Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PBL

MODUL 2
GAGAL NAPAS

TUTOR : dr. Wawan Susilo

KELOMPOK 8

FIRDA LUTHFIANI SAFNA 11020160045


DZUL RIZKA RAZAK 11020160039
ULFAH ANGGRAINI SYARIEF 11020150160
ISMIRALDA FEBRINA ISKANDAR 11020160054
MUHAMMAD TSAQIB AMMARIE 11020160062
A. NASHIRA ISWALAILY 11020160078
ARUM DWI HAERUNNISA 11020160065
ST. HALIMA ASRAH 11020160067
SAYYIDATUL AULIYA 11020160146
ROZA LINDA DUARSA 11020160041

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-

Nya sehingga laporan hasil tutorial ini dapat terselesaikan dengan baik. Dan tak lupa

kami kirimkan salam dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa

kita dari alam yang penuh kebodohan ke alam yang penuh kepintaran. Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu membuat laporan ini serta

kepada tutor yang telah membimbing kami selama proses tutorial berlangsung. Semoga

laporan hasil tutorial ini dapat bermanfaat bagi setiap pihak yang telah membaca laporan

ini dan khusunya bagi tim penyusun sendiri. Semoga setelah membaca laporan ini dapat

memperluas pengetahuan pembaca mengenai TRAUMATOLOGI

Makassar, 14 Oktober 2019

Kelompok 8
KASUS I

Seorang perempuan usia 30 tahun dibawa ke puskesmas setelah mengalami

kecelakaan lalu lintas 1 jam yang lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah

90/40 mmHg, nadi 100x/menit, pernapasan 26x/menit, temperature 36,7ᵒC, nampak

lebam pada lengan kiri, jejas pada dada kiri dan nampak pecahan kaca tertancap pada

regio aksilla kiri. Selama observasi di UGD tiba-tiba pasien makin sesak, pucat dan

kesadaran mulai menurun.

KATA SULIT

Tidak ada kata sulit

KATA KUNCI

- Perempuan usia 30 tahun

- Mengalami kecelakaan lalu lintas 1 jam yang lalu

- Pemeriksaan fisik :

Tekanan darah 90/40 mmHg

Nadi 100x/menit

Pernapasan 26x/menit

Temperature 36,7ᵒC

Nampak lebam pada lengan kiri, jejas pada dada kiri

Nampak pecahan kaca tertancap di regio aksilla kiri

- Di UGD, tiba-tiba pasien makin sesak, pucat dan kesadaran mulai menurun.
PERTANYAAN

1. Bagaimana penatalaksanaan awal pada skenario ?

2. Bagaimana tindakan selanjutnya jika tindakan awal gagal ?

3. Apa yang menyebabkan pasien gagal napas ?

4. Bagaimana patomekanisme dari gagal napas sesuai skenario ?

5. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada saat melakukan penanganan ?

6. Bagaimana penggunaan obat-obatan darurat pada skenario ?

7. Bagaimana syarat transportasi dan rujukan pasien ?

8. Bagaimana perspektif islamnya ?


JAWABAN

1. Bagaimana penatalaksanaan awal pada skenario ?

Primary survey

a. Airway

Pada pasien dengan gagal napas hal pertama yang harus dilakukan adalah

melihat jalan napas apa terdapat sumbatan (benda asing) atau tidak. Beberapa

kematian karena masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan mengenali

masalah airway yang tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun

kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita sendiri.

Tehnik yang digunakan dalam menilai jalan napas yaitu dengan tehnik look (lihat

pergerakan dada), listen (mendengar dari bunyi pernapasan), dan feel (merasakan

ada pernapasan atau tidak).

Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai resiko tinggi untuk

terjadinya gangguan jalan nafas., selain mengecek adanya benda asing, sumbatan

jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang

sehingga menutupi aliran udara kedalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga

menjadi bahaya yang mengancam airway.

Setelah menilai kesadaran, maka penolong harus dengan segera dapat

menilai fungsi jalan napas. Pada korban yang sadar dan dapat bersuara, jalan

napas biasas dikatakan bebas atau tidak ada gangguan. Pada korban yang tidak

mengeluarkan suara atau tidak sadar, maka penilaian jalan napas dapat dilakukan

dengan :
 Look (lihat)

Melihat langsung ke rongga mulut ada atau tidaknyanya sumbatan

pada jalan napas.

 Listen (dengar)

Mendengarkan suara napas korban. Misalnya terdapat snoring atau

gurgling.

 Feel (rasakan)

Merasakan dengan pipi atau punggung tangan adanya hembusan napas

dari korban.

 Sumbatan jalan napas

 Obstruksi total

Pada obstruksi total mungkin ditemukan penderita masih sadar atau

dalam keadaan tidak sadar. Pada obstruksi total yang akut, biasanya

disebabkan tertelannya benda asing yang lalu tersangkut dan menyumbat

dipangkal laring (tersedak). Bila obstruksi total timbul perlahan maka akan

berawal dari obstruksi parsial yang kemudian menjadi total.

 Bila penderita sadar

Penderita akan memegang leher dalam keadaan sangat gelisah. Sianosis

mungkin ditemukan dan mungkin ada kesan masih bernapas (walaupun

tidak ada ventilasi)

 Bila penderita tidak sadar

Tidak ada gejala apa-apa mungkin hanya sianosis saja. Pada saat

melakukan pernapasan buatan mungkin ditemukan resistensi (tahanan)


terhadapa ventilasi. Dalam keadaan ini harus ditentkan dengan cepat

adanya obstruksi total dengan sapuan jari ke dalam faring sampai di

belakang epiglottis.

 Obstruksi parsial

Obstruksi parsial dapat disebabkan berbagai hal. Biasanya

penderitanya masih bisa bernapas sehngga timbul berbagai macam suara,

tergantung penyebabnya :

 Cairan (darah, secret, aspirasi lambung)

Timbul suara “gurgling”, suara bernapas bercampu suara cairan.

Dalam keadaan ini harus dilakukan pengisapan.

 Lidah jatuh kebelakang

Keadaan ini bisa terjadi karena tidak sadar atau patahnya rahang

bilateral. Timbul suara mengorok (Snoring) yang harus diatasi dengan

perbaikan Airway, secara manual atau dengan alat.

 Penyempitan di laring atau trakea

Dapat disebabkan udema karena berbagai hal ( luka bakar, radang,

dsb) atapun desakan neoplasma. Timbul suara “crowing” atau stridor

respiratori. Keadaan ini hanya dapat diatasi dengan perbaikan airway

distal dari sumbatan, misalnya dengan Trakeostomi.

 Penanganan jalan napas

Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mempertahankan dan

membebaskan jalan napas adalah sebagai berikut :

 Tanpa menggunakan alat:


 Head tilt

Dengan menekan kepala (dahi) ke bawah maka jalan napas akan

berada dalam posisi yang lurus dan terbuka. Tindakan ini tidak

dianjurkan lagi karena besarnya pergerakan yang ditimbulkan pada

servikal.

 Chin lift

Mengangkat dagu menggunakan jari dengan maksud lidah yang

menyumbat jalan napas dapat terangkat sehingga jalan napas terbuka.

Jika dilakukan dengan bener cara ini tidaka akan banyak

menimbulkan gerakan pada servikal.

 Jaw thrust

Mendorong mandibulan (rahang) korban kea rah depan dengan

maksud ynag sama dengan chin lift. Mandibula diangkat ke atas oleh

jari tengah di sudut rahang (angulus mandibula), dorongan di dagu

dilakukan dengan menggunakan ibu jari, dan jari telunjuk sebagai

penyeimbang di ramus mandibula.

 Dengan menggunakan alat:

 Oropharyngeal airway

Alat ini berfungsi untuk menjaga jalan napas agar tetap bebas

dari sumbatan. Oropharygeal Airway dimasukkan ke dalam mulut dan

diletakkan di belakang lidah.

 Finger swab
Teknik sapuan jari biasanya dilakukan pada penderita yang tidak

sadar. Pada tindakan ini, penolong menggunakan jarinya untuk

membuang benda padat atau cairan yang mengganggu jalan napas.

Telebih dahulu mulut koban dibuka dengan menggunakan maneuver

chin lift atau jaw thrust, atau dapat pula menggunakan finger cross-

menyilangkan telunjuk dan ibu jari untuk membuka mulut korban

untuk mengeluarkan cairan, dapat dibantu dengan menggunakan

bahan yang mudah menyerap cairan. Jangan memasukkan jari

terlampau dalam karena bisa menimbulkan rangsangan muntah.

 Suction

Dapat dilakukan dengan kateter suction atau alat suction khusus

seperti yang dipakai di kamar operasi. Untuk cairan (darah, secret,

dsb) dapat dipakai soft tip tetapi unutk materi yang kental sebaiknya

memakai tipe yang rigid. Di lapangan, dapat dibuat suction sederhana

menggunakan spuit 10cc atau lebih besar dan selang kecil.

 Recovery position

Posisi ini dapat digunakan untuk membuang cairan dari rongga

mulut atau jalan napas. Jika cairan sulit keluar maka dapat dibantu

dengan finger sweap. Tindakan ini tidak dapat dilakukana pada korban

dengan tanda adanya cedera pada leher, tulang belakang, atau cedera

lain yang dapat bertambah parah akibat posisi ini.


b. Breathing

Setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah membantu

pernafasan. Pastikan pernafasan pasien masih ada. Karena henti nafas seringkali

terjadi pada kasus trauma kepala bagian belakang yang mengenai pusat

pernafasan atau bisa juga penanganan yang salah pada pasien pada pasien cedera

kepala justru membuat pusat pernafasan terganggu dan menimbulkan henti nafas.

Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan dan membantu

ventilasi/pernafasan akan dapat menimbulkan kematian. Sehingga kemampuan

dalm memberikan bantuan pernafasan menjadi prioritas kedua. 5,6

1. penilaian

- buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatkan kontrol

servical in line immobilisasi

- tentukan laju dalam pernapasan

- inspeksi dan palpasi leher dan thorak untuk kemungkinan defisiasi

trakea, kesimetrisan torak, pemakaian otot-otot tambahan dan

cedera lain

- perkusi torak untuk menentukan redup atau hopersonor

- auskultasi toral bilateral

2. pengelolaan

- memberikan oksigen dengan konsentrasi tinggi

- ventilasi dengan bag valve mask

- Menghilangkan tension pneumo thorak

- memasang pulse owymeter


3. evaluasi

c. Circulation

Jika ditemukan adanya perdarahan, segera lakukan upaya mengontrol

perdarahan itu dengan memberikan bebat tekan pada daerah luka. Pemberian

cairan melalui oral mungkin dapat dilakukan untuk mengganti hilangnya cairan

dari tubuh jika pasien dalam keadaan sadar. Perlu dipahami dalam tahap ini adalah

mengenal tanda-tanda kehilangan cairan sehingga antisipasi terhadap

kemungkinan terjadinya syock.

Setelah melakukan penangan pada system pernapasan, system sirkulasi

dapat segera dinilai dengan cara :

 Memeriksa denyut nadi ( radialis atau carotis )

Pada orang dewasa dan anak-anak, denyut nadi diraba padaarteri radialis

dan arteri caritis (medial dari M. Sternocleidomastoideus). Sedangkan pada bayi,

meraba denyut nadi adalah pada A.Brachialis, yakni pada sisi medial lengan atas.

Frekuensi denyut jantung pada orang dewasa adalah 60-100 kali/menit. Bila

kurang dari 50 kali/menit disebut bradikardi dan lebih dari 100 kali/menit disebut

takikardi. Bradikardi normal sering ditemukan pada atlit yang terlatih. Pada bayi

frekuensi denyut jantung adalah 85-200 kali/menit sedangkan pada anak-anak

adalah 60-140 kali/menit. Pada syok bila ditemukan bradikardi merupakan tanda

diagnostic yang buruk.

 Menilai warna kulit

 Meraba suhu akral dan kapilari refill

 Periksa perdarahan
Selain itu, kesadaran yang menurun dapat digunakan sebagai penilaian

terhadap adanya masalah pada system sirkulasi, karena kurangnya perfusi oksigen

ke otak dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran. Pemeriksaan

sirkulasi dapat dilakukan bersamaan dengan penilaian jalan napas dan system

pernapasan. Pada saat melakukan penilaian jalan napas, nadi radialis maupun nadi

carotis dapat pula teraba. Jika ditemukan perdarahan terbuka segera tutup dengan

bebat tekan. Cegah bertambahnya jumlah darah yang keluar. Waspada terhadap

terjadinya shock. Penangana luka secara baik dilakukan setelah korban stabil. Jika

ditemukan henti jantung, penderita mungkin masih akan berusaha menarik napas

satu atau dua kali, setelah itu akan berhenti napas. Penderita akan ditemukan

dalam keadaan tidak sadar. Pada perabaan nadi tidak ditemukan arteri yang tidak

berdenyut, maka harus dilakukan masase jantung luar yang merupakan bagian

resusitasi jantung paru.

Terapi cairan dan elektrolit

Terapi cairan harus dikontrol dan dimonitor dan pemberian yang

berlebihan karena kebanyakan kasus gagal nafas selalu diikuti oleh edema paru

dengan pemberian infus Normal Saline (NS), Ringer Asetat (RA), atau Ringer

laktat (RL) sebanyak 20 ml/kg selama 30-60 menit. Pada syok hemoragik bisa

diberikan 2-3 L dalam 10 menit.

Medikamentosa

 Stimulasi pernapasan dengan oksapram IV (1-4) mg/menit diberi untuk

memperbaiki cardiac output dan memperbaiki tekanan syok


 Bronkodilator (contohnya : theophylline kompoun), agen

sympathomimetic (albuterol, metaproterenol, isoproterenol), anticholinergic dan

kortikosteroid bila ada obtruksi jalan napas disebabkan oleh bronkokonstriksi dan

disebabkan oleh peningkatan inflamasi.

 Antibiotik untuk penyakit yang disebabkan oleh infeksi (sepsis) seperti

pneoumonia

 Medikasi lain

 Morphine (2,5-10 mg by mouth or 1-2 mg IV/subcutaneous every 1-4

hours) : untuk mengurangi sensasi nafas pendek

Lorazepam (0,5-1,0) Sublingually untuk mengurangi kepenatasn ketika

sesak nafas.

d. Disability

Menjelang akhir primary survey, dilakukan evaluasi terhadap keadaan

neurologis secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran , serta ukuran

dan reaksi pupil. Suatu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalah

metode AVPU.

A: Alert (sadar)

V: Verbal/Vokal. Respons terhadap rangsangan vokal

P: Pain. Respons terhadap rangsangan nyeri

U: Unresponsive. Tidak bada respons.

Glasgow Coma Scale (GCS) adalah sistem scoring yang sederhana dan

dapat meramal kesudahan (outcome) penderita. GCS ini dapat dilakukan sebagai

pengganti AVPU. Bila belum dilakukan pada survei primer, harus dilakukan pada
secondary survey pada saat pemeriksaan neurologis. Penurunan kesadaran dapat

disebabkan penurunan oksigenasi dan/atau penurunan perfusi otak, ataupun

disebabkan trauma langsung pada otak. Penurunan kesadaran menuntut

dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan oksigenasi, ventilasi dan perfusi.

Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita.

Walaupun demikian, bila sudah disingkirkan kemungkinan hipoksia ataupun

hipovolemia sebagai sebab penurunan kesadaran, maka trauma kapitis dianggap

sebagai penyebab penurunan kesadaran, dan bukan alkoholisme, sampai terbukti

sebaliknya.

e. Exposure

Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, sering dengan cara

menggunting, guna memeriksa dan evaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka,

penting agar penderita tidak kedinginan. Harus dipakaikan selimut hangat,

ruangan yang cukup hangat, dan diberikan cairan intra vena yang sudah

dihangatkan. Yang penting adalah suhu tubuh penderita, bukan rasa nyaman

petugas kesehatan.

2. Bagaimana tindakan selanjutnya jika tindakan awal gagal ?

Tindakan lanjut yang dilakukan apabila penanganan awal gagal:

Lakukan Trakeotomi, merupakan tindakan membuat jalan napas baru dengan

membuat lubang pada trakea. Trakeotomi menurut urgensi dibagi atas:

1. Emergency tracheostomy, dilakukan pada keadaan darurat, biasanya

didaerah glottis
2. Orderly tracheostomy, merupakan tindakan berencana, dilakukan pada

cincing trakea III atau dibawahnya.

Indikasi:

1. Pasien yang tampak pucat atau sianotik

2. Terjadinya obstruksi jalan napas

3. Terdapat benda asing disubglotis

4. Cedera parah pada wajah dan leher

Komplikasi:

a.Perdarahan

b. Infeksi pada tulang rawan tiroid

c. Stenosis trakea

Secondery Survey

Dimulai setelah primary survey selesai. Pada secondary survey dievaluasi

dari kepala sampai kaki pasien, yaitu riwayat pasien dan pemeriksaan fisik,

termasuk penilaian kembali tanda-tanda vital.

RIWAYAT PASIEN

 Alergi

 Obat-obatan yang saat ini digunakan

 Penyakit masa lalu/kehamilan

 Makanan terakhir

 Peristiwa/Lingkungan yang terkait dengan cedera


PEMERIKSAAN FISIK

 Kepala

 Tulang belakang

 Leher

 Dada

 Perut

 Panggul

 Perineum

 Rectum

 Vagina

 System Musculoskeletal

 System Neurologis

Secondery survaice dimulai dengan evaluasi kepala untuk mengidentifikasi

ada tidaknya trauma neurologis dan trauma lainnya yang signifikan. Pada kepala

diperiksa ada tidaknya trauma laserasi, kontusio, dan fractur.

Jika edema disekitar mata lakukan pemeriksaan lebih dalam, seperti:

 Ketajaman penglihatan

 Ukuran pupil

 Pendarahan konjungtiva atau fundus

 Luka tusuk

 Kontak lensa (dilepas sebelum edema terjadi)

 Dislokasi lensa

 Okular yang terperangkap


Salah satu pemeriksaan ketajaman visual dapat dilaukan dengan menggunakan

Snellen chart. gerakan ocular perlu diperiksa untuk mengeliminasi gangguan otot

ekstraokuler dikarenakan fraktur orbita.

2) Struktur Maxillofacial

Pemeriksaan wajah terdiri dari palpasi dari struktur yang bertulang,

penilaian oklusi, pemeriksaan intraoral, dan penilaian jaringan lunak. Trauma

maxillofacial tidak berhubungan dengan obstruksi jalan nafas atau pendarahan

massif yang harus diatasi hanya setelah pasien stabil dan trauma yang mengancam

nyawa telah diatasi. Pasien dengan fraktur midface mungkin juga memiliki fraktur

platcribriform. Untuk pasien-pasien ini, intubasi lambung harus dilakukan melalui

rute oral.

3) Tulang belakang dan leher

Pasien dengan trauma maxillofacial atau kepala harus dicurigai memiliki

trauma tulang belakang sehingga gerakan leher harus dibatasi.

4) Dada

Inspeksi pada dada, depan dan belakang dapat mengidentifikasi kondisi

seperti open pneumothorax, flail chest. Pemeriksaan lengkap dari dada

membutuhkan palpasi seluruh dinding dada termasuk clavicula, tulang rusuk dan

sternum. Tekanan pada sternum dapat menyebabkan nyeri jika terdapat fraktur

atau separasi costo kondral pada sternum. Kontusio dan hematoma pada dinding

dada dapat menandakan cedera occult. .

Sesuai dengan skenario hasil pemeriksaan fisik didapatkan lebam pada

lengan kiri, dan jejas pada dada kiri dan juga terdapat pecahan kaca tertancap pada
regio aksila kiri kemuadian selama observasi di UGD pasien tiba-tiba makin

sesak,pucat dan kesadaran menurun. Oleh karena itu untuk memberikan

penanganan yang tepat kita bisa lakukan pemeriksaan x-ray untuk melihat apakah

ada fraktur pada tulang humerusnya atau tidak, sekaligus meminta x-ray pada

rongga dada untuk melihat apakah ada fraktur clavicula atau costa karena terdapat

jejas pada dada kiri dan untuk melihat tingkat kerusakan dinding toraks akibat

pecahan kaca tertancap pada regio aksila kiri.

Reevaluation

Pasien harus dievaluiasi secara berkala, memastikan tidak ada kelainan

yang terlewatkan, ataupun adanya kelainan baru. Pemantauan terus-menerus tanda

vital, saturasi oksigen, dan pengeluaran urin sangat penting. Untuk pasien dewasa

normalnya urin keluar 0,5 mL/kg/jam dan pada pasien anak yang lebih dari tahun

normalnya 1 mL/kg/jam.

3. Apa yang menyebabkan pasien gagal napas ?

Gagal napas merupakan kegagalan sistem respirasi dalam pertukaran gas O2

dan CO2 serta masih menjadi masalah dalam penatalaksanaan medis. Secara

praktis, gagal napas didefinisikan sebagai PaO2 < 60 mmHg atau PaCO2 > 50

mmHg. Gagal napas akut dapat digolongkan menjadi dua yaitu gagal napas akut

hipoksemia (gagal napas tipe I) dan gagal napas akut hiperkapnia (gagal napas

tipe II).

1) Gagal Napas Tipe I (kegagalan oksigenasi, hipoksemia arteri)


Gagal napas tipe I ditandai dengan tekanan parsial O2 arteri yang rendah.

Mungkin hal ini disebabkan oleh setiap kelainan yang menyebabkan rendahnya

ventilasi perfusi atau shunting intrapulmoner dari kanan ke kiri yang ditandai

dengan rendahnya tekanan parsial O2 arteri (PaO2 < 60 mmHg saat menghirup

udara ruanagan).

Penyebab gagal napas tipe 1 (kegagalan oksigenase):

 Adult Respiratory Distrees Syndrom (ARDS)

 Asthma

 Edem Paru

 Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)

 Fibrosis intertisisal

 Pneumonia

 Emboli Paru

 Pneumotoraks

 Hipertensi Pulmonal

2) Gagal Napas Tipe II (kegagalan ventilasi: arterial hiperkapnea)

Tekanan parsial CO2 arteri mencerminkan efisisensi mekanisme ventilasi

yang membuang produksi CO2 dari hasil metabolism jaringan. Gagal napas tipe II

dapat disebabkan oleh setiap kelainan yang menurunkan Central Respiratory

Drive, mempengaruhi transmisi sinyal dari CNS atau hambatan kemampuan otot-

otot respirasi untuk menegmbangkan paru dan dingding dada. Gagal napas Tipe II

ditandai dengan peningkatan tekanan parsial CO2 arteri yang abnormal (PaCO2 >
46 mmHg), dan diikuti secara simultan dengan turunnya PaO2 - PaO2 masih tetap

tidak berubah.

Penyebab gagal napas tipe II:

a) Kelainan yang mengenai Central Ventilatory Drive, yang merupakan sebuah

kontrol pernapasan atau penggerak pernapasan yang terletak di batang otak.

 Infark atau perdarahan otak

 Penekanan masa supratentorial pada batang otak

 Overdosis obat, narkotik,Benzodiazepine, agen anestesi, dll.

b) Kelainan yang mengenai transmisi sinyal ke otot-otot respirasi

 Myastenia Gravis

 Amytropic lateral sclerosis

 Guillain Barre Syndrom

 Spinal Cord Injury

 Multiple Sclerosis

 Paralisis residual (pelumpuh otot)

c) Kelainan pada otot-otot pernapasan dan dingding dada

 Muscular dystrophy

 Polymyositis

 Flail Chest

Gagal napas juga dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya trauma atau non

trauma.
a) Gagal napas akibat trauma, antara lain:

Pneumotoraks, Hemotoraks, Hidropneumotoraks, Obtruksi benda asing,

Flail chest, infark atau perdarahan otak, penekanan masa supratentorial pada

batang otak

b) Gagal napas akibat non trauma, antara lain:

Efusi, Asma, Pneumonia, Penyakit vascular, myastenia gravis,Guillain barre

syndrome, muscular dystrophy, polymyositis, dan lain-lain.

4. Bagaimana patomekanisme dari gagal napas sesuai skenario ?

Rongga dada mempunyai dua struktur yang penting dan digunakan untuk

melakukan proses ventilasi dan oksigenasi, yaitu pertama tulang, tulang – tulang

yang menyusun struktur pernapasan seperti tulang klafikula, sternum, scapula.

Kemudian yang kedua adalah otot-otot pernapasan yang sangat berperan pada

proses inspirasi dan ekspirasi Jika salah satu dari dua struktur tersebut mengalami

kerusakan, akan berpengaruh pada proses ventilasi dan oksigenasi. contoh

kasusnya, adanya fraktur pada tulang iga atau tulang rangka akibat kecelakaan,

sehingga bisa terjadi keadaaan flail chest atau kerusakan pada otot pernapasan

akibat trauma tumpul, serta adanya kerusakan pada organ viseral pernapasan

seperti, paru-paru, jantung, pembuluh darah dan organ lainnya di abdominal

bagian atas, baik itu disebabkan oleh trauma tumpul, tajam, akibat senapan atau

gunshot.

Tekanan intrapleura adalah negatif, pada proses respirasi, udara tidak akan

dapat masuk kedalam rongga pleura. Jumlah dari keseluruhan tekanan parsial dari
udara pada kapiler pembuluh darah rata-rata (706 mmHg). Pergerakan udara dari

kapiler pembuluh darah ke rongga pleura, memerlukan tekanan pleura lebih

rendah dari -54 mmHg (-36 cmH2O) yang sangat sulit terjadi pada keadaan

normal. Jadi yang menyebabkan masuknya udara pada rongga pleura adalah

akibat trauma yang mengenai dinding dada dan merobek pleura parietal atau

visceral, atau disebabkan kelainan konginetal adanya bula pada subpleura yang

akan pecah jika terjadi peningkatan tekanan pleura.

5. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada saat melakukan penanganan ?

Komplikasi Pada Saat Tindakan

1. Keracunan Oksigen

Sebagian besar (90%) oksigen digunakan oleh rantai transport

elektron. Secara struktural, oksigen memiliki dua elektron yang tidak

berpasangan dengan keadaan putaran paralel. Konsekuensinya, O2 memiliki

kecenderungan membentuk spesies oksigen reaktif (Reactive Oxygen Species/

ROS) berupa superoksida (O2–), radikal bebas hidroksil (OH+), dan hidrogen

peroksida (H2O2). Radikal hidroksil adalah ROS yang paling poten dan

diduga sebagai pencetus reaksi peroksida lemak dan radikal

organik. Selanjutnya, hidrogen peroksida meski bukan radikal,adalah

pengoksidasi yang menghasilkan hidroksil melalui reaksi Fenton. Sama

halnya dengan hidrogen peroksida, superoksida dapat juga membentuk

hidroksil dan hidroperoksi yang lebih reaktif melalui reaksi Haber-

Weiss. Asam hipoklorit (HOCl) dalam tubuh manusia dibentuk dari hidrogen
peroksida oleh neutrofil dan sel granulamatosa yang betujuan menghancurkan

benda asing, yang disebut pula ledakan pernapasan (respiratory burst).

Pajanan oksigen bertekanan tinggi pada jaringan paru bisa menyebabkan

perubahan jaringan menjadi patologis. Derajat cedera berhubungan denga

lamanya pajanan dan tekanan oksigen yang dihirup, bukan PaO2. Secara

umum, FiO2 > 0,5, jangka waktu 16030 jam menyebabkan keracunan. Tanda

pertama keracunan oksigen adalah akibat efek iritasi oksigen dan refleks

trakeobronkitis akut. Setelah beberapa jam bernapas dengan oksigen 100%,

fungsi mukosiliar akan tertekan dan terjadi gangguan pembersihan mukus.

Dalam 6 jam pemberian oksigen 100%, bisa terjadi batuk nonproduktif, nyeri

substernal, dan hidung tersumbat. Bisa juga terjadi malaise, mual, anoreksia,

dan nyeri kepala. Keluhan tersebut akan hilang setelah terapi oksigen

dihentikan.

Fungsi makrofag alveolar juga mengalami tekanan, menjadikan pasien

lebih rentan terhadap infeksi. Cedera jaringan paru akibat hipoksemia

merupakan penyebab produksi radikal bebas oksigen yang menekan

pertahanan antioksidan tubuh. Penghentian pajanan oksigen dosis toksis akan

memberi kesempatan sel memulai perbaikan, perbaikan bisa juga berakibat

terbentuknya fibrosis paru dalam berbagai derajat kelainan.

Pencegahan jangan memberi oksigen konsentrasi >50% lebih dari 24 jam

dan setiap pemberian oksigen konsentrasi tinggi harus dipantau PaO2.2


2. Hipoventilasi

Hipoventilasi akibat pemberian oksigen bisa terjadi akibat supresi pada

hipoxic respiratory drive. Pada keadaan normal, karbondioksida merupakan

pengendali stimulan utama sistem respirasi. Namun, pada pasien dengan

hiperkapnia kronik (PaCO2 > 45 mmHg), respons terhadap peningkatan

kadar CO2 menjadi tumpul dan hipoksemia menjadi stimulan utama sistem

ventilasi. Pemberian gas yang kaya oksigen pada pasien seperti ini bisa

menyebabkan hipoventilasi, hiperkapnia dan apnea.

Pada keadaan demikian, oksigen sebaiknya diberikan pada kadar rendah

(< 30%) dan pasien dipantau terhadap tanda-tanda depresi nafas. Jika

oksigenasi ternyata tidak adekuat dan terjadi depresi nafas, segera dipasang

ventilasi mekanis.

3. Atelektasis absorbsi

Atelektasis absorbsi terjadi ketika alveoli kolaps akibat gas dalam alveoli

diabsorbsi masuk kedalam aliran darah. Nitrogen, gas yang relatif tidak

mudah larut, pada keadaan normal mempertahankan volume residu dalam

alveoli. Selama pernapasan dengan kadar oksigen yang tinggi, nitrogen bisa

tersingkir atau "tercuci" dari alveoli. Ketika oksigen dalam alveoli kemudian

diabsorbsi ke dalam kapiler pulmonal, akan terjadi kolaps total pada sebagian

alveoli.

Atelektasis absorbsi lebih mudah terjadi pada area dengan penurunan

ventilasi, seperti pada saluran napas sebelah distal dari obstruksi parsial,
karena oksigen diabsorbsi ke dalam darah dengan kecepatan lebih tinggi dari

pada oksigen pengganti.

4. Occular damage

Retinopathy of Prematurity (ROP), yaitu terlepasnya retina dari

tempatnya di dalam bagian belakang mata.Retina sendiri fungsinya menerima

gambaran penglihatan, jadi jika retina tidak pada tempatnya, makagambaran

penglihatan tidak bisa masuk untuk diterima otak. Diduga terjadi karena

terpapar oksigen berlebihan menimbulkan celah di antara sel spindel

mesenkimal mata. Celah ini mengganggu pembentukan pembuluh darah mata

yang normal.

Cedera yang terjadi berhubungan dengan PaO2, maka dianjurkan PaO2

dijaga pada kisaran 60 - 90 mmHg pada neonatus.

6. Bagaimana penggunaan obat-obatan darurat pada skenario ?

Obat-obat emergensi yang biasa digunakan meliputi:

ADRENALIN / EPINEFRIN

Pada syok anafilaktik digunakan untuk mengatasi gangguan sirkulasi dan

menghilangkan bronkospasme. Adrenalin/Epinefrin meningkatkan perfusi otak

dan coroner.

Efek : pada jantung paru, adrenalin merangsang reseptor α (α1 dan α2) agar

terjadi vasokontriksi perifer dan merangsang reseptor β1 di jantung agar

pembuluh darah koroner mengalami dilatasi sehingga aliran darah ke miokard

menjadi lebih baik.


Dosis : untuk resusitasi jantung digunakan adrenalin 1:10.000 (1 mg adrenalin

dan10 ml NaCl) 1 mg iv diulang setiap 2-3 menit sampai resusitasi

berhasil atau dihentikan. Pada pasien dengan syok ringan, dosis

diberikan 0,3-0,5 mg secara subkutan dalam larutan 1:1000. Sedangkan

pada pasien dengan syok berat, dosis dapat diulang atau ditingkatkan

0,5-1 mg. Pada RJP, dosis yang dianjurkan adalah 0,5-1 mg dalam

larutan 1:1000, dapat diulang tiap 5 menit karena masa kerjanya pendek.

DOPAMIN

Digunakan pada pasca resusitasi bila hipotensi membahayakan perfusi

organ vital terutama ginjal. Juga digunakan untuk mempertahankan tekanan

darah dan perfusi pada syok septik, syok kardiogenik, dan pasca resusitasi

jantung. Sebelum diberikan pada penderita syok, hipovolemia harus dikoreksi

terlebih dahulu.

Indikasi: Hipotensi yang bukan disebabkan karena hipovolemia

Efek : - meningkatkan diuresis

- meningkatkan kontraktilitas miokard

- Hampir tidak mempengaruhi resistensi perifer

- Menyebabkan dilatasi arteriol ginjal sehingga mempertahankan fungsi

ginjal

Dosis : Dosis dopamin dimulai dari 2-5 µg/kgbb/menit. 5-10 mg/kgbb/menit

untuk meningkatkan curah jantung, tekanan darah sistolik, bisa juga diberikan

>10µg/kgbb/menit. Efek pada ginjal. Dosis tersebut memberikan efek yang


berbeda-beda. Pengenceran dengan cairan D5%, D10%, NaCL 0,9%. Sebelum

dan sesudah pemberian observasi tanda-tanda vital

EPHEDRINE

Farmakodinamik : efeknya sama dengan adrenalin, tetapi efektif pada

pemberian oral, potensinya lebih lemah tetapi masa kerjanya 7-10 kali lebih

panjang. Ephedrine merupakan obat simpatomimetik yang bekerja ganda, secara

lngsung pada reseptor adrenergik dan secara tidak langsung dengan merangsang

pengeluaran ketokolamin.

Dosis :untuk mengatasi hipotensi akibat blok spinal selama anesthesia atau

depresi halotan diberikan ephedrine dengan dosis 10-50 mg IM atau 10-20 mg

IV.

FUROSEMID

Farmakodinamik : digunakan untuk mengurangi edema paru dan edema otak.

Efek : efek samping dapat yang dapat terjadi karena diuresis

yang

berlebih adalah hipotensi, dehidrasi dan hipokalemia.

Dosis : 20-40 mg Intravena.

7. Bagaimana syarat transportasi dan rujukan pasien ?

Syarat Transportasi Rujukan pada Pasien Kecelakaan

Prinsip utama manajemen trauma adalah “Do No Further Harm” (tidak

membahayakan lebih lanjut). Berikut kriteria pasien yang harus segera dirujuk ke

fasilitas kesehatan:
 Penanggungjawab Rujukan

1. Dokter yang merujuk

Dokter yang merujuk bertanggung jawab untuk membawa pasien ke

lembaga penerima dan memilih jenis transportasi yang sesuai dan tingkat

perawatan yang diperlukan untuk perawatan optimal pasien. Dokter yang

merujuk harus berkonsultasi dengan dokter penerima rujukan dan harus

akrab (bekerja sama) dengan agen pengangkut, kemampuan mereka, dan

pengaturan untuk perawatan pasien selama transportasi. Menstabilkan

kondisi pasien sebelum dibawa ke fasilitas kesehatan adalah tanggung

jawab dokter perujuk. Inisiasi proses transfer harus dimulai sementara


upaya resusitasi sedang berlangsung. Persetujuan transfer harus dibuat

untuk memberikan pergerakan yang konsisten dan efisien. Persetujuan ini

memungkinkan untuk umpan balik ke rumah sakit rujukan dan

meningkatkan efisiensi dan kualitas perawatan pasien selama transfer.

2. Dokter yang menerima rujukan

Dokter penerima rujukan harus dikonsultasikan sehubungan untuk

pemindahan pasien trauma. Dia harus memastikan bahwa lembaga

penerima yang diusulkan memenuhi syarat, mampu dan mau menerima

pasien, dan masuk kesepakatan dengan maksud untuk mentransfer.

Dokter penerima rujukan harus membantu dokter perujukan dalam

membuat pengaturan untuk jenis dan tingkat yang sesuai selama

transportasi. Jika fasilitas kesehatan tidak dapat menerima pasien, maka

mereka harus membantu dalam menemukan penempatan alternatif untuk

pasien. Kualitas perawatan yang diberikan dalam perjalanan sangat

penting penting bagi pasien. Hanya dengan komunikasi langsung antara

pengarah dan dokter penerima rujukan dapat menjelaskan perincian

pemindahan pasien. Jika medis darurat terlatih personil tidak tersedia,

seorang perawat atau dokter harus menemani pasien. Semua pemantauan

dan manajemen diberikan dalam perjalanan harus didokumentasikan.

 Jenis Transportasi

“Do no further harm” adalah prinsip terpenting saat memilih jenis

transportasi pasien. Jenis transportasi seperti transportasi darat, air, dan udara

dapat aman dan efektif tergantung kondisi. Faktor-faktor lokal seperti


ketersediaan, geografi, biaya, dan cuaca adalah penentu utama yang

digunakan dalam keadaan tertentu. Perjalanan antar rumah sakit dapat

berbahaya, kecuali pasien telah dilakukan stabilisasi, personel yang

mendampingi cukup terlatih, dan telah diperhitungkan hal yang tidak terduga

selama transportasi.

 Protokol Rujukan

1. Informasi dari dokter yang merujuk

Dokter yang telah menentukan pemindahan pasien harus berbicara

langsung kepada dokter penerima rujukan. Informasi yang harus

diberikan:

a) Identifikasi pasien

b) Kronologis singkat kejadian tersebut, termasuk data pra-rumah sakit

c) Temuan awal di UGD

d) Respons pasien terhadap terapi yang diberikan

2. Informasi dari dokter yang menerima rujukan

Informasi mengenai kondisi pasien dan kebutuhan selama transportasi

harus dikomunikasikan kepada personel pengangkut, meliputi:

a) Perawatan jalan nafas

b) Penggantian volume cairan

c) Prosedur khusus yang mungkin diperlukan

d) Menilai skor trauma, prosedur resusitasi, dan setiap perubahan yang

mungkin terjadi dalam perjalanan


 Dokumentasi

Catatan tertulis tentang masalah, perawatan yang diberikan, dan status pasien

pada saat pemindahan, serta barang fisik tertentu pada pasien.

 Penanganan sebelum dirujuk

Pasien harus diresusitasi dan dilakukan upaya untuk menstabilkan kondisi

selengkap mungkin berdasarkan langkah berikut:

1. Airway (Jalan napas)

a. Masukkan endotracheal tube jika dibutuhkan

b. Lakukan hisap (suction) bila ada sumbatan jalan napas

c. Masukkan gastric tube untuk mengurangi risiko aspirasi

2. Breathing (Bernafas)

a. Tentukan tingkat dan berikan suplemen oksigen

b. Berikan ventilasi mekanis saat dibutuhkan

c. Masukkan chest tube jika perlu

3. Circulation (Sirkulasi)

a. Kontrol perdarahan eksternal

b. Buat dua jalur intravena kaliber besar dan mulai infus larutan

kristaloid

c. Kembalikan hilangnya volume darah dengan cairan kristaloid atau

darah dan teruskan penggantian selama transportasi

d. Masukkan kateter uretra untuk monitor keluarnya urin

e. Monitor irama dan laju jantung pasien


4. Sistem saraf pusat

a. Membantu pernapasan pada pasien yang tidak sadar

b. Berikan mannitol jika perlu

c. Imobilisasi kepala, leher, dada, dan lumbal cedera tulang belakang

5. Pemeriksaan diagnostik (bila terindikasi)

a. Foto rontgen dada, panggul, dan ekstremitas

b. CT Scan dan aortografi (biasanya tidak diindikasikan)

c. Cek hemoglobin atau hematocrit dan penentuan gas darah arteri

d. Cek irama jantung (EKG) dan saturasi hemoglobin (oksimetri nadi)

6. Luka

a. Bersihkan luka setelah mengontrol perdarahan

b. Berikan profilaksis tetanus

c. Berikan antibiotic bila ada indikasi

7. Fraktur

Terapkan splinting (pembidaian) dan traksi (tahanan) yang tepat pada

fraktur.

 Penanganan Selama Transportasi

Personel harus memindahkan pasien berdasarkan kondisi pasien. Perawatan

selama transportasi meliputi:

1. Memantau tanda-tanda vital dan oksimetri nadi

2. Dukungan berkelanjutan untuk sistem kardiorespirasi

3. Lanjutan penggantian volume darah


4. Penggunaan obat yang sesuai seperti yang diperintahkan oleh dokter atau

yang diizinkan oleh protokol tertulis

5. Tetap berkomunikasi dengan dokter atau lembaga selama transportasi

Mencatatan kondisi pasien selama transportasi.

8. Bagaimana perspektif islamnya ?

Doa keluar rumah :

ِ‫س ِم‬ ِِ ِ‫علَى ت َ َو َّك ْلت‬


ْ ‫للا ِب‬ ِِ ، ‫ِباهلل ِإ َِّل ق َّو ِةَ َو َِل َح ْو َِل َِل‬
َ ‫للا‬
Artinya :

“Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah. Tiada daya dan

kekuatan kecuali dengan Allah.

Doa berkendara / menaiki kendaraan

َ ‫ِىِ س ْب َح‬
ِ‫ان‬ َ ‫ن َو َماكنَّالَهِ َهذَا‬
ْ ‫س َّخ َرلَنَا الَّذ‬ َِ ‫ن َربِنَا اِلَى َواِنَّآ م ْق ِرنِ ْي‬
َِ ‫لَم ْنقَ ِلب ْو‬

Artinya :

"Maha suci Allah yang telah menundukkan untuk kami (kendaraan) ini.

padahal sebelumnya kami tidak mampu untuk menguasainya, dan hanya

kepada-Mu lah kami akan kembali."


DAFTAR PUSTAKA

1. Saint clair st. ATLS. Edisi ketujuh. Penerbit American Collage of Surgeons,

Jakarta, 2004, Hal; 15-16.

2. Sue DY and Bongard FS.2003. Respiratory Failure. In Current Critical Care

Diagnosis and Treatment, 2nd Ed, Lange-McGrawHill, California, Pp. 269-89

3. Literature ReviewPractical use of the Glasgow Coma Scale; acomprehensive

narrative review of GCS methodologyPaul M. Middleton, RGN, MBBS, MD,

MMed (ClinEpi), DipIMCRCS (Ed), FRCS (Eng),FCEM, FACEMa,b,c,NSW

Institute of Trauma and Injury Management, Australia

4. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma Di Indonesia.

5. Ajmal Gilani, MD; Albert Hinn, MD; Peter Lars Jacobson, MD, End-of-Life

Physician Education Resource Center ALS: Magement of Respiratory Failure.

6. Yeo SS, Chang PH, Jang SH. The ascending reticular activating system from pontine

reticular formation to the thalamus in the human brain. Frontiers in Human

Neuroscience [Internet]. 2013

7. Stewart RM. Advanced Trauma Life Support ®. 10th ed. American College of

Surgeons; 2018.

8. Nemaa PK. 2003. Respiratory Failure. Indian Journal of

Anaesthesia,47(5):360-6

9. Deliana, Anna dkk. 2013. Indikasi Perawatan Pasien dengan Masalah

Respirasi di Instalasi Perawatan Intensif. J Respir Indo Vol. 33, No. 4.

10. Anonim. Europan course trauma care thoracic trauma; cited 24 November

2012 available at www.cdu.dc.med.unipi.it/ectc/ethoma.htm


11. Noppen M, Keukeleire T.D : Pneumothorax. Respiration 2008; 76 :121 – 127

12. Marks DB, Marks AD, Smith CM. Biokimia kedokteran dasar: Metabolisme

oksigen dan toksisitas oksigen . Jakarta: EGC; 2015, hlm. 321-31.

13. Bambang Pujo Semedi, Hardiono. 2012. Pemantauan Oksigenasi. Majalah

Kedokteran Terapi Intensif. Volume 2 Nomor 2.

14. Tintinalli Judita, M.D.,M.S., Emergency Medicine, McGraw-Hill, New

York,2001

15. American College of Surgeons Committee on Trauma. Advanced Trauma Life

Support (ATLS) 9th Edition. Hal. 301-306.

Anda mungkin juga menyukai