Bismillah Antipsikosis Atipikal
Bismillah Antipsikosis Atipikal
Pendahuluan
Agen anti psikosis atipikal pertama yang diperkenalkan adalah clozapine pada tahun
1990 sebagai pengobatan lini pertama pada skizofrenia dalam kurun 30 tahun. Beberapa obat
anti psikosis atipikal baru juga diperkenalkan yaitu risperidones, olanzapine, dan quetipine.
Obat-obat tersebut juga dapat digunakan pada gejala negatif serta pengobatan untuk psikosis
yang sukar disembuhkan yang mana efek terhadap movement disorder lebih sedikit daripada
anti psikotik konvensional.
Antipsikotik atipikal sering disebut juga sebagai Serotonin Dopamin Antagosis (SDA)
atau APG II. APG II mempunyai mekanisme kerja melalui interaksi antar serotonin dan
dopamin pada ke 4 jalur dopamin di otak. Hal ini yang menyebabkan efek samping EPS lebih
rendah dan sangat efektif untuk mengatasi gejala negatif. Perbedaan antara APG I dan APG
II adalah APG I hanya dapat memblok reseptor D2 sedangkan APG II memblok secara
bersamaan reseptor serotonin (5HT2A) dan reseptor dopamin (D2) seperti yang terlihat pada
gambar 2.1. Selain itu antipsiktik atipikal juga menjadi agonis parsial D2 sehingga terdapat
keseimbangan antara aksi agonis dan antagonis. Ilustrasi diperlihatkan pada gambar 2.1 APG
II yang dikenal saat ini adalah clozapine, risperidone, olanzapine, quetiapine, zotepine,
ziprasidone, aripiprazole. Saat ini antipsikotik ziprasidone belum tersedia di Indonesia. 2,4
Gambar 2.1. Perbedaan antipsikosis atypical
Mekanisme Kerja
Penghambatan reseptor dopamin adalah efek utama yang berhubungan dengan
keuntungan terapi obat-obatan antipsikotik lama. Terdapat beberapa dopamin pathways
utama di otak yang dapat dilihat pada gambar 2.1 di bawah ini:
c. Mesokortikal Pathways
Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyababkan berkurangnya blokade
terhadap antagonis D2 tetapi juga menyebabkan terjadinya aktivitas dopamin
pathways sehingga terjadi keseimbangan antara serotonin dan dopamin. APG II lebih
berpengaruh banyak dalam memblok reseptor 5HT2A dengan demikian meningkatkan
pelepasan dopamin dan dopamin yang dilepas menang dari pada yang dihambat di
jalur mesokortikal. Hal ini menyebabkan berkurangnya gejala negatif maka tidak
terjadi lagi penurunan dopamin di jalur mesokortikal dan gejala negatif yang ada
dapat diperbaiki.
APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan APG I
karena di jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak dari reseptor D2,
dan APG II lebih banyak berkaitan dan memblok reseptor 5HT2A dan sedikti
memblok reseptor D2 akibatnya dopamin yang di lepas jumlahnya lebih banyak,
karena itu defisit dopamin di jalur mesokrtikal berkurang sehingga menyebabkan
perbaikan gejala negatif skizofrenia.
d. Tuberoinfundibular Pathways
APG II di jalur tuberoinfundibular, antagonis reseptor 5HT2A dapat
mengalahkan antagonis reseptor D2. Hubungan antara neurotransmiter serotonin dan
dopamin sifatnya antagonis dan resiprokal dalam kontrol sekresi prolaktin dari
hipofise. Dopamin akan menghambat pengelepasan prolaktin, sedangkan serotonin
menigkatkan pelepasan prolaktin. Pemberian APG II dalam dosis terapi akan
menghambat reseptor 5HT2A sehingga menyebabkan pelepasan dopamin menigkat.
Ini mengakibatkan pelepasan prolaktin menurun sehingga tidak terjadi
hiperprolaktinemia.
Pada gambar 2.5 memperlihatkan bagaimana antagonis reseptor 5HT2A
membalikkan kemampuan antagonis D2 untuk menambah seksresi prolaktin. Hal ini
dikarenakan serotonin dan dopamin memiliki hubungan timbal balik terhadap sekresi
prolaktin. Sehingga, stimulasi reseptor 5HT2A akan membalikkan efek stimulasi
terhadap reseptor D2, hal yang sama dikatakan bahwa blokade reseptor 5HT2A
memutar balikkan efek blokade reseptor D2.
1. Clozapine
Merupakan APG II yang pertama dikenal kurang menyebabkan timbulnya
EPS, tidak menyebabkan terjadinya tardice dyskinesia dan tidak terjadi peningkatan
dari prolaktin. Clozapine merupakan gold standard pada pasien yang telah resisten
dengan obat antipsikotik lainnya. Profil farmakologinya atipikal bila dibandingkan
terhadap psikotropik yang lain, clozapine menunjukkan efek dopaminergik rendah,
tetapi dapat mempengaruhi fungsi saraf dopamin pada sistem mesolimbik-
mesokortikal otak, yang berhubungan dengan fungsi emosional dan mental yang lebih
tinggi, yang berbeda dari dopamin neuron di daerah nigrostriatal (daerah gerak) dan
tuberoinfundibular (daerah neruendokrin). 4
Clozapine efektif untuk menggontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia
baik yang positif (iritabilitias) maupun yang negatif (social disinterest dan
incompetence, personal neatness). Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2
minggu, diikuti perbaikan secara bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat ini
berguna untuk pasien yang refrakter dan terganggu berat selama pengobatan. Selain
itu, karena resiko efek samping EPS yang sangat rendah, obat ini cocok untuk pasien
yang menunjukkan gejala EPS yang berat bila diberikan antipsikosis yang lain.
Namun, karena clozapin memiliki efek resiko agranulositosis yang lebih tinggi
dibandingkan antipsikosis yag lain, maka pengunaannya di batasi hanya pada pasien
yang resisten atau tidak dapat mentoleransi antipsikosis lain. Pasien yang diberi
clozapine perlu di pantau sel darah putihnya setiap minggu. 4,6,10
Secara farmakokinetik, clozapine di absorpsi secara cepat dan sempurna pada
pemberian per oral. Kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 3-4 jam setelah
pemberian obat. Oral Availabilitas dilaporkan sekitar 12-81%. Pemberian clozapine
dengan atau tanpa makanan dilaporkan tidak memberikan pengaruh penyerapan yang
signifikan. Clozapine secara ekstensif diikat protein plasma (>95%), obat ini di
metabolisme hampir sempurna sebelum dieksresi lewat urin dan tinja (30% melaui
kantong empedu dan 50% melaui urine), dengan waktu paruh rata-rata 11,8 jam
sehingga pemberiannya dianjurkan 2 kali dalam sehari. 6 Luas volum distribusi sekitar
2-5L/kg. Clozapine dilaporkan memiliki waktu paruh 11-105 jam (rata-rata 16) dan
mencapai steady state pada hari ke empat atau delapan. Ada hubungan yang linear
antara clozapine dan konsentrasi plasma.
Clozapine secara garis besar di metabolisme di hepar. Produk eliminasi
tambahan berupa produk methylated, hydroxylated, dan glucoronidated. Clozapine
dimetabolisme melalui sitokrom P-450 isoenzim termasuk CYP1A2, CYP2D6, dan
CYP3A4.
Distribusi dari clozapine dibandingkan obat antipsikotik lainnya lebih rendah.
Umunya afinitas dari clozapine rendah pada reseptor D2 dan tinggi pada reseptor
5HT2A sehingga cenderung rendah untuk menyebabkan terjadinya efek samping EPS.
Pada reseptor D4 afinitasnya lebig tinggi 10 kali lipat dibandingkan antipsikotik
lainnya, dimana reseptor D4 terdapat pada daerah korteks dan sedikit pada daerah
striatal. Hal ini lah yang membedakan clozapine dengan APG I. 4
Dosis : 4,7
Hari 1 >> 1 – 2 x 12,5 mg.
Berikutnya ditingkatkan 25 – 50 mg / hari sp 300 – 450 mg / hari dengan
pemberian terbagi.
Dosis maksimal 600 mg / hari.
Sediaan yang ada di pasaran tablet 25 mg dan 100 mg
2. Risperidone
Risperidone merupakan obat APG II yang kedua diterima oleh FDA (Food
and Drug Administration) sebagai antipsikotik setelah clozapine. Rumus kimianya
adalah benzisoxazole derivative. Absorpsi risperidone di usus tidak di pengaruhi oleh
makanan dan efek terapeutik nya terjadi dalam dosis rendah, pada dosis tinggi dapat
terjadi EPS. Pemakaian risperidone yang teratur dapat mencegah terjadinya
kekambuhan dan menurunkan jumlah dan lama perawatan sehingga baik digunakan
dalam dosis pemeliharaan. Pemakaian riperidone masih diizinkan dalam dosis sedang,
setelah pemberian APG I dengan dosis yang kecil dihentikan, misalnya pada pasien
usia lanjut dengan psikosis, agitasi, gangguan perilaku yang di hubungkan dengan
demensia. 4
Risperidone secara luas dan cepat diabsorbsi secara oral dan melewati
metabolism pertama. Absorbsi tidak terganggu oleh makanan. Oral bioavailabiitas rata-
rata 68%. T maksimu dilaporkan dalam 1-1,5 jam. Obat didistribusikan dengan Vd 1-
1,5L/kg dan risperidone berikatan tinggi dengan albumin dan alpha-1-acid
glycoproteins. Beberapa studi memperlihatkan bahwa adanya hubungan yang lin ear
antara dosis risperidone terhadap konsentrasi plasma dosis antipsikotik tipikal.Waktu
paruh risperidone berkisar antara 3 sampai 24 jam.
Metabolisme risperidone sebagian besar terjadi di hati oleh enzim CYP 2D6
menjadi 9-hydroxyrisperidone dan sebagian kecil oleh enzim CYP 3A4.
Hydroxyrisperidone mempunyai potensi afinitas terhadap reseptor dopamin yang setara
dengan risperidone. Eksresi terutama melalui urin. Metabolisme risperiodne dihambat
oleh antidepresan fluoxetine dan paroxetine, karena antidepresan ini menghambat kerja
dari enzim CYP 2D6 dan CYP 3A4 sehingga pada pemberian bersama antidepresan ini,
maka dosis risperidone harus dikurangi untuk meminimalkan timbulnya efek samping
dan toksik. Metabolisme obat ini dipercepat bila diberikan bersamaan carbamazepin,
karena menginduksi CYP 3A4 sehingga perlu peningkatan dosis risperidone pada
pemberiaan bersama carbamazepin disebabkan konsentrasi risperidone di dalam plasma
rendah. 4,8
Indikasi : 4,7
- Skizofrenia akut dan kronik dengan gejala positif dan negatif.
- Gejala afektif pada skizofrenia (skizoafektif).
Dosis : 4,7
- Hari 1 : 1 mg, hari 2 : 2mg, hari 3 : 3 mg.
- Dosis optimal - 4 mg / hari dengan 2 x pemberian.
- Pada orang tua, gangguan liver atau ginjal dimulai dengan 0,5 mg, ditingkatkan sp 1 –
2 mg dengan 2 x pemberian.
- Umunya perbaikan mulai terlihat dalam 8 minggu dari pengobatan awal, jika belum
terlihat respon perlu penilaian ulang.
- Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral.
Efek samping: 4,7
- EPS
- Peningkatan prolaktin (ditandai dengan gangguan menstruasi, galaktorea, disfungsi
seksual)
- Sindroma neuroleptik malignan
- Peningkatan berat badan
- Sedasi
- Pusing
- Konstipasi
- Takikardi
3. Olanzapine
Indikasi : 4,7
- Sizofrenia atau psikosis lain dengan gejala positive dan negatif.
- Episode manik moderat dan severe.
- Pencegahan kekambuhan gangguan bipolar.
Dosis : 4,7
- Untuk skizofrenia mulai dengan dosis 10 mg 1 x sehari.
- Untuk episode manik mulai dengan dosis 15 mg 1 x sehari.
- Untuk pecegahan kekambuhan gangguan bipolar 10 mg / hari
5. Ziprasidone
APG II dengan struktur kimia yang baru, obai ini belum tersedia di Indonesia.
Ziprasidone merupakan antipsikotik dengan efek antagonsis antara reseptor 5HT2A dan
D2. Berinteraksi juga denga reseptor 5HT2C, 5HT1D dan 5HT1A, afinitasnya pada
reseptor ini sama atau lebih besar dari afinitas pada reseptor D2. Afinitas sedang pada
reseptor histamin dan α1. Ziprasidone tidak bekerja pada muskarinik (M1). 4
Ziprasidone juga antipsikotik yang mempunyai mekanisme kerja yang unik karena
menghambat pengambilan kembali (reuptake) neurotransmiter serotonin dan
norepineprine di sinaps. Obat ini efektif digunakan untuk gejala negatif dan penderita
yang refrakter dengan antipsikotik. Obat ini aman diberikan pada penderita usia lanjut. 5
Absorpsi ziprasidone akan meningkat dengan adanya makan, tetapi tidak
dipangruhi oleh usia, jenis kelamin, gangguan fungsi hati atau ginjal. Konsentrasi
plasma puncak dicapai dalam waktu 2-6 jam setelah pemberian oral dengan waktu
paruh obat rata-rata 5-10 jam, sehingga pemberiannya 2 kali sehari. Metabolsime
ziprasidone melalui hati, sebagian besar pada isoenzim CYP 3A4 dan sebagian kecil di
CYP 1A2. Mekanisme kerja farmakologik diperkirakan pro-serotonergik dan pro-
noradregenik sehingga di prediksi dapat bekerja sebagai antidepresan dan ansiolitik.
Efikasi dari ziprasidone terjadi pada dosis 80-160 mg/hari, untuk pengobatan terhadap
gejala positif, negatif, dan depresif pada pasien skizofrenia. 4
Dosis intial yang aman diberikan tanpa dosis titrasi adalah sebesar 40 mg perhari.
Pemberiannya akan semakin efektif bila bersamaan dengan makanan. Dosis
pemeliharaan berkisar antara 40-60 mg per hari. 7
Terjadinya efek samping EPS rendah dan tidak terjadi peningkatan kadar
prolaktin. Efek samping yang dijumpai selama uji klinis adalah somnolen (14%),
peningkatan berat badan (10%), gangguan pernafasan (8%), EPS (5%), dan bercak-
bercak merah di kulit (4%). Peningkatan berat badan sangat kecil atau dapat dikatan
tidak ada, karena bekerja sangat lemah pada reseptor AH1 walaupun bekerja juga
sebagai antagonis pada reseptor 5HT2c. Ziprasidone tidak menyebabkan gangguan
jantung. 4
6. Aripiprazole
Merupakan antipsikotik generasi baru, yang bersifat partial agonis pada reseptor
D2 dan reseptor serptonin 5HT1A serta antagonis pada reseptor serotonin 5HT2A.
Aripiprazole bekerja sebagai dopamin sistem stabilizer artinya menghasilkan signal
transmisi dopamin yang sama pada keadaan hiper atau hipo-dopaminergik karena pada
keadaan hiperdopaminergik aripiprazole afinitasnya lebih kuat dari dopamin akan
mengeser secara kompetitif neurotransmiter dopamin dan berikatan dengan reseptor
dopamin. Pada keadaan hipodopaminergik maka aripiprazole dapat menggantikan peran
neurotransmiter dopamin dan akan berikatan dengan reseptro dopamin. 4
Aripiprazole di metabolisme di hati melaui isoenzim P450 pada CYP 2D6 dan
CYP 3A4, menjadi dehydro-aripiprazole. Afinitas dari hasil metabolisme ini mirip
dengan aripiprazole pada reseptor D2 dan berada di plasma sebesar 40% dari
keseluruhan aripiprazole. Waktu paruh berkisar antara 75-94 jam sehingga pemberian
cukup 1 kali sehari. Absorpsi aripiprazole mencapai konsentrasi plasma ouncak dalam
waktu 3-5 jam setelah pemberian oral. Aripiprazole sebaiknya diberikan sesudah
makan, terutama pada pasien yang mempunyai keluhan dispepsia, mual dan muntah. 4
Indikasi :
- Skizofrenia.
Dosis :
- 10 atau 15 mg 1 x sehari.
Efek samping :
- Sakit kepala.
- Mual, muntah.
- Konstipasi.
- Ansietas, insomnia, somnolens.
- Akhatisia.
A. INTERAKSI OBAT 5
Antipsikosis + Antipsikosis lain = potensi efek samping obat dan tidak ada bukti lebih
efektif (tidak ada sinergis antara 2 obat anti-psikosis). Misalnya, Chlorpromazine +
Reserpine = potensiasi efek hipotensif.
Antipsikosis + Antidepresan trisiklik = efek samping antikolinergik meningkat (hati-
hati pada pasien dengna hipertrofi prostat, glaukoma, ileus, penyakit jantung).
Antipsikosis + anti-anxietas = efek sedasi meningkat, bermanfaat untuk kasus dengan
gejala dan gaduh gelisah yang sangat hebat (acute adjunctive therapy).
Antispikosis + ECT = dianjurkan tidak memberikan obat anti-psikosis pada pagi hari
sebelum ECT (Electro Convulsive Therapy) oleh karena angka mortalitas yang tinggi.
Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan serangan
kejang meningkat, oleh karena itu dosis antikonvulsan harus lebih besar (dose-
related). Yang paling minimal menurunkan ambang kejang adalah obat anti-psikosis
Haloperidol.
Antipsikosis + Antasida = efektivitas obat antu-psikosis menurun disebabkan
gangguan absorpsi.
B. CARA PENGGUNAAN
Pemilihan Obat
Pada dasarnya semua obat anti-psikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang
sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek sekunder (efek samping ;
sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). 5
Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan
dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen.
Apabila obat anti-psikosis tidak memberikan respons klinis dalam dosis yang sudah
optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan obat anti-psikosis
lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekivalen-nya, dimana
profil efek samping belum tentu sama.
Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti-psikosis sebelumnya, jenis obat anti-
psikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek samping-
nya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
Apabila gejala negatif (afek tumpul, penarikan diri, hipobulia, isi pikiran miskin)
lebih menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi, bicara kacau, perilaku tak
terkendali) pada pasien Skizofrenia, pilihan obat antipsikosis – atipikal perlu
dipertimbangkan. Khususnya pada penderita Skizofrenia yang tidak dapat mentolerir
efek samping ekstrapiramidal atau mempunyai risiko medik dengan adanya gejala
ekstrapiramidal (neuroleptic induced medical complication).
Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu dipertimbangkan : 5
Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2 – 4 minggu
Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2 – 6 jam.
Waktu paruh : 12 – 14 jam (pemberian obat 1-2 x perhari).
Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek
samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu
mengganggu kualitas hidup pasien.
Mulai dengan “dosis awal” sesuai dengan “dosis anjuran”, dinaikkan setiap 2-3 hari
sampai mencapai “dosis efektif” (mulai timbul peredaran Sindrom Psikosis)
dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan “dosis optimal”
dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) diturunkan setiap 2 minggu
“dosis maintenance” dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi “drug
holiday” 1-2 hari/minggu) tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu) stop.
Lama Pemberian
Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang “multi episode”, terapi
pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun. Pemberian yang
cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 – 5 kali.
Efek obat anti-psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari
setelah dosis terakhir masih mempunyai efek klinis. Sehingga tidak langsung
menimbulkan kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya satu bulan kemudian
baru gejala Sindrom Psikosis kambuh kembali.
Hal tersebut disebabkan metabolisme dan ekskresi obat sangat lambat, metabolit-
metabolit masih mempunyai keaktifan anti-psikosis.
Pada umumnya pemberian obat anti-psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3
bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk
“Psikosis Reaktif Singkat” penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya gejala
dalam kurun waktu 2 minggu – 2 bulan.
Obat anti psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun
diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil
sekali.
Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala “Cholinergic Rebound” :
gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain. Keadaan ini
akan mereda dengan pemberian “anticholinergic agent” (injeksi Sulfas Atropin 0,25
mg (im), tablet Trihexyphenidyl 3x 2 mg/h).
Oleh karena itu pada penggunaan bersama obat anti-psikosis + antiparkinson, bila
sudah tiba waktu penghentian obat, obat antipsikosis dihentikan lebih dahulu,
kemudian baru menyusul obat antiparkinson. 5
Penggunaan Parenteral
Obat anti-psikosis “long acting” Fluphenazine Decanoate 25 mg/cc atau
Haloperidol Decanoas 50 mg/cc, im, setiap 2 – 4 minggu sangat berguna untuk pasien
yang tidak mau atau sulit teratur makan obat atau apapun yang tidak efektif terhadap
medikasi oral.
Sebaiknya sebelum penggunaan parenteral diberikan secara oral lebih dahulu
beberapa minggu untuk melihat apakah terdapat efek hipersensitivitas.
Dosis mulai dengan ½ cc setiap 2 minggu pad bulan pertama kemudian bau
ditingkatkan menjadi 1 cc setiap bulan.
Pemberian obat anti psikosis “long acting” hanya untuk terapi stabilisasi dan
pemeliharaan (maintenance therapy) terhadap kasus Skizofrenia. 15 – 25 % kasus
menunjukkan toleransi yang baik terhadap efek samping ektrapiramidal. 5
C. PERHATIAN KHUSUS
Efek samping yang sering timbul dan tindakan mengatasinya : 5
Penggunaan Chlorpromazine injeksi (im) : sering menimbulkan Hipotensi
Ortostatik pada waktu perubahan posisi tubuh (efek alfa adrenergic blockade).
Tindakan mengatasinya dengan injeksi Nor-adrenaline (Nor-epinephrine) sebagai “alfa
adrenergic stimulator”.
Dalam keadaan ini tidak diberikan Adrenaline oleh karena bersifat “alfa dan beta
adrenergic stimulator” sehingga efek beta-adrenergic tetap ada dan dapat terjadi Shock.
Hipotensi ortostatik seringkali dapat dicegah dengan tidak langsung bangun setelah
mendapat suntikan dan dibiarkan tiduran selama sekitar 5-10 menit.
Bila dibutuhkan dapat diberikan Norepinephrine bitartrate (LEVOPHED – Abbot
atau RAIVAS – Dexa Medica atau VASCON – Fahrenheit) ampul 4 mg/4cc dalam
infus 1000 ml dextrose 5% dengan kecepatan infus 2-3cc/menit.
Obat anti-psikosis yang kuat (Haloperidol) sering menimbulkan gejalan
Ekstrapiramidal/Sindrom Parkinson. Tindakan mengatasinya dengan tablet
Trihexyphenidyl (Artane) 3-4x 2 mg/hari, Sulfas Atropin 0,50-0,75 mg (im).
Apabila Sindrom Parkinson sudah terkendali diusahakan penurunan dosis secara
bertahap, untuk menentukan apakah masih dibutuhkan penggunaan obat antiparkinson.
Secara umum dianjurkan penggunaan obat antiparkinson tidak lebih lama dari 3
bulan (risiko timbul “atropine toxic syndrome”). Tidak dianjurkan pemberian
“antiparkinson profilaksis”, oleh karena dapat mempengaruhi penyerapan/absorpsi
obat anti-psikosis sehingga kadarnya dalam plasma rendah, dan dapt menghalangi
manifestasi gejala psikopatologis yang dibutuhkan untuk penyesuaian dosis obat anti-
psikosis agar tercapai dosis efektif.