakit yang diderita
sekarang, riwayat penyakit
neurologis psikiatrik maupun
sistemik yang mungkin
menjadi penyebab maupun
komorbiditas.
- Riwayat epilepsi dan penyakit
lain yang berhubungan dalam
keluarga
- Riwayat saat berada dalam
kandungan, kelahiran, dan
tumbuh kembang
- Riwayat trauma kepala, stroke,
infeksi SSP, dan lain-lain
4.2. Pemeriksaan Fisik

Kasus Teori
- Keadaan Umum : Tampak sakit - Trauma kepala, tanda infeksi,
sedang kelainan kongenital,
- Kesadaran : Komposmentis, penggunaan alkohol atau
GCS E4V5M6 napza, kelainan pada kulit
- Tanda-Tanda Vital : (neurofakomatosis), dan tanda
a) Tekanan Darah : 90/60 keganasan, demam, penurunan
mmHg

37
b) HR : 100x/menit kesadaran ,tanda tanda
c) RR : 28x/menit perdarahan intracranial.
d) Suhu : 36°C - Paresis Todd, gangguan
e) SpO2 : 99% kesadaran post-iktal, dan afasia
- Antropometri : post-iktal
a) BB : 11 Kg
b) TB : 89 cm
c) BBL : 3.500 gram
d) PBL : 40 cm
e) LILA : 14,5 cm
- Status gizi :
a) BB/U : 11 kg / 3
tahun 9 bulan = Kurang
dari -2 SD (Gizi Kurang)
b) TB/U : 83 cm / 3
tahun 9 bulan = Kurang
dari -3SD (Perawakan sangat
pendek/kerdil
c) BB/TB : 11 kg / 83 cm
= 1 SD sampai -1 SD
(Gizi Baik)
- Status Generalisata
a) Kepala dan Leher :
 Rambut : Warna hitam, ,
tidak mudah dicabut
 Mata : Konjungtiva
anemis (-/-), Sklera
ikterik (-/-), Pupil isokor

38
diameter 3mm/3mm,
reflex cahaya (+/+)
 Wajah : Simetris, edema
(-), tidak terdapat luka
atau jaringan parut
 Hidung : Pernapasan
cuping hidung (-/-)
 Mulut : Tonsil hiperemi
(-), Gigi berlubang (-)
 KGB : Tidak terdapat
pembesaran KGB

b) Thorax :
 Inspeksi : Gerakan
dinding dada simetris,
retraksi (-)
 Palpasi : Vocal Fremitus
dextra=sinistra
 Perkusi : Sonor pada
seluruh lapang paru
 Auskultasi :
Vesikular (+), Rhonki (-
/-),Wheezing (-/-)
c) Jantung :
 Inspeksi : Iktus kordis
tidak tampak
 Palpasi : Iktus kordis
teraba pada ICS 5
midklavikula sinistra

39
 Perkusi : Batas jantung
normal
 Auskultasi : S1S2
tunggal regular,
Murmur (-), Gallop (-)
d) Abdomen
 Inspeksi : Tampak flat
 Aukultasi : Bising Usus
(+), Kesan meningkat.
 Palpasi : Soefl, Nyeri
tekan (-), hepar dan lien
tidak teraba
 Perkusi : Timpani pada
4 kuadran
e) Ekstremitas Atas
Akral teraba hangat, CRT < 2
detik, Edema (-/-)
f) Ekstremitas Bawah
Akral teraba hangat, CRT < 2
detik, Edema (-/-)
g) Pemeriksaan motoric
 Ekstremitas atas: Tidak
ditemukan atrofi,
fasikulasi, Normotonus
dekstra/ Normotonus
sinistra, Kekuatan:
Tangan kanan: 5,
Tangan kiri : 5
 Ekstremitas bawah :

40
Tidak ditemukan atrofi,
fasikulasi, Normotonus
dekstra/ Normotonus
sinistra, Kekuatan :
Kaki kanan: 5, Kaki kiri
:5
h) Refleks fisiologis
 Bisep : +/+
 Trisep : +/+
 Brachioradialis : +/+
 Patella : +/+
 Achilles : +/+
i) Refleks patologis
 Babinski : -/-
 Chaddok : -/-
 Oppenheim : -/-
 Gordon : -/-
 Schaffer : -/-
 Hoffman trommer : -/-

4.3. Pemeriksaan Penunjang

Kasus Teori
Leukosit : 6.36 x 10^3/µL - EEG dapat membaantu
Eritrosit : 4.26 x 10^6/µL menetapkan apakah FUS
Hemoglobin : 11.1 g/dL merupakan sindrom tertentu,
Hematokrit : 33.7 % apakah bangkitan kejang
MCV : 79.0 fl merupakan kejang parsial atau

41
MCH : 26.0 pg umum. EEG abnormal,
MCHC : 32.9 g/dL terutama adanya gelombang
Trombosit : 375 x 10^3/µL paku ombak, merupakan
GDS : 98 mg/dL prediktor yang konsisten dalam
Natrium : 133 mmol/L menentukan kemungkinan
Kalium : 3.8 mmol/L kejang kembali.
Chloride : 102 mmol/L - Peran pencitraan adalah untuk
mendeteksi adanya lesi otak
yang mungkin menjadi faktor
penyebab epilepsi atau
kelainan neuro developmental
yang menyertai. Pencitraan
dilakukan untuk menentukan
etiologi, prognosis, dan
merencanakan tatalaksana
klinis yang sesuai.
- Pemeriksaan laboratorium
dikerjakan bersifat individual,
berdasarkan riwayat dan
kondisi klinis pasien seperti
muntah, diare, dehidrasi dan
tidak sadar. Skrining
toksikologi dikerjakan jika
dicurigai paparan atau
kecanduan obat atau toksin

42
4.4. Penatalaksanaan

Kasus Teori
- Penatalaksanaan di IGD - Terapi OAE
a) IVFD D5 ¼ NS 1000 cc/24
jam
b) Paracetamol inj 3 x 120 mg
c) Zinc syr 1 x I cth
d) Oralit 3 x ½ sach
e) Diazepam pulv 3 x 3,5 mg
- Penatalaksanaan di Ruangan
a) IVFD D5 ¼ NS 1000 cc/24
jam
b) Phenitoin 2 x 25 mg
c) Zinc Syr 1 x I cth
d) Oralit 3 x ½ sach
e) Cefixime 2 x 3cc
f) Susu diganti menjadi susu
free lactose 4 x 150 cc

43
BAB 5
PENUTUP

Kasus epilepsi masih cukup tinggi di negara berkembang, termasuk di


Indonesia. Belum ada angka pasti mengenai insiden epilepsi di Indonesia, dikarenakan
belum ada data insiden yang pasti karena banyak penderita epilepsi yang tidak
terdeteksi atau tidak mengunjungi pusat kesehatan. 40% anak penderita epilepsi
mengalami status epileptikus sebelum usia 2 tahun, bahkan 75% penderita epilepsi
mengalami status epileptikus sebagai gejala utama epilepsy. Telah dilaksanakan
pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada pasien
An. G usia 3 tahun 9 bulan. Dari hasil pemeriksaan, diagnosis dari pasien ini belum
pasti dikarenakan belum dilakukannya pemeriksaan EEG untuk menyingkirkan
diagnosis banding yang lain,

44
DAFTAR PUSTAKA

Aaberg, K., Gunnes, N., Bakker, I., & Lund, C. (2017). Incidence and Prevalence of
Childhood Epilepsy: A Nationwide Cohort Study. American Academy of
Pediatrics.
Brodie, M., Zuberi, S., Scheffer, I., & Fisher , R. (2018). The 2017 ILAE
Classification of Seizure Types and The Epilepsies . Epileptic Disord, 77-87.
Djer, M., Sekartini, R., Dewi, R., & Harijadi. (2015). Knowledge and Soft Skill
Update to Improve Child Health Care. In I. D. Indonesia, Buku Kedokteran
Berkembang XII (pp. 1-7). Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang
DKI Jakarta.
Fisher, R. (2014). A Practical Clinical Definition of Epilepsy. USA: International
League Against Epilepsy.
ILAE. (2017, June). Classification of the Epilepsies 2017. Retrieved from
international League Against Epilepsy:
https://www.ilae.org/guidelines/definition-and-classification/operational-
classification-2017
Kemenkes. (2017). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Epilepsi
pada Anak. Jakarta: Kemenkes.
Kristanto, A. (2017). Epilepsi Bangkitan Umum Tonik Klonikdi UGD RSUP Sanglah
Denpasar Bali. Intisari Sains Medis, 69-73.
Melati, D., Suwarba, I. M., Sutriani M, D., & Kari, K. (2014). First Unprovoked
Seizure pada Anak. Medicina, 93-98.
Vera, R., Dewi, M. A., & Nursiah. (2014). Sindrom Epilepsi Pada Anak. Majalah
Kedokteran Sriwijaya, 72-76.
WHO. (2019, June 20). Epilepsy. Retrieved from World Health Association:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/epilepsy

45

Anda mungkin juga menyukai