Sumaryati
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darussalam Lampung
Jl. Labuhan Ratu I, Way Jepara Lampung Timur Lampung
e-mail: sumaryati_salim35@yahoo.com
Abstract
Abstrak
205
206 Tarb aw i yah, Vol. 13, No.2, Edisi Juli - Desember 2016
A. Pendahuluan
Pendidikan karakter mempunyai peran strategis dalam menentukan
arah pembangunan suatu bangsa. Oleh sebab itu, pendidikan karakter
mestinya diterapkan dalam setiap dunia kehidupan anak-anak, mulai
dari keluarga, sekolah, bahkan di lingkungan bermainnya. Pada posisi ini
pendidikan karakter butuh kerjasama yang kuat antara sekolah dengan
orang tua. Sebab apa yang diajarkan di sekolah dengan segala keterbatasan
waktu, idealnya ditindaklanjuti atau dikuatkan oleh orang tua siswa dalam
keluarga masing-masing. Begitu pula sebaliknya, dibutuhkan kerjasama
yang kuat antara orang tua dengan guru di sekolah agar kebiasaan baik
yang sudah dilakukan di rumah juga diterapkan di sekolah. Melihat hal ini,
maka pendidikan karakter memerlukan kondisioning, keteladanan dan
pembiasaan yang dilandasi komitmen dan konsistensi dari mereka yang
lebih dewasa yaitu guru, orang tua dan masyarakat.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa pencapaian pendidikan
nasional masih jauh dari harapan, apalagi untuk mampu bersaing secara
kompetitif dengan perkembangan pendidikan pada tingkat global. Baik
secara kuantitatif maupun kualitatif, pendidikan nasional masih memiliki
banyak kelemahan mendasar. Bahkan pendidikan nasional, menurut
banyak kalangan, bukan hanya belum berhasil meningkatkan kecerdasan
Sumaryati — Manajemen Pendidikan Karakter 207
1
American Dictionary of English Language, 2001, h. 2192
208 Tarb aw i yah, Vol. 13, No.2, Edisi Juli - Desember 2016
2
Thomas Lickona, Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and
Responsibility, (New York: Bantam Books, Inc. 1991), h. 52
3
Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendiknas, Panduan Pelaksanaan
Pendidikan Karakter, (Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2010), h. 45
4
Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2011), h. 46
5
Agus Wibowo, Manajemen Pendidikan Karakter di Sekolah, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012), h. 36
Sumaryati — Manajemen Pendidikan Karakter 209
etika, tanggung jawab melalui model dan pengajaran karakter yang baik
melalui nilai-nilai universal.6
Bertolak dari berbagai definsi yang telah diuraikan di atas, maka dapat
penulis katakan jika pendidikan karakter merupakan sistem penanaman
nilai-nilai karakter kepada peserta didik sehingga mereka menerapkan
dalam kehidupannya baik di keluarga, sekolah, masyarakat dan negara
sehingga dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.
Agar pendidikan karakter bisa tercapai maksimal diperlukan kerjasana
antara keluarga, sekolah dan masyarakat.
6
Berkowitz, M.W, and Bier, Melinda, C, What Works In Character Education: A Research
- driven guide for educators, (Washington, DC: Univesity of Missouri -St Louis, 2005), h. 7
7
Abdullah Munir, Pendidikan Karakter: Membangun Karakter Anak Sejak dari Rumah,
(Yogyakarta: Pedaogi, 2010), h. 14
210 Tarb aw i yah, Vol. 13, No.2, Edisi Juli - Desember 2016
8
Amirulloh Syarbini, Model Pendidikan Karakter dalam Keluarga, (Jakarta: Gramedia,
2014), h. 40
Sumaryati — Manajemen Pendidikan Karakter 211
keadilan, sopan santun, pemaaf, sabar, dan peduli.9 Nilai-nilai karakter ini
dikembangkan dari ajaran agama, filsafat bangsa, serta nilai kearifan lokal
suatu masyarakat.
Sejalan dengan tujuan pendidikan secara umum, pendidikan karakter
pada hakekatnya bertujuan menciptakan manusia yang cerdas pikiran,
moral dan spiritualnya, berbudi pekerti luhur, taat menjalankan perintah
agama, serta mempunyai mental terpuji. Namun secara khusus, penanaman
pendidikan karakter di lingkungan keluarga bertujuan untuk menciptakan
anak menjadi manusia yang berakhlak mulia, taat kepada perintah Allah
dan Rasulnya serta menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua.
Dengan demikian, pendidikan karakter di tingkat keluarga dapat dikatakan
sebagai “palang pintu” untuk membentuk generasi yang berakhlakul
karimah.
Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan di atas, penanaman pendidikan
karakter di keluarga dapat dilakukan oleh dua pelaku. Pelaku pertama
adalah keluarga inti (orang tua dan kakak adik). Sebagaimana dikemukakan
Tafsir, setidaknya ada dua alasan, yaitu orang tua telah dikodratkan untuk
mendidik anak-anak yang dilahirkannya serta aspek kepentingan orang tua
terhadap kesuksesan anak-anaknya.10 Orang tua sangat bertanggung jawab
menjadikan anak-anaknya menjadi insan yang berguna.
Pelaku kedua, keluarga besar. Maksud keluarga besar disini adalah
kakek, nenek, paman, bibi, saudara-saudara lainnya. Unsur-unsur ini bisa
berpengaruh terhadap keberhasilan penanaman karakter di lingkungan
keluarga. Ketika orang tua mengajarkan untuk sholat, tetapi di sisi lain
anak-anak melihat kakek atau paman atau bibi tidak shalat, maka kepekaan
anak untuk menuruti perintah orang tua akan sedikit goyah. Mereka bisa
berdalih mengapa mereka saja yang shalat sedangkan orang lain tidak
mengerjakannya. Oleh karena itu, perlu ada kesamaan pikiran, visi dan
9
Ibid.
10
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosdakarya,
2004), h. 74
212 Tarb aw i yah, Vol. 13, No.2, Edisi Juli - Desember 2016
11
Amirulloh Syarbini, Model Pendidikan Karakter dalam Keluarga…, h. 42
Sumaryati — Manajemen Pendidikan Karakter 213
adalah dari sosok guru yang memancarkan karakter luhur itulah besar
kemungkinan internalisasi pendidikan karakter akan efektif.
Struktur kurikulum di sekolah pada umunya ada dua mata pelajaran
yang terkait langsung dengan pengembangan karakter dan akhlak
mulia, yaitu pendidikan agama dan budi pekerti serta Pendidikan
Kewarganegaraan. Kedua mata pelajaran tersebut merupakan mata
pelajaran yang secara langsung (eksplisit) mengenalkan nilai-nilai, dan
pada taraf tertentu menjadikan peserta didik peduli dan menginternalisasi
nilai-nilai yang diajarkan.
Menurut Lickona pendidikan karakter di sekolah dapat berjalan secara
efektif jika diterapkan prinsip-prinsip berikut:
1. Nilai-nilai etika inti hendaknya dikembangkan, sementara nilai-
nilai kinerja pendukungnya dijadikan sebagai dasar atau fondasi
2. Karakter hendaknya didefinisikan secara komprehensif, disengaja,
dan proaktif
3. Pendekatan yang digunakan hendaknya komprehensif, disengaja
dan proaktif
4. Ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian
5. Berikan peserta didik kesempatan untuk melakukan tindakan
moral
6. Buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang, yang
menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan
membantu mereka untuk berhasil
7. Usahakan mendorong motivasi diri peserta didik.
8. Libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral
9. Tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral
10. Libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra
11. Evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik
karakter, dan sejauh mana peserta didik memanifestasikan
karakter yang baik.12
12
Thomas Lickona, Pendidikan Karakter, (Bandung: Ujung Berung, 2007)
216 Tarb aw i yah, Vol. 13, No.2, Edisi Juli - Desember 2016
13
M. Qurais Shihab, Wawasan al-Quran, (Bandung: Mizan, 1996), h. 321
Sumaryati — Manajemen Pendidikan Karakter 217
G. Kesimpulan
Pendidikan karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan
(knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Pendidikan karakter
tidak terbatas pada pengetahuan saja. Pendidikan karakter hendaknya juga
menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri, Dengan demikian diperlukan
tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral
knowing, moral feeling, dan moral acting. Hal ini diperlukan agar peserta
didik dan warga sekolah lain yang terlibat dalam sistem pendidikan tersebut
sekaligus dapat memahami, merasakan, menghayati dan mengamalkan
(mengerjakan) nilai-nilai kebajikan (moral). Dalam mengimplementasikan
pendidikan karakter, komunitas sekolah tidak bekerja dan berjuang sendiri.
Akan tetapi, sekolah hendaknya bekerjasama dengan masyarakat di luar
lembaga pendidikan; seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara.
Dengan desain demikian, diharapkan pendidikan karakter akan senantiasa
hidup dan sinergi dalam setiap rongga pendidikan.[]
DAFTAR PUSTAKA
14
E. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013), h. 73
220 Tarb aw i yah, Vol. 13, No.2, Edisi Juli - Desember 2016