Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Melihat realitas minimnya kesejahteraan social masyarakat, dibutuhkan


konsep yang dapat menyejahterakan masyarakat dibidang ekonomi, sosial,
budaya, religius dan beragam bidang lain, untuk pencapaian tersebut diperlukan
suatu paradigma pemikiran tentang konsep-konsep Kesejahteraan dalam
menyejahterakan masyarakat.

Mewujudkan masyarakat yang sejahtera dibidang social, maka di perlukan


suatu penyusunan konsep yang ideal, agar tercipta masyarakat yang sejahtera,
tidak minus dibidang ekonomi yang dapat menghasilkan kemiskinan ditengah-
tengah kehidupan masyarakat.

Konsep untuk menyelenggarakan kesejahteraan social, membutuhkan suatu


paradigma pemikitan yang real dalam menempatkan konsep pemikiran tentang
kesejahteraan social, melalui pengembangan sumberdaya masyarakat,
menciptakan kondisi social yang kondusf di Indonesia, dan dengan cara
memanfaatkan semaksimal mungkin sumber daya alam di Negara Indonesia,
untuk kepentingan masyarakat Indonesia secara universal.

B. Urgensi Makalah

1. Kurangnya pemahaman Konsep Kesejahteraan yang bagaimana yang


semestinya di gunakan dalam pembangunan ekonomi.

2. Kesejahteraan dengan menerapkan Ekonomi Islam-lah yang merupakan


Konsep Kesejahteraan yang Tepat di gunakan.
C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Konsep kesejahteraan menurut pandangan Islam ?

2. Bagaimana Konsep Kesejahteraan dalam Ekonomi Islam ?

3. Bagaimana Pandangan Islam terhadap welfare state (Negara kesejahteraaan) ?

D. Tujuan Dan Kegunaan

Tujuan yang hendak dicapai dari makalah ini:

1. Untuk mengetahui Konsep kesejahteraan menurut pandangan Islam.

2. Untuk mengetahui Konsep Kesejahteraan dalam Ekonomi Islam.

3. Untuk mengetahui Pandangan Islam terhadap welfare state (Negara


kesejahteraaan).

Kegunaan dari makalah ini adalah:

1. Kita dapat mengetahui Konsep Kesejahteraan dalam Islam.

2. Kita dapat mengetahui Konsep Ekonomi Islam dalam mewujudkan masyarakat


Sejahterah.

3. Kita dapat mengetahui Pandangan Islam terhadap welfare state (Negara


kesejahteraaan).
BAB II
PEMBAHASAN

A. Defenisi Kesejahteraan

Definisi Kesejahteraan dalam konsep dunia modern adalah sebuah kondisi


dimana seorang dapat memenuhi kebutuhan pokok, baik itu kebutuhan akan
makanan, pakaian, tempat tinggal, air minum yang bersih serta kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan dan memiliki pekerjaan yang memadai yang dapat
menunjang kualitas hidupnya sehingga memiliki status sosial yang mengantarkan
pada status sosial yang sama terhadap sesama warga lainnya . Kalau menurut
HAM, maka definisi kesejahteraan kurang lebih berbunyi bahwa setiap laki laki
ataupun perempuan, pemuda dan anak kecil memiliki hak untuk hidup layak baik
dari segi kesehatan, makanan, minuman, perumahan, dan jasa sosial, jika tidak
maka hal tersebut telah melanggar HAM.

B. Kesejahteraan Dalam Pandangan Islam

Terdapat sejumlah argumentasi baik yang bersifat teologis-normatif maupun


rasional-filosofis yang menegaskan tentang betapa ajaran Islam amat peduli untuk
mewujudkan kesejahteraan sosial.

Pertama, dilihat dari pengertiannya, sejahtera sebagaimana dikemukakan


dalam Kamus Besar Indonesia adalah aman, sentosa, damai, makmur, dan selamat
(terlepas) dari segala macam gangguan, kesukaran, dan sebagainya. Pengertian ini
sejalan dengan pengertian “Islam” yang berarti selamat, sentosa, aman, dan
damai.Dari pengertiannya ini dapat dipahami bahwa masalah kesejahteraan sosial
sejalan dengan misi Islam itu sendiri. Misi inilah yang sekaligus menjadi misi
kerasulan Nabi Muhammad Saw, sebagaimana dinyatakan dalam ayat yang
berbunyi :

“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
seluruh alam.” (Q.S. al-anbiyâ’ [21]: 107).
Kedua, dilihat dari segi kandungannya, terlihat bahwa seluruh aspek ajaran
Islam ternyata selalu terkait dengan masalah kesejahteraan sosial. Hubungan
dengan Allah misalnya, harus dibarengi dengan hubungan dengan sesama
manusia (habl min Allâh wa habl min an-nâs). Demikian pula anjuran beriman
selalu diiringi dengan anjuran melakukan amal saleh, yang di dalamnya termasuk
mewujudkan kesejahteraan sosial.Selanjutnya, ajaran Islam yang pokok (Rukun
Islam), seperti mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji,
sangat berkaitan dengan kesejahteraan sosial. Orang yang mengucapkan dua
kalimah syahadat adalah orang yang menegaskan komitmen bahwa hidupnya
hanya akan berpegang pada pentunjuk Allah dan Rasul-Nya. Karena, tidak
mungkin orang mau menciptakan ketenangan jika tidak ada komitmen iman
dalam hatinya. Demikian pula ibadah shalat (khususnya yang dilakukan secara
berjama’ah), juga mengandung maksud agar mau memperhatikan nasib orang
lain. Ucapan salam pada urutan terakhir rangkain shalat berupaya mewujudkan
kedamaian. Selanjutnya, dalam ibadah puasa seseorang diharapkan dapat
merasakan lapar sebagaimana yang biasa dirasakan oleh orang lain yang berada
dalam kekurangan. Kemudian, dalam zakat juga tampak jelas unsur kesejahteraan
sosialnya lebih kuat lagi.Demikian pula dengan ibadah haji, yang mengajarkan
seseorang agar memiliki sikap merasa sederajat dengan manusia lainnya.

Ketiga, upaya mewujudkan kesejahteraan sosial merupakan misi kekhalifahan


yang dilakukan sejak Nabi Adam As. Sebagian pakar, sebegaimana dikemukakan
H.M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Quran (hal. 127), menyatakan
bahwa kesejahteraan sosial yang didambakan al-Quran tercermin di Surga yang
dihuni oleh Adam dan isterinya sesaat sebelum mereka turun melaksanakan tugas
kekhalifahan di bumi. Seperti diketahui, sebelum Adam dan isterinya
diperintahkan turun ke bumi, mereka terlebih dahulu ditempatkan di Surga.Surga
diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan Hawa, sehingga bayang-bayang
surga itu bisa diwujudkan di bumi dan kelak dihuni secara hakiki di
akhirat.Masyarakat yang mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat
yang berkesejahteraan. Kesjaterjaan surgawi ini dilukiskan antara lain dalam
firman-Nya yang berbunyi :

“Hai adam, sesungguhnya ini (Iblis ) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu,
maka sekali-kali jangan sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari Surga, yang
akibatnya engkau akan bersusah payah. Sesungguhnya engkau tidak akan
kelaparan di sini (surga), tidak pula akan telanjang, dan sesungguhnya engkau
tidak akan merasakan dahaga maupun kepanasan. (Q.S. Thâhâ, 20: 117-119).

Dari ayat ini jelas bahwa pangan, sandang, dan papan yang diistilahkan
dengan tidak lapar dan dahaga, tidak telanjang, dan tidak kepanasan semuanya
telah terpenuhi di sana. Terpenuhinya kebutuhan ini merupakan unsur pertama
dan utama kesejahteraan sosial.

Keempat, di dalam ajaran Islam terdapat pranata dan lembaga yang secara
langsung berhubungan dengan upaya penciptaan kesejahteraan sosial, seperti
wakaf dan sebagainya.Semua bentuk pranata dan lembaga sosial berupaya
mencari berbagai alternatif untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.Namun, suatu
hal yang perlu dicatat, berbagai bentuk pranat ini belum merata dilakukan oleh
umat Islam dan belum pula efektif dalam mewujudkan kesejahteraan sosial.Hal
ini mungkin disebabkan belum munculnya kesadaran yang merata serta
pengelolaannya yang baik.Untuk itulah, saat ini pemerintah melalui Departemen
Agama membentuk semacam Lembaga Amil Zakat (LAZ) tingkat
nasional.Berhasilkah konsep ini dalam mewujudkan kesejahteraan sosial, amat
bergantung pada partisipasi kita. Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan
Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri
Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.

Kelima, ajaran Islam mengenai perlunya mewujudkan kesejahteraan sosial ini


selain dengan cara memberikan motivasi sebagaimana tersebut di atas, juga
disertai dengan petunjuk bagaimana mewujudkannya. Ajaran Islam menyatakan
bahwa kesejahteraan sosial dimulai dari perjuangan untuk mewujudkan dan
menumbuhsuburkan aspek-aspek akidah dan etika pada diri pribadi, karena dari
diri pribadi yang seimbang akan lahir masyarakat yang seimbang. Masyarakat
Islam pertama lahir dari Nabi Muhammad Saw.melalui kepribadian beliau yang
sangat mengagumkan. Pribadi ini melahirkan keluarga yang seimbang seperti
Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Fatimah Az-Zahra, dan lain-lain .

Selain itu, ajaran Islam menganjurkan agar tidak memanjakan orang lain atau
membatasi kreativitas orang lain, sehingga orang tersebut tidak dapat menolong
dirinya sendiri. Bantuan keuangan baru boleh diberikan apabila seseorang ternyata
tidak dapat memenuhi kebutuhannya.Ketika seseorang datang kepada Nabi
Saw.mengadukan kemiskinannya, Nabi Saw. tidak memberinya uang, tetapi
kapak agar digunakan untuk mengambil dan mengumpulkan kayu. Dengan
demikian, ajaran Islam tentang kesejahteraan sosial ini termasuk di dalamnya
ajaran yang mendorong orang untuk kreatif dan bersikap mandiri, tidak banyak
bergantung pada orang lain.

Kriteria Kesejahteraan:

1. Mampu mengeluarkan Infak

2. Adanya lapangan kerja yang tetap

3. Punya istri yang sholeh

4. Memiliki rumah yang luas

5. Memiliki transportasi
Kebutuhan Pokok:

''Sandang'' adalah pakaian yang diperlukan oleh manusia sebagai mahluk


berbudaya.

''Papan'' adalah kebutuhan manusia untuk membuat tempat tinggal.

''Pangan atau kebutuhan makan '' adalah kebutuhan paling utama manusia.

Rumus Kesejahteraan:

I + AM = HT

Ket: I : Imam

Am : Amal Sholeh

HT : Hayat Thoyyibah

C. Kesejahteraan Dengan Menerapkan Ekonomi Islam

Adapun sistem kesejahteraan dalam Konsep ekonomi Islam adalah sebuah


sistem yang menganut dan melibatkan faktor atau variable keimanan (nilai-nilai
islam) sebagai salah satu unsur fundamental yang sangat asasi dalam mencapai
kesejahteraan Individu dan kolektif sebagai suatu masyarakat atau negara.
Variable atau faktor keimanan tersebut menjadi salah satu tolak ukur dalam
menentukan menu Produksi, menu Konsumsi dan menu Distribusi barang dan jasa
sebelum kemudian memasukkannya kedalam sirkulasi hukum pasar sehingga
terjalin suatu keselarasan dan kompas keseimbangan antara tekanan kepentingan
dan hasrat kepuasan Individu disuatu sisi dengan tekanan kepentingan keuntungan
pasar disisi lain yang diformulasikan melalui berbagai hasil kebijakan lembagas
sosial ekonomi masyarakat dan negara dalam bentuk kebijakan yang juga
berasaskan dasar nilai nilai keimanan, sehingga terjalin suatu stimulasi dan
sosialisasi ekonomi yang berkesinambungan yang dapat mengantarkan Individu
dan masyarakat yang beriman sampai kepada puncak makasidus Syariah yaitu”
Baldatun tayyibah wa Rabbun Ghofur”.

Sistem ekonomi yang diterapkan, seharusnya mampu mewujudkan


kesejahteraan bagi seluruh masyarakat berdasarkan asas demokrasi, kebersamaan,
dan kekeluargaan yang melekat, serta pada akhirnya mewujudkan ketentraman
bagi manusia.Akan tetapi Rentetan peristiwa akibat sistem ekonomi yang
diterapkan terus memberikan dampaknya.

Peristiwa demi peristiwa terjadi memberikan gambaran tentang kekuatan


suatu sistem dalam membangun kesejahteraan, di sistem kapitalis sering terdengar
para buruh mengadakan demonstrasi agar sistem kontrak kerja yang diberlakukan
di perusahaan dihapuskan, karyawan meminta kenaikan gaji, mendorong para
manajemen perusahaan untuk membayarkan uang THR, lembur atau jenis-jenis
pembayaran yang lain. itulah selintas peristiwa yang sering ditemukan pada suatu
negara yang menerapkan sistem ini.

Sebaliknya, contoh kasus sistem ekonomi yang lain seperti negara Uni Soviet
mencoba menerapkan sistem ekonomi sosialis yang dicetuskan Karl Marx dalam
bukunya, Das Kapital, atas ketidaksetujuan terhadap sistem kapitalis.
Pemerintahannya mengusahakan pemerataan ekonomi penduduk dengan
menguasai dan mengontrol semua sumber daya alam, industri-industri penting,
perbankan, dan sarana publik.Tujuan akhir dari sistem ini adalah kesejahteraan
yang merata dalam masyarakat tanpa ada hirarki kelas sosial.Namun, sebelum
cita-cita tersebut tercapai, sistem sosialis runtuh karena perselisihan antar
pimpinan dan korupsi di dalam tubuh pemerintah itu sendiri. Dengan kata lain,
sistem ini belum berhasil memeratakan kesejahteraan rakyat malah memperburuk
rakyat ke dalam kemiskinan, hal ini dapat terjadi karena dominasi pemerintah
yang berlebihan yang membuat roda perekonomian tidak berkembang.
Lantas, sistem ekonomi bagaimanakah yang mampu menciptakan
kesejahteraan,. Adam Smith, penggagas sistem ekonomi kapitalis, memberikan
catatan bahwa “dunia yang paling baik adalah dunia tanpa bunga”. Maka
memakai sistem ekonomi yang berdasarkan “konsep bunga” dalam menyelesaikan
permasalahan ekonomi hanya akan memperpanjang masalah yang ada.

Di sinilah, Islam tepatnya sistem ekonomi Islam memiliki peluang untuk


kembali tampil memberikan solusi terhadap permasalahan ekonomi yang ada,
karena dalam prinsip ekonomi islam tidak mengenal sistem “bunga-atau
kebebasan tanpa arah” dan juga “dominasi yang berlebih”.

Kesejahteraan yang dimaksud dalam tulisan ini menggunakan konsep


maqasid al-syariah (tujuan syariah).Imam Al Ghazali yang menyatakan bahwa
manusia dikatakan sejahtera bila dapat memenuhi kebutuhan agamanya (dien),
jiwanya (nafs), akal (aql), keturunan (nasl) dan harta (maal).

Sejarah telah terukir dengan indah bahwa keberhasilan sistem ekonomi Islam
dengan penerapan instrumen yang ada seperti zakat dan wakaf serta jenis
pendapatan negara lainnya bukanlah angan belaka. Masa Kekhalifahan Umar bin
Khattab dan Umar Bin Abdul Aziz menjadi bukti kongret aplikasi Islam dalam
perekonomian. Pada masa ini tidak terjadi lagi kemiskinan.Sejarah kedua
kepemimpinan telah membuktikan bahwa sistem ekonomi Islam mampu
menciptakan kesejahteraan.

Tulisan ini hadir untuk menganalisis aspek historis kesuksesan Kepemimpinn


Islam dalam bidang ekonomi. Tulisan juga mencari celah kemungkinan untuk
mewujudkan kembali kesejahteraan umat manusia dengan pengaplikasian sistem
ekonomi Islam dengan optimalisasi instrumen ekonomi islam. Dunia pun akan
segera mengetahui bagaimana kesejahteraan masyarakat dapat meningkat, dan
kesenjangan, serta kecemburuan sosial dapat diredam. Sistem ekonomi Islam akan
membimbing umat manusia menuju kemakmuran (hayat thoyyibah).
Ada beberapa instrumen yang dapat dioptimalkan dalam menyongsong
kesejahteraan umat, yaitu Zakat Infaq Sadaqah dan Wakaf (ZISWAF), lembaga-
lembaga pengawas pasar (al-hisbah), dan lembaga keuangan Islam. Dalam rangka
membantu mengatasi masalah kemiskinan dan ketidakadilan diperlukan kebijakan
yang bertujuan mengurangi konsentrasi kepemilikan, instrumen Ekonomi Islam
yang paling fundamental berkenaan dengan kebijakan ini antara lain; konsep
zakat, infaq, sedekah dan wakaf (ziskaf), dan waris yang telah lama dilalaikan
oleh umat maupun pemerintah, sudah waktunya untuk dibangkitkan dan
dihidupkan kembali. Kebijakan lain yang relevan untuk tujuan ini antara lain;
pengembangan industri kecil menengah, reformasi pertanahan, pengembangan
pedesaan, dan sinergisasi pengembang UKM dengan institusi keuangn syari’ah.

Dengan optimalnya penerapan sistem ini dan terintegrasinya dengan baik


pelaksanaannya, maka sangat mungkin sejarah emas kesejahteraan Islam pada
zaman Rasul dan sahabat dapat kembali dicapai, dan penerapan ini akan mampu
terlaksana jika adanya sinergi seluruh pihak, baik pemerintah (umara’), ulama’
dan masyarakat ammah .

D. Welfare State (Negara Kesejahteraan) dalam pandangan Islam

Jika sistem ekonomi Islam adalah berbeda atau bukan merupakan sistem
ekonomi Kapitalis dan Sosialis, bagaimana dengan konsep welfare state (negara
kesejahteraan). Makalah ini akan mencoba membahas tentang welfare state dalam
pandangan Islam.

Varian lain yang paling populer dari kapitalisme saat ini adalah konsep
welfare state (negara kesejahteraan) yang banyak diterapkan di negara-negara
industri utama dunia.Welfare state berusaha untuk mengurangi ekses negatif yang
muncul dari liberalisme sebagaimana dalam kapitalisme murni, serta
mengaktifkan peran negara. Dengan langkah ini mereka berharap dapat
mengurangi daya tarik sosialisme, sekaligus memperkuat posisi kapitalisme.
Konsep ini memperoleh momentum pertama setelah great depression tahun 1930-
an di Amerika, dan kemudian setelah Perang Dunia kedua – sebagai respon atas
tantangan kapitalisme dan kesulitan-kesulitan yang terjadi akibat depresi dan
perang.

Menurut Chapra (1995), pada prinsipnya sistem ini tetap bertumpu kepada
market system, namun berusaha untuk mengurangi ketidak seimbangan pasar
(market imperfection) – yang menyebabkan in-efisiensi operasi pasar dan
mengganti kegagalan pasar (market failure) dengan berbagai peran pemerintah.
Untuk upaya ini, maka beberapa langkah yang biasa ditempuh antara lain dengan
berbagai regulasi pemerintah, nasionalisasi (oleh negara) atas perusahaan-
perusahaan utama, penguatan serikat buruh, optimalisasi kebijakan fiskal,
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan lain-lain. Meskipun sistem ini secara
teknis operasional telah berbeda jauh dengan versi awal kapitalisme, tetapi
kerangka kerja keseluruhan tetap kapitalisme.

Nah apa dan bagaimana sesunguhnya hakikat dari negara kesejahteraan ini
akan penulis kemukakan secara singkat padat dalam makalah ini, yang kemudian
coba penulis bandingkan dengan sistem Islam dalam hal pengelolaan ekonomi
negara. Sedapat mungkin penulis memberikan analisis dan penilaian yang objektif
terhadap kedua sistem berkenaan.
KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN (WELFARE STATE)

Secara harfiah, terjemahan bebas dari welfare state adalah negara


kesejahteraan.Secara istilah, pengertian dari negara kesejahteraan adalah sebuah
model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan
melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan
pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya.Spicker
misalnya, menyatakan bahwa negara kesejahteraan “…stands for a developed
ideal in which welfare is provided comprehensively by the state to the best
possible standards.”

Di Inggris, konsep welfare state difahami sebagai alternatif terhadap the Poor
Law yang kerap menimbulkan stigma, karena hanya ditujukan untuk memberi
bantuan bagi orang-orang miskin. Berbeda dengan sistem dalam the Poor Law,
kesejahteraan negara difokuskan pada penyelenggaraan sistem perlindungan sosial
yang melembaga bagi setiap orang sebagai cerminan dari adanya hak
kewarganegaraan (right of citizenship), di satu pihak, dan kewajiban negara (state
obligation), di pihak lain. Kesejahteraan negara ditujukan untuk menyediakan
pelayanan-pelayanan sosial bagi seluruh penduduk – orang tua dan anak-anak,
pria dan wanita, kaya dan miskin, sebaik dan sedapat mungkin.Ia berupaya untuk
mengintegrasikan sistem sumber dan menyelenggarakan jaringan pelayanan yang
dapat memelihara dan meningkatkan kesejahteraan (well-being) warga negara
secara adil dan berkelanjutan.

Negara kesejahteraan sangat erat kaitannya dengan kebijakan sosial (social


policy) yang di banyak negara mencakup strategi dan upaya-upaya pemerintah
dalam meningkatkan kesejahteraan warganya, terutama melalui perlindungan
sosial (social protection) yang mencakup jaminan sosial (baik berbentuk bantuan
sosial dan asuransi sosial), maupun jaring pengaman sosial (social safety nets).

Negara kesejahteraan mengacu pada peran pemerintah yang responsif dalam


mengelola dan mengorganisasikan perekonomian sehingga mampu menjalankan
tanggungjawabnya untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar
dalam tingkat tertentu bagi warganya .Konsep ini dipandang sebagai bentuk
keterlibatan negara dalam memajukan kesejahteraan rakyat setelah mencuatnya
bukti-bukti empirik mengenai kegagalan pasar (market failure) pada masyarakat
kapitalis dan kegagalan negara (state failure) pada masyarakat sosialis.

Dalam konteks ini, negara memperlakukan penerapan kebijakan sosial


sebagai “penganugerahan hak-hak sosial” (the granting of social rights) kepada
warganya.Semua perlindungan sosial yang dibangun dan didukung negara
tersebut sebenarnya dibiayai oleh masyarakatnya melalui produktifitas ekonomi
yang semakin makmur dan merata, sistem perpajakan dan asuransi, serta investasi
sumber daya manusia (human investment) yang terencana dan melembaga.

Dapat dikatakan, negara kesejahteraan merupakan jalan tengah dari ideologi


kapitalisme dan sosialisme.Namun demikian, dan ini yang menarik, konsep
negara kesejahteraan justru tumbuh subur di negara-negara demokratis dan
kapitalis, bukan di negara-negara sosialis.Di negara-negara Barat, negara
kesejahteraan sering dipandang sebagai strategi ‘penawar racun’ kapitalisme,
yakni dampak negatif ekonomi pasar bebas.Karenanya, welfare state sering
disebut sebagai bentuk dari ‘kapitalisme baik hati’ (compassionate
capitalism).Meski dengan model yang berbeda, negara-negara kapitalis dan
demokratis seperti Eropa Barat, AS, Australia dan Selandia Baru adalah beberapa
contoh penganut welfare state. Sedangkan, negara-negara di bekas Uni Soviet dan
Blok Timur umumnya tidak menganut welfare state, karena mereka bukan negara
demokratis maupun kapitalis .

Oleh karena itu, meskipun menekankan pentingnya peran negara dalam


pelayanan sosial, negara kesejahteraan pada hakekatnya bukan merupakan bentuk
dominasi negara.Melainkan, wujud dari adanya kesadaran warga negara atas hak-
hak yang dimilikinya sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.Negara diberi
mandat untuk melaksanakan kewajibannya dalam memenuhi hak-hak warga
negara.
Seperti halnya pendekatan pembangunan lainnya, sistem negara kesejahteraan
tidaklah homogen dan statis.Ia beragam dan dinamis mengikuti perkembangan
dan tuntutan peradaban. Meski beresiko menyederhanakan keragaman, sedikitnya
ada empat model negara kesejahteraan yang hingga kini masih beroperasi :

1. Model Universal

Pelayanan sosial diberikan oleh negara secara merata kepada seluruh


penduduknya, baik kaya maupun miskin.Model ini sering disebut sebagai the
Scandinavian Welfare states yang diwakili oleh Swedia, Norwegia, Denmark dan
Finlandia.Sebagai contoh, negara kesejahteraan di Swedia sering dijadikan
rujukan sebagai model ideal yang memberikan pelayanan sosial komprehensif
kepada seluruh penduduknya. Negara kesejahteraan di Swedia sering dipandang
sebagai model yang paling berkembang dan lebih maju daripada model di Inggris,
AS dan Australia.

2. Model Korporasi atau Work Merit Welfare states

Seperti model pertama, jaminan sosial juga dilaksanakan secara melembaga


dan luas, namun kontribusi terhadap berbagai skema jaminan sosial berasal dari
tiga pihak, yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh).Pelayanan sosial
yang diselenggarakan oleh negara diberikan terutama kepada mereka yang bekerja
atau mampu memberikan kontribusi melalui skema asuransi sosial.Model yang
dianut oleh Jerman dan Austria ini sering disebut sebagai Model Bismarck, karena
idenya pertama kali dikembangkan oleh Otto von Bismarck dari Jerman.

3. Model Residual

Model ini dianut oleh negara-negara Anglo-Saxon yang meliputi AS, Inggris,
Australia dan Selandia Baru. Pelayanan sosial, khususnya kebutuhan dasar,
diberikan terutama kepada kelompok-kelompok yang kurang beruntung
(disadvantaged groups), seperti orang miskin, penganggur, penyandang cacat dan
orang lanjut usia yang tidak kaya. Ada tiga elemen yang menandai model ini di
Inggris: (a) jaminan standar minimum, termasuk pendapatan minimum; (b)
perlindungan sosial pada saat munculnya resiko-resiko; dan (c) pemberian
pelayanan sebaik mungkin. Model ini mirip model universal yang memberikan
pelayanan sosial berdasarkan hak warga negara dan memiliki cakupan yang luas.
Namun, seperti yang dipraktekkan di Inggris, jumlah tanggungan dan pelayanan
relatif lebih kecil dan berjangka pendek daripada model universal. Perlindungan
sosial dan pelayanan sosial juga diberikan secara ketat, temporer dan efisien.

4. Model Minimal

Model ini umumnya diterapkan di gugus negara-negara latin (seperti Spanyol,


Italia, Chile, Brazil) dan Asia (antara lain Korea Selatan, Filipina, Srilanka).
Model ini ditandai oleh pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang
sangat kecil.Program kesejahteraan dan jaminan sosial diberikan secara sporadis,
parsial dan minimal dan umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri,
anggota ABRI dan pegawai swasta yang mampu membayar premi.Di lihat dari
landasan konstitusional seperti UUD 1945, UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial
Nasional), dan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang masih
kecil, maka Indonesia dapat dikategorikan sebagai penganut negara kesejahteraan
model ini.

PERBANDINGAN ANTARA ISLAM DAN WELFARE STATE

Jika Islam tidak menerima sosialise dan kapitalisme, lalu bagaimana sikapnya
terhadap ajaran Negara kesejahteraan, yang berusaha menemukan kesetimbangan
di antara kedua sistem ini. Mengingat kecenderungan egalitariannya, sistem Islam
sering dibandingkan dengan negara kesejahteraan berdasarkan kemiripan sikap
pokok sosial dari kedua sistem itu, sehingga jika seseorang dipaksa memilih di
antara sistem-sistem ekonomi yang telah ada, negara kesejahteraan hampir pasti
akan dipilih oleh pembuat kebijakan muslim sebagai pranata ekonomi terbaik
kedua. Sebagaimana negara kesejahteraan, Islam memerintahkan kepada para
penganutnya agar mencapai “kesetimbangan yang baik” dalam kehidupan pribadi
maupun sosialnya. Sesungguhnya kaum muslim diberi ciri khusus dalam kitab
suci Al-Qur’an sebagai “kaum pertengahan”: “Kami telah menjadikan kamu
(umat Islam) umat yag adil dan pilihan….” (2:143) – yaitu bangsa-bangsa yang
menghindarkan sikap-sikap ekstrem.

Walaupun demikian, haruslah diperhatikan bahwa Islam tidak sama dengan


negara kesejahteraan. Bila kemiripan antara kedua sistem ini bersifat sangat
mendasar, maka ketidakmiripan yang membedakan satu dari lainnyapun tak
kurang pentingnya:

Pertama, sebagaimana semua sistem sosial yang tidak Islami, ajaran negara
kesejahteraan tidak dibangun di atas konsep moral.Keaslian Islam terletak pada
upayanya untuk menjadikan moral sebagai titik berangkat pandangannya
mengenai ekonomi.Hal ini bertentangan dengan negara kesejahteraan, yang pada
umumnya sekular, yang tidak bertujuan untuk memadukan secara vertikal aspirasi
material dan spritual manusia. Dalam Islam, kewajiban moral dengan gigih
mengendalikan dan memperkuat tekanan ekonomi. Kalau negara kesejahteraan
berusaha untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi berubah menjadi pemujaan
terhadap uang, maka Islam pada satu sisinya dalam meningkatkan kesejahteraan ,
menambahkan dimensi rohani pada kegiatan ekonomi. Dengan demikian, dalam
Islam tak diperbolehkan adanya kemerosotan moral demi kesejahteraan ekonomi.

Sebagaimana kapitalisme, negara kesejahteraan masih menganut falsafah


sekularisme dan hedonisme. Meskipun dalam negara kesejahteraan sasaran-
sasaran yang hendak dicapai lebih humanis dibandingkan kapitalisme, tetapi ia
gagal membentuk strategi-strategi yang efektif untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut. Sebagai indikator kegagalan itu, berbagai data emperik menunjukkan
bahwa di negara-negara penganut welfare state berbagai masalah ekonomi klasik,
seperti kemiskinan, ketimpangan distribusi pendapatan, defisit fiskal,
pengangguran, dan lain-lain.Hal ini telah menyebabkan menurunnya kepercayaan
masyarakat terhadap efektifitas negara kesejahteraan untuk mencapai tujuannya,
sebagaimana dinyatakan Halsey (1981),”terdapat kemerosotan kepercayaan yang
meluas terhadap kapasitas negara kesejateraan untuk mampu mengantarkan
sasaran-sasaran seperti tingkat kesempatan kerja atau pelayanan-pelayanan
kesejahteraan”. Bahkan, Hirschman (1980), dengan tegas menyatakan, “negara
kesejahteraan kini berada dalam kesulitan yang membuatnya tidak dapat menjadi
peserta kontes”. Salah satu penyebab ini adalah ketiadaan suatu norma atau etika
kolektif yang dapat menjadi acuan bersama. Sesuai dengan kerangka sekularisme
maka negara kesejahteraan cenderung mengabaikan peranan etika dan norma
dalam perumusan strategi ekonominya.

Kedua, sikap kesetimbangan di antara kedua sistem ini tidaklah sama, letak
kesetimbangan, di bawah sistem Islam ditetapkan secara berbeda, akan ditandai
oleh suatu wadah “konsumsi” khusus, tanpa menyertakan komoditi yang oleh
Islam dilarang untuk dikonsumsi, yang dalam negara kesejahteraan semua boleh
dikonsumsi.

Ketiga, konsep Islam tentang negara sejahtera pada dasarnya berbeda dari
konsep welfare state yang diusung barat.Konsep Islam lebih komprehensif, yaitu
bertujuan mencapai kesejahteraan umat manusia secara menyeluruh, dan
kesejahteraan ekonomi hanyalah sebagian daripadanya.Sesunguhnya, konsep
Islam bukan hanya manifestasi nilai ekonomi, tetapi juga pada nilai spritual, sosial
dan politik Islami.Sedangkan dalam konsep welfare state dunia barat, hanya
bertumpu pada kesejahteraan ekonomi semata.Nilai sosial Islam, mengatur
perilaku, kehidupan keluarga, tetangga, pengurusan harta kekayaan, anak yatim
dan piatu, dan seterusnya. Al-Qur’an memperhatikan perbedaan ras, warna kulit,
bahasa, kekayaan dan lain sebagainya yang menjadi rencana sosial (QS Ar Rum,
30;32). Tapi tidak satupun dari ketentuan ini yang berlebihan atau memaksakan
ketidakmampuan.Tidak ada elemen masyarakat yang memiliki hak istimewa,
dimana digambarkan bahwa orang yang paling mulia adalah orang yang paling
bertaqwa.Jadi disini tidak terjadi perlombaan sebanyak-banyaknya untuk
mengumpulkan harta benda, karena kesejahteraan harta benda bukanlah menjadi
ukuran, melainkan orang yang paling bertaqwalah yang perlambang kemakmuran
hidup di dunia dan akhirat.Nah, dalam welfare state yang menjadi ukuran adalah
kesejahteraan ekonomi semata-mata.

Keempat, ciri terpenting negara sejahtera terletak pada nilai


politiknya.Berbeda dengan demokrasi Barat modern, kekuasaan dalam negara
Islam adalah milik Allah Swt, dan kekuasaan dalam konsep Barat adalah milik
rakyat. Dengan demikian, kepala negara dengan apa yang disebut mayoritasnya
dapat membuat atau menafsirkan hukum apa saja yang sesuai dengan
keperluannya. Dalam keadaan demikan golongan minoritas atau rakyat kecil,
benar-benar berada dalam kekuasaan mayoritas, sehingga tidak berdaya apa-apa
di hadapan penguasa pemerintahan, sebagaimana terjadi pada konsep welfare
state.Ini karena yang berkuasa adalah manusia sehingga cenderung untuk
menyalahkan kekuasaannya demi kepentingan orang-orang yang berkuasa.

Kelima, nilai ekonomi Islam yang pokok berangkat dari suatu kenyataan
bahwa hak milik atas segala sesuatunya adalah pada Allah semata.Setiap orang
diberi kebebasan seluas-luasnya untuk memiliki harta kekayaan.Hak milik setiap
orang mendapat pengakuan dan perlindungan dalam Islam, tetapi pada harta
benda mereka ada hak untuk orang-orang fakir dan miskin.Bahkan hewanpun
berhak mendapat bagiannya (QS Al-Baqarah 51:19).Sesungguhnya kewajiban
moral ini dilakukan dengan rasa sukarela berlaku bagi semua elemen masyarakat
Islam.Ciri kesadaran moral inilah yang membedakan Islam dengan konsep
welfare state.
BAB III
KESIMPULAN

Ada lima misi Islam yang harus dilihat secara utuh, yaitu sebagai berikut :
Pertama, Islam mengajak umatnya untuk menggali dan mengembangkan ilmu
pengetahuan seluas-luasnya dan banyak-banyaknya. Islam menganjurkan agar
kaum muslimin menuntut ilmu, sejak dari ayunan hingga liang lahat. Demikian
juga, terdapat anjuran, agar umat Islam mencari ilmu sekalipun ke tempat
sejauh.Disebutkan, sekalipun ke negeri Cina. Penyebutan Cina, ketika itu
menggambarkan tempat yang jauh.

kesejahteraan dalam Konsep ekonomi Islam adalah sebuah sistem yang


menganut dan melibatkan faktor atau variable keimanan (nilai-nilai islam) sebagai
salah satu unsur fundamental yang sangat asasi dalam mencapai kesejahteraan
Individu dan kolektif sebagai suatu masyarakat atau negara. terjalin suatu
stimulasi dan sosialisasi ekonomi yang berkesinambungan yang dapat
mengantarkan Individu dan masyarakat yang beriman sampai kepada puncak
makasidus Syariah yaitu” Baldatun tayyibah wa Rabbun Ghofur. Oleh Karen itu,
konsep ekonomi islam-lah yang mampu membawa masyarakat keluar dari
kemiskinan.

Dapat dikatakan, negara kesejahteraan merupakan jalan tengah dari ideologi


kapitalisme dan sosialisme. sistem Islam sering dibandingkan dengan negara
kesejahteraan berdasarkan kemiripan sikap pokok. sosial dari kedua sistem itu,
sehingga jika seseorang dipaksa memilih di antara sistem-sistem ekonomi yang
telah ada, negara kesejahteraan hampir pasti akan dipilih oleh pembuat kebijakan
muslim sebagai pranata ekonomi terbaik kedua setelah konsep ekonomi islam.
BAB II
PENUTUP

A. Kesimpulan

Sistem ekonomi adalah suatu sistem yang mengatur serta menjalin hubungan
ekonomi antar manusia dengan seperangkat kelembagaan dalam suatu tatanan
kehidupan.Sebuah sistem ekonomi terdiri atas unsur-unsur manusia dengan
subjek; barang-barang ekonomi sebagai objek; serta alat kelembagaan yang
mengatur dan menjalinnya dalam kegiatan ekonomi.

Secara umum sietem ekonomi yang dikenal dunia ada 3, yaitu Sistem
Ekonomi Kapitalis, Sistem Ekonomi Sosialis, dan Sistem Ekonomi Islam.

Sistem Ekonomi Kapitalis adalah sistem perekonomian yang memberikan


kebebasan secara penuh kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan
perekonomian seperti memproduksi barang, manjual barang, menyalurkan barang
dan lain sebagainya.

Sistem Ekonomi Sosialis adalah suatu sistem perekonomian yang


memberikan kebebasan yang cukup besar kepada setiap orang untuk
melaksanakan kegiatan ekonomi tetapi dengan campur tangan pemerintah

Secara sederhana bisa dikatakan, bahwa sistem ekonomi Islam adalah suatu
sistem ekonomi yang didasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam.Sumber dari
keseluruhan nilai tersebut sudah tentu Al-Quran, As-Sunnah, ijma’ dan qiyas.
DAFTAR PUSTAKA

Dumairy, Perekonomian Indonesia, Erlangga: Jakarta

http://zonaekis.com/sistem-ekonomi-kapitalis-kapitalisme

Suprayitno, Eko, Ekonomi Islam Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan


Konvensional, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005

Tambunan, Tulus T.H, Perekonomian Indonesia Beberapa Masalah Penting,


Ghalia Indonesia: Jakarta,2003

Anda mungkin juga menyukai