Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS

FIXED DRUG ERUPTION

Oleh :

Ilham Akbar AR

19360049

Pembimbing:

dr. Arif Effendi ,Sp.KK

Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati

RS. Pertamina Bintang Amin

Bandar Lampung

2019

1
BAB I

STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. s
Usia : 32 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : labuhan maringgai
Pekerjaan : wiraswasta
Suku : Jawa
Agama : Islam
Status : Menikah

ANAMNESIS (autoanamnesis pada tanggal 30 desember 2019)


Keluhan Utama :
- Bercak kemerahan pada lengan dan badan kanan sejak 4 hari
Keluhan Tambahan :
- Nyeri dan rasa panas terbakar pada bercak kemerahan dan terasa gatal.
Riwayat Penyakit Sekarang :
- Seorang Laki-laki usia 32 tahun dengan keluhan bercak merah pada lengan dan
badan. kumat-kumatan kurang lebih 1 tahun yang lalu, riwayat obat herbal
tidak disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- tidak ada.
Riwayat Penyakit Keluarga :
- tidak ada

2
I. PEMERIKSAAN FISIK

 Status Generalis

Kesadaran umum : Komposmentis

Keadaan umum : Tampak baik

Kepala : Mata dan THT tidak ada keluhan

Thorax : Tidak ada keluhan

Abdomen : Tidak ada keluhan

Ekstrimirtas : Tidak ada keluhan

 Status dermatologikus

Distribusi :
 Regional
Ad regio : manus & truncus
 lengan & badan
DV :
pada daerah punggung, 2 lengan tampak macula hiperpigmentasi
sebagian macula eritem multiple.

3
II. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang

III. RESUME

Seorang Laki-laki usia 32 tahun dengan keluhan bercak merah pada


lengan dan badan. kumat-kumatan kurang lebih 1 tahun yang lalu, riwayat
obat herbal tidak disangkal. pada daerah punggung, 2 lengan tampak
macula hiperpigmentasi sebagian macula eritem multiple.

IV. DIAGNOSIS KERJA

Fixed Drug Eruption

V. DIAGNOSIS BANDING

 Eritema Multiforme

 SSJ

VI. PENATALAKSANAAN

 Medikamentosa

o metil prednisolone 3 x 4 mg tab


o cetirizine 3 x 1 tab
 Non medikamentosa

o Hindari pemakaian obat yang diduga sebagai penyebab

VII. RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Tidak ada

VIII. PROGNOSIS

 Ad vitam : ad bonam

 Ad fungtionam : ad bonam

 Ad sanationam : ad bonam

BAB II

4
TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan

Fixed drug eruption (FDE) adalah reaksi alergi dengan manifestasi berupa lesi
kulit yang muncul ditempat yang sama dan dapat bertambah akibat pemberian atau
pemakaian jenis obat-obatan tertentu.

Beberapa penelitian tentang morfologi dan agen pencetus pada pasien-pasien


dengan erupsi obat dirumah sakit atau bagian kulit kelamin pada tahun 1986-1990
dilaporkan pada 135 kasus terdapat kasus FDE sebanyak 16%

Gambaran klinik dari FDE berupa timbulnya satu atau beberapa lesi kulit yang
eritematous berbentuk bulat atau oval. Pada mulanya terbentuk efloresensi berupa
makula berbatas tegas berwarna ungu atau coklat.

Diagnosis FDE ditegakkan berdasarkan anamnesa adanya riwayat penggunaan


obat sebelum timbulnya lesi dan gambaran klinik yang ditemukan. Namun jika
diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan jaringan kulit
secara patologi anatomi dimana akan didapatkan gambaran mikroskopis berupa
terdapatnya makrofag-makrofag dan adanya penumpukan pigmen melanin.

Penatalaksanaan yang dipakai adalah dengan pengobatan kausal berupa


mengetahui dan menghindari terpaparnya kembali dengan obat-obatan penyebab dan
pengobatan simptomatis berupa pemberian obat-obatan secara sistemis seperti
kortikosteroid dan antihistamin maupun secara topikal.

FDE bukan merupakan kasus yang mengancam jiwa dimana akan menyembuh
bila obat penyebab dapat diketahui dan disingkirkan. Namun demikian dilihat dari
sudut pandang kosmetik sangat mengganggu dan menimbulkan perasaan tidak
nyaman. Jika tidak diterapi secara kausal maka dapat bertambah parah dengan adanya
penambahan jumlah lesi.

A. Definisi

5
Fixed drug eruption adalah erupsi alergi obat yang bila berulang akan timbul
pada tempat yang sama.

Fixed drug eruption ialah suatu reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan akibat
pemberian obat biasanya secara sistemik.

Sinonim

Eksantema fikstum, fixed exanthema.

B. Epidemiologi

Sekitar 10% FDE terjadi pada anak dan dewasa, usia paling muda yang pernah
dilaporkan adalah 8 bulan. Kajian oleh Noegrohowati (1999) mendapatkan FDE
(63%), sebagai manifestasi klinis erupsi alergi obat terbanyak dari 58 kasus bayi dan
anak disusul dengan erupsi eksantematosa (3%) dan urtikaria (12%). Jumlah kasus
bertambah dengan meningkatnya usia, hal tersebut mungkin disebabkan pajanan obat
yang bertambah.

C. Etiologi dan Patogenesis

Banyak obat yang dilaporkan dapat menyebabkan FDE. Yang paling sering
dilaporkan adalah phenolpthalein, barbiturate, sulfonamide, tetrasiklin, antipiretik
pyrazolone dan obat anti inflamasi non steroid.

Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik atau non
imunologik. Yang dimaksud dengan erupsi obat adalah alergi terhadap obat yang
terjadi melalui mekanisme imunologik. Hal ini terjadi pada pemberian obat kepada
pasien yang sudah mempunyai hipersesitivitas terhadap obat tersebut.disebabkan oleh
berat molekulnya yang rendah, biasanya obat itu berperan pada mulanya sebagai
antigen yang tidak lengkap atau hapten. Obat atau metaboliknya yang berupa hapten,
harus berkombinasi terlebih dahulu dengan protein, misalnya jaringan, serum atau
protein dari membran sel untuk membentuk kompleks antigen yaitu kompleks hapten
protein. Kekecualiannya ialah obat-obat dengan berat molekul yang tinggi yang dapat
berfungsi langsung sebagai antigen yang lengkap.

6
Ada beberapa faktor yang berperan dalam menentukan sejauh mana kapasitas dari
sebuah obat dalam menimbulkan respon imun :

1. Karakteristik molekular dan sensitisasi.

Sebuah molekul yang imunogenik biasanya mempunyai berat molekul lebih dari
1000 dalton. Kebanyakan molekul obat tidak sebesar itu dan untuk memberikan
respon imun harus berikatan dengan makromolekul jaringan yang berperan
sebagai hapten. Hapten adalah sebuah substansi yang tidak imunogenik tetapi
menjadi imunogenik ketika berikatan dengan karier makromolekul. Ikatan yang
terjadi haruslah sangat kuat dan biasanya bersifat kovalen.

Untuk sebuah ikatan obat dan makromolekul jaringan kompleks menjadi


imunogenik harus diproses oleh antigen dan sel yang bersangkutan (seperti sel
langerhans dari kulit). Bersama-sama dengan antigen histokompatibiliti ke sebuah
limfosit T sebagai hasil dari presentasi terjadi aktivasi dari populasi sel T yang
berbeda dan setiap populasi sel T dapat menimbulkan reaksi klinik yang berbeda
pada aktivasi TH1 tipe sel T menyebabkan produksi dari interferon γ dan
interleukin 2 yang akan diikuti dengan terjadinya reaksi obat morbiliform pada
kontak dermatitis atau mungkin nekrolisis epidermal toksis. Aktivasi tipe sel TH2
menyebabkan terjadinya produksi interleukin -4, -5, atau -13, yang akan
menyebabkan terjadinya produksi dari antibodi IgE dan reaksi klinik seperti
urtikaria atau anafilaktik. Mekanisme yang menentukan tipe terakhir dari aktivasi
sel T belum diketahui.

2. Variasi metabolik individu.

Variasi metabolik individu merupakan jalur yang dilewati oleh obat dimana dapat
memberi reaksi intermediet atau diekskresi. Reaktivasi intermediet berlaku
sebagai hapten yang dapat melakukan ikatan kovalen pada makromolekul sel yang
dapat menyebabkan kematian sel atau merangsang respon imun sekunder.

3. Kemampuan imunogenetik.

7
Respon imun dari antigen-antigen yang bervariasi biasanya dikontrol secara
genetik dan berbeda-beda pada tiap individu. Beberapa observasi klinik
mengatakan bahwa kontrol genetik mempunyai suatu peranan yang besar dalam
reaktivasi obat. Mereka percaya bahwa reaksi anafilaktik lebih sering terjadi pada
individu atopik dibanding dengan non-atopik. Wanita memiliki angka kejadian 35%
lebih tinggi daripada pria. Sebagai tambahan pasien dengan SLE dapat
meningkatkan prevalensi dari reaksi alergi obat, tetapi belum jelas apakah hal ini
berhubungan dengan abnormalitas imun atau frekuensi pemaparan obat-obatan.
Demonstrasi yang paling jelas tentang pentingnya sistem imun terhadap resiko
obat adalah pada kasus infeksi HIV. Reaksi obat pada pasien HIV 10 x lebih tinggi
daripada mereka yang tidak terinfeksi dan resiko ini meningkat seiring dengan
perjalanan penyakitnya. Demikian pula untuk pasien yang melakukan transplantai
sumsum tulang, dimana terjadi peningkatan resiko reaksi obat.

4. Usia

Usia dapat menentukan kemampuan respon imun dari pemberian suatu obat,
dimana dikatakan alergi lebih sering ditemukan pada anak-anak dan pada manula,
mungkin karena ketidakmatangan atau involusi dari sistem imun.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya FDE :

1. Paparan obat.

Pemberian obat dapat mengakibatkan terjadinya reaksi komplit antigen antibodi


dengan terbentuknya hapten. Yang penting juga adalah pola morfologik yang
spesifik yang dapat meningkat atau menurun pada pemberian obat yang
menyebabkan terjadinya reaksi kulit tersebut. Sebagai contoh FDE lebih sering
ditemukan pada pemberian barbiturat daripada penisilin, walaupun penisilin
memiliki kemungkinan menimbulkan reaksi kulit karena obat yang lebih tinggi.

2. Waktu kejadian.

8
Kebanyakan reaksi obat pada kulit terjadi dalam 1 - 2 minggu dari terapi pertama.
Beberapa tipe reaksi terutama sindrom hipersensitivitas dapat memberikan onset
yang tertunda bahkan sampai lebih dari 2 bulan setelah pemberian obat. Untuk
beberapa reaksi yang lebih serius, resiko yang berhubungan dengan pemberian
obat lebih dari 2 bulan tampak lebih rendah.

3. Uji eliminasi pemakaian obat.

Kebanyakan reaksi kulit karena obat akan berkurang dengan penghentian


pemakaian obat tersebut. Sebuah reaksi kulit tidak mungkin berhubungan dengan
obat jika reksi terus berlanjut setelah dilakukan penghentian pemakaian obat
tersebut.

4. Pemaparan obat ulangan.

Pemberian obat ulangan memberikan informasi pasti apakah obat tersebut


menyebabkan terjadinya reaksi kulit walaupun pemberian yang sering tidak
dimungkinkan karena tidak menjamin keselamatan dari pasien kecuali terjadi
perubahan pola status imunologik pasien.

Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologi yang dikemukakan oleh Coombs &
Gell; suatu reaksi alergi terhadap obat dapat mengikuti salah satu dari ke empat jalur
berikut ini;

1. Tipe I Reaksi Anafilaktik

Reaksi obat yang diperantarai IgE biasanya terjadi karena penisilin atau
golongannya. Reaksi dapat terjadi dalam beberapa menit setelah pemakaian obat.
Gejala biasanya bervariasi seperti pruritus, urtikaria, spasme bronkus, dan edema
laring bahkan dapat menyebabkan terjadinya syok anafilaktik dengan hipotensi
dan kematian. Sel mast dan basofil yang tersentisisasi akan melepaskan mediator-
mediator kimia (histamin) atau lemak (leukotriens/prostaglandin) yang akan
menimbulkan gejala klinik yang berbeda-beda tergantung dari interaksi organ
target (kulit, sistim respirasi, GIT atau sistim kardiovaskuler) dengan mediator
kimia tersebut. Penelitian terbaru mengatakan reaksi obat perantaraan IgE lebih
diakibatkan peran basofil daripada sel mast. Pelepasannya dipicu ketika terjadi

9
konjugasi protein obat polifalen yang terbentuk secara in vivo dan behubungan
dengan molekul IgE yang mensensitisasi sel-sel.

2. Tipe II Reaksi Sitotoksik

Reaksi tipe ini dapat disebabkan oleh obat, dan memerlukan penggabungan antara
IgE dan IgM dengan antigen yang melekat pada sel. Jika sistem komplemen
teraktivasi akan dipacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.

3. Tipe III Reaksi Kompleks Imun

Antibodi mengadakan reaksi dengan antigen membentuk kompleks antigen


antibodi yang kemudian mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh
dan mengakibatkan reaksi radang. Dengan adanya aktivasi sistim komplemen
terjadi pelepasan anafilaktosin yang merangsang pelepasan berbagai mediator oleh
mastosit. Dengan adanya aktivasi komplemen akan terjadi kerusakan jaringan.

4. Tipe IV Reaksi Alergi Selular Tipe Lambat

Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersentisisasi mengadakan reaksi


dengan antigen. Reaksi ini di sebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12 - 48
jam setelah pajanan dengan antigen.

FDE termasuk dalam reaksi tipe III dengan adanya reaksi kompleks antigen antibodi.

Patogenesis FDE sampai saat ini belum diketahui pasti, diduga karena karena
reaksi imunologi. Berdasarkan mekanisme imunologik yang terjadi pada reaksi obat
dapat berupa IgE mediated drug eruption, immunecomplex dependent drug reaction,
cytotoxic drug induced reaction dan cell mediated reaction.

Penelitian Alanko dkk (1992) membuktikan bahwa lesi FDE terjadi


peningkatan kadar histamine dan komplemen yang sangat bermakna (200-640
nMol/L). Keadaan ini diduga sebagai penyebab timbulnya reaksi eritema, lepuh dan
rasa gatal.

Visa dkk (1987) melakukan penelitian untuk mengetahui sel imunokompeten


pada FDE dengan tehnik imunoperoksidase. Ternyata 60-80% sel infiltrate pada FDE

10
adalah sel Limfosit T ( T4 dan T8). Terlihat pula peningkatan sel mast sebesar 5-10%
serta ditemukan HLA-DR pada limfosit T (limfosit aktif) yang berada di dermis.
Keadaan ini sama dengan lesi pada hipersensitivitas tipe lambat. Mdvi.. Limfosit T
yang menetap dilesi kulit berperan dalam memori imunologis dan menjelaskan
rekurensi lesi pada tempat yang sama. Keratinosit pada lesi kulit FDE menunjukkan
peningkatan ekspresi pada ICAM 1 dan HLA DR dan peningkatan ekspresi ICAM 1
ini menjelaskan migrasi limfosit T ke sel epidermis dan mengakibatkan kerusakan.

Visa dkk juga menyatakan bahwa mekanisme imunologi bukan satu-satunya


penyebab kelainan ini, akan tetapi faktor genetik turut mendasari terjadinya FDE.
Keadaan ini dapat dibuktikan dengan terjadinya kasus FDE dalam satu keluarga yang
menunjukkan kesamaan pada HLA B12.

D. Gambaran Klinis

11
FDE dapat timbul dalam waktu 30 menit sampai 8 jam setelah ingesti obat
secara oral. Lesi berupa makula oval atau bulat, berwarna merah atau keunguan,
berbatas tegas, seiring dengan waktu lesi bisa menjadi bula, mengalami deskuamasi
atau menjadi krusta. Ukuran lesi bervariasi mulai dari lentikuler sampai plakat. Lesi
awal biasanya soliter, tapi jika penderita meminum obat yang sama maka lesi yang
lama akan timbul kembali disertai dengan lesi yang baru. Namun jumlah lesi biasanya
sedikit. Timbulnya kembali lesi ditempat yang sama menjelaskan arti kata “fixed”
pada nama penyakit tersebut. Lesi dapat dijumpai dikulit dan membran mukosa yaitu
di bibir, badan, tungkai, tangan dan genital. Tempat paling sering adalah bibir dan
genital. Lesi FDE pada penis sering disangka sebagai penyakit kelamin. Gejala lokal
meliputi gatal dan rasa terbakar, jarang dijumpai gejala sistemik. Tidak dijumpai
pembesaran kelenjar getah bening regional. Lesi pada FDE jika menyembuh akan
meninggalkan bercak hiperpigmentasi post inflamasi yang menetap dalam jangka
waktu lama.

Beberapa gambaran karakteristik ke arah dugaan adanya FDE :

1. Reaksi hanya terjadi setelah pajanan ulang dengan obat. Pada penggunaan
pertama kali, waktu reaksi berkisar antara 8-9 hari.
2. Manifestasi erupsi obat tidak bergantung pada kegunaan farmakologik dan
kimiawi obat tersebut.
3. Jumlah obat yang sangat sedikit dapat memacu reaksi yang berat meskipun
obat tersebut telah dipakai dalam jangka waktu lama.
4. Obat yang sama dapat menyebabkan reaksi yang berbeda pada orang yang
sama pada waktu yang berlainan, sebaliknya berbagai obat dapat
menyebabkan reaksi atau manifestasi klinik yang sama.

12
Gambaran klinis lesi FDE

E. Histopatologi

Gambaran histologi FDE menyerupai eritema multiforme (EM). Seperti pada


EM reaksi dapat terjadi di dermis atau epidermis atau keduanya. Yang paling sering
adalah yang melibatkan dermis dan epidermis. Pada tahap awal pemeriksaan
histopatologi menggambarkan adanya bula subepidermal dengan degenerasi hidropik
sel basal epidermis. Dapat juga dijumpai diskeratosis keratinosit dengan sitoplasma
eosinofilik dan inti yang piknotik di epidermis. Pada tahap lanjut dapat dilihat melanin
dan makrofag pada dermis bagian atas dan terdapat peningkatan jumlah melanin pada
lapisan basal epidermis.

13
F. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang khas.


Riwayat perjalanan penyakit yang rinci, termasuk pola gejala klinis, macam obat,
dosis, waktu dan lama pajanan serta riwayat alergi obat sebelumnya penting untuk
membuat diagnosis. Selain itu pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk
menunjang diagnosis:

1. Biopsi kulit membantu untuk memastikan diagnosis atau menyingkirkan


diagnosis banding.

2. Uji tempel obat merupakan prosedur yang tidak berbahaya . Reaksi anafilaksis sangat
jarang terjadi, dan untuk mengantisipasinya dianjurkan mengamati penderita dalam
waktu setengah jam setelah penempelan. Secara teoritis dapat terjadi sensitisasi akibat
uji tempel, namun dalam prakteknya jarang ditemui. Tidak dianjurkan melakukan uji
tempel selama erupsi masih aktif maupun segera sesudahnya. Berdasarkan
pengalaman para peneliti, uji tempel sebaiknya dilakukan sekurang-kurangnya 6
minggu setelah erupsi mereda.

Khusus untuk FDE Alanko (1994) menggunakan cara uji tempel yang agak
berbeda. Obat dengan konsentrasi 10% dalam vaselin atau etanol 70% diaplikasikan
secara terbuka pada bekas lesi dan punggung penderita. Observasi dilakukan dalam 24
jam pertama, dan dianggap positif bila terdapat eritema yang jelas yang bertahan
selama minimal 6 jam. Kalau cara ini tidak memungkinkan untuk dilaksanakan
dianjurkan uji tempel tertutup biasa dengan pembacaan pertama setelah penempelan
24 jam.

Hasil uji tempel yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis erupsi obat dan hasil
yang positif dapat menyokong diagnosis dan menentukan penyebab meskipun
peranannya masih kontroversi. Metode uji tempel masih memerlukan banyak
perbaikan, diantaranya dengan menggiatkan penelitian tentang konsentrasi yang
sesuai untuk setiap obat, vehikulum yang tepat dan menentukan metabolisme obat di
kulit.

3. Uji provokasi oral merupakan pemeriksaan baku emas untuk memastikan penyebab.
Uji ini dikatakan aman dan dapat dipercaya untuk pasien anak. Uji ini bertujuan untuk

14
mencetuskan tanda dan gejala klinis yang lebih ringan dengan pemberian obat dosis
kecil biasanya dosis 1/10 dari obat penyebab sudah cukup untuk memprovokasi reaksi
dan provokasi biasanya sudah muncul dalam beberapa jam. Karena resiko yang
mungkin ditimbulkannya maka uji ini harus dilakukan dibawah pengawasan petugas
medis yang terlatih.

H. Diagnosis Banding

- Eritematous Multiforme

- Steven Johnson Syndrom

- Toxic Epidermal Nekrolisis

I. Penatalaksanaan

1. Hentikan penggunaan obat yang diduga sebagai penyebab.

2. Pengobatan Sistemik

Pemberian kortikosteroid sistemik sangat penting. Dengan prednison 3 x 10


mg/hari. Untuk keluhan rasa gatal pada malam hari yang kadang mengganggu istirahat
pasien dan orang tuanya dapat diberikan antihistamin generasi lama yang mempunyai
efek sedasi.

3. Pengobatan Topikal

Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit apakah kering atau
basah.

a. Jika lesi basah dapat diberi kompres secara terbuka. Tujuannya adalah untuk
mengeringkan eksudat, membersihkan debris dan krusta serta memberikan efek
menyejukkan. Pengompresan dilakukan cukup 2-3 kali sehari, biarkan basah (tetapi
tidak sampai menetes) selama ±15-30 menit. Eksudat akan ikut mongering
bersama penguapan. Biasanya pengompresan cukup dilakukan 2 sampai 3 hari
pertama saja. Cairan kompres yang dapat dipilih antara lain larutan NaCl 0,9 atau
dengan larutan antiseptik ringan misalnya larutan Permanganas Kalikus 1:10.000 atau
asam salisilat 1:1000.

15
b. Jika lesi kering dapat diberi krim kortikosteroid misalnya krim hidrokortison 1 %
atau 2,5%. Lesi hiperpigmentasi tidak perlu diobati karena akan menghilang dalam
jangka waktu lama. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan
kortikosteroid topikal pada bayi dan anak.

c. Pilihlah potensi kortikosteroid sesuai dengan daerah atau lokasi yang akan diobati,
misalnya daerah lipatan (aksila,popok) atau muka sebaiknya menggunakan potensi
rendah sedangkan pada badan atau ekstremitas dapat diberikan potensi sedang.

d. Pilihlah potensi terendah yang dapat menghilangkan kelainan kulit dalam waktu
sesingkat mungkin. Sedapat mungkin hindari penggunaan kortikosteroid yang sangat
poten, terutama untuk anak berusia kurang dari 12 tahun.

e. Gunakan vehikulum yang tepat sesuai kondisi kelainan kulit, misalnya salap untuk
lesi kering dan tebal serta krim untuk radang ringan atau lipatan.

f. Aplikasi 2 kali sehari selama 7- 14 hari biasanya cukup

g.Hati-hati dengan penggunaan kortikosteroid potensi sedang sebanyak > 15g/minggu.

h.Penggunaan di daerah yang oklusif harus hati-hati, misalnya daerah popok atau
aksila.

J. Prognosis

Prognosis umumnya baik. Apabila obat tersangka penyebab telah dapat


dipastikan maka sebaiknya kepada penderita diberikan catatan, berupa kartu kecil
yang memuat jenis obat tersebut serta golongannya. Kartu tersebut dapat ditunjukkan
bilamana diperlukan (misalnya apabila penderita berobat), sehingga dapat dicegah
pajanan ulang yang memungkinkan terulangnya FDE.

Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan-


kelainan berupa sindrom lyell dan steven johnsons sindrom, prognosis dapat menjadi
buruk bergantung pada luas kulit yang terkena.

16
DAFTAR PUSTAKA

Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Boediardja


SA,eds. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
2001:139-42.
Breathnach SM. Drug reaction. In: Champion RH, Burton JL, Ebling FJG,
eds. Textbook of Dermatology. 6th ed. London Balckwell Scientific
Publications. 1998:3349-87.
Gruschalla RS, Beltrani VS. Drug induced cutaneus reactions. In: Leung DYM,
Greaves MW. Allergic skin diseases. Marcel Dekker, Inc: New York-
Basel. 2000:307-35.
Soebaryo RW, Effendi EHF, Suyoto EK. Eksantema Fikstum. Dalam:
SularsitoSA dkk eds. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Erupsi
Obat Alergik. Balai Penerbit FKUI, Jakarat, 1995:63-5
Shear NH, Landau M, Shapiro Le. Hypersensitivity reactions to drug. In:
Harper J, Oranje A, Prose N, eds. London Blackwell Scientific
Publication. 2000:1743-63.
Sudigdoadi, Widiantoro Y. Fixed Drug Eruption pada Anak berumur 18
bulan. Media Dermato-Venereologica Indonesiana 1995, 22 :4 : 166-8.
Jakarta
Dahl MV. Drug reactions. In: Dahl MV. Clinical Immunodermatology. 3rd
ed. Mosby Year Book inc . Minneapolis – Minnesota. 1996:355-67.
Hurwitz S. Eczematous Eruptions in Childhood. In: Clinical Pediatric
Dermatology. 2nd ed. Philadelphia. WB Saunders Company. 1993:67-8.
Habif TP. Clinical Dermatology. 3rd ed. St Louis. Mosby Year
Book.1996:439-40.

17

Anda mungkin juga menyukai