Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan Tutorial tentang “Gangguan Disintegratif Masa
Kanak-Kanak”. Tutorial ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih kepada :
1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Ahmad Wisnu, Sp. A, selaku Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. Diane M Supit, Sp. A(K) selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan saran selama penulis menjalani co-assistance di Laboratorium Ilmu
Kesehatan Anak.
5. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD AWS/FK
Universitas Mulawarman.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga
penyusun mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan tutorial klinik ini. Akhir
kata, semoga tutorial klinik ini berguna bagi penyusun sendiri dan para pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB 3 PENUTUP...................................................................................................... 16
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
1.2 Tujuan
Tujuan dibuatnya tutorial klinik ini adalah untuk menambah wawasan bagi
dokter muda mengenai gangguan disintegrative masa kanak-kanak, serta sebagai
salah satu syarat mengikuti ujian stase Ilmu Kesehatan Anak.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gangguan disintegeratif masa kanak-kanak (Childhood Disintegerative
Disorder) merupakan satu dari bentuk gangguan perkembangan pervasif
(Pervasive Developmental Disorder). Gangguan disintegeratif masa kanak-kanak
ditandai dengan regresi yang nyata pada beberapa area fungsi setelah sedikitnya
perkembangan yang tampak normal selama 2 tahun. Gangguan disintegeratif masa
kanak-kanak juga dikenal dengan nama Heller’s Syndrome dan psikosis
disintegratif. Pada tahun 1908 Thomas Heller, menjelaskan gangguan
disintegrative masa kanak-kanak merupakan suatu deteriorasi pada fungsi
intelektual, sosial dan bahasa, yang terjadi pada usia 3 dan 4 tahun yang
sebelumnya memiliki perkembangan yang normal (Charan, 2012; Manjunatha,
2017).
2.2 Epidemiologi
Data epidemiologi telah dipersulit oleh bermacam-macamnya kriteria
diagnostik yang digunakan, tetapi gangguan disintegratif masa kanak-kanak
diperkirakan sekurangnya sepersepuluh dari gangguan autistik, dan prevalensi
diperkirakan kira-kira satu kasus pada 100.000 anak laki-laki. Rasio anak laki-laki
berbanding anak perempuan tampaknya antara 4 dan 8 anak laki-laki berbanding 1
anak perempuan. Insiden gangguan disintegratif masa kanak-kanak sangat jarang,
dan prevalensinya kurang dari 60 % dari gangguan autistik. Jika prevalensi
gangguan perkembangan pervasif sebesar 30 per 10.000 kelahiran, maka hanya 1
dari 175 anak dengan gangguan perkembangan pervasif yang memenuhi kriteria
sebagai gangguan disintegratif masa kanak-kanak (Fombonne, 2019).
3
2.3 Tahap Perkembangan Normal pada Anak
2.3.1 Ciri-Ciri dan Prinsip-Prinsip Tumbuh Kembang Anak
Anak memiliki suatu ciri khas yaitu selalu tumbuh dan berkembang
sejak konsepsi sampai berakhirnya masa remaja. Hal ini yang membedakan
anak dengan dewasa. Anak menunjukkan ciri-ciri pertumbuhan dan
perkembangan yang sesuai dengan usianya. Pertumbuhan adalah bertambahnya
ukuran dan jumlah sel serta jaringan interselular, berarti bertambahnya ukuran
fisik dan struktur tubuh sebagian atau keseluruhan, sehingga dapat diukur
dengan satuan panjang dan berat. Perkembangan adalah bertambahnya struktur
dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam kemampuan gerak kasar, gerak
halus, bicara dan bahasa serta sosialisasi dan kemandirian. Pertumbuhan dan
perkembangan merupakan peristiwa yang terjadi secara simultan. Berbeda
dengan pertumbuhan, perkembangan merupakan hasil interaksi kematangan
susunan saraf pusat dengan organ yang dipengaruhinya, misalnya
perkembangan sistem neuromuskular, kemampuan bicara, emosi, dan
sosialisasi. Kesemua fungsi tersebut berperan penting dalam kehidupan
manusia yang utuh (Departemen Kesehatan RI, 2005).
Seiring dengan berjalannya waktu, anak akan terus mengalami proses
pertumbuhan dan perkembangan. Proses tumbuh kembang anak memiliki ciri-
ciri yang satu sama lainnya saling berkaitan. Ciri-ciri tersebut antara lain
perkembangan menimbulkan perubahan, pertumbuhan dan perkembangan pada
tahap awal menentukan perkembangan selanjutnya, pertumbuhan dan
perkembangan mempunyai kecepatan yang berbeda, perkembangan berkorelasi
dengan pertumbuhan, perkembangan mempunyai pola yang tetap, serta
perkembangan memiliki tahap yang berurutan. Selain memiliki ciri-ciri yang
khusus, proses tumbuh kembang anak juga memiliki prinsip-prinsip yang saling
berkaitan. Prinsip-prinsip dapat digunakan sebagai kaidah atau pegangan dalam
memantau pertumbuhan dan perkembangan anak. Terdapat dua prinsip proses
tumbuh kembang, yaitu perkembangan merupakan hasil proses kematangan
4
dan belajar, serta pola perkembangan dapat diramalkan (Soetjiningsih &
Ranuh, 2016).
5
4) Sosialisasi dan kemandirian, adalah aspek yang berhubungan dengan
kemampuan mandiri anak (makan sendiri, membereskan mainan selesai
bermain), berpisah dengan ibu/pengasuh anak, bersosialisasi dan
berinteraksi dengan lingkungannya, dan sebagainya.
6
2. Masa bayi (umur 0 – 11 bulan)
Masa ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu:
a) Masa neonatal (umur 0 – 28 hari)
Pada masa ini terjadi adaptasi terhadap lingkungan dan terjadi
b) Masa post (pasca) neonatal (umur 29 hari – 11 bulan)
Pada masa ini terjadi pertumbuhan yang pesat dan proses
pematangan berlangsung secara terus menerus terutama
meningkatnya fungsi sistem saraf. Pada masa ini, kebutuhan akan
pemeliharaan kesehatan bayi, mendapat ASI eksklusif selama 6
bulan penuh, diperkenalkan kepada makanan pendamping ASI
sesuai umurnya, diberikan imunisasi sesuai jadwal, mendapat pola
asuh yang sesuai. Masa bayi adalah masa dimana kontak erat antara
ibu dan anak terjalin, sehingga dalam masa ini pengaruh ibu dalam
mendidik anak sangat besar.
3. Masa anak dibawah lima tahun (umur 12 – 59 bulan)
Pada masa ini, kecepatan pertumbuhan mulai menurun dan terdapat
kemajuan dalam perkembangan motorik (motorik kasar dan motorik
halus) serta fungsi ekskresi. Periode penting dalam tumbuh kembang
anak adalah pada masa balita. Setelah lahir, terutama pada 3 tahun
pertama kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan sel-sel otak masih
berlangsung dan terjadi pertumbuhan serabut-serabut saraf dan cabang-
cabangnya. Jumlah dan pengaturan hubungan-hubungan antar sel saraf
ini akan sangat mempengaruhi segala kinerja otak mulai dari
kemampuan belajar, berjalan, mengenal huruf, hingga bersosialisasi.
Perkembangan moral serta dasar-dasar kepribadian anak juga dibentuk
pada masa ini, sehingga setiap kelainan/penyimpangan sekecil apapun
apabila tidak dideteksi dan ditangani dengan baik, akan mengurangi
kualitas sumber daya manusia dikemudian hari.
7
4. Masa anak prasekolah (umur 60 – 72 bulan)
Pada masa ini, pertumbuhan berlangsung dengan stabil. Terjadi
perkembangan dengan aktivitas jasmani yang bertambah dan
meningkatnya keterampilan dan proses berpikir. Pada masa ini, selain
lingkungan di dalam rumah maka lingkungan di luar rumah mulai
diperkenalkan. Pada masa ini juga anak dipersiapkan untuk sekolah,
untuk itu panca indra dan sistem reseptor penerima rangsangan serta
proses memori harus sudah siap sehingga anak mampu belajar dengan
baik. Perlu diperhatikan bahwa proses belajar pada masa ini adalah
dengan cara bermain.
2.4 Etiopatogenesis
Penyebabnya adalah tidak diketahui, tetapi gangguan telah berhubungan
dengan kondisi neurologi lain, termasuk gangguan kejang, sclerosis tuberosus, dan
berbagai gangguan metabolik. Gangguan autistik dan gejala autistik berhubungan
dengan kondisi yang memiliki lesi neurologis, terutama rubella kongenital,
fenilketonuria (PKU), sclerosis tuberosus, dan gangguan Rett. Anak autistik
menunjukan lebih banyak tanda komplikasi perinatal dibandingkan kelompok
pembanding dari anak-anak dengan gangguan lain. Temuan bahwa anak autistik
secara bermakna memiliki lebih banyak anomali fisik kongenital yang ringan
dibandingkan saudaranya dan kontrol normal menyatakan bahwa komplikasi
kehamilan dalam trimester pertama adalah bermakna. 4-32% orang autistik
memiliki kejang grand mal pada suatu saat dalam kehidupannya, dan kira-kira 20-
25% orang autistik menunjukkan pembesaran ventrikel. (Kaplan, Sadock, & Grebb,
2010).
Gangguan spektrum autis merupakan gangguan perkembangan yang
disebabkan oleh kelainan struktur dan kimiawi otak. Akibatnya, anak dengan
gangguan tersebut mengalami masalah dalam mengolah informasi dan kesulitan
dalam memberikan respon yang tepat. Sistem yang bertanggung jawab untuk
menerima dan mengolah rangsangan (stimulus) dari luar, disebut sebagai sistem
8
sensorik, tidak bekerja dengan baik. Kondisi sensorik ini memegang peranan
penting dalam munculnya beragam masalah dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Hambatan terbesar biasanya mereka alami saat usia kanak-kanak, ketika sistem
sensorik masih buruk dan mereka belum mengembangkan cara-cara yang tepat
untuk beradaptasi dengan lingkungan (Daulay, 2017; Kaplan, Sadock, & Grebb,
2010)
Bentuk kelainan otak yang behubungan dengan perilaku anak dengan
gangguan spektrum autis dapat dijelaskan sebagai berikut, Pertama, sistem
kognitif, pada anak autis mengalami penurunan volume, kelainan ukuran saraf dan
kepadatan pada lobus temporalis, kemudian akan mengalami kelainan volume
cerebellum sehingga sangat sulit untuk membagi perhatian dan memusatkan
perhatian. Kedua, sistem emosi, pada anak autis mengalami penurunan ukuran sel
neuron dalam sistem limbik sehingga berdampak pada ketidakberfungsian dalam
stimulus sosial, gerakan meniru, stimulus emosi, dan perhatian. Pada anak autis
juga mengalami neuroaktivasi yang tidak normal pada amigdala dan hipokampus,
sehingga berdampak pada perilaku sosial. Ketiga, sistem eksekutif, pada anak autis
mengalami kelainan pada prefrontal cortex sehingga tidak mampu mengikuti
konteks yang ada, dan tampil dalam perilaku yang tidak tepat dan impulsif. Pada
anak autis juga mengalami kelainan pada dorsolateral prefrontal cortex, sehingga
berdampak pada rendahnya kemampuan dalam memahami perasaan, pikiran, dan
perhatian terhadap orang lain, dan minimnya akan pertimbangan sosial (Daulay,
2017).
Tingginya insidensi berbagia komplikasi perinatal tampaknya terjadi pada
anak-anak dengan gangguan autistik, walaupun tidak ada komplikasi yang secara
langsung dinyatakan sebagai penyebabnya. Selama gestasi, perdarahan maternal
setelah trimester pertama dan meconium dalam cairan amnion telah dilaporkan
lebih sering ditemukan pada anak autistik dibandingkan populasi umum. Dalam
periode neonatus, anak autistik memiliki insidensi tinggi sindroma gawat
pernafasan dan anemia neonatus. Beberapa bukti menyatakan tingginya insidensi
9
pemakaian medikasi selama kehamilan oleh ibu dari anak autistik (Kaplan, Sadock,
& Grebb, 2010).
10
Tabel 2.1. Kriteria Diagnostik Menurut DSM-IV
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Disintegratif Masa Anak-Anak
(DSM-IV)
A. Perumbuhan yang tampaknya normal selama sekurangnya dua tahun
pertama setelah lahir seperti yang ditunjukkan oleh adanya komunikasi
verbal dan nonverbal yang sesuai dengan usia, hubungan sosial, permainan,
dan perilaku adaptif.
B. Kehilangan bermakna secara klinis keterampilan yang telah dicapai
sebelumnya (sebelum usia 10 tahun) dalam sekurangnya dua bidang berikut:
1) Bahasa ekspresif atau reseptif
2) Keterampilan sosial atau perilaku adaptif
3) Pengendalian usus atau kandung kemih
4) Bermain
5) Keterampilan motoric
C. Kelainan fungsi dalam sekurangnya dua bidang berikut :
1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial (misalnya, gangguan dalam
komunikasi nonverbal, gagal untuk mengembangkan hubungan
dengan teman sebaya, tidak ada timbal balik sosial atau emosional)
2) Gangguan kualitatif dalam komunikasi (misalnya, keterlambatan atau
tidak adanya bahasa ucapan, ketidakmampuan untuk memulai atau
mempertahankan suatu percakapan, pemakaian bahasa yang
stereotipik dan berulang, tidak adanya berbagai permainan khayalan)
3) Pola perilaku, minat, dan aktivitas yang terbatas, berulang dan
stereotipik, termasuk stereotipik dan manerisme motorik
D. Gangguan tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan perkembangan
pervasive spesifik lain atau oleh skizofrenia
11
Tabel 2.2. Kriteria Diagnostik Menurut DSM-V
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Spektrum Autisme (DSM-V)
A. Hendaya persisten pada komunikasi dan interaksi sosial dalam semua
konteks, tidak berdasarkan keterlambatan perkembangan umum, yang
bermanifestasi dari 3 hal berikut
1) Hendaya pada hubungan timbal balik secara emosional dan sosial
2) Hendaya pada perilaku komunikasi non-verbal yang digunakan untuk
interaksi sosial
3) Hendaya dalam mengembangkan dan mempertahankan hubungan
sebaya sesuai tingkat perkembangan
B. Pola perilaku, minat, dan aktivitas stereotipik berulang dan terbatas yang
bermanifestasi setidaknya 2 dari hal berikut
1) Stereotip atau pengulangan dalam bahasa, gerakan motorik, ataupun
penggunaan suatu objek.
2) Kepatuhan terhadap rutinitas, pola ritual, kebiasaan verbal ataupun non-
verbal atau sangat kesulitan terhadap perubahan.
3) Sangat kaku, memiliki ketertarikan tetap terhadap sesuatu sehingga
terlihat abnormal dalam segi intensitas ataupun tingkat konsentrasi.
4) Reaksi yang kurang atau berlebihan terhadap rangsang sensoris ataupun
ketertarikan tidak biasa dari rangsangan sensoris lingkungan.
C. Gejala harus muncul pada usia dini (semuanya tidak akan muncul, sampai
saat tuntutan sosial melebihi kapasitas yang terbatas).
D. Keseluruhan gejala membatasi dan mengganggu secara fungsional setiap
hari.
12
dibedakan dari gangguan autistik dengan hilangnya perkembangan yang
sebelumnya telah tercapai. Sebelum onset gangguan disintegrative masa anak-anak
(terjadi pada usia 2 tahun atau lebih), bahasa biasanya telah berkembang sampai
pembentukan kalimat. Keterampilan tersebut jelas berbeda dari riwayat premorbid
pasien gangguan autistic sekalipun yang berfungsi baik, di mana bahasa biasanya
tidak melebihi satu kata atau frasa sebelum diagnosis gangguan. Tetapi, jika terjadi
gangguan, anak-anak dengan gangguan disintegrative masa anak-anak lebih
mungkin tidak memiliki kemampuan berbahasa dibandingkan pasien gangguan
autistik yang berfungsi baik (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).
Pada gangguan Rett, perburukan terjadi lebih awal dibandingkan gangguan
disintegrative masa anak-anak dan gerakan tangan stereotipik yang karakteristik
untuk gangguan Rett tidak terjadi pada gangguan disintegratif masa anak-anak
(Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).
13
5) Gangguan parah pada perkembangan bahasa ekspresif dan reseptif
dengan retardasi psikomotor yang parah
2.8 Terapi
Karena kemiripan klinis dengan gangguan autistik, terapi gangguan
dinsintegratif masa anak-anak adalah sama dengan gangguan autistik. Tujuan terapi
adalah menurunkan gejala perilaku dan membantu perkembangan fungsi yang
terlambat, rudimenter, atau tidak ada, seperti keterampilan bahasa dan merawat diri
sendiri. Disamping itu, orang tua yang sering kecewa memerlukan bantuan dan
konseling (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).
Latihan di ruang kelas yang terstruktur dalam kombinasi dengan metoda
perilaku adalah metoda terapi paling efektif untuk banyak anak autistik dan lebih
unggul dibandingkan tipe pendekatan perilaku lainnya. Penelitian yang terkendali
baik menunjukkan bahwa peningkatan dalam bidang bahasa dan kognisi dan
penurunan perilaku maladaptif dicapai dengan program perilaku konsisten. Melatih
dengan cermat orang tua dalam konsep dan keterampilan modifikasi perilaku dan
menghilangkan keprihatinan orang tua dapat memberikan keuntungan yang cukup
besar dalam bidang bahasa, kognitif dan sosial dari perilaku. Tetapi, program
latihan adalah melelahkan dan memerlukan sebanyak mungkin struktur, dan
program harian selama mungkin adalah diharapkan (Kaplan, Sadock, & Grebb,
2010).
14
Walaupun tidak ada obat yang ditemukan spesifik untuk gangguan autistik,
psikofarmakoterapi adalah tambahan yang berguna bagi program terapi
menyeluruh. Pemberian haloperidol menurunak gejala perilaku dan mempercepat
belajar. Obat menurunkan hiperaktivitas, stereotipik, menarik diri, kegelisahan,
hubungan objek abnormal, iritabilitas, dan afek yang labil. Bukti-bukti pendukung
menyatakan bahwa, jika digunakan dengan bijaksana, haloperidol tetap merupakan
obat efektif jangka panjang. Walaupun tardive dyskinesia dan dyskinesia putus
dapat terjadi pada terapi haloperidol pada anak autistik, bukti-bukti menyatakan
bahwa dyskinesia tersebut dapat menghilang jika haloperidol dihentikan (Kaplan,
Sadock, & Grebb, 2010).
15
BAB 3
PENUTUP
16
BAB 4
DAFTAR PUSTAKA
17