Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CHRONIC


KIDNEY DISEASE (CKD) DI RUANG POLI HEMODIALISA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. SOEBANDI JEMBER

oleh
Sari Mulianingrum, S.Kep
NIM 192311101081

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Tugas Program Profesi Ners Stase Keperawatan Medikal yang di susun oleh :

Nama : Sari Mulianingrum, S.Kep


NIM : 192311101081
Judul : Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Chronic
Kidney Disease (CKD) Di Ruang Poli Hemodialisa Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. Soebandi Jember

telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:


Hari :
Tanggal : Januari 2021
Tempat : Ruang Poli Hemodialisa RSD dr. Soebandi Jember

Jember, Januari 2020

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Stase Keperawatan Medikal Ruang Poli HD
Fakultas Keperawatan Universitas Jember RSD dr. Soebandi Jember

Ns.Jon Hafan S., M.Kep., Sp. Kep., MB Ns. Mohammad Toha, S.Kep
NIP.19840102 201504 1 002 NIP. 19670902 199302 1 001
BAB 1. KONSEP TEORI PENYAKIT

1.1 Anatomi Fisiologi Ginjal


Ginjal merupakan organ penting yang berfungsi menjaga komposisi darah dengan
mencegah menumpuknya limbah dan mengendalikan keseimbangan cairan dalam
tubuh, menjaga level elektrolit seperti sodium, potassium dan fosfat tetap stabil, serta
memproduksi hormone enzim yang dapat membantu mengendalikan tekanan darah
memproduksi sel darah merah serta menjaga susunan tulang menjadi lebih kuat. Setiap
hari kedua ginjal menyaring sekitar 120-150 liter darah dan menghasilkan sekitar 1-2
liter urin. Ginjal tersusun atas unit penyaring yang dinamakan nefron. Nefron terdiri
dari glomerulus dan tubulus. Glomelurus menyaring cairan dan limbah untuk
dikeluarkan serta mencegah keluarnya sel darah dan molekul besar yang sebagian besar
berupa protein. Selanjutnya melewati tubulus yang mengambil kembali mineral yang
dibutuhkan tubuh dan membuang limbahnya. Ginjal juga menghasilkan enzim renin
yang menjaga tekanan darah dan kadar garam serta hormon erythropoietin (InfoDATIN,
2017; Fadilla dkk., 2018).
Ginjal terletak pada posterior abdomen, terutama di daerah lumbal, disebelah
kanan dan kiri tulang belakang, dibungkus lapisan lemak yang tebal, dibelakang
perioneum, dank arena itu di luar rongga peritoneum. Kedudukan ginjal diperkirakan
dari belakang, mulai dari ketinggian vertebra torakalis terakhir sampai vertebra lumbalis
ketiga. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari kiri, karena hati menduduki banyak ruang
disebelah kanan. Setiap ginjal panjangnya 6 sampai 7,5 cm, dan tebal 1,5 sampai 2,5 cm
pada orang dewasa beratnya kira-kira 140 gram. Bentuk ginjal seperti biji kacang dan
sisi dalamnya atau hilum menghadap ke tulang punggung, dengan sisi luarnya cembung.
Pembuluh-pembuluh ginjal semuanya masuk dan keluar pada hilum. Di atas setiap
ginjal menjulang sebuah kelenjear suprarenal. Ginjal kanan lebih pendek dan tebal
daripada yang kiri (Pearce, 2009).
Setiap ginjal dilengkapi kapsul tipis dari jaringan fibrus yang rapat
membungkusnya, dan membentuk pembungkus yang halus. Warnanya ungu tua dan
terdiri dari korteks di sebelah luar dan bagian medulla di sebelah dalam. Dalam ginjal
terdapat struktur halus ginjal yang terdiri atas nefron yang merupakan satuan fungsional
ginjal, dan diperkirakan ada 1.000.000 nefron dalam setiap ginjal. Setiap nefron mulai
sebagai berkas kapiler (badan Malpighi atau glomerulus) yang ada dalam ujung atas
yang lebar pada nefron. Dari sini mulai ada tubulus berkelok-kelok dan sebagian lurus.
Bagian pertama berkelok-kelok dan dikenal dengan tubulus pertama atau tubulus
proksima dan sesudah itu terdapat simpai Henle. Kemudian tubulus berkelok-kelok lagi
atau kelokan kedua disebut tubula distal, yang bersmabung dengan tubula penampung
yang berjalan melintasi korteks dan medulla (Pearce, 2009).

Sumber: Pearce, 2009


Terdapat 3 proses dasar yang berperan dalam pembentukan urin yaitu filtrasi
glomerulus, reabsorbsi tubulus, dan sekresi tubulus. Filtrasi dimulai pada saat darah
mengalir melalui glomerulus sehingga terjadi filtrasi plasma bebas-protein menembus
kapiler glomerulus ke kapsula Bowman. Proses ini dikenal sebagai filtrasi glomerulus
yang merupakan langkah pertama dalam pembentukan urin. Setiap hari terbentuk rata-
rata 180 liter filtrat glomerulus. Ginjal dapat mereabsorpsi kembali zat-zat yang masih
dipergunakan oleh tubuh. Perpindahan zat-zat dari bagian dalam tubulus ke dalam
plasma kapiler peritubulus ini disebut sebagai reabsorpsi tubulus. Zat-zat yang
direabsorpsi tidak keluar dari tubuh melalui urin, tetapi diangkut oleh kapiler
peritubulus ke sistem vena dan kemudian ke jantung untuk kembali diedarkan. Dari 180
liter plasma yang difiltrasi setiap hari, 178,5 liter diserap kembali, dengan 1,5 liter
sisanya terus mengalir melalui pelvis renalis dan keluar sebagai urin. Secara umum, zat-
zat yang masih diperlukan tubuh akan direabsorpsi kembali sedangkan yang sudah tidak
diperlukan akan tetap bersama urin untuk dikeluarkan dari tubuh. Proses ketiga adalah
sekresi tubulus yang mengacu pada perpindahan selektif zat-zat dari darah kapiler
peritubulus ke lumen tubulus. Sekresi tubulus merupakan rute kedua bagi zat-zat dalam
darah untuk masuk ke dalam tubulus ginjal.

1.2 Definisi Penyakit


Chronic kidney disease (CKD) didefinisikan suatu gangguan pada ginjal
ditandai dengan abnormalitas struktur ataupun fungsi ginjal yang berlangsung lebih dari
3 bulan. Ditandai dengan satu atau lebih tanda kerusakan ginjal yaitu albuminuria,
abnormalitas sedimen urin, elektrolit, histologi, struktur ginjal, ataupun adanya riwayat
transplantasi ginjal, juga disertai penurunan laju filtrasi glomerulus (Monhart, 2013).

Gangguan pada ginjal dapat berupa penyakit ginjal kronis (PGK) atau dahulu
disebut gagal ginjal kronis, gangguan ginjal akut (acute kidney injury) atau sebelumnya
disebut gagal ginjal akut. Penyakit ginjal kronis adalah penurunan progresif fungsi
ginjal dalam beberapa bulan atau tahun. penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai
kerusakan ginjal dan/atau penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) kurang dari
60mL/min/1,73 m2 selama minimal 3 bulan (Kidney Disease Improving Global
Outcomes, KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and
Management). Kerusakan ginjal adalah setiap kelainan patologis atau penanda
keruasakan ginjal, termasuk kelainan darah, urin atau studi pencitraan (imaging)
(InfoDATIN, 2017).
1.3 Epidemiologi
Hasil Riskesdas 2013, populasi umur ≥ 15 tahun yang terdiagnosis gagal ginjal
kronis sebesar 0,2%. Angka ini lebih rendah dibandingkan prevalensi PGK di negara-
negara lain, juga hasil penelitian Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun
2006, yang mendapatkan prevalensi PGK sebesar 12,5%. Hal ini karena Riskesdas 2013
hanya menangkap data orang yang terdiagnosis PGK sedangkan sebagian besar PGK di
Indonesia baru terdiagnosis pada tahap lanjut dan akhir. Hasil Riskesdas 2013 juga
menunjukkan prevalensi meningkat seiring dengan bertambahnya umur, dengan
peningkatan tajam pada kelompok umur 35-44 tahun dibandingkan kelompok umur 25-
34 tahun. Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%),
prevalensi lebih tinggi terjadi pada masyarakat perdesaan (0,3%), tidak bersekolah
(0,4%), pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%). Sedangkan provinsi dengan
prevalensi tertinggi adalah Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo, dan
Sulawesi Utara masing-masing 0,4 % (InfoDATIN, 2017).

1.4 Etiologi
Penyakit ginjal kronik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis, nefropati
analgesik, nefropati refluks, ginjal polikistik, nefropati diabeti, penyebab lain seperti
hipertensi, obstruksi, gout, dan tidak diketahui (Mansjoer, 2000). InfoDATIN (2017)
menyebutkan bahwa faktor resiko proporsi terbesar pasien hemodialisis disebabkan oleh
penyakit hipertensi dan diabetes. Di Indonesia, sampai dengan tahun 2000, penyebab
terbanyak adalah glomerulonefritis, namun beberapa tahun terakhir menjadi hipertensi
berdasarkan data IRR (InfoDATIN, 2017).
a. Hipertensi
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan-perubahan
stuktur pada arteriol diseluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi (sklerosis)
di dinding pembuluh darah. Pada ginjal karena aterosklerosis ginjal akibat hipertensi
lama menyebabkan nefrosklerosis benigna. Ginjal mengecil, biasanya simetris
dan permukaan berlubang-lubang dan berglanula. Penyumbatan arteri dan arteriol akan
menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak.
b. Diabetes
Menurut hasil Riskesdas 2013, prevalensi penderita diabetes di Indonesia adalah
sebesar 5,7%, dan hanya 26,3% yang telah terdiagnosis. Diabetes mellitus menyerang
struktur dan fungsi ginjal dalam bentuk nefropati diabetik yaitu semua lesi yang terjadi
di ginjal pada diabetes mellitus. Seiring waktu, tingginya tingkat gula dalam darah
merusak jutaan unit penyaringan kecil dalam setiap ginjal. Hal ini akhirnya mengarah
pada gagal ginjal.
c. Obesitas
Pada obesitas, ginjal juga harus bekerja lebih keras menyaring darah lebih dari
normal untuk memenuhi kebutuhan metabolik akibat peningkatan berat badan.
Peningkatan fungsi ini dapat merusak ginjal dan meningkatkan risiko terjadinya PGK
dalam jangka panjang.
d. Infeksi, misalnya Pielonefritis kronik.
e. Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus sistemik (SLE), poli
arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
f. Gangguan kongenital dan herediter, misalnya Penyakit ginjal polikistik, asidosis
tubuler ginjal.
g. Nefropati toksik, misalnya Penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.
h. Nefropati obstruktif

1.5 Klasifikasi
Klasifikasi gagal ginjal kronik dapat dilihat berdasarkan sindrom klinis yang
disebabkan penurunan fungsinya yaitu berkurang, ringan, sedang dan tahap akhir. Ada
beberapa klasifikasi dari gagal ginjal kronik yang dipublikasikan oleh National Kidney
Foundation (NKF) Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI).
Klasifikasi tersebut diantaranya adalah:
a. Tahap pertama (stage 1)
Merupakan tahap dimana telah terjadi kerusakan ginjal dengan peningkatan LFG
(>90 mL/min/1.73 m2) atau LFG normal.
b. Tahap kedua (stage 2)
Reduksi LFG mulai berkurang sedikit (kategori mild) yaitu 60-89 mL/min/1.73 m2.
c. Tahap ketiga (stage 3)
Reduksi LFG telah lebih banyak berkurang (kategori moderate) yaitu 30-59
mL/min/1.73.
d. Tahap keempat (stage 4)
Reduksi LFG sangat banyak berkurang yaitu 15-29 mL/min/1.73.
e. Tahap kelima (stage 5)
Telah terjadi gagal ginjal dengan LFG yaitu <15 mL/min/1.73 (Pearce, 2006)

1.6 Patofisiologi
Pada gagal ginjal kronik fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme
protein yang normalnya diekskresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk
sampah, maka gejala akan semakin berat. Penurunan jumlah glomeruli yang normal
menyebabkan penurunan substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Dengan menurunnya GFR mengakibatkan penurunan kreatinin dan peningkatan kadar
kreatinin serum. Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme protein dalam usus yang
menyebabkan anoreksia, nausea maupan vomitus yang menimbulkan perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh. Peningkatan ureum kreatinin sampai ke otak
mempengaruhi fungsi kerja, mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada
neurosensori. Selain itu Blood Ureum Nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat.
Pada penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan atau
diencerkan secara normal sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium
dan cairan tertahan meningkatkan resiko gagal jantung kongestif. Penderita dapat
menjadi sesak nafas, akibat ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan.
Dengan tertahannya natrium dan cairan bisa terjadi edema dan ascites. Hal ini
menimbulkan resiko kelebihan volume cairan dalam tubuh, sehingga perlu dimonitor
balance cairannya. Semakin menurunnya fungsi renal terjadi asidosis metabolik akibat
ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Terjadi penurunan
produksi eritropoetin yang mengakibatkan terjadinya anemia. Sehingga pada penderita
dapat timbul keluhan adanya kelemahan dan kulit terlihat pucat menyebabkan tubuh
tidak toleran terhadap aktifitas. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal
terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium. Pasien
gagal ginjal mengalami kulit berwarna pucat akibat anemia dan gatal-gatal akibat toksin
uremik dan pengendapan kalsium di pori-pori kulit. Butiran uremik merupakan suatu
penumpukan kristal urea dikulit. Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal
ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein dalam urin,
dan adanya hipertensi (Smeltzer dan Bare, 2001).

1.7 Manifestasi Klinis


Penyakit ginjal kronis awalnya tidak menunjukkan tanda dan gejala namun dapat
berjalan progresif menjadi gagal ginjal. Penyakit ginjal bisa dicegah dan ditanggulangi
dan kemungkinan untuk mendapatkan terapi yang efektif akan lebih besar jika diketahui
lebih awal (InfoDATIN, 2017).
a) Manifestasi kardiovaskular : hipertensi, gagal ginjal kongestif, edema pulmonal.
Perikarditis.
b) Gejala-gejala dermatologis : gatal-gatal hebat (pruritus), serangan uremik tidak
umum karena pengobatan dini dan agresif
c) Gejala-gejala gastrointestinal: anoreksia, mual, muntah dan cegukan, penurunan
aliran saliva, haus, rasa kecap logam dalam mulut, kehilangan kemampuan penghidu
dan pengecap dan parotitis atau stomatitis
d) Perubahan neuromuskular: perubahan tingkat kesadaran, kacau mental,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kedutan otot dan kejang.
e) Perubahan hematologis: kecenderungan perdarahan
f) Keletihan dan letargik, sakit kepala, kelemahan umum

1.8 Pemeriksaan Penunjang


1. Tes Fungsi Ginjal
Terdapat banyak macam tes, tetapi beberapa yang sederhana adalah:
a) Tes protein (albumin)
Bila ada kerusakan pada glomeruli atau tubula, protein dapat masuk ke urin.
b) Tes konsentrasi urea darah
Bila ginjal tidak cukup mengeluarkan ureum darah naik di atas kadar normal 20-40
miligram per 100 ccm darah. Karena filtrasi glomerulus harus menurun sampai
sebanyaklum kanaikan kadar urea darah terjadi, tes ini bukan tes yang sangat peka.
c) Tes konsentrasi
Tes ini dilakukan dengan pasien dilarang makan atau minum selam 12 jam untuk
melihat sampai seberapa tinggi berat jenis naik (Pearce, 2009).
Dalam menentukan diagnosa pada gagal ginjal kronik dapat dilakukan cara sebagai
berikut :
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Tes darah
- BUN dan kreatinin serum meningkat
- Kalium serum meningkat
- Natrium serum meningkat
- Kalsium serum menurun, fosfor serum meningkat, PH serum dan HCO3
menurun
- Hb, Ht, trombosit menurun
- Asam urat meningkat
2) Tes urin
- Observasi warna dan kejernihan urin
- Pengkajian bau urin
- Pengukuran keasaman dan berat jenis urin
- Tes untuk memeriksa keberadaan protein, glukosa dan badan keton dalam
urin.
- Pemeriksaan mikroskopik sedimen urin sesudah melakukan pemusingan
(centrifuging) untuk medeteksi sel darah merah (hematuria), sel darah putih,
silinder (silindruria), kristal (kristaluria), pus (piuria) dan bakteri
(bakteriuria).
b. Pemeriksaan Radiologi
Berberapa pemeriksaan radiologi yang biasa digunanakan utntuk mengetahui
gangguan fungsi ginjal antara lain:
1) Flat-Plat radiografy/radiographic keadaan ginjal, uereter dan vesika urinaria
untuk mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan kalsifikasi dari ginjal. Pada
gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil yang mungkin disebabkan
karena adanya proses infeksi.
2) Computer Tomography (CT) Scan yang digunakan untuk melihat secara jelas
sturktur anatomi ginjal yang penggunaanya dengan memakai kontras atau tanpa
kontras.
3) Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi keadaan fungsi
ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa digunakan pada kasus gangguan
ginjal yang disebabkan oleh trauma, pembedahan, anomali kongental, kelainan
prostat, calculi ginjal, abses/batu ginjal, serta obstruksi saluran kencing.
4) Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi kasus yang
disebabkan oleh obstruksi uropathi, proses infeksi pada ginjal serta post
transplantasi ginjal.
5) Biopsi Ginjal digunakan untuk mengdiagnosa kelainann ginjal dengan
mengambil jaringan ginjal lalu dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada kasus
golomerulonepritis, neprotik sindom, penyakit ginjal bawaan, dan perencanaan
transplantasi ginjal.

1.9 Penatalaksanaan Farmakologis dan Non Farmakologis


Penatalaksanaan GGK dapat dibagi menjadi dua, yaitu penatalaksanaan
konservatif dan penatalaksanaan terapi pengganti ginjal (Price & Wilson, 2005).
a. Penatalaksanaan konservatif
1) Pengaturan diet protein.
Pengaturan diet penting sekali pada pengobatan GGK. Pembatasan protein tidak
hanya mengurangi kadar BUN dan mungkin juga hasil metabolisme protein
toksik yang belum diketahui, tetapi juga mengurangi asupan kalium, fosfat, dan
produksi ion hidrogen yang berasal dari protein.
2) Pengaturan diet kalium.
Hiperkalemia umumnya menjadi masalah dalam gagal ginjal lanjut, dan juga
menjadi penting untuk membatasi asupan kalium dalam diet.
3) Pengaturan diet natrium dan cairan.
Pengaturan natrium dalam diet memiliki arti penting dalam gagal ginjal. Jumlah
natrium yang biasanya diperbolehkan adalah 40 hingga 90 mEq/hari (1 hingga 2
gr natrium), tetapi asupan natrium yang optimal harus ditentukan secara
individual pada setiap pasien untuk mempertahankan hidrasi yang baik.
4) Pencegahan dan pengobatan komplikasi.
Kategori kedua dari tindakan konservatif yang digunakan pada pengobatan gagal
ginjal adalah tindakan yang ditujukan untuk mencegah dan mengatasi
komplikasi meliputi hipertensi, hiperkalemia, anemia, dll.
5) Pengobatan segera pada infeksi.
Pasien GGK memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap serangan infeksi,
terutama infeksi saluran kemih. Semua jenis infeksi dapat memperkuat proses
katabolisme dan mengganggu nutrisi yang adekuat serta keseimbangan cairan
dan elektrolit sehingga infeksi harus segera diobati untuk mencegah gangguan
fungsi ginjal lebih lanjut.
6) Pemberian obat dengan hati-hati.
Ginjal mengekskresikan banyak obat sehingga obat-obatan harus diberikan
secara hati-hati pada pasien uremik.
b. Penatalaksanaan Terapi Pengganti Ginjal
1) Hemodialisis
Hemodialisa merupakan suatu proses penyaringan darah untuk mengeluarkan
produk-produk sampah metabolisme pada pasien dalam keadaan sakit akut dan
memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa
minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal (ESRD atau end-
stage renal disease) yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi
permanen. Satu membran sintetik yang semipermeabel menggantikan
glomerulus serta tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang
terganggu fungsinya (Smeltzer dan Bare, 2001). Tindakan terapi dialisis tidak
boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia dan malnutrisi. Tetapi
terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien CKD yang belum tahap akhir
akan memperburuk faal ginjal (GFR).
2) Dialisis Peritoneal
Dialisis peritoneal merupakan alternatif hemodialisis pada penanganan gagal
ginjal akut dan kronik.
3) Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal.
Gagal Ginjal
B. Clinical Pathway
Kronis/Chronic Sekresi protein terganggu

Kidney Disease
Retensi Na Sindroma uremia

Tekanan kapiler meningkat Gg. Keseimbangan asam basa penumpukan kristal


urea dikulit
Volume interstisial meningkat Asidosis Metabolik Perpospatemia

Edema Produksi asam lambung Pruritis

Beban jantung meningkat Nausea, vomitus Kerusakan integritas kulit

Mual (Nausea) Ketidakseimbangan nutrisi


Hipertrovi jantung (ventrikel kiri) kurang dari kebutuhan tubuh

Payah jantung kiri Penumpukan cairan di atrium kiri

Intoleransi Aktivitas Cardiac output ↓


Tekanan vena pulmonalis

Ketidakefektifan perfusi Suplai O2 jaringan ↓ Aliran darah ginjal ↓


jaringan perifer Kapiler paru meningkat

Metabolisme anaerob Renin Angiotensin Aldosteron ↓


Edema paru
↑asam laktat Retensi Na dan H2O

Gangguan pertukaran gas


Fatigue, Nyeri sendi Kelebihan Volume Cairan

Nyeri Akut
2.1 Hemodialisis
Hemodialisa merupakan suatu proses penyaringan darah untuk mengeluarkan
produk-produk sampah metabolisme pada pasien dalam keadaan sakit akut dan
memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau
pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal (ESRD atau end-stage renal disease)
yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen. Satu membran sintetik
yang semipermeabel menggantikan glomerulus serta tubulus renal dan bekerja sebagai
filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya (Smeltzer dan Bare, 2001).Tindakan terapi
dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia dan malnutrisi.
Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien CKD yang belum tahap akhir
akan memperburuk faal ginjal (GFR).

a. Tujuan
Terapi hemodialisis mempunyai beberapa tujuan. Tujuan tersebut diantaranya
menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi (membuang sisa-sisa metabolisme
yang lain) menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat, meningkatkan kualitas hidup
pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
b. Indikasi
Hemodialisa diindikasikan pada pasien dalam keadaan akut yang memerlukan
terapi dialisis jangka pendek atau pasien dengan gagal ginjal tahap akhir yang
memerlukan terapi jangka panjang/ permanen. Indikasi dilakukan hemodialisis pada
penderita gagal ginjal adalah:
a. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 15ml/menit
b. Hiperkalemia
c. Kegagalan terapi konservatif
d. Kadar reum lebih dari 200mg/dL
e. Kelebihan cairan
f. Anuria berkepanjangan lebih dari 5 kali
c. Peralatan Hemodialisis
1) Mesin hemodialisis, perpaduan dari komputer dan pompa yang memiliki fungsi
mengatur dan memonitor. Pompa dalam mesin hemodialisis berfungsi
mengalirkan darah dari tubuh ke dialiser dan mengembalikan kembali ke tubuh.
Mesin hemodialisis dilengkapi dengan monitor dan parameter kritis,
diantaranya memonitor kecepatan dialisat dan darah, konduktivitas cairan
dialisat, temperatur, pH, aliran darah, dan tekanan darah.
2) Dialiser atau ginjal buatan, merupakan tempat dimana proses hemodialisis
berlangsung, tempat terjadinya pertukaran zat-zat dan cairan dalam darah dan
dialisat. Dialiser memiliki fungsi yang sama dengan ginjal, yang terdiri dari 2
kompartemen masing-masing untuk cairan dialisat dan darah. Kedua
kompartemen dipisahkan membran semipermeabel yang mencegah cairan
dialisat dan darah bercampur menjadi satu.
3) Dialisat, cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utama dari serum normal yang
dipompa melewati dialiser ke darah pasien. Dialisat dibuat dengan
mencampurkan konsntrat elektrolit dengan buffer (bikarbonat) dan air murni.
Dialisis terdiri dari dialisat asetat ( sodium, kalsium, magnesium, kalium, klorida
dan sejumlah kecil asam asetat) dan dialisat bikarbonat ( larutan asam dan
larutan bikarbonat).
d. Prinsip kerja hemodialisis
Ginjal buatan (dialyzer), mempunyai kompartemen yaitu kompartemen darah dan
kompartemen dialisat. Kedua kompartemen tersebut dibatasi oleh membran semi-
permeabel, dan memiliki perbedaan tekanan yag disebut dengan trans-
membranpressure (TMP). Selanjutnya, darah dari dalam tubuh dialirkan kedalam
kompartemen darah, sedangkan cairan pembersih (dialisat) dialirkan de dalam
kompartemen dialisat. Pada proses hemodialisis, terjadi 2 mekanisme difusi dan
mekanisme ultrafiltrasi:

Mekanisme difusi bertujuan untuk membuang zat-zat terlarut dalam darah (blood
purification), sedangkan mekanisme ultrafiltrasi bertujuan untuk mengurangi kelebihan
cairan dalam tubuh (volume control). Kedua mekanisme dapat bergabung atau dipisah,
sesuai dengan tujuan awal hemodialisanya. Mekanisme difusi terjadi karena adanya
perbedaan konsentrasi antara kompartemen darah dan kompartemen dialisat. Zat-zat
terlarut dengan konsentrasi tinggi dalam darah, berpindah dari kompartemen darah ke
kompartemen dialisat, sebaliknya zat-zat terlarut dalam cairan dialisat dengan
konsentrasi rendah, berpindah dari kompartemen dialisat ke kompartemen dialisat.
Pada ultrafiltrasi, terjadi pembuangan cairan karena adanya perbedaan tekanan
antara kompartemen darah dan kompartemen dialisat. Tekanan hidrostatik akan
mendorong cairan untuk keluar, sementara tekanan onkotik akan menahannya. Bila
tekanan diantara kedua kopartemen sudah seimbang, mekanisme ultrafiltrasi akan
terhenti (suwita, 2006).
e. Komplikasi
Komplikasi terapi dialisis mencakup beberapa hal seperti:
1) hipotensi yang terjadi akibat pemakaian dialisat asetat, rendahnya dialisis
natrium, penyakit jantung, aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan
berat cairan.
2) emboli udara terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien,
3) nyeri dada, terjadi karena PCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya
sirkulasi darah diluar tubuh,
4) gangguan keseimbangan dialisis, terjadi karena perpindahan cairan serebral
dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi tersebut kemungkinan terjadi
jika terdapat gejala uremia yang berat.
5) Pruritus, terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.

f. Dosis Hemodialisis
Hemodialisis diberikan pada umumnya sebanyak 2 kali seminggu dengan setiap
hemodialisis selama 5 jam atau sebanyak 3x seminggu dengan setiap hemodialisis 4
jam. Lamanya hemodialisis berkaitan erat dengan efisiensi dan adekuasi
hemodialisis, sehingga lama hemodialisis juga dipengaruhi oleh tingkat uremia
akibat progresivitas perburukan fungsi ginjalnya dan faktor-faktor komorbiditasnya,
seta kecepatan aliran darah dan kecepatan aliran dialisat. Namun semakin lama
proses hemodialisis, sering timbulnya efek samping (Roesli, 2006) .
BAB 2. PROSES KEPERAWATAN

1. Pengkajian
I. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, suku bangsa, agama, perkawinan,
No.registrasi, pendidikan, pekerjaan, tinggi badan, berat badan, tanggal dan jam
masuk rumah sakit. identitas penanggung jawab.
II. Riwayat Kesehatan
1. Diagnosa Medik
Diagnosa medik jelas yaitu CKD dengan penyakit lain yang menyertai jika ada.
2. Keluhan utama
Biasanya badan terasa lemah, mual, muntah, dan terdapat odem.
3. Riwayat penyakit sekarang
Tanyakan pada pasien atau keluarga keluhan muncul sejak kapan, Keluhan lain
yang menyerta biasanya: gangguan pernapasan, anemia, hiperkelemia,
anoreksia, tugor pada kulit jelek, gatal-gatal pada kulit, asidosis metabolik.. hal-
hal yang telah dilakukan oleh pasien dan keluarga untuk mengatasi keluhan
tersebut sebelum MRS.
4. Riwayat penyakit dahulu
Tanyakan pada pasien atau keluarga apakah ada riwayat penyakit DM,
hipertensi, ISK, glomerulonefritis, obesitas
5. Riwayat penyakit keluarga
Tanyakan pada pasien apakah keluarga pasien ada yang mengalami keluhan
yang saa dengan pasien atau apakah keluarga ada yang mengalami penyakit DM
, hipertensi dan glomerulonefritis
III. Pengkajian Keperawatan
1. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Perawat harus melakukan anamnesis kepada pasien tentang persepsi sehat-
sakit, pengetahuan status kesehatan pasien saat ini, perilaku untuk
mengatasi kesehatan dan pola pemeliharaan kesehatan.
2. Pola nutrisi dan metabolisme
Gejala: Peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat badan
(malnutrisi), anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa tak sedap pada
mulut.
Tanda: Distensi abdomen/asites, pembesaran hati (tahap akhir). Perubahan
turgor kulit/kelembaban. Edema (umum, tergantung). Ulserasi (umum,
tergantung). Ulserasi gusi, perdarahan gusi/lidah. Penurunan otot,
penurunan lemak subkutan, penampilan tak bertenaga
3. Pola eliminasi
Pada pola eliminasi perlu dikaji adanya perubahan ataupun gangguan pada
kebiasaan BAB dan BAK. Gejala: penurunan frekuensi urine, oliguria,
onuria (gagal tahap lanjut), abdomen kembung, diare atau konstipasi.
Tanda: Perubahan warna urine, contoh kuning pekat, merah, coklat,
berawan, oliguria, dapat menjadi anuria.
4. Pola aktivitas dan latihan
Gejala: Kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise.
Tanda: Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak..
5. Pola tidur dan istirahat
Gangguan tidur (Insomnia/gelisah atau samnolen).
6. Pola Kognitif dan konseptual
Tingkat kesadaran, orientasi, daya penciuman, daya rasa, daya raba,
daya pendengaran, daya penglihatan, nyeri (PQRST), faktor budaya
yang mempengaruhi nyeri, cara-cara yang dilakukan pasien untuk
mengurangi nyeri, kemampuan komunikasi, tingkat pendidikan, luka.
7. Pola persepsi diri
Perawat harus mengkaji pasien mengenai Keadaan sosial : pekerjaan,
situasi keluarga, kelompok sosial, Identitas personal : penjelasan tentang
diri sendiri, kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, keadaan fisik, segala
sesuatu yang berkaiyan dengan tubuh (yg disukai dan tidak), Harga diri :
perasaan mengenai diri sendiri, Ancaman terhadap konsep diri (sakit,
perubahan fungsi dan peran).
8. Pola peran dan hubungan
Perawat mengkaji Peran pasien dalam keluarga, pekerjaan dan sosial,
kepuasan peran pasien, pengaruh status kesehatan terhadap peran,
pentingnya keluarga, pengambil keputusan dalam keluarga, orang-orang
terdekat pasien, pola hubungan orang tua dan anak. Akibat dari proses
inflamasi tersebut secara langsung akan mempengaruhi hubungan baik
intrapersonal maupun interpersonal.
9. Pola seksualitas dan reproduksi
Masalah seksual, dekripsi prilaku seksual, pengetahuan terkait seksualitas
dan reproduksi, dan efek status kesehatan terhadap seksualitas. Masalah
riwayat gangguan fisik dan psikologis terkait seksualitas. Pada pola
reproduksi dan seksual pada pasien yang sudah menikah akan mengalami
perubahan.
10. Pola toleransi coping-stress
Perawat perlu mengkaji adalah sifat pencetus stress yang dirasakan baru-
baru ini, tingkat stress yang dirasakan, gambaran respons umum dan
khusus terhadap stress, strategi mengatasi stress yang biasa digunakan dan
keefektifannya, strategi koping yang biasa digunakan, pengetahuan dan
penggunaan teknik manajemen stress, hubungan antara manajemen stress
dengan keluarga. Faktor stress, contohnya financial, hubungan dan
sebagainya. Perasaan yang tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.
Tanda: Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan
kepribadian.
11. Pola tata nilai dan kepercayaan
Latar belakang etnik dan budaya pasien, status ekonomi, perilaku
kesehatan terkait nilai atau kepercayaan, tujuan hidup pasien,
pentingnya agama bagi pasien, akibat penyakit terhadap aktivitas
keagamaan. Adanya kecemasan dalam sisi spiritual akan menyebabkan
masalah yang baru yang ditimbulkan akibat dari ketakutan akan kematian
dan akan mengganggu kebiasaan ibadahnya.

IV. Pemeriksaan Fisik


a) Keadaan umum : Kedaan umum pasien biasanya lemah.
Tekanan Darah : Biasanya tinggi (Normal : 120/80mmHg)
Pernafasan (RR): (Rentang normal : 16-24x/menit)
Gejala: Napas pendek; dispnea noktural paroksismal; batuk dengan/tanpa
sputum kental dan banyak.
Tanda: takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi/kedalaman. Batuk
produktif dengan sputum merah muda encer (edema paru).
Sirkulasi.
Gejala: Riwayat hipertensi lama atau berat. Palpitasi : nyeri dada (angina).
Tanda: Hipertensi : DVJ, nadi kuat, edema jaringan umum dan pitting pada
kaki, telapak, tangan, Distritmia jantung. Nadi lemah halus, hipotensi
ortostatik menunjukkan hipovolemia, yang jarang pada penyakit tahap
akhir.
Denyut nadi (HR): (Normal : 60-100x/menit)
Suhu tubuh : kadang normal atau tinggi (Normal: 36 ˚C)
Nyeri/kenyamanan.
Gejala: Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/nyeri kaki (memburuk saat
malam hari).
Tanda: Perilaku berhari-hari/distraksi, gelisah.
b) Pengkajian Fisik Head to Toe (Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi)
1. Kepala
Inspeksi kepala pasien simetris. Kulit kepala. Ada tidaknya nyeri tekan
atau benjolan pada kepala.
Gejala: Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang, sindrom
“kaki gelisah” bebas rasa terbakar pada telapak kaki. Bebas kesemutan
dan kelemahan, khususnya ekstremitas bawah (neuropati perifer).
Tanda: Gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan
tingkat kesadaran, strupor, koma, kejang, fasikulasi otot, aktivitas
kejang, rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
2. Leher
Lihat JVP pasien. Melihat ada atau tidaknya pembesaran kelenjar tiroid.
Ada nyeri pada leher atau tidak.
3. Dada
inspeksi : adanya tanda – tanda penarikan paru, diafragma, pergerakan
napas yang tertinggal, suara napas melemah.
Palpasi : Fremitus suara meningkat.
Perkusi : Suara ketok redup.
Auskultasi : Suara napas brokial dengan atau tanpa ronki basah, kasar
dan yang nyaring.
4. Abdomen
Lihat ada tidaknya masalah pada abdomen pasien. Bisa dinilai ada nyeri
tekan atau tidak.
5. Urogenital
Lihat ada tidaknya masalah pada system urogenital pasien.
6. Ekstremitas
Adanya keterbatasan aktivitas akibat kelemahan, kelelahan ekstremitas,
kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
7. Kulit dan kuku
Kulit dan kuku pasien dilihat apakah pucat. Pada kulit terjadi sianosis,
dingin dan lembab, tugor kulit menurun, kulit gatal, ada/berulangnya
infeksi, pruritis, demam (sepsis, dehidrasi), normotermia dapat secara
actual terjadi peningkatan pada pasien yang mengalami suhu tubuh
lebih rendah dari normal (efek GGK/depresi respon imun), petekie, area
ekimosis pada kulit.
8. Keadaan local
Keadaan pasien biasanya kurang baik dan lemah, membutuhkan
keluarga untuk selalu mendampingi.

V. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan Darah
2. Pemeriksaan Radiologi
3. Tes Fungsi Ginjal

2. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran Gas
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
3. Nyeri akut
4. Kelebihan volume cairan
5. Kerusakan integritas kulit
6. Mual (Nausea)
7. Intoleransi Aktivitas
8. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
3. Intervensi/Nursing Care Plan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1 Gangguan pertukaran Setelah dilakukan perawatan selama 2x24 jam gangguan (3140) Manajemen Jalan Nafas
Gas pertukaran gas pada pasien dapat teratasi dengan kriteri Definisi: Fasilitasi kepatenan jalan
hasil: nafas
Status Pernafasan (0415) 1. Buka jalan nafas dengan teknik
Tujuan chin lift atau jaw trust,
No Indikator Awal sebagaimana mestinya.
1 2 3 4 5
1 Frekuensi pernapasan 2. Posisikan pasien untuk
2 Irama pernapasan memaksimalkan ventilasi. (semi
fowler)
3 Kedalaman inspirasi
3. Auskultasi suara nafas, catat area
4 Suara auskultasi nafas yang ventilasinya menurun atau
5 Kepatenan jalan nafas tidak ada dan adanya suara
6 Saturasi oksigen tambahan.
7 Suara nafas tambahan 4. Kolaborasi dengan tim medis
pemberian nebulizer.
Keterangan:
1. Deviasi berat dari kisaran normal/sangat berat
(3320) Terapi Oksigen
2. Deviasi yang cukup besar dari kisaran
Definisi: Pemberian oksigen dan
normal/berat
pemantauan mengenai aktivitasnya.
3. Deviasi sedang dari kisaran normal/cukup
1. Berikan Oksigen tambahan
4. Deviasi ringan dari kisaran normal/ringan
seperti yang diperintahkan.
5. Tidak ada deviasi dari kisaran normal/tidak ada
2. Monitor aliran oksigen
Monitor adanya tanda-tanda
keracunan oksigen.
2 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jsm (1100 ) Manajemen Nutrisi
nutrisi kurang dari Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Definisi: Menyediakan dan
kebutuhan tubuh dapat teratasi dengan kriteri hasil: meningkatkan intake nutrisi yang
Status Nutrisi (1004) seimbang
Tujuan 1. Tentukan status gizi pasien dan
No Indikator Awal kemampuan [pasien] untuk
1 2 3 4 5
1 Asupan gizi memenuhi kebutuhan gizi.
2 Asupan makanan 2. Identifikasi adanya alergi atau
intoleransi makanan yang
3 Asupan Cairan
dimiliki pasien
4 Energi 3. Pantau pasien dalam menentukan
5 Rasio berat pedoman atau piramida makanan
badan/tinggi bada yang paling cocok untuk
Keterangan: memenuhi kebutuhan nutrisi dan
1. Sangat menyimpang dari rentang normal preferensi.
2. Banyak menyimpang dari rentang normal 4. Tentukan apa yang menjadi
3. Cukup menyimpang dari rentang normal preferensi makanan bagi pasien.
4. Sedikit menyimpang dari rentang normal 5. Intruksikan pasien mengenai
5. Tidak menyimpang dari rentang normal kebutuhan nutrisi dan gizi.
6. Tentukan jumlah kalori dan jenis
nutrisi ynag dibutuhkan untuk
memenuhi persyaratan
7. Monitor kalori dan asupan
makanan
3 Nyeri akut Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam Nyeri (1400) Manajemen Nyeri
akut dapat teratasi dengan kriteri hasil: 1. Lakukan pengkajian yang
Tingkat nyeri (2102) komprehensif yang meliputi
Tujuan lokasi, karakteristik,
No Indikator Awal onsert/durasi, frekuensi,
1 2 3 4 5
1 Nyeri yang dilaporkan kualitas, intensitas atau beratnya
2 Panjangnya periode dan faktor pencetus.
nyeri 2. Observasi adanya petunjuk
3 Menggosok area yang nonverbal mengenai
terkena dampak ketidaknyamanan terutama pada
4 Ketegangan otot merek yang tidak dapat
5 Ekspresi nyeri wajah berkomunikasi secara efektif
3. Pastikan perawatan analgesik
Keterangan:
bagi pasien dilakukan dengan
1. Sangat Berat
pemamtauan yang ketat
2. Berat
4. Gali pengetahuan dan
3. Cukup
kepercayaan pasien mengenai
4. Ringan
nyeri
5. Tidak Ada
5. Tentukan akibat dari
pengalaman nyeri terhadap
kualitas hidup pasien (misalnya:
tidur, nafsu makan, performa
kerja, perasaaan, pengertian,
hubungan, tanggung jawab
peran)
6. Berikan informasi mengenai
nyeri, seperti penyebab nyeri,
berapa lama nyeri akan
dirasakan dan antisipasi akan
ketidaknyamanan akibat
prosedur.
7. Ajarkan prinsip-prinsip
manajemen nyeri
8. Ajarkan teknik non
farmakologis (seperti:
biofeeback, TENS, hypnosis,
relaksasi,bimbingan antisipatif,
terapi music, terapi bermain,
terapi aktifitas, akupresur,
aplikasi panas/dingin dan
pijatan)
9. Berikan penurun nyeri yang
optimal dengan resepan
analgesik dari dokter.
4 Kelebihan volume cairan Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam (4120) Fluid management
Kelebihan volume cairan dapat teratasi dengan kriteri 1. Pertahankan catatan intake dan
hasil: output yang akurat
Keseimbangan cairan (0601) 2. Pasang urin kateter jika
Tujuan diperlukan
No Indikator Awal 3. Monitor hasil lab yang sesuai
1 2 3 4 5
1 Tekanan darah dengan retensi cairan (BUN, Hmt
2 Denyut nadi radial , osmolalitas urin )
4. Monitor status hemodinamik
3 Keseimbangan intake
termasuk CVP, MAP, PAP, dan
dan output dalam 24
PCWP
jam
5. Monitor vital sign
4 Berat badan stabil 6. Monitor indikasi retensi/
5 Turgor kulit kelebihan cairan (cracles, CVP ,
Keterangan: edema, distensi vena leher, asites)
1. Sangat terganggu 7. Kaji lokasi dan luas edema
2. Banyak terganggu 8. Monitor masukan makanan /
3. Cukup terganggu cairan dan hitung intake kalori
4. Sedikit terganggu harian
5. Tidak terganggu 9. Monitor status nutrisi
10. Berikan diuretik sesuai interuksi
11. Batasi masukan cairan pada
keadaan hiponatrermi dilusi
dengan serum Na<130 mEq/l
12. Kolaborasi dokter jika tanda
cairan berlebih muncul
memburuk
5 Kerusakan integritas Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam (3590) Pengecekan kulit
kulit Kerusakan integritas kulit dapat teratasi dengan kriteria 1. Periksa kulit terkait dengan
hasil: adanya kemerahan, kehangatan
Intregritas jaringan: Kulit dan membrane mukosa ekstrem, edema.
(1101) 2. Amati kehangatan, warna,
Tujuan bengkak, pulsasi, tekstur, edema,
No Indikator Awal dan ulserasi pada ekstemitas.
1 2 3 4 5
1 Suhu kulit 3. Monitor warna dan suhu kulit.
2 Sensasi (gatal) 4. Monitor infeksi terutama dari
daerah edema.
3 Elastisitas
5. Ajarkan amggota
4 Intregitas kulit keluarga/pemberi asuhan
5 Tekstur mengenai tanda-tanda keruskan
6 Keringat kulit dengan tepat.
Keterangan:
1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu
6 Mual (Nausea) Setelah dilakukan perawatan 1x24 jam diharapkan mual (1450) Manajemen Mual
dapat teratasi dengan kriteri hasil: 1. Dorong pasien memantau
Nafsu Makan (1014) pengalaman dir terhadap mual
Tujuan 2. Drong pasien belajar mengatasi
No Indikator Awal mual sendiri
1 2 3 4 5
1 Hasrat/Keinginan 3. Monitor efek dari manajemen
untuk makan mual secara keseluruhan
2 Menyenangi makanan
3 Merasakan makanan (2300) Pemberian Obat
1. Kolaborasi pemberian obat
4 Energi untuk makan 2. Bantu klien dalam pemberian
5 Intake makanan, obat
nutrisi, cairan 3. Berikan obat sesuai dengan
Keterangan: teknik dan cara yang tepat
1. Sangat terganggu 4. Ikuti prosedur 5 benar dalam
2. Banyak terganggu pemberian obat
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu
7 Intoleransi Aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 (4310) Terapi Aktivitas
jam, diharapkan aktivitas kembali normal dengan kriteri 1. Pertimbangkan kemampuan klien
hasil: dalam berpartisipasi melalui
Toleransi terhadap aktivitas (0005) aktivitas spesifik.
Tujuan 2. Bantu klien tetap fokus pada
No Indikator Awal kekuatan [yang dimilikinya]
1 2 3 4 5
1 SpO2 ketika dibandingkan dengan kelemahan
beraktivitas yang dimilikinya].
2 Frekuensi nadi 3. Bantu dengn aktivits fisik secara
ketikaberaktivitas teratur sesuai dengan kebutuhan.
3 Frekuensi pernapasan 4. Bantu klien untuk meningkatkan
ketika beraktivitas motivasi diri dan penguatan.
4 Kemudahan bernafas
ketika beraktivitas (0180 Manajemen Energi).
5 Kemudahan dalam 1. Kaji status fisiologis asien yang
melakukan ADL menyebabkan kelelahan sesuai
Keterangan: dengan konteks usia dan
1. Sangat terganggu perkembangan.
2. Banyak terganggu 2. Anjurkan pasien
3. Cukup terganggu mengungkapkan secara verbal
4. Sedikit terganggu keterbatasan yang dialami.
5. Tidak terganggu 3. Pilih intervensi untuk
mengurangi kelelahan baik
secara famakologis maupun non
farmakologis dengan tepat.
4. Kurangi ketidaknyamanan fisik
yang dialami pasien yang bisa
mempengaruhi fungsi kognitif,
pemantauan diri, dan pengaturan
aktivtas pasien.
8. Ketidakefektifan perfusi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 (4062) Perawatan sirkulasi:
jaringan perifer jam, diharapkan ketidakefektifan perfusi jaringan Insufiensi Arteri
perifer dapat teratasi dengan kriteri hasil: 1. Lakukan pemeriksaan fisik
Perfusi jaringan: Perifer (0407) system kardiovaskuler atau
Tujuan penilaian yang komprrehensif
No Indikator Awal pada sirkulasi perifer, missal
1 2 3 4 5
1 Pengisian kapiler jari memeriksa nadi perifer, edema,
2 Pengisian kapiler jari warna dan suhu.
kaki 2. Evaluasi edema dan denyut nadi
3 Suhu kulit ujuang kaki 3. Inspeksi kulit untuk adanya luka
dan tangan atau kerusakan jaringan.
4 Edema perifer 4. Monitor tingkat
5 Kekuatan denyut nadi ketidaknyamanan atau adanya
nyeri
Keterangan: 5. Lindungi ujung kaki dan tangan
1. Deviasi berat dari kisaran normal/sangat berat dari cidera misalnya memakai
2. Deviasi yang cukup besar dari kisaran kaos kaki.
normal/berat 6. Instruksikan pada pasien
3. Deviasi sedang dari kisaran normal/cukup mengenai perawatan kaki yang
4. Deviasi ringan dari kisaran normal/ringan tepat.
5. Tidak ada deviasi dari kisaran normal/tidak ada 7. Pelihara hidrasi yang memadai
untuk menurunkan kekentalan
darah.
8. Monitor jumlah cairan masuk
dan keluar.
4.Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah pasien
diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian, diagnosa
keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi keperawatan. Evaluasi
keperawatan ditulis dengan format SOAP, yaitu:
a. S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
b. O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah
dilakukan tindakan keperawatan.
c. A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi,
teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
d. P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah,
atau dimodifikasi

C. Discharge Planning
1. Diet tinggi kalori dan rendah protein
2. Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam
3. Kontrol hipertensi
4. Kontrol ketidakseimbangan elektrolit
5. Deteksi dini dan terapi infeksi
6. Dialisis (Cuci Darah)
7. Obat obatan ( antihipertensi, suplemen besi,agen pengikat fosfat, suplemen
kalsium, furosemid ( membantu berkemih).
DAFTAR PUSTAKA

Brown, L., G. Gardner, dan A. Bonner. 2016. A randomized controlled trial


protocol testing a decision support intervention for older patients with
advanced kidney disease. Journal Of Advanced Nursing. (December
2015):1191–1202.

Bulechek, G. M., H. K. Butcher., J. M. Dochterman., & C. M. Wagner. Nursing


Interventions Classification (NIC) Edisi 6. (2013). Nursing Interventions
Classification ( Edisi Bahasa Indonesia). Indonesia. ELSEVIER.

Ed. Herman T.H., & Komitsuru. S. 2017. Nanda Internasional Nursing


Diagnosis, Definition and Clasification 2018-2020. EGC. Jakarta.

Fadilla, I., P. P. Adikara, dan R. S. Perdana. 2018. Klasifikasi penyakit chronic


kidney disease ( ckd ) dengan menggunakan metode extreme learning
machine ( elm ). 2(10):3397–3405.

InfoDATIN. 2017. Situasi Penyakit Ginjal Kronis

Mansjoer, A. et.al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Ed.3.
Jakarta: Media Aesculapius.

Monhart, V. 2013. Hypertension and chronic kidney diseases. 55:397–402.

Moorhead, S., M. Johnson, M. L. Maas, & E. Swanson. Nursing Outcomes


Classification (NOC) Edisi 5. (2013). Nursing Outcomes Classification
(Edisi Bahasa Indonesia). Indonesia. ELSEVIER.

National Kidney Foundation. 2010. High Blood Pressure and Chronic Kidney
Disease For People with CKD Stages 1–4. Dalam National Kidney
Foundation. New York.

Pearce, E.C .2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Alih bahasa Sri
Yuliani Handoyo. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Pearce, E.C. 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT.
Gramedia. Jakarta: Erlangga.
Price, Sylvia. A & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep klinis proses-
proses penyakit ed: 6. Jakarta : EGC.

Smeltzer, S. C. dan B. G. Bare. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Brunner &


Suddarth Vol.1 Edisi 8. Edisi 8. Jakarta: EGC.

Tedla, F. M., A. Brar, R. Browne, dan C. Brown. 2011. Hypertension in chronic


kidney disease: navigating the evidence. SAGE-Hindawi Access to Research
International Journal of Hypertension. 2011:1–9.

Anda mungkin juga menyukai