Anda di halaman 1dari 4

Nama : Afanda Dwi R. R.

NRP : 04211640000023
Mata kuliah : Teknologi Pengendalian Emisi

PEMBERLAKUAN ANNEX VI TERHADAP PARIWISATA & PELAYARAN DI


INDONESIA

The International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, atau dikenal dengan
MARPOL (Marine pollution) adalah konvensi utama IMO tentang pencegahan pencemaran
lingkungan laut oleh kapal. Berisi berbagai peraturan yang bertujuan mencegah dan
meminimalkan polusi yang berasal dari kapal, baik yang tidak disengaja maupun akibat dari
operasi rutin kapal.

MARPOL pertama kali diadopsi IMO pada 17 Februari 1973, namun kurang mendapat
dukungan dari negara-negara anggota. Kemudian, sebagai respon atas maraknya kecelakaan
kapal tanker, IMO mengadopsi TSPP (Tanker Safety and Pollution Prevention) pada tahun
1978. Kombinasi kedua regulasi di atas dikenal dengan nama MARPOL 73/78 yang mulai
berlaku pada 2 Oktober 1983 hingga sekarang. Indonesia meratifikasi MARPOL melalui
Keppres No. 46 Tahun 1986.

Yang dimaksud dengan definisi “Ship” dalam MARPOL 73/78 adalah: “Ship means a vessel of
any type whatsoever operating in the marine environment and includes hydrofoil boats, air
cushion vehhicles, suvmersibles, ficating Craft and fixed or floating platform”. Jadi, definisi
“Ship” atau “kapal” dalam MARPOL sangatlah luas, mencakup semua jenis bangunan yang
beroperasi di laut, baik yang mengapung, melayang atau tertanam di dasar laut.

Struktur MARPOL terdiri atas enam lampiran teknis (annex I – VI), yaitu: Annex I: Pencegahan
polusi oleh minyak. Berlaku 2 Oktober 1983; Annex II: Pencegahan polusi zat cair berbahaya
(Noxious Substances) dalam bentuk curah. Berlaku 2 Oktober 1983; Annex III: Pencegahan
polusi dari zat berbahaya (Hamful Substances) dalam bentuk kemasan. Berlaku mulai 1 Juli
1992; Annex IV: Pencegahan polusi dari air kotor/limbah (sewage) dari kapal. Berlaku mulai 27
September 2003; Annex V: Pencegahan polusi oleh sampah (garbage) dari kapal. Berlaku mulai
31 Desember 1988; Annex VI: Pencegahan polusi udara akibat gas buang mesin kapal. Berlaku
mulai 19 Mei 2005.

Annex I dan II bersifat mandatory (wajib), karena merupakan regulasi teknis yang tidak
terpisahkan dari dokumen awal MARPOL 73/78 saat pertama kali diadopsi. Annex lainnya (III
-VI) bersikap sukarela, dengan waktu berlaku (enter into force) yang juga berbeda-beda sesuai
dengan kecukupan syarat dukungan negara anggota. Namun secara keseluruhan, Per 31
Desember 2005, konvensi MARPOL sudah diratifikasi oleh 136 negara, yang mewakili 98% dari
total tonase kapal dunia.

Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) meragukan kesungguhan pemerintah


dalam mempersiapkan diri menyongsong diberlakukannya kebijakan internasional tentang
pembatasan bahan bakar dengan kandungan sulfur tidak melebihi 0,5%. Terbukti, INSA telah
melayangkan surat hingga beberapa kali kepada Pemerintah, tetapi pemerintah tidak
meresponnya dengan cepat, padahal kebijakan pembatasan bahan bakar dengan kandungan
sulfur tidak melebihi 0,5% akan berlaku mulai Januari 2020.

INSA sudah melayangkan surat kepada Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian
Perhubungan No. DPP- SRT-XII/18/112, tertanggal 03 Desember 2018 perihal Tanggapan
INSA perihal Surat Edaran (SE) No.UM.003/93/14/DJPL-18 tentang Batasan Kandungan Sulfur
pada Bahan Bakar dan Kewajiban Penyampaian Konsumsi Bahan Bakar di Kapal. Dan terakhir
pada 19 Februari 2019, INSA melayangkan kembali surat dengan No.DPP-SRT-II/19/007
kepada Dirjen Perhubungan Laut Kemenhub tentang Kewajiban Menyampaikan Kesiapan
Indonesia dalam Menerapkan Kebijakan Batasan Kandungan Sulfur tidak melebihi 0,5% pada
Bahan Bakar ke IMO.

Menurut INSA, Indonesia telah meratifikasi MARPOL 73/78 Annex VI yang melarang
penggunaan bahan bakar dengan kandungan sulfur melebihi 0,5%, baik yang beroperasi di
dalam negeri maupun luar negeri, melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 29
tahun 2012 sehingga Indonesia wajib melaksanakannya. Konvensi MARPOL (termasuk Annex
VI) berlaku untuk semua kapal tanpa ada batasan ukuran. Pembatasan ukuran berlaku untuk
perberlakuan kewajiban melakukan sertifikasi (diatas 400 GT). Khusus untuk MARPOL Annex
VI, Pasal 14, karena tidak secara spesifik disebutkan, pembatasan kadar sulfur bahan bakar
berlaku untuk semua jenis kapal.

INSA juga mengingatkan bahwa poin 5 Surat Edaran No. UM. 003/93/14/DJPL-18 yang
membolehkan kapal berbendera Indonesia yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia
untuk menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur melebihi 0.5% setelah 1 Januari
2020 lebih tepatnya berlaku untuk kapal non- konvensi, sedangkan kapal yang beroperasi
di Indonesia mayoritas tidak termasuk ke dalam kategori kapal non-konvensi. Menurut INSA,
terhadap kapal non- konvensi yang hanya beroperasi di dalam negeri, Pemerintah berhak
menyatakan dikecualikan dari ketentuan wajib menggunakan bahan bakar dengan
kandungan sulfur tidak melebihi 0,5% dengan catatan Pemerintah mengajukannya kepada
IMO. Tanpa persetujuan dari IMO, maka pengecualian tersebut tidak dapat berlaku.

Langkah-langkah yang harus dilakukan Kementerian Perhubungan c.q Direktur Jenderal


Perhubungan Laut:
1. Segera memperbaiki SE No. UM.003/93/14/DJPL-18 untuk disesuaikan dengan
MARPOL 73/78 Annex VI yakni seluruh kapal yang tidak termasuk ke dalam kapal
non- konvensi, baik yang beroperasi di dalam negeri maupun luar negeri wajib
menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur tidak melebihi 0,5% mulai 1
Januari 2020 dikarenakan:
a. SE tersebut telah beredar luas dan menjadi pergunjingan dunia maritim
internasional karena bertentangan dengan ketentuan IMO yakni MARPOL 73/78
Annex VI.
b. Dapat menjebak para pemilik kapal selain kapal non- konvensi karena pemilik
kapal menganggap SE Dirjen Perhubungan Laut tersebut benar, padahal keliru dan
tidak sesuai dengan MARPOL 73/78 Annex VI.

2. Pemerintah memiliki kewajiban untuk menyediakan bahan bakar dengan kandungan


sulfur tidak melebihi 0,5%. Jika belum sanggup, sesuai dengan MARPOL Annex VI
Regulasi 18 Poin 1 tentang Fuel Oil, Pemerintah wajib melaporkannya kepada IMO
apabila tidak dapat menyediakannya dan untuk dapat memperoleh kelonggaran
(dispensasi).

3. Jika Pemerintah tidak mampu menyediakan bahan bakar dengan kandungan sulfur
tidak melebihi 0,5% sesuai dengan kebutuhan pasar (domestik & internasional) dan
tidak melaporkannya kepada IMO sesuai dengan MARPOL Annex VI Regulasi 18,
Pemerintah harus menanggung konsekuensinya yakni:
a. Mencoreng reputasi Indonesia di mata dunia internasional.
b. Kapal Indonesia yang berlayar ke luar negeri akan ditahan (detained) karena
Indonesia dianggap mampu menyediakan bahan bakar kapal dengan kandungan
sulfur tidak melebihi 0,5%. Hal ini juga dapat terjadi pada kapal-kapal asing yang
melakukan pengisian bahan bakar di Indonesia.

4. Penahanan kapal oleh PSC sebagaimana poin 3.b, akan kembali memasukan Indonesia
ke dalam Top Ten Black List Tokyo MoU, padahal Indonesia baru saja keluar dari daftar
Top Ten Black List Tokyo MoU pada Juni 2018 setelah melalui perjuangan dan proses
yang panjang. “Sejak Indonesia menandatangani Tokyo MoU tahun 1996, belum
pernah keluar dari daftar Black List yang dikeluarkan oleh Tokyo MoU. Baru Juni 2018,
Indonesia dikeluarkan dari daftar Top Ten Black List Tokyo MoU”.

5. Jika Pemerintah memutuskan belum siap menerapkan Konvensi ini, maka kesempatan
terakhir untuk menyampaikan hal itu kepada IMO adalah melalui rapat MEPC ke-74 di
London yang akan diselenggarakan pada tanggal 13-17 Mei 2019. Penyampaian ini
wajib dilakukan secara tertulis melalui surat sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan
sebelum rapat MEPC ke-74 itu. (*) Sementara itu, dalam releasenya, Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut menegaskan berlandaskan pada IMO MARPOL Annex VI
Regulation 22A tentang Collecting and Reporting of Fuel Ship Oil Consumption, mulai
1 Januari 2019 pemerintah mewajibkan setiap shipowner/operator untuk
mengumpulkan data penggunaan BBM dan melaporkan jumlah konsumsi tahunan
BBM kapalnya. Aturan ini berlaku sejak 1 Januari 2019 terhadap kapal berbendera
Indonesia berbobot 5000 GT atau lebih.

Data konsumsi tahunan BBM kapal wajib dilaporkan kepada Dirjen ubla) cq Direktur
Perkapalan dan Kepelautan selambat- lambatnya pada 30 Maret tahun berikutnya, dalam
format yang sudah diatur IMO. Dirjen Hubla akan menerbitkan Statement of Compliance –
Ship Fuel Oil Reporting kepada mereka yang memenuhi wajib lapor konsumsi BBM di atas
tersebut. Aturan wajib lapor konsumsi BBM pada kapal diterapkan IMO sebagai cara untuk
mengetahui secara persis jumlah konsumsi bahan bakar kapal di seluruh dunia. Data tersebut
berguna bagi IMO dalam mengambil kebijakan yang mendukung reduksi emisi gas rumah
kaca dari industri pelayaran dunia, yang merupakan komitmen IMO dan Negara- negara
anggotanya, termasuk Indonesia, terhadap Paris Agreement.

Indonesia siap mengimplementasikan batas kandungan sulfur 0,5% m/m pada bahan bakar
kapal mulai 1 Januari 2020 di dua pelabuhan utama, yakni Tanjung Priok dan Balikpapan.
Kesiapan itu disampaikan delegasi Indonesia dalam Sidang International Maritime
Organization (IMO)-Marine Environmental Protection Committee (MEPC) ke-74 di Kantor
Pusat IMO di London, Inggris, pekan ini. Asisten Deputi Bidang Lingkungan dan Kebencanaan
Maritim Kemenko Maritim Sahat Panggabean selaku Ketua Delegasi Republik Indonesia
mengatakan Pertamina sudah siap untuk menyediakan bahan bakar dengan kandungan sulfur
0,5% di kedua pelabuhan.

Kasubdit Pencegahan Pencemaran Direktorat Perkapalan dan Kepelautan Ditjen Perhubungan


Laut Kemenhub Jaja Suparman mengatakan Indonesia aktif mendukung langkah IMO
mengurangi emisi gas rumah kaca dari kapal sejak MEPC ke-72 pada 2017. Syarat kandungan
sulfur bahan bakar kapal yang berlayar di perairan internasional akan menjadi objek
pemeriksaan petugas port state control. Sebelumnya, Kemenhub telah menerbitkan aturan
agar kapal yang berlayar di perairan internasional wajib menggunakan bahan bakar dengan
kandungan sulfur tidak boleh melebihi 0,5% m/m. Pada saat yang sama, kapal yang
dioperasikan di daerah emission control area, kandungan sulfur pada bahan bakar tidak boleh
melebihi 0,1% m/m.

Aturan mengenai penggunaan bahan bakar tersebut merujuk pada konvensi internasional
Marine Pollution (MARPOL) Annex VI Regulasi 14 mengenai Sulphur Oxides (SOx) and
Particulate Matter,” kata Dirjen Perhubungan Laut Agus H. Purnomo baru-baru ini. Kemenhub
menyatakan bahwa kapal Indonesia yang menggunakan bahan bakar dengan kandungan
sulfur tidak sesuai ketentuan di perairan internasional dapat menggunakan sistem
pembersihan gas buang atau metode teknologi alternatif lainnya yang disetujui oleh Dirjen
Hubla.

Selain soal gas rumah kaca, dalam sidang IMO, Indonesia juga menyampaikan tindak lanjut
yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mempersiapkan pengelolaan sampah plastik dari
kegiatan perkapalan dengan melaksanakan ketentuan MARPOL 73/78 mengenai Garbage
Book of Record, pengumpulan sampah di kapal, fasilitas penerimaan limbah (reception facility)
di pelabuhan, pemilahan antara sampah plastik dengan sampah lainnya.

Pemerintah juga menyampaikan langkah Indonesia yang sedang mengembangkan Port Waste
Management System yang terintegrasi dengan Inaportnet untuk memastikan kapal-kapal
yang singgah di pelabuhan di Indonesia melakukan pengelolaan atas limbahnya. Dengan
begitu, kapal-kapal tidak lagi membuang limbah, termasuk sampah, ke laut.

Sumber :
Maritim, Jurnal. (2019). “MARPOL, Komitmen Industri Pelayaran Melindungi Laut, Darat, dan
Udara”. Jakarta.
Insa. (2019). “Penerapan Pembatasan Kandungan Sulfur pada Bahan Bakar – Kesiapan
Pemerintah Khawatirkan Pengusaha Pelayaran Nasional”. Jakarta.
Bisnis, Ekonomi. (2019). “RI Siap Jalankan Standar Kandungan Sulfur BBM Kapal di 2
Pelabuhan”. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai