Minipro WInno Fix 101019
Minipro WInno Fix 101019
Oleh :
dr. Winno Pradana Utomo
Pendamping :
dr. Rizaul Falah
MINI PROJECT
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PENDERITA TUBERKULOSIS DENGAN
KEPATUHAN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS SIDAYU
GRESIK
Oleh :
Nama : dr. Winno Pradana Utomo
Telah disetujui sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk kelengkapan tugas Program
Internsip Dokter Indonesia periode Februari 2019 - Februari 2020
Mengetahui,
Kepala Puskesmas Dokter Pendamping
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-
Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan mini proyek yang berjudul “Hubungan Pengetahuan
Penderita Tuberkulosis dengan Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis di Puskesmas
Sidayu Gresik”.
Peneliti menyadari bahwa keberhasilan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan,
doa dan kerjasama yang baik berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini peneliti ingin
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada:
1. dr. Rizaul Falah, selaku Kepala Puskesmas Sidayu dan selaku dokter pendamping peneliti
selama menjalankan PIDI di Gresik khususnya saat rotasi di Puskesmas Sidayu yang telah
banyak memberikan semangat dan dukungan moral untuk terus giat belajar dan menyelesaikan
PIDI tepat waktu.
2. dr. Andriani Dwi Hefrida, selaku dokter di Puskesmas Sidayu yang telah membimbing selama
menjalani intership di Puskesmas Sidayu.
3. Rekan-rekan seperjuangan peserta PIDI Gresik khususnya dr. Farhan dr. Farah dr. Fariz dr.
Givi dan dr. Ninda. Terima kasih untuk dukungan dan bantuannya selama menjalankan PIDI di
Puskesmas Sidayu.
4. Seluruh staf Puskesmas Sidayu dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu
yang telah banyak membantu peneliti dalam menyelesaikan mini proyek ini.
Akhir kata, peneliti menyadari bahwa mini proyek ini masih terdapat banyak keterbatasan.
Oleh karena itu, peneliti sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para
pembaca. Semoga mini proyek ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan
menjadi berkah bagi peneliti maupun pembacanya.
Gresik, 10 Oktober 2019
Penulis
dr. Winno Pradana Utomo
3
DAFTAR ISI
Table of Contents
LEMBAR PENGESAHAN 2
KATA PENGANTAR 3
DAFTAR ISI 4
BAB I 6
PENDAHULUAN 6
1.1 Latar belakang 6
1.2 Rumusan Masalah 7
1.3 Tujuan 8
1.4 Manfaat 8
BAB II 9
TINJAUAN PUSTAKA 9
2.1 Profil Puskesmas Sidayu 9
2.2 Pengetahuan 31
2.3 Faktor Yang Mempengarungi Pengetahuan 33
2.4 Kepatuhan 34
2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan 35
2.6 Kerangka konsep 36
2.7 Hipotesis penelitian 36
BAB III 37
METODE PENELITIAN 37
3.1 Desain Penelitian 37
3.2 Tempat Dan Waktu Penelitian 37
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 37
3.4 Bahan dan Instrumen Penelitian 39
3.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 40
3.6 Teknik pengolahan dan analisis data 41
3.7 Hubungan tingkat pengetahuan dan kepatuhan 43
3.8 Alur kegiatan 44
BAB IV Hasil dan Pembahasan 45
4.1 Hasil Uji Validitas Kuisioner 45
4
4.2 Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner 46
4.3 Karakteristik Responden 47
4.4 Usia Responden 47
4.5 Pendidikan Responden 49
4.6 Jenis Kelamin Responden 50
4.7 Pekerjaan Responden 51
4.8 Tingkat Pengetahuan Penderita tentang Tuberkulosis Paru 52
4.9 Kepatuhan Minum Obat Antituberkulosis Paru (OAT) 53
4.10 Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Tuberkulosis Paru dengan Kepatuhan
Minum OAT 54
4.11 Keterbatasan penelitian 55
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 57
DAFTAR PUSTAKA 58
LAMPIRAN 61
5
BAB I
PENDAHULUAN
ini penyakit menular menjadi salah satu prioritas dinas kesehatan dalam rangka meningkatkan
Infeksi saluran pernafasan akut, Malaria, HIV/AIDS dan lain-lain. Penyakit yang menjadi
salah satu isu global adalah tuberkulosis yang merupakan penyakit menular kronis.
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang menjadi prioritas nasional dalam proses
pengendalian penyakit sehingga tidak mempengaruhi kualitas hidup dan ekonomi serta
kualitas hidup dan ekonomi seseorang. WHO menyebutkan bahwa seorang penderita
tuberkulosis akan kehilangan pendapatan rumah tangganya sekitar 3-4 bulan. Kematian akibat
(Depkes, 2011). Sebagian besar tuberkulosis didapatkan di negara yang sedang berkembang
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang bersifat kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Pada saat ini tuberkulosis merupakan penyakit menular yang
menjadi perhatian dunia. Dalam bukunya Alsagaff dan Mukty (2009) dituliskan berdasarkan
WHO bahwa 10-20 juta penduduk didunia mampu menularkan tuberkulosis. Menurut Depkes
(2011) pada tahun 2009 ditemukan 1,7 juta orang meninggal karena TB (600.000 diantaranya
perempuan) dan ditemukan 9,4 juta kasus baru TB (3,3 juta diantaranya perempuan).
6
Indonesia merupakan salah satu negara endemiktuberkulosis. Pada saat ini tuberkulosis
masih menjadi permasalahan di Indonesia. Berdasarkan WHO global report tahun 2009,
Indonesia masih termasuk dalam 10 besar negara dengan permasalahan Tuberkulosis (TB)
yaitu diperingkat kelima didunia setelah India, China, Afrika Selatan dan Nigeria (Depkes,
2011). Di Indonesia setiap tahunnya ditemukan sekitar 300.000 orang menderita tuberkulosis
(Kompas, 2012). Pada tahun 2009 ditemukan sebanyak 528.063 kasus tuberkulosis baru.
Kematian yang diakibatkan tuberkulosis sebanyak 91.369 pada tahun 2009 (Depkes, 2011).
Berdasarkan global report TB WHO tahun 2011 prevalensi tuberkulosis di Indonesia sebesar
289 per 100.000 penduduk. Insidensi tuberkulosis diIndonesia sebesar 189 per 100.000
penduduk dengan angka kematian sebesar 27 per 100.000 penduduk (Depkes, 2012). Sekitar
75% pasien tuberkulosis adalah usia reproduktif (15-50 tahun) (Depkes, 2011).
Di kabupaten Gresik pada tahun 2014, dari jumlah penduduk 1.247.994 jiwa, laki-laki
617.764 jiwa dan perempuan 630.230 jiwa jumlah seluruh kasus TB paru baru 1.467 kasus
laki-laki 845 kasus, perempuan 622 kasus. JUmlah kasus TB paru kasus baru BTA + sebanyak
736 kasus, laki-laki 443 kasus perempuan 293 kasus. JUmlah kasus TB anak umur 0-14 tahun
jumlah kasus 95. Jumlah kematian akibat TB paru selama pengobatan adalah 26 orang
(Depkes, 2014)
7
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
1. Bagi Peneliti
angka kesembuhan penyakit TB Paru dengan upaya preventif, kuratif maupun promotif
obat.
Menambah wawasan dan kesadaran bagi masyarakat dan penderita TB Paru terhadap
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Identitas Wahana
9
Kecamatan Sidayu secara administratif meliputi 21 desa, yaitu :
1. Desa Bunderan 12. Dese Randuboto
2. Desa Purwodadi 13. Desa Racikulon
3. Desa Srowo 14. Desa Racikulon
4. Desa Sedagaran 15. Dese Golokan
5. Desa Pengulu 16. Desa Sambipondok
6. Desa Kauman 17. Desa Wadeng
7. Desa Sidomulyo 18. Desa Gedangan
8. Desa Mriyunan 19. Desa Sukorejo
9. Desa Asempapak 20. Desa Lasem
10. Desa Mojoasem 21. Desa Kertosono
11. Desa Ngawen
Ketinggian tanah wilayah Kecamatan Sidayu rata-rata 2,95 meter dari permukaan air laut
dengan iklim tropis dan curah hujan rata-rata 117 mm per tahun. Kecamatan Sidayu merupakan
dataran rendah dengan wilayah pantai, sungai, sawah, dan tambak. Tidak memiliki wilayah
gunung dan hutan.
Wilayah kecamatan sidayu dilewati oleh sungai Bengawan Solo yaitu desa Randuboto,
Ngawen, dan Srowo. Wilayah kecamatan Sidayu dilewati oleh Jalan Propinsi yang
menghubungkan Kabupaten Gresik dengan Kabupaten Lamongan.
Jarak tempuh dari Puskesmas ke desa :
3-5 km : 16 desa
0-2 km : 5 desa
b. Komitmen Wahana
Dokter internsip selalu diusahakan untuk terlibat dalam program kegiatan Puskesmas, baik
dalam gedung maupun luar gedung. Dokter internsip juga dilibatkan dalam evaluasi program
Puskesmas yang biasa diadakan satu bulan sekali (Lokakaryamini). Terutama layanan pada pasien
di Poli Umum hal tersebut sangat berguna bagi dokter internsip untuk dapat lebih berpengalaman
10
dalam pengobatan dasar yang memang harus dikuasai oleh dokter umum yang nantinya bertugas
di fasilitas kesehatan layanan primer. Dokter pembimbing yang ditunjuk juga cukup baik dalam
memberikan bimbingan serta evaluasi tugas yang diberikan.
c. Fasilitas Wahana
Di Puskesmas Sidayu tidak ada fasilitas rumah dinas maupun mobil dinas bagi para dokter
internsip, namun demikian apabila ada kegiatan diluar gedung akan memakai mobil operasional
Puskesmas. Akomodasi dan transportasi ditanggung secara pribadi oleh masing masing-masing
dokter internsip yang berpraktik di wahana Puskesmas Sidayu
11
PETA WILAYAH KERJA PUSKESMAS SIDAYU
SELAT MADURA
KEC. DUKUN
KEC. BUNGAH
12
2. Definisi
Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis, yang menyerang pada bagian parenkim paru. Mycobacterium tuberculosis merupakan
kuman batang tahan asam yang dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit. Terdapat
banyak jenis Mycobacterium patogen, namun hanya dua jenis saja yang patogen terhadap manusia,
yaitu strain bovin dan human (Price et al., 2006; Djojodibroto, 2009).
Menurut Depkes RI (2006) tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
kuman TB (Mycobacterium tuberculosis), tuberkulosis dapat menyerang organ paru maupun ekstra
paru namun pada umumnya menyerang paru.
2.1.1 Epidemiologi
Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang sudah terjadi sejak ribuan tahun
sebelum masehi. Sejak zaman purba penyakit ini merupakan penyakit menakutkan dengan angka
kematian tinggi. Karena sangat menakutkan TB dijuluki dengan “consumption”. Angka insidemsi
TB mengalami penurunan pada saat ditemukan kemoterapi. Namun pada tahun 1985-1992 jumlah
kasus TB mengalami peningkatan yang sangat tajam hingga 20%. Bahkan pada periode ini grafik
prevalensi TB menetap dan meningkat. Banyak faktor yang menjadi pemicu peningatan kejadian TB
ini, diantaranya faktor sosioekonomi dan masalah kesehatan lain seperti tingginya angka infeksi HIV,
AIDS, alkoholisme dan lain-lain (Price et al., 2006; Djojodibroto, 2009; Widoyono, 2008).
Dari hasil studi SKRT (studi kesehatan rumah tangga) tahun 1986 menunjukkan penyakit TB
di Indonesia menjadi penyebab kematian ke-3 dan menduduki urutan ke-10 penyakit terbanyak di
masyarakat. Tahun 1992 hasil studi SKRT penyakit TB mengalami peningkatan dan menyebabkan
13
kematian terbanyak yang menduduki urutan ke-2. TB kembali menduduki urutan ke-3 (9,4% dari
total kematian) penyebab kematian pada tahun 2001, dari hasil studi SURKENAS (survei kesehatan
nasional).
WHO memperkirakan angka kejadian TB pada tahun 1999 sebanyak 9 juta per tahun di
seluruh dunia, dengan jumlah kematian sebanyak 3 juta orang per tahun. Dari seluruh kematian
tersebut, 25% terjadi di negara berkembang. Menurut WHO, jumlah pasien TB di Indonesia
menduduki urutan ke-5 setelah India, China, Afrika Selatan dan Nigeria. Dengan jumlah pasien
sekitar 5,8% dari total jumlah pasein TB di dunia. Prevalensi BTA (+) di Indonesia adalah 289 per
100.000 penduduk pada tahun. Insidensi mencapai 189 per 100.000 penduduk dengan angka
kematian 27 per 100.000 penduduk (Widoyono, 2008; WHO, 2011).
Penyakit ini menyerang semua golongan umur dan jenis kelamin, dan penyakit ini mulai
merambah tidak hanya menyerang golongan sosial ekonomi rendah saja tetapi juga orang dengan
status sosial tinggi. Menurut Simon (2004) 75% penderita TB di negara berkembang banyak terjadi
pada kelompok usiaproduktif (15-50 tahun). Widoyono (2008) menyebutkan berdasarkan profil
kesehatan Indonesia tahun 2002 menggambarkan presentase penderita tuberkulosis terbesar adalah
usia 25-34 tahun(23,67%), 35-44 tahun (20,46%), 15-24 tahun (18,08%), 45-54 tahun (17,48%), 55-
64 tahun (12,32%), >65 tahun (6,68%), dan yang terendah pada kelompok umur 0-14 tahun (1,31%).
Jika dilihat dari gambaran seluruh dunia, gambaran morbiditas dan mortalitas meningkat sesuai
dengan bertambahnya umur. Lebih lanjut Widoyono (2008), memaparkan perbedaan jenis kelamin
juga menyebabkan perbedaan angka angka kejadia TB. Pada pasien usia lanjut, ditemukan pasien
laki-laki lebih banyak daripada wanita. Di Indonesia sendiri dari hasil laporan seluruh provinsi di
Indonesia, pada tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 76.230 penderita TB BTA (+), 43.294
diantaranya laki-laki (56,79%) dan 32.936 perempuan (43,21%).
2.1.2 Etiologi
Penyakit TB disebabkan oleh bakteri yang disebut dengan Mycobacterium tuberculosis.
Mycobacterium tuberculosis merupakan anggota ordo Actinomisetales dan genus mycobacterium.
Mycobacterium merupakan kuman berbentuk batang gram positif lemah, pleomorfik, tidak bergerak
dan tidak membentuk spora. Dimensi mycobacterium 1,4μ ×0,2-0,5 . Mycobacterium tumbuh
paling baik pada suhu 37-41 , menghasilkan niasin dan tidak ada pigmentasi. Bakteri ini merupakan
14
kuman aerobik. Sifat ini menunjukkan kuman lebih menyukai jaringan yang memiliki kandungan
oksigen tinggi seperti pada bagian apikal paru-paru. Kuman ini juga memiliki sifat tahan terhadap
asam, sehingga lebih dikenal dengan bakteri tahan asam (BTA). Sifat tahan asam ini didapat dari
kandungan lipid didalam dinding selnya. Dinding sel Mycobacterium kaya akan lipid sehingga
resisten terhadap efek bakterisid antibodi dan komplemen. Selain lipid dinding sel bakteri juga terdiri
dari peptidoglikan dan arabinomannan (Soedarto, 2007; Sudoyo, et al., 2009).
Tingkat kemiskinan juga menjadi salah satu faktor untuk berkembangnya kuman TB. Hal ini
disebabkan oleh faktor tidak langsung, dimana tingkat ekonomi akan mempengaruhi tingkat
kepenuhan gizi dan nutrisi serta keadaan lingkungan sekitar rumah seperti sanitasi rumah. Makin
rendah tingkat ekonomi seseorang maka kepenuhan gizi dan nutrisi akan semakin rendah, juga
menyebabkan kurang baiknya sanitasi rumah. Yang berakibat pada mudahnya perkembangan kuman
Mycobacterium tuberculosis. Bahkan dari laporan WHO (2009) 90% penderita tuberkulosis paru di
dunia merupakan kelompok anggota keluarga dengan sosial ekonomi rendah (Depkes, 2011).
Menurut Alsagaff dan Mukty (2009), kebiasaan merokok juga menjadi salah satu faktor
risiko untuk terjadinya infeksi Mycobacterium tuberculosis. Lebih lanjut Wijaya (2012)
menerangkan banyak zat yang terkandung dalam rokok yang bersifat karsinogenok dan
imunosupresif. Namun tar dan nikoktin yang diketahui bersifat imunosupresif sehingga
akanmempengaruhi sistem imunrespirasi terutama bagian paru. Sehingga sistem respirasiakan sangat
rentan untuk terinfeksi penyakit. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lin (2009) di Taiwan,
ternyata merokok meningkatkan risiko dua kali lipat untuk terinfeksi TB.
15
Gambar 1. Sistem imun di Paru akibat merokok
Selain merokok kepadatan hunian dan kelembaban rumah juga menjadi faktor penting dalam
infeksi TB. Pada penelitian yang dilakukan Jelalu (2008) membuktikan bahwa, orang yang tinggal
dalam rumah dengan kategori hunian padat memiliki risiko 2,9 kali untuk terinfeksi TB. Sedangkan
orang yang tinggal dalam rumah dengan kelembaban rumah tidak memenuhi syarat, akan berisiko
terinfeksis 2,5 kali lebih sering bila dibandingkan dengan orang yang tinggal dalam hunian dengan
kelembaban yang memenuhi syarat.
Menurut Depkes (2011), penularan umumnya terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak
dapat bertahan lama di tempat tersebut. Percikan dapat bertahan beberapa jam, umumnya 1-2 jam.
Didalam ruangan yang gelap dan lembab dapat bertahan berhari-hari, bahkan sampai berbulan-
bulan.Oleh karenanya ventilasi yang baik dapat mengurangi jumlah percikan. Bahkan dengan sinar
matahari langsung, kuman TBakan mati. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh jumlah
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan pada pemeriksaan dahak,
makin menular. Faktor yang memungkinkan orang untuk terpajan kuman TB tergantung jumlah
percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Angka risiko penularan infeksi TB di
Indonesia 1-3%, yang berarti akan ada 1-3 orang yang terinfeksi TB diatara 100 penduduk. Dan
setengah (0,5%) dari mereka BTA-nya akan positif (Sudoyo et al., 2009; Widoyono, 2008).
2.1.5 Patofisiologi
2.1.5.1 Infeksi Primer
Infeksi berawal dari seseorang menghirup droplet nuclei. Setelah droplet nuclei terhirup,
droplet (percikan)akan menempel pada dinding saluran pernapasan. Droplet yang terhirup, mungkin
akan menempel pada dinding saluran pernapasan atas ataupun pada sistem pernapasan bawah
tergantung dari ukuran droplet yang terhirup. Jika ukuran droplet besar, ia akan menempel pada
dinding saluran nafas atas. Namun jika droplet berukuran kecil (<5 mikrometer) akan masuk sampai
ke alveolar dan menempel pada dinding alveolar. Kuman yang terhirup biasanya dalam bentuk basil
yang berbetuk unit, yang dalam satu unit terdiri dari 1-3 basil. Jika seseorang baru pertama kalinya
terinfeksi TB, maka tubuh akan memberikan reaksi hanya berupa reaksi seperti adanya benda asing.
Hal ini disebabkan karena tubuh belum memiliki imunitas terhadap kuman Mycobacterium
tuberculosis. Pada awalnya basil tuberkulosis akan dilawan oleh makrofag dengan cara fagositosis.
Namun, pada saat ini makrofag belum diaktifkan. Selama periode ini basil TB berkembang biak
dengan bebas, baik ekstraseluler maupun intraseluler didalam sel yang memfagositnya. Selama tiga
minggu pertama setelah infeksi, tubuh hanya merespon infeksi dengan peradangan biasa.Pada fase
ini leukosit polimorfonuklearlah yang berperan. Tetapi kemudian tubuh juga mengupayakan
17
pertahanan imunitas selular yang disebut dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat (delayed
hypersensitivity), yang melibatkan limfosit (biasanya limfosit T) dan pengaktivan makrofag oleh
limfosit dan limfokinnya. Pembentukan imunitas selular akan lengkap dalam 10 minggu
(Djojodibroto, 2009; Price & Wilson, 2005).
Djojodibroto (2009) menjelaskan setelah minggu ketiga, basil TBakan dicerna oleh makrofag
dan umumnya basil TB akan mati. Tetapi basil TB yang virulen akan bertahan hidup. Basil yang
kurang virulen juga akan tetap bertahan jika sistem pertahan tubuh dan makrofag dalam keadaan
lemah. Selama periode ini tidak ada gejala yang muncul. Namun, jika dilakukan tes tuberkulin maka
hasilnya akan positif. Patogenesis TB tergantung dari umur penderita. Pada orang dewasa, jika
terinfeksi kuman TB, sebagian besar akan dapat mengatasinya sehingga tidak sampai menimbulkan
gejala. Namun sebagian lagi (3-4%) orang tidak dapat mengatasinya sehingga akan muncul gejala
yang berat (Sudoyo, 2009).
Jika infeksi terjadi pada bagian alveolus, biasanya mengenai alveolus bagian bawah lobus
atas atau di bagian atas lobus bawah. Seperti yang sudah disebutkan diatas, saat awal infeksi, basil
TB membelah diri dengan lambat didalam alveolus. Tempat basil TB membelah ini kemudian
menjadi lesi inisial (intial lung lesion), tempat pembentukan granuloma yang kemudian mengalami
nekrosis dan perkijuan (kaseasi) di tengahnya. Agar infeksi tidak menyebar, akan trbentuk fibrosis
yang mengililingi granuloma. Stadium ini disebut infeksi primer (primary infection). Nodus limfa
yang menampung aliran limfa yang berasal dari lesi inisial juga ikut terinfeksi sehingga juga
mengalami peradangan. Lesi inisial ketika meradanag disebut sebagai fokus inisial (fokus primer).
Fokus primer dikelilingi oleh sel epiteloid, histiosit dan sel datia langhans, sel limfoid dan jaringan
fibrosa. Lesi ini dinamakan lesi granulomatosa, dan pada TB disebut dengan tuberkel. Fokus primer
yang meradang bersama dengan kelenjar limfa yang meradang disebut kompleks primer. Selanjutnya
fokus primer yang mengalami kalsifikasi bersama pembesaran nodus limfa disebut kompleks ghon
(Djojodibroto, 2009; Price & Wilson, 2005; Sudoyo et al., 2009).
Menurut Price dan Wilson (2005), selain reaksi peradangan yang sudah disebutkan diatas,
masih terdapat respon yang lain yaitu pencairan, dimana bahan cair lepas ke dalam bronkus yang
berhubungan dan menimbulkan kavitas. Bahan tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas dapat
masuk ke percabangan trakeobronkial. Proses ini dapat terjadi berulang kali di bagain lain dari paru,
18
atau basil dapat terbawa sampai laring, telinga tengah atau usus. Kavitas yang kecil dapat sembuh
dan meningglakan jaringan parut walaupun tanpa pengobatan. Bila peradangan mereda, lumen
bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut. Bahan perkijuan dapat mengental dan
tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung, sehingga kavitas penuh dengan bahan perkijuan.
Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu yang lama.
Ada kemungkinan pada stadium awal infeksi primer beberapa basil TB menyebar ke tempat
lain diluar lesi inisial. Penyebaran basil TB dapat melalui kelenjar limfa atau pembuluh darah. Basil
TB yang lolos dari kelenjar limfa akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang kadang-
kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal dengan
penyebaran limfohematogen. Penyebaran melalui pembuluh darah disebut dengan penyebaran
hematogen. Dengan penyebaran hematogen, basil TBakan berkembang biak di tempat yang baru
(secondary settlement). Secondary settlement biasanya terbentuk dibagian apeks paru, ginjal, ujung
tulang panjang, dan otak. Setiap individu akan dapat mengatasinya walaupun banyak basil yang
tersebar, jika daya tahan tubuh prima sehingga tidak akan menderita TB. Sebagaian kecil individu
tidak dapat mengatasinya dan akan menderita TB. Secondary settlement dapat terjadi diseluruh tubuh
yang biasanya menyebabkan TB miliar (Djojodibroto, 2009; Price & Wilson, 2005; Sudoyo et al.,
2009).
19
Menurut Djojodibroto (2009) dan Sudoyo (2009), infeksi primer TB biasanya tidak akan
menimbulkan gejala yang berarti. Tetapi jika infeksi tersebut menjadi progresif dan sakit (3-4% dari
yang infeksi), akan terdapat gejala respiratorik dan gejala umum.
2.1.6.1 Gejala Respiratorik
a. Batuk
Batuk sebagai gejala khas dari TB paru. Batuk terjadi karena adanya iritasi bronkus. Batuk
sebagai usaha untuk mengeluarkan produk-produk radang keluar. Munculnya batuk biasanya terjadi
setelah beberapa minggu atau bulan setelah perdangan awal terjadi. Awalnya terjadi batuk kering
kemudian diikuti batuk produktif yang mengandung dahak. Apabila pembuluh darah pecah maka
akan terjadi batuk darah. Batuk sebagai indikator sensitif TB paru aktif. Batuk biasanya berlangsung
selama 2-3 minggu atau lebih.
b. Sesak Napas
Gejala sesak napas jarang dikeluhkan oleh penderita TB. Sesak napas muncul bila penyakit
sudah pada tahap lanjut. Gejala ini timbul apabila sudah terjadi pembesaran nodus limfa pada hilus
yang menekan bronkus, atau terjadi efusi pleura, atau ekstensi radang parenkim atau miliar. Secara
umum sesak napas ini muncul bila sudah mengenai setengan bagian paru-paru.
c. Nyeri Dada
Seperti pada sesak napas, nyeri dada juga jarang ditemukan. Nyeri dada ini baru muncul
apabila peradangan sudah melibatkan pleura sehingga terjadi peradangan pada pleura (pleuritis).
Karena adanya pleuritis ini,akan menimbukan gesekan antara kedua pleura saat pasien inspirasi
maupun ekspirasi sehingga akan timbul nyeri.
b. Malaise
20
Karena sifat infeksi TB merupakan peradangan yang menahun, malaise dapat mucul dalam
waktu yang panjang pula. Gejala malaiseakan terjadi secara hilang timbul. Pasien akan merasa
mudah lelah, pegal-pegal, nafsu makan menurun (anoreksia), berat badan menurun, sakit kepala dan
khusus pada wanita dapat timbul amenorea.
2.1.7 Pemeriksaan
2.1.7.1 Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi dapat terlihat pasien tampak pucat pada bagian konjungtiva atau kulit, badan
tampak kurus dan dibuktikan dengan penimbangan berat badan akan menunjukkan penurunan berat
badan. Kemudian dilakukan perkusi pada bagian thoraks untuk mengetahui ada kelaianan pada paru
atau tidak. Perkusi akan menghasilkan pemeriksaan yang negatif jika penyakit yang dialami masih
stadium dini (asimptomatik). Hasil perkusi juga akan negatif jika sarang penyakit terletak jauh
didalam paru (>4cm). Lesi paling sering pada TB terjadi di apeks paru sehingga pada perkusi akan
terdengar redup pada bagian apkes paru. Bila lesi sudah meluas maka redup tidak hanya pada bagian
apeks, namun juga pada bagian paru lain tempat lesi berada. Hasil perkusi akan menjadi hipersonor
jika kavitas yang ada sangat besar (Sudoyo et al., 2009; Alsagaff & Mukty, 2005).
Dengan auskultasi akan didapatkan suara bronkial jika lesi sudah meluas. Juga terdapat suara
napas tembahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Namun hasil auskutasi akan berubah jika
terdapat penebalan pleura dimana akan terdengar vesikular yang melemah. Dan jika kavitas sangat
besar akan terdengar suara amforik (Sudoyo et al., 2009).
Tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas akan ditemukan atrofi dan retraksi
otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi ciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya.
Sebaliknya paru yang sehat menjadi hiperinflasi. Jika fibrosis sudah mengenai separuh bagian paru
akan mengakibatakan penurunan daerah aliran darah paru dan akan mengakibatkan peningkatan
tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti dengan kor pulmonal dan gagal jantung
kanan. Kor pulmonal dengan gagal jantung kanan ditandai dengan takipnea, takikardia, sianosis,
right ventricular lift, right atrial gallop, murmur Graham-steel, bunyi P2 yang mengeras,
peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali, asites, dan edema (Sudoyo et al., 2009).
21
2.1.7.2 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Radilogis
Alsgaff dan Mukty (2009) memaparkan gambaran radiologis akan memperkuat dugaan adanya
penyakit TB paru lebih dini. Lokasi lesi TB umumnya di daerah apeks paru, tetapi dapat juga terjadi
di lobus bawah atau bagian hilus. Saat awal penyakit, lesi masih berupa sarang-sarang pneumonia,
pada gambaran radiologis akan terlihat bercak-bercak seperti awan dengan batas tidak jelas. Namun
jika lesi sudah diliputi jaringan ikat maka akan terlihat lesi yang dinamakan tuberkuloma yang
memiliki batas tegas. Pada kavitas bayangan berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis. Lama
kelamaan dinding sklerotik dan terlihat menebal. Jika terjadi fibrosis bayangan terlihat garis-garis.
Pada kalsifikasi bayangan tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi. Pada
atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan (Sudoyo et al., 2009).
Akibat penyebaran hematogen, bersifat difus atau simetris kecil-kecil (milier), pada gambaran
rontgen akan terlihat bercak-bercak halus yang umunya tersebar merata di seluruh lapang paru.
Namun jika penyebaran terjadi secara bronkogen bersifat tidak simetris dan setempat. Dengan
pemeriksaan ini juga dapat untuk melihat ada tidaknya efusi pleura dan pneumotoraks yang sering
menyertai TB paru (Ward, 2006; Alsagaaf & Mukty, 2005).
1. Lesi minimal
Bila proses TB paru mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih
dari volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga kedua dan prossesus
spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai
kavitas.
2. Lesi sedang
Dapat dikatakan lesi sedang jika luas proses lebih dari luas lesi minimal. Tetapi maksimal
proses TB tidak boleh lebih dari satu luas paru dengan densitas sedang. Jika densitas yang
22
ada lebih padat dan lebih tebal (confluent), maka luas proses tersebut tidak boleh lebih dari
sepertiga luas satu paru dengan atau tanpa kavitas. Bila proses disertai dengan kavitas maka
diameter kavitas maksimal 4 cm.
3. Lesi luas
Kelainan lebih luas dari lesi sedang.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah hanya sebagai pemeriksaan pendukung untuk penegakkan diagnosis TB paru
karena hasil pemeriksaan darah tidak sensitif dan tidak spesifik. Namun pemeriksaan darah dapat
untuk membantu menentukan aktivitas penyakit. Pada saat awal penyakit (aktif) lekosit dapat
normal atau sedikit meningkat dengan hitung jenis lekosist mengalami pergeseran ke kiri. Jumlah
limfosit di bawah normal.Laju enap darah (LED) dapat normal atau meningkat. Ward et al. (2006)
dan Sudoyo et al. (2009) menyatakan pemeriksaan darah dapat digunakan untuk mengetahui ada
tidaknya anemia, anemia yang terjadi biasanya normositik normokhromik. Juga terjadi penuruan
natrium dan peningkatan kalsium.
2. Pemeriksaan Serologis
Ada berbagai macam pemeriksaan serologis yang digunakan dalam diagnosis TB yaitu reaksi
Takahshi. Reaksi Takahashi dapat menunjukkan apakah proses TB masih aktif atau tidak. Hasil
dikatakan positif apabila titer menunjukkan 1/128. Namun pemeriksaan ini banyak menghasilkan
positif palsu dan negatifpalsu. Pemeriksaan serologis yang memiliki sensitifitas dan spseifisitas
tinggi (85-95%) adalah Peroksidase Anti Peroksida (PAP-TB). Prinsip dari pemeriksaan PAP-TB
adalah menentukan ada tidaknya IgG yang spesifik terhadap antigen Mycobacterium
Tuberculosae. Pemeriksaan dinyatakan patologis bila pada titer 1:10.000 didapatkan hasil uji
PAP-TB positif (Sudoyo et al., 2009).
4. Tes Tuberkulin
Dasar dari pemeriksaan ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Cara yang dilakukan adalah dengan
menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin PPD (Purified Protein Derivate) secara intrakutan berkekuatan 5
T.U. Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui apakah seserorang sedang atau pernah terinfeki
kuman tuberkulosis. Hasil positif bila didapatkan indurasi ≥10mm.
2.1.8 Diagnosis
Penegakkan diagnosis TB didasarkan pada anamnesis mengenai keluhan yang dirasakan oleh
pasien dan ditunjang dengan pemeriksaan lain. Dari anamnesis pasien akan mengeluhkan gejala-
gejala seperti batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala
tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam
meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala yang telah disebutkan memiliki kemiripan dengan gejala
pada penderita bronkitis kronis, bronkiektasis, asma, dan lain-lain. Namun karena prevalensi TB di
Indonesia tinggi, jika pasien mengeluhkan keluhan tersebut dapat ditetapkan pasien tersebut sebagai
tersangka TB (suspek TB). Apabila pasien sudah ditetapkan sebagai tersangka TB, maka pasien
tersebut wajib untuk menjalani pemeriksaan lanjutan yaitu pemeriksaan dahak untuk mencari BTA.
Pemeriksaan dahak pada pasien suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).
S (sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat pasien suspek TB datang berkunjung pertama kali.
Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak mengumpulkan dahak pagi pada hari
kedua.
24
P (pagi) : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot
dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK (unit pelayanan kesehatan).
S (sewaktu) : dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.
Pasien dengan dahak BTA positif bila pasien pada pemeriksaan dahaknya secara mikroskopis
ditemukan BTA, sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan. Atau satu sediaan dahaknya positif
disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif. Atau satu sediaan positif disertai
biakan yang positif (Depkes, 2011; Sudoyo et al., 2009).
25
1. Aktif
a. Bila dahak mengandung basil tuberkulosis.
b. Bila ada kavitas (kecuali open case dengan basil tahan asam dalam dahak negatif).
c. Gambaran radiologis berbeda pada foto tunggal maupun serial.
2. Tenang (quiescent)
a. Dahak tidak mengandung basil untuk jangka waktu paling sedikit 6 bulan.
b. Gambaran radiologis, tampak proses stabil atau hanya mengalami sedikit perubahan.
c. Masih ada kavitas (tetapi open case dengan basil tahan asam negatif).
2.1.9 Pengobatan
Pengobatan TB membutuhkan waktu minimal 6 bulan. Dan setiap negara memiliki standar
pengobatan TB sendiri. Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi
kuman terhadap obat anti tuberkulosis (OAT). Untuk tujuan pengobatan yang terkhir dilakukan
dengan prinsip pengobatan multidrugs regimen. Obat anti tuberkulosis dibagi dalam dua golongan
besar, yaitu obat lini pertama dan obat lini kedua.
26
Golongan-3 Ofloxacin (Ofx) Moxifloxacin (Mfx)
/Golongan Levofloxacin (Lfx)
Floroquinolone
Golongan-4 /Obat Ethionamide(Eto) Para amino
bakteriostatik lini Prothionamide(Pto) salisilat(PAS)
kedua Cycloserine (Cs) Terizidone (Trd)
Golongan-5 /Obat Clofazimine (Cfz) Thioacetazone(Thz)
yang Linezolid(Lzd) Clarithromycin(Clr)
belumterbuktiefikasi Amoxilin- Imipenem(Ipm).
nya dan tidak Clavulanate (Amx-
direkomendasikan Clv)
oleh WHO
Sumber. Depkes, 2011
Karena pengobatan untuk TB paru membutuhkan waktu yang lama, untuk menjamin
kepatuhan pasien dalam menelan obat dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed
Treatment) oleh seorang pengawas menelan obat (PMO). Pengobatan TB diberikan dalam dua tahap
yaitu tahap awal (intensif) dan tahap lanjutan (Depkes, 2011).
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung
untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular akan
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
27
b. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang
lebih lama
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan.
Menurut Djojodibroto (2009), terdapat dua alternatif dalam pengobatan TB paru, yaitu :
Pengobatan pada tahap intensif diberikan rifampisin (R), isoniasid (H), pirazinamid (Z), dan
etambutol (E) yang diberikan setiap hari selama 2 bulan (2RHZE). Kemudian dilanjutkan
dengan pemberian isoniazid (H) dan rifampisin (R) selama 4 bulan yang diminum 3 kali dalam
seminggu (4H3R3). Karena dalam konsumsi harus menelan 2 sampai 4 obat sekaligus maka
pengobatan TB disediakan dalam bentuk paket berupa obat anti tuberkulosis kombinasi dosis
tetap (OAT-KDT). Jika pasien mengalami efek samping, penggunaan OAT KDT digantikan
dengan paket kombipak. Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari isoniasid,
28
rifampisin, pirazinamid dan etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48
Tahap Lanjutan 3 kali
Tahap Intensif tiap hari selana
Berat Badan seminggu selama 16 mingggu
56 hari RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Sumber. Depkes, 2011
b. Kategori-2 (2RHZES/RHZE/5H3R3E3)
Panduan ini digunakan untuk mengobati pasien TB BTA (+) yang telah mendapat pengobatan
sebelumnya :
Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)
Pengobatan dilakukan selama 6 bulan. Tahap intensif diberikan dalam waktu 3 bulan, yaitu 2
bulan pertama diberikan rifampisin (R), isoniasid (H), pirazinamdi (Z), etambutol (E), dan
streptomisin (S) (2RHZES) yang ditelan setiap hari. Satu bulan berikutnya tidak lagi digunakan
streptomisin tetapi hanya RHZE yang tetap ditelan setiap hari. Selesai menjalani pengobatan tahap
intensif dilanjutkan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan. Pada tahap lanjutan ini pasien wajib
menelan obat HRE 3 kali seminggu.
29
Tabel 5. Dosis untuk panduan OAT KDT kategori-2
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari 3 kali seminggu
Berat
RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E(400)
Badan
Selama 28
Selama 56 hari Selama 20 minggu
hari
2 tab 4KDT + 500 mg 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab
30-37 kg
Streptomisin inj. Etambutol
3 tab 4KDT + 750 mg 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab
38-54 kg
Streptomisin inj. Etambutol
4 tab 4KDT + 1000 mg 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab
55-70 kg
Streptomisin inj. Etambutol
5 tab 4KDT + 1000 mg 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab
≥71 kg
Streptomisin inj. Etambutol
Sumber. Depkes, 2011
a. Sembuh
Penderita dinyatakan sembuh bila telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan
pemeriksaan ulang dahak (follow up) hasilnya negatif pada Akhir Pengobatan (AP) dan
minimal satu pemeriksaan follow up sebelumnya negatif.
b. Pengobatan Lengkap
c. Meninggal
30
d. Pindah
Penderita yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil
pengobatannya tidak diketahui.
e. Putus berobat
Penderita yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
2.2 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan
manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Karena dari
pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih
langgeng daripada perilaku yang yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo,
2007). Sedangkan pengetahuan tentang pengobatan TBC Paru adalah pengertian dari
responden tentang pengobatan TB Paru dengan menggunakan paduan OAT paru secara
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap
31
suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah
diterima.
obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasik materi tersebut secara benar.
dipelajari pada situasi dan kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan
komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih
menghubungan bagian-bagian di dalam bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain
sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi
yang ada.
penilaian suatu materi atau obyek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang
32
2.3 Faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu :
2.3.1 Pengalaman
Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain.
Secara umum, orang yang berpendidikan lebih tinggi akan memiliki pengetahuan yang
2.3.3 Keyakinan
Biasanya keyakinan diperoleh secara turun-temurun, baik keyakinan yang positif maupun
2.3.4 Fasilitas
2.3.5 Penghasilan
seseorang berpenghasilan cukup besar, maka mampu menyediakan fasilitas yang lebih
baik.
Secara umum, istilah kepatuhan (compliance atau adherence) dideskripsikan dengan sejauh
mana pasien mengikuti instruksi-instruksi atau saran medis (Sabate, 2001). Terkait dengan terapi
obat, kepatuhan pasien didefinisikan sebagai derajat kesesuaian antara riwayat dosis yang
sebenarnya dengan rejimen dosis obat yang diresepkan. Oleh karena itu, pengukuran kepatuhan
pada dasarnya merepresentasikan perbandingan antara dua rangkaian kejadian, yaitu bagaimana
nyatanya obat diminum dengan bagaimana obat seharusnya diminum sesuai resep (Dusing, et al,
2001).
didefinisikan sebagai tingkat ketaatan pasien-pasien yang memiliki riwayat pengambilan obat
34
2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan
terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter, ketidak puasan terhadap obat yang
diberikan.
2.5.2 Pengetahuan
Ketetapan dalam memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama penting
sekali dalam pemberian antibiotik. Karena sering kali pasien menghentikan obat
tersebut setelah gejala yang dirasakan hilang bukan saat obat itu habis.
terhadap penderita menerima penjelasan dari tenaga kesehatan yang meliputi jumlah
35
2.6 Kerangka konsep
TINGKAT
PENGETAHUAN
KEPATUHAN
MINUM OBAT
Komunikasi
Fasilitas kesehatan
Keterangan :
Variabel yang diteliti
diteliti
2.7.1 Ada gambaran tingkat pengetahuan tentang TB Paru dan kepatuhan minum OAT
2.7.2 Ada hubungan tingkat pengetahuan terhadap kepatuhan minum OAT pada
36
BAB III
METODE PENELITIAN
Kriteria inklusi :
Sampel penelitian
Sampel pada penelitian ini adalah pasien TB Paru yang datang berobat ke Poli Paru Puskesmas
Sidayu Gresik, Jawa Timur yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi melalui teknik purposive
sampling. Purposive sampling adalah metode pengambilan sampel yang dipilih dengan cermat
sehingga relevan dengan struktur penelitian, dimana pengambilan sampel dengan mengambil
sampel orang-orang yang dipilih oleh penulis menurut ciri-ciri spesifik dan karakteristik tertentu
𝑍𝑎 + 𝑍𝐵
𝑛= +3
1+𝑟
0,5 𝐼𝑛 (1 − 𝑟)
[ ]
Keterangan :
Jadi perhitungannya :
1,96 + 1,28
𝑛= [ ] +3
1 + 0,6
0,5 𝐼𝑛 (1 − 0,6)
n = 24,85
ini.
pengetahuan tentang TB Paru. Kuesioner ini sebelumnya dibuat oleh Alwi (2004) dan juga
Kuesioner tingkat pengetahuan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 16
pertanyaan. Pertanyaan pada kuesioner ini dibuat dalam 2 tipe yaitu favourable dan
Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8) adalah instrumen yang digunakan untuk
menilai kepatuhan terapi. Pada awalnya kuesioner ini dibuat untuk membantu para praktisi
pertanyaan ini dapat mengukur ketidakpatuhan yang disengaja maupun yang tidak disengaja
antara lain lupa, kecerobohan, menghentikan pengobatan karena merasa kondisi memburuk.
Morisky Medication Adherence Scale merupakan kuesioner yang memiliki reliabilitas dan
validitas yang tinggi. Beberapa penelitian kemudian memperluas aplikasi dari instrumen ini
39
agar dapat digunakan untuk mengukur kepatuhan pada penyakit kronik lainnya seperti DM
Tingkat kepatuhan penggunaan obat berdasarkan self report pasien yang dinilai dengan
kuesioner MMAS-8 lebih bisa menangkap hambatan yang berhubungan dengan kebiasaan
kepatuhan penggunaan obat. Kuesioner ini tersusun atas 8 pertanyaan dan kategori respon
terdiri dari jawaban ya atau tidak dan 5 skala likert untuk satu item pertanyaan terakhir. Nilai
rentang 0 sampai 8 dan dikategorikan menjadi 3 tingkatan kepatuhan yaitu kepatuhan tinggi
(nilai=8), kepatuhan sedang (nilai=6-7) dan kepatuhan rendah (nilai=<6) (Morisky dkk.,
2008).
Data dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas (independent) dan variabel
terikat (dependent). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan tentang
TB Paru. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kepatuhan minum obat
antituberkulosis (OAT).
tentang penyakit TB Paru yang meliputi pengertian, penyebab, tanda dan gejala,
kuesioner yang terdiri dari 10 pertanyaan. Tingkat pengetahuan penderita TB Paru tentang
penyakit TB Paru diukur dengan Skala Ordinal berdasarkan persentase jawaban benar
40
dengan kategori tinggi, sedang, rendah.
b. Kepatuhan minum obat antituberkulosis adalah sejauh mana pasien teratur dalam minum
membandingkan antara r tabel dan r hitung. Untuk mengukur uji validitas kuesioner
dilakukan dengan membandingkan antara antara rtabel dan rhitung. Jika rhitung >
rtabel maka dinyatakan valid, dan jika rhitung < rtabel maka instrumen tidak valid.
tetap sama bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama
Cronbach Alpha, jika nilai Cronbach Alpha lebih besar dari 0,600 maka pertanyaan
3.6.2.1 Pengetahuan
41
Bentuk kuesioner yang digunakan adalah pernyataan Benar (B) dan S (Salah)
dengan jumlah 16 item pertanyaan. Pertanyaan dibuat dalam 2 tipe yaitu favourable
dan unfavourable terhadap objek. Untuk kepentingan analisis kuantitatif maka setiap
jawaban diberi skor untuk item favourable B (Benar) bernilai 1 dan S (salah) bernilai
(Salah) bernilai 1.
Kategori :
1) Tinggi : ≥ 75 %
2) Sedang : 55 – 75 %
3) Rendah : ≤ 55 %
Total 16
hasilnya bahwa dari 16 item pertanyaan tersebut ada 6 item yaitu pertanyaan nomer
2, 4, 5, 6, 8 dan 14 yang dinyatakan tidak valid karena memiliki nilai r hitung < t
tabel.
42
Selanjutnya setelah di uji validitas nya lalu di uji reliabilitasnya. Dan hasilnya adalah
Kuesioner ini tersusun atas 8 pertanyaan dan kategori respon terdiri dari
jawaban ya atau tidak dan 5 skala likert untuk satu item pertanyaan terakhir. Nilai
Kategori respon terdiri dari ya atau tidak untuk item pertanyaan nomor 1 sampai
7. Pada item pertanyaan nomor 1-4 dan 6-7 nilai 1 bila jawaban tidak dan 0 bila
jawaban ya sedangkan item pertanyaan nomor 5 dinilai 1 bila jawaban ya dan 0 bila
jawaban tidak. Item pertanyaan nomor 8 dinilai dengan 5 skala likert dengan nilai
(Mulyani, 2012).
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan komputasi SPSS 15.0 for windows.
Uji ini dilakukan untuk mengetahui distribusi dan presentasi dari variabel tingkat
43
3.7.2 Uji bivariat
penyakit TB Paru dengan kepatuhan minum OAT menggunakan uji statistik korelasi Pearson
Product Moment dengan tingkat kemaknaan sebesar 95%. Uji ini digunakan untuk menguji
variabel bebas (pengetahuan tentang TB Paru) dan variabel terikat (kepatuhan minum OAT).
Tingkat kuat dan lemahnya korelasi dapat dilihat melalui rentang nilai KK (Sugiyono, 1999)
yaitu Korelasi sangat lemah = 0,000 – 0,199; korelasi lemah = 0,2 – 0,399; korelasi sedang =
0,4– 0,599; korelasi kuat = 0,6 – 0,799; dan korelasi sangat kuat = 0,8 – 0,999.
44
BAB IV
Sebelum digunakan dalam penelitian, kuesioner disebarkan kepada 30 orang responden non
sampel penelitian, dengan tetap memenuhi kriteria inklusi. Kuesioner ini diuji validitas dan
reliabilitasnya dengan menggunakan program SPSS dengan melihat nilai pearson correlation.
Pertanyaan dinyatakan valid apabila nilai r hitung > r tabel yaitu 0,3061. Berikut ini adalah hasil uji
pertanyaan dikatakan dikatakan tidak valid jika r hitung negatif dan r hitung < r tabel (Ghozali,
45
2007). Butir item kuesioner tingkat pengetahuan tentang TB Paru yang terdiri atas 16 pertanyaan
tidak semuanya valid. Ada beberapa pertanyaan yang menunjukkan hasil tidak valid, yaitu
pertanyaan nomor 2, 4, 5, 6, 8 dan 14. Butir item tidak valid dapat terjadi karena tidak adanya
perbedaan jawaban dari responden dan nilai r hitung < r tabel yaitu <0,3061 maka dari itu item yang
Berdasarkan hasil analisis uji validitas semua item pertanyaan dalam kuesioner MMAS-8
dinyatakan valid karena nilai r hitung > r tabel. Semua item pertanyaan dapat digunakan untuk
Berdasarkan hasil analisis uji reliabilitas terdapat 10 item pertanyaan yang dapat digunakan
untuk mengukur tingkat pengetahuan pasien dengan total nilai Cornbach Alpha sebesar 0,824 dan
46
8 pertanyaan untuk mengukur kepatuhan minum OAT dengan total nilai Cornbach Alpha 0, 688
dikatakan reliabel, karena variabel dikatakan reliabel jika nilai Cornbach Alpha >0,60 (Ghozali,
2007).
Responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah penderita Tuberkulosis Paru di
Puskesmas Sidayu Gresik, Jawa Timur, yaitu sebanyak 32 orang responden. Dari keseluruhan
responden yang ada, diperoleh gambaran mengenai karakteristiknya meliputi : usia, pendidikan,
jenis kelamin dan pekerjaan responden. Data mengenai karakteristik responden dapat dilihat pada
Karakteristik umur responden dikelompokkan berdasarkan kategori usia menurut Depkes RI,
2009 yaitu remaja awal = 12-16 tahun, remaja akhir = 17-25 tahun, dewasa awal = 26-35 tahun,
dewasa akhir = 36-45 tahun, lansia awal = 46-55 tahun, lansia akhir = 56-65 tahun, dan manula =
66-75 tahun. Hasil pada saat penelitian dapat dilihat pada gambar 1.
47
Gambar 1. Distribusi Usia Responden di Puskesmas Sidayu Gresik
Dari data di atas menunjukkan bahwa responden yang paling banyak adalah responden
yang berumur >45 tahun sebanyak 16 responden (50%). Responden masuk dalam rentang
usia produktif. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
tahun 2013, bahwa penduduk usia produktif adalah penduduk yang berusia 15 hingga 59
tahun. Sedangkan menurut Undang-Undang Tenaga Kerja No. 13 tahun 2003, bahwa
penduduk usia produktif adalah yang berusia 15-64 tahun yang sudah mempunyai
Di Indonesia setiap tahun ditemukan 528.000 penderita baru TB dengan angka kematian
41 orang/10.000 sebagian besar penderita TB atau sebesar 75% adalah penduduk usia
produktif antara 15-49 tahun (Yoga, 2007). Faktor usia diduga kuat memiliki hubungan
sekitar 75% penderita Tuberkulosis adalah kelompok usia produktif (15-50) tahun. Orang-
orang pada usia produktif biasanya memiliki lebih banyak aktivitas yang mengharuskan
48
bertemu dengan banyak orang sehingga kemungkinan tertular dari penderita lain juga lebih
Untuk mengetahui data karakteristik pendidikan responden dapat dilihat pada gambar 2.
yang memiliki tingkat pendidikan SD dan SMP, yaitu pendidikan yang termasuk rendah. Wilkinson
dkk tahun 2007, membuktikan pendidikan rendah tidak selalu berhubungan dengan rendahnya
kepatuhan berobat bervariasi diberbagai negara. Hal ini sejalan dengan penelitian Suswanti (2007)
bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan minum obat pada penderita
TB Paru.
Untuk mengetahui data karakteristik jenis kelamin responden dapat dilihat pada gambar 3.
49
Gambar 3. Distribusi Jenis Kelamin Responden di Puskesmas Sidayu Gresik
Pada data di atas menunjukkan bahwa responden yang paling banyak adalah Laki-Laki
sebanyak 18 responden (56.3 %), sedangkan pada Perempuan ada 14 responden (43,8 %). Menurut
hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Rokhmah pada tahun 2010, bahwa perbedaan gender
berdampak pada angka kejadian Tuberkulosis, baik pada proses penemuan kasus, diagnosis,
maupun pengobatan.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan apa yang dilakukan Suswanti (2007) di kabupaten
Jember yang menyatakan bahwa sebanyak 55% penderita TB Paru adalah perempuan yang
sebagian besar respondennya berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Di negara berkembang, dari
sebagian besar keluarga miskin diperoleh fakta bahwa dalam proses memasak makanan, perempuan
banyak terpapar oleh asap dari kayu bakar di dalam ruang. Hal ini meningkatkan kejadian TB pada
perempuan miskin di negara berkembang (ACTION, 2010). Karena peran yang dominan di rumah
tangga, perempuan miskin banyak berdiam di rumah dengan pencahayaan dan ventilasi yang buruk.
50
4.7 Pekerjaan Responden
Untuk mengetahui data karakteristik pekerjaan responden dapat dilihat pada gambar 4.
Pada responden yang terkena penyakit Tuberkulosis Paru ada yang bekerja dan ada yang tidak
bekerja, responden yang bekerja sebanyak 14 orang (43,8%) dan 18 orang yang tidak bekerja
(56,3%). Dari hasil tersebut persentase lebih besar responden yang tidak bekerja dan presentase
Hasil ini sesuai dengan usia dari responden yang kebanyakan dalam usia dewasa tua dan
dalam keadaan sakit, sehingga responden lebih memilih istirahat dan berhenti bekerja (Azhari,
2015). Berdasarkan penelitian Nurpadillah (2015), bahwa penderita yang tidak bekerja memiliki
pengetahuan lebih tinggi dan memiliki banyak waktu untuk mendapatkan informasi dari petugas
kesehatan maupun tetangga sedangkan yang memiliki pekerjaan kadang lalai karena sibuk kerja
51
4.8 Tingkat Pengetahuan Penderita tentang Tuberkulosis Paru
Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa responden Tuberkulosis Paru di
Puskesmas Sidayu, Gresik, Jawa Timur mempunyai tingkat pengetahuan yang baik yaitu sebanyak
25 responden (78,125%) masuk dalam kategori tingkat pengetahuan tinggi, lalu sebanyak 5
responden (15,625%) masuk dalam kategori tingkat pengetahuan sedang dan hanya 2 responden
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan
terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yaitu indra
penglihatan, indra pendengaran, penciuman, rasa dan raba dimana sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003). Para responden di Puskesmas
Sidayu , Gresik , Jawa Timur dari segi riwayat pendidikan yang mereka miliki sebagian besar yaitu
tingkat SD dan SMP. Meskipun pendidikan mereka tidak sampai ke tingkat tinggi namun mereka
selalu mendapatkan informasi yang cukup mengenai pencegahan dan penanggulangan penyakit
Tuberkulosis Paru yang diperoleh dari bimbingan yang diberikan oleh petugas kesehatan setempat.
Seperti yang telah dikemukakan oleh Notoatmodjo (2003) bahwa banyaknya informasi yang pernah
diperoleh oleh individu dapat menjadikan individu tersebut kaya dengan pengetahuan. Ada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan masyarakat salah satunya adalah
informasi, sehingga penderita mengetahui dengan jelas akan bahaya penyakit Tuberkulosis Paru.
52
Hal inilah yang menyebabkan tingkat pengetahuan penderita Tuberkulosis Paru mengenai penyakit
Tabel 4. Distribusi Frekuensi dan Presentase Responden Berdasarkan Kepatuhan Minum OAT
Data di atas menunjukkan bahwa responden yang memiliki tingkat kepatuhan minum obatnya
(6.25%) dan responden dengan tingkat kepatuhan minum obatnya rendah sebanyak 0 responden
(0%).
Kepatuhan dalam minum OAT sangat berperan penting dalam proses penyembuhan penyakit
Tuberkulosis Paru, sebab hanya dengan meminum obat secara teratur dan patuh maka penderita
Tuberkulosis Paru akan sembuh secara total. Menurut Niven (2002) menyebutkan bahwa kepatuhan
sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap agar menjadi biasa dengan perubahan dengan
mengatur, meluangkan waktu dan kesempatan yang dibutuhkan untuk menyesuaikan diri.
Kepatuhan terjadi bila aturan pakai obat yang diresepkan serta pemberiannya diikuti dengan benar.
Menurut Soeparman (1995) ada beberapa hal yang menyebabkan penderita menghentikan minum
obat di antaranya adalah 1) Adanya rasa bosan yang disebabkan pengobatan yang begitu lama, 2)
Sudah merasa sehat setelah mendapat pengobatan beberapa lama lalu menghentikan
53
Tuberkulosis Paru, dan 4) Jarak yang terlalu jauh antara rumah penderita dengan Puskesmas Sidayu
Gresik
Minum OAT
Dari hasil analisa data menggunakan Pearson Moment Product dengan program SPSS
for windows versi 15.0 dengan tingkat kepercayaan 95% atau : 0,05 diperoleh hasil seperti
Nilai p value menunjukkan hasil 0,000 (< 0,05) dan nilai korelasi (r) = 1,000 yang berarti bahwa
ada hubungan (korelasi) yang sangat kuat antara tingkat pengetahuan penderita Tuberkulosis Paru
dengan kepatuhan minum OAT di Puskemas Sidayu, Gresik, Jawa Timur. Interpretasi angka
korelasi menurut Sugiyono (1999) adalah sebagai berikut: 0,000 – 0,199 korelasi sangat rendah;
0,200 – 0,399 korelasi rendah; 0,400 – 0,599 korelasi sedang; 0,600 – 0,799 korelasi kuat; dan 0,800
– 1,000 korelasi sangat kuat. Hal ini berarti secara statistik dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
bermakna antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan minum OAT, bahwa semakin tinggi
54
berpengaruh terhadap kesadaran yang selanjutnya pada perilakunya, dalam hal ini penderita
Tuberkulosis Paru yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik mempunyai kesadaran dan
pandangan positif mengenai pentingnya pengobatan yang teratur sampai selesai, yang pada
Responden di Puskemas Sidayu, Gresik, Jawa Timur mempunyai Tingkat pengetahuan yang
sudah termasuk kategori baik, hal ini dikarenakan setiap kali ditemukan kasus baru mengenai
Tuberkulosis Paru selalu diberi penyuluhan kepada penderita sehingga penderita tidak mengalami
drop out selama menjalani pengobatan. Selain itu, pasien yang telah dinyatakan sembuh diberi
reward seperti payung sebagai hadiah atas kesembuhannya dan telah patuh menjalankan
Pengetahuan penderita tentang Tuberkulosis Paru berperan dalam hal proses kesembuhan
penderita sendiri. Penderita mengetahui bahwa jika tidak patuh dalam mengikuti regimen
pengobatan selama 6 bulan justru akan menyebabkan resistensi terhadap obat Tuberkulosis Paru
Salah satu faktor yang berperan dalam keberhasilan pengobatan penderita Tuberkulosis Paru
adalah pengetahuan penderita Tuberkulosis paru tentang penyakit TB Paru dan pengobatannya,
bagaimana pengetahuan dan sikap penderita TB Paru setelah diketahui ia enderita TB Paru,
bagaimana penularan penyakit TB Paru dan bagaimana pengobatannya. Sehingga timbul kesadaran
dan kepatuhan untuk minum OAT dalam program pengobatan TB Paru agar ia dapat sembuh dan
sehat kembali, serta tidak menularkan kepada orang lain (Sukrisno, 2008).
Penelitian yang dilakukan memiliki keterbatasan dimana pada hasil uji validitas kuesioner
tingkat pengetahuan, tidak semua item kuesioner dinyatakan valid. Dalam kuesioner terdapat 6
55
aspek yaitu pengertian, penularan, penyebab, tanda & gejala, pengobatan dan pencegahan.
Setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas ternyata terdapat aspek yang hilang karena
dinyatakan tidak valid dan tidak reliabel, yaitu aspek tanda & gejala. Maka peneliti tidak
bisa memasukkan item pertanyaan mengenai aspek tanda & gejala, sehingga tidak ada
item pertanyaan mengenai tanda & gejala TB Paru dalam kuesioner tingkat pengetahuan.
56
BAB V
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
6.25%.
2. Tingkat kepatuhan minum OAT pasien Tuberkulosis Paru tinggi sebesar 93.75%,
tingkat kepatuhan sedang sebesar 6.75% dan tingkat kepatuhan rendah 0%.
3. Ada hubungan yang sangat kuat dan bermakna antara Tingkat Pengetahuan
5.2 Saran
2. Peneliti Selanjutnya
Yaitu dengan memperbaiki kata-kata dalam item kuesioner yang tidak valid.
Alwi, 2004, Hubungan Pengetahuan dan Sikap Penderita TB Paru dalam Pengobatan
Fase Pendek (6 Bulan) di Poliklinik RS Sardjito Yogyakatra, Skripsi, Program
Studi Keperawatan FK UGM, Yogyakarta.
Amin, Zulkifli, Asril Bahar, 2006, Tuberkulosis Paru, Dalam : Sudoyo, Aru W, Bambang
setyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata & Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK
UI.
Ariani, Devi, 2003, Hubungan Penetahuan Penderita TB Paru dengan Kepatuhan Dalam
Program TB Paru di Puskesmas Teladan Medan, Skripsi, Program Studi
Keperawatan USU.
Avianty, 2005, Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Minum Obat
Pasien TB Paru Pada Fase Intensif Di RS Umum Cibabat Cimahi. Dalam
Budiman, Novie, Dewi, Skripsi, STIKes A. Yani Cimahi.
Budiman, Novi, Dewi, 2010, Analisis Faktor yang berhubungan dengan keparuhan
minum obat pasien TB Paru pada fase intensif Di Rumah Sakit Umum Cibabat
Cimahi, Skripsi, STIKes A. Yani, Cimahi.
Djarwanto dan Subagyo, P., 1998, Statistik Induktif Edisi Keempat, BPFE, Yogyakarta.
Dusing, Rainer, Katja Lottermoser & Thomas Mengden, 2001, Compliance to drug
therapy – new answer to an old question. Nephrol Dial Transpl, 16, 1317-1321.
Ghozali, I., 2007, Analisis Multivariate SPSS, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang.
Hartati, E., 2011, Hubungan Antara Pengetahuan Pengawas Menelan Obat (PMO)
Tentang Tuberkulosis Paru dengan Kejadian Putus Berobat (default) di Poliklinik
Paru RSUD “45” Kuningan, Skripsi, STIKes Kuningan.
Hayati, A., 2011, Evaluasi Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru Tahun 2010-
2011 Di Puskesmas Kecamatan Pancoran Mas Depok, Skripsi. FMIPA UI,
Jakarta.
Hashmi, S.K., Afriadi, M.B Abbas, K., Sajwani, R.A and Saleheen, D., 2007, Factor
Associated with Adherence to Antyhypertensive Treatment in Pakistan, Plos
One, 2 : 280.
Kementrian Kesehatan RI, 2011, Pedoman Pelaksanaan hari TB Sedunia 2011, Ditjen
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta.
Mulyani, 2012, Analisis Kepuasan Cara Terapi Berbasis Insulin pada Pasien DM Tipe 2
di Poliklinik Endokrinologi RSUP DR Sardjito Yogyakarta, Tesis, Program Pasca
Sarjana UGM, Yogyakarta.
Morisky, D.E., Ang, A., krousel-Woos, M.A., And Ward, H., 2008, Predictive Validity
of a Medication Adherence Measure in an Outpatient Setting, J. Clin.Hyperten,
10348-354.
59
Niven, N., 2002, Psikologi Kesehatan : Pengantar untuk Perawat dan Profesional
Kesehatan Lain Edisi 2, EGC, Jakarta.
Nurjana, Made A., 2015, Faktor Risiko Terjadinya Tuberkulosis Paru Usia Produktif (15-
49 tahun) di Indonesia, Skripsi, Media Litbangkes, vol. 25 No. 3.
Nurpadillah, 2015, Gambaran Pengetahuan Penderita TB Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Rappokalling Makassar, Skripsi, Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Notoatmojo, S., 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Cetakan I, Rineke Cipta,
Jakarta.
Purnomo, E., 2009, Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Pasien Tuberkulosis (TB)
Dengan Kepatuhan Penataksanaan Tuberkulosis (TB) Di Kecamatan Umbulharjo
Yogyakarta, Skripsi, Program Studi Keperawatan UMY, Yogyakarta.
Ratnawati, 2009, Penelitian Tindakan Dalam Bidang Pendidikan dan Sosial, Bayu
Media Publishing, Mojokerto.
Rokhmah, D., 2010, Gender dan Penyakit Tuberkulosis : Implikasinya Terhadap Akses
Layanan Kesehatan Masyarakat Miskin yg Rendah, Skripsi,Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Jember, Jember.
Soeparman, 1995. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kedua, Jakarta : Balai Penerbit UI.
60
Sukrisno, A., 2000, Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Tuberkulosis Paru Dengan
Keteraturan Minum OAT Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di Puskesmas
Pracimantoro I Tahun 2008, Skripsi, Stikes Surya Global, Yogyakarta.
Sukardja, 2004, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesembuhan Penderita TB Paru.
Dalam Masniari, Priyanti, Aditama, Departemen Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi FK UI, Jakarta.
Tentang Ketenagakerjaan.
Wilkinson, M. Judith, 2007, Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC
dan Kriteria Hasil NOC, EGC, Jakarta.
World Health Organization Report, 2013, Global Tuberculosis Control, World Health
Organization, Geneva.
Yoga, T., 2007, Diagnosis TB Pada Anak Lebih Sulit. Mediakom Info Sehat Untuk
Semua, Departemen Kesehatan, Jakarta.
61
Lampiran 1. Identitas Pasien
(.....................................)
62
Lampiran 2. Kuesioner Tingkat Pengetahuan
Petunjuk pengisian :
cara memberi tanda silang (X) pada kotak yang telah tersedia. Pilih B
Keterangan : B :
BENAR S :
SALAH
NO PERTANYAAN JAWABAN
B S
1 Infeksi kuman mycobakterium TB selalu
menyebabkan orang menderita penyakit
TB Paru.
2 Penyakit TB paru hanya dapat menyerang
bagian paru saja.
3 Lama pengobatan terhadap TB paru adalah
6 bulan.
4 Pemberantasan penyakit TB paru hanya
tanggung jawab departement kesehatan
63 saja.
5 Kebersihan lingkungan dapat menurunkan
resiko penularan.
6 Perbaikan gizi masyarakat tidak ada
pengaruhnya terhadap pencegahan
penyakit.
64
Lampiran 3. Kuesioner MMAS-8
Kuesioner
MMAS-8
Petunjuk : tandai √ pada kolom yang sesuai pilihan jawaban.
No Pertanyaan Jawaban
Ya Tidak
1 Apakah anda kadang-kadang lupa
menggunakan obat atau minum obat
untuk penyakit anda?
2 Orang kadang-kadang tidak sempat
minum obat bukan karena lupa.
Selama 2 pekan terakhir ini, pernahkah
anda dengan sengaja tidak
menggunakan obat atau meminum
obat anda?
3 Pernahkah anda mengurangi atau
berhenti menggunakan obat atau
minum obat tanpa memberitahu dokter
anda karena anda merasa kondisi anda
tambah parah ketika menggunakan
obat atau meminum obat tersebut?
4 Ketika anda pergi berpergian atau
meninggalkan rumah, apakah anda
kadang-kadang lupa membawa obat
anda?
5 Apakah anda menggunakan obat anda
atau minum obat kemarin ?
6 Ketika anda merasa agak sehat, apakah
anda juga kadang berhenti
menggunakan obat atau meminum
obat?
7 Minum obat setiap hari merupakan hal
yang tidak menyenangkan bagi
sebagian orang. Apakah anda pernah
merasa terganggu dengan kewajiban
anda terhadap pengobatan tuberkulosis
yang harus anda jalani?
8 seberapa sering anda mengalami kesulitan menggunakan obat
atau minum semua obat anda?
Tidak pernah/jarang
Sekali-kali
Kadang-kadang 65
Biasanya
Selalu
67
,397
*
Sig. (2-tailed)
,466 ,456 ,131 ,812 ,698 ,131 ,030 ,626 ,607 ,568 ,194 ,109 ,456 ,466 ,466 ,319
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P6 Pearson
Correlation -,134 ,695** ,074 -,175 ,074 1 ,074 -,018 ,169 ,094 -,105 -,050 ,288 ,695** -,134 -,134 ,194
Sig. (2-tailed)
,481 ,000 ,698 ,355 ,698 ,698 ,925 ,373 ,619 ,581 ,795 ,122 ,000 ,481 ,481 ,304
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P7 Pearson
Correlation ,311 -,141 1,000** ,106 ,282 ,074 1 -,259 ,071 ,196 -,095 -,141 ,109 -,141 ,311 ,311 ,515**
Sig. (2-tailed)
,094 ,456 ,000 ,578 ,131 ,698 ,167 ,710 ,300 ,618 ,456 ,568 ,456 ,094 ,094 ,004
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P8 Pearson
Correlation ,134 ,174 -,259 ,029 -,397* -,018 -,259 1 ,516** ,378 ,170 ,174 ,170 ,174 ,134 ,134 ,291
*
Sig. (2-tailed)
,481 ,359 ,167 ,878 ,030 ,925 ,167 ,004 ,039 ,368 ,359 ,368 ,359 ,481 ,481 ,119
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P9 Pearson
Correlation ,315 ,337 ,071 -,017 -,093 ,169 ,071 ,516** 1 ,780** ,479** ,337 ,015 ,337 ,315 ,315 ,644**
Sig. (2-tailed)
,090 ,069 ,710 ,928 ,626 ,373 ,710 ,004 ,000 ,007 ,069 ,935 ,069 ,090 ,090 ,000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P10 Pearson
Correlation ,530** ,263 ,196 ,000 -,098 ,094 ,196 ,378 ,780** 1 ,347 ,263 ,139 ,263 ,530** ,530** ,745**
*
Sig. (2-tailed)
,003 ,161 ,300 1,000 ,607 ,619 ,300 ,039 ,000 ,061 ,161 ,465 ,161 ,003 ,003 ,000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P11 Pearson
Correlation ,294 -,073 -,095 -,257 ,109 -,105 -,095 ,170 ,479** ,347 1 ,473** -,154 -,073 ,294 ,294 ,320
Sig. (2-tailed)
,115 ,702 ,618 ,171 ,568 ,581 ,618 ,368 ,007 ,061 ,008 ,417 ,702 ,115 ,115 ,084
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P12 Pearson
Correlation ,371 -,034 -,141 -,122 ,244 -,050 -,141 ,174 ,337 ,263 ,473** 1 -,073 -,034 ,371 ,371 ,371
* * * *
Sig. (2-tailed)
,043 ,856 ,456 ,522 ,194 ,795 ,456 ,359 ,069 ,161 ,008 ,702 ,856 ,043 ,043 ,044
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P13 Pearson
Correlation ,294 ,473** ,109 ,171 -,298 ,288 ,109 ,170 ,015 ,139 -,154 -,073 1 ,473** ,294 ,294 ,392
*
Sig. (2-tailed)
,115 ,008 ,568 ,366 ,109 ,122 ,568 ,368 ,935 ,465 ,417 ,702 ,008 ,115 ,115 ,032
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P14 Pearson
Correlation -,093 1,000** -,141 -,122 -,141 ,695** -,141 ,174 ,337 ,263 -,073 -,034 ,473** 1 -,093 -,093 ,236
Sig. (2-tailed)
,626 ,000 ,456 ,522 ,456 ,000 ,456 ,359 ,069 ,161 ,702 ,856 ,008 ,626 ,626 ,209
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P15 Pearson
Correlation 1,000** -,093 ,311 ,036 ,138 -,134 ,311 ,134 ,315 ,530** ,294 ,371* ,294 -,093 1 1,000** ,787**
Sig. (2-tailed)
,000 ,626 ,094 ,849 ,466 ,481 ,094 ,481 ,090 ,003 ,115 ,043 ,115 ,626 ,000 ,000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P16 Pearson
Correlation 1,000** -,093 ,311 ,036 ,138 -,134 ,311 ,134 ,315 ,530** ,294 ,371* ,294 -,093 1,000** 1 ,787**
Sig. (2-tailed)
,000 ,626 ,094 ,849 ,466 ,481 ,094 ,481 ,090 ,003 ,115 ,043 ,115 ,626 ,000 ,000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Tota Pearson
l Correlation ,787** ,236 ,515** ,172 ,188 ,194 ,515** ,291 ,644** ,745** ,320 ,371* ,392* ,236 ,787** ,787** 1
Sig. (2-tailed)
,000 ,209 ,004 ,364 ,319 ,304 ,004 ,119 ,000 ,000 ,084 ,044 ,032 ,209 ,000 ,000
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Lampiran 7. Uji Validasi Kuesioner Kepatuhan Minum OAT
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 Total
P1 Pearson Correlation 1 1,000** -,062 -,062 -,199 -,083 1,000** ,891** ,486**
Sig. (2-tailed) ,000 ,745 ,745 ,293 ,663 ,000 ,000 ,007
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P2 Pearson Correlation 1,000** 1 -,062 -,062 -,199 -,083 1,000** ,891** ,486**
Sig. (2-tailed) ,000 ,745 ,745 ,293 ,663 ,000 ,000 ,007
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P3 Pearson Correlation -,062 -,062 1 1,000** ,312 -,149 -,062 -,084 ,576**
Sig. (2-tailed) ,745 ,745 ,000 ,093 ,432 ,745 ,658 ,001
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P4 Pearson Correlation -,062 -,062 1,000** 1 ,312 -,149 -,062 -,084 ,576**
Sig. (2-tailed) ,745 ,745 ,000 ,093 ,432 ,745 ,658 ,001
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P5 Pearson Correlation -,199 -,199 ,312 ,312 1 ,239 -,199 -,101 ,575**
Sig. (2-tailed) ,293 ,293 ,093 ,093 ,203 ,293 ,594 ,001
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P6 Pearson Correlation -,083 -,083 -,149 -,149 ,239 1 -,083 ,113 ,337
Sig. (2-tailed) ,663 ,663 ,432 ,432 ,203 ,663 ,552 ,069
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P7 Pearson Correlation 1,000** 1,000** -,062 -,062 -,199 -,083 1 ,891** ,486**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,745 ,745 ,293 ,663 ,000 ,007
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
P8 Pearson Correlation ,891** ,891** -,084 -,084 -,101 ,113 ,891** 1 ,549**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,658 ,658 ,594 ,552 ,000 ,002
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Total Pearson Correlation ,486** ,486** ,576** ,576** ,575** ,337 ,486** ,549** 1
Sig. (2-tailed) ,007 ,007 ,001 ,001 ,001 ,069 ,007 ,002
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30
N %
Cases Valid 30 100,0
Excludeda 0 ,0
Total 30 100,0
a. Listwise deletion based on all v
ariables in the procedure
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
,824 10
Lampiran 9. Uji Reliabilitas Kuesioner Kepatuhan Minum
68 OAT
Case Processing Summary
N %
Cases Valid 30 100,0
Excludeda 0 ,0
Total 30 100,0
a. Listwise deletion based on
all v ariables in the
procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
,688 8
Lampiran 10.Uji Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Kepatuhan Minum OAT
Correlati ons
Tingkat
Pengetahuan Kepatuhan
TingkatPengetahuan Pearson Correlation 1 1,000**
Sig. (2-tailed) ,000
N 32 32
Kepatuhan Pearson Correlation 1,000** 1
Sig. (2-tailed) ,000
N 32 32
**. Correlation is signif icant at the 0.01 lev el (2-t ailed).
69