Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis dengan gejala proteinuria massif,


hipoalbuminemia, edema, dan hiperkolesterolemia. Kadang-kadang gejala disertai
dengan hematuria, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal. Insidens SN pada anak
dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-4 kasus baru per
tahun. Di Negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6
per 100.000 per tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.1,2,3

Sindrom nefrotik dapat dibedakan menjadi sindrom nefrotik congenital,


sindrom nefrotik primer, dan sindrom nefrotik sekunder. Kebanyakan anak yang
menderita sindrom nefrotik mempunyai beberapa bentuk sindrom nefrotik
idiopatik, penyakit lesi minimal ditemukan pada sekitar 85%, proliferasi
mesangium pada 5%, dan skelrosis setempat pada 10%.1,2 Pada umunya sebagian
besar (±80%) sindrom nefrotik primer memberi respon yang baik terhadap
pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% diantaranya akan relaps
berulang dan sekitar 10% tidak member respon lagi dengan pengobatan steroid.1,2

Infeksi merupakan komplikasi yang paling umum dari anak dengan


sindrom nefrotik. Gulati (India 1995) melaporkan infeksi saluran kemih (ISK)
paling sering ditemukan (40,26%), semua anak yang mengalami penyulit ISK
terebut adalah penderita tidak sensitif terhadap pengobatan kortikosteroid dan
sering kambuh. I nyoman Putra dalam penelitiannya di ruang kesehatan anak
RSUP Dokter Kariadi Semarang dari bulan Januari 1994 sampai Agustus 1998
dari 50 anak SN ternyata 21 orang (42%) menunjukkan hasil biakan yang
bermakna (menderita ISK) dan menunjukkan kejadian ISK lebih sering pada anak
perempuan (56,30%) begitu juga dengan penelitian yang dilakukan Serasiamy
Ritonga Penelitian dilakukan di RS Sardjito dari bulan Juni 2005 sampai bulan
Desember 2010. Dari 148 orang anak sindrom nefrotik ada 37 (25%) diantaranya
dengan infeksi saluran kemih.3,4

1
BAB II

LAPORAN KASUS

Identitas

Nama penderita : An. N

Umur/Tgl. Lahir : 7 th 4 bln/12 Okt 2005

Jenis kelamin : Perempuan

Pendidikan : SD

Orang Tua

Nama Ayah : Tn. T

Umur : 28 tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Buruh

Nama Ibu : Ny. N

Umur : 25 tahun

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : IRT

MRS : 31 Desember 2012

Anamnesis

Anamnesi tanggal : 15 Januari 2013 dengan ibu penderita dan rekam medik

Keluhan utama : bengkak pada seluruh tubuh

2
Riwayat Penyakit Sekarang

± 2 minggu SMRS ibu os merasa bengkak pada seluruh tubuh anaknya,


bengkak dirasakan timbul secara perlahan, ibu os mengatakan bengkak pertama
kali muncul pada daerah wajah dan tampak pada saat anak bangun tidur kemudian
bengkak menjalar ke tangan, perut dan terakhir menjalar sampai ke kaki. Bengkak
seperti ini baru pertama kali dialami dan riwayat sakit tengorokan sebelum
bengkak disagkal. Os sudah pernah berobat di Puskesmas tapi tidak ada
perubahan yang tampak.

Sejak ± 2 minggu itu os juga mengeluh BAK lebih sering tapi BAK dirasakan
sedikit-sedikit, warna BAK keruh, berbau, BAK kemerahan (+), sakit saat BAK
juga disangkal. Os juga merasa susah untuk menahan saat ingin BAK. BAB
normal. Pasien juga mengeluh muntah dengan frekuensi 1-2 kali dalam sehari,
muntah hanya sedikit dan tidak menyemprot. Nafsu makan os menurun.

± 1 minggu SMRS bengkak dirasakan semakin lama semakin bertambah,


bengkak dirasakan masuk ke dalam jika ditekan dengan jari terutama pada kaki.
Selain itu os juga mengeluh sesak, sesak dirasakan sepanjang hari. Tidak ada
faktor yang memperberat atau memperingan sesak.

± 3 hari SMRS os mengeluh adanya demam. ± 1 hari SMRS ibu os merasa


bengkaknya semakin membesar sehingga ibu os memutuskan untuk membawa os
pada tanggal 31 Januari 2012 ke RSUD Raden Mattaher Jambi.

Riwayat Penyakit Dahulu

Os baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini.

Riwayat Keluarga

Tidak ada keluarga yang mengalami hal seperti ini sebelumnya

Riwayat Sosial Ekonomi

Ayah bekerja sebagai seorang buruh, ibu tidak bekerja. Biaya kesehatan
ditanggung Jamkesmas.

3
Kesan : Sosial Ekonomi kurang

Riwayat Persalinan dan Kehamilan

Prenatal : Ante Natal Care di bidan, pada awal kehamilan setiap bulan,
mendapat 2x TT, selama hamil tidak minum jamu, minum
vitamin dan tablet Fe

Natal : Lahir di tolong oleh bidan. Aterm, lahir segera menangis,


BBL : 3800 gr.

Riwayat Makanan
ASI : + Sampai usia 1,5 tahun

Susu Botol/kaleng : +

Bubur Nasi : + sejak usia 1 tahun

Nasi lembek :+

Nasi Biasa : + Sejak umur 2 tahun sampai sekarang

Daging, Ikan dan telur :+

Tempe dan Tahu :+

Sayur :+

Buah :+

Kesan : Sumber nutrisi cukup

Riwayat Imunisasi

BCG :+

Hepatitis B :+

Polio :+

DPT :+

4
Campak :+

Kesan : Imunisasi dasar lengkap

Riwayat Keluarga :
Perkawinan :-

Umur :-

Pendidikan : SD kelas 1

Saudara : Tidak ada keluarga/ saudara anak yang


pernah mengalami keluhan yang sama.

Riwayat Perkembangan Fisik


Gigi Pertama : 1 tahun 2 bulan

Berbalik : 7 bulan

Tengkurap : 5 bulan

Merangkak : 8-9 bulan

Duduk : 11 bulan

Berdiri : 1 tahun

Berjalan : 1 tahun

Berbicara : 1 tahun 2 bulan

Kesan : baik

Riwayat Perkembangan Mental


Isap Jempol :-

Ngompol :-

Sering mimpi :-

Aktifitas : cukup

5
Membangkang :-

Ketakutan :-

Status gizi
BB/TB (14 kg / 110 cm) : < - 3 SD (Gizi buruk)

Riwayat Penyakit yang pernah di derita


Parotitis :- Muntah berak : -

Pertusis :- Asma :-

Difteri :- Cacingan :-

Tetanus :- Patah tulang :-

Campak :- Jantung :-

Varicella :- Sendi bengkak: -

Thypoid :- Kecelakaan :-

Malaria :- Operasi :-

DBD :- Keracunan :-

Demam menahun :- Sakit kencing : -

Radang paru :- Sakit ginjal :_

TBC :- Kejang :-

Perut Kembung :+ Lumpuh :-

Alergi : + (makan kambing) Otitis Media : -

Batuk/pilek :+ DM :-

Anamnesa Organ

6
Kepala Mata
Sakit kepala :+ Rabun senja :-
Rambut rontok :- Mata merah :-
Lain-lain :- Bengkak : + pada kedua -
kelopak mata

Telinga Hidung
Nyeri :- Epistaksis :-
Sekret :- Kebiruan :-
Gangguan pendengaran :- Penciuman : dbn
Tinitus :-

Gigi mulut

Sakit gigi :- Sakit membuka mulut :-


Sariawan :- Rhagaden :-
Gangguan mengecap :- Lidah kotor :-
Gusi berdarah :-

Tenggorokan
Sakit menelan :-
Suara serak :-
Leher
Kaku kuduk :-
Tortikolis :-
Parotitis :-
Jantung dan Paru
Nyeri dada :-
Sifat :-
Penjalaran :-
Sesak napas :-
Batuk pilek :-
Sputum :-
Batuk darah :-
Sembab : (+) di muka, perut dan kaki
Kebiruan :-
Keringat malam hari :-
Sesak waktu malam :-
Berdebar :-
Sakit saat bernapas :-
Nafas bunyi/ mengi :-
Sakit kepala sebelah :-
Dingin ujung jari :-
Penglihatan berkurang :-
Bengkak sendi :-

7
Abdomen
a. Hepar
Tinja seperti dempul : - Kuning di sklera dan kulit : -
Sakit kuning :- Perut kembung : (+)
Kencing warna tua : - Mual/muntah : (+)

b. Lambung dan usus


Nafsu makan : berkurang
Frekuensi/jumlah : ± 1-2 x sehari sedikit-sedikit
Perut kembung : (+)
Mual/muntah : (+)
Isi : makanan yang dimakan
Frekuensi : 3 kali/hari
Jumlah : sedikit
Muntah darah :-
Mencret :-
Konsistensi :-
Frekuensi :-
Jumlah :-
Tinja berlendir :-
Tinja berdarah :-
Dubur berdarah :-
Sukar BAB :-
Sakit perut :-
Lokasi :-

c. Ginjal dan urogenital Tanda pubertas prekoks: -


Sakit kuning :-
Warna : kuning keruh
Frekuensi miksi : dbn
Jumlah : sedikit
Sembab kelopak mata : (+)
Edema tungkai : (+)
d. Endokrin
Sering minum :-
Sering kencing :+
Sering makan :-
Keringat dingin :-

e. Syaraf dan Otot Lumpuh :-


Hilang rasa :- Badan kaku :-
Kesemutan :- Tidak sadar :-
Otot lemas :- Mulut mencucu :-
Trismus :-
Otot Pegal :-

8
Kejang :- Panas :-
Lama :- Riwayat kejang keluarga: -
Interval :- Kejang pertama usia : -
Frekuensi :- Riwayat trauma kepala
Jenis kejang :-
:Disangkal
Post iktal :-

f. Alat kelamin
Hernia :-
Bengkak :-

I. PEMERIKSAAN FISIK

a. PEMERIKSAAN UMUM ( 15 febuari 2013)


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Posisi : biasa
BB : 20 kg dengan edema), 14 kg (tanpa edema)
PB : 110 cm
Gizi : BB/PB = Gizi Buruk
Edema :+
Sianosis :-
Dyspnoe :-
Ikterus :-
Anemia :-

Suhu : 37,5 º C
Respirasi : 32 x/ menit
Tipe pernapasan : torakoabdominal
Turgor : baik (< 2 detik)
Tekanan darah :130/80mmhg

Nadi : 112x/’ Pulsus paradox :-


Frekuensi : 112x/’ Pulsus tardus :-
Equalitas :sama Pulsus celler :-
Pulsus trigeminus :-
Regularitas : teratur
Pulsus magnus :-
Pulsus defisit :-
Pulsus parvus :-
Pulsus Alternan :-
Pulsus bigerminus :-

Kulit

9
Warna : Sawo matang Vesikulaa :-
Hipopigmentasi : - Pustula :-
Hiperpigmentasi: - Sikatrik :-
Ikterus :- Edema :-
Bersisik :- Eritema :-
Makula :- HaemangiomPtechiae :-
` Papula :-

B. PEMERIKSAAN KHUSUS (15 februari 2013)


KEPALA
Bentuk : Normochepali
Rambut : Lurus
Warna : Hitam
Mudah Rontok :-
Kehalusan : Cukup
Alopesia :-
Sutura :-
Fontanella mayor :-
Fontanella minor :-
Cracked pot sign :-
Cranio tabes :-

MUKA ALIS
Roman muka : dbn Kerapatan : dbn
Bentuk muka : sembab Mudah rontok :-
Sembab : (+) Alopesia
Simetris : (+)

MATA KELOPAK MATA


Sorot mata : biasa Cekung :-
Hipertelorisme :- Edema : (+)
Sekret :- Ptosis :-
Epifora :- Lagoftalmus :-
Pernanahan :- Kalazion :-
Endophthalmus :- Ektropion :-
Exophthalmus :- Enteropion :-
Nistagmus :- Haemangioma :-
Starbismus :- Hordeolum :-

KONJUNGTIVA

Pelebaran Vena :- Bitot Spot :-


PerdarahanSubkonjungtiva :- Xerosis :-
Infeksi :- Ulkus :-

10
Refleks :(+) Bentuk : bulat
SKLERA Warna : hitam
Ikterus :-
IRIS

PUPIL
Bentuk : simetris
Ukuran : cukup
Isokor : +/+
Refleks Cahaya Menurun : -/-
Refleks cahaya tdk langsung : +/+
Katarak :-

TELINGA HIDUNG
Bentuk : simetris Bentuk : simetris
Kebersihan : cukup Saddle Nose : -
Sekret :- Gangren :-
Tophi :- Coryza :-
Membran tympani : sulit dinilai Mukosa Edem : -
Nyeri tekan mastoid : - Epistaksis :-
Nyeri tarik Daun telinga : - Deviasi Septum : -

MULUT FARING-TONSIL
BIBIR Warna : dbn
Bentuk : dbn hiperemis :-
Warna : kemerahan Edema :-
Ukuran : dbn Selaput
: dbn
Ulkus :- Pembesaran tonsil :-
Rhagaden :- Ukuran
: dbn
Sikatriks :-
Cheitosis :-
Sianosis :-
Labioschiziz :-
Bengkak :-
Vesikel :-
Oral trush :-
Trismus :-

Bercak koplik :- Kebersihan : cukup


Palatoschizis :- Karies :-
GIGI Hutchinson :-

11
Gusi :-

LIDAH
Bentuk :-
Gerakan :-
Tremor :-
Warna : normal (tidak hiperemis)
Selaput : dbn
Makroglosia :-
Atrofi papil :-
LEHER

INSPEKSI PALPASI
Struma :- Kaku kuduk :-
Bendungan vena :- Pergerakan :-
Pulsasi :- Struma :-
Limphadenopati :-
Tortikolis :-
Bullneck :-
Parotitis :-

THORAX DEPAN DAN PARU


INSPEKSI STATIS
Bentuk : normal
Simetris :+
Vousure cardiac : dbn
Clavicula : dbn
Sternum : dbn
Bendungan vena :-
Tumor :-
Sela iga : dbn

INSPEKSI DINAMIS
Gerakan : dinamis reguler
Bentuk pernapasan : abdominotorakal
Retraksi interkostal :-
Retraksi Epigastrium :-

PALPASI
Nyeri tekan :- Tumor :-
Fraktur iga :- Stemfremitus : ka/ki (+/+) dbn
Krepitasi :-

12
PERKUSI
Bunyi ketuk : sonor
Nyeri ketuk :-
Batas paru- hati : dbn
Peranjakan :-

AUSKULTASI
Bunyi napas pokok : vesikuler normal
Bunyi napas tambahan : Wheezing (-/-) dan Ronki (-/-)

JANTUNG
INSPEKSI
Vousure cardiac :-
Ictus cordis :-
Pulsasi jantung :-

PALPASI PERKUSI
Ictus cordis : dbn Batas kiri : dbn
Thrill :- Batas kanan : dbn
Defek pulmonal : dbn Interkostal : dbn
Aktivitas jantung ka : dbn Subkostal : dbn
Aktifitas jantung ki : dbn Epigastrum : dbn

AUSKULTASI
BUNYI JANTUNG

Bunyi jantung I : reguler Bising Jantung :-


Bunyi jantung II : reguler
Mitral :+
Pulmonal :+
Trikuspid :+
Aorta :+

THORAX BELAKANG
INSPEKSI STATIS
Bentuk :dbn
Processus spinosus :dbn
Scapula :dbn
Skoliosis :-
Khiposis :-
Lordosis :-
Gibus :-

ABDOMEN

13
INSPEKSI PALPASI
Bentuk : cembung Nyeri tekan :-
Umbilikus : dbn Nyeri lepas :-
Ptechie :- Nyeri ketuk :-
Spider nevi :- PERKUSI
Bendungan vena :- Undulasi :+
Gambaran usus :-
Gamabaran peristaltic usus : -
Turgor : dbn

LIEN GINJAL
Pembesaran :- Pembesaran :-
Permukaan : datar Permukaan : datar
Nyeri tekan :- Nyeri tekan :-

AUSKULTASI
Bising usus : + normal
Ascites :-

LIPAT PAHA DAN GENITAL


Kulit : dbn
Kel.getah bening :-
Edema :-
Sikatriks :-
Genitalia : dbn
Anus : dbn

SYARAF DAN OTOT

Hilang rasa :- Mulut mencucu :-


Kesemutan :- Trismus :-
Otot lemas :- Kejang :-
Otot pegal :- Panas :-
Lumpuh :- Riwayat kejang keluarga: -
Badan kaku :- Kejang pertama usia :-
Tidak sadar :- Riwayat trauma kepala : Disangkal

ALAT KELAMIN
Hernia :-
Bengkak :-

14
EKSTREMITAS SUPERIOR
INSPEKSI
Bentuk : normal
Deformitas : -/-
Edema : (-/-)
Trofi : -/-
Pergerakan : dbn
Tremor : -/-
Chorea : -/-
Lain-lain : -/-

EKSTREMITAS INFERIOR
INSPEKSI
Bentuk : dbn
Deformitas : -/-
Edema : (+/+)
Trofi : -/-
Pergerakan : dbn
Tremor : -/-
Chorea : -/-
Lain-lain : -/-

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS :
Tonus : dbn
Kekuatan : dbn
Refleks fisiologis : dbn
Refleks tendon biceps : dbn
Refleks tendon triceps : dbn
Refleks tendon patella : dbn
Refleks tendon Achilles : dbn
Refleks patologi :dbn

Pemeriksaan Laboratorium

15
31 Jan 2013 1 Feb 2013 2 Feb 2013
WBC : 9,5 103/mm3 Hasil Pemeriksaan Kimia Hasil Analisis Urin :
Darah
HB : 9,5 gr/dl Hasil Pemeriksaan Rutin :
Faal Hati
HT : 30,6% 1. Warna :
1. Protein total : 4,8 Kuning keruh
PLT : 522 103/mm3 g/dl 2. Berat Jenis :
2. Albumin : 1,8 1015
GDS 97 mgdl
g/dl 3. Reaksi/pH :5
3. Globulin : 3,0 4. Protein : ++
g/dl +
Faal Ginjal Sedimen
1. Ureum : 78,8 Sel : Lekosit : 10-
mg/dl 12/lpb
2. Kreatinin : 1,1
mg/dl Eritrosit: 60-70/lpb

Faal Lemak Epithel : 5-7/lpb

1. Cholesterol : 293 Silinder


mg/dl
Hialin : +
Pemeriksaan Imunologi :
Hasil kultur urin : Tidak
ASTO kualitatif : - ada pertumbuhan kuman

4 Feb 2013 5 Feb 2013 7 Feb 2013


Hasil Analisis Urin : Hasil Analisis Urin : Hasil Analisis Urin :
Hasil Pemeriksaan Rutin : Hasil Pemeriksaan Rutin : Hasil Pemeriksaan Rutin :
1. Warna : Kuning 1. Warna: Kuning 1. Warna: Kuning
keruh keruh keruh
2. Berat Jenis : 1020 2. Berat Jenis : 1030 2. Berat Jenis: 1020
3. Reaksi/pH : 5 3. Reaksi/pH :5 3. Reaksi/pH : 5
4. Protein : +++ 4. Protein : +++ 4. Protein : +++
Sedimen Sedimen
Sel : Lekosit: 15-20/lpb Sel : Lekosit : 10-
20/lpb
Eritrosit: 80-100/lpb
Eritrosit: 75-80/lpb
Epithel : 8-10/lpb
Epithel : 5-6/lpb

16
Silinder
Hialin : + Pemeriksaan Imunologi :
1. ASTO kualitatif: -
Pemeriksaan Elektrolit
1. Natrium (Na) :
133,05 mmol/L
2. Kalium (K): 4,80
mmol/L
3. Chlorida: 110,61
mmol/L

8 Feb 2013 9 Feb 2013 10 Feb 2013


Hasil Analisis Urin : Hasil Analisis Urin : Hasil Analisis Urin :
Hasil Pemeriksaan Rutin : Hasil Pemeriksaan Rutin : Hasil Pemeriksaan Rutin :
1. Warna : Kuning 1. Warna : Kuning 1. Warna : Kuning
keruh muda keruh tua keruh
2. Berat Jenis: 1010 2. Berat Jenis : 1005 2. Berat Jenis : 1015
3. Reaksi/pH : 6 3. Reaksi/pH : 5 3. Reaksi/pH : 6
4. Protein : +++ 4. Protein : +++ 4. Protein : +++
Blood : +3 Sedimen Blood : +++
Sedimen Sel : Lekosit : 8- Sedimen
10/lpb
Sel : Lekosit : 3- Sel : Lekosit : 3-
5/lpb Eritrosit : >100/lpb 5/lpb
Eritrosit: 50-60/lpb Epithel : 4-5/lpb Eritrosit: 45-50/lpb
Epithel : 3-5/lpb Epithel : 2-3/lpb
Jam 06:00 WIB Jam 06 :00 WIB
Hasil Analisis Urin : Hasil Analisis Urin :
Hasil Pemeriksaan Rutin : Hasil Pemeriksaan Rutin :
1. Warna : Kuning 1. Warna : Kuning
muda keruh 2. Berat Jenis : 1015
2. Berat Jenis: 1020 3. Reaksi/pH : 6
3. Reaksi/pH: 6 4. Protein : ++
4. Protein : +++
Blood : +++

17
Sedimen Sedimen
Sel : Lekosit : 3- Sel : Lekosit : 15-
5/lpb 20/lpb
Eritrosit: 60-70/lpb Eritrosit: 10-20/lpb
Epithel : 3-5/lpb Epithel : 1-2/lpb
Kristel :
Lain-lain : jamur (+)

11 Feb 2013 12 Feb 2013 13 Feb 2013


Hasil Analisis Urin : Hasil Analisis Urin : Hasil kultur urin : Gram
(-) Strenotrophomonas
Hasil Pemeriksaan Rutin : Hasil Pemeriksaan Rutin : maltophilia
1. Warna : Kuning muda 1. Warna : Kuning Hitung Kuman : 105.ml
keruh keruh urin
2. Berat Jenis : 1010 2. Berat Jenis : 1020
3. Reaksi/pH : 5 3. Reaksi/pH : 5
4. Protein : ++ 4. Protein : ++
Blood : +++ Sedimen
Sedimen Sel : Lekosit : 10-
15/lpb
Sel : Lekosit : 4-
5/lpb Eritrosit : >100/lpb
Eritrosit: 40-42/lpb Epithel : 3-4/lpb
Epithel : 2-3/lpb
Pemeriksaan USG Abdomen
Kesan: Efusi Pleura e.c asites
e.c sindrom nefrotik

14 Feb 2013 15 Feb 2013 18 Feb 2013


Hasil Analisis Urin : Hasil Analisis Urin : Hasil Analisis Urin :
Hasil Pemeriksaan Rutin : Hasil Pemeriksaan Rutin : Hasil Pemeriksaan Rutin :
1. Warna : Kuning keruh 1. Warna : Kuning 1. Warna : Kuning
2. Berat Jenis : 1020 muda keruh muda keruh
3. Reaksi/pH : 6 2. Berat Jenis : 1015 2. Berat Jenis : 1020
4. Protein : ++ 3. Reaksi/pH : 6 3. Reaksi/pH : 5

18
Sedimen 4. Protein : +++ 4. Protein : +++
Sel : Lekosit :- Blood : +++ Sedimen
Eritrosit: >100/lpb Sel : Lekosit : 10- Sel : Lekosit : 75-
15/lpb 80/lpb
Epithel : -
Eritrosit: 25-30/lpb Eritrosit: 6-8/lpb
Epithel : 2-4/lpb Epithel : 5-6/lpb

21 Feb 2013 25 Feb 2013 28 Feb 2013


Hasil Analisis Urin : Hasil Analisis Urin : Hasil Analisis Urin :
Hasil Pemeriksaan Rutin : Hasil Pemeriksaan Rutin : Hasil Pemeriksaan Rutin :
1. Warna : Kuning keruh 1. Warna : Kuning 1. Warna : Kuning
2. Berat Jenis : 1025 muda keruh muda
3. Reaksi/pH : 5 2. Berat Jenis : 1020 2. Berat Jenis : 1020
4. Protein : ++ 3. Reaksi/pH : 5 3. Reaksi/pH : 5
4. Protein : ++ 4. Protein : ++
Sedimen
Sedimen Sedimen
Sel : Lekosit : 2-
3/lpb Sel : Lekosit : 10- Sel : Lekosit : 1-
12/lpb 2/lpb
Eritrosit : 9-10/lpb
Eritrosit : 5-6/lpb Eritrosit : 7-8/lpb
Epithel : 5-6/lpb
Epithel : 4-5/lpb Epithel : 2-3/lpb
Hasil kultur urin : tidak ada
pertumbuhan kuman Bakteri (+)

Diagnosis Banding :

1. Sindrom nefrotik

2. Glomerulonefritis akut

Diagnosis Kerja :

1. Edema anasarka e.c sindrom nefrotik

2. Gizi buruk

19
3. Infeksi saluran kemih

Terapi :

1. Tirah baring

2. Pemberian prednisone full dose 2 mg/kgBB/hari

3. Obat antihipertensi, captoril 3x4,2 mg

4. Diuretik : furosemid 2x14 mg

5. Balance cairan (catat input dan output)

6. Diet : rendah garam dan ekstra putih telur

Follow Up

Tanggal S O A P
02/02/13 - Mata begkak (+) - KU : SN + Gizi - IVFD D5 ¼
- Muntah (+) - TTV :
buruk NS
TD : 110/90 - Inj.
mmHg Furosemid
N : 80 x/mnt 2x14 mg
- Inj.
RR : 58x/mnt
Ondansentro
T : 36,2oC
n 3x1/2 amp
Kepala:
PO :
normochepal
Captopril 3x4,2
Mata : edema
mg
palpebra (+)
Prednisone full
THT : dbn
dose 2
Thoraks:
mg/kgBB/hr
pulmo :

20
Vesikuer, Rh Diet :
-/-, wh -/- Rendah garam
Cor : regular Ekstra putih
Abdomen : telur
asites (+)
Ekstremitas :
pitting edema
(+)

03/02/13 - Mata bengkak - KU : lemah SN + Gizi - IVFD D5 ¼


- TTV :
(+) buruk NS
TD :
- Inj. Furosemid
130/90
2x14 mg
mmHg
N : 88 -Inj.
x/mnt Ondansentron
RR : 56
3x1/2 amp
x/mnt
-Inj. Ceftriaxone
T : 36,2oC
1400 mg + Dex
Kepala :
5%
normochepal
-Inj.
Mata : edema
Metronidazole
palpebra (+)
3x200 mg
THT : dbn
PO :
Thoraks :
Captopril 3x4,2
pulmo :
mg
Vesikuer, Rh
Prednisone full
-/-, wh -/-
dose 2
Cor : regular
mg/kgBB/hr
Abdomen :
Diet :
asites (+)
Rendah garam
Ekstremitas :
Ekstra putih
pitting edema
telur
(+)

21
04/02/13 - Mata bengkak - KU : lemah SN + Gizi - O2 2 liter
- TTV : - IVFD D5 ¼
– (+) buruk
TD :
- Muntah (+) NS
06/02/13
120/90 - Inj.
Kadang-kadang
mmHg Furosemid
sesak (+)
N : 140
2x14 mg
x/mnt - Inj.
RR : 46
Ondansentro
x/mnt
n 3x1/2 amp
T : 37,2oC
- Inj.
Kepala :
Metronidazol
normochepal
e 3x200 mg
Mata : edema
PO :
palpebra (+)
Captopril 3x4,2
THT : dbn
mg
Thoraks :
Prednisone full
pulmo :
dose 2
Vesikuer, Rh
mg/kgBB/hr
-/-, wh +/+
Diet :
Cor : regular
Rendah garam
Abdomen :
Ekstra putih
asites (+)
telur
Ekstremitas :
pitting edema
(+)

07/02/13 - mata bengkak - KU : lemah SN +Gizi - O2 2 liter


- TTV : - IVFD D5 ¼
- kadang-kadang buruk
TD :
NS
sesak
130/90 - Inj.
mmHg Furosemid
N : 138
2x14 mg
x/mnt - Inj.
RR : 40
Metronidazol
x/mnt
e 3x200 mg

22
T : 36,8oC - Transfusi
SPO2 :
albumin 50
92%
cc
Kepala :
normochepal
PO :
Mata : edema
-Captopril 3x4,2
palpebra (+)
mg
THT : dbn
-Prednisone full
Thoraks :
dose 2
pulmo :
mg/kgBB/hr
Vesikuer, Rh
-/-, wh +/+
Diet :
Cor : regular
Rendah garam
Abdomen :
Ekstra putih
asites (+)
telur
Ekstremitas :
pitting edema
(+)

08/02/13 - kelopak mata - KU : lemah SN + Gizi - IVFD D5 ¼


- TTV :
bengkak buruk NS
TD : 90/80
- Inj. Bicnat 15
mmHg
mg + Dex
N :140
5%
x/mnt
RR : 48 PO :
x/mnt Stop captopril
T : 36,3oC
- Prednisone full
Kepala :
dose 2
normochepal
mg/kgBB/hr
Mata : edema
palpebra (+)
Diet :
THT : dbn
Rendah garam
Thoraks :
Ekstra putih
pulmo :

23
Vesikuer, Rh telur
-/-, wh -/-
Cor : regular
Abdomen :
asites (+)
Ekstremitas :
pitting edema
(+)

09/02/13 - kelopak mata - KU : lemah SN + Gizi - IVFD 10 % +


- TTV :
bengkak buruk + ca glukonas 8
TD : 110/60
ISK gtt/i (mikro)
mmHg
- O2 head box
N : 130
5L
x/mnt
- Injeksi
RR : 38
Ceftazidin
x/mnt
T : 37,0oC 2x225 mg
Kepala :
normochepal PO :
Mata : edema -Captopril 3x4,2
palpebra (+) mg
THT : dbn -Prednisone full
Thoraks : dose 2
pulmo : mg/kgBB/hr
Vesikuer, Rh
-/-, wh -/- Diet :
Cor : regular Rendah garam
Abdomen : Ekstra putih
asites (+) telur
Ekstremitas :
pitting edema
(+)

12/02/13 Mata bengkak - KU : lemah SN + Gizi PO :

24
– (+) - TTV : buruk + -Captopril 3x4,2
TD :
15/02/13 ISK mg
130/60
-Prednisone full
mmHg
dose 2
N : 130
mg/kgBB/hr
x/mnt
RR : 38 -KSR 1 x ½ mg
x/mnt
T : 37,0oC
Diet :
Kepala :
-Rendah garam
normochepal
-Ekstra putih
Mata : edema
telur
palpebra (+)
THT : dbn
Thoraks :
pulmo :
Vesikuer, Rh
-/-, wh -/-
Cor : regular
Abdomen :
asites (+)
Ekstremitas :
pitting edema
(+)

16/02/13 Keluhan (-) - KU : SN + ISK PO :


- TTV :
– -Captopril 3x4,2
TD :
28/02/13 mg
150/100
-Prednisone full
mmHg
N : dose 2
112x/mnt mg/kgBB/hr
RR : 25
-KSR 1 x ½ mg
x/mnt
Kepala :
Diet :

25
normochepal -Rendah garam
THT : dbn -Ekstra putih
Thoraks : telur
pulmo :
Vesikuer, Rh
-/-, wh -/-
Cor : regular
Abdomen :
asites (+)
minimal
Ekstremitas :
pitting edema
(-)

01/03/13 Keluhan (-) - KU : SN + ISK - Prednisone


- TTV :
alternate
TD :
dose 2/3
100/60
dosis selang
mmHg
N : sehari 2,5 tab
110x/mnt pagi
RR : 25
x/mnt
Kepala :
normochepal
THT : dbn
Thoraks :
pulmo :
Vesikuer, Rh
-/-, wh -/-
Cor : regular
Abdomen :
asites (+)
minimal

26
Ekstremitas :
pitting edema
(-)

02/03/13 Keluhan (-) - KU : SN +ISK - KSR stop


- TTV : - Captopril 2 x
TD :
5,7 mg jika
130/80
TD > 100
mmHg
mmHg
N : 120
x/mnt
Kepala :
normochepal
THT : dbn
Thoraks :
pulmo :
Vesikuer, Rh
-/-, wh -/-
Cor : regular
Abdomen :
asites (+)
minimal
Ekstremitas :
pitting edema
(-)

27
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis dengan gejala proteinuria massif,


hipoalbuminemia, edema, dan hiperkolesterolemia.1,2,3,6

Beberapa definisi/batasan yang dipakai pada SN


Remisi : proteinuria negative atau trace (preoteinuria < 4 mg/m 2/lpb/jam) 3
hari berturut-turut dalam satu minggu.

28

Relaps : proteinuria ≥ 2+ (> 40 mg/m 2lpb/jam atau rasio protein/kreatinin
pada urin sewaktu > 2 mg.mg) 3 hari berturut-turut dalam satu minggu.

Sindrom nefrotik sensitive steroid (SNSS) : sindrom nefrotik yang dengan
pemberian prednisone dosis penuh (2 mg/kg/hari) selama 4 minggu
mengalami remisi.

Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS) : sindrom nefrotik dengan
pemberian prednisone dosis penuh (2 mg/kg/hari) selama 4 minggu tidak
mengalami remisi.

Sindrom nefrotik relaps jarang : sindrom nefrotik yang mengalami relaps <
2 kali dalam 6 bulan sejak respon awal atau < 4 kali dalam 1 tahun.

Sindrom nefrotik relaps sering : sindrom nefrotik yang mengalami relaps ≥
2 kali dalam 6 bulan sejak respons awal atau ≥ 4 kali dalam 1 tahun.

Sindrom nefrotik dependen steroid : sindrom nefrotik yang mengalami
relaps dalam 14 hari setelah dosis prednisone diturunkan menjadi 2/3 dosis
penuh atau dihentikan dan terjadi 2 kali berturut-turut.1

3.2 Epidemiologi

Angka kejadian bervariasi antara 2-7 per 100.000 anak, dan lebih banyak
pada anak lelaki daripada perempuan dengan perbandingan 2:1.

Secara keseluruhan prevalensi sindrom nefrotik pada anak berkisar 2-5


kasus per 100.000 anak. Prevalensi rata-rata secara komulatif berkisar
15,5/100.000. Sindrom nefrotik primer merupakan 90% dari sindrom nefrotik
pada anak sisanya merupakan sindrom nefrotik sekunder. Prevalensi sindrom
nefrotik primer berkisar 16 per 100.000 anak. Prevalensi di indonesia sekitar 6 per
100.000 anak dibawah 14 tahun. Rasio antara laki-laki dan perempuan berkisar
2:1. dan dua pertiga kasus terjadi pada anak dibawah 5 tahun.1,2,3,6

3.3 Etiologi dan Klasifikasi

Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer atau idiopatik dan sekunder


mengikuti penyakit sistemik antara lain lupus eritematosus sistemik (LES),
purpura Henoc Schonlein dan lain-lain. Menurut gambaran patologi anatomi, SN
idiopatik pada anak sebagian besar (80%-90%) mempunyai gambaran kelainan
minimal (SNKM). Gambaran patologi anatomi lainnya adalah glomerulosklerosis

29
fokal sekmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferative difus (MPD) 1,9-2,3%,
glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) 6,2% dan nefropati membranosa
(GNM) 1.3%.1,2,3,7,8

Pada berbagai penelitian jangka panjang ternyata respons terhadap pengobatan


steroid lebih sering dipakai untuk menentukan prognosis dibandingkan gambaran
patologi anatomi. Oleh karena itu pada saat ini klasifikasi SN lebih sering
didasarkan pada respon klinik, yaitu :

1. Sindrom nefrotik sensitive steroid (SNSS)

2. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)

3.4 Patofisiologi

a. Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.
Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke
jaringan interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik
plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal
melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air.
Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi
juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema akan
semakin berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal
utama. Penurunan kemampuan nefron distal untuk mengeksresi natrium
sehingga terjadi retensi natrium. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan
cairan ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi
glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan
edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada pasien
SN.2,3,7,9
b. Proteinuria

30
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein
akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membrana basal
glomerulus mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran
protein. Mekanisme peghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size
barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN
kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi
molekul protein juga menentukkan lolos tidaknya protein melalui membrana
basalis glomerulus.2,3,7,9,10
c. Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis
albumin hati, dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia
disebabkan oleh proteinuria massif dengan akibat penurunan tekanan onkotik
plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha
meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati ini tidak
berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia.2,3,6
Pada SN sering pula dijumpai anoreksia akibat edema mukosa usus
sehingga intake berkurang yang pada gilirannya dapat menimbulkan
hipoproteinemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati,
tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin.
Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan
katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.2,3,6
d. Hiperkolesterolemia/Hiperlipidemia
Hiperlipidemia terjadi sebagai akibat kelainan pada homeostasis
lipoprotein yang terjadi sebagai akibat peningkatan sintesis dan penurunan
katabolisme. Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat
albumin sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel-sel
hepar juga akan membuat VLDL. Dalam keadaan normal VLDL diubah
menjadi LDL oleh lipoprotein lipase. Tetapi pada SN akitifitas enzim ini
terhambat oleh adanya hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak
bebas. Disamping itu menurunnya aktifitas lipoprotein lipase ini disebabkan
pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat keluarnya
protein ke dalam urin.2,3,6

31
3.5 Gejala Klinis

Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila


lebih berat akan disertai asites, dan sesak napas dapat terjadi karena adanya cairan
pada rongga pleura (efusi pleura) ataupun akibat tekanan abdominal yang
meningkat akibat asites. Gejala lain yang mungkin terjadi adalah bengkak pada
kaki, scrotum ataupun labia mayor. Kadang-kadang disertai oliguria dan gejala
infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare. Bila disertai sakit perut hati-hati
terhadap kemungkinan terjadinya peritonitis.1,2,3,6

Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan badan, tinggi badan,


lingkar perut, dan tekanan darah. Dalam laporan ISKDC (International Study of
Kidney Disease in Children), pada SNKM ditemukan 22% disertai hematuria
mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar
kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara.2,3

3.6 Diagnosis

Anamnesis

Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata,


perut, tungkai, atau seluruh tubuh yang dapat disertai penurunan jumlah urin.
Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin keruh atau jika terdapat hematuria
berwarna kemerahan.2,3,8

Pemeriksaan Fisik

Tekanan darah pada umumnya normal atau rendah, namun dapat


meningkat pada 15-20% penderita. Tekanan darah yang meningkat terutama
terdapat pada penderita SN sebagai akibat sekresi rennin, aldosteron, dan hormon
vasoaktif lain yang berlebihan. Hipertensi anak lebih sering terdapat pada SN

32
bukan kelainan minimal, etiologi hipertensi pada SN diperkirakan multifaktorial.
Penderita SN mempunyai risiko besar untuk mengalami hipovolemia, sampai
syok hipovolemik. Nyeri abdomen pada SN dapat merupakan gejala hipovolemia
dan peritonitis.2,3,6,8

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan proteinuria massif, yaitu lebih


dari 40 mg/m2/jam, atau rasio protein dan kreatinin lebih dari 2 mg per mg dalam
urin sewaktu, atau dengan dipstick lebih dari 2+.

Temuan lain pada urinalisis adalah peningkatan berat jenis (BJ) dan pH
urin, leukosituria, double refractile lipoid bodies dan silinder hialin. 20%
penderita SN menunjukkan hematuria mikroskopik sementara, sedangkan
hematuria gros sangat jarang ditemukan.

Pemeriksaan darah ditemukan hipoalbuminemia (kurang dari 2,5 mg/dL),


dengan rasio albumin dan globulin yang terbalik. Kadar ureum dan kreatinin
umumnya normal, meskipun 32% menunjukkan peningkatan kreatinin plasma
yang bersifat sementara.

Hiperkolesterolemia tidak selalu ditemukan, disebut kolesterolemia bila


kadar kolesterol > 250 mg/dL. Akhir-akhir ini disebut juga sebagai hiperlipidemia
oleh karena bukan hanya kolesterol saja yang meningkat, namun beberapa
konstituen lemak meninggi dalam darah. Konstituen lemak itu adalah : kolesterol,
LDL, VLDL dan trigliserida. Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk
membuat sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel-sel
hepar juga akan membuat VLDL. Dalam keadaan normal VLDL akan diubah oleh
lipoprotein lipase menjadi LDL. Tetapi pada SN, aktifitas enzim ini terhambat
oleh adanya hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak bebas. Disamping
menurunnya aktifitas lipoprotein lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya
lipoprotein plasma sebagai akibat keluarnya protein ked ala urin. Jadi
hiperkolesterlomia ini tidak hanya disebabkan oleh produksi yang berlebihan,
tetapi juga akibat gangguan katabolisme fosfolipid. Biasanya kadar kolesterol
total, LDL, VLDL meningkat, sedangkan kadar HDL normal.2,3,6,10

33
3.7 Diagnosis Banding

1. Sembab non renal :

a. Kardial (gagal jantung kongestif)

b. Nutritional (gangguan nutrisi)

c. Hepatal (penyakit hepar kronis)

2. Glomerulonefritis akut

3. Lupus sistemik eritematosus2,3

3.8 Tatalaksana

Indikasi Rawat

Pada SN pertama kali sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan


untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet, penanggulangan
edema, memulai pengobatan steroid dan edukasi orang tua. Sebelum pengobatan
steroid dilakukan uji mantoux, bila perlu dilakukan skrining dan scoring
tuberculosis. Bila terbukti menderita tuberculosis sesuai protocol, bila uji mantoux
saja positif diberikan profilaksis INH.2,3

Bila didapatkan komplikasi berat seperti edema anasarka, infeksi berat


(peritonitis, pneumonia, sepsis), syok, gagal ginjal, dan indikasi khusus dilakukan
rujukan.

1. Penjelasan kepada pasien atau orang tua mengenai penyakit pasien dan
tindakan yang akan dilakukan untuk tatalaksana pasien. Perlu dijelaskan
bahwa penyakit bisa sebuh namun sebagian bisa kambuh lagi.

2. Medikamentosa

Pengobatan dengan prednisone diberikan dengan dosis awal 60 mg/m2/hari


atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi 3 selama
4 minggu, dilanjutkan dengan 2/3 dosis awal (40 mg/m 2.hari, maksimum

34
60 mg/hari) dosis tungggal pagi selang sehari (dosis alternating) selama 4-
8 minggu.
Bila terjadi relaps, maka diberikan prednisone 60 mg/m 2/hari sampai
terjadi remisi (maksimal 4 minggu), dilanjutkan 2/3 dosis awal (40
mg/m2/hari) secara alternating selama 4 minggu. Pada sindrom nefrotik
resisten steroid atau toksisk steroid, diberikan obat imunosupresan lain
seperti siklofosfamid per oral dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari dalam dosis
tunggal dibawah pengawasan dokter nefrologi anak. Dosis dhitung
berdasarkan berat badan tanpa edema.1,2,3

Dosis penuh (FD) Dosis alternating (AD) – 3 kali dalam seminggu


diberikan setiap hari

1st
4 weeks

R1tidak khusus
Pengobatan
R2
1. Diet 2/3 initial
Immuno-
dose
supressive
a. Pada penderita SN diet harus mengandung masukan kalori dan
agent
protein cukup (1-2 mg/kg/hari)

b. Penderita SN mempunyai kecenderungan untuk retensi garam,


maka perlu diet rendah garam

c. Masukan cairan biasanya tidak perlu dibatasi, kecuali jika


penderita merasa sangat haus sehingga umumnya berlebihan

d. Diet lain sebaiknya diberikan secara normal, dan biasanya masukan


protein tidak perlu dirubah

2. Diuretika

35
a. Bila ada edema anasarka diperlukan tirah baring. Selain pemberian
kortikosteroid atau imunosupresan, diperlukan pengobatan suportif
lainnya. Pemberian albumin 20-25% dengan dosis 1 gr/kgBB
selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan
diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgBB
dilakukan atas indikasi seperti edema refrakter, syok, atau kadar
albumin ≤ 1 gram/dl.seperti pemberian diet protein normal (1,5 – 2
gr/kgBB/hari), diet rendah garam (1-2 gr/hari) dan diuretik.
Diuretik furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasikan
dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretic hemat
kalium) 2-3 mg/kgBB/hari bila ada edema anasarka atau edema
yang mengganggu aktivitas. Pengobatan diuretik akan bermanfaat
terutama pada anak dengan edema berat. Furosemid secara oral
bersifat aman dan bermanfaat sedang saja. Pemberiannya harus
hati-hati karena mungkin volume plasma sudah berkurang,
sehingga kehilangan selanjutnya akan sodium dan cairan dapat
mengakibatkan syok hipovolemik.1,2,3

b. Hati-hati monitor penderita pada pengobatan tersebut karena


terdapat risiko tinggi akan terjadinya hipovolemia atau edema
paru-paru.

3. Penyakit infeksi

Penderita SN paling mudah terserang infeksi. Apabila sudah terserang,


maka infeksinya cenderung untuk menjadi berat, terutama selama
pemberian steroid. Maka perlu dilakukan pemeriksaan cermat pada SN
apabila demam dan segera diperiksa laboratorium yang sesuai tanpa
tertunda.

Untuk mencegah penularan berbagai macam penyakit infeksi, penderita


SN harus diisolasi untuk mengurangi paparan terhadap penyakit infeksi
yaitu terutama selama pengobatan intensif kortikosteroid.

36
Apabila sudah terjadi infeksi harus diberikan pengobatan. Oleh karena
penderita SN cenderung terserang infeksi pneumokokus, maka perlu
diberikan vaksinasinya setelah terjadi remisi. Keluhan atau gejala
abdomen akut sering disebabkan oleh peritonitis, yang disebabkan oleh
pneumokokok atau kuman usus.1,2,3

4. Hipertensi

Hipertensi yang terdapat pada penderita SN kelainan minimal. Apabila


terjadi, hipertensi dapat disembuhkan dengan pemberian diuretika, tetapi
sering kali pengobatan tersebut tidak berhasil atau bahkan menaikan
tekanan darahnya yang mungkin disebabkan oleh perfusi ginjal makin
berkurang dan meningkatkan produksi remisi. Obat-obat angiotensin
converting enzye inhibitors dan calcium channel – blocking agents sangat
bermanfaat pada pengobatan penderita tersebut.1,2,3

5. Aktifitas Penderita

Aktifitas penderita SN tidak perlu dibatasi kecuali apabila terdapat edema


yang berat. Oleh karena penyakit saluran napas dapat memudahkan
kambuhnya SN, maka perlu diusahakan agar penderita tersebut dipisahkan
dari penderita penyakit saluran napas.

6. Pemantauan Tumbuh Kembang

Gangguan tubuh kembang dapat terjadi sebagai akibat penyakit sindrom


nefrotik sendiri atau efek samping pemberian obat prednisone secara
berulang dalam jangka lama. Selain itu, penyakit ni merupakan keadaan
imunokompromais sehingga sangat rentan terhadap infeksi. Infeksi
berulang dapat mengganggu tumbuh kembang pasien.

Tindak Lanjut

1. Rawat jalan

Monitor rawat jalan penderita SN dan respon pengobatannya merupakan


suatu aspek yang sangat penting pada pengobatan SN secara keseluruhan.

37
Hasil yang terbaiknya dapat diperoleh apabila orang tua atau pengasuhnya
mengetahui masalah pengobatan dan kemajuan penyakit penderita. Hal
tersebut mulai dilaksanakan sejak awal pengobatan jalan.

2. Pemeriksaan fisik

a. Ukur berat dan tinggi badan

b. Ukur tekanan darah

c. Periksa tanda-tanda lainnya

Keadaan di bawah ini merupakan indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis


nefrologi anak :

 Awitan sindrom nefrotik paa usia dibawah 1 tahun, riwayat penyakit


sindrom nefrotik dalam keluarga.
 Sindrom nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata persisten, penurunan
fungsi ginjal, atau disertai dengan gejala ekstrarenal seperti arthritis,
serositis atau lesi di kulit.
 Sindrom nefrotik dengan komplikasi edema refrakter, thrombosis, infeksi
berat, toksisk teroid.
 Sindrom nefrotik resisten steroid.
 Sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid.
 Diperlukan biopsy ginjal.
Indikas untuk dilakukan biopsy ginjal pada sindrom nefrotik anak adalah :
 Sindrom nefrotik dengan hematuria nyata, hipertensi, kadar kreatinin dan
ureum plasma meninggi, atau kadar komplemen serum menurun.
 Sindrom nefrotik resisten steroid
 Sindrom nefrotik steroid.

3.9 Komplikasi dan Pengobatan


a) Infeksi
Pada SN mudah terjadi infeksi, hal ini disebabkan karena terjadi
kebocoran IgG dan komplemen faktor B dan D di urin. Pemakaian obat
imunosupresif menambah risiko terjadinya infeksi. Bila terjadi peritonitis
primer (biasanya disebabkan oleh kuman Gram negative dan
Streptococcus pneumonia) perlu diberikan pengobatan penisilin parenteral,

38
dikombinasikan dengan sefalosforin generasi ketiga yaitu sefotaksim atau
seftriakson selama 10-14 hari.
b) Tromboemboli
Pada SN dapat terjadi thrombosis karena adanya hiperkoagulasi,
peningkatan kadar fibrinogen, faktor VIII, dan penurunan konsentrasi
antitrombin III. Thrombosis dapat terjadi di dalam vena maupun arteri.
Adanya dehidrasi meningkatkan kemungkinan terjadinya thrombosis.
Pencegahan tromboemboli dapat dilakukan dengan pemberian aspirin
dosis rendah (80 mg) dan dipiridamol, tetapi sampai saat ini belum ada
studi terkontrol terhadap efektivitas pengobatan ini. Heparin diberikan bila
sudah terjadi thrombosis.
c) Hiperlipidemia
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar kolesterol
LDL dan VLDL, trigliserida, dan lipoprotein (a) (Lpa), sedangka
kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik
dan trombogenik.
Pada SN sensitive steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat
sementara, cukup dengan pengurangan diet lemak. Pada SN resisten
steroid dapat dipertimbangkan pemberian obat penurun lipid seperti
questran, derivate fibrat dan inhibitor HMgCoA reduktasia (statin) karena
biasanya peningkatan kadar lemak tersebut berlangsung lama, tetapi
manfaat pemberian obat tersebut masih diperdebatkan.
d) Hipokalsemia
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena :
 Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan
osteoporosis dan osteopenia
 Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada SN relaps sering dan SN resisten steroid dianjurkan
pemberian suplementasi kalsium 500 mg/hari dan vitamin D. bila telah
terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 50 mg/kgBB intravena.
e) Hipovolemia
Pemberian diuretic yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat
mengakibatkan hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia,
ekstremitas dingin, dan sering disertai sakit perut. Pasien harus segera
diberikan infus NaCl fisiologik dan disusul dengan albumin 1 g/kgBB atau
plasma 20 ml/kgBB (tetesan lambat 10/menit). Bila hipovolemia telah

39
teratasi dan pasien tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgBB
intravena.2,3

3.10 Pencegahan

Beberapa hal yang diduga menyebabkan kambuh adalah penyakit infeksi,


aktifitas fisik berlebihan dan diabetik yang tidak terkontrol. Banyak SN kambuh
setelah terjadi penyakit napas. Jadi, usaha untuk membatasi paparan penderita
dengan orang-orang yang mengidap infeksi saluran napas mungkin bermanfaat.
Pemberian imunisasi rutin sampai anak dalam keadaan remisi dan berhenti
pengobatan kira-kira 6 bulan.2,3

3.11 Prognosis

Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun


menunjukkan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal.1,2,3

Kira-kira 92% anak dengan SN kelainan minimal memberikan respons penuh


(proteinuria tidak ada lagi) terhadap pengobatan steroid standar. Setelah itu
perjalanan penyakit dapat dibagi dalam 3 golongan :

1. Tidak kambuh

Kejadian tidak kambuh tersebut terdapat pada kira-kira 30% (20-50%) dari
penderita SN kelainan minimal yang keluhan mulanya ada respon terhadap
pengobatan steroid. Penderita-penderita tersebut diperkirakan sembuh dari
penyakitnya.

2. Kambuh jarang

Kriteria inklusi untuk golongan tersebut adalah bermacam-macam


sehingga terjadi perbedaan angka kejadian yang nyata (20-50% dari
penderita SN kelainan minimal). Biasanya, kambuh pertama terjadi setelah
remisi 3 bulan atau lebih dan jumlah kambuh tidak lebih dari 3 kali
pertahun.

3. Kambuh sering

40
Sering kambuh biasanya bersamaan denga terjadinya penyakit saluran
napas (infeksi, alergi). Kambuh tersebut cenderung cepat baik (10-14 hari)
dengan pengobatan steroid. Prognosis untuk remisi permanen adalah baik,
dan progresivitas penyakit menjadi resisten steroid, gagal ginjal atau
kadarnya adalah sangat jarang terjadi. Penderita tersebut mempunyai
masalah penting bukan seberat progresivitas penyakitnya, melainkan
khasiat samping pengobatan steroid jangka panjang. Makin banyak jumlah
anak dengan cara pemberian steroid rumatan jangka panjang mengalami
gagal tumbuh, katarak lensa mata, osteoporosis hiperglikemia, gangguan
tingkah laku dan keluhan gastrointestinal. Kejadian sering kambuh
dilaporkan terdapat pada 20-25% penderita SN kelainan minimal.

4. Prediksi kambuh berikutnya

Kambuh awal setelah mulainya penyakit dan atau periode remisi pendek
tepat sebelum kambuh terakhir adalah faktor risiko independen untuk
kambuh berikutnya pada anak sindrom nefrotik sensitive steroid. Apabila
remisi terjadi dalam waktu 1 minggu pertama pengobatan, penderita SN
tanpa hematuria cenderung untuk kambuh tidak sering dalam tahun
pertama.

5. Penyuluhan Penderita

Segera setelah diagnosis SN ditegakkan diberikan penyuluhan atau


pendidikan kepada anak dan keluarganya harus ikut terlibat dalam proses
pengobatan dan berusaha untuk mentaati cara pengobatan dengan sebaik-
baiknya. Sama halnya dengan semua penyakit kronik lainnya siapkanlah
keluarga terhadap masalah psikologik yang mungkin terjadi.

41
INFEKSI SALURAN KEMIH

Definisi

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah untuk menyatakan adanya


pertumbuhan bakteri di dalam saluran kemih, meliputi infeksi di parenkim ginjal
sampai infeksi kandung kemih.2,4,7

Epidemiologi

Infeksi saluran lemih merupakan penyebab utama kedua tersering setelah


infeksi akut saluran napas pada anak usia kurang dari 2 tahun. Pada kelompok ini
angka kejadian ISK mencapai 5%. Angka kejadian ISK bervariasi, tergantung
umur dan jenis kelamin. Angka kejadian pada neonates kurang bulan adalah
sebesar 3% sedangkan pada neonates cukup bulan 1%. Pada anak kurang dari 10
tahun, ISK diteukan pada 3,5% anak perempuan dan 1,1% anak lelaki.2

Etiologi

Infeksi saluran kemih pada umumnya disebabkan oleh mikroorganisme tunggal


seperti:2,4

a. Kelompok anterobacteriaceae seperti :


 Escherichia coli
 Klebsiella pneumoniae
 Enterobacter aerogenes
 Proteus
 Providencia
 Citrobacter

42
b. Pseudomonas aeruginosa
c. Acinetobacter
d. Enterokokus faecalis

Patofisiologi

Hampir semua ISK menyebar secara asendens. Gangguan dari flora


periuretra normal, yang merupakan bagian dari pertahanan tubuh melawan
kolonisasi bakteri patogen, mempermudah terjadinya ISK. Bakteri dari flora
periuretra berada di distal uretra, tetapi urine normal berada dalam keadaan steril
di proksimal uretra, kandung kemih, dan bagian proksimal lainnya pada saluran
kemih. Kuman patogen saluran kencing dapat mencapai kandung kemih dan
berkembang biak bila infeksi terjadi. Bakteri patogen tersebut berada di distal
uretra dan mungkin dapat mencapai kandung kemih sebab aliran turbulen urine
pada saat berkemih yang normal atau karena ketidakmampuan berkemih.
Kolonisasi di kandung kemih yang berhasil tak terjadi bila mekanisme
pertahanannya tak terganggu karena buang air kecil normalnya dapat
membersihkan kontaminasi bakteri secara lengkap.4,10

Gejala Klinis

 Anak baru lahir-2 bulan : sering tak ada gejala di saluran kemih. ISK
ditemukan dengan adanya sepsis neonatus, kuning berkepanjangan, gagal
tumbuh, tak mau menyusu.
 Anak 2 bulan - 2 tahun : Bayi dan anak-anak pada usia ini memiliki gejala
demam yang tidak diketahui sebabnya ( >38oC). Bayi sering mendapat
demam dan gejala lainnya, seperti rewel, tak mau menyusu, nyeri perut,
muntah dan diare.
 Anak dengan usia 1-2 tahun datang dengan gejala sugestif sistitis akut.
Gejala biasanya menangis saat berkemih atau kencing yang berbau busuk
tanpa adanya demam (suhu <38oc).
 Anak usia 2-6 tahun :Pada kelompok dengan demam ISK sering memiliki
gejala sistemik yaitu tak nafsu makan; rewel dan nyeri pada perut, panggul
dan punggung dengan atau tanpa kelainan berkemih. Pasien dengan sistitis

43
akut memiliki gejala berkemih dengan sedikit atau tanpa peningkatan
suhu. Disfungsi berkemih termasuk urgensi, frekuensi, hesistensi, disuria
dan inkontinensia urine. Nyeri suprapubis atau perut dapat ditemukan dan
adanya bau busuk pada urine.
 Anak usia lebih tua dan adolesen : Sering mengenai saluran bagian bawah,
tetapi pyelonefritis akut masih mungkin. Gejalanya mirip pada anak usia
2-6 tahun. Anak perempuan dengan pyelonefritis akut, dapat ada refluks
vesikoureter persisten (VUR), biasanya memiliki sistitis akut dengan ISK
bila mereka bertambah tua.

Penyebab: Proliferasi kuman dalam saluran kemih menyebabkan ISK.


Infeksi hampir selalu asenden dan disebabkan kehadiran bakteri di distal uretra. E
coli umumnya menyebabkan infeksi awal, tapi basil gram negatif lain dan
enterococci dapat juga menyebabkan infeksi.2,7

Diagnosis

Anamnesis

Gambaran klinis ISK sangat bervariasi dan sering tidak khas, dari
asimtomatik sampai gejala sepsis yang berat. Pada neonates sampai usia 2 bulan,
gejalanya menyerupai gejala sepsis, berupa demam, apatis, berat badan tidak naik,
muntah, mencret, anoreksia, problem minum, dan sianosis. Pada bayi, gejalanya
berupa demam, berat badan sukar naik, atau anoreksia. Pada anak besar, gejalanya
lebih khas seperti sakit waktu miksi, frekuensi miksi meningkat, nyeri perut atau
pinggang, mengompol, polakisuria, atau urin yang berbau menyengat.

Pemeriksaan Fisik

Gejala dan tanda ISK yag dapat ditemukan berupa demam, nyeri ketok
sudut kostovertebral, nyeri tekan suprasimfisis, kelainan pada genitelia eksterna
seperti fimosis, sinekia vulva, hipospadia, epispadia, dan kelainan pada tulang
belakang seperti spina bivida.

44
Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan protinuria, leukosituria


(leukosit > 5/lpb), hematuria (eritrosit > 5/lpb). Diagnosis pasti dengan
ditemukannya bakteriuria bermakna pada kultur urin yang jumlahnya tergantung
dari metode pengambilan sampel urin.

Pemeriksaan penunjang lain dilakukan untuk mencari faktor risiko seperti


disebutkan di atas dengan melakukan pemeriksaan ultrasonografi, foto polos
perut, dan bila perlu dilanjutkan dengan miksio-sisto-uretogram dan pielografi
intravena. Pemeriksaan ureum dan kreatinin untuk menilai fungsi ginjal.2,7

Tatalaksana2

Medikamentosa

Penyebab tersering ISK adala Escherichia coli. Sebelum ada hasil biakan
urin dan uji kepekaan, antibiotik diberikan secara empirik selama 7-10 hari untuk
eradikasi infeksi akut. Anak yang mengalami dehidrasi, muntah atau tidak dapat
minum oral, berusia 1 bulan atau kurang, atau dicurigai mengalami urosepsis
sebaiknya dirawat di rumah sakit untuk rehidrasi dan terapi antibiotika intravena.

Bedah

Koreksi bedah sesuai dengan kelainan saluran kemih yang ditemukan.

Suportif

Selain pemberian antibiotik, penderita ISK perlu mendapat asupan cairan


yang cukup, perawatan hygiene daerah perineum dan periuretra, serta pencegahan
konstipasi.

45
Pemantauan

Terapi

Dalam 2 x 24 jam setelah pengobatan fase akut dimulai, gejala ISK


umumnya menghilang. Bila belum menghilang, dipikirkan untuk mengganti
antibiotik yang lain. Pemeriksaan kultur dan uji resistensi urin ulang dilakukan 3
hari setelah pengobatan fase akut dihentikan, dan bila memungkinkan setelah 1
bulan dan setiap 3 bulan. Jika ada ISK berikan antibiotic sesuai hasil uji kepekaan.

Bila ditemukan adanya kelainan anatomic maupun fungsonal yang


menyebabkan obtruksi, maka pengobatan fase akut dilanjutkan dengan antibiotic
profilaksis. Antibiotic profilaksis juga diberikan pada ISK berulang, ISK pada
neonates pielonefritis akut.

Tumbuh kembang

ISK simpleks umumnya tidak mengganggu proses tumbuh kembang,


sedangkan ISK kompleks bila disertai dengan gagal ginjal kronik akan
mempengaruhi proses tumbuh kembang.

Pencegahan

Usaha preventif adalah tidak menahan kencing, pemakaian lampin sekali


pakai, dan menjaga hygiene periuretra dan perineum.

46
GIZI BURUK

Definisi

Gizi buruk adalah keadaan kekurangan energi dan protein tingkat berat
akibat kurang mengkonsumsi makanan yang bergizi dan atau menderita sakit
dalam waktu lama. Itu ditandai dengan status gizi sangat kurus (menurut BB
terhadap TB < -3SD) dan atau hasil pemeriksaan klinis menunjukkan gejala
marasmus ,kwashiorkor atau marasmik kwashiorkor.3,11

Etiologi

1. Faktor diet. Diet kurang energi dan protein akan mengakibatkan penyakit
KEP.
2. Peranan faktor sosial. Pantangan untuk menggunakan bahan makanan
tertentu yang sudah turun-temurun.
3. Peranan kepadatan penduduk. Mc Laren (1982) memperkirakan bahwa
KEP terdapat dalam jumlah yang banyak akibat suatu daerah terlalu padat
penduduknya dengan higiene yang buruk.
4. Faktor infeksi. Terdapat interaksi sinergistis antara infeksi dan malnutrisi.
Infeksi berat dapat memperjelek keadaan gizi melalui gangguan masukan dan
meningginya kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh.
5. Faktor kemiskinan. Dengan penghasilan yang rendah, ketidakmampuan
membeli bahan makanan ditambah timbulnya banyak penyakit infeksi karena
kepadatan tempat tinggal dapat mempercepat timbulnya KEP.11

Klasifikasi Gizi Buruk


Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-
kwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis
dari masing-masing tipe yang berbeda-beda.3,11
1. Marasmus
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang
timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot

47
di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan
kemerahan, gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati
dan sebagainya. Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun
setelah makan, karena masih merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus
adalah:
a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-
ototnya, tinggal tulang terbungkus kulit

b. Wajah seperti orang tua

c. Iga gambang dan perut cekung

d. Otot paha mengendor (baggy pant)

e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar

2. Kwashiorkor
Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby), bilamana
dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun
dibagian tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak sangat
kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh
a. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis
b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut, pada
penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam.

c. Wajah membulat dan sembab

d. Pandangan mata anak sayu

e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa
kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.

f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi
coklat kehitaman dan terkelupas

48
3. Marasmik-Kwashiorkor
Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik
kwashiorkor dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung
protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian
disamping menurunnya berat badan < 60% dari normal memperlihatkan tanda-
tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan
kelainan biokimiawi terlihat pula.

Kriteria Diagnosis Gizi Buruk :

 Terlihat sangat kurus

 Edema nutrisional

 BB/TB < - 3 SD

 LILA < 115

Tatalaksana

Prinsip dasar pengobatan rutin yang dilakukan pada penderita KEP


berat/gizi buruk adalah:
1. Atasi/cegah hipoglikemia.
2. Atasi/cegah hipotermia.
3. Atasi/cegah dehidrasi.
4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit.
5. Obati/cegah infeksi.
6. Mulai pemberian makanan.
7. Fasilitasi tumbuh kejar (catch up growth).
8. Koreksi defisiensi nutrien mikro.
9. Lakukan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental.
10. Siapkan dan rencanakan tindak lanjut setelah sembuh.3,11

49
BAB IV

ANALISIS KASUS

Pasien ini seorang anak perempuan berusia 7 tahun 4 bulan dengan berat
badan 20 kg dengan edema (14 kg tanpa edema), didapatkan gejala bengkak pada
seluruh tubuh dan bengkak pertama kali muncul dirasakan pada kelopak mata
pada saat bangun tidur, menjalar ke tangan, perut dan kaki. os juga mengeluh
BAK lebih sering tapi BAK dirasakan sedikit-sedikit, warna BAK keruh, berbau,
BAK kemerahan (+), sakit saat BAK juga disangkal. Os juga merasa susah untuk
menahan saat ingin BAK. Bengkak dirasakan semakin membesar dan
menyebabkan anak sesak dan juga ada muntah. Keluhan ini baru muncul untuk
pertama kalinya.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 130/mmHg


menunjukkan adanya hipertensi. Pada kasus SN tekanan darah dapat meningkat
pada 15-20% penderita. Tekanan darah yang meningkat terutama terdapat pada
penderita SN sebagai akibat sekresi rennin, aldosteron, dan hormon vasoaktif lain
yang berlebihan. Selain itu pada pemeriksaan fisik yang dilakukan didapatkan
adanya edema, asites (+), paru dan jantung dalam batas normal. Selain itu anak
dikatakan gizi buruk karena dinilai dari status gizinya BB/TB < -3 SD.

Pada pemeriksaan penunjang, pemeriksaan kimia darah didapatkan


albumin 1,8 gr/dL (hipoalbumin), kolesterol 293 mg/dL (hiperkolesterolemia) dan
pada pemeriksaan urinalisis didapatkan adanya proteinuria (protein +++) dan pada
pemeriksaan USG (11 Februari 2013) didapatkan kesan pleural efusi bilateral e.c
asites e.c sindrom nefrotik dimana efusi pleura ini yang menyababkan pasien
menjadi sesak. Selain itu pada pemeriksaan kultur urin didapatkan Gram (-)
Strenotrophomonas maltophilia.

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang


dilakukan maka pada anak ini sesuai dengan tinjauan pustaka yang ada, dapat
ditegakan diagnosis sindrom nefrotik dan juga infeksi saluran kemih. Berdasarkan

50
adanya penelitian menyebutkan kejadian tertinggi infeksi pada sindrom nefrotik
adalah ISK. Diagnosis banding pada anak ini glomerulonefritis akut, alasan tidak
didiagnosis dengan GNA karena dari anamnesis yang dilakukan tidak adanya sakit
menelan dan ISPA sebelum os mengeluh bengkak. Dimana timbulnya GNA
didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus respiratorius bagian atas dan
kulit oleh kuman streptokokus beta hemolytikus A.

Terapi yang diberikan pada pasien ini Inj. Furosemid 2x14 mg, diberikan
untuk mengurangi edema yang dapat mengganggu aktivitas. Pada pasien ini
edema sudah menyebabkan sesak sepanjang hari. Dimana pemberian diuretic ini
diberikan selama ada edema berat. Inj. Ondansentron 3x1/2 amp, diberikan karena
pasien mengeluh mual dan muntah dan juga pemberian obat oral prednisone full
dose 2 mg/kgBB/hari dan mulai pada tanggal 1 maret 2013 diberikan prednisone
alternate dose 2/3 dosis selang sehari 2,5 tab pagi. Terapi yang diberikan sudah
sesuai dengan tinjauan pustaka dimana pengobatan pada sindrom nefrotik dimulai
dengan pemberian prednisone dosis penuh (full dose) dengan dosis awal 60
mg/m2LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi
3 selama 4 minggu, dilanjutkan dengan 2/3 dosis awal (40 mg/m 2 LPB/hari,
maksimum 60 mg/hari) dosis tungggal pagi selang sehari (dosis alternating)
selama 4-8 minggu. Pada pasien ini juga diberikan captopril 3x4,2 mg jika
tekanan darah > 100 mmHg, diman pada pasien sindrom nefrotik dengan
hipertensi diberikan obat anti hipertensi. Serta pada penderita sindrom nefrotik
mempunyai kecenderungan untuk retensi garam, maka perlu diberikan diet garam
rendah, dan untuk diet lainnya diberikan secara normal, dan biasanya asupan
protein tidak perlu dirubah.

DAFTAR PUSTAKA

51
1. Alatas, H. Tambunan, T. Trihono, P. Pardede, S. Konsensus Tatalaksana
Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Unit Kerja Nefrologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia. 2005.
2. Pusponegoro HD, Hadinegoro SR, Firmanda D, dkk. Standar pelayanan medis
kesehatan anak. Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2004.
3. Dadiyanto DW, Muryawan H, S Anindita. Buku Ajar Ilmu Kesehatan.
Semarang. Bagian IKA FK UNDIP. 2011
4. Arcana, IP. Infeksi Saluran Kemih Pada Sindrom Nefrotik. Studi Cross
Sectional (Tesis Universitas Diponegoro). Semarang : Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Diponegoro. 1999.
5. Ritonga, S. Hubungan Infeksi Saluran Kemih Dengan Sindrom Nefrotik
Resisten Steroid Pada Anak. Studi Kasus Kontrol (Tesis Universita Gadjah
Mada). Yogyakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak Universitas Gadjah Mada
RSUP dr. Sardjito. 2011.
6. Handayani, I. Gambaran Kadar Kolesterol, Albumin, dan Sedimen Urin Pada
Penderita Sindrom Nefrotik. Indonesian Journal of Clinical Pathology and
Medical Laboratory, Vol. 13, No. 2, Maret 2007: 49-52.
7. Orenstein DM. Sindrom Nefrotik. Dalam : Behrman, Kliegman, Arvin editor.
Nelson, ilmu kesehatan anak.Volume 3, Edisi 15. Jakarta. EGC. 2000 : 1828-
31.
8. Pudjiaji AH, Hegar Badriul, Handryastuti S, dkk. Sindroma Nefrotik dalam:
Pedoman Pelayanan Medis IDAI. Jilid 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010.
274-6.
9. Guyton. Buku ajar fisiologi kedokteran jilid II edisi 7. Jakarta. EGC. 1994 :
158 – 9.
10. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi jilid II edisi 4. Jakarta. EGC. 1995 : 645–
8.
11. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Tatalaksana Kurang Energi-Protein pada
Anak di Rumah Sakit Kabupaten/Kodya. Jakarta. 2000; 1-22.

52

Anda mungkin juga menyukai