LAPORAN KASUS
I. IDENTIFIKASI
Nama : Muhammad Nadlief Yazid
Umur : 5 tahun 2 bulan
Jenis kelamin : Laki - laki
Berat badan : 20 kg
Panjang badan : 104 cm
Agama : Islam
Alamat : Jl Mandi Api, Alang-Alang Lebar, Palembang
Dikirim Oleh : RS swasta di Palembang
MRS : 01 November 2013
3. Riwayat makanan
ASI : 0- 6 bulan
Susu botol/ kaleng : 6 bulan - sekarang
Bubur Nasi : 8 bulan
Nasi tim/ lembek : -
Nasi biasa : 1 tahun - sekarang
Daging : usia 1 rahun sampai sekarang
Tempe : usia 1 tahun sampai sekarang
Tahu : usia 1 tahun sampai sekarang
Sayuran : usia 1 tahun sampai sekarang
Buah : usia 1 tahun sampai sekarang
Lain-lain : disangkal
4. Riwayat imunisasi
BCG : 1 kali
Polio : 3 kali
DPT : 3 kali
Campak : 1 kali
Hepatitis : 3 kali
Kesan: imunisasi dasar lengkap
5. Riwayat Keluarga
Perkawinan : 1 kali
Umur : ayah : 30 tahun, ibu : 28 tahun
Pendidikan : ayah : S1 , ibu : SMA
Penyakit yang pernah diderita : ayah : , ibu : -
Saudara :-
5 tahun 2 tahun
8. Status gizi
BB : 20 Kg
TB : 104 cm
BB/U : 20/18 x 100% = 111 %
TB/U : 104/109 x 1005 = 95,4 %
BB/TB : 20/17 x 100% = 117 %
Kesan : gizi cukup
PEMERIKSAAN FISIK
a. PemeriksaanUmum
1. Keadaan umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : compos mentis
3. BB : 20 kg
4. PB : 104 cm
5. Gizi : cukup
6. Edema :-
7. Sianosis :-
8. Dispnea :-
9. Ikterus :-
10. Anemia :-
11. Suhu : 36,6ºC
12. RR : 26 x/min
13. Turgor : baik,
14. Tekanan darah : 100/90 mmHg
15. Nadi : 118 x/min, regular,isi dan tegangan cukup.
16. Kulit : normal, turgor baik.
b. Pemeriksaan Khusus
Kepala
1. Bentuk : normocephali
2. Ubun-ubun : normal
3. Lingkar kepala : 57 cm
Mata
1. Palpebra : edema palpebra (-/-)
2. Konjungtiva : anemis (-/-)
3. Sclera : ikterik (-/-)
4. Pupil : isokor, reflex cahaya +/+
Mulut
1. Bibir : sianosis (-/-)
2. Bentuk, warna dan ukuran : tidak ada kelainan
Gigi
1. Karies :-
2. Gusi : tidak ada kelainan
Lidah
1. Bentuk, warna, gerakan : tidak ada kelainan
Telinga
1. Inspeksi : sekret(–)
Tenggorokan
1. Warna, ukuran : hiperemis (-/-)
2. Tonsil : T1-T1. tenang
Leher
1. Inspeksi : tidak ada pembesaran KGB, JVP normal.
2. Palpasi : tidak ada pembesaran KGB, tidak ada nyeri
Dada
1. Inspeksi : Simetris, retraksi (-), gerakan dan bentuk
pernafasan baik.
2. Palpasi : tidak ada nyeri tekan, stem fremitus normal.
3. Perkusi : hipersonor, tidak ada nyeri ketuk.
4. Auskultasi : vesikuler(+) normal, ronki(-), wheezing (-)
Jantung
1. Inspeksi : pulsasi jantung dan iktus cordis tidak terlihat.
2. Palpasi : iktus dan thrill tidak teraba
3. Perkusi : batas jantung normal
4. Auskultasi : BJ I dan BJ II normal, murmur (-), Gallop (-)
Perut
1. Inspeksi : bentuk cembung, venektasi (-)
2. Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan ulu hati (+)
3. Perkusi : timpani, shifting dullness (-).
4. Auskultasi : bising usus normal
Hati
1. Palpasi : tidak teraba, nyeri tekan (-)
2. Perkusi : pekak
Limpa
1. Palpasi : tidak teraba, nyeri tekan (-)
Ginjal
1. Palpasi : tidak teraba.
STATUS NEUROLOGIS
Lengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Fungsimotoric
Gerakan Cukup Cukup Cukup Cukup
Kekuatan +5 +5 +5 +5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - - - -
Reflex N N N N
fisiologis
Reflex - - - -
patologis
Reflex primitif - - - -
Fungsi Sensorik
Nyeri N N N N
Raba N N N N
Suhu N N N N
Sensorik N N N N
Nerve N N N N
Kranialis I-XII
GejalaRangsang Meningeal
Kakukuduk -
Laseque -
Kerniq -
Brudzinki -
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah Rutin( 01 November 2013)
Hb : 11,8
WBC : 5300
Ht : 35%
Trombosit : 64.000
Diff Count : 0/0/1/46/46/7
Dengue NS I Ag : +
UR : Kuning muda jernih
BJ =1.010 pH= 6,0
Protein (-) glukosa (-)
Keton (-) darah (-)
Bilirubin (-) urobilinogen (+)1 nitrit (-)
Epitel (+) L=0-2 E =0-1
Silinder (-) kristal (-) bakteri (-) mukus (-) jamur (-)
DIAGNOSIS BANDING
Demam berdarah dengue + low intake
DIAGNOSIS KERJA
Demam Berdarah Dengue grade I + low intake
TERAPI
- O2 cannule 1 L/menit
- IVFD RL 4cc/kgBB
- Paracetamol 200 mg( via rectal/ >38,5oc)
- Balance Cairan
- Anjuran banyak minum
- Monitoring Hb, Ht, Trombosit serial / 6 jam
- Kurva suhu / 6 jam
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
03 November 2013
S: demam(+)
O: KU:
Sens: Kompos Mentis
Nadi: 100 x/menit
RR: 26 x/menit
T: 36,9C
TD 90/60 mmHg
KeadaanSpesifik:
Kepala: NCH (-), KA -/-, SI -/-, edema palpebra (-), rhagaden (+)
Leher: kakukuduk (-), perbesaranKGB (-)
Thoraks: simetris, retraksi -/-
Cor: BJ I dan II (+) normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: vesikuler (+/+) normal, ronkhi basah halus di bawah paru,
wheezing -/-
Abdomen: datar, lemas, hepar dan lien tak teraba, BU (+) normal
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, diuresis 6,8
cc/KgBB/jam
A:
P:
- IVFD RL 7 CC/jam gtt 7 x/mnt (makro)
- Cu Hb, hematokrit, Trombosit / 8 jam
- Monitoring vital sign dan diuresis / 6 jam
PROGNOSIS
Quo ad vitam : Bonam
Qua ad fungtionam: Bonam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Infeksi dengue adalah suatu infeksi Arbovirus akut, ditularkan oleh
nyamuk spesies Aedes, dan sekarang telah dapat diisolasi 4 serotipe di
Indonesia, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4.1
Demam dengue (DD) adalah penyakit demam akut dengan
berbagai macam maifestasi klinis diantaranya demam ringan atau demam
tinggi mendadak, bintik kemerahan, sakit kepala, nyeri belakang bola
mata, nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah.1
Demam berdarah dengue (DBD) ditandai dengan empat kriteria
yaitu, demam tinggi akut, manifestasi perdarahan diantaranya dengan uji
bendung, perdarahan di bawah kulit, mukosa, dan perdarahan saluran
gastrointestinal, trombositopenia, dan manifestasi plasma leakage yaitu
hemokosentrasi, timbunan cairan di paru atau abdomen. Derajat DBD
dibagi menjadi empat yaitu derajat 1, 2, 3, dan 4. Derajat 3 disebut juga
Dengue shock syndrome (DSS) yaitu, sindrom syok yang terjadi pada
penderita Dengue Hemorhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah
Dengue.1
2.2. Epidemiologi
DBD masih menjadi masalah kesehatan utama di Asia dan Pasifik
khususnya Indonesia. Angka kematian DSS di rumah sakit masih tinggi.
Data di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM antara 1 Januari
2003 sampai dengan 30 Juni 2004 didapatkan jumlah kasus DBD yang
dirawat sebanyak 263 pasien. Jumlah kasus DSS pada periode tersebut
sebesar 31,7% DBD derajat III, diikuti DBD derajat II sebesar 30,7% dan
DBD ensefalopati pada DBD derajat IV sebesar 1%.2
Sejak tahun 2004 kasus DBD terus meningkat dan meluas sampai
lebih dari 350 kabupaten/kota. Peta insiden DBD di Indonesia pada tahun
2009 memperlihatkan seluruh wilayah jawa insidensinya lebih dari 3,5 per
10.000 penduduk dan di Jawa Tengah sendiri sebesar 5,6/ 10.000
penduduk. Meski sejak tahun 2007 angka kematian sudah berada di bawah
2%, namun yang dijadikan indikator nasional adalah masih diatas 1%.2
2.3. Etiologi
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat
rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106. Terdapat 4 serotipe virus
yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi oleh salah satu jenis
serotipe ini akan memberikan kekebalan seumur hidup tetapi tidak
menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain. Sehingga seseorang
yang hidup di daerah endemis DHF dapat mengalami infeksi sebanyak 4
kali seumur hidupnya. Dengue adalah penyakit daerah tropis dan
ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini adalah nyamuk rumah
yang menggigit pada siang hari. Faktor resiko penting pada DHF adalah
serotipe virus, dan faktor penderita seperti umur, status imunitas, dan
predisposisi genetis.1
2.4. Patofisiologi
Imunopatogenesis DBD dan DSS masih merupakan masalah yang
kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan
patogenesis pada DBD dan DSS yaitu hipotesis infeksi sekunder
(secondary heterologous infection) dan hypothesis antibody dependent
enhancement (ADE).3
1) Teori Infeksi Sekunder (secondary heterologous infection)
Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang
mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis virus, akan terjadi proses
kekebalan terhadap infeksi terhadap jenis virus tersebut untuk jangka
waktu yang lama. Pengertian ini akan lebih jelas bila dikemukakan
sebagai seseorang yang pernah mendapat infeksi primer virus dengue,
akan mempunyai antibodi yang dapat menetralisir antigen yang sama
(homologous).
Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder dengan
serotipe virus yang berbeda, maka terjadi infeksi yang berat. Hal ini
disebabkan karena pada infeksi selanjutnya, antibodi heterologous yang
telah terbentuk dari infeksi primer akan membentuk kompleks dengan
virus dengue baru yang berbeda serotipe, namun tidak dapat dinetralisir.
Virus baru bahkan membentuk kompleks yang infeksius.
Akibat adanya infeksi sekunder oleh virus yang heterolog (virus
dengan serotipe lain atau virus lain) karena adanya non neutralising
antibody maka partikel virus DEN (dengue) dan molekul antibodi IgG
membentuk kompleks virus-antibodi dan ikatan antara kompleks
tersebut dengan reseptor Fc gama pada sel melalui bagian Fc dari IgG
menimbulkan peningkatan (enhancement) infeksi virus DEN.
Kompleks virus antibodi meliputi sel makrofag yang beredar dan
antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi, internalisasi sehingga
makrofag mudah terinfeksi sehingga akan teraktivasi dan akan
memproduksi IL-1, IL-6 dan TNF alpha dan juga “Platelet Activating
Factor” (PAF).
Karena antibodi bersifat heterolog, maka virus tidak dapat di
neutralisasi tetapi bebas bereplikasi di dalam makrofag. TNF alpha baik
yang terangsang INF gama maupun dari makrofag teraktivasi antigen
antibodi kompleks, dan selanjutnya akan menyebabkan kebocoran
dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh
yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah yang
mekanismenya sampai saat ini belum jelas. Hal tersebut akan
mengakibatkan syok.
Virus-Ab kompleks (kompleks imun) yang terbentuk akan
merangsang komplemen, yang farmakologis cepat dan pendek. Bahan
ini bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan
kebocoran plasma (syok hipovolemik) dan perdarahan.
Pada anak umur dibawah 2 tahun, yang lahir dari ibu dengan
riwayat pernah terinfeksi virus DEN, dimana terjadi infeksi virus dari
ibu ke anak maka dalam tubuh anak tersebut telah terjadi “Non
Neutralizing Antibodies” akibat adanya infeksi yang persisten, sehingga
infeksi baru pertama kali sudah terjadi proses “Enhancing” yang akan
memacu makrofag sehingga mudah terinfeksi dan teraktivasi dan akan
mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF. Bahan- bahan
mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh
darah dan system hemostatik yang selanjutnya mengakibatkan
kebocoran plasma dan perdarahan.
2) Teori ADE (antibody dependent enhancement).
Pada teori kedua (ADE), menyebutkan tiga hal yaitu antibodies
enhance infection, T-cells enhance infection serta limfosit T dan
monosit akan melepaskan sitokin yang berkontribusi terhadap
terjadinya DBD dan DSS. Singkatnya secara umum ADE dijelaskan
sebagai berikut, bahwa jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis
virus tertentu, maka antibodi tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi
sebaliknya apabila antibodi yang terdapat dalam tubuh merupakan
antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan
penyakit yang berat.
Kinetik dari kelas imunoglobulin spesifik terhadap virus dengue
di dalam serum pasien DD, DBD dan DSS ternyata didominasi oleh
IgM, IgG1 dan IgG3, sedangkan IgA level tertinggi dijumpai pada fase
akut dari DSS. Dikatakan pula bahwa IgA, IgG1 dan IgG4 dapat
digunakan sebagai marker dari risiko berkembangnya DBD dan DSS,
oleh karenanya pengukuran kadar imunoglobulin tersebut sejak awal
pengobatan dapat membantu mengetahui perkembangan penyakit.
3) Teori virulensi virus
Disamping kedua teori tersebut masih ada teori-teori lain
tentang patogenesis dari DBD, diantaranya adalah teori virulensi virus
yang mendasarkan pada perbedaan serotipe virus dengue Den-1, Den-2,
Den-3 dan Den-4 yang kesemuanya dapat ditemukan pada kasus-kasus
yang fatal, tetapi berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain.
4) Teori antigen-antibodi
Teori antigen-antibodi, dimana pada teori ini berdasarkan
kenyataan bahwa pada penderita DBD terjadi penurunan aktivitas
sistem komplemen yang ditandai dengan penurunan dari kadar C3, C4
dan C5. Disamping itu 48-72% penderita DBD terbentuk kompleks
imun antara IgG dengan virus Dengue, selanjutnya kompleks imun
tersebut dapat menempel pada trombosit, sel B, dan sel-sel dalam organ
tubuh lain. Terbentuknya kompleks imun tersebut akan mempengaruhi
aktivitas komponen sistem imun yang lain.
5) Teori mediator
Menurut teori mediator, makrofag yang terinfeksi virus Dengue
akan melepas berbagai mediator seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-12,
TNF dll. Diperkirakan mediator dan endotoksin bertanggung jawab atas
terjadinya syok septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler.
Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya
berselang beberapa hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat, akan
tetapi derajad kerusakan jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan
tidak cukup untuk menjadikan penyebab kematian dari infeksi virus
tersebut melainkan lebih disebabkan oleh gangguan metabolik.
Diketahui juga bahwa akibat dari replikasi virus di dalam sel mulai dari
terjadinya stres dari sel sampai kematian sel apoptotik, baik in vitro
maupun in vivo. Mekanisme pertahanan tubuh melalui apoptosis dan
aktivasi sel-sel fagosit dapat menimbulkan jejas jaringan lokal (local
tissue injury) atau ketidakseimbangan homeostasis dan selanjutnya
memicu efek yang lain.
Sistem HLA/MHC pada umumnya berperan dalam pengawasan
dan regulasi respons imun. Peran dalam regulasi respons imun berupa
proses pengenalan antigen, yang berlanjut pada proses aktivasi sistem
imun dan proses sitotoksisitas antigen berdasarkan ekspresi molekul
HLA/MHC kelas I (lokus A,B,C) dan kelas II (lokus D/DR,DQ,DP).
Penelitian membuktikan bahwa patogenesis DBD/DSS umumnya
disebabkan oleh disregulasi respon imunologik. Monosit/makrofag
yang terinfeksi virus Dengue akan mensekresi monokin yang berperan
dalam proses patogenesis dan gambaran klinis DBD/DSS.
Pada penelitian invitro dendritic Cell yang terinfeksi virus
dengue dapat mengekspresi antigen HLA B7-1, B7-2, HLA-DR,
CD11b dan CD83. Anehnya DC yang terinfeksi virus dengue ini
sanggup memproduksi TNF-α dan IFN-α, namun tidak mensekresi IL-6
dan IL-12. Oberholzer dkk, 2002, menjelaskan bahwa IL-10 dapat
menekan proliferasi sel T.Jadi IL-10 sebagai sitokin proinflamasi
tampaknya berperan dalam respons imun yang diperantarai limfosit
Th1, yang dikatakan berperan pada infeksi virus pada umumnya.
Pada infeksi fase akut terjadi penurunan dari populasi limfosit
CD2+ dan berbagai subsetnya CD4+ dan CD8+. Juga terjadi penurunan
respon proliferatif dari sel-sel mononuklear baik terhadap rangsangan
mitogen maupun antigen virus Dengue, sebaliknya pada fase
konvalesen respon proliferatif kembali normal.
Terjadi peningkatan konsentrasi IFN-α, TNF-α, IL-10 dan
reseptor TNF terlarut di dalam plasma pasien DBD/DSS. Peningkatan
TNF-α berkorelasi dengan manifestasi hemoragik, sedangkan kenaikan
IL-10 berhubungan dengan platelet decay. Disimpulkan bahwa pada
infeksi virus Dengue fase akut terjadi penekanan jumlah maupun fungsi
dari limfosit T, sedangkan sitokin proinflamasi TNF-α berperan penting
dalam severity dan patogenesis DBD/DSS, begitu juga meningkatnya
IL-10 akan menurunkan fungsi limfosit T dan fungsi trombosit.
Hipotesis tentang patogenesis DBD/DSS seperti antibody-
dependent enhancement, virus virulence, dan imunopatogenesis yang
diprakarsai oleh IFN-α/TNF-α dianggap belum cukup untuk menjawab
terjadinya trombositopenia dan hemokonsentrasi pada DBD/DSS.
Infeksi virus dengue akan mempengaruhi sistem imun tubuh
berupa perubahan dari rasio CD4/CD8, overproduksi dari sitokin dan
dapat menginfeksi sel-sel endotel dan hepatosit dengan akibat
terjadinya apoptosis serta disfungsi dari sel-sel tersebut.
Begitu juga sistem koagulasi dan fibrinolisis ikut teraktivasi
selama infeksi virus dengue. Gangguan terhadap respon imun tidak
hanya berupa gangguan dalam membersihkan virus dari dalam tubuh,
akan tetapi over produksi sitokin dapat mempengaruhi sel-sel endotel,
monosit dan hepatosit. Kerusakan trombosit akibat dari reaksi silang
otoantibodi anti-trombosit, karena overproduksi IL-6 yang berperan
besar dalam terbentuknya otoantibodi anti-trombosit dan anti-sel
endotel, serta meningkatnya level dari tPA dan defisiensi koagulasi.
Disimpulkan bahwa penyebab dari kebocoran plasma yang khas
terjadi pada pasien DBD dan DSS disebabkan oleh kerja bersama
seperti suatu konser dari aktivasi komplemen, induksi kemokin dan
kematian sel apoptotik. Dihipotesiskan bahwa peningkatan sintesis IL-8
memegang peran penting dalam terjadinya kebocoran plasma pada
pasien DBD dan DSS. Hal ini dapat dilihat dalam serum pasien
DBD/DSS berat terjadi peningkatan level IL-8. Secara in vitro melalui
kultur primer dari monosit manusia yang diinfeksi dengan virus dengue
tipe 2, terjadi peningkatan level IL-8 dalam supernatan kultur, yang
diperkirakan karena terjadi peningkatan aktivasi dari NF-kappa B.
Penelitian terhadap anak di Vietnam dengan DBD dan DSS
menyebutkan bahwa pada anak dengan DSS, level IL-6 dan soluble
intercellular adhesion molecule-1 rendah. Hal ini merefleksikan adanya
kehilangan protein dalam sirkulasi karena kebocoran kapiler dan hanya
level dari reseptor TNF terlarut (TNFR) yang meninggi seiring dengan
beratnya penyakit.
Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya
limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang
pada fase syok akan meningkat.
Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya
dimulai pada hari ke-3 demam.
Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-
Dimer, atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan
atau kelainan pembekuan darah.
Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran
plasma.
SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.
Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi): bila akan
diberikan transfusi darah atau komponen darah.
Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap
dengue.
IgM: terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari.
IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada
infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
Uji III: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat
pulang dari perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan
surveilans.7
b. Pemeriksaan radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks
kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat
dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada
sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi
badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi
dengan pemeriksaan USG.7
2.9. Penatalaksanaan
DBD dengan renjatan8
Prinsip pengobatan meliputi: atasi segera hipovolemi, lanjutkan
penggantian cairan yang masih terus keluar dari pembuluh darah selama
12-24 jam , atau paling lama 48 jam, koreksi keseimbangan asam-basa,
beri darah segar bila ada perdarahan hebat.
1. Mengatasi renjatan.
Sebaiknya diberikan cairan kristaloid yang isotonis atau yang
sedikit hipertonis. Cairan yang dapat dipakai: Ringer Laktat (RL);
Glukose 5% dalam half strength NACL 0,9%; RL-D5, dibuat dengan
menambahkan 6,25 cc RL dengan 6,25 cc D40%; atau NaCl 0,9% :
D10 ditambahkan Natrium bikarbonas 7,5% sebanyak 2 cc/kgBB.
Plasma/plasma ekspander. Diperlukan pada penderita renjatan
berat atau bila tidak segera mengalami perbaikan dengan cairan
kristaloid diatas. Bila dapat cepat disiapkan, diberikan sebagai
pengganti cairan pertama lalu setelah itu cairan pertama dilanjutkan
lagi. Bila setelah pemberian cairan pertama nilai hematokrit masih
tinggi dan hitung trombosit masih rendah. Dosis 10-20 cc/kgBB dalam
1-2 jam. Bila nadi/tekanan darah masih jelek atau Ht masih tinggi,
dapat ditambahkan plasma 10 cc/kgBB setiap jam sampai total 40
cc/kgBB. Yang digunakan seperti Plasbumin (Human albumin 25%),
Plasmanate (plasma protein fraction 5%), plasmafuchsin, Dekstran L40.
Dosis/kecepatan pemberian cairan kristaloid. Dosis yang biasa
diberikan ialah 20-40 cc/kgBB diberikan secepat mungkin dalam 1-2
jam. Untuk renjatan yang tidak berat, cairan diberikan dengan
kecepatan 20 cc/kgBB/jam dan dapat diulang hingga 2 kali, bahkan bila
vena kolaps dimana pemberian yang diharapkan tidak dapat dicapai,
maka dapat diberikan dengan semprit secara cepat sebanyak 100-200
cc. Untuk menentukan guyur tidaknya pemberian cairan, maka
dilakukan pengukuran central venous pressure (CVP/JVP) dengan
pemasangan kateter vena sentralis biasanya pada v. Basilica lengan kiri
atau kanan, apabila nilai kurang dari 5 maka cairan diguyur sampai
nilai=5 dan dipertahankan antara 5-8 cm H20.
2. Cairan maintenance
Jenis cairan yang dapat diberikan:
D5/10 : NaCl 0,9 = 3:1, untuk anak besar dan anak bayi 4:1
D5 dalam NaCl 0,225 , kedalam cairan ini ditambahkan KCl 10
mEq, Vitamin B komplek dan vitamin C secukupnya.
D5/10 + KCl 10 mEq/botol, bila kadar natrium dan klorida dalam
serum tinggi.
NaCl 0,9 : D10 aa
⅔ cairan kristaloid + ⅓ cairan plasma ekspander
Atau cairan rekomendasi dari WHO, berupa:
Ringer laktat (RL), atau dekstrosa 5% dalam ringer laktat (D5/RL)
Ringer asetat (RA), atau dekstrosa 5% dalalm ringer asetat
(D5/RA)
NaCL 0,9% (garam faali=GF), atau dekstrosa 5% dalam garam
faali (D5/GF)
3. Kecepatan/Dosis cairan maintenance
Setelah renjatan teratasi dan penderita mulai masuk kedalam
stadium penyembuhan, maka pemberian cairan hendaknya dilakukan
secara hati-hati karena dapat terjadi hipervolemia, hal ini karena cairan
yang terdapat di ruang ekstravaskular mulai direabsorbsi kedalam
vascular. Dosis yang sering digunakan ialah 100-150 ml/kgBB/24 jam.
4. Tranfusi darah
Sebaiknya darah segar; pada perdarahan hebat baik hematemesis,
melena atau epistaksis yang memerlukan tamponade; bila setelah 24-48
jam setelah pengobatan renjatan anak jatuh ke dalam renjatan lagi
walaupun belum terlihat perdarahan; pada kadar hematokrit yang
rendah (< 35-40%) tetapi anak masih syok; Dosis 10-20 ml/kgBB,
dapat ditambah bila perdarahan berlangsung terus2. Pada perdarahan
gastrointestinal hebat (kadang dapat diduga dari menurunnya Hb dan Ht
sedang perdarahan sendiri tidak kelihatan).
5. Obat-obatan
Antibiotik. Diberikan bila prolonged shock, ada infeksi sekunder,
sebagai profilaksis. Dapat digunakan : Ampisilin 400-800
mg/kgBB/hari IV atau Gentamisin 2 x 5mg/kgBB/hari IV.
Antivirus. Seperti isoprinosin. Masih kontroversial, mungkin
bermanfaat pada stadium dini.
Heparin diberikan pada penderita prolonged shock dimana DIC
diduga sebagai penyebab perdarahan (penurunan trombosit <
75000/mm³ dan fibrinogen < 100mg%), dosis 0,5 mg/kgBB IV tiap 4-6
jam. Sedang menurut Sumarmo (1981) pemakaian heparin kurang
mengesankan.
Dipyridamol dan asetosal. Maksud pemberian obat ini adalah
untuk mencegah adhesi dan agregasi trombosit dalam kapiler, pula
mencegah permulaan terjadinya DIC. Sumarmo (1983) tidak
menganjurkan pemakaian asetosal pada penderita dengan
kecenderungan perdarahan.
Carbazochrom Sodium Sulfonat (AC 17). Beberapa peneliti
menggunakan obat ini pada penderita DSS yang disertai dengan
perdarahan saluran cerna yang hebat. Cara kerja obat ini adalah
menekan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, memiliki aktivitas
plasma ekspander, mempersingkat waktu perdarahan. Funahara dkk.
(1986) serta Sugiyanto dkk. (1987) memberikan preparat ini dengan
cara berikut:
Hari I : suntikan 25 mg IV dilanjutkan infus secara kontinyu
dengan dosis 300 mg/hari dalam larutan RL selama 24 jam.
Hari II : infus AC 17 dengan dosis 3 x 100 mg/hari
Hari III : infus dengan dosis 3 x 50 mg/hari
Hari IV : pemberian obat dihentikan.
Ternyata efektivitas cukup memuaskan dengan menekan
kebocoran plasma dan mengurangi perdarahan. Sedangkan Sachro
dkk.(1987) di Semarang tidak mendapat perbedaan yang bermakna
antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
Dopamin. Dipertimbangkan pada penderita DSS dengan renjatan
yang belum dapat teratasi, walau telah diberikan cairan yang adekuat.
Dosis 5-10 mcg/kgBB/menit IV setiap 4-6 jam.
Sedativa dan antikonvulsan. Diberikan pada penderita DSS yang
amat gelisah dan kejang. Dapat diberikan Diazepam 0,3-0,5
mg/kgBB/dosis IV atau Klorhidrat 12,5-50 mg/kgBB Oral atau Rektal
hanya satu kali (dosis maksimal 1 gr).
Antasida. Dipertimbangkan pemberiannya pada penderita DSS
dengan muntah-muntah hebat dan nyeri epigastrium yang tidak jelas
dan disebabkan oleh pembesaran hati yang progresif.
Diuretika. Furosemida diberikan dengan dosis 1 mg/kgBB/x, 1 x
sehari bila ada tanda/gejala overhidrasi.
Digitalisasi cepat dapat diberikan pada penderita dengan
gejala/tanda kegagalan jantung. Dosis 0,03 mg/kgBB untuk hari I.
6. Observasi penderita
Pengawasan dan pemantauan ketat merupakan hal terpenting untuk
mencapai keberhasilan.meliputi :
keadaan umum, tanda-tanda perdarahan (luar maupun organ
dalam), rasa lemas, keringat dingin, kesadaran.
TTV dipantau tiap jam dengan chart
Abdomen : hepatomegali, awasi nyeri epigastrium (awal syok)
Organ lain: jantung (takikardi supraventikular), paru (efusi pleura,
pernafasan kussmaul, edema paru akibat overhidrasi)
Urin tampung untuk memantau perbaikan perfusi ginjal
(keberhasilan therapy)
Laboratorium: Ht setiap 2 jam selama keadaan masih gawat, makin
jarang sampai 1 atau 2 kali per 24 jam bila keadaan membaik.
Trombosit bila perlu tiap 6 jam, minimal setiap hari. Plasma
protein (bila bisa) untuk menentukan keperluan pemberian plasma.
Kemungkinan DIC: masa perdarahan, masa pembekuan,
trombositopeni, morfologi eritrosit (burr cell, fragmentosit, helmet
cell), bila ada perdarahan merembes.
(BAGAN TERLAMPIR)
Keterangan gambar :
1. Segera beri infus kristaloid (Ringer Laktat atau NaCl 0,9% ) 20 ml/kgBB
secepatnya( diberikan dalam lobus selama 30 menit) dan oksigen 2
liter/menit. Untuk DSS berat (DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi
tidak terukur, diberikan ringer laktat 20 mg/kgBB bersama koloid).
Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4-6
jam. Periksa elektrolit dan gula darah.
2. Apabila dalam waktu 3 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat
belum dilanjutkan 20 ml/kgBB, ditambah plasma (fresh frozen plasma)
atau koloid (dekstran 40) sebanyak 10-20 ml/kgBB, maksimal 30
ml/kgBB (koloid diberikan pada jalur infus yang sama dengan kristaloid,
diberikan secepatnya. Observasi keadaan umum, tekanan darah,keadaan
nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam. Kotreksi
asidosis,elektrolit dan gula darah.
2.10. Prognosis
Tergantung dari beberapa faktor seperti, lama dan beratnya
renjatan, waktu, metode, adekuat tidaknya penanganan; ada tidaknya
rekuren syok yang terjadi terutama dalam 6 jam pertama pemberian infus
dimulai, panas selama renjatan, tanda-tanda serebral.8
2.11. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi berupa syok ringan/berat, syok
berulang, kegagalan pernafasan akibat edema paru atau kolaps paru, efusi
pleura, asites, ensefalopati dengue, kegagalan jantung, sepsis.8
BAB III
ANALISIS MASALAH