Anda di halaman 1dari 69

MINI PROJECT

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PENDERITA TUBERKULOSIS DENGAN


KEPATUHAN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS SIDAYU
GRESIK

Oleh :
dr. Winno Pradana Utomo

Pendamping :
dr. Rizaul Falah

PUSKESMAS SIDAYU KABUPATEN GRESIK


JAWA TIMUR
PERIODE JUNI 2019 – OKTOBER 2019
LEMBAR PENGESAHAN

MINI PROJECT
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PENDERITA TUBERKULOSIS DENGAN
KEPATUHAN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS SIDAYU
GRESIK

Oleh :
Nama : dr. Winno Pradana Utomo

Telah disetujui sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk kelengkapan tugas Program
Internsip Dokter Indonesia periode Februari 2019 - Februari 2020

Gresik, Oktober 2019

Mengetahui,
Kepala Puskesmas Dokter Pendamping

(dr. Rizaul Falah) (dr. Rizaul Falah)


NIP : 198106092006041017 NIP : 198106092006041017

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-
Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan mini proyek yang berjudul “Hubungan Pengetahuan
Penderita Tuberkulosis dengan Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis di Puskesmas
Sidayu Gresik”.
Peneliti menyadari bahwa keberhasilan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan,
doa dan kerjasama yang baik berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini peneliti ingin
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada:
1. dr. Rizaul Falah, selaku Kepala Puskesmas Sidayu dan selaku dokter pendamping peneliti
selama menjalankan PIDI di Gresik khususnya saat rotasi di Puskesmas Sidayu yang telah
banyak memberikan semangat dan dukungan moral untuk terus giat belajar dan menyelesaikan
PIDI tepat waktu.
2. dr. Andriani Dwi Hefrida, selaku dokter di Puskesmas Sidayu yang telah membimbing selama
menjalani intership di Puskesmas Sidayu.
3. Rekan-rekan seperjuangan peserta PIDI Gresik khususnya dr. Farhan dr. Farah dr. Fariz dr.
Givi dan dr. Ninda. Terima kasih untuk dukungan dan bantuannya selama menjalankan PIDI di
Puskesmas Sidayu.
4. Seluruh staf Puskesmas Sidayu dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu
yang telah banyak membantu peneliti dalam menyelesaikan mini proyek ini.
Akhir kata, peneliti menyadari bahwa mini proyek ini masih terdapat banyak keterbatasan.
Oleh karena itu, peneliti sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para
pembaca. Semoga mini proyek ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan
menjadi berkah bagi peneliti maupun pembacanya.
Gresik, 10 Oktober 2019

Penulis
dr. Winno Pradana Utomo

3
DAFTAR ISI

Table of Contents
LEMBAR PENGESAHAN 2
KATA PENGANTAR 3
DAFTAR ISI 4
BAB I 6
PENDAHULUAN 6
1.1 Latar belakang 6
1.2 Rumusan Masalah 7
1.3 Tujuan 8
1.4 Manfaat 8
BAB II 9
TINJAUAN PUSTAKA 9
2.1 Profil Puskesmas Sidayu 9
2.2 Pengetahuan 31
2.3 Faktor Yang Mempengarungi Pengetahuan 33

2.4 Kepatuhan 34
2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan 35
2.6 Kerangka konsep 36
2.7 Hipotesis penelitian 36
BAB III 37
METODE PENELITIAN 37
3.1 Desain Penelitian 37
3.2 Tempat Dan Waktu Penelitian 37
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 37
3.4 Bahan dan Instrumen Penelitian 39
3.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 40
3.6 Teknik pengolahan dan analisis data 41
3.7 Hubungan tingkat pengetahuan dan kepatuhan 43
3.8 Alur kegiatan 44
BAB IV Hasil dan Pembahasan 45
4.1 Hasil Uji Validitas Kuisioner 45

4
4.2 Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner 46
4.3 Karakteristik Responden 47
4.4 Usia Responden 47
4.5 Pendidikan Responden 49
4.6 Jenis Kelamin Responden 50
4.7 Pekerjaan Responden 51
4.8 Tingkat Pengetahuan Penderita tentang Tuberkulosis Paru 52
4.9 Kepatuhan Minum Obat Antituberkulosis Paru (OAT) 53
4.10 Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Tuberkulosis Paru dengan Kepatuhan
Minum OAT 54
4.11 Keterbatasan penelitian 55
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 57
DAFTAR PUSTAKA 58
LAMPIRAN 61

5
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Penyakit menular saat ini masih menjadi permasalahan dalam dunia kesehatan. Pada saat

ini penyakit menular menjadi salah satu prioritas dinas kesehatan dalam rangka meningkatkan

derajat kesehatan masyarakat. Penyakit menular diantaranya adalah Tuberkulosis, Pneumonia,

Infeksi saluran pernafasan akut, Malaria, HIV/AIDS dan lain-lain. Penyakit yang menjadi

salah satu isu global adalah tuberkulosis yang merupakan penyakit menular kronis.

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang menjadi prioritas nasional dalam proses

pengendalian penyakit sehingga tidak mempengaruhi kualitas hidup dan ekonomi serta

mencegah terjadinya kematian (Riskesda, 2007). Tuberkulosis berpengaruh besar terhadap

kualitas hidup dan ekonomi seseorang. WHO menyebutkan bahwa seorang penderita

tuberkulosis akan kehilangan pendapatan rumah tangganya sekitar 3-4 bulan. Kematian akibat

tuberkulosis dapat mengakibatkan kehilangan pendapatan rumah tangga sekitar 15 tahun

(Depkes, 2011). Sebagian besar tuberkulosis didapatkan di negara yang sedang berkembang

dengan sosioekonomi yang rendah (Alsagaff dan Mukty, 2009).

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang bersifat kronis yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Pada saat ini tuberkulosis merupakan penyakit menular yang

menjadi perhatian dunia. Dalam bukunya Alsagaff dan Mukty (2009) dituliskan berdasarkan

WHO bahwa 10-20 juta penduduk didunia mampu menularkan tuberkulosis. Menurut Depkes

(2011) pada tahun 2009 ditemukan 1,7 juta orang meninggal karena TB (600.000 diantaranya

perempuan) dan ditemukan 9,4 juta kasus baru TB (3,3 juta diantaranya perempuan).

6
Indonesia merupakan salah satu negara endemiktuberkulosis. Pada saat ini tuberkulosis

masih menjadi permasalahan di Indonesia. Berdasarkan WHO global report tahun 2009,

Indonesia masih termasuk dalam 10 besar negara dengan permasalahan Tuberkulosis (TB)

yaitu diperingkat kelima didunia setelah India, China, Afrika Selatan dan Nigeria (Depkes,

2011). Di Indonesia setiap tahunnya ditemukan sekitar 300.000 orang menderita tuberkulosis

(Kompas, 2012). Pada tahun 2009 ditemukan sebanyak 528.063 kasus tuberkulosis baru.

Kematian yang diakibatkan tuberkulosis sebanyak 91.369 pada tahun 2009 (Depkes, 2011).

Berdasarkan global report TB WHO tahun 2011 prevalensi tuberkulosis di Indonesia sebesar

289 per 100.000 penduduk. Insidensi tuberkulosis diIndonesia sebesar 189 per 100.000

penduduk dengan angka kematian sebesar 27 per 100.000 penduduk (Depkes, 2012). Sekitar

75% pasien tuberkulosis adalah usia reproduktif (15-50 tahun) (Depkes, 2011).

Di kabupaten Gresik pada tahun 2014, dari jumlah penduduk 1.247.994 jiwa, laki-laki

617.764 jiwa dan perempuan 630.230 jiwa jumlah seluruh kasus TB paru baru 1.467 kasus

laki-laki 845 kasus, perempuan 622 kasus. JUmlah kasus TB paru kasus baru BTA + sebanyak

736 kasus, laki-laki 443 kasus perempuan 293 kasus. JUmlah kasus TB anak umur 0-14 tahun

jumlah kasus 95. Jumlah kematian akibat TB paru selama pengobatan adalah 26 orang

(Depkes, 2014)

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana gambaran tingkat pengetahuan tentang TB Paru dan kepatuhan minum

OAT pada penderita TB Paru di Puskesmas Sidayu Gresik

2. Apakah terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan tentang TB Paru terhadap

kepatuhan minum OAT di Puskesmas Sidayu Gresik

7
1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan tentang TB Paru dan kepatuhan

minum OAT pada penderita TB Paru di Puskemas Sidayu Gresik

2. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan tentang TB Paru terhadap

kepatuhan minum OAT pada penderita TB Paru di Puskesmmas Sidayu Gresik

1.4 Manfaat

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi :

1. Bagi Peneliti

Menambah wawasan sekaligus memperoleh pengalaman untuk melakukan penelitian

lapangan mengenai tingkat pengetahuan tentang TB Paru terhadap kepatuhan minum

OAT pada penderita TB Paru

2. Bagi Unit Pelayanan Kesehatan

Sebagai bahan pertimbangan untuk kebijakan ke depan dalam usaha meningkatkan

angka kesembuhan penyakit TB Paru dengan upaya preventif, kuratif maupun promotif

khususnya tingkat pengetahuan tentang Tuberkulosis Paru terhadap kapatuhan minum

obat.

3. Bagi masyarakat dan penderita

Menambah wawasan dan kesadaran bagi masyarakat dan penderita TB Paru terhadap

pentingnya kepatuhan minum obat antituberkulosis paru (OAT).

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Profil Puskesmas Sidayu

a. Identitas Wahana

Nama Puskesmas : Sidayu

Alamat Puskesmas : Jl. Raya Sidayu – Kec. Sidayu Kab.Gresik – Jawa


Timur

Dokter Pendamping : dr. Rizaul Falah

Kepala UPT Puskesmas Sidayu : dr. Rizaul Falah

Wilayah Kecamatan Sidayu berada di Kabupaten Gresik bagian utara, mempunyai


wilayah yang berbatasan langsung Selat Madura yang merupakan bagian dari Laut Jawa
sehingga termasuk sebagai daerah Pantura.

Adapun batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut :

- Sebelah Utara : Kecamatan Ujung Pangkah

- Sebelah Timur : Selat Madura

- Sebelah Selatan : Kecamatan Bungah

- Sebelah Barat : Kecamatan Dukun dan Panceng

Luas Wilayah : 4.795,291 Ha yang terdiri dari


Perumahan : 225,885 Ha
Sawah : 1.765,740 Ha
Tambak : 1.370,665 Ha
Tegal : 1.097,290 Ha
Lain-lain : 211,800 Ha

9
Kecamatan Sidayu secara administratif meliputi 21 desa, yaitu :
1. Desa Bunderan 12. Dese Randuboto
2. Desa Purwodadi 13. Desa Racikulon
3. Desa Srowo 14. Desa Racikulon
4. Desa Sedagaran 15. Dese Golokan
5. Desa Pengulu 16. Desa Sambipondok
6. Desa Kauman 17. Desa Wadeng
7. Desa Sidomulyo 18. Desa Gedangan
8. Desa Mriyunan 19. Desa Sukorejo
9. Desa Asempapak 20. Desa Lasem
10. Desa Mojoasem 21. Desa Kertosono
11. Desa Ngawen
Ketinggian tanah wilayah Kecamatan Sidayu rata-rata 2,95 meter dari permukaan air laut
dengan iklim tropis dan curah hujan rata-rata 117 mm per tahun. Kecamatan Sidayu merupakan
dataran rendah dengan wilayah pantai, sungai, sawah, dan tambak. Tidak memiliki wilayah
gunung dan hutan.
Wilayah kecamatan sidayu dilewati oleh sungai Bengawan Solo yaitu desa Randuboto,
Ngawen, dan Srowo. Wilayah kecamatan Sidayu dilewati oleh Jalan Propinsi yang
menghubungkan Kabupaten Gresik dengan Kabupaten Lamongan.
Jarak tempuh dari Puskesmas ke desa :
3-5 km : 16 desa

0-2 km : 5 desa

Jarak Puskesmas ke Kabupaten : 37 km


Jarak Puskesmas ke Propinsi : 86 km

b. Komitmen Wahana
Dokter internsip selalu diusahakan untuk terlibat dalam program kegiatan Puskesmas, baik
dalam gedung maupun luar gedung. Dokter internsip juga dilibatkan dalam evaluasi program
Puskesmas yang biasa diadakan satu bulan sekali (Lokakaryamini). Terutama layanan pada pasien
di Poli Umum hal tersebut sangat berguna bagi dokter internsip untuk dapat lebih berpengalaman

10
dalam pengobatan dasar yang memang harus dikuasai oleh dokter umum yang nantinya bertugas
di fasilitas kesehatan layanan primer. Dokter pembimbing yang ditunjuk juga cukup baik dalam
memberikan bimbingan serta evaluasi tugas yang diberikan.

c. Fasilitas Wahana
Di Puskesmas Sidayu tidak ada fasilitas rumah dinas maupun mobil dinas bagi para dokter
internsip, namun demikian apabila ada kegiatan diluar gedung akan memakai mobil operasional
Puskesmas. Akomodasi dan transportasi ditanggung secara pribadi oleh masing masing-masing
dokter internsip yang berpraktik di wahana Puskesmas Sidayu

d. Akomodasi Dan Transportasi Di Wahana


Perjalanan menuju ke wahana Puskesmas Sidayu dari kota Surabaya dapat ditempuh
selama kurang lebih 2 jam menggunakan travel/taxi dengan biaya sebesar Rp. 300.000 sekali jalan,
perjalanan dapat juga ditempuh dengan kendaraan umum dari terminal Purbaya Rp. 10.000 menuju
terminal osowilangun, setelah itu naik bus armada sakti Rp. 20.000, apabila menggunakan
kendaraan pribadi bisa ditempuh selama 1,5 jam. Infrastruktur jalan dari Surabaya menuju
Puskesmas Sidayu cukup baik sudah beraspal namun padat kendaraan, terutama kendaraan proyek
galian C.

11
PETA WILAYAH KERJA PUSKESMAS SIDAYU

KEC. UJUNG PANGKAH


Gambar 1. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Sidayu

SELAT MADURA

KEC. DUKUN

KEC. BUNGAH

12
2. Definisi
Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis, yang menyerang pada bagian parenkim paru. Mycobacterium tuberculosis merupakan
kuman batang tahan asam yang dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit. Terdapat
banyak jenis Mycobacterium patogen, namun hanya dua jenis saja yang patogen terhadap manusia,
yaitu strain bovin dan human (Price et al., 2006; Djojodibroto, 2009).

Menurut Depkes RI (2006) tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
kuman TB (Mycobacterium tuberculosis), tuberkulosis dapat menyerang organ paru maupun ekstra
paru namun pada umumnya menyerang paru.

2.1.1 Epidemiologi
Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang sudah terjadi sejak ribuan tahun
sebelum masehi. Sejak zaman purba penyakit ini merupakan penyakit menakutkan dengan angka
kematian tinggi. Karena sangat menakutkan TB dijuluki dengan “consumption”. Angka insidemsi
TB mengalami penurunan pada saat ditemukan kemoterapi. Namun pada tahun 1985-1992 jumlah
kasus TB mengalami peningkatan yang sangat tajam hingga 20%. Bahkan pada periode ini grafik
prevalensi TB menetap dan meningkat. Banyak faktor yang menjadi pemicu peningatan kejadian TB
ini, diantaranya faktor sosioekonomi dan masalah kesehatan lain seperti tingginya angka infeksi HIV,
AIDS, alkoholisme dan lain-lain (Price et al., 2006; Djojodibroto, 2009; Widoyono, 2008).

Angka kesakitan TB biasanya terdapat pada kelompok masyarakat dengan sosioekonomi


rendah dan prevalensinya meningkat pada daerah perkotaan daripada pedesaan. Dan angka kesakitan
TB lebih banyak di negara berkembanag dibanding dengan negara maju. Faktor lingkungan sangat
berpengaruh terhadap epidemi TB, terutama kepadatan penduduk. EpidemiTB pernah dilaporkan
pada tempat orang-orang berkumpul seperti rumah perawatan, penampungan tuna wisma, rumah
sakit, sekolah dan penjara. Riwayat penyakit menderita TB juga menjadi pemicu tingginya prevalensi
TB. Dimana anak yang pernah menderita TB mempunyai risiko 10% menderita penyakit ini
sepanjang hidupnya (Djojodibroto, 2009; Widoyono, 2008).

Dari hasil studi SKRT (studi kesehatan rumah tangga) tahun 1986 menunjukkan penyakit TB
di Indonesia menjadi penyebab kematian ke-3 dan menduduki urutan ke-10 penyakit terbanyak di
masyarakat. Tahun 1992 hasil studi SKRT penyakit TB mengalami peningkatan dan menyebabkan
13
kematian terbanyak yang menduduki urutan ke-2. TB kembali menduduki urutan ke-3 (9,4% dari
total kematian) penyebab kematian pada tahun 2001, dari hasil studi SURKENAS (survei kesehatan
nasional).

WHO memperkirakan angka kejadian TB pada tahun 1999 sebanyak 9 juta per tahun di
seluruh dunia, dengan jumlah kematian sebanyak 3 juta orang per tahun. Dari seluruh kematian
tersebut, 25% terjadi di negara berkembang. Menurut WHO, jumlah pasien TB di Indonesia
menduduki urutan ke-5 setelah India, China, Afrika Selatan dan Nigeria. Dengan jumlah pasien
sekitar 5,8% dari total jumlah pasein TB di dunia. Prevalensi BTA (+) di Indonesia adalah 289 per
100.000 penduduk pada tahun. Insidensi mencapai 189 per 100.000 penduduk dengan angka
kematian 27 per 100.000 penduduk (Widoyono, 2008; WHO, 2011).

Penyakit ini menyerang semua golongan umur dan jenis kelamin, dan penyakit ini mulai
merambah tidak hanya menyerang golongan sosial ekonomi rendah saja tetapi juga orang dengan
status sosial tinggi. Menurut Simon (2004) 75% penderita TB di negara berkembang banyak terjadi
pada kelompok usiaproduktif (15-50 tahun). Widoyono (2008) menyebutkan berdasarkan profil
kesehatan Indonesia tahun 2002 menggambarkan presentase penderita tuberkulosis terbesar adalah
usia 25-34 tahun(23,67%), 35-44 tahun (20,46%), 15-24 tahun (18,08%), 45-54 tahun (17,48%), 55-
64 tahun (12,32%), >65 tahun (6,68%), dan yang terendah pada kelompok umur 0-14 tahun (1,31%).
Jika dilihat dari gambaran seluruh dunia, gambaran morbiditas dan mortalitas meningkat sesuai
dengan bertambahnya umur. Lebih lanjut Widoyono (2008), memaparkan perbedaan jenis kelamin
juga menyebabkan perbedaan angka angka kejadia TB. Pada pasien usia lanjut, ditemukan pasien
laki-laki lebih banyak daripada wanita. Di Indonesia sendiri dari hasil laporan seluruh provinsi di
Indonesia, pada tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 76.230 penderita TB BTA (+), 43.294
diantaranya laki-laki (56,79%) dan 32.936 perempuan (43,21%).

2.1.2 Etiologi
Penyakit TB disebabkan oleh bakteri yang disebut dengan Mycobacterium tuberculosis.
Mycobacterium tuberculosis merupakan anggota ordo Actinomisetales dan genus mycobacterium.
Mycobacterium merupakan kuman berbentuk batang gram positif lemah, pleomorfik, tidak bergerak
dan tidak membentuk spora. Dimensi mycobacterium 1,4μ ×0,2-0,5 . Mycobacterium tumbuh
paling baik pada suhu 37-41 , menghasilkan niasin dan tidak ada pigmentasi. Bakteri ini merupakan

14
kuman aerobik. Sifat ini menunjukkan kuman lebih menyukai jaringan yang memiliki kandungan
oksigen tinggi seperti pada bagian apikal paru-paru. Kuman ini juga memiliki sifat tahan terhadap
asam, sehingga lebih dikenal dengan bakteri tahan asam (BTA). Sifat tahan asam ini didapat dari
kandungan lipid didalam dinding selnya. Dinding sel Mycobacterium kaya akan lipid sehingga
resisten terhadap efek bakterisid antibodi dan komplemen. Selain lipid dinding sel bakteri juga terdiri
dari peptidoglikan dan arabinomannan (Soedarto, 2007; Sudoyo, et al., 2009).

2.1.3 Faktor Risiko


Ada beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan kerentanan seseorang untuk menderita
tuberkulosis. Diantaranya adalah tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, status gizi, kebiasaan
merokok, kepadatan hunian, kelembaban rumah, dan jenis lantai rumah. Tingkat pendidikan akan
sangat berpengaruh pada tingkat keberhasilan pengobatan TB. Semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang akan semakin tinggi juga keberhasilan pengobatan yang akan dicapai. Tingkat pendidikan
berpengaruh terhadap pengetahuan mengenai pengertian terhadap penyakit dan bahayanya (Jelalu,
2008).

Tingkat kemiskinan juga menjadi salah satu faktor untuk berkembangnya kuman TB. Hal ini
disebabkan oleh faktor tidak langsung, dimana tingkat ekonomi akan mempengaruhi tingkat
kepenuhan gizi dan nutrisi serta keadaan lingkungan sekitar rumah seperti sanitasi rumah. Makin
rendah tingkat ekonomi seseorang maka kepenuhan gizi dan nutrisi akan semakin rendah, juga
menyebabkan kurang baiknya sanitasi rumah. Yang berakibat pada mudahnya perkembangan kuman
Mycobacterium tuberculosis. Bahkan dari laporan WHO (2009) 90% penderita tuberkulosis paru di
dunia merupakan kelompok anggota keluarga dengan sosial ekonomi rendah (Depkes, 2011).

Menurut Alsagaff dan Mukty (2009), kebiasaan merokok juga menjadi salah satu faktor
risiko untuk terjadinya infeksi Mycobacterium tuberculosis. Lebih lanjut Wijaya (2012)
menerangkan banyak zat yang terkandung dalam rokok yang bersifat karsinogenok dan
imunosupresif. Namun tar dan nikoktin yang diketahui bersifat imunosupresif sehingga
akanmempengaruhi sistem imunrespirasi terutama bagian paru. Sehingga sistem respirasiakan sangat
rentan untuk terinfeksi penyakit. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lin (2009) di Taiwan,
ternyata merokok meningkatkan risiko dua kali lipat untuk terinfeksi TB.

15
Gambar 1. Sistem imun di Paru akibat merokok

Sumber. Wijaya, 2012

Selain merokok kepadatan hunian dan kelembaban rumah juga menjadi faktor penting dalam
infeksi TB. Pada penelitian yang dilakukan Jelalu (2008) membuktikan bahwa, orang yang tinggal
dalam rumah dengan kategori hunian padat memiliki risiko 2,9 kali untuk terinfeksi TB. Sedangkan
orang yang tinggal dalam rumah dengan kelembaban rumah tidak memenuhi syarat, akan berisiko
terinfeksis 2,5 kali lebih sering bila dibandingkan dengan orang yang tinggal dalam hunian dengan
kelembaban yang memenuhi syarat.

2.1.4 Cara Penularan


Adanya risiko untuk terinfeksi, seperti kepadatan penduduk dan lingkungan perkotaan akan
mempermudah untuk terjadinya penularan. Ini juga sangat berperan dalam peningkatan jumlah kasus
TB. Penularan terjadi secara langsung dari penderita TB kepada orang lain. Sangat jarang sekali
terjadi penularan melalui cairan ataupun melalui barang-barang yang terkontaminasi kuman TB.
Penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis ini ditularkan melalui udara, dengan
cara inhalasi basil yang terkandung dalam percikan dahak (droplet nuclei). Droplet nuclei dapat
berasal dari seorang pasien TB, yang berhambur ke udara saat mereka batuk, bersin, atau berbicara.
16
Setiap kali batuk seorang pasien akan menghasilkan 3000 droplet nuclei. Sehinggadroplet nuclei
yang infektif terutama dari seorang pasien yang mengalami gejala batuk berdahak atau berdarah.
Setelah basil TB tersembur kemudian akan terhisap oleh orang lain (Sudoyo et al., 2009; Depkes,
2011; Djojodibroto, 2009; Patel & Gwilt, 2008).

Menurut Depkes (2011), penularan umumnya terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak
dapat bertahan lama di tempat tersebut. Percikan dapat bertahan beberapa jam, umumnya 1-2 jam.
Didalam ruangan yang gelap dan lembab dapat bertahan berhari-hari, bahkan sampai berbulan-
bulan.Oleh karenanya ventilasi yang baik dapat mengurangi jumlah percikan. Bahkan dengan sinar
matahari langsung, kuman TBakan mati. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh jumlah
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan pada pemeriksaan dahak,
makin menular. Faktor yang memungkinkan orang untuk terpajan kuman TB tergantung jumlah
percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Angka risiko penularan infeksi TB di
Indonesia 1-3%, yang berarti akan ada 1-3 orang yang terinfeksi TB diatara 100 penduduk. Dan
setengah (0,5%) dari mereka BTA-nya akan positif (Sudoyo et al., 2009; Widoyono, 2008).

2.1.5 Patofisiologi
2.1.5.1 Infeksi Primer
Infeksi berawal dari seseorang menghirup droplet nuclei. Setelah droplet nuclei terhirup,
droplet (percikan)akan menempel pada dinding saluran pernapasan. Droplet yang terhirup, mungkin
akan menempel pada dinding saluran pernapasan atas ataupun pada sistem pernapasan bawah
tergantung dari ukuran droplet yang terhirup. Jika ukuran droplet besar, ia akan menempel pada
dinding saluran nafas atas. Namun jika droplet berukuran kecil (<5 mikrometer) akan masuk sampai
ke alveolar dan menempel pada dinding alveolar. Kuman yang terhirup biasanya dalam bentuk basil
yang berbetuk unit, yang dalam satu unit terdiri dari 1-3 basil. Jika seseorang baru pertama kalinya
terinfeksi TB, maka tubuh akan memberikan reaksi hanya berupa reaksi seperti adanya benda asing.
Hal ini disebabkan karena tubuh belum memiliki imunitas terhadap kuman Mycobacterium
tuberculosis. Pada awalnya basil tuberkulosis akan dilawan oleh makrofag dengan cara fagositosis.
Namun, pada saat ini makrofag belum diaktifkan. Selama periode ini basil TB berkembang biak
dengan bebas, baik ekstraseluler maupun intraseluler didalam sel yang memfagositnya. Selama tiga
minggu pertama setelah infeksi, tubuh hanya merespon infeksi dengan peradangan biasa.Pada fase
ini leukosit polimorfonuklearlah yang berperan. Tetapi kemudian tubuh juga mengupayakan
17
pertahanan imunitas selular yang disebut dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat (delayed
hypersensitivity), yang melibatkan limfosit (biasanya limfosit T) dan pengaktivan makrofag oleh
limfosit dan limfokinnya. Pembentukan imunitas selular akan lengkap dalam 10 minggu
(Djojodibroto, 2009; Price & Wilson, 2005).

Djojodibroto (2009) menjelaskan setelah minggu ketiga, basil TBakan dicerna oleh makrofag
dan umumnya basil TB akan mati. Tetapi basil TB yang virulen akan bertahan hidup. Basil yang
kurang virulen juga akan tetap bertahan jika sistem pertahan tubuh dan makrofag dalam keadaan
lemah. Selama periode ini tidak ada gejala yang muncul. Namun, jika dilakukan tes tuberkulin maka
hasilnya akan positif. Patogenesis TB tergantung dari umur penderita. Pada orang dewasa, jika
terinfeksi kuman TB, sebagian besar akan dapat mengatasinya sehingga tidak sampai menimbulkan
gejala. Namun sebagian lagi (3-4%) orang tidak dapat mengatasinya sehingga akan muncul gejala
yang berat (Sudoyo, 2009).

Jika infeksi terjadi pada bagian alveolus, biasanya mengenai alveolus bagian bawah lobus
atas atau di bagian atas lobus bawah. Seperti yang sudah disebutkan diatas, saat awal infeksi, basil
TB membelah diri dengan lambat didalam alveolus. Tempat basil TB membelah ini kemudian
menjadi lesi inisial (intial lung lesion), tempat pembentukan granuloma yang kemudian mengalami
nekrosis dan perkijuan (kaseasi) di tengahnya. Agar infeksi tidak menyebar, akan trbentuk fibrosis
yang mengililingi granuloma. Stadium ini disebut infeksi primer (primary infection). Nodus limfa
yang menampung aliran limfa yang berasal dari lesi inisial juga ikut terinfeksi sehingga juga
mengalami peradangan. Lesi inisial ketika meradanag disebut sebagai fokus inisial (fokus primer).
Fokus primer dikelilingi oleh sel epiteloid, histiosit dan sel datia langhans, sel limfoid dan jaringan
fibrosa. Lesi ini dinamakan lesi granulomatosa, dan pada TB disebut dengan tuberkel. Fokus primer
yang meradang bersama dengan kelenjar limfa yang meradang disebut kompleks primer. Selanjutnya
fokus primer yang mengalami kalsifikasi bersama pembesaran nodus limfa disebut kompleks ghon
(Djojodibroto, 2009; Price & Wilson, 2005; Sudoyo et al., 2009).

Menurut Price dan Wilson (2005), selain reaksi peradangan yang sudah disebutkan diatas,
masih terdapat respon yang lain yaitu pencairan, dimana bahan cair lepas ke dalam bronkus yang
berhubungan dan menimbulkan kavitas. Bahan tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas dapat
masuk ke percabangan trakeobronkial. Proses ini dapat terjadi berulang kali di bagain lain dari paru,

18
atau basil dapat terbawa sampai laring, telinga tengah atau usus. Kavitas yang kecil dapat sembuh
dan meningglakan jaringan parut walaupun tanpa pengobatan. Bila peradangan mereda, lumen
bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut. Bahan perkijuan dapat mengental dan
tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung, sehingga kavitas penuh dengan bahan perkijuan.
Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu yang lama.

Ada kemungkinan pada stadium awal infeksi primer beberapa basil TB menyebar ke tempat
lain diluar lesi inisial. Penyebaran basil TB dapat melalui kelenjar limfa atau pembuluh darah. Basil
TB yang lolos dari kelenjar limfa akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang kadang-
kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal dengan
penyebaran limfohematogen. Penyebaran melalui pembuluh darah disebut dengan penyebaran
hematogen. Dengan penyebaran hematogen, basil TBakan berkembang biak di tempat yang baru
(secondary settlement). Secondary settlement biasanya terbentuk dibagian apeks paru, ginjal, ujung
tulang panjang, dan otak. Setiap individu akan dapat mengatasinya walaupun banyak basil yang
tersebar, jika daya tahan tubuh prima sehingga tidak akan menderita TB. Sebagaian kecil individu
tidak dapat mengatasinya dan akan menderita TB. Secondary settlement dapat terjadi diseluruh tubuh
yang biasanya menyebabkan TB miliar (Djojodibroto, 2009; Price & Wilson, 2005; Sudoyo et al.,
2009).

2.1.5.2 Tuberkulosis Pascaprimer (Tuberkulosis Sekunder)


Setelah seorang indivdu dapat mengatasi fokus primer pada infeksi primer dan orang tersebut
tidak sakit, ternyata tidak semua basil TB tereliminasi dari tubuh atau tidak dapat dibunuh. Basil
tersebut dapat bertahan didalam tubuh dalam waktu lama bahkan hingga puluhan tahun dalam
keadaan dormant (tidur). Menurut Kumar (2008), tuberkulosis sekunder merupakan penyakit yang
terjadi pada penjamu atau penderita yang telah tersensitisasi yaitu yang terjadi segera setelah
tuberkulosis primer, tetapi muncul karena reaktivitas lesi primer dormant setelah infeksi awal,
terutama jika daya tahan tubuh penderita melemah. Reaktivasi biasanya terjadi beberapa tahun
setelah infeksi primer. Penurunan daya tahan tubuh dapat dipicu oleh bertambanhya umur (proses
menua), alkoholisme, defisiensi nutrisi, sakit berat dan diabetes mellitus (Djojodibroto, 2009).

2.1.6 Gejala Klinis

19
Menurut Djojodibroto (2009) dan Sudoyo (2009), infeksi primer TB biasanya tidak akan
menimbulkan gejala yang berarti. Tetapi jika infeksi tersebut menjadi progresif dan sakit (3-4% dari
yang infeksi), akan terdapat gejala respiratorik dan gejala umum.
2.1.6.1 Gejala Respiratorik
a. Batuk
Batuk sebagai gejala khas dari TB paru. Batuk terjadi karena adanya iritasi bronkus. Batuk
sebagai usaha untuk mengeluarkan produk-produk radang keluar. Munculnya batuk biasanya terjadi
setelah beberapa minggu atau bulan setelah perdangan awal terjadi. Awalnya terjadi batuk kering
kemudian diikuti batuk produktif yang mengandung dahak. Apabila pembuluh darah pecah maka
akan terjadi batuk darah. Batuk sebagai indikator sensitif TB paru aktif. Batuk biasanya berlangsung
selama 2-3 minggu atau lebih.

b. Sesak Napas
Gejala sesak napas jarang dikeluhkan oleh penderita TB. Sesak napas muncul bila penyakit
sudah pada tahap lanjut. Gejala ini timbul apabila sudah terjadi pembesaran nodus limfa pada hilus
yang menekan bronkus, atau terjadi efusi pleura, atau ekstensi radang parenkim atau miliar. Secara
umum sesak napas ini muncul bila sudah mengenai setengan bagian paru-paru.

c. Nyeri Dada
Seperti pada sesak napas, nyeri dada juga jarang ditemukan. Nyeri dada ini baru muncul
apabila peradangan sudah melibatkan pleura sehingga terjadi peradangan pada pleura (pleuritis).
Karena adanya pleuritis ini,akan menimbukan gesekan antara kedua pleura saat pasien inspirasi
maupun ekspirasi sehingga akan timbul nyeri.

2.1.6.2 Gejala Umum


a. Demam
Demam akan muncul pada petang dan malam hari yang biasanya disertai dengan keringat
dingin. Demam bersifat hilang timbul yang akan berlangsung selama lebih dari 1 bulan. Suhu badan
saat demam biasanya subfebril yang meyerupai demam pada influenza. Namun demam kadang-
kadang dapat mencapai suhu badan 40-41℃. Gejala demam yang hilang timbul tersebut tergantung
dari daya tahan tubuh pasien dan dan berat ringannya infeksi.

b. Malaise
20
Karena sifat infeksi TB merupakan peradangan yang menahun, malaise dapat mucul dalam
waktu yang panjang pula. Gejala malaiseakan terjadi secara hilang timbul. Pasien akan merasa
mudah lelah, pegal-pegal, nafsu makan menurun (anoreksia), berat badan menurun, sakit kepala dan
khusus pada wanita dapat timbul amenorea.

2.1.7 Pemeriksaan
2.1.7.1 Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi dapat terlihat pasien tampak pucat pada bagian konjungtiva atau kulit, badan
tampak kurus dan dibuktikan dengan penimbangan berat badan akan menunjukkan penurunan berat
badan. Kemudian dilakukan perkusi pada bagian thoraks untuk mengetahui ada kelaianan pada paru
atau tidak. Perkusi akan menghasilkan pemeriksaan yang negatif jika penyakit yang dialami masih
stadium dini (asimptomatik). Hasil perkusi juga akan negatif jika sarang penyakit terletak jauh
didalam paru (>4cm). Lesi paling sering pada TB terjadi di apeks paru sehingga pada perkusi akan
terdengar redup pada bagian apkes paru. Bila lesi sudah meluas maka redup tidak hanya pada bagian
apeks, namun juga pada bagian paru lain tempat lesi berada. Hasil perkusi akan menjadi hipersonor
jika kavitas yang ada sangat besar (Sudoyo et al., 2009; Alsagaff & Mukty, 2005).

Dengan auskultasi akan didapatkan suara bronkial jika lesi sudah meluas. Juga terdapat suara
napas tembahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Namun hasil auskutasi akan berubah jika
terdapat penebalan pleura dimana akan terdengar vesikular yang melemah. Dan jika kavitas sangat
besar akan terdengar suara amforik (Sudoyo et al., 2009).

Tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas akan ditemukan atrofi dan retraksi
otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi ciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya.
Sebaliknya paru yang sehat menjadi hiperinflasi. Jika fibrosis sudah mengenai separuh bagian paru
akan mengakibatakan penurunan daerah aliran darah paru dan akan mengakibatkan peningkatan
tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti dengan kor pulmonal dan gagal jantung
kanan. Kor pulmonal dengan gagal jantung kanan ditandai dengan takipnea, takikardia, sianosis,
right ventricular lift, right atrial gallop, murmur Graham-steel, bunyi P2 yang mengeras,
peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali, asites, dan edema (Sudoyo et al., 2009).

21
2.1.7.2 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Radilogis
Alsgaff dan Mukty (2009) memaparkan gambaran radiologis akan memperkuat dugaan adanya
penyakit TB paru lebih dini. Lokasi lesi TB umumnya di daerah apeks paru, tetapi dapat juga terjadi
di lobus bawah atau bagian hilus. Saat awal penyakit, lesi masih berupa sarang-sarang pneumonia,
pada gambaran radiologis akan terlihat bercak-bercak seperti awan dengan batas tidak jelas. Namun
jika lesi sudah diliputi jaringan ikat maka akan terlihat lesi yang dinamakan tuberkuloma yang
memiliki batas tegas. Pada kavitas bayangan berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis. Lama
kelamaan dinding sklerotik dan terlihat menebal. Jika terjadi fibrosis bayangan terlihat garis-garis.
Pada kalsifikasi bayangan tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi. Pada
atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan (Sudoyo et al., 2009).

Akibat penyebaran hematogen, bersifat difus atau simetris kecil-kecil (milier), pada gambaran
rontgen akan terlihat bercak-bercak halus yang umunya tersebar merata di seluruh lapang paru.
Namun jika penyebaran terjadi secara bronkogen bersifat tidak simetris dan setempat. Dengan
pemeriksaan ini juga dapat untuk melihat ada tidaknya efusi pleura dan pneumotoraks yang sering
menyertai TB paru (Ward, 2006; Alsagaaf & Mukty, 2005).

Menurut Djojodibroto (2009), konsodilasi parenkim bersifat unifokal dengan melibatkan


multilobar. Konsodilasi dapat terjadi di lobus manapun namun pada orang dewasa lebih sering terjadi
pada lobus bawah. Menurut American Thoracic Society dalam Alsagaff dan Mukty (2009), luasnya
proses peradangan yang terlihat dari foto rontgen dapat dibagi menjadi :

1. Lesi minimal
Bila proses TB paru mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih
dari volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga kedua dan prossesus
spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai
kavitas.

2. Lesi sedang
Dapat dikatakan lesi sedang jika luas proses lebih dari luas lesi minimal. Tetapi maksimal
proses TB tidak boleh lebih dari satu luas paru dengan densitas sedang. Jika densitas yang

22
ada lebih padat dan lebih tebal (confluent), maka luas proses tersebut tidak boleh lebih dari
sepertiga luas satu paru dengan atau tanpa kavitas. Bila proses disertai dengan kavitas maka
diameter kavitas maksimal 4 cm.

3. Lesi luas
Kelainan lebih luas dari lesi sedang.

b. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah hanya sebagai pemeriksaan pendukung untuk penegakkan diagnosis TB paru
karena hasil pemeriksaan darah tidak sensitif dan tidak spesifik. Namun pemeriksaan darah dapat
untuk membantu menentukan aktivitas penyakit. Pada saat awal penyakit (aktif) lekosit dapat
normal atau sedikit meningkat dengan hitung jenis lekosist mengalami pergeseran ke kiri. Jumlah
limfosit di bawah normal.Laju enap darah (LED) dapat normal atau meningkat. Ward et al. (2006)
dan Sudoyo et al. (2009) menyatakan pemeriksaan darah dapat digunakan untuk mengetahui ada
tidaknya anemia, anemia yang terjadi biasanya normositik normokhromik. Juga terjadi penuruan
natrium dan peningkatan kalsium.

2. Pemeriksaan Serologis
Ada berbagai macam pemeriksaan serologis yang digunakan dalam diagnosis TB yaitu reaksi
Takahshi. Reaksi Takahashi dapat menunjukkan apakah proses TB masih aktif atau tidak. Hasil
dikatakan positif apabila titer menunjukkan 1/128. Namun pemeriksaan ini banyak menghasilkan
positif palsu dan negatifpalsu. Pemeriksaan serologis yang memiliki sensitifitas dan spseifisitas
tinggi (85-95%) adalah Peroksidase Anti Peroksida (PAP-TB). Prinsip dari pemeriksaan PAP-TB
adalah menentukan ada tidaknya IgG yang spesifik terhadap antigen Mycobacterium
Tuberculosae. Pemeriksaan dinyatakan patologis bila pada titer 1:10.000 didapatkan hasil uji
PAP-TB positif (Sudoyo et al., 2009).

3. Pemeriksaan Sputum (dahak)


Pemeriksaan sputum ditetapkan sebagai pemeriksaan gold standard untuk diagnosis TB paru.
Dengan pemeriksaan ini dapat ditemukan kuman BTA, yang bisa memastikan adanya infeksi
kuman TB. Selain itu menurut Depkes (2011) dengan pemeriksaan dahak ini dapat juga digunakan
untuk menilai keberhasilan pengobatan dan potensi penularan. Sputum digunakan sebagai
23
spesimen dalam pemeriksaan ini. Ada beberpa cara yang digunakan untuk mengeluarkan sputum
(dahak) pada pasien. Cara ini digunakan untuk mempermudah keluarnya sputum, karena beberapa
pasien tidak mengalami batuk atau hanya batuk kering yang tidak mengeluarkan dahak.
Pengeluaran dahak dapat dilakukan dengan cara pasien dianjurkan untuk minum 2 liter air atau
lebih sehari sebelum pemeriksaan, pasien juga diajarkan reflex batuk. Atau pasien bisa diberikan
obat mukolitik ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit.
Bila cara tersebut masih belum berhasil dapat dilakukan dengan cara bronkoskopi diambil dengan
brushing atau bronchial washing atau BAL (broncho alveolar lavage).

4. Tes Tuberkulin
Dasar dari pemeriksaan ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Cara yang dilakukan adalah dengan
menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin PPD (Purified Protein Derivate) secara intrakutan berkekuatan 5
T.U. Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui apakah seserorang sedang atau pernah terinfeki
kuman tuberkulosis. Hasil positif bila didapatkan indurasi ≥10mm.

2.1.8 Diagnosis
Penegakkan diagnosis TB didasarkan pada anamnesis mengenai keluhan yang dirasakan oleh
pasien dan ditunjang dengan pemeriksaan lain. Dari anamnesis pasien akan mengeluhkan gejala-
gejala seperti batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala
tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam
meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala yang telah disebutkan memiliki kemiripan dengan gejala
pada penderita bronkitis kronis, bronkiektasis, asma, dan lain-lain. Namun karena prevalensi TB di
Indonesia tinggi, jika pasien mengeluhkan keluhan tersebut dapat ditetapkan pasien tersebut sebagai
tersangka TB (suspek TB). Apabila pasien sudah ditetapkan sebagai tersangka TB, maka pasien
tersebut wajib untuk menjalani pemeriksaan lanjutan yaitu pemeriksaan dahak untuk mencari BTA.
Pemeriksaan dahak pada pasien suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).

 S (sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat pasien suspek TB datang berkunjung pertama kali.
Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak mengumpulkan dahak pagi pada hari
kedua.

24
 P (pagi) : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot
dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK (unit pelayanan kesehatan).
 S (sewaktu) : dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

Pasien dengan dahak BTA positif bila pasien pada pemeriksaan dahaknya secara mikroskopis
ditemukan BTA, sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan. Atau satu sediaan dahaknya positif
disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif. Atau satu sediaan positif disertai
biakan yang positif (Depkes, 2011; Sudoyo et al., 2009).

Gambar 2. Alur Diagnosis TB


Sumber. Depkes, 2011

Selain diagnosis pasti TB juga ditentukan aktifitas penyakit.Dengan diketahuinya aktifitas


penyakit dapat digunakan sebagai indikator untuk kebrhasilan terapi. Menurut Alsagaff dan Mukty
(2009) aktifitas penyakit TB dibagi menjadi :

25
1. Aktif
a. Bila dahak mengandung basil tuberkulosis.
b. Bila ada kavitas (kecuali open case dengan basil tahan asam dalam dahak negatif).
c. Gambaran radiologis berbeda pada foto tunggal maupun serial.

2. Tenang (quiescent)
a. Dahak tidak mengandung basil untuk jangka waktu paling sedikit 6 bulan.
b. Gambaran radiologis, tampak proses stabil atau hanya mengalami sedikit perubahan.
c. Masih ada kavitas (tetapi open case dengan basil tahan asam negatif).

3. Tidak Aktif (Inactive)


a. Bakteriologis negatif pada pemeriksaan dahak setiap bulan untuk jangka waktu paling
sedikit 6 bulan.
b. Gambaan radilogis yang dibuat serial menunjukkan proses stabil atau bertambah bersih
sedikit atau bekerut.
c. Tidak tampak ada kavitas baik pada foto polos maupun pada tomogram.

2.1.9 Pengobatan
Pengobatan TB membutuhkan waktu minimal 6 bulan. Dan setiap negara memiliki standar
pengobatan TB sendiri. Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi
kuman terhadap obat anti tuberkulosis (OAT). Untuk tujuan pengobatan yang terkhir dilakukan
dengan prinsip pengobatan multidrugs regimen. Obat anti tuberkulosis dibagi dalam dua golongan
besar, yaitu obat lini pertama dan obat lini kedua.

Tabel 1. Pengelompokan OAT


Golongan dan Jenis Obat
Golongan-1 Obat  Isoniasid (H)  Pyrazinamide(Z)
LiniPertama  Ethambutol (E)  Rifampicin (R)
 Streptomycin (S)
Golongan-2 /Obat  Kanamycin (Km)  Amikacin (Am)
suntik/Suntikanlinikedu  Capreomycin (Cm)
a

26
Golongan-3  Ofloxacin (Ofx)  Moxifloxacin (Mfx)
/Golongan  Levofloxacin (Lfx)
Floroquinolone
Golongan-4 /Obat  Ethionamide(Eto)  Para amino
bakteriostatik lini  Prothionamide(Pto) salisilat(PAS)
kedua  Cycloserine (Cs)  Terizidone (Trd)
Golongan-5 /Obat  Clofazimine (Cfz)  Thioacetazone(Thz)
yang  Linezolid(Lzd)  Clarithromycin(Clr)
belumterbuktiefikasi  Amoxilin-  Imipenem(Ipm).
nya dan tidak Clavulanate (Amx-
direkomendasikan Clv)
oleh WHO
Sumber. Depkes, 2011

Tabel 2. Jenis, sifat, dan dosis Obat


Dosis yang direkomendasikan
Jenis OAT Sifat (mg/kg)
Harian 3 seminggu
Isoniasid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)
Pyrazinamide (P) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)
Ethambuthol (E) Bakteriostastik 15 (15-20) 30 (20-35)
Sumber. Depkes, 2011

Karena pengobatan untuk TB paru membutuhkan waktu yang lama, untuk menjamin
kepatuhan pasien dalam menelan obat dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed
Treatment) oleh seorang pengawas menelan obat (PMO). Pengobatan TB diberikan dalam dua tahap
yaitu tahap awal (intensif) dan tahap lanjutan (Depkes, 2011).

a. Tahap awal (intensif)

 Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung
untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
 Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular akan
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
 Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
27
b. Tahap Lanjutan
 Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang
lebih lama
 Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan.

Menurut Djojodibroto (2009), terdapat dua alternatif dalam pengobatan TB paru, yaitu :

1. Terapi jangka panjang (terapi tanpa rifampisin)


Terapi ini menggunakan isoniasid, etambutol, streptomisisn, pirazinamid dalam jangka waktu
24 bulan atau dua tahun.

2. Terapi jangka pendek


Kebalikan dari terapi jangka panjang, terapi jangka pendek menggunakan regimen rifampisin.
Waktu yang pengobatan hanya berlangsung 6 bulan dan maksimal 9 bulan. Namun terapi ini
memerlukan biaya yang lebih mahal karena harga obat rifampisin tinggi. Sehingga tidak semua
orang bisa mendapatkan pengobatan ini.

Di Indonesia memiliki panduan pengobatan sendiri sebagai pedoman pengobatan nasional


Indonesia yang direkomendasikan oleh WHO :

a. Kategori-1 (2RHZE/ 4H3R3)


Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :
 Pasien baru TB paru BTA (+)
 Pasien TB paru BTA (-) foto thorak positif
 Pasien TB ekstra paru

Pengobatan pada tahap intensif diberikan rifampisin (R), isoniasid (H), pirazinamid (Z), dan
etambutol (E) yang diberikan setiap hari selama 2 bulan (2RHZE). Kemudian dilanjutkan
dengan pemberian isoniazid (H) dan rifampisin (R) selama 4 bulan yang diminum 3 kali dalam
seminggu (4H3R3). Karena dalam konsumsi harus menelan 2 sampai 4 obat sekaligus maka
pengobatan TB disediakan dalam bentuk paket berupa obat anti tuberkulosis kombinasi dosis
tetap (OAT-KDT). Jika pasien mengalami efek samping, penggunaan OAT KDT digantikan
dengan paket kombipak. Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari isoniasid,
28
rifampisin, pirazinamid dan etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.

Tabel 3. Dosis OAT Kombinasi dosis tetap kategori-1

Dosis per hari/kali Jumlah


Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet Hari/kali
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
@300 mg @450 mg @500 mg @250 mg obat

Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56

Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48
Tahap Lanjutan 3 kali
Tahap Intensif tiap hari selana
Berat Badan seminggu selama 16 mingggu
56 hari RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Sumber. Depkes, 2011

b. Kategori-2 (2RHZES/RHZE/5H3R3E3)
Panduan ini digunakan untuk mengobati pasien TB BTA (+) yang telah mendapat pengobatan
sebelumnya :
 Pasien kambuh
 Pasien gagal
 Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)

Pengobatan dilakukan selama 6 bulan. Tahap intensif diberikan dalam waktu 3 bulan, yaitu 2
bulan pertama diberikan rifampisin (R), isoniasid (H), pirazinamdi (Z), etambutol (E), dan
streptomisin (S) (2RHZES) yang ditelan setiap hari. Satu bulan berikutnya tidak lagi digunakan
streptomisin tetapi hanya RHZE yang tetap ditelan setiap hari. Selesai menjalani pengobatan tahap
intensif dilanjutkan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan. Pada tahap lanjutan ini pasien wajib
menelan obat HRE 3 kali seminggu.

29
Tabel 5. Dosis untuk panduan OAT KDT kategori-2
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari 3 kali seminggu
Berat
RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E(400)
Badan
Selama 28
Selama 56 hari Selama 20 minggu
hari
2 tab 4KDT + 500 mg 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab
30-37 kg
Streptomisin inj. Etambutol
3 tab 4KDT + 750 mg 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab
38-54 kg
Streptomisin inj. Etambutol
4 tab 4KDT + 1000 mg 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab
55-70 kg
Streptomisin inj. Etambutol
5 tab 4KDT + 1000 mg 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab
≥71 kg
Streptomisin inj. Etambutol
Sumber. Depkes, 2011

2.1.11 Hasil pengobatan (Depkes RI, 2008)

Hasil pengobatan seorang penderita dapat dikategorikan sebagai sembuh, pengobatan


lengkap, meninggal, pindah, putus berobat, dan gagal.

a. Sembuh

Penderita dinyatakan sembuh bila telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan
pemeriksaan ulang dahak (follow up) hasilnya negatif pada Akhir Pengobatan (AP) dan
minimal satu pemeriksaan follow up sebelumnya negatif.

b. Pengobatan Lengkap

Penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak


memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.

c. Meninggal

Penderita yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.

30
d. Pindah

Penderita yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil
pengobatannya tidak diketahui.

e. Putus berobat

Penderita yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.

2.2 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera

manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar

pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga pengetahuan atau kognitif

merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Karena dari

pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih

langgeng daripada perilaku yang yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo,

2007). Sedangkan pengetahuan tentang pengobatan TBC Paru adalah pengertian dari

responden tentang pengobatan TB Paru dengan menggunakan paduan OAT paru secara

tepat, teratur dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.

2.2.1 Tingkat pengetahuan (Notoatmodjo, 2007)

Pengetahuan yang dicakup dalam dominan kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu:

2.2.1.1 Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap

31
suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah

diterima.

2.2.1.2 Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang

obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasik materi tersebut secara benar.

2.2.1.3 Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk mengunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi dan kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan

sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan

sebagainya dalam konteks atau situasi lain.

2.2.1.4 Analisis (analysis)


Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi suatu objek ke dalam

komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih

ada kaitannya satu sama lain.

2.2.1.5 Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungan bagian-bagian di dalam bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain

sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi

yang ada.

2.2.1.6 Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atas

penilaian suatu materi atau obyek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang

ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

32
2.3 Faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

yaitu :

2.3.1 Pengalaman

Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain.

Pengalaman yang diperoleh dapat memperluas pengetahuan seseorang.

2.3.2 Tingkat pendidikan

Secara umum, orang yang berpendidikan lebih tinggi akan memiliki pengetahuan yang

lebih luas daripada orang yang berpendidikan lebih rendah.

2.3.3 Keyakinan

Biasanya keyakinan diperoleh secara turun-temurun, baik keyakinan yang positif maupun

keyakinan yang negatif, tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu.

2.3.4 Fasilitas

Fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang

adalah majalah, radio, koran, televisi, buku, dan lain-lain.

2.3.5 Penghasilan

Penghasilan tidak berpengaruh secara langsung terhadap seseorang. Namun, jika

seseorang berpenghasilan cukup besar, maka mampu menyediakan fasilitas yang lebih

baik.

2.3.6 Sosial budaya

Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi pengetahuan,

persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu.


33
2.4 Kepatuhan

Secara umum, istilah kepatuhan (compliance atau adherence) dideskripsikan dengan sejauh

mana pasien mengikuti instruksi-instruksi atau saran medis (Sabate, 2001). Terkait dengan terapi

obat, kepatuhan pasien didefinisikan sebagai derajat kesesuaian antara riwayat dosis yang

sebenarnya dengan rejimen dosis obat yang diresepkan. Oleh karena itu, pengukuran kepatuhan

pada dasarnya merepresentasikan perbandingan antara dua rangkaian kejadian, yaitu bagaimana

nyatanya obat diminum dengan bagaimana obat seharusnya diminum sesuai resep (Dusing, et al,

2001).

Dalam konteks pengendalian tuberkulosis, kepatuhan terhadap pengobatan dapat

didefinisikan sebagai tingkat ketaatan pasien-pasien yang memiliki riwayat pengambilan obat

terapeutik terhadap resep pengobatan (WHO, 2003).

34
2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan

Menurut Smet (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah :

2.5.1 Faktor komunikasi

Berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan dokter mempengaruhi tingkat

ketidaktaatan, misalnya informasi dengan pengawasan yang kurang, ketidakpuasan

terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter, ketidak puasan terhadap obat yang

diberikan.

2.5.2 Pengetahuan

Ketetapan dalam memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama penting

sekali dalam pemberian antibiotik. Karena sering kali pasien menghentikan obat

tersebut setelah gejala yang dirasakan hilang bukan saat obat itu habis.

2.5.3 Fasilitas kesehatan

Fasilitas kesehatan merupakan sarana penting dimana dalam memberikan penyuluhan

terhadap penderita menerima penjelasan dari tenaga kesehatan yang meliputi jumlah

tenaga kesehatan, gedung serbaguna untuk penyuluhan.

35
2.6 Kerangka konsep

TINGKAT
PENGETAHUAN
KEPATUHAN
MINUM OBAT
Komunikasi

Fasilitas kesehatan

Gambar 1. Kerangka konsep

Keterangan :
Variabel yang diteliti

Variabel yang tidak

diteliti

2.7 Hipotesis penelitian

2.7.1 Ada gambaran tingkat pengetahuan tentang TB Paru dan kepatuhan minum OAT

pada penderita TB Paru di Puskesmas Sidayu Gresik

2.7.2 Ada hubungan tingkat pengetahuan terhadap kepatuhan minum OAT pada

penderita Tuberkulosis Paru di Puskemas Sidayu Gresik

36
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan desain deksriptif korelasional. Pengambilan data
dilakukan secara prospektif dan dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi dari
responden melalui wawancara tatap muka menggunakan kuisioner.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Juli-Oktober 2019. Pengambilan data dilaksanakan
pada bulan Agustus- September 2019 di Poli TB Puskesmas Sidayu
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian adalah semua pasien TB paru yang menjalani pengobatan OAT di Poli
TB Pukesmas Sidayu periode 2019.

Kriteria inklusi :

Semua Pasien TB 1. Pasien TB paru yang pindah berobat ke


paru kategori 1, yaitu PKM lain.
pasien dengan BTA 2. Pasien dengan profilaksis TB paru.
positif, pasien TB paru 3. Menolak mengisi kuisioner
BTA negatif foto thoraks
positif, yang berobat ke
Puskesmas Sidayu
Periode September 2019

Sampel penelitian
Sampel pada penelitian ini adalah pasien TB Paru yang datang berobat ke Poli Paru Puskesmas

Sidayu Gresik, Jawa Timur yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi melalui teknik purposive

sampling. Purposive sampling adalah metode pengambilan sampel yang dipilih dengan cermat

sehingga relevan dengan struktur penelitian, dimana pengambilan sampel dengan mengambil

sampel orang-orang yang dipilih oleh penulis menurut ciri-ciri spesifik dan karakteristik tertentu

(Djarwanto dan Subagyo, 1998).


2

𝑍𝑎 + 𝑍𝐵
𝑛= +3
1+𝑟
0,5 𝐼𝑛 (1 − 𝑟)
[ ]

Keterangan :

n : Besar sampel minimal

Zα : Derivat baku alpha (Kesalahan tipe 1) = 5% = 1,96

Zβ : Derivat baku beta (Kesalahan tipe II) = 10% = 1,28

r : Perkiraan koefisien korelasi = 0,6

Jadi perhitungannya :

1,96 + 1,28
𝑛= [ ] +3
1 + 0,6
0,5 𝐼𝑛 (1 − 0,6)
n = 24,85

Jumlah sampel minimal 24,85 dibulatkan menjadi 25 orang.

Hasil perhitungan sampel menunjukkan diperlukan minimal 25 responden dalam penelitian

ini.

3.4 Bahan dan Instrumen Penelitian

3.4.1 Kuesioner tentang tingkat pengetahuan

Instrumen pada penelitian ini menggunakan kuesioner untuk mengetahui tingkat

pengetahuan tentang TB Paru. Kuesioner ini sebelumnya dibuat oleh Alwi (2004) dan juga

digunakan oleh Purnomo (2009).

Kuesioner tingkat pengetahuan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 16

pertanyaan yang terdiri dari 1 pertanyaan tentang pengertian Tuberkulosis Paru, 4

pertanyaan. Pertanyaan pada kuesioner ini dibuat dalam 2 tipe yaitu favourable dan

unfavourable. Pengertian dari favourable adalah pernyataan yang mendukung atau

memihak objek penelitian, sedangkan pernyataan unfavourable adalah pernyataan yang

tidak mendukung atau tidak memihak.

3.4.2 Kuesioner tentang kepatuhan minum OAT.

Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8) adalah instrumen yang digunakan untuk

menilai kepatuhan terapi. Pada awalnya kuesioner ini dibuat untuk membantu para praktisi

memprediksi kepatuhan pasien dalam pengobatan hipertensi. Kuesioner dengan 4

pertanyaan ini dapat mengukur ketidakpatuhan yang disengaja maupun yang tidak disengaja

antara lain lupa, kecerobohan, menghentikan pengobatan karena merasa kondisi memburuk.

Morisky Medication Adherence Scale merupakan kuesioner yang memiliki reliabilitas dan

validitas yang tinggi. Beberapa penelitian kemudian memperluas aplikasi dari instrumen ini
39
agar dapat digunakan untuk mengukur kepatuhan pada penyakit kronik lainnya seperti DM

dan obstruksi saluran pernafasan (Hasmi dkk., 2007).

Tingkat kepatuhan penggunaan obat berdasarkan self report pasien yang dinilai dengan

kuesioner MMAS-8 lebih bisa menangkap hambatan yang berhubungan dengan kebiasaan

kepatuhan penggunaan obat. Kuesioner ini tersusun atas 8 pertanyaan dan kategori respon

terdiri dari jawaban ya atau tidak dan 5 skala likert untuk satu item pertanyaan terakhir. Nilai

kepatuhan penggunaan obat MMAS-8 adalah 8 skala untuk mengukur kebiasaan

penggunaan obat dengan

rentang 0 sampai 8 dan dikategorikan menjadi 3 tingkatan kepatuhan yaitu kepatuhan tinggi

(nilai=8), kepatuhan sedang (nilai=6-7) dan kepatuhan rendah (nilai=<6) (Morisky dkk.,

2008).

3.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.5.1 Variabel penelitian

Data dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas (independent) dan variabel

terikat (dependent). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan tentang

TB Paru. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kepatuhan minum obat

antituberkulosis (OAT).

3.5.2 Definisi operasional

a. Pengetahuan tentang TB Paru adalah kemampuan responden untuk menjawab pertanyaan

tentang penyakit TB Paru yang meliputi pengertian, penyebab, tanda dan gejala,

penularan, dan penatalaksanaannya. Untuk mengetahui hal tersebut responden diberi

kuesioner yang terdiri dari 10 pertanyaan. Tingkat pengetahuan penderita TB Paru tentang

penyakit TB Paru diukur dengan Skala Ordinal berdasarkan persentase jawaban benar

40
dengan kategori tinggi, sedang, rendah.

b. Kepatuhan minum obat antituberkulosis adalah sejauh mana pasien teratur dalam minum

obat antituberkulosis berdasarkan hasil pengisian kuesioner, kemudian dikategorikan

tinggi, sedang, rendah.

3.6 Teknik pengolahan dan analisis data

3.6.1 Uji Validitas dan Reliabilitas

3.6.1.1 Uji Validitas

Validitas merupakan pernyataan tentang sejauh mana alat ukur (pengukuran,

tes, instrumen) mengukur apa yang memang sesungguhnya hendak diukur

(Notoatmodjo, 2002). Untuk mengukur uji validitas kuesioner dilakukan dengan

membandingkan antara r tabel dan r hitung. Untuk mengukur uji validitas kuesioner

dilakukan dengan membandingkan antara antara rtabel dan rhitung. Jika rhitung >

rtabel maka dinyatakan valid, dan jika rhitung < rtabel maka instrumen tidak valid.

3.6.1.2 Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah ukuran yang menunjukkan sejauhmana hasil pengukuran

tetap sama bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama

(Notoatmodjo, 2002). Untuk menguji reliabilitas dengan membandingkan nilai

Cronbach Alpha, jika nilai Cronbach Alpha lebih besar dari 0,600 maka pertanyaan

kuesioner dapat dikatakan reliabel.

3.6.2 Penilaian kuesioner

3.6.2.1 Pengetahuan

41
Bentuk kuesioner yang digunakan adalah pernyataan Benar (B) dan S (Salah)

dengan jumlah 16 item pertanyaan. Pertanyaan dibuat dalam 2 tipe yaitu favourable

dan unfavourable terhadap objek. Untuk kepentingan analisis kuantitatif maka setiap

jawaban diberi skor untuk item favourable B (Benar) bernilai 1 dan S (salah) bernilai

0. Sedangkan untuk penskoran data item unfafourable B (Benar) bernilai 0 dan S

(Salah) bernilai 1.

Kategori :

1) Tinggi : ≥ 75 %

2) Sedang : 55 – 75 %

3) Rendah : ≤ 55 %

Tabel 1. Item Kuesioner Tingkat Pengetahuan Pasien tentang Tuberkulosis Paru

Aspek yang dinilai Nomer Item Kuesioner Total


Favourable Unfavourable
a. Pengertian 3 - 1
b. Penularan 2, 14, 15 12 4
c. Penyebab 1 - 1
d. Tanda & Gejala 4, 6 5 3
e. Pengobatan 7, 16 8, 13 4
f. Pencegahan 10 9, 11 3

Total 16

Sebelum digunakan untuk penelitian, kuesioner tingkat pengetahuan yang berjumlah

16 item pertanyaan di uji validitasnya terlebih dahulu kepada 30 responden. Dan

hasilnya bahwa dari 16 item pertanyaan tersebut ada 6 item yaitu pertanyaan nomer

2, 4, 5, 6, 8 dan 14 yang dinyatakan tidak valid karena memiliki nilai r hitung < t

tabel.

42
Selanjutnya setelah di uji validitas nya lalu di uji reliabilitasnya. Dan hasilnya adalah

bahwa 10 item pertanyaan kuesioner tingkat pengetahuan dinyatakan reliabel dengan

didapatkan nilai cornbach alpha >0,60.

3.6.2.2 Kepatuhan minum OAT

Kuesioner ini tersusun atas 8 pertanyaan dan kategori respon terdiri dari

jawaban ya atau tidak dan 5 skala likert untuk satu item pertanyaan terakhir. Nilai

kepatuhan penggunaan obat MMAS-8 adalah 8 skala untuk mengukur kebiasaan

penggunaan obat dengan rentang nilai 0 sampai 8 dan dikategorikan menjadi 3

tingkatan kepatuhan yaitu kepatuhan tinggi (nilai=8), kepatuhan sedang (nilai=6-7)

dan kepatuhan rendah (nilai=<6) (Morysky dkk., 2008).

Kategori respon terdiri dari ya atau tidak untuk item pertanyaan nomor 1 sampai

7. Pada item pertanyaan nomor 1-4 dan 6-7 nilai 1 bila jawaban tidak dan 0 bila

jawaban ya sedangkan item pertanyaan nomor 5 dinilai 1 bila jawaban ya dan 0 bila

jawaban tidak. Item pertanyaan nomor 8 dinilai dengan 5 skala likert dengan nilai

1=tidak pernah, 0,75=sesekali, 0,5=kadang-kadang, 0,25=biasanya dan 0=selalu

(Mulyani, 2012).

3.7 Hubungan tingkat pengetahuan dan kepatuhan

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan komputasi SPSS 15.0 for windows.

3.7.1 Uji univariat

Uji ini dilakukan untuk mengetahui distribusi dan presentasi dari variabel tingkat

pengetahuan tentang TB Paru dan kepatuhan minum OAT.

43
3.7.2 Uji bivariat

Untuk menguji hubungan antara variabel tingkat pengetahuan penderita tentang

penyakit TB Paru dengan kepatuhan minum OAT menggunakan uji statistik korelasi Pearson

Product Moment dengan tingkat kemaknaan sebesar 95%. Uji ini digunakan untuk menguji

variabel bebas (pengetahuan tentang TB Paru) dan variabel terikat (kepatuhan minum OAT).

Tingkat kuat dan lemahnya korelasi dapat dilihat melalui rentang nilai KK (Sugiyono, 1999)

yaitu Korelasi sangat lemah = 0,000 – 0,199; korelasi lemah = 0,2 – 0,399; korelasi sedang =

0,4– 0,599; korelasi kuat = 0,6 – 0,799; dan korelasi sangat kuat = 0,8 – 0,999.

3.8 Alur kegiatan

Pasien Tuberkulosis Melakukan analisis


Pengolahan data dan kesimpulan atas
hasil yang didapatkan

Datang ke Puskesmas Dilakukan dengan


Sidayu periode bulan memberi kuesioner
Agustus - September tentang pengetahuan
2019 dan kepatuhan
minum obat anti
tuberkulosis

Pasien Yang datang


ke Poli TB Bersedia menjadi
subjek penelitian

44
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Uji Validitas Kuesioner

Sebelum digunakan dalam penelitian, kuesioner disebarkan kepada 30 orang responden non

sampel penelitian, dengan tetap memenuhi kriteria inklusi. Kuesioner ini diuji validitas dan

reliabilitasnya dengan menggunakan program SPSS dengan melihat nilai pearson correlation.

Pertanyaan dinyatakan valid apabila nilai r hitung > r tabel yaitu 0,3061. Berikut ini adalah hasil uji

validitas kuesioner penelitian.

Tabel 1. Hasil Uji Validitas Kuesioner Tingkat Pengetahuan

No Pertanyaan r hitung r tabel Keterangan


Item
1 Infeksi kuman mycobakterium TB selalu menyebabkan orang 0,787 0,3061 Valid
menderita penyakit TB Paru.
2 Orang yang tinggal serumah dengan penderita TB paru mudah 0,236 0,3061 Tidak Valid
tertular.
3 Penyakit TB paru hanya dapat menyerang bagian paru saja. 0,515 0,3061 Valid
4 Berkeringat pada malam hari tanpa melakukan kegiatan bukan 0,172 0,3061 Tidak Valid
merupakan gejala dari penyakit TB paru.
5 Penderita TB yang sering influenza perlu diwaspadai menderita Tb 0,188 0,3061 Tidak Valid
paru.
6 Orang yang gejala batuk terus-menerus dan berdahak 3 minggu 0,194 0,3061 Tidak Valid
bisa langsung di obati sebagai penderita TB paru.
7 Lama pengobatan terhadap TB paru adalah 6 bulan. 0,515 0,3061 Valid
8 Apabila pengobatan di hentikan sebelum waktunya, obat dapat di 0,291 0,3061 Tidak Valid
lanjutkan jika batuk kambuh lagi.
9 Pemberantasan penyakit TB paru hanya tanggung jawab 0,644 0,3061 Valid
departement kesehatan saja.
10 Kebersihan lingkungan dapat menurunkan resiko penularan. 0,745 0,3061 Valid
11 Perbaikan gizi masyarakat tidak ada pengaruhnya terhadap 0,320 0,3061 Valid
pencegahan penyakit.
12 Penyakit TB paru merupakan penyakit yang tidak bisa 0,371 0,3061 Valid
disembuhkan.
13 Penderita TB paru tidak perlu patuh dalam berobat dan minum 0,392 0,3061 Valid
obat.
14 Penularan penyakit TB paru dapat melalui peralatan makan dan 0,236 0,3061 Tidak Valid
minum.
15 Penularan penyakit TB paru dapat melalui percikan dahak 0,787 0,3061 Valid
penderita yang terhisap oleh orang lain.
16 Jenis pengobatan yang saya jalani sekarang adalah pengobatan 0,787 0,3061 Valid
jangka panjang.
Item pertanyaan yang valid dilihat jika r hitung positif dan r hitung > r tabel, sebaliknya item

pertanyaan dikatakan dikatakan tidak valid jika r hitung negatif dan r hitung < r tabel (Ghozali,

45
2007). Butir item kuesioner tingkat pengetahuan tentang TB Paru yang terdiri atas 16 pertanyaan

tidak semuanya valid. Ada beberapa pertanyaan yang menunjukkan hasil tidak valid, yaitu

pertanyaan nomor 2, 4, 5, 6, 8 dan 14. Butir item tidak valid dapat terjadi karena tidak adanya

perbedaan jawaban dari responden dan nilai r hitung < r tabel yaitu <0,3061 maka dari itu item yang

tidak valid tidak digunakan sebagai data penelitian.

Tabel 2. Hasil Uji Validitas Kuesioner Kepatuhan Minum OAT

No Pertanyaan r hitung r tabel Keterangan


Item
1 Apakah anda kadang-kadang lupa menggunakan obat atau 0,486 0,3061 Valid
minum obat untuk penyakit anda?
2 Orang kadang-kadang tidak sempat minum obat bukan karena 0,486 0,3061 Valid
lupa. Selama 2 pekan terakhir ini, pernahkah anda dengan
sengaja tidak menggunakan obat atau meminum obat anda?
3 Pernahkah anda mengurangi atau berhenti menggunakan obat 0,576 0,3061 Valid
atau minum obat tanpa memberitahu dokter anda karena anda
merasa kondisi anda tambah parah ketika menggunakan obat
atau meminum obat tersebut?
4 Ketika anda pergi berpergian atau meninggalkan rumah, 0,576 0,3061 Valid
apakah anda kadang-kadang lupa membawa obat anda?
5 Apakah anda menggunakan obat anda atau minum obat 0,576 0,3061 Valid
kemarin ?
6 Ketika anda merasa agak sehat, apakah anda juga kadang 0,337 0,3061 Valid
berhenti menggunakan obat atau meminum obat?
7 Minum obat setiap hari merupakan hal yang tidak 0,486 0,3061 Valid
menyenangkan bagi sebagian orang. Apakah anda pernah
merasa terganggu dengan kewajiban anda terhadap
pengobatan tuberkulosis yang harus anda jalani?
8 Seberapa sering anda mengalami kesulitan menggunakan obat 0,549 0,3061 Valid
atau minum semua obat anda?
 Tidak pernah/jarang
 Sekali-kali
 Kadang-kadang
 Biasanya
 Selalu

Berdasarkan hasil analisis uji validitas semua item pertanyaan dalam kuesioner MMAS-8

dinyatakan valid karena nilai r hitung > r tabel. Semua item pertanyaan dapat digunakan untuk

mengukur kepatuhan minum OAT.

4.2 Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner

Berdasarkan hasil analisis uji reliabilitas terdapat 10 item pertanyaan yang dapat digunakan

untuk mengukur tingkat pengetahuan pasien dengan total nilai Cornbach Alpha sebesar 0,824 dan

46
8 pertanyaan untuk mengukur kepatuhan minum OAT dengan total nilai Cornbach Alpha 0, 688

dikatakan reliabel, karena variabel dikatakan reliabel jika nilai Cornbach Alpha >0,60 (Ghozali,

2007).

4.3 Karakteristik Responden

Responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah penderita Tuberkulosis Paru di

Puskesmas Sidayu Gresik, Jawa Timur, yaitu sebanyak 32 orang responden. Dari keseluruhan

responden yang ada, diperoleh gambaran mengenai karakteristiknya meliputi : usia, pendidikan,

jenis kelamin dan pekerjaan responden. Data mengenai karakteristik responden dapat dilihat pada

tabel-tabel dibawah ini :

4.4 Usia Responden

Karakteristik umur responden dikelompokkan berdasarkan kategori usia menurut Depkes RI,

2009 yaitu remaja awal = 12-16 tahun, remaja akhir = 17-25 tahun, dewasa awal = 26-35 tahun,

dewasa akhir = 36-45 tahun, lansia awal = 46-55 tahun, lansia akhir = 56-65 tahun, dan manula =

66-75 tahun. Hasil pada saat penelitian dapat dilihat pada gambar 1.

47
Gambar 1. Distribusi Usia Responden di Puskesmas Sidayu Gresik

Dari data di atas menunjukkan bahwa responden yang paling banyak adalah responden

yang berumur >45 tahun sebanyak 16 responden (50%). Responden masuk dalam rentang

usia produktif. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)

tahun 2013, bahwa penduduk usia produktif adalah penduduk yang berusia 15 hingga 59

tahun. Sedangkan menurut Undang-Undang Tenaga Kerja No. 13 tahun 2003, bahwa

penduduk usia produktif adalah yang berusia 15-64 tahun yang sudah mempunyai

pekerjaan, maupun yang sedang mencari pekerjaan.

Di Indonesia setiap tahun ditemukan 528.000 penderita baru TB dengan angka kematian

41 orang/10.000 sebagian besar penderita TB atau sebesar 75% adalah penduduk usia

produktif antara 15-49 tahun (Yoga, 2007). Faktor usia diduga kuat memiliki hubungan

dengan terjadinya kasus penyakit Tuberkulosis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

sekitar 75% penderita Tuberkulosis adalah kelompok usia produktif (15-50) tahun. Orang-

orang pada usia produktif biasanya memiliki lebih banyak aktivitas yang mengharuskan

48
bertemu dengan banyak orang sehingga kemungkinan tertular dari penderita lain juga lebih

besar (Depkes RI, 2002).

4.5 Pendidikan Responden

Untuk mengetahui data karakteristik pendidikan responden dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Distribusi Pendidikan Responden di Puskesmas Sidayu Gresik


Dari hasil analisis yang didapatkan bahwa persentase yang paling banyak yaitu pada responden

yang memiliki tingkat pendidikan SD dan SMP, yaitu pendidikan yang termasuk rendah. Wilkinson

dkk tahun 2007, membuktikan pendidikan rendah tidak selalu berhubungan dengan rendahnya

kepatuhan. Hubungan tingkat pendidikan dengan pengetahuan TB dan dampaknya terhadap

kepatuhan berobat bervariasi diberbagai negara. Hal ini sejalan dengan penelitian Suswanti (2007)

bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan minum obat pada penderita

TB Paru.

4.6 Jenis Kelamin Responden

Untuk mengetahui data karakteristik jenis kelamin responden dapat dilihat pada gambar 3.

49
Gambar 3. Distribusi Jenis Kelamin Responden di Puskesmas Sidayu Gresik

Pada data di atas menunjukkan bahwa responden yang paling banyak adalah Laki-Laki

sebanyak 18 responden (56.3 %), sedangkan pada Perempuan ada 14 responden (43,8 %). Menurut

hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Rokhmah pada tahun 2010, bahwa perbedaan gender

berdampak pada angka kejadian Tuberkulosis, baik pada proses penemuan kasus, diagnosis,

maupun pengobatan.

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan apa yang dilakukan Suswanti (2007) di kabupaten

Jember yang menyatakan bahwa sebanyak 55% penderita TB Paru adalah perempuan yang

sebagian besar respondennya berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Di negara berkembang, dari

sebagian besar keluarga miskin diperoleh fakta bahwa dalam proses memasak makanan, perempuan

banyak terpapar oleh asap dari kayu bakar di dalam ruang. Hal ini meningkatkan kejadian TB pada

perempuan miskin di negara berkembang (ACTION, 2010). Karena peran yang dominan di rumah

tangga, perempuan miskin banyak berdiam di rumah dengan pencahayaan dan ventilasi yang buruk.

Kondisi ini menambah risiko terinfeksi Tuberkulosis.

50
4.7 Pekerjaan Responden

Untuk mengetahui data karakteristik pekerjaan responden dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Distribusi Pekerjaan Responden di Puskesmas Sidayu Gresik

Pada responden yang terkena penyakit Tuberkulosis Paru ada yang bekerja dan ada yang tidak

bekerja, responden yang bekerja sebanyak 14 orang (43,8%) dan 18 orang yang tidak bekerja

(56,3%). Dari hasil tersebut persentase lebih besar responden yang tidak bekerja dan presentase

lebih kecil adalah pada responden yang bekerja.

Hasil ini sesuai dengan usia dari responden yang kebanyakan dalam usia dewasa tua dan

dalam keadaan sakit, sehingga responden lebih memilih istirahat dan berhenti bekerja (Azhari,

2015). Berdasarkan penelitian Nurpadillah (2015), bahwa penderita yang tidak bekerja memiliki

pengetahuan lebih tinggi dan memiliki banyak waktu untuk mendapatkan informasi dari petugas

kesehatan maupun tetangga sedangkan yang memiliki pekerjaan kadang lalai karena sibuk kerja

sehingga lupa akan penyakitnya.

51
4.8 Tingkat Pengetahuan Penderita tentang Tuberkulosis Paru

Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan tentang Tuberkulosis Paru

No Tingkat Pengetahuan Jumlah Responden Presentase (%)


1 Tinggi 25 78.125
2 Sedang 5 15.625
3 Rendah 2 6.25
Jumlah 32 100,00

Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa responden Tuberkulosis Paru di

Puskesmas Sidayu, Gresik, Jawa Timur mempunyai tingkat pengetahuan yang baik yaitu sebanyak

25 responden (78,125%) masuk dalam kategori tingkat pengetahuan tinggi, lalu sebanyak 5

responden (15,625%) masuk dalam kategori tingkat pengetahuan sedang dan hanya 2 responden

(6,25%) yang masuk dalam kategori pengetahuannya rendah.

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan

terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yaitu indra

penglihatan, indra pendengaran, penciuman, rasa dan raba dimana sebagian besar pengetahuan

manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003). Para responden di Puskesmas

Sidayu , Gresik , Jawa Timur dari segi riwayat pendidikan yang mereka miliki sebagian besar yaitu

tingkat SD dan SMP. Meskipun pendidikan mereka tidak sampai ke tingkat tinggi namun mereka

selalu mendapatkan informasi yang cukup mengenai pencegahan dan penanggulangan penyakit

Tuberkulosis Paru yang diperoleh dari bimbingan yang diberikan oleh petugas kesehatan setempat.

Seperti yang telah dikemukakan oleh Notoatmodjo (2003) bahwa banyaknya informasi yang pernah

diperoleh oleh individu dapat menjadikan individu tersebut kaya dengan pengetahuan. Ada

beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan masyarakat salah satunya adalah

informasi, sehingga penderita mengetahui dengan jelas akan bahaya penyakit Tuberkulosis Paru.

52
Hal inilah yang menyebabkan tingkat pengetahuan penderita Tuberkulosis Paru mengenai penyakit

Tuberkulosis Paru tinggi.

4.9 Kepatuhan Minum Obat Antituberkulosis Paru (OAT)

Tabel 4. Distribusi Frekuensi dan Presentase Responden Berdasarkan Kepatuhan Minum OAT

No Kepatuhan Minum OAT Jumlah Presentase (%)


1 Tinggi 30 93.75
2 Sedang 2 6.25
3 Rendah 0 0
Jumlah 32 100,00

Data di atas menunjukkan bahwa responden yang memiliki tingkat kepatuhan minum obatnya

tinggi sebanyak 31 responden (93.75%), tingkat kepatuhannya sedang sebanyak 2 responden

(6.25%) dan responden dengan tingkat kepatuhan minum obatnya rendah sebanyak 0 responden

(0%).

Kepatuhan dalam minum OAT sangat berperan penting dalam proses penyembuhan penyakit

Tuberkulosis Paru, sebab hanya dengan meminum obat secara teratur dan patuh maka penderita

Tuberkulosis Paru akan sembuh secara total. Menurut Niven (2002) menyebutkan bahwa kepatuhan

sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap agar menjadi biasa dengan perubahan dengan

mengatur, meluangkan waktu dan kesempatan yang dibutuhkan untuk menyesuaikan diri.

Kepatuhan terjadi bila aturan pakai obat yang diresepkan serta pemberiannya diikuti dengan benar.

Menurut Soeparman (1995) ada beberapa hal yang menyebabkan penderita menghentikan minum

obat di antaranya adalah 1) Adanya rasa bosan yang disebabkan pengobatan yang begitu lama, 2)

Sudah merasa sehat setelah mendapat pengobatan beberapa lama lalu menghentikan

pengobatannya, 3) Kesadaran penderita masih kurang karena kurangnya pengetahuan tenntang

53
Tuberkulosis Paru, dan 4) Jarak yang terlalu jauh antara rumah penderita dengan Puskesmas Sidayu

Gresik

4.10 Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Tuberkulosis Paru dengan Kepatuhan

Minum OAT

Dari hasil analisa data menggunakan Pearson Moment Product dengan program SPSS

for windows versi 15.0 dengan tingkat kepercayaan 95% atau  : 0,05 diperoleh hasil seperti

terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Kepatuhan Minum OAT

Variabe p Nilai Korelasi (r)


l Value
Tingkat Pengetahuan

Kepatuhan Minum 0,000 (< 0,05) 1,00


OAT 0

Nilai p value menunjukkan hasil 0,000 (< 0,05) dan nilai korelasi (r) = 1,000 yang berarti bahwa

ada hubungan (korelasi) yang sangat kuat antara tingkat pengetahuan penderita Tuberkulosis Paru

dengan kepatuhan minum OAT di Puskemas Sidayu, Gresik, Jawa Timur. Interpretasi angka

korelasi menurut Sugiyono (1999) adalah sebagai berikut: 0,000 – 0,199 korelasi sangat rendah;

0,200 – 0,399 korelasi rendah; 0,400 – 0,599 korelasi sedang; 0,600 – 0,799 korelasi kuat; dan 0,800

– 1,000 korelasi sangat kuat. Hal ini berarti secara statistik dapat disimpulkan bahwa ada hubungan

bermakna antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan minum OAT, bahwa semakin tinggi

pengetahuan seseorang tentang Tuberkulosis Paru akan

54
berpengaruh terhadap kesadaran yang selanjutnya pada perilakunya, dalam hal ini penderita

Tuberkulosis Paru yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik mempunyai kesadaran dan

pandangan positif mengenai pentingnya pengobatan yang teratur sampai selesai, yang pada

akhirnya bisa mengalami kesembuhan yang optimal (Sukrisno, 2008).

Responden di Puskemas Sidayu, Gresik, Jawa Timur mempunyai Tingkat pengetahuan yang

sudah termasuk kategori baik, hal ini dikarenakan setiap kali ditemukan kasus baru mengenai

Tuberkulosis Paru selalu diberi penyuluhan kepada penderita sehingga penderita tidak mengalami

drop out selama menjalani pengobatan. Selain itu, pasien yang telah dinyatakan sembuh diberi

reward seperti payung sebagai hadiah atas kesembuhannya dan telah patuh menjalankan

pengobatan Tuberkulosis Paru selama 6 bulan.

Pengetahuan penderita tentang Tuberkulosis Paru berperan dalam hal proses kesembuhan

penderita sendiri. Penderita mengetahui bahwa jika tidak patuh dalam mengikuti regimen

pengobatan selama 6 bulan justru akan menyebabkan resistensi terhadap obat Tuberkulosis Paru

dan akan menambah sumber penularan penyakit Tuberkulosis Paru.

Salah satu faktor yang berperan dalam keberhasilan pengobatan penderita Tuberkulosis Paru

adalah pengetahuan penderita Tuberkulosis paru tentang penyakit TB Paru dan pengobatannya,

bagaimana pengetahuan dan sikap penderita TB Paru setelah diketahui ia enderita TB Paru,

bagaimana penularan penyakit TB Paru dan bagaimana pengobatannya. Sehingga timbul kesadaran

dan kepatuhan untuk minum OAT dalam program pengobatan TB Paru agar ia dapat sembuh dan

sehat kembali, serta tidak menularkan kepada orang lain (Sukrisno, 2008).

4.11 Keterbatasan penelitian

Penelitian yang dilakukan memiliki keterbatasan dimana pada hasil uji validitas kuesioner

tingkat pengetahuan, tidak semua item kuesioner dinyatakan valid. Dalam kuesioner terdapat 6

55
aspek yaitu pengertian, penularan, penyebab, tanda & gejala, pengobatan dan pencegahan.

Setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas ternyata terdapat aspek yang hilang karena

dinyatakan tidak valid dan tidak reliabel, yaitu aspek tanda & gejala. Maka peneliti tidak

bisa memasukkan item pertanyaan mengenai aspek tanda & gejala, sehingga tidak ada

item pertanyaan mengenai tanda & gejala TB Paru dalam kuesioner tingkat pengetahuan.

Dampaknya adalah item kuesioner tingkat pengetahuan tidak memiliki kelengkapan

berbagai aspek pengetahuan tentang TB Paru.

56
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut :

1. Responden yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi sebesar 78.125%, tingkat

pengetahuan sedang sebesar 15.625% dan tingkat pengetahuan rendah sebesar

6.25%.

2. Tingkat kepatuhan minum OAT pasien Tuberkulosis Paru tinggi sebesar 93.75%,

tingkat kepatuhan sedang sebesar 6.75% dan tingkat kepatuhan rendah 0%.

3. Ada hubungan yang sangat kuat dan bermakna antara Tingkat Pengetahuan

penderita tentang penyakit Tuberkulosis Paru dan kepatuhan minum OAT.

5.2 Saran

1. Bagi tenaga kesehatan

Memberikan informasi kepada pasien TB Paru mengenai pentingnya pengetahuan

kepatuhan minum obat agar mengoptimalkan hasil terapi.

2. Peneliti Selanjutnya

- Kuesioner tingkat pengetahuan perlu dipersiapkan dengan baik agar dapat

mengukur pengetahuan responden terkait semua aspek TB Paru secara lengkap.

Yaitu dengan memperbaiki kata-kata dalam item kuesioner yang tidak valid.

- Melihat hubungan faktor-faktor lain terhadap peningkatan kepatuhan pasien TB

Paru untuk mengoptimalkan terapi TB Paru. Seperti karakteristik responden

(usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin dan pekerjaan) terhadap kepatuhan


57
minum OAT.
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, 2004, Hubungan Pengetahuan dan Sikap Penderita TB Paru dalam Pengobatan
Fase Pendek (6 Bulan) di Poliklinik RS Sardjito Yogyakatra, Skripsi, Program
Studi Keperawatan FK UGM, Yogyakarta.

Amin, Zulkifli, Asril Bahar, 2006, Tuberkulosis Paru, Dalam : Sudoyo, Aru W, Bambang
setyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata & Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK
UI.

Ariani, Devi, 2003, Hubungan Penetahuan Penderita TB Paru dengan Kepatuhan Dalam
Program TB Paru di Puskesmas Teladan Medan, Skripsi, Program Studi
Keperawatan USU.

Avianty, 2005, Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Minum Obat
Pasien TB Paru Pada Fase Intensif Di RS Umum Cibabat Cimahi. Dalam
Budiman, Novie, Dewi, Skripsi, STIKes A. Yani Cimahi.

Azhari, M. Reza, 2015, Hubungan Antara Pengobatan Tuberkulosis Pada Pasien


Tuberkulosis dengan Gizi Kurang Terhadap Kejadian Hepatitis Imbas Obat di
Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakata, Skripsi, Program Studi
Pendidikan Dokter, UMS.

Budiman, Novi, Dewi, 2010, Analisis Faktor yang berhubungan dengan keparuhan
minum obat pasien TB Paru pada fase intensif Di Rumah Sakit Umum Cibabat
Cimahi, Skripsi, STIKes A. Yani, Cimahi.

Departemen Kesehatan RI, 2002, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis


Cetakan ke- 8, Ditjen Bina Farmasi & Alkes, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2005, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberkulosis,


Ditjen Bina Farmasi & Alkes, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2007, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis,


Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2008, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis


Cetakan ke- 2, Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,
Jakarta.

Dhiyantari, Reqki, Dewi, Aryani, 2009, Gambaran Kepatuhan Minum Obat


Pada Penderita Tuberkulosis 58 Paru di Wilayah Kerja Puskesmas
Bebandem, Karangasem, Skripsi, Program Studi Pendidikan Dokter
Universitas Udayana, Bali.

Djarwanto dan Subagyo, P., 1998, Statistik Induktif Edisi Keempat, BPFE, Yogyakarta.
Dusing, Rainer, Katja Lottermoser & Thomas Mengden, 2001, Compliance to drug
therapy – new answer to an old question. Nephrol Dial Transpl, 16, 1317-1321.

Ghozali, I., 2007, Analisis Multivariate SPSS, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang.

Hartati, E., 2011, Hubungan Antara Pengetahuan Pengawas Menelan Obat (PMO)
Tentang Tuberkulosis Paru dengan Kejadian Putus Berobat (default) di Poliklinik
Paru RSUD “45” Kuningan, Skripsi, STIKes Kuningan.

Hardijan, Rusli, 2004, Hukum Ketenagakerjaan 2003, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Hayati, A., 2011, Evaluasi Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru Tahun 2010-
2011 Di Puskesmas Kecamatan Pancoran Mas Depok, Skripsi. FMIPA UI,
Jakarta.

Hashmi, S.K., Afriadi, M.B Abbas, K., Sajwani, R.A and Saleheen, D., 2007, Factor
Associated with Adherence to Antyhypertensive Treatment in Pakistan, Plos
One, 2 : 280.

Istiantoro, Yati H, Rianto Setiabudy, 2009, Tuberkulostatik dan Lemprostik. Dalam


Gunawan, Sulistia G, Rianto Setiabudy, Nafrialdi, & Elysabeth. Farmakologi dan
Terapi Edisi 5, Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, Jakarta.

Kementrian Kesehatan RI, 2013, Laporan Akuntabilitas Kinerja Kementerian Kesehatan


Tahun 2013, Kemenkes RI, Jakarta.

Kementrian Kesehatan RI, 2014, Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosi 2014,


Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta.

Kementrian Kesehatan RI, 2011, Pedoman Pelaksanaan hari TB Sedunia 2011, Ditjen
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta.

Mulyani, 2012, Analisis Kepuasan Cara Terapi Berbasis Insulin pada Pasien DM Tipe 2
di Poliklinik Endokrinologi RSUP DR Sardjito Yogyakarta, Tesis, Program Pasca
Sarjana UGM, Yogyakarta.

Morisky, D.E., Ang, A., krousel-Woos, M.A., And Ward, H., 2008, Predictive Validity
of a Medication Adherence Measure in an Outpatient Setting, J. Clin.Hyperten,
10348-354.
59
Niven, N., 2002, Psikologi Kesehatan : Pengantar untuk Perawat dan Profesional
Kesehatan Lain Edisi 2, EGC, Jakarta.

Nurjana, Made A., 2015, Faktor Risiko Terjadinya Tuberkulosis Paru Usia Produktif (15-
49 tahun) di Indonesia, Skripsi, Media Litbangkes, vol. 25 No. 3.
Nurpadillah, 2015, Gambaran Pengetahuan Penderita TB Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Rappokalling Makassar, Skripsi, Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Hasanuddin, Makassar.

Notoatmojo, S., 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Cetakan I, Rineke Cipta,
Jakarta.

, 2005, Metode Penelitian Kesehatan, Rineke Cipta, Jakarta.

, 2007, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Rineka Cipta, Jakarta.

Piyoto, A.J., 2013, Menjadi Produktif di Usia Produktif, Direktorat Kerjasama


Pendidikan Kependudukan BKKBN, Jakarta.

Purnomo, E., 2009, Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Pasien Tuberkulosis (TB)
Dengan Kepatuhan Penataksanaan Tuberkulosis (TB) Di Kecamatan Umbulharjo
Yogyakarta, Skripsi, Program Studi Keperawatan UMY, Yogyakarta.

Ratnawati, 2009, Penelitian Tindakan Dalam Bidang Pendidikan dan Sosial, Bayu
Media Publishing, Mojokerto.

Rokhmah, D., 2010, Gender dan Penyakit Tuberkulosis : Implikasinya Terhadap Akses
Layanan Kesehatan Masyarakat Miskin yg Rendah, Skripsi,Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Jember, Jember.

Sabate E, 2001, WHO Adherence Meeting Report, World Health Organization,

Geneva. Smet, Bart, 1994, Psikologi Kesehatan, PT. Grasindo, Jakarta.

Soeparman, 1995. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kedua, Jakarta : Balai Penerbit UI.

Sudiantara, Wahyuni, Harini, 2014, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Peningkatan


Kasus TB Paru, Skripsi, Program Studi Keperawatan Politeknik Kesehatan
Denpasar, Bali.

Sugiyono, 1999, Statistika Untuk Penelitian Bisnis, Alfabeta, Bandung.

60
Sukrisno, A., 2000, Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Tuberkulosis Paru Dengan
Keteraturan Minum OAT Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di Puskesmas
Pracimantoro I Tahun 2008, Skripsi, Stikes Surya Global, Yogyakarta.
Sukardja, 2004, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesembuhan Penderita TB Paru.
Dalam Masniari, Priyanti, Aditama, Departemen Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi FK UI, Jakarta.

Suswanti, E., 2007, Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru di Kabupaten Jember,


Biomedis 2007, Vol.1, No.1.

Suyo, J., 2010, Herbal Penyembuh Gangguan Sistem Pernafasan, B First,

Yogyakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan.

University of South Australia. 1998. Patient Compliance.


http://www.unisanet.unisa.edu.au diakses pada tanggal 23 Mei 2015.

Utami, A. S, 2009. Mayoritas Usia Penderita TB Paru Berdasarkan Hasil Pemeriksaan


Radiologi di Bagian Radiologi RSUP.DR. Sardjito, Skripsi, Fakultas Kedokteran
UGM, Yogyakarta.

Wilkinson, M. Judith, 2007, Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC
dan Kriteria Hasil NOC, EGC, Jakarta.

World Health Organization, 2003, Adherence to Long-Term Therapies Evidence for


Action,

World Health Organization, Geneva.

World Health Organization Report, 2013, Global Tuberculosis Control, World Health
Organization, Geneva.

Yuliani, A. 2014. Analisis Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat Antidiabetes Serta


Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan Pasien Diabetes Mellitus
Tipe 2 Di Instalasi Rawat Jalan RS PKU Muhammadiyah Bantul, Skripsi,
Farmasi UMY, Yogyakarta.

Yoga, T., 2007, Diagnosis TB Pada Anak Lebih Sulit. Mediakom Info Sehat Untuk
Semua, Departemen Kesehatan, Jakarta.

61
Lampiran 1. Identitas Pasien

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TUBERKULOSIS


PARU TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT ANTITUBERKULOSIS
(OAT) PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS
SIDAYU GRESIK

Tanggal pengisian kuesioner :


...................................
IDENTITAS RESPONDEN
Nama
Umur
Jeniskelamin
Pekerjaan
Pendidikan
Alamat
:rumah

Gresik, September 2019


Responden

(.....................................)

62
Lampiran 2. Kuesioner Tingkat Pengetahuan

KUESIONER TINGKAT PENGETAHUAN

Petunjuk pengisian :

Dibawah ini terdapat beberapa pertanyaan tentang penyakit

tuberkulosis, mohon diisi sesuai dengan pengetahuan anda dengan

cara memberi tanda silang (X) pada kotak yang telah tersedia. Pilih B

jika pernyataan tersebut anda anggap benar dan pilih S jika

pernyataan tersebut anda anggap salah.

Keterangan : B :
BENAR S :
SALAH

NO PERTANYAAN JAWABAN
B S
1 Infeksi kuman mycobakterium TB selalu
menyebabkan orang menderita penyakit
TB Paru.
2 Penyakit TB paru hanya dapat menyerang
bagian paru saja.
3 Lama pengobatan terhadap TB paru adalah
6 bulan.
4 Pemberantasan penyakit TB paru hanya
tanggung jawab departement kesehatan

63 saja.
5 Kebersihan lingkungan dapat menurunkan
resiko penularan.
6 Perbaikan gizi masyarakat tidak ada
pengaruhnya terhadap pencegahan
penyakit.

7 Penyakit TB paru merupakan penyakit


yang tidak bisa disembuhkan.
8 Penderita TB paru tidak perlu patuh dalam
berobat dan minum obat.
9 Penularan penyakit TB paru dapat melalui
percikan dahak penderita yang terhisap
oleh orang lain.
10 Jenis pengobatan yang saya jalani sekarang
adalah pengobatan jangka panjang.

64
Lampiran 3. Kuesioner MMAS-8

Kuesioner
MMAS-8
Petunjuk : tandai √ pada kolom yang sesuai pilihan jawaban.
No Pertanyaan Jawaban
Ya Tidak
1 Apakah anda kadang-kadang lupa
menggunakan obat atau minum obat
untuk penyakit anda?
2 Orang kadang-kadang tidak sempat
minum obat bukan karena lupa.
Selama 2 pekan terakhir ini, pernahkah
anda dengan sengaja tidak
menggunakan obat atau meminum
obat anda?
3 Pernahkah anda mengurangi atau
berhenti menggunakan obat atau
minum obat tanpa memberitahu dokter
anda karena anda merasa kondisi anda
tambah parah ketika menggunakan
obat atau meminum obat tersebut?
4 Ketika anda pergi berpergian atau
meninggalkan rumah, apakah anda
kadang-kadang lupa membawa obat
anda?
5 Apakah anda menggunakan obat anda
atau minum obat kemarin ?
6 Ketika anda merasa agak sehat, apakah
anda juga kadang berhenti
menggunakan obat atau meminum
obat?
7 Minum obat setiap hari merupakan hal
yang tidak menyenangkan bagi
sebagian orang. Apakah anda pernah
merasa terganggu dengan kewajiban
anda terhadap pengobatan tuberkulosis
yang harus anda jalani?
8 seberapa sering anda mengalami kesulitan menggunakan obat
atau minum semua obat anda?
 Tidak pernah/jarang
 Sekali-kali
 Kadang-kadang 65
 Biasanya
 Selalu
67

Lampiran 6. Uji Validasi Kuesioner Tingkat Pengetahuan

P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13 P14 P15 P16 Total


P1 Pearson
Correlation 1 -,093 ,311 ,036 ,138 -,134 ,311 ,134 ,315 ,530** ,294 ,371* ,294 -,093 1,000** 1,000** ,787**
Sig. (2-tailed)
,626 ,094 ,849 ,466 ,481 ,094 ,481 ,090 ,003 ,115 ,043 ,115 ,626 ,000 ,000 ,000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P2 Pearson
Correlation -,093 1 -,141 -,122 -,141 ,695** -,141 ,174 ,337 ,263 -,073 -,034 ,473** 1,000** -,093 -,093 ,236
Sig. (2-tailed)
,626 ,456 ,522 ,456 ,000 ,456 ,359 ,069 ,161 ,702 ,856 ,008 ,000 ,626 ,626 ,209
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P3 Pearson
Correlation ,311 -,141 1 ,106 ,282 ,074 1,000** -,259 ,071 ,196 -,095 -,141 ,109 -,141 ,311 ,311 ,515**
Sig. (2-tailed)
,094 ,456 ,578 ,131 ,698 ,000 ,167 ,710 ,300 ,618 ,456 ,568 ,456 ,094 ,094 ,004
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P4 Pearson
Correlation ,036 -,122 ,106 1 -,045 -,175 ,106 ,029 -,017 ,000 -,257 -,122 ,171 -,122 ,036 ,036 ,172
Sig. (2-tailed)
,849 ,522 ,578 ,812 ,355 ,578 ,878 ,928 1,000 ,171 ,522 ,366 ,522 ,849 ,849 ,364
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P5 Pearson
Correlation ,138 -,141 ,282 -,045 1 ,074 ,282 - -,093 -,098 ,109 ,244 -,298 -,141 ,138 ,138 ,188

,397

*
Sig. (2-tailed)
,466 ,456 ,131 ,812 ,698 ,131 ,030 ,626 ,607 ,568 ,194 ,109 ,456 ,466 ,466 ,319
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P6 Pearson
Correlation -,134 ,695** ,074 -,175 ,074 1 ,074 -,018 ,169 ,094 -,105 -,050 ,288 ,695** -,134 -,134 ,194
Sig. (2-tailed)
,481 ,000 ,698 ,355 ,698 ,698 ,925 ,373 ,619 ,581 ,795 ,122 ,000 ,481 ,481 ,304
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P7 Pearson
Correlation ,311 -,141 1,000** ,106 ,282 ,074 1 -,259 ,071 ,196 -,095 -,141 ,109 -,141 ,311 ,311 ,515**
Sig. (2-tailed)
,094 ,456 ,000 ,578 ,131 ,698 ,167 ,710 ,300 ,618 ,456 ,568 ,456 ,094 ,094 ,004
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P8 Pearson
Correlation ,134 ,174 -,259 ,029 -,397* -,018 -,259 1 ,516** ,378 ,170 ,174 ,170 ,174 ,134 ,134 ,291

*
Sig. (2-tailed)
,481 ,359 ,167 ,878 ,030 ,925 ,167 ,004 ,039 ,368 ,359 ,368 ,359 ,481 ,481 ,119
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P9 Pearson
Correlation ,315 ,337 ,071 -,017 -,093 ,169 ,071 ,516** 1 ,780** ,479** ,337 ,015 ,337 ,315 ,315 ,644**
Sig. (2-tailed)
,090 ,069 ,710 ,928 ,626 ,373 ,710 ,004 ,000 ,007 ,069 ,935 ,069 ,090 ,090 ,000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P10 Pearson
Correlation ,530** ,263 ,196 ,000 -,098 ,094 ,196 ,378 ,780** 1 ,347 ,263 ,139 ,263 ,530** ,530** ,745**

*
Sig. (2-tailed)
,003 ,161 ,300 1,000 ,607 ,619 ,300 ,039 ,000 ,061 ,161 ,465 ,161 ,003 ,003 ,000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P11 Pearson
Correlation ,294 -,073 -,095 -,257 ,109 -,105 -,095 ,170 ,479** ,347 1 ,473** -,154 -,073 ,294 ,294 ,320
Sig. (2-tailed)
,115 ,702 ,618 ,171 ,568 ,581 ,618 ,368 ,007 ,061 ,008 ,417 ,702 ,115 ,115 ,084
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P12 Pearson
Correlation ,371 -,034 -,141 -,122 ,244 -,050 -,141 ,174 ,337 ,263 ,473** 1 -,073 -,034 ,371 ,371 ,371

* * * *
Sig. (2-tailed)
,043 ,856 ,456 ,522 ,194 ,795 ,456 ,359 ,069 ,161 ,008 ,702 ,856 ,043 ,043 ,044
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P13 Pearson
Correlation ,294 ,473** ,109 ,171 -,298 ,288 ,109 ,170 ,015 ,139 -,154 -,073 1 ,473** ,294 ,294 ,392

*
Sig. (2-tailed)
,115 ,008 ,568 ,366 ,109 ,122 ,568 ,368 ,935 ,465 ,417 ,702 ,008 ,115 ,115 ,032
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P14 Pearson
Correlation -,093 1,000** -,141 -,122 -,141 ,695** -,141 ,174 ,337 ,263 -,073 -,034 ,473** 1 -,093 -,093 ,236
Sig. (2-tailed)
,626 ,000 ,456 ,522 ,456 ,000 ,456 ,359 ,069 ,161 ,702 ,856 ,008 ,626 ,626 ,209
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P15 Pearson
Correlation 1,000** -,093 ,311 ,036 ,138 -,134 ,311 ,134 ,315 ,530** ,294 ,371* ,294 -,093 1 1,000** ,787**
Sig. (2-tailed)
,000 ,626 ,094 ,849 ,466 ,481 ,094 ,481 ,090 ,003 ,115 ,043 ,115 ,626 ,000 ,000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P16 Pearson
Correlation 1,000** -,093 ,311 ,036 ,138 -,134 ,311 ,134 ,315 ,530** ,294 ,371* ,294 -,093 1,000** 1 ,787**
Sig. (2-tailed)
,000 ,626 ,094 ,849 ,466 ,481 ,094 ,481 ,090 ,003 ,115 ,043 ,115 ,626 ,000 ,000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Tota Pearson
l Correlation ,787** ,236 ,515** ,172 ,188 ,194 ,515** ,291 ,644** ,745** ,320 ,371* ,392* ,236 ,787** ,787** 1
Sig. (2-tailed)
,000 ,209 ,004 ,364 ,319 ,304 ,004 ,119 ,000 ,000 ,084 ,044 ,032 ,209 ,000 ,000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Lampiran 7. Uji Validasi Kuesioner Kepatuhan Minum OAT

P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 Total
P1 Pearson Correlation 1 1,000** -,062 -,062 -,199 -,083 1,000** ,891** ,486**
Sig. (2-tailed) ,000 ,745 ,745 ,293 ,663 ,000 ,000 ,007
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P2 Pearson Correlation 1,000** 1 -,062 -,062 -,199 -,083 1,000** ,891** ,486**
Sig. (2-tailed) ,000 ,745 ,745 ,293 ,663 ,000 ,000 ,007
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P3 Pearson Correlation -,062 -,062 1 1,000** ,312 -,149 -,062 -,084 ,576**
Sig. (2-tailed) ,745 ,745 ,000 ,093 ,432 ,745 ,658 ,001
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P4 Pearson Correlation -,062 -,062 1,000** 1 ,312 -,149 -,062 -,084 ,576**
Sig. (2-tailed) ,745 ,745 ,000 ,093 ,432 ,745 ,658 ,001
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P5 Pearson Correlation -,199 -,199 ,312 ,312 1 ,239 -,199 -,101 ,575**
Sig. (2-tailed) ,293 ,293 ,093 ,093 ,203 ,293 ,594 ,001
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P6 Pearson Correlation -,083 -,083 -,149 -,149 ,239 1 -,083 ,113 ,337
Sig. (2-tailed) ,663 ,663 ,432 ,432 ,203 ,663 ,552 ,069
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P7 Pearson Correlation 1,000** 1,000** -,062 -,062 -,199 -,083 1 ,891** ,486**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,745 ,745 ,293 ,663 ,000 ,007
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P8 Pearson Correlation ,891** ,891** -,084 -,084 -,101 ,113 ,891** 1 ,549**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,658 ,658 ,594 ,552 ,000 ,002
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Total Pearson Correlation ,486** ,486** ,576** ,576** ,575** ,337 ,486** ,549** 1
Sig. (2-tailed) ,007 ,007 ,001 ,001 ,001 ,069 ,007 ,002
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30

Lampiran 8. Uji Reliabilitas Kuesioner Tingkat Pengetahuan

Case Processing Summary

N %
Cases Valid 30 100,0
Excludeda 0 ,0
Total 30 100,0
a. Listwise deletion based on all v
ariables in the procedure

Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items
,824 10
Lampiran 9. Uji Reliabilitas Kuesioner Kepatuhan Minum
68 OAT
Case Processing Summary

N %
Cases Valid 30 100,0
Excludeda 0 ,0
Total 30 100,0
a. Listwise deletion based on
all v ariables in the
procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items
,688 8
Lampiran 10.Uji Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Kepatuhan Minum OAT

Correlati ons

Tingkat
Pengetahuan Kepatuhan
TingkatPengetahuan Pearson Correlation 1 1,000**
Sig. (2-tailed) ,000
N 32 32
Kepatuhan Pearson Correlation 1,000** 1
Sig. (2-tailed) ,000
N 32 32
**. Correlation is signif icant at the 0.01 lev el (2-t ailed).

69

Anda mungkin juga menyukai