Anda di halaman 1dari 29

GASTROESOPHAGEAL

REFLUX DISEASE

Oleh :
Sari Marlina Sudin (18710065)

Pembimbing :
dr.Trinandika Ardhana, Sp.JP

SMF ILMU PENYAKIT JANTUNG


RSUD dr. MOHAMAD SALEH PROBOLINGGO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
SURABAYA
2020

i
BAB I

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau penyakit refluks esophagus


(PGRE) merupakan suatu keadaan dimana terjadinya refluks isi lambung ke dalam
esofagus dengan akibat menimbulkan gejala klinik, Refluks dapat terjadi dalam
keadaan normal yang biasanya berhubungan dengan kondisi tertentu, seperti posisi
berbaring setelah makan, pada saat muntah. Bila terjadi refluks, esofagus akan segera
berkontraksi untuk membersihkan lumen dari refluksat tersebut sehingga tidak terjadi
suatu kontak yang lama antara refluksat dan mukosa esofagus.1,2
Penyakit ini frekuensinya cukup tinggi di negara maju. Di Indonesia sendiri
kasus GERD ini belum ada data epidemiologinya, namun kasus Penyakit ini
seringkali tidak terdiagnosis sebelum menimbulkan keluhan yang berat. 3,4
Penyebab GERD pada populasi ras kulit putih lebih tinggi dibanding dengan
ras yang lainnya dan dari segi geografis dijumpai bervariasi antar negara dan benua,
di benua Afrika dan Asia prevalensinya sangat rendah sedangkan di Amerika utara
dan Eropa rasionya tinggi. Peluang pada pria dan wanita yaitu dengan rasio laki-laki
dan wanita untuk terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:15,6
Di Amerika serikat, dijumpai simptom heart burn pada individu dewasa muda
terjadi 14% setiap minggunya, sedangkan di Jepang dan Philipina adalah 7,2% dan
7,1%. Di negara barat sekitar 20-40% setiap individu pernah mengalami simptom
heart burn yang berkembang menjadi: esofagitis 25-25%, 12% jadi Barret’s esofagus
dan 46% adenokarsinoma. Sedangkan laporan kekerapan di Indonesia sampai saat ini
masih rendah, hal ini diduga karena kurangnya perhatian kita terhadap penyakit ini
pada tahap awal proses diagnosis.5,6

1
BAB II

2.1. Definisi
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesofageal refluks disease / GERD )
adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke
dalam esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus,
faring, laring dan saluran nafas.4,7
Refluks gastroesofageal adalah fenomena biasa yang dapat timbul pada
setiap orang sewaktu-waktu, pada orang normal refluks ini terjadi pada posisi
tegak sewaktu habis makan, karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya
kontraksi peristaltik primer, isi lambung yang mengalir ke esofagus segera
kembali ke lambung, refluks sejenak ini tidak merusak mukosa esofagus dan tidak
menimbulkan keluhan. Keadaan ini dikatakan patologis bila refluks terjadi
berulang-ulang dan dalam waktu yang lama. 8

2.2. Epidemiologi
Penyakit ini umumnya ditemukan pada populasi negara–negara barat,
namun dilaporkan relatif rendah insidennya di negara Asia - Afrika. Di amerika di
laporkan satu dari lima orang dewasa mengalami gejala heartburn atau
regurgutasi sekali dalam seminggu serta lebih dari 40 % mengalaminya sekali
dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di amerika sekitar 7%, sementara negara non-
western prevalensinya lebih rendah (1,5% di China dan 2,7% di Korea).
Sementara di Indonesia belum ada data epidemiologinya mengenai penyakit ini,
namun di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-
RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak
22,8% dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi
dyspepsia.4
GERD dapat diderita oleh laki-laki dan perempuan. Rasio laki-laki dan
wanita untuk terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:1(4). GERD pada negara
berkembang sangat dipengaruhi oleh usia, usia dewasa antara 60-70 tahun
merupakan usia yang seringkali mengalami GERD. 4,9

2
2.3. Anatomi dan Fisiologi
a. Faring
Faring atau pharynx berasal dari bahasa yunani yang berarti tenggorok.
Faring digunakan sebagai saluran alat pernafasan. Pada manusia faring juga
digunakan sebagai alat artikulasi bunyi. Berdasarkan letaknya faring dibagi
menjadi Nasofaring, Orofaring dan Laringofaring. Fungsi faring yang utama
adalah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi suara dan artikulasi.
Dan yang bagian faring yang digunakan saat menelan adalah orofaring dan
laringofaring.

b. Esophagus
Esofagus atau kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada
vertebrata yang dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam
lambung. Makanan berjalan melalui esofagus dengan menggunakan proses
peristaltik.
Esofagus bertemu dengan faring – yang menghubungkan esofagus
dengan rongga mulut pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut histologi,
esofagus dibagi menjadi tiga bagian: bagian superior (sebagian besar adalah
otot rangka), bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus), serta
bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus).
3
Esofagus merupakan suatu organ berongga dengan panajang sekitar 25
cm dan diameter 2 cm. Terbentang dari hipofaring atao laringofaring hingga
bagian kardia dari lambung. Esofagus terletak posterior dari trakea dan
jantung, anterior terhadap vertebrae. Esofagus terutama befungsi
menghantarkan bahan makanan dari faring ke lambung.

Pada Esofagus terdapat beberapa tempat penyempitan yang dapat


dilihat pada saat dilakukan esofagoskopi. Penyempitan di bagian proksimal
disebabkan oleh otot krikofaring dan kartilago krikoid. Diameter transversal
23 milimeter dan antero-posterior 17 milimeter.3
Penyempitan kedua adalah pada sebelah kiri setinggi arkus aorta yang
mentilang esofagus. Didaerah ini dapat terlihat pulsasi aorta saat di lakukan
esofagoskopi. Penyempitan ketiga adalah pada dinding anterior kiri yang
disebabkan oleh penekanan bronkus kiri. Dan penyempitan keempat adalah
pada saat esofagus menembus diafragma.3

4
Pada kedua ujung esofagus terdapat sfingter. Dalam keadaan normal
berada dalam keadaan tonik atau kontraksi kecuali pada saat menelan. SEB
(Sfingter esofagus bawah) berfungsi sebagai sawar terhadap refluks isi
lambung ke esofagus. Dalam keadaan normal SEB menutup kecuali bila
makanan masuk ke dalam lambung atau waktu bersendawa atau muntah.
Dinding esofagus terdiri dari 4 lapisan, mukosa, submukosa,
muskularis dan lapisan luar. Mukosa esofagus terbentuk dari epitel berlapis
gepeng bertingkat yang berlanjut ke faring, epitel ini mengalami perubahan
pada perbatasan esofagus dan lambung dan menjadi epitel selapis toraks.
Mukosa esofagus dalam keadaan normal bersifat alkalis dan tidak tahan
terhadap isi lambung yang asam. Lapisan submukosa mengandung sel
sekretorius yang mengandung mukus. Mukus ini mempermudah jalannya
makanan sewaktu menelan dan melindungi mukosa dari cedera kimia.
Lapisan otot luar tersusun longitudinal dan lapisan dalam tersusun
sirkular. Otot pada 5 % bagian atas esofagus merupakan otot rangka
sedangkan pada separuh bagian bawahnya merupakan otot polos. Dan
diantaranya campuran otot polos dan otot rangka. Bagian luar esofagus tidak
memiliki lapisan serosa, melainkan terdiri dari lapisan jaringan ikat jarang
yang menghubungkan esofagus dengan struktur yang berdekatan. Tidak
adanya serosa menyebabkan penyebaran sel tumor lebih cepat.
Persyarafan esofagus dilakukan oleh saraf simpatis dan parasimpatis.
Serabut simpatis dibawa oleh n.vagus yang merupakan saraf motorik esofagus.
Fungsi serabut simpatis kurang diketahui. Selain persarafn ekstrinsik tersebut,
terdapat serabut saraf intramural intrinsik diantara lapisan otot sirkular dan
otot longitudinal (pleksus auerbach) yang berfungsi sebagai mengatur
peristaltik normal esofagus.
Bagian atas esofagus diperdarahi oleh cabang A. tiroidea inferior dan
A. subklavia. Bagian tengah dipendarahai oleh cabang segmental aorta dan A.
Bronchiale, sedangkan bagian subdiafragma disuplai oleh A. Gastrica sinistra.
Vena esofagus daerah leher mengalirkan darah ke v. azygos dan hemiazygos
dan dibawah diafragma V. esofagika ke dalam V. gastrika sinistra.

5
c. Menelan
Terdapat tiga fase dalam menelan yaitu fase oral, fase faringeal, dan
fase esofageal. Pada fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring.
Gerakan disini disengaja atau volunter. Fase faringeal yaitu pada waktu
transport bolus makanan melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja, yaitu
pada waktu bolus makanan bergerak secara peristaltik di esofagus menuju
lambung atau fase esofageal.

 Fase Oral
Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan
bercampur dengan yang telah dikunyah membentuk bolus makanan. Bolus ini
bergerak dari rongga mulut melalui dorsum lidah, terletak di tengah lidah
akibat kontraksi otot intrinsik lidah.7

6
Kontraksi dari m.levator veli palatini mengakibatkan rongga pada
lekukan dorsum lidah diperluas, palatum mole terangkat dan bagian atas
dinding posterior faring ternagkat pula. Bolus terdorong ke posterior karena
lidah terangkat keatas. Berasamaan dengan ini terjadi penutupannasofaring
sebagai akibat dari kontraksi m.levator veli palatini. Selanjutnya terjadi
kontraksi m.palatofaring, sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke
rongga mulut.
 Fase Faringeal
Fase ini terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu perpidahan
bolus makanan dari faring ke esofagus.
Faring dan laring bergerak keatas oleh kontraksi m.stilofaring,
m.salfingofaring, m.tirohioid, dan m.palatofaring. Aditus laring tertutup oleh
epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika ariepiglotika, plika
ventrikularis dan pika vokalis tertutup karena kontraksi dari m.ariepiglotika
dan m.aritenoid obliquus. Bersamaan dengan ini terjadi juga penghentian
udara ke laring karena refleks yang menghambat pernapasan, sehingga bolus
makanan tidak akan sampai masuk ke dalam saluran nafas. Selanjutnya bolus
makanan akan meluncur ke arah eofagus, karena valekula dan sinus piriformis
sudah dalam keadaan lurus.7
 Fase Esofageal
Dalam keadaan istirahat introitus esofagus tertutup, namun dengan
adanya rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringeal, maka terjadi
relaksasi m.krikofaring, sehingga introitus esofagus terbuka dan bolus
makanan bisa masuk.7
Setelah bolus lewat, maka SEA akan berkontraksi lebih kuat melebihi
tonus introitus esofagus saat istirtahat, sehingga makanan tidak akan kembali
ke faring. Dengan demikian refluks dapat dihindari.7
Gerak bolus makanan di esofagus bagian atas masih dipengaruhi oleh
kontraksi m.konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya
bolus makanan akan didorong ke distal oleh peristaltik esofagus.7
Dalam keadaan istirahat sfingter esofagus bagian bawah selalu tertutup
dengan tekanan rata2 8 mmHg lebih dri tekanan dalam lambung sehingga
tidak akan terjadi regurgitasi. Pada akhir fase esofageal, SEB ini akan terbuka

7
secara refleks ketika dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk
mendorong makanan ke distal. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat,
maka sfingter ini akan menutup kembali.7

2.4. Etiologi
Refluks gastroesofageal terjadi sebagai konsekuensi berbagai kelainan
fisiologi dan anatomi yang berperan dalam mekanisme antirefluks di lambung dan
esofagus. Mekanisme patofisiologis meliputi relaksasi transien dan tonus Lower
Esophageal Sphincter (LES) yang menurun, gangguan clearance esofagus,
resistensi mukosa yang menurun dan jenis reluksat dari lambung dan duodenum,
baik asam lambung maupun bahan-bahan agresif lain seperti pepsin, tripsin, dan
cairan empedu serta faktor-faktor pengosongan lambung. Asam lambung
merupakan salah satu faktor utama etiologi penyakit refluks esofageal, kontak
asam lambung yang lama dapat mengakibatkan kematian sel, nekrosis, dan
kerusakan mukosa pada pasien GERD.
Ada 4 faktor penting yang memegang peran untuk terjadinya GERD 5:
1. Rintangan Anti-refluks (Anti Refluks Barrier)
Kontraksi tonus Lower Esofageal Sphincter (LES) memegang peranan
penting untuk mencegah terjadinya GERD, tekanan LES < 6 mmHg hampir
selalu disertai GERD yang cukup berarti, namun refluks bisa saja terjadi pada
tekanan LES yang normal, ini dinamakan inappropriate atau transient
sphincter relaxation, yaitu pengendoran sfingter yang terjadi di luar proses
menelan. Akhir-akhir ini dikemukakan bahwa radang kardia oleh infeksi
kuman Helicobacter pylori mempengaruhi faal LES denagn akibat
memperberat keadaan.Faktor hormonal, makanan berlemak, juga
menyebabkan turunnya tonus LES.5
2. Mekanisme pembersihan esofagus
Pada keadaan normal bersih diri esofagus terdiri dari 4 macam
mekanisme, yaitu gaya gravitasi, peristaltik, salivasi dan pembentukan
bikarbonat intrinsik oleh esofagus. Proses membersihkan esofagus dari asam
(esophageal acid clearance) ini sesungguhnya berlangsung dalam 2 tahap.
Mula-mula peristaltik esofagus primer yang timbul pada waktu menelan
dengan cepat mengosongkan isi esofagus, kemudian air liur yang alkalis dan
8
dibentuk sebanyak 0,5 mL/menit serta bikarbonat yang dibentuk oleh mukosa
esofagus sendiri, menetralisasi asam yang masih tersisa. Sebagian besar asam
yang masuk esofagus akan turun kembali ke lambung oleh karena gaya
gravitasi dan peristaltik. Refluks yang terjadi pada malam hari waktu tidur
paling merugikan oleh karena dalam posisi tidur gaya gravitasi tidak
membantu, salivasi dan proses menelan boleh dikatakan terhenti dan oleh
karena itu peristaltik primer dan saliva tidak berfungsi untuk proses
pembersihan asam di esofagus. Selanjutnya kehadiran hernia hiatal juga
menggangu proses pembersihan tersebut.5
3. Daya perusak bahan refluks
Asam pepsin dan mungkin juga empedu yang ada dalam cairan refluks
mempunyai daya perusak terhadap mukosa esofagus. Beberapa jenis makanan
tertentu seperti air jeruk nipis, tomat dan kopi menambah keluhan pada pasien
GERD.5
4. Isi lambung dan pengosongannya
Reluks gastroesofagus lebih sering terjadi sewaktu habis makan dari
pada keadaan puasa, oleh karena isi lambung merupakan faktor penentu
terjadinya refluks. Lebih banyak isi lambung lebih sering terjadi refluks.
Selanjutnya pengosongan lambung yang lamban akan menambah
kemungkinan refluks tadi.5
Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis
dapat terjadi sebagai akibat dari refluks gastroesofageal apabila1:
1. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat
dengan mukosa esofagus
2. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu
kontak antara bahan refluksat dengan esofagus tidak lama.

2.5. Patofisiologi
Penyakit GERD bersifat multifactorial.3,4 GERD dapat merupakan gangguan
fungsional (90%) dan gangguan struktural (10%).7 Gangguan fungsional lebih
pada disfungsi SEB dan gangguan struktural pada kerusakan mukosa esophagus.7
Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari GERD apabila terjadi kontak yang
cukup lama dengan bahan yang refluksat dengan mukosa esofagus. Selain itu juga
9
akibat dari resistensi yang menurun pada jaringan mukosa esofagus walaupun
kontak dengan refluksat tidak terlalu lama.4 Selain itu penurunan tekanan otot
sfingter esofagus bawah oleh karena coklat, obat-obatan, kehamilan dan alkohol
juga ditengarai sebagai penyebab terjadinya refluks.3
Esofagus dan gaster terpisah oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan
oleh kontraksi Sfingter esofagus bawah. Pada orang normal, pemisah ini akan
dipertahankan, kecuali pada saat terjadinya aliran antergrard (menelan) atau
retrogard (muntah atau sendawa).4
Aliran balik gaster ke esofagus hanya terjadi bila terdapat hipotoni atau atoni
sfingter esofagus bawah.3,4 Beberapa keadaan seperti obesitas dan pengosongan
lambung yang terlambat dapat menyebabkan hipotoni pada sfingter esofagus
bawah.3 Tonus SEB dikatakan rendah bila berada pada < 3 mmHg.4 Sedangkan
pada orang normal 25-35 mmHg.7
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan
hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus
bawah dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan
intraabdominal atau sebab lainnya sehingga terbentuk rongga diantara esofagus
dan lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika
isi lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas
berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap berada di esofagus dan peristaltik
akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi
sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke
faring, laring, mulut atau nasofaring.3
Refluks yang terjadi pada pasien penderita GERD melalui 3 mekanisme.4
1. Refluks spontan pada saat relaksasi SEB yang tidak adekuat,
2. Aliran retrogard yang mendahului kembalinya tonus SEB setelah menelan,
3. Meningkatnya tekanan intraabdomen.
Dengan begitu dapat diakatakan bahwa patogenesis terjadinya refluks
menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif
dari bahan refluksat.4 Yang termasuk faktor defensif dari refluks adalah:

10
Pemisah antirefluks.
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus dari SEB. Meurunnya
tonus SEB dapat menyebabkan timbulnya refluks retrogard pada saat terjadi
peningkatan tekanan intraabdomen.4
Sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki tonus SEB yang normal.
Yang dapat menurunkan tonus SEB antara lain :3,4
1. Adanya hiatus hernia
2. Panjang SEB. Semakin pendek semakin rendah tonusnya.
3. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan
lain-lain.
4. Kehamilan. Karena terjadi peningkatan progesteron yang dapat
menurunkan tonus SEB
5. Makanan berlemak dan alkohol.
Dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa
pada kasus GERD dengan tonus normal pada SEB lebih banyak disebabkan oleh
terjadinya transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi SEB yang bersifat
spontan dan berlangsung kurang lebih 5 detik tanpa didahului proses menelan.
Belum jelas diketahui bagaimana mekanisme terjadinya TLESR. Tetapi pada
beberapa individu diketahui adanya kaitan dengan keterlambatan pengosongan
lambung dan dilatasi lambung.3,4

Peranan Hiatus hernia pada patogenesis GERD masih kontroversi, karena


banyak pasien GERD yang pada endoskopik didapatkan hiatus hernia tidak
menampakan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang

11
waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus serta menurunkan
tonus SEB.4

Bersihan asam dari lumen esofagus


Faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi,
peristaltik, eksresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar
bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang
dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang
disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus4
Mekanisme bersihan asam ini sangat penting sebab, semakin lama waktu
bersihan maka semakin lama kontak mukosa lambung dengan refluksat, dan
makin besar pula kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD
memiliki waktu transit refluksat yang normal, sehingga penyebab terjadinya
refluks adalah peristaltik esofagus yang minimal4
Refluks pada malam hari lebih berpotensi meimbulkan kerusakan pada
esofagus, karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak
aktif4

Ketahanan Epitelial Esofagus.


Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan
mukus untuk melindungi mukosa esofagus4
Mekanisme ketahanan epitelial esofagus terdiri dari4 :
1. Membran sel
2. Intraseluler junction yang membatasi difusi H+ ke jaringan esofagus.
3. Aliran darah esofagus yang menyuplai nutrisi, oksigen dan bikarbonat,
serta mengeluarkan ion H+ dan CO2
4. Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H+ dan
Cl- intrasel dengan Na+ dan bikarbonat ekstrasel.

Nikotin dari rokok menyebabkan transport ion Na+ melalui epitel


esofagus. Sedangkan alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel
terhadap ion H. Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak
refluksat. Kandungan lambung yang juga ikut berpengaruh dalam kerusakan

12
mukosa gaster (menambah daya rusak refluksat) antar lain HCl, pepsin, garam
empedu, enzim pancreas.4
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang
dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada Ph < 2,
atau adanya pepsin dan garam empedu. Namun efek asam menjadi yang paling
memiliki daya rusak tinggi.4
Faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah
kelainan lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain :
dialatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan lambatnya pengosongan
lambung. Sedangkan peranan Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD
relatif kecil dan tidak banyak didukung oleh data yang. 4
Lambatnya pengosongan lambung ditengarai juga menjadi penyebab
GERD. Pada kondisi pengosongan lambung yang lambat, maka isi dari
lambungpun juga banyak. Hal ini berakibat meningkatnya tekanan intragaster.
Tekanan intragaster yang meningkat ini akan berlawanan dengan kerja dari SEB.
Pada keadaan ini, biasanya SEB akan kalah oleh tekanan intragaster dan terjadilah
refluks.9

13
Peran Sfingter Atas Esofagus
SEA merupakan pertahanan akhir untuk mencegah refluksat masuk ke
larinofaring. Studi menyatakan bahwa tonus SEA yang meninggi sebagai reaksi
terhadap refluksat menimbulkan distensi pada esofagus. Relaksasi pada SEA
menyebabkan terjadinya pajanan asam ke faring atau laring.10

Patofisiologi Refluks Ekstraesofagus(7)


Dua mekanisme dianggap sebagai penyebab Refluks ekstraesofagus.
Mekanisme tersebut antara lain.
1. Kontak langsung refluksat (asam lambung dan pepsin) ke esofagus
proximal dan SEA yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring, laring
dan paru.
2. Pajanan esofagus distal akan merangsang vagal refleks yang
menyebabakan spasme bonkus, batuk, sering meludah dan menyebabkan
inflamasi pada faring dan laring.

2.6. Manifestasi Klinik


Heart burn merupakan gejala khas dari GERD yang paling sering
5,11
dikeluhkan oleh penderita Heart burn adalah sensasi nyeri esofagus yang
sifatnya panas membakar atau mengiris dan umumnya timbul dibelakang bawah
ujung sternum. Penjalarannya umunya keatas hingga kerahang bawah dan ke
epigastrium, punggung belakang bahkan kelengan kiri yang menyerupai pada
angina pektoris. Timbulnya keluhan ini akibat ransangan kemoreseptor pada
mukosa. Rasa terbakar tersebut disertai dengan sendawa, mulut terasa masam dan
pahit dan merasa cepat kenyang. Keluhan heart burn dapat diperburuk oleh posisi
membungkuk kedepan berbaring terlentang dan berbaring setelah makan.
Keadaan ini dapat ditanggulangi terutama dengan pemberian antasida.7

14
Refluks yang sangat kuat dapat memunculkan regurgitasi yang berupa bahan yang
terkandung dari esofagus dan lambung yang sampai kerongga mulut. Bahan
regurgitasi yang terasa asam atau sengit dimulut merupakan gambaran sudah
terjadinya GERD yang berat dan dihubungkan dengan inkompetensi sfingter
bagian atas dan LES. Regurgitasi dapat mengakibatkan aspirasi laringeal, batuk
yang terus-menerus, keadaan tercekik waktu bangun dari tidur dan aspirasi
pneumoni. Peningkatan tekanan intraabdomal yang timbul karena posisi
membungkuk, cekukan dan bergerak cepat dapat memprovokasi terjadinya
regurgitasi.7
Regurgitasi yang berat dapat dihubungkan dengan gejala-gejala berupa serangan
tercekik, batuk kering, mengi, suara serak,mulut rasa bauk pada pagi hari, sesak
nafas, karies gigi dan aspirasi hidung. Beberapa pasien mengeluh sering terbangun
dari tidur karena rasa tercekik, batuk yang kuat tapi jarang menghasilkan sputum.6
Disfagia (kesulitan dalam menelan) yaitu suatu gangguan transport aktip
bahan yang dimakan, merupakan keluhan utama yang dijumpai pada penyakit
faring dan esofagus. Disfagia dapat terjadi pada gangguan non esofagus yang
merupakan akibat dari penyakit otot dan neurologis. Disfagia esofagus mungkin
dapat bersifat obstruktif atau motorik. Obstruksi disebabkan oleh striktur
esofagus, tumor intrinsik atau ekstrinsik esofagus yang mengakibatkan
penyempitan lumen. Penyebab gangguan motorik pada disfagia berupa gangguan
motilitas dari esofagus atau akibat disfungsi sfingter bagian atas dan bawah.
Gangguan motorik yang sering menimbulkan disfagia adalah akalasia,
skleroderma dan spasme esofagus yang difus.5,6
GERD juga dapat berakibat manifestasi klinis non esofagus yang atipik
seperti laringitis, suara serak, batuk karena aspirasi sampai timbul asma3.
Manifestasi non esofagus pada GERD dapat disimpulkan antara lain gangguan
pada Paru (Astma, pneumonia aspirasi), Suara (Laringitis), Telinga (Otitis media),
Gigi (Enamel decay).6 Di lain pihak, penyakit paru juga dapat memicu timbulnya
GERD oleh karena penatalaksanaan berupa obat yang dapat menurunkan tonus
SEB. Misalnya theofilin.

15
2.7. Diagnosis
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa
pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
GERD, yaitu :

Endoskopi saluran cerna bagian atas


Pemeriksaan ini merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan
ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks).
Dengan endoskopik dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa
esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat
menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan muscosal break pada pasien
GERD dengan gejala yang khas, keadaan ini disebut non erosive reflux disease
(NERD).7
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang
dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi, dapat mengonfirmasi bahwa gejala
heartburn atau regurgutasi memang karena GERD.
Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrett’s
esophagus, displasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya
pemeriksaan histopatologi/biopsi pada NERD.4
Ada beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi
pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan Savary-Miller.

a. Klasifikasi Los Angeles4


Derajat kerusakan Endoskopi
A Erosi kecil pada mukosa esofagus dengan diameter <5
mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter
>5mm tanpa saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai atau
mengelilingi seuruh lumen
D Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial/
mengelilingi seluruh lumen esofagus.

16
b. Klasifikasi Savary-Miller12

GRADE Deskripsi endoskopi


I Erosi sebagian dari satu lipatan mukosa esofagus
II Erosi sebagian dari beberapa lipatan mukosa esofagus.
Erosi dapat bergabung
III Erosi meluas pada sirkumferesnsia esofageal
IV Ulkus, striktura dan pemendekan esofagus
V Barrett’s ephitelium

Esofagografi dengan Barium


Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali
tidak menunjukan kelainan terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan
yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan
mukosa, ulkus atau penyempitan lumen. Pada beberapa kasus, pemeriksaan
memiliki nilai lebih dari endoskopi, misal pada stenosis esofagus dan hiatus
henia.2,4
Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan
mikroelektroda pH pada bagian distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus
distal dapat memastika ada tidaknya refluks gastroesofageal. ph dibawah 4 pada
jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.3,4

Tes Bernstein
Tes ini ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal
dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu
kurang dari satu jam. Tes ini bersifat pelengkap dari pemantauan ph 24 jam pada
pasien dengan gejala yang tidka khas. Tes ini dianggap positif bila larutan ini
menimbulkan rasa nyeri dada pada pasien, sedangkan larutan NaCl tidak
menimbulkan nyeri. Hasil negatif tidak menutup kemungkinan adanya gangguan
pada esofagus4.

17
Pemeriksaan manometri
Tes ini akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien dengan gejala
nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan
endoskopi yang normal.3,4

Scintigrafi Gastroesofageal
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai pengosongan esofagus dengan
menggunakan cairan atau makanan yang dilabel dengan radioisotop (biasanya
technetium) dan bersifat non invasif. Selanjutnya sebuah penghitung gamma
eksternal akan memonitor transit dari cairan atau makanan yang dilabel tersebut.
Sensitivitas dan spesifisitas tes ini masih diragukan.3,4

Tes supresi asam


Pada dasarnya tes ini merupakan terapi empiris untuk menilai gejala dari
GERD. Dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil melihat
respon yang terjadi. Tes ini terutama dilakukan jika modalitas lainya seperti
endoskopi dan ph metri tidak tersedia. Tes ini dianggap positif jika terdapat
perbaikan dari 50&-75% gejala yang terjadi. Dewasa ini tes ini merupakan salah
satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD Pada pelayanan
kesehatan lini pertama pada pasien yang tidak memiliki alarm symptom (BB
turun, anemia, hematemesis, melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga
dengan keganasan esofagus atau lambung dan umur diatas 40 tahun.4

Diagnosis Refluks Ekstraesofagus


Diagnosis REE dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis terarah mengenai
riwayat penyakit GERD, pemeriksaan fisik, pemeriksaan hipofaring, laring dan
tes diagnosis. Memonitor ph 24 jam dengan double/trople probe pada esofagus
bagian atas (minimal 1 probe). Pemeriksaan laringoskopi fleksible fiberoptik,
videolaringoskopi, video stroboskopi dan laringoskopi kaku merupakan
pemeriksaan yang sensitif terhadap refluks ekstraesofagus.4

18
2.8. Komplikasi
Dengan penanganan yang tidak adekuat, beberapa komplikasi dapat terjadi
pada GERD. Komplikasi yang kerap terjadi pada GERD antara lain Esofagitis,
Striktura esofagus dan esofagus Barret7,9.
 Esofagitis
Merupakan peradangan pada mukosa esofagus, ini terdapat pada lebih dari
50% pasien GERD. Dapat menyebabkan ulkus pada daerah perbatasan antara
lambung dan esophagus.9
 Striktura Esofagus
Suatu penyempitan lumen oleh karena inflamasi yang timbul akibat
refluks.9 Hal ini ditimbulkan karena terbentuk jaringan parut pada
gastroesophageal junction. Striktur timbul pada 10-15% pasien esofagitis yang
bermanifestasi sulit menelan atau disfagia pada makanan padat. Seringkali
keluhan heartburn berkurang oleh karena striktura berperan sebagai barier
refluks. Biasanya striktur terjadi dengan diameter kurang dari 13 mm.
Komplikasi ini dapat diatasi dengan dilakukan dilatasi bougie, bila gagal dapat
dilakukan operasi.7
 Barrett’s Esophagus
Pada keadaan ini terjadi perubahan dimana epitel skuamosa berganti
menjadi epitel kolumnar metaplastik.9 Keadaan ini merupakan prekursor
Adenokarsinoma esophagus.11 Esofagus Barrett ini terjadi pada 10% pasien
GERD dan adenokarsinoma timbul pada 10% pasien dengan esofagus Barrett.
Gejala dari kelainan ini adalah gejala dari GERD yaitu heartburn dan
regurgutasi. Pada 1/3 kasus, gejala GERD tidak tampak atau minimal, hal ini
diduga karena sensitivitas epitel Barrett terhadap asam yang menurun.
Pada endoskopi kelainan ini dapat dikenaldengan mudah dengan
tampaknya segmen yang panjang dari epitel kolumnar yang berwarna
kemerahan meluas ke proksimal melampaui “gastroesophageal junction” dan
tampak kontras sekali dengan epitel skuamosa yang pucat dan mengkilat dari
esofagus. Penyakit ini dapat ditatalaksana dengan medikamentosa.7

19
2.9. Tatalaksana
Pada prinsipnya terapi GERD ini dibagi beberapa tahap, yaitu terapi
modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa dan terapi pembedahan serta akhir-
akhir ini mulai dipekenalkan terapi endoskopik.3,4,5
Target penatalaksanaan GERD ini antara lain, menyembuhkan lesi esofagus,
menghilangkan gejala, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan
mencegah timbulnya komplikasi.4,5.

Modifikasi gaya hidup


Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu penatalaksanaan GERD,namun
demikian bukan merupakan pengobatan primer(3). Usaha ini bertujuan untuk
mengurangi refluks serta mencegah kekambuhan.4,5
Hal yang perlu dilakukann dalam modifikasi gaya hidup antara lain3,4,5:
1. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur dan menghindari makan
sebelum tidur, dengan tujuan meningkatkan bersihan asam lambung
selama tidur serta mencegah refluks asam lambung ke esofagus.
2. Berhenti merokok dan mengonsumsi alkohol karena berpengaruh pada
tonus SEB.
3. Mengurangi konsumsi lemak dan mengurangi jumlah makanan yang di
makan karena dapat menimbulkan distensi lambung.
4. Menurunkan berat badan dan menghindari memakai pakaian ketat untuk
mengurangi tekanan intrabdomen.
5. Menghindari makanan dan minuman seperti coklat, tehm kopi dan
minuman soda karena dapat merangsang aam lambung.
6. Jika memugkinkan, hindari pemakaian obat yang dapat meningkatkan
menurunkan tonus SEB, antara lain antikolinergik, tefilin, diazepam,
antagonis kalsium, progesteron.
Modifikasi gaya hidup merupakan penatalaksanaan lini pertama bagi wanita
hamil dengan GERD.5

Terapi Medikamentosa
Terdapat dua alur penatalaksanaan GERD, yaitu step up dan step down.
Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat yang kurang kuat dalam
menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik. Bila
20
gagal baru diberikan yang lebih kuat menekan sekresi asam dengan masa terapi
lebih lama yaitu penghambat pompa proton. Sedangkan untuk pendekatan step
down diberikan tatalaksana berupa PPI terlebih dahulu, setelah terjadi
perbaikan,baru diberi obat dengan kerja yang kurang kuat dalam menekan sekresi
asam lambung, yaitu antagonis H2 atau prokinetik atau bahkan antasid.
Dari beberapa studi, dilaporkan bahwa pendekatan step down lebih
ekonomis dibandingkan dengan step up. Menurut Genval statement ((1999) dan
konsensus asia pasifik tahun 2003 tentang tatalaksana GERD, disepakati bahwa
terapi dengan PPI sebagai terapi lini pertama dan digunakan pendekatan step
down. 3,4,5

Antasid
Pengobatan ini digunakan untuk gejala ringan GERD sejak tahun 1971,
dan masih dinilai efektif hingga sekarang dan tidak menimbulkan esofagitis3,4,5.
Selain sebagai penekan asam lambung, obat ini dapat memperkuat tekanan
SEB.4,5
Kelemahan obat golongan ini adalah. Rasanya kurang enak. Dapat
menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi
terutama antasid yang mengandung aluminium, Selain itu penggunaannya sangat
terbatas untuk pasien dengan ganghuan fungsi ginjal. Dosis sehari 4x1 sendok
makan.

Antagonis Reseptor H2
Obat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD. Yang termasuk obat
golongan ini adalah ranitidin, simetidin, famotidin dan nizatidin. Sebagai penekan
sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks
gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi
ulkus(2,3). Pengguanaan obat ini dinilai efektif bagi keadaan yang berat, misalnya
dengan barrett’s esophagus.5
Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan
sampai sedang serta tanpa komplikasi. Dosis rantidin 4x150 mg.4

21
Obat prokinetik
Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk pengobatan GERD
karena penyakit ini dianggap lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun
praktiknya, pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam.4
Obat ini berfungsi untuk memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan
gaster.
1. Metoklopramid4
a. Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak
berperan dalam penyembuhan lesi di esofagus kecuali
dikombinasikan dengan antagonis reseptor H2 atau PPI.
b. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek
terhadap saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan
diskinesia
c. Dosis 3x 10 mg sebelum makan dan sebelum tidur.3
2. Domperidon4
a. Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan metoklopramid)
hanya saja obat ini tidak melewati sawar darah otak, sehingga efek
sampingnya lebih jarang.
b. Walaupun efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun obat ini
diketahui dapat menigkatkan tonus SEB dan percepat pengosongan
lambung.
c. Dosis 3x10-20 mg sehari
3. Cisapride4
a. Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini dapat
memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan lambung.
b. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan
lesi lebih bagus dari domperidon.
c. Dosis 3x10 mg

Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)


Obat ini tidak memiliki efek langsung terhadapa asam lambung, melainkan
berefek pada meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap
HCl di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat
ini cukup aman karen bersifat topikal. Dosis 4x1 gram.3,4
22
Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI)
Merupakan obat terkuat dalam penatalaksanaan GERD, sehingga dijadikan
drug of choice(3,4,5). Golongan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal
dengan memperngaruhi enzim H, K ATP –ase yang dianggap sebagai tahap akhir
proses pembentukan asam lambung. Pengobatan ini sangat efektif dalam
menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis
erosiva derajat berat yang refrakter dengan antagonis reseptor H2.
Dosis untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu :
- Omeprazole : 2x20 mg
- Lansoprazole: 2x30 mg
- Pantoprazole: 2x40 mg
- Rabeprazole : 2x10 mg
- Esomeprazole: 2x40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial)
berikutnya dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan selama 4 bulan , tergantung
esofagitisnya. Efektivitas obat ini semakin bertambah jika dikombinasi golongan
prokinetik.

Skema 1. Algoritma tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama.

Gejala khas GERD


Umur <40 tahun
Umur >40 tahun

PPI tes/ terapi


empiris

Gejala Respon baik


menetap/berulang

Endoskopi Terapi minimal


4minggu

kekambuhan Terapi on demand

23
Skema 2. Algoritma tatalaksana GERD pada pusat pelayanan yang memiliki
fasilitas diagnostik memadai.

Terduga kasus
GERD

Tidak Diselidik
diselidiki
Keluhan menetap

Terapi Terapi awal


empiris/Tes PPI

PPI test 1-2 minggu Esofagitis sedang dan


dosis ganda berat Gejala berulang
(sensitivitas 60-80%) Esofagitis ringan
NERD

On demand Terapi
therapy Maintenance

Terapi Bedah
Beberapa keadaan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan terapi
medikamentosa pada pasien GERD, antara lain : Diagnosa yang tidak benar,
pasien GERD sering disertai gejala lain seperti rasa kembung, cepet kenyang dan
mual-mual yang lebih lama menyembuhkan esofagitisnya. Pada kasus Barrett’s
esofagus kadang tidak memberikan respon terhadap terapi PPI, begitu pula dengan
adenokarsinoma dan bila terjadi striktura. Pada disfungsi SEB juga memiliki hasil
yang tidak memuaskan dengan PPI.4
Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika terapi
modifikasi gaya hidup dan medikmentosa tidak berhasil. Umumnya pembedahan
yang dilakukan adalah fundoplikasi,3,4,5

24
Fundoplikasi Nissen
Fundoplikasi Nissen adalah suatu tindakan bedah untuk tatalaksana penyakit
GERD bila tatalaksana Modifikasi gaya hidup dan medikamentosa tidak berhasil.
Pada Hiatus hernia, Fundoplikasi Nissen justru menjadi terapi lini pertama.
Teknik operasi ini dilakukan dengan laparoskopi. Tujuan dari teknik ini adalah
memperkuat esofagus bagian bawah untuk mencegah terjadinya refluks dengan
cara membungkus bagian bawah esofagus dengan bagian lambung atas.12

Indikasi Fundoplikasi
1. Kasus resisten dan kasus refluks esofagitis dengan komplikasi yang tidak
sepenuhnya responsif terhadap terapi medis atau pada pasien dengan terapi
medis jangka panjang yang tidak menguntungkan.
2. Pasien dengan gejala yang tidak sepenuhnya tekontrol oleh terapi PPI,
Pada pasien ini dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan. Pada
pasien dengan penyakit yang tekontrol dengan baik juga dapat dilakukan
pertimbangan pembedahan.

25
3. Terjadinya esofagus barrret adalah indikasi untuk pembedahan. Asam
lambung meningkatkan terjadinya barrett esofagus berkembang kearah
keganasan, tetapi kebanyakan ahli menyarankan tindakan mensupresi
asam lambung secara lengkap untuk pencegahan pada pasien yang terbukti
secara histologis menderita esofagus barret.

Terapi Endoskopi
Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam penelitian, akhir-akhir
ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD, yaitu,
penggunaan energi radiofrekuensi, plikasi gastrik endoluminal, implantasi
endoskopik dengan menyuntikan zat implan di bawah mukosa esofagus bagian
distal sehingga lumennya menjadi lebih kecil.4
Endoskopi bukan merupakan pemeriksaan rutin sebagai pemeriksaan awal
pasien suspek PRGE dengan manifestasi otolaringologi dan bukan prasyarat untuk
terapi medic.10

2.10. Prognosis
Sebagian besar pasien dengan GERD akan mebaik dengan pengobatan,
walaupun relaps mungkin akan muncul setelah terapi dan memerlukan terapi
medis yang lebih lama.
Apabila kasus GERD ini disertai komplikasi (seperti striktur, aspirasi,
penyakit saluran nafas, Barrett esophagus), biasanya memerlukan terapi
pembedahan. Prognosis untuk pembedahan biasanya baik. Meskipun begitu,
mortaliti dan morbiditi adalah tinggi pada pasien pembedahan dengan masalah
medis yang kompleks.

26
BAB IV
KESIMPULAN

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau yang dikenal dengan Penyakit


Refluks Gastroesofageal (PRGE) merupakan suatu keadaan dimana terjadi gerakan
retrogard atau naiknya isi lambung sampai pada esofagus secara patologis. Keadaan
berakibat kandungan lambung yang asam dapat mengiritasi mukosa esofagus.
Manifestasi klinis dari PRGE adalah rasa nyeri dada retrosternal atau rasa panas
(heartburn) di dada, regurgutasi, disfagia, mual bahkan sampai suara serak karena
mengiritasi laring, menyebabkan laringitis. Penatalaksanaan pada kasus PRGE ini
terdapat beberapa jenis yang dilakukan bertahap yaitu modifikasi gaya hidup,
medikamentosa dan terapi bedah. Pada sebagian besar kasus PRGE pasien sembuh
dengan terapi medikamentosa.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. EGC. : Jakarta


2. Susanto A, Sawitri N, Wiyono W, Yunus F, Prasetyo S. Gambaran klinis dan
endoskopi penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) pada pasien asma persisten
sedang di RS Persahabatan, Jakarta. Jurnal Respirologi. 2005
3. Asroel H. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Cited jan 5 2020. Available :
http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary.pdf
4. Makmun D. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1,
Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.
5. Patti, Marco G. 2010. Gastroesophageal reflux disease: From
pathophysiology to treatment. World J Gastroenterol 2010 August 14; 16(30):
3745-3749.
6. Ndraha, Suzanna. 2014. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Vol. 27, No. 1
April 2014
7. Sudoyo AW, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata M, Setiati S,
editor, Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid I, ed. IV. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia. h. 1803;2007
8. Lelosutan HSAR, editor, Kapita Selekta Gastroentero-Hepatologi Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : JC Institute h.1-7, 2009
9. Patti M, Kantz J,editor. Gastroesophageal Reflux Disease Treatment &
Management. June 8 2011 [cited Jan 5 2020]. Available:
http://emedicine.medscape.com/article/176595-treatment#aw2aab6b6b4aa
10. Iskandar N, Soepadrdi E, Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai
penerbit FKUI. 2007
11. Syam AF, Aulia C, Renaldi K, Simadibrata M, Abdullah M,
Tedjasaputra.2013. Revisi konsensus nasional penatalaksanaan penyakit
refluks gastroesofageal (Gastro-esophageal Reflux Disease/ GERD) di
Indonesia 2013. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia.
12. Gastroesophageal reflux disease : Savary – Miller classification. Cited Jan 5
2020. Available : http://www.gastrolab.net/pa-113.htm
28

Anda mungkin juga menyukai