Asfiksia berasal dari bahasa Yunani yaitu a yang berarti tanpa dan
shygmos yang berarti tekanan, sehingga dapat didefinisikan sebagai
kondisi di mana kekurangan oksigen akibat ketidakmampuan bernafas
secara normal. (Wikipedia, 2007). Dalam kamus Kedokteran Dorland,
asfiksia didefinisikan sebagai perubahan patologis yang disebabkan oleh
berkurangnya oksigen dalam udara pernapasan yang mengakibatkan
hipoksia dan hiperkapnea. Atau dengan bahasa yang lebih mudah
dimengerti, asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya
gangguan pertukaran udara pernapasan sehingga mengakibatkan oksigen
darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan karbondioksida
(hiperkapnea).
2. KLASIFIKASI
APGAR SCORE
Score 0 1 2
G : Grimace (refleks)
3. ETIOLOGI
a. Faktor ibu
1) Hipoksia ibu
Dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat
analgetik atau anestesi dalam, dan kondisi ini akan menimbulkan
hipoksia janin dengan segala akibatnya.
b. Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan
kondisi plasenta, asfiksis janin dapat terjadi bila terdapat gangguan
mendadak pada plasenta, misalnya perdarahan plasenta, solusio plasenta
dsb.
c. Faktor fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran
darah dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas
antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada
keadaan tali pusat memumbung, melilit leher, kompresi tali pusat antara
jalan lahir dan janin.
d. Faktor neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena
beberapa hal yaitu pemakaian obat anestesi yang berlebihan pada ibu,
trauma yang terjadi saat persalinan misalnya perdarahan intra kranial,
kelainan kongenital pada bayi misalnya hernia diafragmatika, atresia atau
stenosis saluran pernapasan, hipoplasia paru.
4. PATOFISIOLOGI
Diagram 2.1. Keterlibatan tiga sistem organ dalam awal kehidupan bayi
Sebelum lahir alveoli paru bayi menguncup dan terisi oleh cairan.
Paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk mengeluarkan
CO2 (karbon dioksida) sehingga paru tidak perlu di perfusi atau dialiri darah
dalam jumlah besar (Gregorio dkk, 2007).
Setelah lahir, bayi tidak berhubungan lagi dengan plasenta dan akan
segera bergantung dengan paru sebagai sumber utama oksigen. Oleh karena itu,
maka beberapa saat sesudah lahir paru harus segera terisi oksigen dan pembuluh
darah paru harus berelaksasi untuk memberikan perfusi pada alveoli dan
menyerap oksigen untuk diedarkan keseluruh tubuh (Gregorio dkk, 2007).
Menurut James (1958) dalam FKUI (1997), Pernafasan spontan pada bayi
baru lahir bergantung kepada kondisi janin pada masa kehamilan dan persalinan.
Proses kelahiran sendiri selalu menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat
sementara pada bayi (asfiksia transien). Proses ini dianggap sangat perlu untuk
merangsang kemoresptor pusat pernafasan agar terjadi “primary gasping” yang
kemudian akan berlanjut dengan pernafasan teratur, sifat asfiksia ini mempunyai
pengaruh buruk karena reaksi adaptasi bayi dapat mengatasinya.
Menurut Harris (2003), bila terdapat gangguan pertukaran gas atau
pengangkutan oksigen yang lama pada kehamilan atau persalinan, akan terjadi
asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan
bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian. Kerusakan dan gangguan fungsi
tubuh ini dapat reversibel atau tidak tergantung kepada berat dan lamanya
asfiksia.
Pada tingkat asfiksia berat, usaha bernafas ini tidak tampak dan bayi
selanjutnya berada dalam periode apnu kedua (“secondary apnoe”). Pada tingkat
ini disamping bradikardi ditemukan pula penurunan darah. Disamping adanya
perubahan klinis, akan terjadi pula gangguan metabolisme dan perubahan asam-
basa pada tubuh bayi (Harris, 2003).
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat
dibedakan dalam 4 fase, yaitu :
1. Fase dispnoe
Penurunan kadar oksigen sel darah merah dan penimbunan CO2 dalam
plasma akan merangsang pusat pernafasan di medulla oblongata, sehingga
amplitude dan frekuensi pernafasan akan meningkat. Nadi cepat, tekanan
darah meninggi dan mulai tampak tanda - tanda sianosis terutama pada muka
dan tangan.
2. Fase konvulsi
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap
susunan saraf pusat sehingga terjadi konvulsi ( kejang ), yang mula - mula
berupa kejang klonik tetap kemudian menjadi kejang tonik, dan akhirnya
timbul episode opistotonik. Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung
menurun, tekanan darah juga menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis
pusat yang lebih tinggi dalam otak akibat kekurangan O2.
3. Fase apnoe
Depresi pusat pernafasan menjadi lebih hebat, pernafasan melemah dan
dapat berhenti. Kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfingter dapat terjadi
pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja.
4. Fase akhir
Terjadi paralisis pusat pernafasan yang lengkap. Pernafasan berhenti
setelah kontraksi otomatis otot pernafasan kecil pada leher. Jantung masih
berdenyut beberapa saat setelah pernafasan berhenti.
Tanda-tanda asfiksia, yaitu :
1. Sianosis
Tanda ini dapat dengan mudah dilihat pada ujung-ujung jari dan bibir
dimana terdapat pembuluh darah kapiler. Sianosis mempunyai arti jika
keadaan mayat masih baru (kurang dari 24 jam post mortal).
2. Nafas pendek cepat dan akhirnya henti nafas.
Tanda ini dapat dengan mudah di lihat dari pola nafasnya. Pola nafas
pendek cepat dikarenakan orang tersebut kekurangan oksigen dan ingin
mengkompensasi dengan cara nafas pendek dan cepat. Namun apabila hal
tersebut tidak bisa juga mengkompensasi oksigen yang kurang maka orang
tersebut bisa mengalami henti nafas.
3. Perdarahan Berbintik
Keadaan ini mudah dilihat pada tempat dimana struktur jaringannya
longgar, seperti pada konjunctiva bulbi, palpebra, dan subserosa lain. Pada
kasus yang hebat perdarahan tersebut dapat dilihat pada kulit, khususnya di
daerah wajah. Pelebaran pembuluh darah konjunctiva bulbi dan palpebra
yang terjadi pada fase 2. Akibatnya tekanan hidrostatik dalam pembuluh
darah meningkat terutama dalam vena, venula, dan kapiler. Selain itu,
hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding kaplier yang terdiri
dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan.
4. Luka lecet dan memar di daerah mulut, hidung.
luka lecet tekan dan memar di daerah mulut, hidung, dan sekitarnya, dan
merupakan petunjuk pasti bahwa pada korban telah terjadi pembekapan yang
mematikan. Pembekapan yang dilakukan dengan satu tangan dan tangan yang
lain menekan kepala korban dari belakang, yang dapat pula terjadi pada kasus
pencekikan dengan satu tangan; maka dapat ditemukan adanya lecet atau
memar
5. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat.
Distribusi lebam lebih luas akibat kadar CO2 yang tinggi.
6. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan
aktivitas pernafasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran
nafas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit
akan menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah akibat
pecahnya kapiler.
7. Tetap cairnya darah
Darah yang tetap cair ini sering dihubungkan dengan aktivitas fibrinolisin.
Pendapat lain dihubungkan dengan faktor-faktor pembekuan yang ada di
ekstra vaskuler, dan tidak sempat masuk ke dalam pembuluh darah oleh
karena cepatnya proses kematian
8. Kongesti (pembendungan yang sistemik)
Kongesti pada paru-paru yang disertai dengan dilatasi jantung kanan
merupakan ciri klasik pada kematian karena asfiksia. Pada pengirisan
mengeluarkan banyak darah.
9. Edema pulmonum
Edema pulmonum atau pembengkakan paru-paru sering terjadi pada
kematian yang berhubungan dengan hipoksia.
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. BGA
Hipoxemia, Hiperkapnia, Asidosis Respiratorik
Ringan : PaO2 < 80 mmHg
Sedang : PaO2 < 60 mmHg
Berat : paO2 < 40 mmHg
b. Pemeriksaan Darah Rutin
c. Pemeriksaan rontgen dada
d. EKG
e. Pemeriksaan CT-Scan
7. PENGKAJIAN
p. Psikologis :
Cemas
Denial
Depresi
DAFTAR PUSTAKA
NIM G3A016140
NAMA PEMBIMBING
TANDA TANGAN
2016/2017