TB-HIV
Pembimbing :
Disusun Oleh :
Fansisca Siallagan
18010035
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini tepat pada
waktunya..
Secara khusus penulis ucapkan terima kasih kepara dr. Guntur, MKT yang
telah bersedia membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktunya untuk
memberikan masukan serta saran sehingga tulisan ini dapat terselesaikan
sebagaimana mestinya. Penulis sadar bahwa tulisan ini memiliki kekurangan,
sehingga penulis memohon kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran
agar tulisan ini dapat diperbaiki dan berguna bagi pembaca. Besar harapan penulis
agar tulisan ini dapat bermanfaat dan menjadi bekal ilmu dalam profesi
pendidikan kedokteran. Atas kesempatan yang diberikan, penulis ucapkan
terimakasih
Hormat saya,
i
BAB I
PENDAHULUAN
Di seluruh dunia pada tahun 2013 ada 35 juta orang hidup dengan HIV
yang meliputi 16 juta perempuan dan 3,2 juta anak berusia <15 tahun. Jumlah
infeksi baru HIV pada tahun 2013 sebesar 2,1 juta yang terdiri dari 1,9 juta
dewasa dan 240.000 anak berusia <15 tahun. Jumlah kematian akibat AIDS
sebanyak 1,5 juta yang terdiri dari 1,3 juta dewasa dan 190.000 anak berusia <15
tahun. Di Indonesia HIV/AIDS sudah menyebar di 386 kabupaten/kota di seluruh
provinsi.1
1
3
penduduk dunia pernah terinfeksi kuman M. Tuberculosis . HIV dan TB
2
merupakan kombinasi penyakit mematikan . Seseorang yang terinfeksi HIV
akan menderita infeksi oportunistik selama perjalanan alamiah penyakit. TB
adalah salah satu infeksi oportunistik yang tersering pada kasus infeksi HIV dan
mungkin mendahului terjadinya perkembangan AIDS, tapi seringnya keduanya
terdiagnosis secara bersamaan5.
Di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan hingga akhir
Desember 2015, secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan
berjumlah 24.131 kasus dengan infeksi penyerta terbanyak adalah TB yaitu
sebesar 11.835 kasus (49%). Sedangkan infeksi HIV pada pasien TB di
Indonesia diperkirakan sekitar 3%; di Tanah Papua dan di populasi risiko tinggi
termasuk populasi di Lapas/Rutan angkanya diperkirakan lebih tinggi .
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TUBERKULOSIS
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex2. Tuberkulosis paru adalah penyakit radang
parenkim paru karena infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis
paru termasuk suatu pneumonia, yaitu pneumonia yang disebabkan oleh
M.tuberculosis 8.
2.1.2 Etiologi
3
2.1.3 Patogenesis
1. Tuberkulosis Primer
Perkontinuatum
Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi
kuman. Ada beberapa kuman yang menetap sebagai “persisten” atau “dormant”,
4
sehingga daya tahan tubuh tidak dapat menghentikan perkembangbiakan kuman,
akibatnya yang bersangkutan akan menjadi penderita TB dalam beberapa bulan.
Bila tidak terdapat imunitas yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan
keadaan cukup gawat seperti TB milier, meningitis TB, Typhobacillosis landouzy.
Penyebaran ini juga dapat menimbulkan TB pada organ lain, misalnya tulang,
ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya12.
5
protein (MPC-1). Lama kelamaan makin banyak makrofag dan kuman TB yang
berkumpul di tempat lesi.
Tahap 3: terjadi nekrosis kaseosa, jumlah kuman TB menetap karena
pertumbuhannya dihambat oleh respon imun tubuh terhadap tuberculin-like
antigen. Pada tahap ini, delayed type of hypersensitivity (DTH) merupakan respon
imun utama yang mampu menghancurkan makrofag yang berisi kuman. Respon
ini terbentuk 4-8 minggu dari saat infeksi. Dalam solid caseous center yang
terbentuk, kuman ekstraseluler tidak dapat tumbuh, dikelilingi non-activated
makrofag dan partly activated macrofag. Pertumbuhan kuman TB secara
logaritmik terhenti, namun respon imun DTH ini menyebabkan perluasan caseous
necrosis tapi tidak dapat berkembang biak karena keadaan anoksia, penurunan pH
dan adanya inhibitory fatty acid. Pada keadaan dorman ini metabolism kuman
minimal sehingga tidak sensitif terhadap terapi. Caseous necrosis ini merupakan
reaksi DTH yang berasal dari limfosit T, khususnya T sitotoksik (Tc), yang
melibatkan clotting factor, sitokin TNF-alfa, antigen reaktif, nitrogen
intermediate, kompleks antigen antibody, komplemen dan produk-produk yang
dilepaskan kuman yang mati. Pada reaksi inflamasi, endotel vaskuler menjadi
aktif menghasilkan molekul-molekul adesi (ICAM-1, ELAM-1, VCAM-1), MHC
klas I dan II. Endotel yang aktif mampu mempresentasikan antigen tuberkulin
pada sel Tc sehingga menyebabkan jejas pada endotel dan memicu kaskade
koagulasi. Trombosis lokal menyebabkan iskemia dan nekrosis dekat jaringan.
Tahap 4: respon imun cell mediated immunity (CMI) memegang peran utama
dimana CMI akan mengaktifkan makrofag sehingga mampu memfagositosis dan
menghancurkan kuman. Activated macrophage menyelimuti tepi caseous necrosis
untuk mencegah terlepasnya kuman. Pada keadaan dimana CMI lemah,
kemampuan makrofag untuk menghancurkan kuman hilang sehingga kuman dapat
berkembang biak di dalamnya dan seanjutnya akan dihancurkan oleh respon imun
DTH, sehingga caseous necrosis makin luas. Kuman TB yang terlepas akan
masuk ke dalam kelenjar limfe trakheobronkial dan menyebar ke organ lain.
Tahap 5: terjadi likuifikasi caseous center dimana untuk pertama kalinya terjadi
multiplikasi kuman TB ekstraseluler yang dapat mencapai jumlah besar. Respon
imun CMI sering tidak mampu mengendalikannya. Dengan progresivitas penyakit
6
terjadi perlunakan caseous necrosis, membentuk kavitas dan erosi dinding
bronkus. Perlunakan ini disebabkan oleh enzim hidrolisis dan respon DTH
terhadap tuberkuloprotein, menyebabkan makrofag tidak dapat hidup dan
merupakan media pertumbuhan yang baik bagi kuman. Kuman TB masuk ke
dalam cabang-cabang bronkus, menyebar ke bagian paru lain dan jaringan
sekitarnya 12.
2.1.4 Diagnosis
a. Gejala respiratori :
1) Batuk ≥ 2 minggu
2) Hemoptisis
3) Dyspneu
4) Nyeri dada
b. Gejala sistemik
1) Demam
2) Gejala sistemik lain ; malaise, keringat malam,
anoreksia, dan berat badan menurun.
c. Gejala TB ekstra paru
Gejala TB ekstra paru tergantung dari organ yang
terlibat, misalnya pada limfadenitis TB akan terjadi
pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah
bening. Pada meningitis TB akan terlihat gejala meningitis.
7
Pada pleuritis TB terdapat gejala sesak napas dan kadang
nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan
2
.
8
-Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
-Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
-Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++(3+)2.
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi
yaitu foto lateral, top-lordotic, oblik atau CT-scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
TB dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran
radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah:
a. Fibrotik.
b. Kalsifikasi.
c. Schwarte atau penebalan pleura
Pemeriksaan Penunjang Lain
Analisis cairan pleura.
Pemeriksaan histopatologi jaringan.
Pemeriksaan darah2.
9
Gambar 1. Alur Diagnosis TB paru 3
2.1.9 Penatalaksanaan
10
Tabel 1 berikut menunjukkan jenis, sifat dan dosis OAT.
11
Tabel 2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 13
Berat Badan Tahap intensif Tahap Lanjutan
3 kali seminggu selama
tiap hari selama 56 hari 16 minggu
RHZE
(150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
12
minggu
2 tab 4KDT
30 – 37 + 500 mg 2 tab 2KDT + 2
2 tab 4KDT
kg Streptomisin tab Etambutol
inj
3 tab 4KDT
30 – 54 + 750 mg 3 tab 2KDT + 3
3 tab 4KDT
kg Streptomisin tab Etambutol
inj
+ 1000 mg
55 – 70
Streptomisin 4 tab 4KDT 4 tab Etambutol
kg
inj
5 tab 4KDT
– 1000 mg 5 tab 2 KDT + 5
≥ 71 kg 5 tab 4KDT
Streptomisin tab Etambutol
inj
13
3.1.2 Patogenesis
14
meningkat tetapi kadarnya sedikit di bawah normal. Seiring dengan waktu, terjadi
penurunan kadar CD4+ secara perlahan, berkorelasi dengan perjalanan klinis
penyakit. Gejala-gejala imunosupresi tampak pada kadar CD4+ di bawah 300
sel/μl. Pasien dengan kadar CD4+ kurang dari 200/μl mengalami imunosupresi
yang berat dan risiko tinggi terjangkit keganasan dan infeksi oportunistik15.
3.1.4 Diagnosis
Terdapat dua uji yang khas digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap
HIV. Pertama, tes ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) yang bereaksi
terhadap antibodi dalam serum. Apabila hasil ELISA positif, dikonfirmasi dengan
tes kedua yang lebih spesifik, yaitu Western blot. Bila hasilnya juga positif,
dilakukan tes ulang karena uji ini dapat memberikan hasil positif-palsu atau
negatif-palsu. Bila hasilnya tetap positif, pasien dikatakan seropositif HIV. Pada
tahap ini dilakukan pemeriksaan klinis dan imunologik lain untuk mengevaluasi
derajat penyakit dan dimulai usaha untuk mengendalikan infeksi 15.
WHO mengembangkan sebuah sistem staging (untuk menentukan
prognosis), berdasarkan dari kriteria klinis, sebagai berikut17.
15
Tabel 5. WHO clinical staging system for HIV infection and related
disease in adult (15 years or older) 17
Tahap 1 :
- Asimptomatik
- Limfadenopati menyeluruh
Performance scale 1 : asimtomatik, aktifitas normal
Tahap 2:
-Penurunan berat badan < 10% berat badan sebelumnya
- Manifestasi mukokutaneus minor (misal: ulserasi oral, infeksi
jamur di kuku)
- Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
- Angular cheilitis
- seboroik dermatitis
- Infeksi saluran napas atas rekuren (misal: sinusitis bakterial)
Dan/ atau Performance scale 2: simptomatik, aktivitas normal
Tahap 3:
- Penurunan berat badan > 10% dari berat badan sebelumnya
- Diare kronis tanpa sebab > 1 bulan
- Demam berkepanjangan tanpa sebab > 1 bulan
- Candidiasis oral
- Oral hairy leukoplakia
- TB paru
- Infeksi bakteri berat (pneumonia, pyomiositis)
Dan/atau Performance scale 3: bedrest < 50% dlm sehari 1 bulan
terakhir
Tahap 4:
- HIV wasting syndrome (penurunan bb > 10%, diare>1n bl atau
lemah lesu dan demam > 1 bln)
- Pneumonisitis carina pneumonia
16
- Toxoplasmosis otak
- Kriptosporidiosis dengan diare, lebih dari sebulan
- Kriptokokosis, ekstra paru
- TB ekstra paru
- Penyakit disebabkan oleh CMV
- Kandidiasis
- Mikobakteriosis atipikal
- Lymphoma
- Kaposi sarcoma
- HIV encephalopati
- Infeksi virus herpes lebih dari 1 bulan
- Leukoensefalopati multifokal yang progresif
- Infeksi jamur endemik yang menyebar
Dan/atau Performance scale 4 : bedrest >50% dlm sehari 1 bulan
terakhir
17
Tabel 6. HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy), golongan dan
dosis2
Golongan Obat Dosis
Nukleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor
(NsRTI)
Nukleotide Reverse
Transcriptase Inhibitor
(NRTI)
Non-NukleosideReverse
Transcriptase Inhibitor
(NNRTI)
18
(IDV/r)
19
atau D4T (tidak boleh diberikan bersamaan). Obat yang terakhir
NPV atau EFV (tidak boleh diberikan bersamaan).
20
Faktor risiko kejadian TB, secara ringkas digambarkan pada
Gambar 2.
transmisi
transmisi
- Diagnosis tepat
dan cepat
- Pengobatan tepat
Jumlah kasus TB BTA + dan lengkap
Risiko menjadi TB bila
Faktor lingkungan: - Kondisi
dengan HIV:
- Ventilasi kesehatan
- 5-10% setiap
- Kepadatan mendukung
tahun
- Dalam ruangan
- > 30% lifetime
Faktor perilaku
TERPAJAN INFEKS
I
TB MATI
10%
Konsentrasi Kuman
Lama Kontak - Keterlambatan diagnosis
- Malnutrisi dan pengobatan
- Penyakit DM, - Tatalaksana tak memadai
imunosupresan - Kondisi kesehatan
4.1.2 Patogenesis
Pada orang yang imunokompeten, ketika terinfeksi M. tuberculosis,
organisme disajikan kepada makrofag melalui ingesti dimana setelah diproses,
antigen mikobakteri disajikan ke sel-T. Sel CD4 mengeluarkan limfokin yang
meningkatkan kapasitas makrofag untuk menelan dan membunuh mikobakteri.
Pada sebagian besar orang terjadi infeksi dan TB tidak berkembang, meski
sejumlah basil tetap dorman tubuh. Hanya 10% dari kasus yang berkembang
menjadi TB klinis, segera setelah infeksi primer atau bertahun-tahun kemudian
sebagai reaktivasi TB. Hal ini memungkinkan terjadinya kerusakan pada fungsi
dari sel T dan makrofag5.
21
Deplesi dan disfungsi sel CD4 yang progresif, ditambah dengan adanya
kerusakan pada fungsi makrofag dan monosit, membentuk ciri infeksi HIV.
Disfungsi ini pada odha (orang dengan HIV dan AIDS) sebagai predisposisi
terjadinya infeksi TB baik primer maupun reaktivasi. Bukti epidemiologis
menunjukkan bahwa infeksi HIV meningkatkan risiko reaktivasi laten TB dan
juga risiko penyakit progresif dari infeksi baru5.
4.1.3 Diagnosis
22
Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diketahui dalam diagnosis pada
pasien TB dengan HIV:
23
yang tidak khas dan gambaran klinis yang kurang menunjang. Pada
pasien suspek TB pada umumnya, tes mantoux dinyatakan positif
apabila diameter >= 10mm, namun pada pasien dengan HIV positif
diameter > 5 mm sudah dapat dinyatakan positif.
v. Gambaran klinis TB ekstraparu. TB ekstraparu perlu diwaspadai
pada odha karena kejadiannya lebih sering dibandingkan pada TB
dengan HIV negatif. Diagnosis pasti dari TB ekstraparu sangat
kompleks dan sulit terutama di daerah dengan fasilitas yang
terbatas. Berdasarkan ISTC, diagnosis TB ekstraparu dapat
dilakukan dengan mengambil lesi dan pemeriksaan patologi untuk
menemukan BTA dari jaringan apabila memungkinkan. Namun,
apabila lesi sulit didapat, diagnosis TB ekstraparu dapat ditegakkan
dengan dugaan klinis yang menunjang. Adanya TB ekstraparu
pada pasien HIV merupakan tanda bahwa penyakitnya sudah
lanjut.
vi. Penggunaan antibiotik pada pasien suspek TB dengan HIV positif.
Pemberian antibiotic pada pasien suspek TB paru sebagai alat
bantu diagnosis TB paru tidak direkomendasikan lagi karena dapat
menyebabkan diagnosis TB terlambat dengan konsekuensi
pengobatan juga terlambat sehingga meningkatkan risiko kematian.
Penggunaan antibiotik kuinolon sebagai terapi infeksi sekunder
pada TB dengan HIV positif harus dihindari sebab golongan
antibiotik ini respons terhadap mikobakterium TB sehingga
dikhawatirkan menghilangkan gejala sementara. Disamping itu
dikhawatirkan timbulnya resistensi, sementara antibiotic golongan
kuinolon dicadangkan sebagai OAT lini kedua. Alur
pendiagnosisan TB paru pada ODHA yang berobat jalan, secara
ringkas digambarkan pada Gambar 3.
24
Gambar 3. Alur diagnosis TB paru pada ODHA yang berobat jalan18
Keterangan:
25
f. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging),
perhitungan CD4 (bila tersedia fasilitas) dan rujukan untuk layanan
HIV.
g. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan
secara bersamaan (bila memungkinkan) supaya jumlah kunjungan
dapat dikurangkan sehingga mempercepat penegakkan diagnosis.
h. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluoroquionolones)
untuk mengatasi typical & atypical bacteria.
i. PCP = Pneumocystis carinii pneumonia atau dikenal juga
Pneumonia Pneumocystis jiroveci
j. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi.
Tabel 7 menunjukkan perbedaan pada gambaran klinis, hasil
sputum dan radiologi antara pasien infeksi HIV dengan TB paru
tahap awal dan tahap lanjut 2,17.
26
Mikobaterimia Tidak ada Ada
4.1.4 Penatalaksanaan
Pada dasarnya, prinsip pengobatan TB dengan HIV/AIDS sama dengan
pengobatan tanpa HIV/AIDS. Namun, pengobatan pasien dengan koinfeksi TB-
HIV lebih sulit daripada TB pada pasien tanpa HIV. Pasien TB-HIV memiliki
sistem imunitas yang rendah dan sering ditemukan adanya infeksi hepatitis dan
lainnya, maka saat pengobatan sering timbul efek samping dan interaksi obat
sehingga memperburuk kondisi pasien serta obat-obat harus dihentikan atau
dikurangi dosisnya. Kondisi tersebut menyebabkan pengobatan menjadi lebih
panjang serta kepatuhan pasien sering terganggu18.
Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat
dalam jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat2. Prinsip pengobatan
pasien TB-HIV adalah adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan
ARV (Antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV dengan standar
WHO3.
Pengobatan OAT pada TB-HIV2:
- Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya
karena akan menyebabkan efek toksik berat pada kulit.
- Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik
sekali pakai yang steril.
- Desensitasi obat (INH, rifampisin) tidak boleh dilakukan karena
mengakibatkan toksik yang serius pada hati.
- Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberikan
respon untuk pengobatan, selain dipikirkan terdapat resistensi
terhadap obat, juga harus dipikirkan terdapatnya malabsorpsi
27
obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat korelasi antara
imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan, karenanya
dosis standar OAT yang diterima sub optimal sehingga
konsentrasi obat rendah dalam serum.
28
- Setiap penderita TB-HIV harus diberikan profilaksis
kotrimoksasol dengan dosis 960 mg/hari (dosis tunggal) selama
pemberian OAT.
Standar 15
Semua.pasien dengan TB dan infeksi HIV seharusnya
dievaluasi untuk menentukan perlu/ tidaknya pengobatan ARV
diberikan selama pengobatan TB. Perencanaan yang tepat untuk
29
mengakses obat antiretroviral seharusnya dibuat untuk pasien yang
memenuhi indikasi. Bagaimanapun juga pelaksanaan pengobatan
TB tidak boleh ditunda. Pasien TB dan infeksi HIV juga
seharusnya diberi kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi
lainnya.
Standar 16
Pasien dengan infeksi HIV yang, setelah dievaluasi dengan
seksama, tidak menderita TB aktif seharusnya diobati sebagai
infeksi TB laten dengan isoniazid selama 6-9 bulan. (belum
diterapkan di indonesia, walaupun Indonesia adalah negara
endemik TB)
30
2NRTI+NVP Ganti dengan
2NRTI+EFV atau
ganti dengan
2NRTI+LPV/r
Lini kedua 2NRTI+PI Ganti atau teruskan
(bila sementara
menggunakan)
paduan mengandung
LPV/r
Pilihan NNRTI :
31
3. Efavirenz (EFV) merupakan golongan NNRTI yang
direkomendasikan dalam pemberian terapi ARV pada
pasien dalam terapi OAT. Efavirenz direkomendasikan
karena mempunyai interaksi dengan rifampisin yang lebih
ringan dibandingkan Nevirapin.
32
BAB 3
KESIMPULAN
33
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Global Tuberculosis control 2012:
epidemiology, strategy, financing. WHO/HTM/TB/2012.6. Geneva,
Switzerland: WHO; 2012.
2. Isbaniyah, F. dkk. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
di Indonesia. Jakarta: PDPI; 2011.
3. Aditama, T.Y, dkk. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Jakarta: Depkes RI; 2011.
4. Djoerban, Z. Samsuridjal, D. HIV/ AIDS di Indonesia, dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; 2009.
5. Bhatia, R.S.. HIV and Tuberculosis: The Ominous Connection. IJCP. 2001;
2 (4): 256-9.
6. KEMENTERIAN KESEHATAN RI (2011). Rencana Aksi Nasional TB-
HIV Pengendalian Tuberkulosis 2011–2014. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2011.
34