Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PBL

BERDEBAR-DEBAR

Disusun Oleh :

M. ARIF MUNANDAR K. (11020150030)


NURFIDYA K. PATUMA (11020160044)
ANDI ALISA KURNIATI (11020160055)
ARMYN DWI PUTRI (11020160069)
A. NASHIRA ISWALAILY (11020160078)
MUH. AGUNG GUNADI (11020160096)
RATU SRI BESTARI (11020160104)
ANDI SURYANTI TENRI RAWE (11020160124)
FAUZIA SUPARJO (11020160138)
ZULFI INDRIANI (11020160151)

Tutor : dr. Yani Sadiqoh

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya
sehingga laporan hasil tutorial ini dapat terselesaikan dengan baik. Dan tak lupa kami
kirimkan salam dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa
kita dari alam yang penuh kebodohan ke alam yang penuh kepintaran. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu membuat laporan ini
serta kepada tutor yang telah membimbing kami selama proses tutorial berlangsung.
Semoga laporan hasil tutorial ini dapat bermanfaat bagi setiap pihak yang telah
membaca laporan ini dan khusunya bagi tim penyusun sendiri. Semoga setelah
membaca laporan ini dapat memperluas pengetahuan pembaca mengenai
cardiovascular.

Makassar, 12 Maret 2018

Kelompok 13
SKENARIO

Nn. S berumur 22 tahun dating ke rumah sakit dengan keluhan berdebar-debar.


Keluhan sudah dirasakan sejak masih kecil dan kadang-kadang disertai rasa pusing
dan seperti mau pingsan. Akhir-akhir ini kalau melakukan kegiatan debarannya
bertambah disertai rasa sesak dan cepat lelah.

Pada pemeriksaan fisis TD 90/60 mmHg, Denyut Jantung 130x/menit dan


temperature badan 36,7oC. Terdapat bising mid diastolic murmur derajat 2/4 disertai
dengan opening snap disertai bising holosistolik derajat 3/6 di perpotongan sela iga 5
kiri dan garis axillaris anterior kiri.

Pada pemeriksaan foto thoraks ditemukan adanya pinggang jantung yang


menghilang dan disertai gambaran double contour.

A. Klarifikasi dan definisi kata kunci


1. Murmur diastolic adalah bunyi yang muncul setelah S2 dan berakhir sebelum
atau pada S1.
(DORLAND, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland)

2. Bising holosistolik imbul sebagai akibat aliran yang melalui bagian jantung
yang masih terbuka (seharusnya dalam keadaan tertutup pada kontraksi
jantung) dan mengisi seluruh fase sistolik.
(Sherwood, L. (2001). Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Jakarta: EGC)

B. Problem / Kata Kunci


1. Nn S berumur 22 tahun
2. Keluhan berdebar-debar
3. Keluhan sejak masih kecil disertai pusing dan mau pingsan
4. Debaran bertambah jika melakukan kegiatan disertai rasa sesak dan cepat
lelah
5. Pemeriksaan fisis: TD 90/60 mmHg, Denyut jantung 130x/menit, laju napas
28x/menit, temperature badan 36,7oC
6. Terdapat bising Mid diastolic murmur derajat 2/4 disertai opening snap
7. Bising holosistolik derajat 3/6 di perpotongan sela iga 5 kiri dan garis axillaris
anterior kiri
8. Pemeriksaan foto thoraks: Pinggang jantung menghilang dan disertai
gambrana double contour.

C. Pertanyaan
1. Jelaskan perbedaan irama palpitasi regular dan irregular?
2. Riwayat penyakit yang berkaitan dengan scenario dan riwayat keluarga yang
sesuai dengan scenario!
3. Bagaimana Pemeriksaan Fisik sesuai scenario?
4. Jelaskan Patomekanisme atrium fibrilasi?
5. Bagaimana penatalaksanaan dan tatalaksana awal sesuai scenario?
6. Bagaimana temuan pada pemeriksaan EKG berdasarkan scenario?
7. Bagaimana temuan pada pemeriksaan ECHO berdasarkan scenario?
8. Bagaimana temuan pada pemeriksaan Aortografi berdasarkan scenario?
9. Komplikasi yang sesuai dengan scenario?

D. Pembahasan

1. Sebelum kita mengetahui perbedaan dari palpitasi tersebut kita harus


mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan palpitasi. Palpitasi
atau berdebar-debar adalah kondisi ketika detak jantung seseorang terasa
seperti tidak biasanya , entah itu lambat maupun cepat atau detakannya tidak
berirama ataupun jumlah detakan lebih dari normal.
 Palpitasi regular : pada jantung orang normal setiap denyut berasal dari
SA Node (irama sinus normal). Jantung berdenyut sekitar 60-100 denyut
per menit pada keadaan istirahat maupun beraktifitas.
 Palpitasi ireguler : denyut jantung yang tidak normal. Dapat meninggi
(tachycardia) seperti dalam keadaan emosi,olahraga, demam, dan
ransangan lainnya yang dapat meransang saraf simpatis, yang dimana
frekuensi nya itu dapat melebihi 100 kali/menit. Ataupun denyut jg dapat
menjadi rendah (bradicardia) seperti dalam keadaan tidur yang frekuensi
nya itu dibawah 60 kali/menit. Atau bisa juga terjadi Fibrilasi yaitu irama
jantung yang tidak teratur.

Referensi: Kusmana, D., & Hanafi, M. (2003). Pemeriksaan Fisik Jantung. Dalam:
Ismudiati L editor. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FK UI

2. Riwayat Penyakit sebelumnya dan hubugannya

Kejadian atrial fibrilasi juga merupakan aritmia yang paling sering


dijumpai dalam praktek sehari-hari dan paling sering menjadi penyebab
seseorang harus menjalani perawatan di rumah sakit. Atrial fibrilasi makin
mudah terjadi apabila terdapat kelainan anatomi jantung. Salah satu penyebab
kelainan struktur jantung adalah hipertensi lama.
Hipertensi yang berkepanjangan dan tidak terkendali dapat mengubah
struktur miokard, pembuluh darah dan sistem konduksi jantung. Perubahan-
perubahan ini dapat mengakibatkan kelainan, salah satunya hipertrofi ventrikel
kiri. Gangguan sistem konduksi, dilatasi atrium kiri, disfungsi sistolik dan
diastolik juga dapat mengalami perubahan.Hal ini mempermudah terjadinya
aritmia jantung terutama atrial fibrilasi.
Tekanan darah yang meningkat diakibatkan peningkatan resistensi perifer
yang dipengaruhi oleh vasokonstriksi pembuluh darah perifer serta retensi
natrium yang diperantarai oleh sistem RAAS.Resistensi yang meningkat harus
diimbangi dengan kekuatan jantung dalam memompa darah sehingga terjadi
kompensasi simpatis untuk meningkatkan kerja jantung. Kerja jantung
meningkat, tekanan darah pun meningkat. Pada proses yang kronik, otot jantung
terutama otot ventrikel kiri akan mengalami hipertrofi untuk memenuhi demand
jaringan.
Pada kasus volume overload, jumlah darah yang masuk saat fase diastole
(preload) ke dalam ventrikel kiri bertambah. Preload yang meningkat tentunya
akan meningkatkan tegangan otot ventrikel sehingga dibutuhkan tenaga yang
lebih besar untuk memompa darah yang lebih banyak. Aktivasi kompensasi
simpatis pun terjadi, kontraktilitas otot ventrikel meningkat sehingga tekanan
darah meningkat.

Referensi: Damayanti, B. P., Damayanti, B. P., & Limantoro, C. (2014). Hubungan


Antara Hipertensi Dan Hipertrofi Ventrikel Kiri Pada Pasien Lansia Dengan Atrial
Fibrilasi (Doctoral dissertation, Faculty of Medicine Diponegoro University).

3. Pemeriksaan Fisik

1. PEMERIKSAAN JVP (JUGULAR VENOUS PRESSURE)

Pemeriksaan pada leher untuk melihat vena jugularis, dapat


memberikan gambaran tentang aktifitas jantung. Perubahan aktifitas jantung
dapat memberikan gambaran pada vena dengan cara menyebabkan
perubahan tekanan vena-vena perifer, bendungan pada vena-vena perifer dan
perubahan pada bentuk pulsus vena. Karena perubahan aktifitas jantung yang
terlihat pada vena berlangsung pada tekanan rendah maka penilaian
perubahan vena harus dilakukan dengan teliti. Vena-vena yang sering mudah
dilihat dan dapat dinilai terutama adalah vena jugularis. Perubahan tekanan
vena perifer biasa dinilai pada tekanan vena jugularis eksterna.

Kesulitan penilaian tekanan vena jugularis terjadi jika terdapat


peningkatan tekanan intratoraks yang menyebabkan penjalaran tekanan vena
dari jantung terhambat, misalnya pada saat tertawa, sesak, batuk, menangis,
mengejan, Manuver Valsava, pada penderita- penderita dengan emfisema,
struma, atau jika terdapat sklerosis vena jugularis karena usia, pasca kanulasi,
dan sebagainya.

Pengukuran tekanan vena jugularis dilakukan dengan cara tak


langsung sebagai berikut : titik nol (zero atau level flebostatik) yaitu titik
dimana kira-kira titik tengah atrium kanan berada. Titik ini berada kira-kira
pada perpotongan antara garis mid-aksiler dengan garis tegak lurus sternum
pada level angulus Ludovici. Pada posisi tegak, tekanan vena jugularis yang
normal akan tersembunyi di dalam rongga toraks. Pada posisi berbaring vena
jugularis mungkin akan terisi meskipun tekanan vena masih normal.

Pada posisi setengah duduk 45 derajat (dalam keadaan rileks) titik


perpotongan vena jugularis dengan klavikula akan berada pada bidang
horizontal kira-kira 5 cm diatas titik nol. Jika batas atas denyut vena terlihat
di atas klavikula, maka tekanan vena jugularispasti meningkat.

Pada keadaan gagal jantung maka tekanan vena jugularis akan


meningkat, yang menunjukkan terhambatnya pengisian ventrikel. Pada
keadaan yang lebih dini dari gagal jantung akan terjadi konstriksi vena
sebelum peningkatan tekanan vena terjadi. Manifestasi gejala ini dapat
terlihat pada refluks hepatojuguler yang dapat dilakukan sebagai berikut :
penderita dibiarkan bernafas biasa, kemudian dilakukan penekanan pada
daerah di bawah arkus kosta kanan yang menyebabkan meningkatnya
tekanan vena jugularis karena berpindahnya sebagian darah dari hepar akibat
penekanan tersebut.

Gambar 4. Pemeriksaan Jugular Venous Pressure (JVP)

Pulsasi vena dapat terlihat terutama pada vena jugularis eksterna dan
interna. Karena tekanannya yang rendah, pulsasi ini tak teraba namun dapat
terlihat pada bagian atas dari kolom darah yang mengisinya. Seperti juga
pulsus atrium, terdapat tiga komponen dari pulsus vena yaitu gelombang a
disebabkan karena aktivitas atrium, gelombang c karena menutupnya katup
trikuspid, serta gelombang v yang merupakan desakan katup waktu akhir
sistol ventrikel.

2. PEMERIKSAAN JANTUNG

 Selama melakukan pemeriksaan jantung, penting untuk


mengidentifikasi lokasi anatomis berdasar kelainan yang diperoleh dari
hasil pemeriksaan serta menghubungkan kelainan hasil pemeriksaan
dengan waktu terjadinya pada siklus jantung.
 Lokasi anatomis dinyatakan dengan ”...ditemukan di sela iga ke-...”
atau jaraknya (...sentimeter dari linea...) dari linea di sekeliling dinding
dada (linea midsternal, midklavikular atau aksilaris).
 Beberapa istilah yang harus difahami misalnya :

- Stroke Volume : volume darah yang diejeksikan dalam 1 kali kontraksi


ventrikel

- Heart Rate : frekuensi denyut jantung per menit

- Cardiac Output : volume darah yang dipancarkan keluar dari


ventrikel dalam 1 menit (cardiac output = stroke volume x heart
rate)
- Preload : volume darah yang meregangkan otot ventrikel sebelum
kontraksi. Volume darah dalam ventrikel kanan pada akhir diastole
merupakan volume

preload untuk kontraksi berikutnya. Volume preload ventrikel kanan


meningkat bila venous return ke dalam atrium kanan meningkat,
misalnya pada inspirasi dan pada aktifitas fisik berat. Peningkatan
volume darah dalam ventrikel yang mengalami dilatasi pada gagal
jantung kongestif juga menyebabkan peningkatan preload.
Penurunan preload ventrikel kanan disebabkan oleh ekspirasi,
penurunan output ventrikel kiri dan pooling darah dalam sistem
kapiler dan venosa.
- Afterload : menggambarkan resistensi vaskuler terhadap kontraksi
ventrikel. Penyebab resistensi terhadap kontraksi ventrikel kiri
adalah peningkatan tonus aorta, arteri besar, arteri kecil dan
arteriole. Peningkatan preload dan afterload patologis
mengakibatkan perubahan fungsi ventrikel yang akan terdeteksi
secara klinis.
 Pemeriksaan dilakukan setelah pasien beristirahat minimal 5 menit.

 Pemeriksaan jantung dilakukan pada 3 posisi, yaitu :

1. Pasien dalam posisi berbaring terlentang dengan kepala sedikit

ditinggikan (membentuk sudut 30o). Dokter berdiri di sisi kanan


pasien.
2. Pasien berbaring miring ke kiri (left lateral decubitus).

3. Pasien duduk, sedikit membungkuk ke depan.

Urutan pemeriksaan jantung ditampilkan pada tabel berikut.


Tabel 1. Urutan Posisi Pasien pada Pemeriksaan Jantung

Posisi pasien Pemeriksaan

Terlentang, dengan Inspeksi dan palpasi prekordium : sela iga II,

elevasi kepala 30o ventrikel kanan dan kiri, iktus kordis (diameter,
lokasi, amplitudo, durasi).

Berbaring miring ke kiri (left Palpasi iktus kordis. Auskultasi dengan bagian bel
lateral decubitus) dari stetostop.

Terlentang, dengan Auskultasi daerah trikuspidalis dengan bagian bel

elevasi kepala 30o dari stetostop.

Duduk, sedikit Dengarkan sepanjang tepi sternum kiri dan di


membungkuk ke depan, apeks
setelah ekspirasi maksimal

3. INSPEKSI

Inspeksi dada terutama untuk mencari adanya asimetri bentuk dada.


Adanya asimetri bentuk rongga dada dapat menyebabkan timbulnya
hipertensi pulmonal dalam jangka panjang. Asimetri dada dapat diakibatkan
oleh penyebab yang sama dengan penyebab kelainan jantung (misalnya
prolaps katup mitral, gangguan katup aorta pada sindroma Marfan dan
sebagainya) atau menjadi akibat dari adanya kelainan jantung akibat aktifitas
jantung yang mencolok semasa pertumbuhan.
Kelainan dada akibat penyakit kardiovaskuler dapat berbentuk :

 Kifosis : tulang belakang berdeviasi pada kurvatura lateral.

Sering terjadi pada kelainan jantung, misalnya ASD (Atrial Septal


Defect) atau PDA (Patent Ductus Arteriosus). Sering disertai dengan
perubahan membusur ke belakang (kifoskoliosis), yang mempersempit
rongga paru dan merubah anatomi jantung.

 Voussure cardiaque : penonjolan bagian depan hemitoraks kiri.

Hampir selalu terdapat pada kelainan jantung bawaan atau karena


demam rematik, terutama berkaitan dengan aktifitas jantung yang
berlebihan pada masa pertumbuhan.

Inspeksi juga berguna untuk mencari iktus kordis (punctum maximum).


Pada sebagian besar orang normal (20-25%) dapat dilihat pulsus gerakan
apeks menyentuh dinding dada saat sistolik pada sela iga 5 di sebelah medial
linea midklavikularis sinistra.

4. PALPASI

Dengan palpasi kita mencari iktus kordis (bila tidak terlihat pada
inspeksi) dan mengkonfirmasi karakteristik iktus kordis. Palpasi dilakukan
dengan cara : meletakkan permukaan palmar telapak tangan atau bagian 1/3
distal jari II, II dan IV atau dengan meletakkan sisi medial tangan, terutama
pada palpasi untuk meraba thrill. Identifikasi BJ1 dan BJ2 pada iktus
kordis dilakukan dengan memberikan tekanan ringan pada iktus.
Bila iktus tidak teraba pada posisi terlentang, mintalah pasien untuk
berbaring sedikit miring ke kiri (posisi left lateral decubitus) dan kembali
lakukan palpasi. Jika iktus tetap belum teraba, mintalah pasien untuk
inspirasi dan ekspirasi maksimal kemudian menahan nafas sebentar.

Gambar 5. Pemeriksaan Palpasi Iktus Kordis (posisi

left lateral decubitus)

Pada saat memeriksa pasien wanita, mammae akan menghalangi


pemeriksaan palpasi. Sisihkan mammae ke arah atas atau lateral, mintalah
bantuan tangan pasien bila perlu.

Gambar 6. Palpasi untuk Menilai Karakteristik Iktus Kordis


Setelah iktus ditemukan, karakteristik iktus dinilai dengan
menggunakan ujung-ujung jari dan kemudian dengan 1 ujung jari.

Pada beberapa keadaan fisiologis tertentu, iktus dapat tidak teraba,


misalnya pada obesitas, otot dinding dada tebal, diameter anteroposterior
kavum thorax lebar atau bila iktus tersembunyi di belakang kosta. Pada
keadaan normal hanya impuls dari apeks yang dapat diraba. Pada keadaan
hiperaktif denyutan apeks lebih mencolok. Apeks dan ventrikel kiri biasanya
bergeser ke lateral karena adanya pembesaran jantung atau dorongan dari

paru (misalnya pada pneumotorak sinistra). Pada kondisi patologis tertentu,


impuls yang paling nyata bukan berasal dari apeks, seperti misalnya pada
hipertrofi ventrikel kanan, dilatasi arteri pulmonalis dan aneurisma aorta.

Setelah iktus teraba, lakukan penilaian lokasi, diameter, amplitudo dan


durasi impuls apeks pada iktus.
- Lokasi : dinilai aspek vertikal (biasanya pada sela iga 5 atau 4) dan aspek
horisontal (berapa cm dari linea midsternalis atau midklavikularis). Iktus
bisa bergeser ke atas atau ke kiri pada kehamilan atau diafragma kiri
letak tinggi. Iktus bergeser ke lateral pada gagal jantung kongestif,
kardiomiopati dan penyakit jantung iskemi.

Impuls apeks/

iktus kordis
Linea Linea
midsternalis midklavikularis
Gambar 7. Lokasi Impuls Apeks (Iktus kordis)

- Diameter : pada posisi supinasi, diameter impuls apeks kurang dari 2.5
cm dan tidak melebihi 1 sela iga, sedikit lebih lebar pada posisi left
lateral decubitus. Pelebaran iktus menunjukkan adanya pelebaran
ventrikel kiri.
- Amplitudo : amplitudo iktus normal pada palpasi terasa lembut dan
cepat. Peningkatan amplitudo terjadi pada dewasa muda, terutama saat
tereksitasi atau setelah aktifitas fisik berat, tapi durasi impuls tidak
memanjang. Peningkatan amplitudo impuls terjadi pada hipertiroidisme,
anemia berat, peningkatan tekanan ventrikel kiri (misal pada stenosis
aorta) atau peningkatan volume ventrikel kiri (misal pada regurgitasi
mitral). Impuls hipokinetik terjadi pada kardiomiopati.

- Durasi : untuk menilai durasi impuls, amati gerakan stetoskop saat


melakukan auskultasi pada apeks atau dengarkan bunyi jantung dengan
stetoskop sambil mempalpasi impuls apeks. Normalnya durasi impuls
apeks adalah 2/3 durasi sistole atau sedikit kurang, tapi tidak berlanjut
sampai terdengar BJ2.

Dengan palpasi dapat ditemukan adanya gerakan jantung yang


menyentuh dinding dada, terutama jika terdapat peningkatan aktifitas
ventrikel, pembesaran ventrikel atau ketidakteraturan kontraksi ventrikel.
Gerakan dari ventrikel kanan biasanya tak teraba, kecuali pada hipertrofi
ventrikel kanan, dimana ventrikel kanan akan menyentuh dinding dada
(ventrikel kanan mengangkat). Kadang-kadang gerakan jantung teraba
sebagai gerakan kursi goyang (ventricular heaving) yang akan mengangkat
jari pemeriksa pada palpasi.

Gerakan jantung kadang teraba di bagian basis, yang biasanya


disebabkan oleh gerakan aorta (pada aneurisma aorta atau regurgitasi aorta),
gerakan arteri pulmonalis (pada hipertensi pulmonal) atau karena aliran
tinggi dengan dilatasi (pada ASD) yang disebut tapping.
Thrill (getaran karena adanya bising jantung) sering dapat diraba.
Bising jantung dengan gradasi 3-4 biasanya dapat teraba sebagai thrill.
Sensasi yang terasa adalah seperti meraba leher kucing. Bila pada palpasi
pertama belum ditemukan adanya thrill sedangkan pada auskultasi terdengar
bising jantung derajat 3-4, kembali lakukan palpasi pada lokasi
ditemukannya bising untuk mencari adanya thrill. Thrill sering menyertai
bising jantung yang keras dan kasar seperti yang terjadi pada stenosis aorta,
Patent Ductus Arteriosus, Ventricular Septal Defect, dan kadang stenosis
mitral.

5. PERKUSI

Perkusi berguna untuk menetapkan batas jantung, terutama pada


pembesaran jantung. Perkusi batas kiri redam jantung (LBCD - left border of
cardiac dullness) dilakukan dari lateral ke medial dimulai dari sela iga 5, 4
dan 3. LBCD terdapat kurang lebih 1-2 cm di sebelah medial linea
midklavikularis kiri dan bergeser 1 cm ke medial pada sela iga 4 dan 3.
Batas kanan redam jantung (RBCD - right border of cardiac dullness)
dilakukan dengan perkusi bagian lateral kanan dari sternum. Pada keadaan
normal RBCD akan berada di medial batas dalam sternum. Kepekakan
RBCD diluar batas kanan sternum mencerminkan adanya bagian jantung
yang membesar atau bergeser ke kanan. Penentuan adanya pembesaran
jantung harus ditentukan dari RBCD maupun LBCD. Kepekakan di daerah
dibawah sternum (retrosternal dullness) biasanya mempunyai lebar kurang
lebih 6 cm pada orang dewasa. Jika lebih lebar, harus dipikirkan
kemungkinan adanya massa retrosternal. Pada wanita, kesulitan akan terjadi
dengan mammae yang besar, dalam hal ini perkusi dilakukan setelah
menyingkirkan kelenjar mammae dari area perkusi dengan bantuan tangan
pasien.
6. AUSKULTASI

Auskultasi memberikan kesempatan mendengarkan perubahan-


perubahan dinamis akibat aktivitas jantung. Auskultasi jantung berguna
untuk menemukan bunyi- bunyi yang diakibatkan oleh adanya kelainan
struktur jantung dan perubahan-perubahan aliran darah yang ditimbulkan
selama siklus jantung. Untuk dapat mengenal dan menginterpretasikan bunyi
jantung dengan tepat, mahasiswa perlu mempunyai dasar pengetahuan
tentang siklus jantung.

Bunyi jantung diakibatkan karena getaran dengan masa amat pendek.


Bunyi yang timbul akibat aktifitas jantung dapat dibagi dalam :

 BJ1 : disebabkan karena getaran menutupnya katup atrioventrikuler


terutama katup mitral, getaran karena kontraksi otot miokard serta aliran
cepat saat katup semiluner mulai terbuka. Pada keadaan normal terdengar
tunggal.
 BJ2 : disebabkan karena getaran menutupnya katup semilunaris aorta
maupun pul- monalis. Pada keadaan normal terdengar pemisahan
(splitting) dari kedua komponen yang bervariasi dengan pernafasan pada
anak-anak atau orang muda.
 BJ3 : disebabkan karena getaran cepat dari aliran darah saat pengisian
cepat (rapid filling phase) dari ventrikel. Hanya terdengar pada anak-
anak atau orang dewasa muda (fisiologis) atau keadaan dimana
komplians otot ventrikel menurun (hipertrofi/ dilatasi).
 BJ4 : disebabkan kontraksi atrium yang mengalirkan darah ke ventrikel
yang kompliansnya menurun. Jika atrium tak berkontraksi dengan efisien
misalnya fibrilasi atrium maka bunyi jantung 4 tak terdengar.
Bunyi jantung sering dinamakan berdasarkan daerah katup dimana
bunyi tersebut didengar. M1 berarti bunyi jantung satu di daerah mitral, P2
berarti bunyi jantung kedua di daerah pulmonal. Bunyi jantung 1 normal
akan terdengar jelas di daerah apeks, sedang bunyi jantung 2 dikatakan
mengeras jika intensitasnya terdengar sama keras dengan bunyi jantung 1 di
daerah apeks.

Bunyi jantung 1 dapat terdengar terpisah (split) jika asinkroni


penutupan katup mitral dan trikuspid lebih mencolok, misalnya pada RBBB
(Right Bundle Branch Block) atau hipertensi pulmonal. Bunyi jantung 2 akan
terdengar terpisah pada anak-anak dan dewasa muda. Pada orang dewasa
bunyi jantung 2 akan terdengar tunggal karena komponen pulmonalnya tak
terdengar disebabkan aerasi paru yang bertambah pada orang tua. Jika bunyi
jantung 2 terdengar terpisah pada orang dewasa ini menunjukkan adanya
hipertensi pulmonal atau RBBB. Bunyi jantung 2 yang terdengar tunggal
pada anak-anak mungkin merupakan tanda adanya stenosis pulmonal.

Bunyi tambahan, merupakan bunyi yang terdengar akibat adanya kelainan


anatomis atau aliran darah yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan
bunyi atau getaran. Bunyi tambahan dapat berupa :

 Klik ejeksi : disebabkan karena pembukaan katup semilunaris pada


stenosis/ menyempit.
 Ketukan perikardial : bunyi ekstrakardial yang terdengar akibat
getaran/ gerakan perikardium pada perikarditis/ efusi perikardium.
 Bising gesek perikardium : bunyi akibat gesekan perikardium dapat
terdengar dengan auskultasi dan disebut friction rub. Sering terdengar
jika ada peradangan pada perikardium (perikarditis).
 Bising jantung : merupakan bunyi akibat getaran yang timbul dalam
masa lebih lama. Jadi perbedaan antara bunyi dan bising terutama
berkaitan dengan lamanya bunyi
/getaran berlangsung. Untuk mengidentifikasi dan menilai bising
jantung, beberapa hal harus diperhatikan : di mana bising paling jelas
terdengar, fase terjadinya bising (saat sistole atau diastole) dan kualitas
bising.

Auskultasi dimulai dengan meletakkan stetoskop pada sela iga II


kanan di dekat sternum, sepanjang tepi kiri sternum dari sela iga II sampai V
dan di apeks. Bagian diafragma stetoskop dipergunakan untuk auskultasi
bunyi jantung dengan nada tinggi seperti BJ1 dan BJ2, bising dari regurgitasi
aorta dan mitral serta bising gesek perikardium. Bagian mangkuk stetoskop
(bell) yang diletakkan dengan tekanan ringan lebih sensitif untuk suara-suara
dengan nada rendah seperti BJ3 dan BJ4 serta bising pada stenosis mitral.
Letakkan bagian mangkuk stetostop pada apeks lalu berpindah ke medial
sepanjang tepi sternum ke arah atas.

Cara askultasi :

1. Lakukan auskultasi di seluruh prekordium dengan posisi pasien terlentang.

2. Pasien berbaring miring ke kiri (left lateral decubitus) sehingga ventrikel


kiri lebih dekat ke permukaan dinding dada (gambar 7).
- Tempatkan bagian mangkuk dari stetoskop di daerah impuls apeks
(iktus).

- Posisi ini membuat bising-bising area katub mitral (misalnya pada


stenosis mitral) dan bunyi jantung akibat kelainan bagian kiri jantung
(misalnya BJ3 dan BJ4) lebih jelas terdengar.

-
Gambar 8.Teknik Auskultasi pada Posisi Left Lateral Decubitus

3. Pasien diminta untuk duduk dengan sedikit membungkuk ke depan

- Mintalah pasien untuk melakukan inspirasi dan ekspirasi maksimal


kemudian sejenak menahan nafas.
- Bagian diafragma dari stetoskop diletakkan pada permukaan
auskultasi dengan tekanan ringan.
- Lakukan auskultasi di sepanjang tepi sternum sisi kiri dan di apeks,
dengan secara periodik memberi kesempatan pasien untuk
mengambil nafas.
- Posisi ini membuat bising-bising yang berasal dari daerah aorta lebih
jelas terdengar.

7. EKG
 Ritme (memastikan AF)Hipertrofi ventrikel kiri
 Durasi dan morfologi gelombang P
 Aritmia atrial lainnya
 Mengukur interval R-R, QRS dan QT sebagai evaluasi
terhadap terapi antiaritmia

Karakteristik EKG untuk Atrial Fibrilasi sebagai berikut :

Irregularly Iregular Rhytm atau irama yang irreguler dan sama sekali tidak
mempunyai pola

Tidak terdapat gelombang P yang jelas atau yang terlihat merupakan


gelombang fibrilasi

Gelombang fibrilasi terkadang kasar, terkadang halus dan terkadang juga


terlihat mirip seperti gelombang P, hanya saja gelombangnya tidak teratur dan
tidak konstan terhadap semua gelombang QRS

8. EKOKARDIOGRAFI

Ekokardiografi transtorakal memiliki sensitivitas yang rendah dalam


mendeteksi trombus di atrium kiri, dan ekokardiografi transesofageal adalah
modalitas terpilih untuk tujuan ini.

 Evaluasi penyakit jantung katup


 Evaluasi ukuran atrium, ventrikel dan dimensi dinding
 Estimasi fungsi ventrikel dan evaluasi trombus ventrikel
 Estimasi tekanan sistolik paru (hipertensi pulmonal)
 Evaluasi penyakit perikardial
 Trombus atrium kiri (terutama di AAK)
Memandu kardioversi (bila terlihat trombus, kardioversi harus ditunda)

Referensi: Bickley, L., & Szilagyi, P. G. (2013). Bates' guide to physical examination and
history-taking. Lippincott Williams & Wilkins.

4. Patomekanisme Fibrilasi Atrium

Beberapa mekanisme dapat mencetuskan fibrilasi atrium, pencetus tersering


adalah
fokus ektopik di otot sekitar vena pulmonal. Pada penderita fibrilasi atrium,
terdapat fase refrakter yang tidak efektif dan adanya gangguan sistem
konduksi di daerah focus ektopik. Adanya gangguan konduksi juga
merupakan salah satu syarat terjadinya reentry. Fokus-fokus lain yang dapat
mencetuskan fibrilasi atrium yaitu fokus di daerah vena cava superior,
ligamen Marshall, dan otot sekitar sinus coronaries. Selain pencetus, terdapat
juga mekanisme yang menyebabkan fibrilasi atrium menetap. Penelitian Li,
dkk. pada seekor anjing yang gagal jantung dan fibrosis daerah atrium
menyebabkan terjadinya gangguan konduksi, sehingga terjadi proses reentry
dan fibrilasi atrium.

Referensi: Jurnal Kalbemed Effendi.2017.Tata Laksana Atrium Fibrilasi.


Departemen Anatomi FK Univ.Atma Jaya.
5. Tatalaksana Atrial Fibrilasi

Tatalaksana fibrilasi atrium secara garis besar dibagi menjadi 3, yaitu:


anti-trombotik untuk pencegahan stroke, pengendalian laju jantung, dan
pengendalian ritme jantung dan terapi tambahan (upstream therapy).

1. Anti-trombotik untuk pencegahan stroke

Anti-trombotik direkomendasikan untuk pasien fibrilasi atrium dengan


riwayat stroke. Terapi antitrombotik yang dipergunakan untuk prevensi stroke
pada pasien FA meliputi antikoagulan (antagonis vitamin K dan antikoagulan
baru), dan antiplatelet. Jenis antitrombotik lain yaitu trombolitik tidak digunakan
untuk prevensi stroke pasien FA.

Pilihan obat anti-trombotik yang dapat digunakan adalah warfarin dengan


target INR 2.0 – 3.0, dabigatran, rivaroxaban, atau apixaban. Pasien yang
mendapat warfarin harus memeriksakan INR setiap minggu pada awal
pengobatan dan disarankan memeriksa INR setiap bulan jika target INR telah
tercapai dan stabil. namun sebelumnya diperlukan pemeriksaan fungsi ginjal dan
berkala.

Dabigatran dan rivaroxaban tidak direkomendasikan pada pasien fibrilasi


atrium dengan penyerta gagal ginjal kronis tahap akhir atau dalam terapi dialisis
karena belum ada penelitiannya; warfarin merupakan anti-trombotik pilihan
utama untuk pasien kelompok tersebut. Dabigatran dan rivaroxaban dapat
diberikan pada penderita gagal ginjal kronis, namun dengan dosis dimodifikasi.

2. Pengendalian Laju Jantung

Pengendalian laju jantung menggunakan obat golongan beta bloker atau


penghambat kanal kalsium golongan non-dihydropyridine direkomendasikan
untuk pasien fibrilasi atrium jenis paroksismal, persisten, ataupun permanen.
Beta bloker atau penghambat kanal kalsium dapat diberikan secara intravena
pada keadaan akut tanpa disertai pre-eksitasI. Penyekat beta direkomendasikan
sebagai terapi pilihan pertama pada pasien fibrilasi atrium dengan gagal jantung
dan fraksi ejeksi yang rendah atau pasien dengan riwayat infark miokard. Apabila
monoterapi tidak cukup, dapat ditambahkan digoksin untuk kendali laju.

Fibrilasi atrium dengan respons irama ventrikel yang lambat, biasanya


membaik dengan pemberian atropin (mulai 0,5 mg intravena). Bila dengan
atropin masih simptomatik, dapat dilakukan tindakan kardioversi atau
pemasangan pacu jantung sementara. Respon irama ventrikel yang terlalu cepat
akan menyebabkan gangguan hemodinamik pada pasien FA. Pasien yang
mengalami hemodinamik tidak stabil akibat FA harus segera dilakukan
kardioversi elektrik untuk mengembalikan irama sinus. Pasien yang masih
simtomatik dengan gangguan hemodinamik meskipun strategi kendali Pedoman
Tata Laksana Fibrilasi Atrium laju telah optimal, dapat dilakukan kardioversi
farmakologis dengan obat antiaritmia intravena atau kardioversi elektrik.

Saat pemberian obat antiaritmia intravena pasien harus dimonitor untuk


kemungkinan kejadian proaritmia akibat obat, disfungsi nodus sinoatrial (henti
sinus atau jeda sinus) atau blok atrioventrikular. Obat intravena untuk kardioversi
farmakologis yang tersedia di Indonesia adalah amiodaron. Kardioversi dengan
amiodaron terjadi beberapa jam kemudian setelah pemberian.

3. Pengendalian Irama Jantung

Tujuan utama strategi kendali irama adalah mengurangi gejala. Pengendalian


irama jantung dipilih pada pasien yang masih bergejala meskipun pengendalian
laju jantung telah optimal. Pengubahan irama fibrilasi atrium ke irama sinus
(kardioversi) menggunakan obat paling efektif dilakukan dalam 7 hari setelah
terjadi fibrilasi atrium. Kardioversi farmakologis kurang efektif pada penderita
fibrilasi atrium persisten.
Terapi pengembalian irama ke sinus mempunyai kelebihan mengurangi risiko
tromboemboli, memperbaiki hemodinamik, serta mencegah remodelling atrium
yang dapat meningkatkan ukuran atrium dan menyebabkan kardiomiopati atrium.

Kendali irama harus dipertimbangkan pada pasien gagal jantung akibat


fibrilasi atrium untuk memperbaiki keluhan, pasien muda yang simptomatik, atau
fibrilasi atrium sekunder akibat kelainan yang telah dikoreksi (iskemia,
hipertiroid). Beberapa obat antiaritmia untuk mengubah irama ke sinus juga
memiliki efek samping dan seringkali membutuhkan perawatan di rumah sakit
untuk inisiasinya. Keberhasilan kardioversi farmakologis juga tidak terlalu tinggi.
Obat antiaritmia yang ada di Indonesia untuk kardioversi farmakologis adalah
amiodaron dan propafenon. Namun amiodaron dalam penggunaan jangka panjang
mempunyai efek toksik.

Propafenon tidak boleh diberikan pada pasien dengan penyakit jantung


koroner atau gagal jantung sistolik. Efektivitas obat antiaritmia untuk
mengembalikan irama ke sinus hanyalah untuk mengurangi namun tidak
menghilangkan kekambuhan FA. Obat antiaritmia tidak jarang mempunyai efek
pro-aritmia dan efek samping lainnya di luar jantung. Untuk penderita fibrilasi
atrium dengan durasi 48 jam atau tidak diketahui, direkomendasikan pemberian
antikoagulan warfarin dengan target INR 2.0 – 3.0 untuk 3 minggu sebelum
kardioversi dan dilanjutkan sampai 4 minggu setelah kardioversi tanpa
mempertimbangkan skor CHA2 DS2 -VASc. Untuk pasien fibrilasi atrium
dengan durasi >48 jam atau durasi aktual tak diketahui, dan belum mendapatkan
terapi antikoagulan selama 3 minggu perlu dipertimbangkan echocardiography
transesophageal sebelum kardioversi untuk memastikan tidak ada trombus di
atrium kiri.
4. Terapi Tambahan (Upstream Therapy)

Terapi tambahan pada fibrilasi atrium adalah upaya mencegah atau


menghambat remodelling miokard akibat hipertensi, gagal jantung, atau
inflamasi. Beberapa terapi yang termasuk dalam golongan ini adalah penghambat
enzim konversi angiotensin (EKA), penyekat reseptor angiotensin, dan omega 3.
Penghambat EKAdan penyekat reseptor angiotensin menghambat efek
aritmogenik angiotensin II, termasuk mencegah fibrosis atrium dan hipertrofi,
stress oksidatif, serta inflamasi.

Penggunaannya sebagai pencegahan primer terutama pada pasien dengan


hipertensi, gagal jantung, dan adanya faktor risiko jantung koroner lainnya.
Penghambat EKA dan penyekat reseptor angiotensin sebaiknya digunakan pada
pasien dengan FA yang baru saja terjadi pada pasien gagal jantung dengan
penurunan fraksi ejeksi dan hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri..

EVALUASI KLINIS

Baru-baru ini dikenalkan skor simptom yang disebut skor EHRA (European Heart
Rhythm Association). Skor EHRA adalah alat klinis sederhana yang dapat
digunakan untuk menilai perkembangan gejala selama penanganan fibrilasi
atrium. Skor klinis ini hanya memperhitungkan derajat gejala yang benar-benar
disebabkan oleh fibrilasi atrium, skor diharapkan dapat berkurang seiring dengan
konversi ke irama sinus atau dengan kendali laju yang efektif.
Klasifikasi simptom terkait fibrilasi atrium (Skor EHRA)

Kelas EHRA Penjelasan

EHRA I Tanpa gejala

Gejala ringan, aktivitas harian normal tidak terpengaruh


EHRA II

EHRA III
Gejala berat, aktivitas harian terganggu

EHRA IV
Gejala melumpuhkan, aktivitas harian terhenti
Referensi :

1. Effendi .2017.Tatalaksana Fibrilasi.Jurnal KalbeMed.vol. 44 no. 2


2. Yuniadi,Yoga.,dkk.2014.Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia.Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium.Edisi Pertama.Jakarta:
Centra Communications
6. Gambaran EKG Atrium Fibrilasi

Berdasarkan scenario, gambaran pemeriksaan EKG pada pasien yaitu EKG


permukaan menunjukkan pola interval R-R yang ireguler, tidak dijumpainya
gelombang P yang jelas pada EKG permukaan. Kadang-kadang dapat terlihat
aktivitas atrium yang ireguler pada beberapa sadapan EKG, paling sering pada
sadapan VI yang diikuti oleh kompleks QRS yang ireguler pula.
Dapat ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS lebar) setelah siklus
interval R-R panjang-pendek (fenomena Ashman). Interval antara dua gelombang
aktivasi atrium tersebut biasanya bervariasi, umumnya kecepatannya melebihi
450x/menit.

Referensi : Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2014. Pedoman


Tatalaksana Fibrilasi Atrium Edisi Pertama. Centra Communication. Hal
11 & 24”
7. Gambaran ECHO Atrium Fibrilasi

Ekokardiografi transtorakal memiliki sensitivitas yang rendah dalam


mendeteksi trombus di atrium kiri, dan ekokardiografi 26 Pedoman Tata Laksana
Fibrilasi Atrium transesofageal adalah modalitas terpilih untuk tujuan ini.
Ekokardiografi transtorakal (ETT) terutama bermanfaat untuk :
• Evaluasi penyakit jantung katup
• Evaluasi ukuran atrium, ventrikel dan dimensi dinding
• Estimasi fungsi ventrikel dan evaluasi trombus ventrikel
• Estimasi tekanan sistolik paru (hipertensi pulmonal)
• Evaluasi penyakit perikardial

Ekokardiografi transesofageal (ETE) terutama bermanfaat untuk :


• Trombus atrium kiri (terutama di AAK)
• Memandu kardioversi (bila terlihat trombus, kardioversi harus ditunda)

Referensi: Setianto B, Malik MS, Supari SF. Studi aritmia pada survei dasar
MONICA-Jakarta di Jakarta Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Depkes RI 1998.

8. Penyadapan jantung Dan Angiografi

Saat ini penyadapan jantung dan angiografi jarang dilakukan pada


stenosis mitral karena informasi yang lengkap sudah dapat diperoleh secara
ekokardiografis. Pada penderita diatas 40 tahu pemeriksaan angiografi dilakukan
untuk menemukan kemungkinan kelainan koroner.
Tujuan penyadapan jantung pada stenosis mitral adalah mengukur
tekanan di ruang-ruang jantung untuk menilai derajat hipertensi pulmonal,
menentukan gradien lewat katup mitral (kurva simultan wedge dan ventrikel kiri
atau kurva simultan atrium kiri dan ventrikel kiri jika dilakukan pungsi
transeptal), adanya regurgitasi mitral (kurva wedge pulmonal), adanya regurgitasi
atau stenosis tricuspid (kurva atrium kanan).

Pungsi transeptal pada penyadapan jantung untuk diagnostik dilakukan


bila sulit mendapatkan tekanan wedge baik karena kesulitan menempatkan
kateter misalnya pada regurgitasi trikuspid atau pulmonal yang hebat atau
kesulitan mendapatkan tekanan wedge yang representatif karena hipertensi
pulmonal.

Fluoroskopi pada waktu penyadapan jantung dapat digunakan untuk


menilai perkapuran pada katup mitral atau struktur subvalvular, struktur atrium
kiri serta perikardium.

Perkapuran atrium kiri terutama terjadi dari perkapuran trombus yang terlihat
di daerah appendiks atrium kiri (pinggang jantung), di daerah posterior atau di
daerah septum atrium.

Perkapuran perikardium terlihat di daerah siluet luar dari jantung dan


menunjukan adanya proses perikarditis yang terjadi sewaktu demam reumatik.

Angiokardiografi dilakukan dengan tujuan terutama menentukan bentuk


anatomik ruang-ruang jantung terutama ventrikel kiri, menghitung jarak rasio
mitral subvalvular , dan adanya regurgitasi mitral, aorta atau trikuspid.
Ginjal kiri setinggi sacrum dan mendapat suplai arteri dari arteri renalis yang
dipercabangan dari aorta distalis.

Referensi

1. Sambrana A. 2010. Stenosis Mitral. Stetoskop Media: Spanyol


2. Davidson,Alan J..1985.Radiologic Anatomy Of The Kidney. In: Radiology Of
Kidney. Ninth Edition. Philadelphia : W.B.Saunders Company. Page: 92-96.
9. Komplikasi

Fibrilasi Atrium dapat mengakibatkan terjadinya beberapa komplikasi yang


dapat meningkatkan angka morbiditas maupun mortalitas. Pada pasien dengan
sindrom WPW dan konduksi yang cepat melalui jalur ekstranodal yang memintas
nodus atrioventrikular, dimana pada saat terjadi FA disertai pre-eksitasi ventricular,
dapat berubah menjadi fibrilasi ventrikel dan menyebabkan kematian mendadak.
Pada keadaan seperti ini ablasi dengan radiofrekuensi sangat dianjurkan. FA yang
disertai dengan laju irama ventrikel yang cepat serta berhubungan dengan keadaan
obstruksi jalur keluar dari ventrikel atau terdapat stenosis mitral, dapat menyebabkan
terjadinya hipotensi dan perubahan keadaan klinis.

Beberapa komplikasi lain dapat terjadi pada atrial flutter dengan laju irama
ventrikel yang cepat. Laju ventrikel yang cepat ini bila tidak dapat terkontrol dapat
menyebabkan kardiomiopati akibat takikardi persisten. Diantara komplikasi yang
paling sering muncul dan membahayakan adalah tromboemboli, terutama stroke.

Peningkatan resiko stroke pada pasien FA dapat disebabkan karena darah


berjalan lebih lambat di dalam jantung seiring dengan terjadinya fibrilasi yang
menghambat tekanan tinggi yang seharusnya terjadi di sepanjang jantung dan arteri.

Pasien dengan FA yang berlangsung kurang 48 jam dan tanpa risiko stroke
dapat diberikan low molecular weight heparin, namun apabila FA berlangsung lebih
dari 48 jam atau diragukan durasi terjadinya aritmia, dan dapat digunakan
Transoesofageal Echochardiography untuk melihat adanya thrombus di dalam
jantung terutama Left Atrial Appendages (LAA). Pasien dengan FA paroksimal yang
memiliki faktor resiko, memiliki kemungkinan yang sama dengan pasien dengan
persisten dan permanen untuk mengalami stroke

Referensi: Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A. W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B., & Syam, A.
F. (2014). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Internapublishing.Halaman
1371-1372

Anda mungkin juga menyukai