Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUA BAYI DENGAN ASFIKSIA

DI RUANG PBRT RS ROEMANI SEMARANG

A. KONSEP DASAR TEORI


1. PENGERTIAN

Asfiksia berasal dari bahasa Yunani yaitu a yang berarti tanpa dan
shygmos yang berarti tekanan, sehingga dapat didefinisikan sebagai
kondisi di mana kekurangan oksigen akibat ketidakmampuan bernafas
secara normal. (Wikipedia, 2007). Dalam kamus Kedokteran Dorland,
asfiksia didefinisikan sebagai perubahan patologis yang disebabkan oleh
berkurangnya oksigen dalam udara pernapasan yang mengakibatkan
hipoksia dan hiperkapnea. Atau dengan bahasa yang lebih mudah
dimengerti, asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya
gangguan pertukaran udara pernapasan sehingga mengakibatkan oksigen
darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan karbondioksida
(hiperkapnea).

2. KLASIFIKASI

Asfiksia dibedakan menjadi 2 macam yaitu asfiksia livida (biru) dan


asfiksia palida (putih)

No PERBEDAAN ASFIKSIA PALIDA ASFIKSIA LIVIDA

1. Warna kulit Pucat Kebiru-biruan

2. Tonus otot Sudah kurang Masih baik

3. Reaksi rangsangan Negatif Positif

4. Bunyi jantung Tidak teratur Masih teratur

5. Prognosis Jelak Lebih baik


Penentuan keadaan asfiksia neonatus biasanya menggunakan APGAR
SCORE dengan kriteria :

APGAR SCORE

Score 0 1 2

A: Appearance Biru, pucat Badan merah muda Seluruhnya


(warna kulit) merah muda
Ekstremitas biru

P : Pulse (denyut Tidak ada Lambat (dibawah Diatas 100


nadi) 100 x/mnt) x/mnt

G : Grimace (refleks)

1. Respon terhadap Tidak ada respon Menyeringai Batuk atau


kateter dalam bersin
lubang hidung
(dicoba setelah
orofaring
dibersihkan)
2. Tangensial foot Tidak ada respon Menyeringai Menangis
siap dan menarik
kaki

A : Activity (tonus Pincang Beberapa Fleksi


otot) ekstremitas pincang dengan baik

R : Respiration Tidak ada Tangisan lemah Tangisan


(usaha bernafas) kuat
Hipoventilasi

Klasifikasi klinik nilai APGAR:

a. Asfiksia berat ( nilai APGAR 0-3)


Memerlukan resusitasi segera secara aktif, dan pemberian oksigen
terkendali. Karena selalu disertai asidosis, maka perlu diberikan natrikus
bikarbonat 7,5% dengan dosis 2,4 ml per kg berat badan, dan cairan
glucose 40%1-2 ml/kg berat badan, diberikan via vena umbilikalis.
Asfiksia berat dengan henti jantung, dengan keadaan bunyi jantung
menghilang setelah lahir, pemeriksaan fisik yang lain sama dengan asfiksia
berat.
b. Asfiksia sedang (nilai APGAR 4-6).
Memerlukan resusitasi dan pemberian oksigen sampai bayi dapat bernafas
kembali.

c. Bayi normal atau asfiksia ringan ( nilai APGAR 7-9).


d. Bayi normal dengan nilai APGAR 10
Sedangkan untuk janin asfiksia dapat ditegakkan dengan menggunakan
Aminoskopi, Kardiotonografi, dan Ultrasonografi.

3. ETIOLOGI

Hipoksia janin yang menyebabkan asfiksia neonatorum terjadi karena


gangguan pertukaran gas transport O2 dari ibu ke janin sehingga terdapat
gangguan dalam persediaan O2 dan dalam menghilangkan CO2. Gangguan ini
dapat berlangsung secara menahun akibat kondisi atau kelainan pada ibu
selama kehamilan, atau secara mendadak karena hal-hal yang diderita ibu
dalam persalinan (Ward, 2008).

Faktor resiko tinggi kehamilan yang menimbulkan asfiksia neonatorum


menurut Laberge (2006), adalah:

a. Usia ibu kurang dari 16 tahun dan lebih dari 40 tahun


b. Status ekonomi sosial yang rendah
c. Penyakit pada ibu seperti: diabetes melitus, hipertensi, anemia, PPOK,
CHF, kelainan hemoglobin
d. Riwayat kehamilan dulu yang jelek: aborsi, prematur, preeklampsia
e. Letak bayi sungsang
f. Pemakaian obat-obatan, alkohol dan rokok
g. Tidak ada pemeriksaan selama kehamilan
Penyebab kegagalan pernapasan pada bayi atau asfixia terdiri dari :

a. Faktor ibu
1) Hipoksia ibu
Dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat
analgetik atau anestesi dalam, dan kondisi ini akan menimbulkan
hipoksia janin dengan segala akibatnya.

2) Gangguan aliran darah uterus


Berkurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan
berkurangnya aliran oksigen ke plasenta dan juga ke janin, kondisi ini
sering ditemukan pada gangguan kontraksi uterus, hipotensi mendadak
pada ibu karena perdarahan, hipertensi pada penyakit eklamsi.

b. Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan
kondisi plasenta, asfiksis janin dapat terjadi bila terdapat gangguan
mendadak pada plasenta, misalnya perdarahan plasenta, solusio plasenta
dsb.

c. Faktor fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran
darah dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas
antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada
keadaan tali pusat memumbung, melilit leher, kompresi tali pusat antara
jalan lahir dan janin.

d. Faktor neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena
beberapa hal yaitu pemakaian obat anestesi yang berlebihan pada ibu,
trauma yang terjadi saat persalinan misalnya perdarahan intra kranial,
kelainan kongenital pada bayi misalnya hernia diafragmatika, atresia atau
stenosis saluran pernapasan, hipoplasia paru.
4. PATOFISIOLOGI

Oksigen sangat penting untuk kehidupan. Selama proses kehamilan


janin mendapatkan oksigen dan nutrien dari ibu melalui mekanisme difusi. Proses
ini terjadi melalui plasenta ibu dan diberikan kepada janin melalui darah
(Gregorio dkk, 2007).

Diagram 2.1. Keterlibatan tiga sistem organ dalam awal kehidupan bayi

Sebelum lahir alveoli paru bayi menguncup dan terisi oleh cairan.
Paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk mengeluarkan
CO2 (karbon dioksida) sehingga paru tidak perlu di perfusi atau dialiri darah
dalam jumlah besar (Gregorio dkk, 2007).

Setelah lahir, bayi tidak berhubungan lagi dengan plasenta dan akan
segera bergantung dengan paru sebagai sumber utama oksigen. Oleh karena itu,
maka beberapa saat sesudah lahir paru harus segera terisi oksigen dan pembuluh
darah paru harus berelaksasi untuk memberikan perfusi pada alveoli dan
menyerap oksigen untuk diedarkan keseluruh tubuh (Gregorio dkk, 2007).

Menurut James (1958) dalam FKUI (1997), Pernafasan spontan pada bayi
baru lahir bergantung kepada kondisi janin pada masa kehamilan dan persalinan.
Proses kelahiran sendiri selalu menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat
sementara pada bayi (asfiksia transien). Proses ini dianggap sangat perlu untuk
merangsang kemoresptor pusat pernafasan agar terjadi “primary gasping” yang
kemudian akan berlanjut dengan pernafasan teratur, sifat asfiksia ini mempunyai
pengaruh buruk karena reaksi adaptasi bayi dapat mengatasinya.
Menurut Harris (2003), bila terdapat gangguan pertukaran gas atau
pengangkutan oksigen yang lama pada kehamilan atau persalinan, akan terjadi
asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan
bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian. Kerusakan dan gangguan fungsi
tubuh ini dapat reversibel atau tidak tergantung kepada berat dan lamanya
asfiksia.

Asfiksia yang terjadi dimulai dengan suatu periode apnu (“primary


apnoe”) disertai dengan penurunan frekuensi jantung. Selanjutnya bayi akan
memperlihatkan usaha bernafas (gasping) yang kemudian akan diikuti oleh
pernafasan teratur (Harris, 2003).

Pada tingkat asfiksia berat, usaha bernafas ini tidak tampak dan bayi
selanjutnya berada dalam periode apnu kedua (“secondary apnoe”). Pada tingkat
ini disamping bradikardi ditemukan pula penurunan darah. Disamping adanya
perubahan klinis, akan terjadi pula gangguan metabolisme dan perubahan asam-
basa pada tubuh bayi (Harris, 2003).

Pada tingkat pertama gangguan pertukaran gas mungkin hanya akan


menimbulkan asidosis respiratorik, Bila gangguan berlanjut, dalam tubuh bayi
akan terjadi proses metabolisme anaerob yang berupa glikolisis glikogen tubuh,
sehingga sumber glikogen tubuh, terutama pada jantung dan hati akan berkurang
(Ward, 2008).

Menurut Hasegawa dkk (2002), asam anorganik yang terjadi akibat


metabolisme ini akan menyebabkan timbulnya asidosis metabolik. Pada tingkat
selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskuler yang disebabkan oleh
beberapa keadaan diantaranya :

a. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung dan akan mempengaruhi fungsi


jantung
b. Terjadinya asidosis metabolik akan mengakibatkan menurunnya sel jaringan,
ternasuk otot jantung, sehingga menimbulkan kelemahan jantung

Pengisian udara pada alveoli yang kurang adekuat akan menyebabkan


tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah ke
paru dan sistem sirkulasi lain akan mengalami gangguan asidosis dan
gangguan kardiovaskuler yang terjadi dalam tubuh berakibat buruk
terhadap sel otak. Kerusakan sel otak yang terjadinya menimbulkan
kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya.

5. TANDA DAN GEJALA

Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat
dibedakan dalam 4 fase, yaitu :
1. Fase dispnoe
Penurunan kadar oksigen sel darah merah dan penimbunan CO2 dalam
plasma akan merangsang pusat pernafasan di medulla oblongata, sehingga
amplitude dan frekuensi pernafasan akan meningkat. Nadi cepat, tekanan
darah meninggi dan mulai tampak tanda - tanda sianosis terutama pada muka
dan tangan.
2. Fase konvulsi
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap
susunan saraf pusat sehingga terjadi konvulsi ( kejang ), yang mula - mula
berupa kejang klonik tetap kemudian menjadi kejang tonik, dan akhirnya
timbul episode opistotonik. Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung
menurun, tekanan darah juga menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis
pusat yang lebih tinggi dalam otak akibat kekurangan O2.
3. Fase apnoe
Depresi pusat pernafasan menjadi lebih hebat, pernafasan melemah dan
dapat berhenti. Kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfingter dapat terjadi
pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja.
4. Fase akhir
Terjadi paralisis pusat pernafasan yang lengkap. Pernafasan berhenti
setelah kontraksi otomatis otot pernafasan kecil pada leher. Jantung masih
berdenyut beberapa saat setelah pernafasan berhenti.
Tanda-tanda asfiksia, yaitu :
1. Sianosis
Tanda ini dapat dengan mudah dilihat pada ujung-ujung jari dan bibir
dimana terdapat pembuluh darah kapiler. Sianosis mempunyai arti jika
keadaan mayat masih baru (kurang dari 24 jam post mortal).
2. Nafas pendek cepat dan akhirnya henti nafas.
Tanda ini dapat dengan mudah di lihat dari pola nafasnya. Pola nafas
pendek cepat dikarenakan orang tersebut kekurangan oksigen dan ingin
mengkompensasi dengan cara nafas pendek dan cepat. Namun apabila hal
tersebut tidak bisa juga mengkompensasi oksigen yang kurang maka orang
tersebut bisa mengalami henti nafas.
3. Perdarahan Berbintik
Keadaan ini mudah dilihat pada tempat dimana struktur jaringannya
longgar, seperti pada konjunctiva bulbi, palpebra, dan subserosa lain. Pada
kasus yang hebat perdarahan tersebut dapat dilihat pada kulit, khususnya di
daerah wajah. Pelebaran pembuluh darah konjunctiva bulbi dan palpebra
yang terjadi pada fase 2. Akibatnya tekanan hidrostatik dalam pembuluh
darah meningkat terutama dalam vena, venula, dan kapiler. Selain itu,
hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding kaplier yang terdiri
dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan.
4. Luka lecet dan memar di daerah mulut, hidung.
luka lecet tekan dan memar di daerah mulut, hidung, dan sekitarnya, dan
merupakan petunjuk pasti bahwa pada korban telah terjadi pembekapan yang
mematikan. Pembekapan yang dilakukan dengan satu tangan dan tangan yang
lain menekan kepala korban dari belakang, yang dapat pula terjadi pada kasus
pencekikan dengan satu tangan; maka dapat ditemukan adanya lecet atau
memar
5. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat.
Distribusi lebam lebih luas akibat kadar CO2 yang tinggi.
6. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan
aktivitas pernafasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran
nafas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit
akan menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah akibat
pecahnya kapiler.
7. Tetap cairnya darah
Darah yang tetap cair ini sering dihubungkan dengan aktivitas fibrinolisin.
Pendapat lain dihubungkan dengan faktor-faktor pembekuan yang ada di
ekstra vaskuler, dan tidak sempat masuk ke dalam pembuluh darah oleh
karena cepatnya proses kematian
8. Kongesti (pembendungan yang sistemik)
Kongesti pada paru-paru yang disertai dengan dilatasi jantung kanan
merupakan ciri klasik pada kematian karena asfiksia. Pada pengirisan
mengeluarkan banyak darah.
9. Edema pulmonum
Edema pulmonum atau pembengkakan paru-paru sering terjadi pada
kematian yang berhubungan dengan hipoksia.

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. BGA
Hipoxemia, Hiperkapnia, Asidosis Respiratorik
 Ringan : PaO2 < 80 mmHg
 Sedang : PaO2 < 60 mmHg
 Berat : paO2 < 40 mmHg
b. Pemeriksaan Darah Rutin
c. Pemeriksaan rontgen dada
d. EKG
e. Pemeriksaan CT-Scan

7. PENGKAJIAN

a. Keluhan utama: apakah keluhan yang sangat dirasakan saat ini,


mekanisme/ biomekanisnya? Catat waktu datang? Kenapa timbul
keluhan?
b. Riwayat penyakit sekarang
c. Riwayat penyakit dahulu
d. Riwayat penyakit yang pernah dialami.
e. Kepala : bagaimana bentuk kepala, rambut mudah dicabut/tidak,
kulit kepala bersih/tidak, adakah trauma kepala/ lesi
f. Mata : konjungtiva anemis +/-, sclera icterik +/-, besar pupil,
refleks cahaya +/-, adakah perdarahan berbintik pada konjungtiva
bulbi, palpebra, dan subserosa lain.
g. Hidung : bentuk simetris atau tidak, discharge +/-, pembauan baik
atau tidak, adakah pernafasan cuping hidung.
h. Telinga : simetris atau tidak, discharge +/-
i. Mulut : sianotik +/-, lembab/kering, gigi caries +/-, adakah
spasme laring, obstruksi jalan nafas, adakah busa halus/
bercampur darah pada mulut?
j. Leher : pembengkakan +/-, pergeseran trakea +/-
k. Paru
 Inspeksi : simetris atau tidak, jejas +/-, retraksi
intercostal
 Palpasi : fremitus kanan dan kiri sama atau tidak
 Perkusi : sonor +/-, hipersonor +/-, pekak +/-
 Auskultasi : vesikuler +/-, ronchi +/-, wheezing +/-,
crekles +/-
l. Jantung
 Inspeksi : ictus cordis tampak atau tidak
 Palpasi : dimana ictus cordis teraba
 Perkusi : pekak +/-
 Auskultasi : bagaimana BJ I dan II, gallops +/-, mur-mur
+/-
m. Abdomen
 Inspeksi : datar +/-, distensi abdomen +/-, ada jejas +/-
 Auskultasi : bising usus +/-, berapa kali permenit
 Palpasi : pembesaran hepar / lien
 Perkusi : timpani +/-, pekak +/-
n. Genitalia : bersih atau ada tanda – tanda infeksi
o. Ekstremitas :
 Apakah ada tanda-tanda sianosis?
 Adakah perubahan bentuk: pembengkakan, deformitas, nyeri,
 pemendekan tulang, krepitasi ?
 Adakah nadi pada bagian distal fraktur, lemah/kuat
 Adakah keterbatasan/kehilangan pergerakan
 Adakah spasme otot, ksemutan
 Adakah sensasi terhadap nyeri pada bagian distal fraktur
 Adakah luka, berapa luasnya, adakah jaringan/tulang yang
keluar

p. Psikologis :
 Cemas
 Denial
 Depresi

8. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI


a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan akumulasi protein dan
cairan dalam interstitial / area alveolar, gangguan suplai oksigen,
hipoventilasi alveolar, kehilangan surfaktan
Tujuan; pertukaran gas adekuat
Kriteria hasil:
 Perbaikan oksigenasi adekuat: akral hangat, peningkatan
kesadaran
 BGA dalam batas normal
 Bebas distres pernafasan
Intervensi:
 Kaji status pernafasan
 Kaji penyebab adanya penurunan PaO2 atau yang menimbulkan
ketidaknyaman dalam pernafasan
 Catat adanya sianosis
 Observasi kecenderungan hipoksia dan hiperkapnia
 Berikan oksigen sesuai kebutuhan
 Berikan bantuan nafas dengan ventilator mekanik
 Kaji seri foto dada
 Awasi BGA / saturasi oksigen (SaO2)
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sumbatan jalan
nafas dan kurangnya ventilasi sekunder terhadap retensi lendir
Tujuan: jalan nafas efektif
Kriteria hasil:
 Bunyi nafas bersih
 Secret berkurang atau hilang
Intervensi:
 Catat karakteristik bunyi nafas
 Catat karakteristik batuk, produksi dan sputum
 Monitor status hidrasi untuk mencegah sekresi kental
 Berikan humidifikasi pada jalan nafas
 Pertahankan posisi tubuh / kepala dan gunakan ventilator sesuai
kebutuhan
 Observasi perubahan pola nafas dan upaya bernafas
 Berikan lavase cairan garam faaal sesuai indikasi untuk
membuang skresi yang lengket
 Berikan O2 sesuai kebutuhan tubuh
 Berikan fisioterapi dada
 Berikan bronkodilator
c. Resiko cidera berhubungan dengan penggunaan ventilasi mekanik
Tujuan: klien bebas dari cidera selama ventilasi mekanik
Intervensi:
 Monitor ventilator terhadap peningkatan tajam pada ukuran
tekanan
 Observasi tanda dan gejala barotrauma
 Posisikan selang ventilator untuk mencegah penarikan selang
endotrakeal
 Kaji panjang selang ET dan catat panjang tiap shift
 Berikan antasida dan beta bloker lambung sesuai indikasi
 Berikan sedasi bila perlu
 Monitor terhadap distensi abdomen
c. Resiko tinggi terhadap infeksi
berhubungan dengan pemasangan selang ET dengan kondisi lemah
Tujuan: klien tidak mengalami infeksi nosokomial
Intervensi:
 Evaluasi warna, jumlah, konsistensi sputum tiap penghisapan
 Tampung specimen untuk kultur dan sensitivitas sesuai indikasi
 Pertahanakan teknik steril bila melakukan penghisapan
 Ganti sirkuit ventilator tiap 72 jam
 Lakukan pembersihan oral tiap shift
 Monitor tanda vital terhadap infeksi
 Alirkan air hangat dalam selang ventilator dengan cara eksternal
keluar dari jalan nafas dan reservoir humidifier
 Pakai sarung tangan steril tiap melakukan tindakan / cuci tangan
prinsip steril
 Pantau keadaan umum
 Pantau hasil pemeriksaan laborat untuk kultur dan sensitivitas
 Pantau pemberian antibiotik
d. Perubahan pola nutrisi
berhubungan dengan kondisi tubuh tidak mampu makan peroral
Tujuan: klien dapat mempertahankan pemenuhan nutrisi tubuh
Intervensi:
 Kaji status gizi klien
 Kaji bising usus
 Hitung kebutuhan gizi tubuh atau kolaborasi tim gizi
 Pertahankan asupan kalori dengan makan per sonde atau nutrisi
perenteral sesuai indikasi
 Periksa laborat darah rutin dan protein
e. Penurunan kardiac out put
6`bg3H
 Monitoring jantung paru
 Mengkaji tanda vital,
 Monitor perfusi jaringan tiap 2-4 jam,
 Monitor denyut nadi,
 Monitor intake dan out put
 Kolaborasi dalam pemberian vasodilator.

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans:


Guidelines for planning and documenting patients care. Alih bahasa:
Kariasa,I.M, Jakarta: EGC; 2004 (Buku asli diterbitkan tahun 1993
Hudak, Carolyn M, Gallo, Barbara M., Critical Care Nursing: A Holistik
Approach (Keperawatan kritis: pendekatan holistik). Alih bahasa:
Allenidekania, Betty Susanto, Teresa, Yasmin Asih. Edisi VI, Vol: 2.
Jakarta: EGC;2006
Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease
processes. 4th Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 2007
(Buku asli diterbitkan tahun 1992)
Suyono, S, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2001
Smeltzer, Suzanne C. Keperawatan Medical Bedah: Brunnerr and Suddart Edisi
1. Jakarta: EGC, 2001.

LAPORAN PENDAHULUAN ASKEP BAYI DENGAN ASFIKSIA DI RUANG


PBRT RS ROEMANI SEMARANG
DI SUSUN OLEH :

NAMA AMAL FADLILAH

NIM G3A016140

NAMA PEMBIMBING

TANDA TANGAN

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

2016/2017

Anda mungkin juga menyukai