Anda di halaman 1dari 36

REFARAT

TB-HIV

Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Mengikuti

Kepaniteraan Klinis Ilmu Pulmonologi di

RS Murni Teguh Memorial Hospital

Pembimbing :

dr. Guntur, MKT

Disusun Oleh :

Fansisca Siallagan

18010035

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PULMONOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN

MEDAN

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini tepat pada
waktunya..

Secara khusus penulis ucapkan terima kasih kepara dr. Guntur, MKT yang
telah bersedia membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktunya untuk
memberikan masukan serta saran sehingga tulisan ini dapat terselesaikan
sebagaimana mestinya. Penulis sadar bahwa tulisan ini memiliki kekurangan,
sehingga penulis memohon kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran
agar tulisan ini dapat diperbaiki dan berguna bagi pembaca. Besar harapan penulis
agar tulisan ini dapat bermanfaat dan menjadi bekal ilmu dalam profesi
pendidikan kedokteran. Atas kesempatan yang diberikan, penulis ucapkan
terimakasih

Medan, September 2019

Hormat saya,

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang


menyerang atau menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya
kekebalan tubuh manusia. AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah
sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang
disebabkan infeksi oleh HIV. Akibat menurunnya kekebalan tubuh maka orang
tersebut sangat mudah terkena berbagai penyakit infeksi (infeksi oportunistik)
yang sering berakibat fatal.1

Di seluruh dunia pada tahun 2013 ada 35 juta orang hidup dengan HIV
yang meliputi 16 juta perempuan dan 3,2 juta anak berusia <15 tahun. Jumlah
infeksi baru HIV pada tahun 2013 sebesar 2,1 juta yang terdiri dari 1,9 juta
dewasa dan 240.000 anak berusia <15 tahun. Jumlah kematian akibat AIDS
sebanyak 1,5 juta yang terdiri dari 1,3 juta dewasa dan 190.000 anak berusia <15
tahun. Di Indonesia HIV/AIDS sudah menyebar di 386 kabupaten/kota di seluruh
provinsi.1

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang


penting di dunia. Perkiraan kasus TB secara global pada tahun 2016 adalah1:
 Insidensi kasus : 8,7 juta (8.3- 9.0 juta)
 Prevalensi kasus : 12 juta (10- 13 juta)
 Kasus meninggal (HIV negatif) : <1 juta (0,84 - 1.1 juta )
 Kasus meninggal (HIV positif) : 0,43 juta (0,40-0,46 juta);
0.38 juta (0.32-0.45 juta) pada 20092
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Dari
data hasil WHO tahun 2016, lima negara dengan insiden kasus terbanyak yaitu
India (2,0 -2.5 juta), China (0,9 -1.1 juta), Afrika Selatan (0.4-0.6 juta),
Indonesia (0,4 – 0,5 juta) dan Pakistan (0.3- 0.5 juta) . TB paru mencakup 80%
dari keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya
2
merupakan tuberkulosis ekstrapulmonar . Diperkirakan bahwa sepertiga

1
3
penduduk dunia pernah terinfeksi kuman M. Tuberculosis . HIV dan TB
2
merupakan kombinasi penyakit mematikan . Seseorang yang terinfeksi HIV
akan menderita infeksi oportunistik selama perjalanan alamiah penyakit. TB
adalah salah satu infeksi oportunistik yang tersering pada kasus infeksi HIV dan
mungkin mendahului terjadinya perkembangan AIDS, tapi seringnya keduanya
terdiagnosis secara bersamaan5.
Di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan hingga akhir
Desember 2015, secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan
berjumlah 24.131 kasus dengan infeksi penyerta terbanyak adalah TB yaitu
sebesar 11.835 kasus (49%). Sedangkan infeksi HIV pada pasien TB di
Indonesia diperkirakan sekitar 3%; di Tanah Papua dan di populasi risiko tinggi
termasuk populasi di Lapas/Rutan angkanya diperkirakan lebih tinggi .

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini untuk memberikan informasi mengenai TB-HIV

1.3 Manfaat Penulisan

1. Melalui tulisan ini para penulis dapat memahami TB-HIV

2. Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepanitraan klinik senior di


bagian Ilmu Pulmonologi di RS Murni Teguh Memorial Hospital

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TUBERKULOSIS
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex2. Tuberkulosis paru adalah penyakit radang
parenkim paru karena infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis
paru termasuk suatu pneumonia, yaitu pneumonia yang disebabkan oleh
M.tuberculosis 8.

2.1.2 Etiologi

TB Paru diakibatkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex.


Bakteri ini merupakan basil tahan asam yang ditemukan oleh Robert Koch pada
tahun 1882 9. Mycobacterium tuberculosis adalah kuman penyebab TB yang
berbentuk batang ramping lurus atau sedikit bengkok dengan kedua ujungnya
membulat. Koloninya yang kering dengan permukaan berbentuk bunga kol dan
berwarna kuning tumbuh secara lambat walaupun dalam kondisi optimal.
Diketahui bahwa pH optimal untuk pertumbuhannya adalah antara 6,8-8,0. Untuk
memelihara virulensinya harus dipertahankan kondisi pertumbuhannya pada pH
6,8 10.

M. tuberculosis tipe humanus dan bovines adalah mikobakterium yang


paling banyak menimbulkan penyakit TB pada manusia. Basil tersebut berbentuk
batang, bersifat aerob, mudah mati pada air mendidih (5 menit pada suhu 80 C
dan 20 menit pada suhu 60C), dan mudah mati apabila terkena sinar ultraviolet
(sinar matahari). Basil tuberkulosis tahan hidup berbulan-bulan pada suhu kamar
dan dalam ruangan yang lembab11.

3
2.1.3 Patogenesis
1. Tuberkulosis Primer

Kuman TB yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan


paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer
atau afek primer disebit sebagai fokus Ghon. Sarang primer ini mungkin timbul di
bagian di mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang
primer akan terlihat peradangan pembuluh limfe menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran limfonodi di hilus (limfadenitis
regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai
kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai
berikut 12 :

a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali,


b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang
Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus),
c. Menyebar dengan cara:

 Perkontinuatum

Salah satu contoh adalah epitutuberkulosis, yaitu suatu kejadian


penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang
membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan,
dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus
yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada
lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epitutuberkulosis 12.

1) Penyebaran secara bronkogen

Penyebaran secara bronkogen berlangsung baik di paru bersangkutan


maupun ke paru sebelahnya atau tertelan 12.

2) Penyebaran secara hematogen dan limfogen

Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi
kuman. Ada beberapa kuman yang menetap sebagai “persisten” atau “dormant”,

4
sehingga daya tahan tubuh tidak dapat menghentikan perkembangbiakan kuman,
akibatnya yang bersangkutan akan menjadi penderita TB dalam beberapa bulan.
Bila tidak terdapat imunitas yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan
keadaan cukup gawat seperti TB milier, meningitis TB, Typhobacillosis landouzy.
Penyebaran ini juga dapat menimbulkan TB pada organ lain, misalnya tulang,
ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya12.

2. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)

Kuman yang persisten pada TB primer akan muncul bertahun-tahun


kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa (tuberkulosis post primer
= TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. TB
sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, peyakit
maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. TB sekunder ini dimulai dengan sarang
dini yang berlokasi di region atas paru (bagian apical-posterior lobus superior
atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus
hiler paru. TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia
muda menjadi TB usia tua 13.

Patogenesis dan manifestasi patologi TB paru merupakan hasil respon


imun seluler (cell mediated immunity) dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat
terhadap antigen kuman TB12.

Perjalanan infeksi TB terjadi melalui 5 tahap.


Tahap 1: dimulai dari masuknya kuman TB ke alveoli. Kuman akan difagositosis
oleh makrofag alveolar dan umumnya dapat dihancurkan. Bila daya bunuh
makrofag rendah, kuman TB akan berproliferasi dalam sitoplasma dan
menyebabkan lisis makrofag. Pada umumnya pada tahap ini tidak terjadi
pertumbuhan kuman.
Tahap 2: tahap simbiosis, kuman tumbuh secara logaritmik dalam non-activated
macrophage yang gagal mendestruksi kuman TB hingga makofag hancur dan
kuman TB difagositosis oleh makrofag lain yang masuk ke tempat radang karena
faktor kemotaksis komponen komplemen C5a dan monocyte chemoatractant

5
protein (MPC-1). Lama kelamaan makin banyak makrofag dan kuman TB yang
berkumpul di tempat lesi.
Tahap 3: terjadi nekrosis kaseosa, jumlah kuman TB menetap karena
pertumbuhannya dihambat oleh respon imun tubuh terhadap tuberculin-like
antigen. Pada tahap ini, delayed type of hypersensitivity (DTH) merupakan respon
imun utama yang mampu menghancurkan makrofag yang berisi kuman. Respon
ini terbentuk 4-8 minggu dari saat infeksi. Dalam solid caseous center yang
terbentuk, kuman ekstraseluler tidak dapat tumbuh, dikelilingi non-activated
makrofag dan partly activated macrofag. Pertumbuhan kuman TB secara
logaritmik terhenti, namun respon imun DTH ini menyebabkan perluasan caseous
necrosis tapi tidak dapat berkembang biak karena keadaan anoksia, penurunan pH
dan adanya inhibitory fatty acid. Pada keadaan dorman ini metabolism kuman
minimal sehingga tidak sensitif terhadap terapi. Caseous necrosis ini merupakan
reaksi DTH yang berasal dari limfosit T, khususnya T sitotoksik (Tc), yang
melibatkan clotting factor, sitokin TNF-alfa, antigen reaktif, nitrogen
intermediate, kompleks antigen antibody, komplemen dan produk-produk yang
dilepaskan kuman yang mati. Pada reaksi inflamasi, endotel vaskuler menjadi
aktif menghasilkan molekul-molekul adesi (ICAM-1, ELAM-1, VCAM-1), MHC
klas I dan II. Endotel yang aktif mampu mempresentasikan antigen tuberkulin
pada sel Tc sehingga menyebabkan jejas pada endotel dan memicu kaskade
koagulasi. Trombosis lokal menyebabkan iskemia dan nekrosis dekat jaringan.
Tahap 4: respon imun cell mediated immunity (CMI) memegang peran utama
dimana CMI akan mengaktifkan makrofag sehingga mampu memfagositosis dan
menghancurkan kuman. Activated macrophage menyelimuti tepi caseous necrosis
untuk mencegah terlepasnya kuman. Pada keadaan dimana CMI lemah,
kemampuan makrofag untuk menghancurkan kuman hilang sehingga kuman dapat
berkembang biak di dalamnya dan seanjutnya akan dihancurkan oleh respon imun
DTH, sehingga caseous necrosis makin luas. Kuman TB yang terlepas akan
masuk ke dalam kelenjar limfe trakheobronkial dan menyebar ke organ lain.
Tahap 5: terjadi likuifikasi caseous center dimana untuk pertama kalinya terjadi
multiplikasi kuman TB ekstraseluler yang dapat mencapai jumlah besar. Respon
imun CMI sering tidak mampu mengendalikannya. Dengan progresivitas penyakit

6
terjadi perlunakan caseous necrosis, membentuk kavitas dan erosi dinding
bronkus. Perlunakan ini disebabkan oleh enzim hidrolisis dan respon DTH
terhadap tuberkuloprotein, menyebabkan makrofag tidak dapat hidup dan
merupakan media pertumbuhan yang baik bagi kuman. Kuman TB masuk ke
dalam cabang-cabang bronkus, menyebar ke bagian paru lain dan jaringan
sekitarnya 12.

2.1.4 Diagnosis

Diagnosis pada TB dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan


pemeriksaan fisik yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui pemeriksaan
kultur bakteriologi, pemeriksaan sputum BTA, radiologi dan pemeriksaan
penunjang lainnya2.

2.1.5 Gejala Klinis

Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala


lokal dan sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal adalah
gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat) 2.

a. Gejala respiratori :
1) Batuk ≥ 2 minggu
2) Hemoptisis
3) Dyspneu
4) Nyeri dada
b. Gejala sistemik
1) Demam
2) Gejala sistemik lain ; malaise, keringat malam,
anoreksia, dan berat badan menurun.
c. Gejala TB ekstra paru
Gejala TB ekstra paru tergantung dari organ yang
terlibat, misalnya pada limfadenitis TB akan terjadi
pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah
bening. Pada meningitis TB akan terlihat gejala meningitis.

7
Pada pleuritis TB terdapat gejala sesak napas dan kadang
nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan
2
.

2.1.6 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang dijumpai tergantung dengan organ


yang terlibat. Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak
(atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru umumnya terletak di
daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2)
serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
antara lain suara napas bronchial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,
tanda-anda penarikan paru, diafragma dan mediastinum2.

2.1.7 Pemeriksaan Bakteriologi

Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis


mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, LCS, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, feses, dan jaringan
biopsi2.

Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila:

a. 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif  BTA positif


b. 1 kali positif, 2 kali negatif  ulang BTA 3 kali, kemudian,
bila 1 kali positif, 2 kali negatif  BTA positif bila 3 kali
negatif  BTA negatif 3 .
Menurut rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan
skala International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD).
Skala IUATLD:

-Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif


-Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan.

8
-Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
-Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
-Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++(3+)2.

2.1.8 Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi
yaitu foto lateral, top-lordotic, oblik atau CT-scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
TB dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran
radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah:

 Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior


lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah.
 Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan
opak berawan atau nodular.
 Bayangan bercak milier.
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
 Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif:

a. Fibrotik.
b. Kalsifikasi.
c. Schwarte atau penebalan pleura
 Pemeriksaan Penunjang Lain
 Analisis cairan pleura.
 Pemeriksaan histopatologi jaringan.
 Pemeriksaan darah2.

9
Gambar 1. Alur Diagnosis TB paru 3

2.1.9 Penatalaksanaan

Pengobatan TB Paru diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan


lanjutan. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan
diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT
terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat
biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu
sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada
akhir pengobatan intensif 3.

10
Tabel 1 berikut menunjukkan jenis, sifat dan dosis OAT.

Tabel 1. Jenis, sifat dan dosis OAT3


Dosis yang direkomendasikan
Jenis OAT Sifat (mg/kg)
Harian 3x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)
Rifampisisn (
R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)
Pyrazinamid (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
Streptomycin
(S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)
Ethambutol (E) Bakterostatik 15 (15-20) 30 (20-35)

Sedangkan kategori penggunaan OAT di Indonesia, adalah


sebagai berikut.
1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3), diberikan untuk pasien dengan
kriteria:
a. Pasien baru TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien TB ekstra paru

11
Tabel 2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 13
Berat Badan Tahap intensif Tahap Lanjutan
3 kali seminggu selama
tiap hari selama 56 hari 16 minggu
RHZE
(150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 3. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 13


Dosis per hari / kali
Jumlah
Tablet
Tahap Lama Kaplet Tablet Tablet hari/kali
Isoniasid
PengobatanPengobatan Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
@ 300
@ 450 mgr @ 500 mgr @ 250 mgr obat
mgr
Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48

2. Kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3), diberikan untuk pasien


BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Tabel 4. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2 3


Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan
RHZE(150/75/400/275) 3 kali seminggu
Berat
RH (150/50)+
Badan
Selama 56 hari Selama 28 hari E (400)
Selama 20

12
minggu
2 tab 4KDT
30 – 37 + 500 mg 2 tab 2KDT + 2
2 tab 4KDT
kg Streptomisin tab Etambutol
inj
3 tab 4KDT
30 – 54 + 750 mg 3 tab 2KDT + 3
3 tab 4KDT
kg Streptomisin tab Etambutol
inj
+ 1000 mg
55 – 70
Streptomisin 4 tab 4KDT 4 tab Etambutol
kg
inj
5 tab 4KDT
– 1000 mg 5 tab 2 KDT + 5
≥ 71 kg 5 tab 4KDT
Streptomisin tab Etambutol
inj

3.1 HIV/ AIDS


3.1.1 Definisi

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus dengan


materi genetik asam ribonukleat (RNA). Retrovirus mempunyai kemampuan yang
unik untuk mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan
menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase, setelah masuk ke tubuh
hospes. Virus ini menyerang dan merusak sel- sel limfosit T-helper (CD4+)
sehingga sistem imun penderita turun dan rentan terhadap berbagai infeksi dan
keganasan 14.

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai


kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan
tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang
termasuk family retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV4.

13
3.1.2 Patogenesis

HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang


memiliki reseptor membran CD4, yaitu sel T-helper (CD4+). Glikoprotein
envelope virus, yakni gp120 akan berikatan dengan permukaan sel limfosit CD4+,
sehingga gp41 dapat memperantarai fusi membran virus ke membran sel. Setelah
virus berfusi dengan limfosit CD4+, RNA virus masuk ke bagian tengah
sitoplasma CD4+. Setelah nukleokapsid dilepas, terjadi transkripsi terbalik
(reverse transcription) dari satu untai tunggal RNA menjadi DNA salinan
(cDNA) untai-ganda virus. cDNA kemudian bermigrasi ke dalam nukleus CD4+
dan berintegrasi dengan DNA dibantu enzim HIV integrase. Integrasi dengan
DNA sel penjamu menghasilkan suatu provirus dan memicu transkripsi mRNA.
mRNA virus kemudian ditranslasikan menjadi protein struktural dan enzim virus.
RNA genom virus kemudian dibebaskan ke dalam sitoplasma dan bergabung
dengan protein inti. Tahap akhir adalah pemotongan dan penataan protein virus
menjadi segmen- segmen kecil oleh enzim HIV protease. Fragmen-fragmen virus
akan dibungkus oleh sebagian membran sel yang terinfeksi. Virus yang baru
terbentuk (virion) kemudian dilepaskan dan menyerang sel-sel rentan seperti sel
CD4+ lainnya, monosit, makrofag, sel NK (natural killer), sel endotel, sel epitel,
sel dendritik (pada mukosa tubuh manusia), sel Langerhans (pada kulit), sel
mikroglia, dan berbagai jaringan tubuh15.

Sel limfosit CD4+ (T helper) berperan sebagai pengatur utama respon


imun, terutama melalui sekresi limfokin. Sel CD4+ juga mengeluarkan faktor
pertumbuhan sel B untuk menghasilkan antibodi dan mengeluarkan faktor
pertumbuhan sel T untuk meningkatkan aktivitas sel T sitotoksik (CD8+).
Sebagian zat kimia yang dihasilkan sel CD4+ berfungsi sebagai kemotaksin dan
peningkatan kerja makrofag, monosit, dan sel Natural Killer (NK). Kerusakan sel
T-helper oleh HIV menyebabkan penurunan sekresi antibodi dan gangguan pada
sel-sel imun lainnya16.
Pada sistem imun yang sehat, jumlah limfosit CD4+ berkisar dari 600
sampai 1200/ μl darah. Segera setelah infeksi virus primer, kadar limfosit CD4+
turun di bawah kadar normal untuk orang tersebut. Jumlah sel kemudian

14
meningkat tetapi kadarnya sedikit di bawah normal. Seiring dengan waktu, terjadi
penurunan kadar CD4+ secara perlahan, berkorelasi dengan perjalanan klinis
penyakit. Gejala-gejala imunosupresi tampak pada kadar CD4+ di bawah 300
sel/μl. Pasien dengan kadar CD4+ kurang dari 200/μl mengalami imunosupresi
yang berat dan risiko tinggi terjangkit keganasan dan infeksi oportunistik15.

3.1.3 Penularan HIV/ AIDS


Penularan AIDS terjadi melalui :
1. Hubungan kelamin (homo maupun heteroseksual);
2. Penerimaan darah dan produk darah;
3. Penerimaan organ, jaringan atau sperma;
4. Ibu kepada bayinya (selama atau sesudah kehamilan).
Kemungkinan penularan melalui hubungan kelamin menjadi lebih besar
bila terdapat penyakit kelamin, khususnya yang menyebabkan luka atau ulserasi
pada alat kelamin. HIV telah diisolasi dari darah, sperma, air liur, air mata, air
susu ibu, dan air seni, tapi yang terbukti berperan dalam penularan hanyalah darah
dan sperma. Hingga saat ini juga tidak terdapat bukti bahwa AIDS dapat
ditularkan melalui udara, minuman, makanan, kolam renang atau kontak biasa
(casual) dalam keluarga, sekolah atau tempat kerja. Juga peranan serangga dalam
penularan AIDS tidak dapat dibuktikan17.

3.1.4 Diagnosis
Terdapat dua uji yang khas digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap
HIV. Pertama, tes ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) yang bereaksi
terhadap antibodi dalam serum. Apabila hasil ELISA positif, dikonfirmasi dengan
tes kedua yang lebih spesifik, yaitu Western blot. Bila hasilnya juga positif,
dilakukan tes ulang karena uji ini dapat memberikan hasil positif-palsu atau
negatif-palsu. Bila hasilnya tetap positif, pasien dikatakan seropositif HIV. Pada
tahap ini dilakukan pemeriksaan klinis dan imunologik lain untuk mengevaluasi
derajat penyakit dan dimulai usaha untuk mengendalikan infeksi 15.
WHO mengembangkan sebuah sistem staging (untuk menentukan
prognosis), berdasarkan dari kriteria klinis, sebagai berikut17.

15
Tabel 5. WHO clinical staging system for HIV infection and related
disease in adult (15 years or older) 17
Tahap 1 :
- Asimptomatik
- Limfadenopati menyeluruh
Performance scale 1 : asimtomatik, aktifitas normal
Tahap 2:
-Penurunan berat badan < 10% berat badan sebelumnya
- Manifestasi mukokutaneus minor (misal: ulserasi oral, infeksi
jamur di kuku)
- Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
- Angular cheilitis
- seboroik dermatitis
- Infeksi saluran napas atas rekuren (misal: sinusitis bakterial)
Dan/ atau Performance scale 2: simptomatik, aktivitas normal

Tahap 3:
- Penurunan berat badan > 10% dari berat badan sebelumnya
- Diare kronis tanpa sebab > 1 bulan
- Demam berkepanjangan tanpa sebab > 1 bulan
- Candidiasis oral
- Oral hairy leukoplakia
- TB paru
- Infeksi bakteri berat (pneumonia, pyomiositis)
Dan/atau Performance scale 3: bedrest < 50% dlm sehari 1 bulan
terakhir
Tahap 4:
- HIV wasting syndrome (penurunan bb > 10%, diare>1n bl atau
lemah lesu dan demam > 1 bln)
- Pneumonisitis carina pneumonia

16
- Toxoplasmosis otak
- Kriptosporidiosis dengan diare, lebih dari sebulan
- Kriptokokosis, ekstra paru
- TB ekstra paru
- Penyakit disebabkan oleh CMV
- Kandidiasis
- Mikobakteriosis atipikal
- Lymphoma
- Kaposi sarcoma
- HIV encephalopati
- Infeksi virus herpes lebih dari 1 bulan
- Leukoensefalopati multifokal yang progresif
- Infeksi jamur endemik yang menyebar
Dan/atau Performance scale 4 : bedrest >50% dlm sehari 1 bulan
terakhir

3.1.5 Terapi Anti Retrovirus (ART)


Antiretrovirus (ARV) yang ditemukan pada tahun 1996, mendorong suatu
revolusi dalam perawatan penderia HIV/AIDS. Meskipun belum mampu
menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping dan
resistensi, obat ini secara dramatis menunjukkan penurunan angka mortalitas dan
morbiditas akibat HIV/AIDS16.
Pemberian ARV bergantung pada tingkat progresifitas penyakit, yang
dapat dinilai melalui kadar CD4+ dan kadar RNA HIV serum. Terdapat tiga jenis
antiretrovirus yang digolongkan berdasarkan cara kerjanya, yang dapat dilihat
pada tabel di bawah ini 15.

17
Tabel 6. HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy), golongan dan
dosis2
Golongan Obat Dosis

Nukleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor
(NsRTI)

 Abakavir (ABC) 300mg 2x/hari atau 400mg 1x/hari

 Didanosin (ddI) 250mg 1x/hari (bb<60kg)

 Lamivudine (3TC) 150mg 2x/hari atau 300mg 1x/hari

 Stavudin (d4T) 40mg 2x/hari (30mg 2x/hari bila


bb<60kg)

 Zidovudin (ZDV) 300mg 2x/hari

Nukleotide Reverse
Transcriptase Inhibitor
(NRTI)

 TDF 300mg 1x/hari

Non-NukleosideReverse
Transcriptase Inhibitor
(NNRTI)

 Efavirenz (EFV) 600mg 1x/hari

 Nevirapine (NVP) 200mg 1x/hari untuk 14 hari


kemudian 200mg 2x/hari

Protease Inhibitor (PI)

 Indinavir/ritonavir 800mg/100mg 2x/hari

18
(IDV/r)

 Lopinavir/ritonavir 400mg/100mg 2x/hari


(LPV/r)

 Nelfinavir (NFV) 1250mg 2x/hari

 Saquinavir/ritonavir 1000mg/ 100mg 2x/hari atau


(SQV/r) 1600mg/ 200mg 1x/hari

 Ritonavir (RTV/r) Kapsul 100mg, larutan oral


400mg/5ml

* Ritonavir dalam hal ini digunakan untuk booster/ memperkuat


Protease Inhibitor

Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI): Menghambat


reverse transcriptase HIV, sehingga pertumbuhan rantai DNA dan
replikasi HIV terhenti. Nonnucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor (NNRTI): Menghambat transkripsi RNA HIV menjadi
DNA. Protease Inhibitor (PI): Menghambat protease HIV, yang
mencegah pematangan virus HIV.

Paduan Lini Pertama2


Yakni suatu kombinasi obat yang digunakan pasien yang
belum pernah mendapatkan ARV sebelumnya, umumnya lini
pertama yang diberikan terdiri dari 2 NRTI dan 1 NNRTI. Ada 4
paduan Utama untuk lini pertama :
 AZT-3TC-NVP
 AZT-3TC-EFV
 D4T-3TC-NVP
 D4T-3TC-EFV
3TC selalu digunakan dan dimasukkan ke dalam 4 regimen
(selalu dicantumkan di tengah). Obat yang pertama adalah AZT

19
atau D4T (tidak boleh diberikan bersamaan). Obat yang terakhir
NPV atau EFV (tidak boleh diberikan bersamaan).

4.1 TUBERKULOSIS HIV (TB-HIV)


4.1.1 Hubungan TB dan HIV
Ketika infeksi HIV berlanjut dan imunitas menurun, pasien menjadi rentan
terhadap berbagai infeksi. Beberapa di antaranya adalah TB, pneumonia, infeksi
jamur di kulit dan orofaring, serta herpes zoster. Infeksi tersebut dapat terjadi pada
berbagai tahap infeksi HIV dan imunosupresi 17.
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/ AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko paling kuat bagi yang
terinfeksi TB menjadi sakit TB 3. Menurut WHO, infeksi HIV terbukti merupakan
faktor yang memudahkan terjadinya proses pada orang yang telah terinfeksi TB,
meningkatkan risiko TB laten menjadi TB aktif dan kekambuhan, menyulitkan
diagnosis, dan memperburuk stigma. TB juga meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pada pasien pengidap HIV 7.

20
Faktor risiko kejadian TB, secara ringkas digambarkan pada
Gambar 2.

transmisi
transmisi
- Diagnosis tepat
dan cepat
- Pengobatan tepat
Jumlah kasus TB BTA + dan lengkap
Risiko menjadi TB bila
Faktor lingkungan: - Kondisi
dengan HIV:
- Ventilasi kesehatan
- 5-10% setiap
- Kepadatan mendukung
tahun
- Dalam ruangan
- > 30% lifetime
Faktor perilaku

HIV (+) SEMBUH

TERPAJAN INFEKS
I
TB MATI

10%
Konsentrasi Kuman
Lama Kontak - Keterlambatan diagnosis
- Malnutrisi dan pengobatan
- Penyakit DM, - Tatalaksana tak memadai
imunosupresan - Kondisi kesehatan

Gambar 2. Faktor Risiko Kejadian TB3

4.1.2 Patogenesis
Pada orang yang imunokompeten, ketika terinfeksi M. tuberculosis,
organisme disajikan kepada makrofag melalui ingesti dimana setelah diproses,
antigen mikobakteri disajikan ke sel-T. Sel CD4 mengeluarkan limfokin yang
meningkatkan kapasitas makrofag untuk menelan dan membunuh mikobakteri.
Pada sebagian besar orang terjadi infeksi dan TB tidak berkembang, meski
sejumlah basil tetap dorman tubuh. Hanya 10% dari kasus yang berkembang
menjadi TB klinis, segera setelah infeksi primer atau bertahun-tahun kemudian
sebagai reaktivasi TB. Hal ini memungkinkan terjadinya kerusakan pada fungsi
dari sel T dan makrofag5.

21
Deplesi dan disfungsi sel CD4 yang progresif, ditambah dengan adanya
kerusakan pada fungsi makrofag dan monosit, membentuk ciri infeksi HIV.
Disfungsi ini pada odha (orang dengan HIV dan AIDS) sebagai predisposisi
terjadinya infeksi TB baik primer maupun reaktivasi. Bukti epidemiologis
menunjukkan bahwa infeksi HIV meningkatkan risiko reaktivasi laten TB dan
juga risiko penyakit progresif dari infeksi baru5.

4.1.3 Diagnosis

Tuberkulosis pada pasien dengan HIV mempunyai gejala dan gambaran


klinis yang berbeda dengan orang tanpa terinfeksi HIV. Hal ini disebabkan karena
rendahnya reaksi imunologik penderita AIDS. Seperti diketahui manifestasi klinis
TB sebenarnya merupakan reaksi imunologik terhadap Mycobacterium
tuberculosis7. Banyak ditemukan diagnosis TB pada pasien HIV berbeda dengan
diagnosis TB pada umumnya, dimana gejala TB pada pasien HIV tidaklah
spesifik. TB ekstra paru lebih sering ditemukan pada pasien dengan HIV
dibandingkan pasien tanpa HIV sehingga bila ditemukan TB ekstraparu harus
dipikirkan kemungkinan adanya HIV. Tb ekstraparu yang sering ditemukan
adalah limfadenopati pada leher, abdomen atau aksila; efusi pleura; efusi
pericardial; efusi peritoneal; meningitis dan Tb mediastinum. Deteksi dini HIV
pada pasien TB juga harus dilaksanakan dengan baik dan telah diatur dalam
International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) yaitu : “ Uji HIV dan
konseling harus direkomendasikan pada semua pasien yang menderita atau yang
diduga menderita TB.

Ketika infeksi HIV berlanjut, limfosit T CD4+ mengalami penurunan baik


dalam jumlah maupun fungsinya. Sel ini memerankan peranan penting dalam
pertahanan tubuh terhadap M. tuberculosis. Dengan demikian, kemampuan sistem
imunitas menurun dalam mencegah pertumbuhan dan penyebaran lokal bakteri
tersebut.

22
Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diketahui dalam diagnosis pada
pasien TB dengan HIV:

i. Gambaran klinis TB paru, gambaran klinis TB paru secara umum


diawali dengan batuk lebih dari 2-3 minggu, sedangkan TB pada
pasien HIV/AIDS batuk bukan merupakan gejala umum. Pada TB
dengan HIV demam dan penurunan berat badan merupakan gejala
yang penting.
ii. Sputum BTA, karena sulitnya diagnosis TB paru pada pasien HIV
secara klinis dan pemeriksaan sputum BTA lebih sering
ditemuakan BTA negatif, maka diperlukan pemeriksaan kultur
BTA. Pemeriksaan biakan sputum merupakan baku emas untuk
mendiagnosis TB paru. Pada ODHA dengan gejala klinis TB paru
yang hasil pemeriksaan mikroskopik dahak BTA nya negatif,
pemeriksaan biakan dahak sangat dianjurkan karena hal ini dapat
membantu diagnosis TB paru. Selain itu, pemeriksaan biakan dan
resistensi juga dilakukan untuk mengetahui adanya MDR-TB,
dimana pasien HIV merupakan salah satu faktor risiko MDR-TB.
Dalam rangka memperbaiki tata laksana pasien TB-HIV, akhir-
akhir ini telah ditemukan alat penunjang TB secara tepat yakni
kultur resistensi BTA dengan Genexpert, namun alat tersebut
belum ada disetiap layanan kesehatan, hanya ada pada sentral
layana yang direkomendasi.
iii. Foto thoraks, gambaran foto thoraks bervariasi dalam hal lokasi
maupun bentuknya. Umumnya gambaran foto thoraks pada TB
terdapat di apeks, namun pada TB-HIV bukan diapeks terutama
pada HIV lanjut. Pada HIV yang masih awal gambaran foto
thoraks dapat sama pada gambaran foto thoraks pada umunya,
namun pada HIV lanjut gambaran foto thoraks sangat tidak
spesifik. Pada pasien TB-HIV tidak jarang ditemukan gambaran
TB milier.
iv. Pemeriksaan Tes Mantoux. Pemeriksaan tes mantoux dapat
membantu pada suspek TB dengan BTA negatif dan foto thoraks

23
yang tidak khas dan gambaran klinis yang kurang menunjang. Pada
pasien suspek TB pada umumnya, tes mantoux dinyatakan positif
apabila diameter >= 10mm, namun pada pasien dengan HIV positif
diameter > 5 mm sudah dapat dinyatakan positif.
v. Gambaran klinis TB ekstraparu. TB ekstraparu perlu diwaspadai
pada odha karena kejadiannya lebih sering dibandingkan pada TB
dengan HIV negatif. Diagnosis pasti dari TB ekstraparu sangat
kompleks dan sulit terutama di daerah dengan fasilitas yang
terbatas. Berdasarkan ISTC, diagnosis TB ekstraparu dapat
dilakukan dengan mengambil lesi dan pemeriksaan patologi untuk
menemukan BTA dari jaringan apabila memungkinkan. Namun,
apabila lesi sulit didapat, diagnosis TB ekstraparu dapat ditegakkan
dengan dugaan klinis yang menunjang. Adanya TB ekstraparu
pada pasien HIV merupakan tanda bahwa penyakitnya sudah
lanjut.
vi. Penggunaan antibiotik pada pasien suspek TB dengan HIV positif.
Pemberian antibiotic pada pasien suspek TB paru sebagai alat
bantu diagnosis TB paru tidak direkomendasikan lagi karena dapat
menyebabkan diagnosis TB terlambat dengan konsekuensi
pengobatan juga terlambat sehingga meningkatkan risiko kematian.
Penggunaan antibiotik kuinolon sebagai terapi infeksi sekunder
pada TB dengan HIV positif harus dihindari sebab golongan
antibiotik ini respons terhadap mikobakterium TB sehingga
dikhawatirkan menghilangkan gejala sementara. Disamping itu
dikhawatirkan timbulnya resistensi, sementara antibiotic golongan
kuinolon dicadangkan sebagai OAT lini kedua. Alur
pendiagnosisan TB paru pada ODHA yang berobat jalan, secara
ringkas digambarkan pada Gambar 3.

24
Gambar 3. Alur diagnosis TB paru pada ODHA yang berobat jalan18

Keterangan:

a. Tanda-tanda bahaya yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-


tanda berikut: frekuensi pernapasan 30 kali/menit, demam > 390 C,
denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tdk dibantu.
b. Untuk daerah dengan angka prevalensi HIV pada orang dewasa
> 1% atau prevalensi HIV diantara pasien TB > 5%, pasien suspek
TB yang belum diketahui status HIV-nya maka perlu ditawarkan
untuk tes HIV. Untuk pasien suspek TB yang telah diketahui status
HIV-nya maka tidak lagi dilakukan tes HIV.
c. Untuk daerah yang tidak tersedia test HIV atau status HIV tidak
diketahui (misalnya pasien menolak utk diperiksa) tetapi gejala
klinis mendukung kecurigaan HIV positif.
d. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif;
BTA Negatif = bila 3 sediaan hasilnya negatif.
e. PPK = Pengobatan Pencegahan dengan Kotrimoksazol.

25
f. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging),
perhitungan CD4 (bila tersedia fasilitas) dan rujukan untuk layanan
HIV.
g. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan
secara bersamaan (bila memungkinkan) supaya jumlah kunjungan
dapat dikurangkan sehingga mempercepat penegakkan diagnosis.
h. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluoroquionolones)
untuk mengatasi typical & atypical bacteria.
i. PCP = Pneumocystis carinii pneumonia atau dikenal juga
Pneumonia Pneumocystis jiroveci
j. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi.
Tabel 7 menunjukkan perbedaan pada gambaran klinis, hasil
sputum dan radiologi antara pasien infeksi HIV dengan TB paru
tahap awal dan tahap lanjut 2,17.

Tabel 7. Perbedaan TB paru pada infeksi HIV tahap awal (dini)


dan lanjut 2,17

Tahap Infeksi HIV


Gambaran TB Paru Awal Akhir
(CD4>200/mm3) (CD4<200/mm3)
Gambaran klinis Biasanya Biasanya menyerupai
menyerupai TB paru TB paru post-primer
primer
Hasil sputum BTA Biasanya positif Biasanya negatif
Gambaran Biasanya terdapat Biasanya terdapat
radiologis kavitas, Reaktivasi infiltrat tanpa kavitas,
TB, kavitas di Tipikal primer TB
puncak milier/ interstitial
Tb ekstraparu Jarang Umum/ banyak

26
Mikobaterimia Tidak ada Ada

Tuberculin Positif Negatif

Adenopati hilus/ Tidak ada Ada


mediastinum

Efusi pleura Tidak ada Ada

4.1.4 Penatalaksanaan
Pada dasarnya, prinsip pengobatan TB dengan HIV/AIDS sama dengan
pengobatan tanpa HIV/AIDS. Namun, pengobatan pasien dengan koinfeksi TB-
HIV lebih sulit daripada TB pada pasien tanpa HIV. Pasien TB-HIV memiliki
sistem imunitas yang rendah dan sering ditemukan adanya infeksi hepatitis dan
lainnya, maka saat pengobatan sering timbul efek samping dan interaksi obat
sehingga memperburuk kondisi pasien serta obat-obat harus dihentikan atau
dikurangi dosisnya. Kondisi tersebut menyebabkan pengobatan menjadi lebih
panjang serta kepatuhan pasien sering terganggu18.
Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat
dalam jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat2. Prinsip pengobatan
pasien TB-HIV adalah adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan
ARV (Antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV dengan standar
WHO3.
Pengobatan OAT pada TB-HIV2:
- Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya
karena akan menyebabkan efek toksik berat pada kulit.
- Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik
sekali pakai yang steril.
- Desensitasi obat (INH, rifampisin) tidak boleh dilakukan karena
mengakibatkan toksik yang serius pada hati.
- Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberikan
respon untuk pengobatan, selain dipikirkan terdapat resistensi
terhadap obat, juga harus dipikirkan terdapatnya malabsorpsi

27
obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat korelasi antara
imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan, karenanya
dosis standar OAT yang diterima sub optimal sehingga
konsentrasi obat rendah dalam serum.

Interaksi obat TB dengan ARV2:


- Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan
meningkatkan kemungkinan terjadinya efek toksik OAT.
- Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan
nukleotida, kecuali Didanosin (ddl) yang harus diberikan selang 1
jam dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antasida.
- Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ARV golongan
nonnukleotida dan inhibitor protease. Rifampisin jangan
diberikan bersama dengan nelfinavir karena rifampisin dapat
menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%.
- Pasien dengan koinfeksi TB-HIV, segera diberikan OAT dan
pemberian ARV dalam 8 minggu tanpa mempertimbangkan kadar
CD4.
- Pertimbangan pemberian ARV segera setelah diagnosis TB ialah
bahwa angka kematian pada pasien TB-HIV terjadi umumnya
pada 2 bulan pertama pada pemberian OAT. Meskipun demikian
pemberian secara bersamaan membuat pasien menelan obat
dalam jumlah yang banyak sehingga dapat terjadi ketidakpatuhan,
komplikasi, efek samping, interaksi obat dan Immune
Reconstitution Inflamatory Syndrome (IRIS); Sindrome
Pemulihan Kekebalan (SPK) atau dikenal dengan Immune
Reconstitution Inflammatory Syndrome atau IRIS adalah
fenomena imunologi berupa perburukan klinis serta timbulnya
gejala infeksi oportunistik akibat pemulihan imun yang
berlebihan pada saat ODHA mengalami penurunan jumlah virus
HIV setelah pemberian ARV, contoh tersering dari manifestasi
IRIS adalah herpes zoster atau TB yang terjadi.

28
- Setiap penderita TB-HIV harus diberikan profilaksis
kotrimoksasol dengan dosis 960 mg/hari (dosis tunggal) selama
pemberian OAT.

WHO menetapkan pentingnya strategi sebelum pemberian


ART, strategi ini dinamakan “Three I’s” yakni 18:
1) Intensified Tuberculosis Case Finding, yaitu mendeteksi secara
aktif kemungkinan adanya infeksi TB pada pasien HIV.
2) Isoniazid Preventive Therapy, yaitu memberikan INH pada
pasien HIV(+) dengan TB (-)untuk pencegahan infeksi TB (di
Indonesia belum diimplementasikan)
3) Infection Control, yaitu mengontrol dan mengendalikan infeksi
TB di Fasyankes /Fasilitas pelayanan kesehatan

Standar Untuk Penanganan TB Dengan Infeksi HIV


(International Standard For Tuberculosis Care )2
Standar 14
Uji HIV dan konseling harus direkomendasikan pada
semua pasien yang menderita atau yang diduga menderita TB.
Pemeriksaan ini merupakan bagian penting dari manajemen rutin
bagi semua pasien di daerah dengan prevalensi infeksi HIV yang
tinggi dalam populasi umum, pasien dengan gejala dan/atau tanda
kondisi yang berhubungan HIV dan pasien dengan riwayat risiko
tinggi terpajan HIV. Karena terdapat hubungan yang erat antara TB
dan infeksi HIV, pada daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi
pendekatan yang terintegrasi direkomendasikan untuk pencegahan
dan penatalaksanaan kedua infeksi.

Standar 15
Semua.pasien dengan TB dan infeksi HIV seharusnya
dievaluasi untuk menentukan perlu/ tidaknya pengobatan ARV
diberikan selama pengobatan TB. Perencanaan yang tepat untuk

29
mengakses obat antiretroviral seharusnya dibuat untuk pasien yang
memenuhi indikasi. Bagaimanapun juga pelaksanaan pengobatan
TB tidak boleh ditunda. Pasien TB dan infeksi HIV juga
seharusnya diberi kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi
lainnya.

Standar 16
Pasien dengan infeksi HIV yang, setelah dievaluasi dengan
seksama, tidak menderita TB aktif seharusnya diobati sebagai
infeksi TB laten dengan isoniazid selama 6-9 bulan. (belum
diterapkan di indonesia, walaupun Indonesia adalah negara
endemik TB)

Paduan OAT pada pasien koinfeksi TB-HIV18:


Semua pasien (termasuk yang terinfeksi HIV) yang belum
pernah diobati harus diberi paduan OAT lini pertama yang
disepakati secara internasional dan termasuk dalam ISTC.
Fase awal : 2 bulan INH, RIF, PZA, dan EMB
Fase lanjutan : 4 bulan INH dan RIF, atau 6 bulan INH
dan EMB
* pemberian INH dan EMB selama 6 bulan untuk fase
lanjutan tidak direkomendasikan untuk pasien TB-HIV karena
mudah terjadi kegagalan pengobatan atau kambuh.

Paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB

Tabel 8. Terapi Antiretroviral pada ODHA dengan koinfeksi TB2


Obat ARV lini Paduan Pengobatan Pilihan obat ARV
Pertama/Kedua ARV pada waktu
TB didiagnosis
Lini pertama 2NRTI+EFV Teruskan dengan 2
NRTI+EFV

30
2NRTI+NVP Ganti dengan
2NRTI+EFV atau
ganti dengan
2NRTI+LPV/r
Lini kedua 2NRTI+PI Ganti atau teruskan
(bila sementara
menggunakan)
paduan mengandung
LPV/r

 Pilihan NRTI sama untuk semua orang dengan HIV/AIDS

 Pilihan NNRTI :

 EFV adalah pilihan pertama dari NNRTI. Kadar EFV


dalam darah akan menurun bila ada rifampisin. Dosis EFV
600mg/hari

 Kadar NVP menurun jika ada rifampisin. Namun


dianjurkan penggunaan NVP dengan dosis standar. Tapi
karena ditakutkan efek hepatotoksis, paduan berisi NVP
hanya digunakan bila tidak ada alternatif, terutama pada
perempuan dengan OAT mengandung rifampisin, dengan
hitung CD4 >250/mm3 yang perlu mulai ART.

Prinsip tatalaksana koinfeksi TB-HIV, berdasarkan rekomendasi


dalam guidelines WHO18.
1. Pemberian terapi ARV pada semua pasien HIV dengan TB
aktif tanpa melihat nilai CD4.
2. OAT diberikan terlebih dahulu, diiukuti dengan pemberian
terapi ARV sesegera mungkin (dalam 2-8 minggu
pemberian OAT)

31
3. Efavirenz (EFV) merupakan golongan NNRTI yang
direkomendasikan dalam pemberian terapi ARV pada
pasien dalam terapi OAT. Efavirenz direkomendasikan
karena mempunyai interaksi dengan rifampisin yang lebih
ringan dibandingkan Nevirapin.

Mengingat terkadang sulit mendiagnosis TB pada HIV,


terapi empiris sebaiknya diinisiasi pada HIV dimana dicurigai TB
sampai semua hasil pemeriksaan TB (sputum, kultur, dan
pemeriksaan lain) lengkap. Setelah didiagnosis atau dicurigai TB
aktif, OAT harus diberikan segera. Directly Observed Treatment
Short-course (DOTS) direkomendasikan pada semua pasien TB-
HIV. Semua pasien yang mendapat INH harus mendapatkan
suplementasi piridoksin/vitamin B6 25-50 mg/kgBB/hari untuk
mencegah neuropati perifer 18.

32
BAB 3
KESIMPULAN

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang


penting di dunia, maupun di Indonesia. Munculnya pandemi HIV/ AIDS
menambah permasalahan TB.
HIV merupakan faktor risiko paling kuat bagi yang terinfeksi TB
menjadi sakit TB. Sedangkan TB juga meningkatkan morbiditas dan mortalitas
pada pasien pengidap HIV. Kombinasi TB dengan HIV/AIDS merupakan
kombinasi yang mematikan.
TB pada pasien dengan HIV mempunyai gejala dan gambaran klinis
yang berbeda dengan orang tanpa terinfeksi HIV. Maka diagnosis yang tepat
sangat diperlukan.
Penatalaksanaan pasien TB dengan HIV/AIDS pada dasarnya sama
dengan pasien TB tanpa HIV/ AIDS, namun harus memperhatikan beberapa
faktor, di antaranya reaksi obat (alergi, efek samping dan interaksi) OAT
maupun ARV.

33
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Global Tuberculosis control 2012:
epidemiology, strategy, financing. WHO/HTM/TB/2012.6. Geneva,
Switzerland: WHO; 2012.
2. Isbaniyah, F. dkk. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
di Indonesia. Jakarta: PDPI; 2011.
3. Aditama, T.Y, dkk. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Jakarta: Depkes RI; 2011.
4. Djoerban, Z. Samsuridjal, D. HIV/ AIDS di Indonesia, dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; 2009.
5. Bhatia, R.S.. HIV and Tuberculosis: The Ominous Connection. IJCP. 2001;
2 (4): 256-9.
6. KEMENTERIAN KESEHATAN RI (2011). Rencana Aksi Nasional TB-
HIV Pengendalian Tuberkulosis 2011–2014. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2011.

34

Anda mungkin juga menyukai

  • Mola Hidatidosa
    Mola Hidatidosa
    Dokumen15 halaman
    Mola Hidatidosa
    Bayu Hartomi
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus: Mola Hidatidosa
    Laporan Kasus: Mola Hidatidosa
    Dokumen35 halaman
    Laporan Kasus: Mola Hidatidosa
    Fansisca Siallagan
    Belum ada peringkat
  • Lapkas MH
    Lapkas MH
    Dokumen31 halaman
    Lapkas MH
    Fansisca Siallagan
    Belum ada peringkat
  • Kelbin Amoy
    Kelbin Amoy
    Dokumen74 halaman
    Kelbin Amoy
    Fansisca Siallagan
    Belum ada peringkat
  • Diagnosa Banding 2
    Diagnosa Banding 2
    Dokumen5 halaman
    Diagnosa Banding 2
    Fansisca Siallagan
    Belum ada peringkat
  • ...
    ...
    Dokumen31 halaman
    ...
    Fansisca Siallagan
    Belum ada peringkat
  • Isi Kelbin FIX Nancy
    Isi Kelbin FIX Nancy
    Dokumen61 halaman
    Isi Kelbin FIX Nancy
    Rita Pcy
    Belum ada peringkat
  • Refer at
    Refer at
    Dokumen15 halaman
    Refer at
    Fansisca Siallagan
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Hipertensi Dalam Kehamilan
    Laporan Kasus Hipertensi Dalam Kehamilan
    Dokumen29 halaman
    Laporan Kasus Hipertensi Dalam Kehamilan
    Fansisca Siallagan
    Belum ada peringkat
  • Anc Dan BBLR
    Anc Dan BBLR
    Dokumen6 halaman
    Anc Dan BBLR
    Lina Lim
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Kulkel
    Jurnal Kulkel
    Dokumen1 halaman
    Jurnal Kulkel
    Fansisca Siallagan
    Belum ada peringkat
  • Referat Ket Amoy
    Referat Ket Amoy
    Dokumen15 halaman
    Referat Ket Amoy
    Fansisca Siallagan
    Belum ada peringkat
  • Gejala Klinis
    Gejala Klinis
    Dokumen7 halaman
    Gejala Klinis
    Fansisca Siallagan
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen5 halaman
    Bab 1
    Fansisca Siallagan
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Bedah Ortoped
    Laporan Kasus Bedah Ortoped
    Dokumen12 halaman
    Laporan Kasus Bedah Ortoped
    Suyoslan Tambunan
    Belum ada peringkat
  • Refarat MT
    Refarat MT
    Dokumen18 halaman
    Refarat MT
    Fansisca Siallagan
    Belum ada peringkat
  • Aspek Medikolegal
    Aspek Medikolegal
    Dokumen6 halaman
    Aspek Medikolegal
    Eris Lingga Nugraha
    Belum ada peringkat
  • Copd 2019
    Copd 2019
    Dokumen36 halaman
    Copd 2019
    Fansisca Siallagan
    Belum ada peringkat
  • Status Lapkas Paru
    Status Lapkas Paru
    Dokumen13 halaman
    Status Lapkas Paru
    Fansisca Siallagan
    Belum ada peringkat
  • Manajemen Eksaserbasi
    Manajemen Eksaserbasi
    Dokumen15 halaman
    Manajemen Eksaserbasi
    Fansisca Siallagan
    Belum ada peringkat
  • Gold 2017
    Gold 2017
    Dokumen49 halaman
    Gold 2017
    Rosi Indah
    Belum ada peringkat
  • Amoy Punya
    Amoy Punya
    Dokumen6 halaman
    Amoy Punya
    Fansisca Siallagan
    Belum ada peringkat
  • Paru Ppok
    Paru Ppok
    Dokumen33 halaman
    Paru Ppok
    Fansisca Siallagan
    Belum ada peringkat
  • TROMBOSITOPENIA
    TROMBOSITOPENIA
    Dokumen16 halaman
    TROMBOSITOPENIA
    Fansisca Siallagan
    Belum ada peringkat
  • Kejang Demam
    Kejang Demam
    Dokumen16 halaman
    Kejang Demam
    Yudhi Setiabudi
    Belum ada peringkat
  • Definisi PPOK
    Definisi PPOK
    Dokumen4 halaman
    Definisi PPOK
    Fansisca Siallagan
    Belum ada peringkat
  • Chapter 4
    Chapter 4
    Dokumen9 halaman
    Chapter 4
    Fansisca Siallagan
    Belum ada peringkat
  • TROMBOSITOPENIA
    TROMBOSITOPENIA
    Dokumen16 halaman
    TROMBOSITOPENIA
    Fansisca Siallagan
    Belum ada peringkat
  • Referat Amoy
    Referat Amoy
    Dokumen16 halaman
    Referat Amoy
    Fansisca Siallagan
    Belum ada peringkat