Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

Manajemen Anastesi Pada Hipernatremia

Oleh:
Sari Marlina Sudin
NPM:
18710065

Dokter Pembimbing:
Dr. Bambang Soekotjo, MSc-Sp. An

SMF ILMU BEDAH BAGIAN ANASTESIOLOGI


RSUD Dr. MOHAMMAD SALEH PROBOLINGGO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

2021

1
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Manajemen Anastesi Pada Hipernatremia

Oleh:

Sari Marlina Sudin


NPM:

18710065

Telah disetujui dan disahkan pada:

Hari :

Tanggal :

Mengetahui:

Dokter Pembimbing

Dr. Bambang Soekotjo, MSc-Sp. An

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan referat dengan Judul: “Manajemen Anastesi pada Hipernatremia”.
Referat ini penulis susun sebagai salah satu tugas kepanitraan klinik di SMF Ilmu Bedah RSUD
Dr. Mohammad Saleh Probolinggo.

Selama menyelesaikan referat ini, penulis telah banyak menerima bimbingan,


pengarahan, dan saran, serta berbagai fasilitas yang membantu hingga akhir dari penulisan ini.
Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Bambang Soekotjo, Msc-Sp. An, selaku pembimbing SMF Ilmu Bedah RSUD
Dr. Mohammad Saleh Probolinggo yang memberi bimbingan dan pengarahan dalam
penyelesaian referat ini.
2. Seluruh staf dan karyawan di bagian SMF Ilmu Bedah RSUD Dr. Mohammad Saleh
Probolinggo yang membantu hingga terselesaikannya referat ini.
3. Rekan-rekan dokter muda yang telah membantu dalam memberikan masukan
hingga referat ini terselesaikan dengan baik.

Referat ini jauh dari sempurna sehingga penulis masih mengharapkan saran dan kritik
untuk menyempurnakan tugas ini sehingga dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Probolinggo, 21 April 2021

Penulis

3
DAFTAR ISI

Judul......................................................................................................................... i
Lembar Pengesahan................................................................................................. ii
Kata Pengantar......................................................................................................... iii
Daftar Isi.................................................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 3

BAB III KESIMPULAN……………................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 14

4
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hipernatremia dapat disebabkan oleh kehilangan air (peningkatan kehilangan atau

penurunan asupan) dan, walaupun jarang, karena kelebihan asupan natrium. Yang

berisiko tinggi untuk hipernatremia ialah mereka dengan gangguan mekanisme rasa haus

atau keterbatasan akses terhadap air. Berbagai faktor dapat menyebabkan hipernatremia

terutama pada geriatri seperti perubahan rangsangan haus, berkurangnya kemampuan

pemekatan urin, dan berkurangnya total body water. Gejala klinis hipernatremia biasanya

tidak spesifik namun pasien cenderung menjadi simtomatik saat hipernatremia terjadi

secara akut. Gejala hipernatremia terutama bersifat neurologik terkait dengan tingkat

keparahan dan kecepatan perubahan konsentrasi natrium serum. Komplikasi

hipernatremia ialah antara lain penyusutan otak akibat perpindahan cairan intrasel ke

ekstrasel yang dapat merobek pembuluh darah otak, pendarahan otak, dan berbagai gejala

neurologik akibat keterlibatan otak, yang dapat berakhir fatal. Penatalaksanaan

hipernatremia perlu dilakukan dengan cermat karena penanganan yang tidak tepat atau

koreksi yang terlalu cepat dapat berisiko terjadinya edema serebri (Setyawan, 2021).

Insidensi hipernatremia pada pasien rawat inap berkisar 3-5 per 100.000 individu

di seluruh dunia sedangkan prevalensi hipernatremia pada pasien kondisi kritis sekitar 9-

26 per 100.000 individu, dan umumnya mengenai lanjut usia. Selain itu tidak terdapat

perbedaan prevalensi hipernatremia berdasarkan ras dan jenis kelamin.3 Imai et al4

melaporkan bahwa prevalensi hipernatremia secara bermakna lebih tinggi pada usia

5
lanjut dibandingkan dewasa (1,0% vs 0,1%; p<0,001). Demikian pula prevalensi

hipernatremia sedang sampai \berat secara bermakna lebih tinggi pada lanjut usia

dibandingkan dewasa pada semua iklim (Setyawan, 2021).

Peningkatan konsentrasi natrium plasma, yang juga menyebabkan peningkatan

osmolaritas, dapat disebabkan oleh kehilangan air dan cairan ekstrasel, yang memekatkan

ion natrium, atau karena kelebihan natrium dalam cairan ekstrasel Kehilangan pimer air

dari cairan ekstrasel akan menyebabkan terjadinya hypernatremia sampai dehidrasi

(Setyawan, 2021).

Anestesi memerankan peran yang sangat krusial. Penanganan Anestesi dapat

menjadi menantang apabila terjadi kesulitan dalam penanganan jalan nafas dan akses

vaskular, sesuai dengan patofisiologi yang dramatis yang terjadi dalam menjaga stabilitas

hemodinamik saat pasien terpapar dengan banyak agen Anestesi (Sjamsuhidajat, 2007).

Hipernatremia akan meningkatkan konsentrasi alveolar minimum pada anestesi

inhalasi pada hewan percobaan, tetapi signifikasi klinisnya lebih mendekati dengan

defisit cairan yang terkait. Hipovolemia akan lebih terlihat pada setiap vasodilatasi atau

depresi jantung dari agen anestesi dan predisposisi hipotensi dan hipoperfusi jaringan.

Penurunan volume distribusi untuk obat memerlukan pengurangan dosis untuk sebagian

besar agen intravena, sedangkan penurunan cardiac output meningkatkan penyerapan

anestesi inhalasi. Operasi elektif harus ditunda pada pasien dengan hipernatremia yang

signifikan (> 150 mEq / L) sampai penyebabnya didirikan dan defisit cairan dikoreksi.

Air dan defisit cairan isotonik harus diperbaiki sebelum operasi elektif (Rahman, 2017).

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hipernatremia

a. Definisi
Hipernatremia didefinisikan sebagai peningkatan kadar natrium lebih dari 145

mmol/L. Hal ini merupakan suatu kondisi hiperosmolar yang disebabkan oleh

penurunan total body water (TBW) relatif terhadap kandungan elektrolit.

Hipernatremia dapat disebabkan oleh kehilangan air (peningkatan kehilangan atau

penurunan asupan) atau, walaupun jarang, karena kelebihan asupan natrium. Pasien

yang berisiko tinggi untuk hipernatremia ialah termasuk mereka dengan gangguan

mekanisme rasa haus atau keterbatasan akses terhadap air (misalnya: terdapat

perubahan status mental, sedang diintubasi, bayi, dan pasien lansia) (Setyawan,

2021).

b. Epidemiologi

Insidensi hipernatremia pada pasien rawat inap berkisar 3-5 per 100.000 individu

di seluruh dunia sedangkan prevalensi hipernatremia pada pasien kondisi kritis sekitar

9-26 per 100.000 individu, dan umumnya mengenai lanjut usia. Selain itu tidak

terdapat perbedaan prevalensi hipernatremia berdasarkan ras dan jenis kelamin.3 Imai

et al4 melaporkan bahwa prevalensi hipernatremia secara bermakna lebih tinggi pada

usia lanjut dibandingkan dewasa (1,0% vs 0,1%; p<0,001). Demikian pula prevalensi

hipernatremia sedang sampai \berat secara bermakna lebih tinggi pada lanjut usia

dibandingkan dewasa pada semua iklim (Setyawan, 2021).

7
c. Etiologi

Secara umum, penyebab hipernatremia dapat dibagi menjadi penyebab primer

yang disebabkan oleh keseimbangan air negative (karena diuresis air atau zat terlarut)

dan penyebab primer yang disebabkan oleh keseimbangan natrium positif, atau

kombinasi keduanya. Hipernatremia terjadi bila terdapat defisit cairan tubuh akibat

ekskresi air melebihi ekskresi natrium, misalnya pada pengeluaran air melalui

insensible water loss (keringat); diare osmotik akibat pemberian laktulose atau

sorbitol; diabetes insipidus sentral maupun nefrogenik; diuresis asmotik akibat

glukosa atau manitol; gangguan pusat rasa haus di hipotalamus akibat tumor atau

gangguan vaskular sehingga pengeluaran air melalui insensible water loss (keringat)

tidak direspon dengan keinginan minum. Hipernatremia dapat juga disebabkan oleh

penambahan natrium yang melebihi jumlah cairan dalam tubuh, missalnya koreksi

bikarbonat berlebihan pada asidosis metabolik. Pada keadaan ini tidak terjadi deplesi

volume sehingga natrium yang berlebihan akan diekskresikan dalam urin

menyebabkan kadar Na dalam urin lebih dari 100 meq/L.8 Penyebab lain dari

hipernatremia ialah masuknya air tanpa elektrolit ke dalam sel. Misalnya pada latihan

olahraga yang berat, asam laktat dalam sel meningkat sehingga osmolalitas sel juga

meningkat dan air dari ekstrasel akan masuk ke intrasel. Biasanya kadar natrium akan

kembali normal dalam waktu 5-15 menit setelah istirahat.7 Penyebab tersering

hipernatremia ialah diuresis osmotik (misal hiperglikemia), makanan enteral protein

tinggi, diabetes insipidus (sentral, nefrogenik, gestasional), menyusui, dan

aldosteronisme primer (Setyawan, 2021).

8
9
d. Patofisiologi

Kehilangan cairan hipotonik renal dapat terjadi akibat penggunaan obat diuretik (loop

diuretic dan tiazid), diuresis osmotik (hiperglikemia, manitol, urea), garam ginjal,

nekrosis tubular akut fase diuresis, kehilangan cairan hipotonik non-renal melalui saluran

cerna (muntah, diare, laktulosa, katarsis, nasogastric suction, drainase cairan

gastrointestinal, dan fistula) atau melalui kulit (berkeringat akibat olahraga ekstrim, lari

maraton, serta luka bakar). Pada hipernatremia, euvolemia terdapat jumlah natrium tubuh

normal tetapi terjadi kehilangan air. Pasien memiliki volume cairan ekstrasel normal

dengan kadar natrium dan kalium total tubuh normal. Keadaan ini paling sering terjadi

pada beberapa keadaan, seperti gangguan asupan dan kurangnya akses terhadap air

dikombinasikan dengan peningkatan insensible water loss (pernapasan atau kulit),

kehilangan air ginjal pada penyakit ginjal primer (uropati obstruktif, displasia ginjal,

penyakit kista meduler, refluks nefropati, penyakit polikistik) atau penyakit sistemik

dengan keterlibatan ginjal (penyakit sel sabit, amiloidosis), obat-obatan (amfoterisin,

fenitoin, litium, aminoglikosida, metoksifluran), serta ketidakmampuan ginjal untuk

memekatkan urin (diabetes insipidus sentral atau nefrogenik) (Setyawan, 2021).

e. Klasifikasi Hipernatremi

Hipernatremia dapat diklasifikasikan sebagai hipernatremia hipovolemia, euvolemia,

dan hipervolemia. Pada hipernatremia hipovolemia terdapat jumlah natrium tubuh rendah

dengan kehilangan air lebih banyak daripada kehilangan natrium. Pasien mengalami

penurunan volume cairan ekstrasel, defisit air bebas, dan elektrolit (kadar natrium dan

kalium dalam tubuh rendah). Hipovolemia merupakan keadaan yang lebih mengancam

jiwa daripada hipertonik. Pada hipernatremia hipervolemia terdapat jumlah natrium

10
tubuh yang meningkat. Pasien memiliki kelebihan volume cairan ekstrasel dengan kadar

natrium total tubuh yang tinggi, kelebihan mineralokortikoid (sindrom Cushing,

hiperaldosteronisme primer), namun sebagian besar terjadi karena penyebab iatrogenik

akibat pemberian larutan elektrolit hipertonik (larutan natrium bikarbonat, atau pada

hemodialisis) (Setyawan, 2021).

f. Gejala Klinis

Gejala klinis hipernatremia biasanya tidak spesifik. Gejala klinis timbul pada keadaan

peningkatan natrium plasma secara akut diatas 158 meq/L. Gejala yang ditimbulkan

akibat mengecilnya volume otak karena air keluar dari dalam sel. Pengecilan volume ini

menimbulkan robekan pada vena menyebabkan perdarahan lokal di otak dan perdarahan

subaraknoid. Gejala dimulai dari letargi, lemas, twitching, kejang dan akhirnya koma.

Kenaikan akut diatas 180 meq/L dapat menimbulkan kematian. Gambaran klinis

hipernatremia sebagian besar merupakan konsekuensi penyusutan otak, termasuk letargi,

mengantuk, dan perubahan status mental, yang mengarah pada kejang, koma, dan

kematian jika tidak ditangani dengan segera. Pada pasien dengan hipernatremia berat,

osmolalitas urin secara nyata lebih tinggi daripada pada pasien dengan hiponatremia,

yang menunjukkan bahwa dehidrasi memainkan peran utama. Indikator lain ialah tingkat

kreatinin serum yang lebih tinggi pada pasien dengan hipernatremia berat pada keadaan

pre-renal akibat dehidrasi. Sekitar 11% pasien dengan hipernatremia berat menggunakan

diuretik loop, yang dapat menyebabkan konsentrasi urin lebih rendah dan peningkatan

natrium serum (Setyawan, 2021).

11
g. Penatalaksanaan

Koreksi kadar natrium dalam plasma ke arah normal. Pengurangan maksimum

konsentrasi natrium serum yang disarankan ialah 12 mmol/L dalam 24 jam.14

Perhitungan defisit tubuh air total (TBW) :

Defisit air = TBW saat ini x (serum [Na]/140 - 1).

Untuk total body water (TBW) saat ini dipergunakan patokan sebagai berikut, yaitu

pria muda: 60% berat badan tanpa lemak

wanita muda: 50% berat badan tanpa lemak

pria lansia: 50% berat badan tanpa lemak

wanita lansia: 45% berat badan tanpa lemak

Formula ini memberikan perkiraan volume cairan tambahan yang diperlukan untuk

memperbaiki konsentrasi natrium serum hingga 140mmol/L. Sebagai rekomendasi untuk

koreksi hipernatremia, dilakukan hal-hal sebagai berikut: Pada hipernatremia akut atau

sangat simtomatik, pengobatan segera dengan cairan hipotonik harus dimulai, terlepas

dari penyebab yang mendasari. Bila seorang pasien dengan hipernatremia memiliki

hipotensi, pemberian cairan isotonik harus dimulai. Pada hipernatremia kronis, koreksi

cepat harus dihindari untuk mencegah edema serebral dan perawatan diarahkan ke

penyebab yang mendasari. Untuk semua penyebab hipernatremia, angka koreksi terbatas

hingga 8 mmol/L dalam 24 jam pertama dan 18 mmol/l dalam 48 jam pertama.

Hipernatremia akut dapat dikoreksi lebih cepat pada awalnya (1-2 mmol/L/jam) kenaikan

5 mmol/L biasanya cukup untuk memperbaiki gejala (Setyawan, 2021).

12
Resusitasi Cairan

Secara garis besar, cairan intravena dibagi menjadi dua, yaitu cairan kristaloid dan

koloid. Perbandingan pemberian cairan kristaloid dan koloid adalah 3:1. Ini dikarenakan

cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip cairan ekstraseluler. Dimana cairan

kristaloid 75% akan menyebar keruang interstisial dan sebaliknya cairan koloid akan

bertahan 75% di intravascular (Suta et al, 2017).

a. Cairan Kristaloid

Kristaloid berisi elektrolit (contoh kalium, natrium, kalsium, klorida). Kristaloid

tidak mengandung partikel onkotik dan karena itu tidak terbatas dalam ruang

intravascular dengan waktu paruh kristaloid di intravascular adalah 20-30 menit.

Beberapa peneliti merekomendasikan untuk setiap 1 liter darah, diberikan 3 liter

kristaloid isotonik. Kristaloid murah, mudah dibuat, dan tidak menimbulkan reaksi

imun. Larutan kristaloid adalah larutan primer yang digunakan untuk terapi intravena

prehospital. Tonisitas kristaloid menggambarkan konsentrasi elektrolit yang

dilarutkan dalam air, dibandingkan dengan yang dari plasma tubuh (Suta et al, 2017).

b. Cairan Koloid

Cairan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi dengan

aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam

ruang intravaskuler. Koloid digunakan untuk resusitasi cairan pada pasien dengan

defisit cairan berat seperti pada syok hipovolemik/hermorhagik sebelum diberikan

transfusi darah, pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan

protein jumlah besar (misalnya pada luka bakar). Cairan koloid merupakan turunan

dari plasma protein dan sintetik yang dimana koloid memiliki sifat yaitu plasma

13
expander yang merupakan suatu sediaam larutan steril yang digunakan untuk

menggantikan plasma darah yang hilang akibat perdarahan, luka baker, operasi,

Kerugian dari ‘plasma expander’ ini yaitu harganya yang mahal dan dapat

menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan

pada cross match (Suta et al, 2017).

Rumus Holyday Segar

Contoh penerapan formula tersebut adalah sebagai berikut:


1. Bila berat badan anak adalah 8 kg, maka kebutuhan air dalam 24 jam adalah 800 mL

2. Bila berat badan anak adalah 15 kg, maka kebutuhan air dalam 24 jam adalah 1250 mL

3. Bila berat badan anak adalah 30 kg, maka kebutuhan air dalam 24 jam adalah 1700 mL

B. Anastesi

a. Pengertian

Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika dilakukan

pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit, dalam hal ini rasa

takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal bagi pelaksanaan

pembedahan (Sabiston, 2011).

b. General Anestesi

General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral disertai

hilangnya kesadaran (reversible). Tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik

14
yang dapat dilakukan adalah general anestesi denggan teknik intravena anestesi dan

general anestesi dengan inhalasi yaitu dengan face mask (sungkup muka) dan dengan

teknik intubasi yaitu pemasangan endotrecheal tube atau gabungan keduanya inhalasi dan

intravena (Latief, 2007).

1) Teknik General Anestesi

General anestesi menurut (Latief, 2007), dapat dilakukan dengan 3 teknik, yaitu:

a) General Anestesi Intravena

Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesi

parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena.

b) General Anestesi Inhalasi

Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat

anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat atau

mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.

c) Anestesi Imbang

Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-obatan baik obat

anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi teknik general anestesi

dengan analgesia regional untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang,

yaitu:

(1) Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat hipnotikum atau obat anestesi

umum yang lain.

(2) Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik opiat atau obat

general anestesi atau dengan cara analgesia regional.

15
(3) Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh otot atau general

anestesi, atau dengan cara analgesia regional.

2) Obat-obat General Anestesi

Pada tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah

general anestesi dengan teknik intravena anestesi dan general anestesi dengan inhalasi,

berikut obat-obat yang dapat digunakan pada kedua teknik tersebut.

Obat-obat Anestesi Intravena

Atropine Sulfat, Pethidin, Atrakurium, Ketamine HCL, Midazolam, Fentanyl,

Rokuronium bromide, Prostigmin

Obat-obat Anestesi Inhalasi

Nitrous Oxide, Halotan, Enfluren, Isofluran, Sevofluran.

C. Anastesi Pada Hipernatremia

Hiperosmolalitas terjadi setiap kali total kandungan tubuh terlarut meningkatkan

relatif terhadap TBW dan biasanya, tapi tidak selalu, berhubungan dengan hipernatremia

([Na +]> 145 mEq / L). Hipernatremia hampir selalu merupakan hasil dari baik kerugian

relatif air lebih dari natrium (hipotonik cairan rugi) atau retensi dalam jumlah besar

natrium. Bahkan ketika kemampuan berkonsentrasi ginjal terganggu, haus biasanya

sangat efektif dalam mencegah hipernatremia. Hipernatremia karena itu paling sering

terlihat pada pasien lemah yang tidak dapat minum, sangat tua, yang sangat muda, dan

pasien dengan gangguan kesadaran. Pasien dengan hipernatremia mungkin memiliki

konten natrium tubuh total yang rendah, normal, atau tinggi.1 Jika kadar natrium > 150

mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan mental, letargi, kejang, koma, lemah.

Manifestasi neurologis akan mendominasi dahulu pada pasien dengan hipernatremia dan

16
umumnya diduga hasil dari dehidrasi selular. Gelisah, lesu, dan hyperreflexia dapat

berkembang menjadi kejang, koma, dan akhirnya kematian. Hipernatremi dapat

disebabkan oleh kehilangan cairan (yang disebabkan oleh diare, muntah, diuresis,

diabetes insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang, asupan natrium berlebihan.

Pertimbangan anestesi

Hasil kajian mendapatkan hipernatremia akan meningkatkan konsentrasi alveolar

minimum pada anestesi inhalasi pada hewan percobaan, tetapi signifikasi klinisnya lebih

mendekati dengan defisit cairan yang terkait. Hipovolemia akan lebih terlihat pada setiap

vasodilatasi atau depresi jantung dari agen anestesi dan predisposisi hipotensi dan

hipoperfusi jaringan. Penurunan volume distribusi untuk obat memerlukan pengurangan

dosis untuk sebagian besar agen intravena, sedangkan penurunan cardiac output

meningkatkan penyerapan anestesi inhalasi. Operasi elektif harus ditunda pada pasien

dengan hipernatremia yang signifikan (> 150 mEq / L) sampai penyebabnya didirikan

dan defisit cairan dikoreksi. Air dan defisit cairan isotonik harus diperbaiki sebelum

operasi elektif.

Induksi Anastesi

anastesi yang sesuai terdiri dari opioid, muscle relaxant, agen inhalasi untuk

operasi eksisi luka bakar. Propofol dan thiopental sering digunakan untuk induksi namun

harus dititrasi secara hati hati agar tidak terjadi cardiac arrest. Etomidate merupakan agen

induksi yang baik karena stabilitas hemodinamiknya. Ketamin juga baik untuk induksi

dan maintenance anestesi. Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestetik, dan kataleptik

dengan kerja singkat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik tetapi lemah

untuk sistem viseral. Ketamin dapat meningkatkan tekanan darah, frekuensi nadi dan

17
curah jantung sampai ± 20%. Untuk induksi ketamin diberikan secara IV dengan dosis 2

mg/kgBB (1-4,5 mg/kgBB) dalam waktu 60 detik; stadium operasi dicapai dalam 5-10

menit. Untuk mempertahankan anestesi dapat diberikan dosis ulangan setengah dari

semula. Ketamin IM untuk induksi diberikan 10 mg/kgBB (6,5-13 mg/kgBB), stadium

operasi terjadi dalam 12-25 menit (Subekti et al, 2014).

Maintenance Anastesi

Untuk maintenance, penggunaan N2O bersama-sama O2 untuk anestesiologi.

Pemberian anestesia dengan N2O harus disertai dengan O2 minimal 25%. Gas ini bersifat

anestetik lemah, tetapi analgesiknya kuat, Pada anestesia inhalasi, jarang digunakan

sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu cairan anestesik lain seperti halotan dan

sebagainya. Pada akhir anestesia, setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar

mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk

menghindari hipoksia difusi, berikan O2 100% selama 5-10 menit (Subekti et al, 2014).

Sevoflurane merupakan halogenasieter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat

dibadingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan

nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan. Efek

terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem

saraf pusat seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar (Subekti et al,

2014).

18
BAB III

KESIMPULAN

Hipernatremia hampir selalu merupakan hasil dari baik kerugian relatif air lebih

dari natrium (hipotonik cairan rugi) atau retensi dalam jumlah besar natrium.

Hipernatremia karena itu paling sering terlihat pada pasien lemah yang tidak dapat

minum, sangat tua, yang sangat muda, dan pasien dengan gangguan kesadaran. Pasien

dengan hipernatremia mungkin memiliki konten natrium tubuh total yang rendah, normal,

atau tinggi. Jika kadar natrium > 150 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan

mental, letargi, kejang, koma, lemah. Manifestasi neurologis akan mendominasi dahulu

pada pasien dengan hipernatremia dan umumnya diduga hasil dari dehidrasi selular.

Gelisah, lesu, dan hyperreflexia dapat berkembang menjadi kejang, koma, dan akhirnya

kematian.

Hipernatremia akan meningkatkan konsentrasi alveolar minimum pada anestesi

inhalasi pada hewan percobaan, tetapi signifikasi klinisnya lebih mendekati dengan

defisit cairan yang terkait. Hipovolemia akan lebih terlihat pada setiap vasodilatasi atau

depresi jantung dari agen anestesi dan predisposisi hipotensi dan hipoperfusi jaringan.

Penurunan volume distribusi untuk obat memerlukan pengurangan dosis untuk sebagian

besar agen intravena, sedangkan penurunan cardiac output meningkatkan penyerapan

anestesi inhalasi. Operasi elektif harus ditunda pada pasien dengan hipernatremia yang

signifikan (> 150 mEq / L) sampai penyebabnya didirikan dan defisit cairan dikoreksi.

Air dan defisit cairan isotonik harus diperbaiki sebelum operasi elektif.

19
Daftar Pustaka

Latief, A.S., (2007), Petunjuk Praktis Anesthesiologi Edisi Kedua. Jakarta; Bagian

Anesthesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Rahman., D., R. 2017. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Denpasar; RSUP

Sanglah/ Fakutas Kedokteran Universitas Udayana.

Sabiston, D. C. 2011. Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC.

Setyawan., Y. Hipernatremia dan Penatalaksanaanya. Medical Scope Journal (MSJ).

2021;V2(2);93-99.

Sjamsuhidajat, de Jong. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed 3. Jakarta: EGC. Hlm: 103-110.

Subekti., B. Sania., E. 2014. Management of Ectopic Pregnancy with Hypovolemic

Shock Grade III From The Side of Anesthesiology. Lampung; Facultas

kedokteran Universitas Lampung.

Suta., D., D et al. 2017. Terapi Cairan. Denpasar; RSUP sanglah/Fakultras Kedokteran

Universitas Udayana

20

Anda mungkin juga menyukai