Anda di halaman 1dari 21

HAKEKAT IPTEKS DALAM PANDANGAN ISLAM

DAN PRINSIP AJARAN ISLAM DALAM ILMU


SERTA DAKWAH BIL’HAL MELALUI
PENGEMBANGAN IPTEKS

Al – islam kemuhammadiyaan

Drs. Syamsudin N. Tuli M.Si

Disusun Oleh

Dani kurniawan

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan konsekuensi dari


konsep ilmu dalam Al Qur‟an yang menyatakan bahwa hakikat ilmu itu adalah
menemukan sesuatu yang baru bagi masyarakat, artinya penemuan sesuatu yang
sebelumnya tidak diketahui orang (Imam Mushoffa, dan Aziz.Musbikin. 2001: XII)

Namun satu fenomena yang paling memilukan yang dialami umat Islam seluruh
dunia saat ini adalah ketertinggalan dalam persoalan iptek, padahal untuk
kebutuhan kontemporer kehadiran iptek merupakan suatu keharusan yang tidak
dapat ditawar, terlebih-lebih iptek dapat membantu dan mempermudah manusia
dalam memahami (mema‟rifati) kekuasaan Allah dan melaksanakan tugas
kekhalifahan (Zalbawi Soejoeti, 1998: XIII)

Realitas tersebut sebenarnya tidak akan terjadi jika umat Islam kembali kepada
ajaran Islam yang hakiki. Untuk itulah sudah saatnya umat Islam bangkit untuk
mengejar ketertinggalannya dalam hal iptek, karena sebenarnya dalam sejarah
dijelaskan bahwa umat Islam pernah memegang kendali dalam dunia intelektual,
jadi sangat mungkin jika saat ini umat Islam bangkit dan meraih kembali kejayaan
Islam tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan hakekat IPTEKS ?


2. Bagaimana prinsip dan ajaran islam dalam ilmu ?
3. Bagaimana dakwah bil hal melalui pengembangan dan penerapan IPTEKS ?

C. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui hakekat IPTEKS dan prinsip ajaran islam dalam ilmu serta dakwah
bilhal mengenai pengembangan dan penerapan IPTEKS

BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakekat IPTEKS dalam Pandangan Islam

a. Konsep IPTEKS dan Peradaban Muslim

Salah satu jabatan termulia manusia selain sebagai hamba Allah („abdullah)
sebagaimana diamanatkan oleh Allah ialah pengutusan manusia sebagai
khalifatullah. Dalam al-Qur‟an surat Al-Baqarah [2]: 30 disebutkan:

ْ‫ل َو ِإذ‬ ْ ِ ‫ل قَالُوا ْۖ َخ ِليفَةْ اْلَر‬


َْ ‫ْض ِفي َجا ِعلْ ِإ ِني ِلل َم ََل ِئ َك ِْة َربُّكَْ قَا‬ ُْ ‫الد َما َْء َو َيس ِفكُْ ِفي َها يُف ِس ْد ُ َمنْ ِفي َها أَت َج َع‬
ِ ُْ‫ح َونَحن‬ َ ُ‫ن‬
ُْ ‫س ِب‬
َْ‫ِس بِ َحمدِك‬ َْ ‫ل َما أَعلَ ُْم إِنِي قَا‬
ُْ ‫ل ْۖلَكَْ َونُقَد‬ ْ َ َْ‫تَعلَ ُمون‬

Artinya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”

Dari ayat di atas dapatlah dipahami bahwa khalifah berarti wakil,


pengganti, pengemban tugas dan kewajiban, suksesor. Manusia sebagai khalifah
Allah diberikan amanah dalam dua hal penting. Pertama, tugas manusia untuk
selalu memelihara bumi dari pengerusakan secara sengaja dan kerusakan yang
disebabkan oleh alam sehingga bumi diwariskan kepada generasi penerus dalam
keadaan tetap lestari. Kedua, kewajiban manusia untuk selalu menciptakan
perdamaian dengan penuh cinta kasih dan menghindari pertumpahan darah. Hal
ini sejalan dengan visi Risalah Islamiyyah untuk selalu menebar rahmat kepada
alam (wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil „aalamiiin).

Kedua tugas dan kewajiban manusia di atas sejalan dan terkait erat
dengan konsep pemikiran IPTEKS dan Peradaban. Tugas manusia untuk menjaga,
merawat, dan memelihara bumi dari berbagai macam pengerusakan yang
dilakukan oleh ulah manusia yang tak bertanggungjawab dengan melakukan
eksploitasi berlebihan dapat mengancam keselamatan umat manusia.
Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Banyak disebutkan dalam Al Qur‟an ayat-ayat yang menganjurkan manusia untuk
senantiasa mencari ilmu. Allah senantiasa meninggikan derajat orang-orang yang
berilmu, sebagaimana telah dijelaskan dalam QS. Al-Mujadalah [58]: 11.

‫ج ا ل ِ ِسْ ف ِ ي ت َ ف َ س َّ حُ وا ل َ ك ُ مْ ق ِ ي لَْ إ ِ ذ َ ا آ مَ ن ُ وا ا ل َّ ذِ ي نَْ أ َ ي ُّ ه َ ا ي َ ا‬


َ َ‫ْۖ ل َ ك ُ مْ ّللاَّ ُْ ي َ ف س َ حِْ ف َ اف س َ حُ وا ال م‬
‫ال عِ ل مَْ أ ُ وت ُ وا َو ا ل َّ ذِ ي نَْ ِم ن ك ُ مْ آ مَ ن ُ وا ا ل َّ ذِ ي نَْ ّللاَّ ُْ ي َ ر ف َ عِْ ف َ ان ش ُ ُز وا ان ش ُ ُز وا ق ِ ي لَْ َو إ ِ ذ َ ا‬
َ ‫خَ ب ِ يرْ ت َع َم ل ُ و نَْ ب ِ َم ا َو ّللاَّ ُْ ْۚد َ َر‬
ْ‫ج ات‬

Artinya:

Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-


lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Yang terpenting adalah ilmu itu tujuannya tidak boleh keluar dari nilai-nilai islami
yang sudah pasti nilai-nilai tersebut membawa kepada kemaslahatan manusia.
Seluruh ilmu, baik ilmu-ilmu teologi maupun ilmu-ilmu kealaman merupakan alat
untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan selama memerankan peranan ini,
maka ilmu itu suci. (Mahdi Ghulsyani, 1998: 57).

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan konsekuensi dari


konsep ilmu dalam Al Qur‟an yang menyatakan bahwa hakikat ilmu itu adalah
menemukan sesuatu yang baru bagi masyarakat, artinya penemuan sesuatu yang
sebelumnya tidak diketahui orang (Imam Mushoffa, dan Aziz.Musbikin. 2001: XII).

Namun satu fenomena yang paling memilukan yang dialami umat Islam seluruh
dunia saat ini adalah ketertinggalan dalam persoalan iptek, padahal untuk
kebutuhan kontemporer kehadiran iptek merupakan suatu keharusan yang tidak
dapat ditawar, terlebih-lebih iptek dapat membantu dan mempermudah manusia
dalam memahami (mema‟rifati) kekuasaan Allah dan melaksanakan tugas
kekhalifahan (Zalbawi Soejoeti, 1998: XIII).

Realitas tersebut sebenarnya tidak akan terjadi jika umat Islam kembali kepada
ajaran Islam yang hakiki. Untuk itulah sudah saatnya umat Islam bangkit untuk
mengejar ketertinggalannya dalam hal iptek, karena sebenarnya dalam sejarah
dijelaskan bahwa umat Islam pernah memegang kendali dalam dunia intelektual,
jadi sangat mungkin jika saat ini umat Islam bangkit dan meraih kembali kejayaan
Islam tersebut.

Sudah menjadi pemikiran yang umum bahwasanya agama yang identik dengan
kesakralan dan stagnasi tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan ipteks
yang notabene selalu berkembang dengan pesat. Namun pemikiran ini tidak
berlaku lagi ketika agama tidak hanya dilihat dari ritualitas-ritualitas belaka
namun juga melihat nilai-nilai spiritualitas yang hakiki.

Menurut Harun Nasution, tidak tepat anggapan yang mengatakan bahwa semua
ajaran agama bersifat mutlak benar dan kekal. disamping ajaran-ajaran yang
bersifat absolut benar dan kekal itu terdapat ajaran-ajaran yang bersifat relatif
dan nisbi, yaitu yang dapat berubah dan boleh diubah. Dalam konteks Islam,
agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, memang terdapat dua
kelompok ajaran tersebut, yaitu ajaran dasar dan ajaran dalam bentuk penafsiran
dan penjelasan tentang perincian dan pelaksanaan ajaran-ajaran dasar itu (Harun
Nasution,1995:292)

Allah SWT. menciptakan alam semesta dengan karakteristik khusus untu tiap
ciptaan itu sendiri. Sebagai contoh, air diciptakan oleh Allah dalam bentuk cair
mendidih bila dipanaskan 100 C pada tekanan udara normal dan menjadi es bila
didinginkan sampai 0 C. Ciri-ciri seperti itu sudah lekat pada air sejak air itu
diciptakan dan manusia secara bertahap memahami ciri-ciri tersebut.
Karakteristik yang melekat pada suatu ciptaan itulah yang dinamakan
“sunnatullah”. Dari Al Qur‟an dapat diketahui banyak sekali ayat yang
memerintahkan manusia untuk memperhatikan alam semesta, mengkaji dan
meneliti ciptaan Allah (Fuad Amsari, 1995: 70)

Disinilah sesungguhnya hakikat Iptek dari sudut pandang Islam yaitu pengkajian
terhadap sunnatullah secara obyektif, memberi kemaslahatan kepada umat
manusia, dan yang terpenting adalah harus sejalan dengan nilai-nilai keislaman.
Allah SWT. secara bijaksana telah memberikan isyarat tentang ilmu, baik dalam
bentuk uraian maupun dalam bentuk kejadian, seperti kasus mu‟jizat para Rasul.
Manusia yang berusaha meningkatkan daya keilmuannya mampu menangkap dan
mengembangkan potensi itu, sehingga teknologi Ilahiyah yang transenden
ditransformasikan menjadi teknologi manusia yang imanen (Imam Mushoffa,
Aziz.Musbikin, 2001: XII)

Studi Al Qur‟an dan Sunnah menunjukkan bahwa karena dua alasan fundamental,
Islam mengakui signifikansi sains:

1. Peranan sains dalam mengenal Tuhan


2. Peranan sains dalam stabilitas dan pengembangan masyarakat
Islam (Mahdi Ghulsyani, 1998: 62).

b. Hubungan Ilmu, agama dan Budaya


Ilmu (science) termasuk pengetahuan (knowledge). Yang dimaksud dengan
ilmu ialah pengetahuan yang diperoleh dengan cara tertentu yang dinamakan
metode ilmiah. Pengertian pengetahuan lebih luas daripada ilmu. Pengetahuan
adalah produk pemikiran. Berpikir merupakan suatu proses yang mengikuti jalan
tertentu dan akhirnya menuju kepada suatu kesimpulan dan membuahkan suatu
pendapat atau pengetahuan. Menurut Leonard Nash (dalam The Nature of
Natural Sciences, 1963 cit. Soemitro, 1990), ilmu pengetahuan adalah suatu
institusi sosial (social institution) dan juga merupakan prestasi perseorangan
(individual achievement). Dalam hipotesisnya Endang Saifuddin Anshari (1981: 97)
menjelaskan ada empat sumber pengetahuan manusia yaitu: 1) „Pikiran
manusia‟. Hal ini melahirkan paham rationalism yang berpendapat bahwa sumbe
satu-satunya dari pengetahuan manusia adalah rationya (akal budinya).
Pelopornya ialah Rene Descartes. Aliran ini sangat mendewakan akal budi
manusia yang melahirkan paham „intelektualisme‟ dalam dunia pendidikan. 2)
„Pengalaman manusia‟. Dengan ini muncul aliran empirisme yang dipelopori oleh
tokoh yang bernama John Locke. Manusia dilahirkan sebagai kertas putih.

Walaupun daerah agama dan daerah ilmu yang nyata terpisah satu sama lain,
namun antara keduanya terdapat hubungan yang kuat. Walaupun agama yang
menetapkan tujuan, namun agama tetap belajar dari ilmu dalam arti yang seluas-
luasnya. Alat-alat apa yang dapat membantu mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Akan tetapi ilmu hanya dapat diciptakan oleh orangorang yang
jiwanya penuh dengan keinginan untuk mencapai kebenaran dan pengertian
(Endang Saifuddin Anshari, 1981: 153-154).

Seperti halnya kebudayaan agama sangat menekankan makna dan signifikasi


sebuah tindakan. Karena itu sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat erat
antara kebudayaan dan agama bahkan sulit dipahami kalua perkembangan
sebuah kebudayaan dilepaskan dari pengaruh agama. Sesunguhnya tidak ada
satupun kebudayaan yang seluruhnya didasarkan pada agama. Untuk sebagian
kebudayaan juga terus ditantang oleh ilmu pengetahuan, moralitas secular, serta
pemikiran kritis.

Meskipun tidak dapat disamakan, agama dan kebudayaan dapat saling


mempengarui. Agama mempengaruhi sistem kepercayaan serta praktik-praktik
kehidupan. Sebalikny akebudayaan pun dapat mempengaruhi agama, khususnya
dalam hal bagaimana agama di interprestasikan/ bagaimana ritual-ritualnya harus
dipraktikkan. Tidak ada agama yang bebas budaya dan apa yang disebut Sang –
Illahi tidak akan mendapatkan makna manusiawi yang tegas tanpa mediasi
budaya, dlam masyarakat Indonesia saling mempengarui antara agama dan
kebudayaan sangat terasa. Praktik inkulturasi dalam upacara keagamaan hamper
umum dalam semua agama. Budaya yang digerakkan agama timbul dari proses
interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk
suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor
geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif. Budaya agama tersebut
akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kesejarahan
dalam kondisi objektif dari kehidupan penganutnya.

Hubungan kebudayaan dan agama tidak saling merusak, kuduanya justru saling
mendukung dan mempengruhi. Ada paradigma yang mengatakan bahwa ”
Manusia yang beragma pasti berbudaya tetapi manusia yang berbudaya belum
tentu beragama”.Jadi agama dan kebudayaan sebenarnya tidak pernah
bertentangan karena kebudayaan bukanlah sesuatu yang mati, tapi berkembang
terus mengikuti perkembangan jaman. Demikian pula agama, selalu bisa
berkembang di berbagai kebudayaan dan peradaban dunia. Jika kita teliti budaya
Indonesia, budaya itu terdiri dari 5 lapisan. Lapisan itu diwakili oleh budaya
agama pribumi, Hindu, Buddha, Islam dan Kristen (Andito, ed,1998:77-79)

Lapisan pertama adalah agama pribumi yang memiliki ritus-ritus yang berkaitan
dengan penyembahan roh nenek moyang yang telah tiada atau lebih setingkat
yaitu Dewa-dewa suku seperti sombaon di Tanah Batak, agama Merapu di Sumba,
Kaharingan di Kalimantan. Berhubungan dengan ritus agama suku adalah
berkaitan dengan para leluhur menyebabkan terdapat solidaritas keluarga yang
sangat tinggi. Oleh karena itu maka ritus mereka berkaitan dengan tari-tarian dan
seni ukiran, Maka dari agama pribumi bangsa Indonesia mewarisi kesenian dan
estetika yang tinggi dan nilai-nilai kekeluargaan yang sangat luhur. Lapisan kedua
dalah Hinduisme, yang telah meninggalkan peradapan yang menekankan
pembebasan rohani agar atman bersatu dengan Brahman maka dengan itu ada
solidaritas mencari pembebasan bersama dari penindasan sosial untuk menuju
kesejahteraan yang utuh. Solidaritas itu diungkapkan dalam kalimat Tat Twam Asi,
aku adalah engkau.

Lapisan ketiga adaalah agama Buddha, yang telah mewariskan nilai-nilai yang
menjauhi ketamakan dan keserakahan. Bersama dengan itu timbul nilai
pengendalian diri dan mawas diridengan menjalani 8 tata jalan keutamaan.

Lapisan keempat adalah agama Islam yang telah menyumbangkan kepekaan


terhadap tata tertib kehidupan melalui syari‟ah, ketaatan melakukan shalat
dalam lima waktu,kepekaan terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan
melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat (amar makruf nahi munkar)
berdampak pada pertumbuhan akhlak yang mulia. Inilah hal-hal yang
disumbangkan Islam dalam pembentukan budaya bangsa.

Lapisan kelima adalah agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama ini
menekankan nilai kasih dalam hubungan antar manusia. Tuntutan kasih yang
dikemukakan melebihi arti kasih dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak
menuntut balasan yaitu kasih tanpa syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional
tapi sebagai tindakan konkrit yaitu memperlakukan sesama seperti diri sendiri.
Atas dasar kasih maka gereja-gereja telah mempelopori pendirian Panti Asuhan,
rumah sakit, sekolah-sekolah dan pelayanan terhadap orang miskin.
Masyarakat, agama dan kebudayaan sangat erat berkaitan satu sama lain. Saat
budaya atau agama diartikan sesuatu yang terlahir di dunia yang manusia mau
tidak mau harus menerima warisan tersebut. Berbeda ketika sebuah kebudayaan
dan agama dinilai sebagai sebuah proses tentunya akan bergerak kedepan
menjadi sebuah pegangan, merubah suatu keadaan yang sebelumnya menjadi
lebih baik.

Ketika agama dilihat dengan kacamata agama maka agama akan memerlukan
kebudayaan. Maksudnya agama (Islam) telah mengatur segala masalah dari yang
paling kecil contohnya buang hajat hingga masalah yang ruwet yaitu pembagian
harta waris dll. Sehingga disini diperlukan sebuah kebudayaan agar agama (Islam)
akan tercemin dengan kebiasaan masyarakat yang mencerminkan masyarakat
yang beragama, berkeinginan kuat untuk maju dan mempunyai keyakinan yang
sakral yang membedakan dengan masyarakat lainnya yang tidak menjadikan
agama untuk dibiasakan dalam setiap kegiatan sehari-hari atau diamalkan
sehingga akan menjadi akhlak yang baik dan menjadi kebudayaan masyarakat
tersebut.

c. Hukum Sunnahtullah ( Kausalitas ) .


Terma Sunnatullah yang banyak disebutkan di dalam al-Qur‟an
merupakan terma bagi aturan global yang berlaku dan ditetapkan oleh Allah
terhadap seluruh komponen alam semesta. Mulai dari yang terkecil sampai yang
terbesar, dari yang bersifat materi maupun yang immateri, seluruhnya berjalan di
atas aturan-aturan ini. Dan secara umum, aturan tersebut berdiri diatas hukum
sebab-akibat (kausal) atau premis dan hasil akhir (conclution)(Abdul Karim Zaidan:
33).

Di dalam al-Qur‟an dijelaskan:

ِ ‫س َ ب َ ب ا ش َ ي ءْ ك ُ لِْ ِم نْ َو آت َي ن َاهُْ اْل َ ر‬


‫ضْ ف ِ ي ل َ هُْ مَ ك َّ ن َّ ا إ ِ ن َّ ا‬

Artinya:

“Kami datangkan bagi setiap sesuatu dengan adanya sebab”. (QS. al-Kahfi [18]:
84)
Berdasarkan hal di atas, dapat diketahui jika terma Sunnatullah ini seringkali
disandingkan/dikolokasikan dengan istilah hukum alam (causality) ala pemikiran
Barat atau bahkan dianggap sama oleh sebagian umat Islam. Padahal, di antara
kedua terma tersebut terdapat perbedaan yang sangat mendasar dan substansial.
Di dalam konsep Barat, hukum kausalitas tersebut menafikan adanya ”kekuasaan”
dan ”kehendak” di luar kehendak dan kekuasaan manusia. Dalam arti murni
didasarkan atas potensi suatu benda atau usaha manusia saja. Sedangkan di
dalam Islam, justru faktor di luar diri manusia dan benda itulah yang menentukan
hasil akhir dari hukum kausalitas tersebut (Agus Mustafa, 2006: 60-61).

Dengan demikian, hukum kausalitas di dalam Islam diyakini bahwa pada


hakikatnya bukanlah sebab-sebab itu yang membawa akibat. Namun, akibat itu
muncul adalah karena Allah SWT menghendaki demikian. Sebagaimana dijelaskan
di dalam al-Qur‟ān: (QS: ‟AliْImranْ[3]:ْ83)

ْ‫تْ ف ِ ي َم نْ أ َس ل َ مَْ َو ل َ هُْ ي َ ب غ ُ و نَْ ّللاَّ ِْ دِ ي ِنْ أ َ ف َ غ َي َر‬


ِ ‫او ا‬ ِ ‫َو إ ِ ل َ ي هِْ َو ك َر ه ا ط َ و ع ا َو اْل َر‬
َ ‫ضْ ال س َّ َم‬
َْ‫ي ُر َج ع ُ و ن‬

Artinya:
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agam Allah, padahal
kepada-Nyalah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan
suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan”. (QS:
‟AliْImranْ[3]:ْ83).

Dengan demikian, hukum kausalitas di dalam Islam tidak hanya berjalan secara
horisontal dalam dua arah, antara depan dan belakang, antara sebab dan akibat,
akan tetapi berjalan dalam tiga arah. Horisontal dan vertikal, depan dan belakang
serta atas. Sudut ”belakang” adalah peristiwa atau usaha dari potensi suatu benda
atau manusia. Sedangkan sudut vertikal adalah kekuasaan dan kehendak Allah.
Dan sudut ”depan” adalah hasil akhir (conclution) (Agus Mustafa, 2006: 61).

B. Prinsip dan Ajaran Islam dalam Ilmu


a. Ilmu dalam Perspektif Islam

Islam itu beda dan istimewa dibanding yang lain. Banyak hal untuk menunjukkan hal
itu.
Bagaimana tidak? Al Quran dan As Sunnah, sebagai referensi tertinggi umat Islam,
telah menegaskan hal itu. Lalu, ditunjukkan pula dengan sikap para sahabat nabi,
para tabi’in (murid-murid sahabat nabi), hingga zaman keemasan Islam. Maka,
sudah semestinya bagi umat Islam masa kini, mengembalikan supremasi yang sudah
hilang, yang diawali pemahaman yang benar terhadap posisi ilmu dan ilmuwan.
Merenungi dan tidak menganggapnya ini sebagai utopia (mimpi) semata. Sebab
mimpi kemarin adalah kenyataan hari ini, khayalan hari ini adalah kenyataan hari
esok.Perspektif Al Quran. Dalam Al Quran banyak sekali ayat yang menegaskan hal
ini. Di sini akan ditunjukkan beberapa saja, diantaranya:Pertama. Ilmuwan adalah
tempat bertanya.

Allah Ta’ala befirman:


َ َ َ ُ ْ ُ ْ ْ ِّ ْ َ َُ ْ َ
‫اسألوا أه َل الذك ِر ِإن كنت ْم ال ت ْعل ُمون‬‫ف‬

“Maka, bertanyalah kepada ahli dzikr jika kalian tidak tahu.” (QS. An Nahl (16): 43)
Ahli dzikri dalam ayat ini adalah bermakna Ahlul ‘Ilmi (ilmuwan), juga ahli Al Quran,
sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma. (Imam Al Qurthubi,
Jami’ul Ahkam, 10/108. Cet. 1. 1420H-2000M. Muasasah Ar Risalah)

Lihatlah ayat ini! Ahli ilmu dijadikan tempat rujukan bagi manusia untuk mengetahui
perkara yang mereka ingin ketahui. Dan, masing-masing urusan ada ilmunya,
masing-masing ilmu ada ahlinya, dan kepada merekalah kita diperintahkan untuk
bertanya.
Secara khusus ayat ini juga menceritakan keunggulan Ahlul Quran, dan Adz Dzikr
adalah nama lain dari Al Quran. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di
Rahmatullah ‘Alaih berkata:
‫ وأن أعىل أنواعه العلم بكتاب هللا ز ز‬،‫وعموم هذه اآلية فيها مدح أهل العلم‬
‫ فإن هللا أمر من ال يعلم‬.‫المنل‬
‫ز‬ ‫ز‬
‫ وأن بذلك‬،‫وف ضمنه تعديل ألهل العلم وتزكية لهم حيث أمر بسؤالهم‬ ‫ ي‬،‫بالرجوع إليهم يف جميع الحوادث‬
‫ وأنهم مأمورون ز‬،‫وتنيله‬
،‫بنكية أنفسهم‬ ‫ فدل عىل أن هللا ائتمنهم عىل وحيه ز ز‬،‫يخرج الجاهل من التبعة‬

‫الكمال‬ ‫بصفات‬ ‫واالتصاف‬.


،‫غنهم بهذا االسم‬‫ وأوىل من ر‬،‫ فإنهم أهل الذكر عىل الحقيقة‬،‫وأفضل أهل الذكر أهل هذا القرآن العظيم‬
ْ ِّ َ َ َ ْ َ
‫ القرآن الذي فيه ذكر ما يحتاج إليه العباد من أمور دينهم ودنياهم‬:‫ { َوأنزلنا ِإل ْيك الذك َر } أي‬:‫ولهذا قال تعاىل‬
‫والباطنة‬ ‫الظاهرة‬

“Secara umum, dalam ayat ini terdapat pujian terhadap ahlul ilmi (ilmuwan), dan
jenis yang paling tinggi adalah pengetahuan terhadap Kitabullah (Al Quran). Maka,
Allah memerintahkan orang yang tidak tahu untuk mengembalikan kepada mereka
dalam berbagai urusan, dan di dalamnya juga terdapat pujian dan mentazkiyah
(membanggakan) ahli ilmu, yakni ketika Allah memerintahkan untuk menanyai
mereka. Dan, dengan hal itu dapat mengeluarkan orang bodoh dari sifat ikut-ikutan,
dan menunjukkan bahwa Allah mengamanahkankan mereka atas wahyuNya dan
kitabNya. Mereka juga diperintahkan untuk mentazkiyah para ulama dengan sifat-
sifat yang baik. Sebaik-baiknya Ahludz Dzikr adalah ahlinya Al Quran Al ‘Azhim,
merekalah ahli dzikri sebenarnya, dan mereka lebih utama disbanding selainnya
dengan penamaan ini. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman: (Kami menurunkan
kepadamu Adz Dzikr) yaitu Al Quran yang di dalamnya terdapat peringatakan (Dzikr)
yang dibutuhkan hamba-hamba Allah, berupa perkara agama dan dunia mereka,
baik yang nampak maupun tersembunyi.” (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di,
Taisir Al Karim Ar Rahman, 1/441. Cet. 1, 1420H-2000M. Muasasah Ar Risalah).

 Ilmu menurut para ilmuan barat :

Kata “Ilmu“ merupakan terjemahan dari “science”,menggunakan metode-metode yang


secara etimologis berasal dari bahasa latin “scinre” artinya “to know”. Dalam arti yang
sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam yang sifatnya
kuantitatif dan objektif.
Menurut Harold H Titua, ilmu diartikan sebagai common sense yang diatur dan
diorganisasikan, mengadakan pendekatan trhadap benda-benda atau peristiwa-peristiwa
dengan menggunakan metode-metode obserfasi, yang diteliti dan kritis. Prof. Dr. M.J.
langafeld, Guru Besar pada Rijik Universiteit Utrectht menyatakan seabagai
berikt:“pengetahuan ialah kesatuan subjek yang mengetahui dan obyek yang diketahui. Satu
kesatuan dalam mana objeek itu Di pandang oleh subyek sebagai diketahuinnya”. Prof. Dr.
Sikun menulis “objek ilmu pengetahuan ialah dunia fenomenal dan metode pendekatanya
ialah berdasarkan pengalaman (exsperience) dengan menggunakan berbagai cara seperti
observasi, eksperimeen survei, study kasus, dan sebagainya pengalaman itu diolah oleh
pikiran atas dasar hukum logika yang tertib. Data yang dikumpulkan diolah dengan cara
analisis, induktif kemudian ditentukan relasi-relasi antara data-data, diantarannya relasi
kausalitas. Dan itu disusun melalui sistem tertentu yang merupakan satu keseluruha yang
teritregatif.keseluruhan integratuf ini disebut ilmu”.Dari beberapa pengertian “ilmu” diatas
dapat digambarkan lebih jelas bahwa ilmu pada prinsipnya merupakan usaha untuk
mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense, suatu pengetahuan yang
bersal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, namun dilanjutkan
dengan sesuatu pemikran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.
 Cara Menperoleh Ilmu Menurut Ilmuwan Barat

Secara garis besar terdapat dua aliran pokok epistimologi, yaitu rasionalisme dan
empirisme, yang pada giliranya kemudian muncul beberapa isme lain, mislnya:
rasinalisme kritis (kritisisme), (fenomenelisme), intuisionisme, positifismemdan
seterusnya. Rasionalisme adalah suatu aliran pemikiran yang menekankan
pentingnya peran akal atau ide, sementara peran indra dinomerduakan. Pemikiran
para filsuf pada dasarnya tidak lepas dari orientasi ini: rasio dan indra.dari rasio
kemudian melahirkan rasionalisme yang berpijak pada dasar ontologik idealisme
atau spiritualisme; dan dari indra lalu melahirkan empirisme yang berpijak pada
dasar dan ontologik rasionalisme. Selain metode rasionalisme adalah metode
empirisme yang bersifat korespondensi, hasil hubungan antara subjek dan objek
melalui pengalaman, sehingga mudah dibuktikan dan di uji. Kebenaran didapat dari
pengalaman melalui proses induktif, dari suatu benda ditarik kesimpulan. Menuru
Locke pengalaman ada dua macam: pengalaman lahiriah dan pengalaman batiniah
yang kedudukannya saling menjalin. Empirisme Locke dikembangkan oleh Comte,
orang filsuf berkebangsaan Perancis dengan teori positifismenya. Menurut
positifisme, yang ada adalah tampak, segala gejala di tolak. Beda empirisme dangan
positifisme adalah keduanya mengutamakan pengalaman, tetapi positifisme hanya
membatasi diri pada pengalaman objektif, sementara empirisme menerima
pengalaman subjektif (batiniah) (Harun, 1990: 109-110).

 Analisa

Perbedaan Ilmu Menurut Perspektif Islam dengan Ilmuwan Barat :

Perbedaan Ilmu menurut perspekti Islam dengan ilmuwan Barat adalah: Ilmu
menurut perspektif islam memiliki peran instrumen atau sarana untuk mencapai
tujuan Islam, tujuan ilmu disini sama denngan tujuan dari agama Islam, yaitu
kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan dikatakan bahwa orang yang memiliki ilmu
adalah orang yang mencari hakikat (kebenaran).dalam Islam ilmu sangat berkaitan
erat sekali dangan iman, iman snagt esensial, ilmu tanpa iman tak akan produktif,
dan akan berbahaya. Dan cara memperolahnya pun sedikit berbeda dengan apa
yang ditetapkan oleh Ilmuan Barat. Dalam Islam ilmu ada yang harus diperoleh
melalui intuisi dan wahyu. Sedangkan menurut ilmuwan barat ilmu adalah suatu
pengetahuan yang bersal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan
sehari-hari namun dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti
dengan menggunakan berbagai metode, dengan tujuan mengembangkan dan
memberi makan terhadap dunia faktual. Metode memperolah ilmu menurut
ilmuwan Barat tidak ada yang menggunakan intuisi dan wahyu, karena Ilmu dalam
perspektif Barat tidak ada kaitannya dengan Agama, karena Agama dianggap tidak
mendukung pertumbuhan ilmu dan cara berfikir ilmiah.

b. Penerapan Ilmu Berbasis sunnahtullah dan Qadarullah


a. Sunnahtullah

Kata sunnatullah dari segi bahasa terdiri dari kata sunnah dan Allah. Kata
sBunnah antara lain berarti kebiasaan. Sunnatullah adalah kebiasaan-kebiasaan
Allah dalam

memperlakukan masyarakat. Dalam al-Qur’an kata sunnatullah dan yang semakna


dengannya seperti sunnatina atau sunnatul awwalin terulang sebanyak tiga belas
kali. Sunnatullah adalah hukum-hukum Allah yang disampaikan untuk umat manusia
melalui para Rasul, undang-undang keagamaan yang ditetapkan oleh Allah yang
termaksud di dalam al-Qur’an, hukum (kejadian) alam yang berjalan tetap dan
otomatis.

Sunatullah adalah bagian yang bersifat 'dinamis' dari ilmu-pengetahuan-Nya di alam


semesta ini. Karena sunatullah memang hanya semata terkait dengan segala proses
penciptaan dan segala proses kejadian lainnya (segala proses dinamis). Sunatullah
itu sendiri tidak berubah-ubah, namun masukan dan keluaran prosesnya yang bisa
selalu berubah-ubah secara 'dinamis' (segala keadaan lahiriah dan batiniah 'tiap
saatnya'), dan tentunya sunatullah juga berjalan atau berlaku 'tiap saatnya'.
Sunatullah berupa tak-terhitung jumlah aturan atau rumus proses kejadian (lahiriah
dan batiniah), yang bersifat 'mutlak' dan 'kekal', yang tiap saatnya pasti selalu
mengatur segala zat ciptaan-Nya di alam semesta ini.

Ilmu berdasarkan Sunnahtullah

Segala bentuk ilmu-pengetahuan (beserta segala teori dan rumus di


dalamnya), yang dikenal dan dicapai oleh manusia, secara "amat obyektif" (sesuai
dengan fakta-kenyataan-kebenaran secara apa adanya, tanpa ditambah dan
dikurangi), pada dasarnya hanya semata hasil dari pengungkapan, atas sebagian
amat sangat sedikit dari ilmu-pengetahuan-Nya (terutama sunatullah). Bahkan
nantinya, segala bentuk ilmu-pengetahuan yang belum dikenal, juga hanya hasil dari
usaha mengungkap atau memformulasikan sunatullah, yang justru telah ditentukan
atau ditetapkan-Nya, sebelum awal penciptaan alam semesta ini.
Dan segala bentuk ilmu-pengetahuan lainnya pada manusia, yang bukan hasil dari
usaha mengungkap atau memformulasikan sunatullah, secara "amat obyektif",
tentunya bukan bentuk ilmu-pengetahuan yang 'benar'. Ilmu-pengetahuan Allah,
Yang Maha Mengetahui bersifat 'mutlak' (pasti benar) dan 'kekal' (selalu benar).
Sedangkan segala bentuk ilmu-pengetahuan manusia (bahkan termasuk para nabi-
Nya), pasti bersifat 'relatif' (tidak mutlak benar), 'fana' (hanya benar dalam keadaan
tertentu) dan 'terbatas' (tidak mengetahui segala sesuatu hal). Karena tiap manusia
memang pasti memiliki segala kekurangan dan keterbatasan.
Namun tiap manusia justru bisa berusaha semaksimal mungkin, agar tiap bentuk
ilmu-pengetahuannya bisa makin 'sesuai' atau 'mendekati' ilmu-pengetahuan Allah
di alam semesta ini, dengan menggunakan akalnya secara relatif makin cermat,
obyektif dan mendalam.

Segala bentuk ilmu-pengetahuan manusia mestinya bisa dipilih terlebih dahulu,


secara amat hati-hati, cermat dan selektif, sebelum dipakai atau diyakini, karena
relatif bisa mudah menyesatkan, terutama pada agama, ajaran dan paham yang
bersifat 'musyrik' dan 'materialistik', yang memang pasti tidak sesuai dengan
kebenaran-Nya (mustahil berasal dari Allah dan tidak bersifat mendasar / hakiki).

b. Qadarullah

Takdir (qadar) adalah perkara yang telah diketahui dan ditentukan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan telah dituliskan oleh al-qalam (pena) dari segala sesuatu
yang akan terjadi hingga akhir zaman.

Ilmu berdasarkan Qadarullah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


‫خنه ر‬
‫وشه حت بعلم أن ما أصابه لم يكن ليخطئه وأن ما أخطأه لم يكن‬ ‫ال يؤمن عبد حت يؤمن بالقدر ر‬
‫ليصيبه‬
“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia beriman kepada qadar baik dan
buruknya dari Allah, dan hingga yakin bahwa apa yang menimpanya tidak akan
luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan menimpanya.”

(Shahih, riwayat Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/451) dari Jabir bin


‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dalam
Musnad-nya (no. 6985) dari ‘Abdullah bin ‘Amr. Syaikh Ahmad Syakir berkata:
‘Sanad hadits ini shahih.’

Jibril ‘alaihis salam pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam mengenai iman, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
‫بالقدرخنه ر‬
‫وشه‬ ‫ر‬ ‫اإليمان أن تؤ من با هلل ومال ئكته وكتبه ورسله واليوم اال خر وتؤ من‬

“Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-


Rasul-Nya, hari akhir serta qadha’ dan qadar, yang baik maupun yang buruk.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya di kitab al-Iman wal Islam wal Ihsan
(VIII/1, IX/5))

Dan Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma juga pernah mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ز‬
‫والكيس‬ ‫شء بقدر حت العجز‬‫ر‬
‫كل ي‬
“Segala sesuatu telah ditakdirkan, sampai-sampai kelemahan dan kepintaran.”

c. Ayat dan Hadist yang Relevan

Kedudukan Ilmu pengetahuan dalam Islam menempati kedudukan tinggi


dimana Al-Qur’an memandang orang yang beriman dan berilmu pengetahuan
berada pada posisi yang tinggi dan mulia, dan juga ditegaskan dalam Hadits-hadits
Nabi yang memuat anjuran dan dorongan untuk menuntut ilmu. “Allah akan
mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa
derajat.” (QS. Mujadillah [58]: Hal ini juga ditegaskan dalam beberapa ayat dan
hadits rasulullah saw sebagai berikut:

“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan


orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS Mujaadilah [58] :11)

Rasulullah saw pun memerintahkan para orang tua agar mendidik anak-anaknya
dengan sebaik mungkin. “Didiklah anak-anakmu, karena mereka itu diciptakan buat
menghadapi zaman yang sama sekali lain dari zamanmu kini.” (Al-Hadits Nabi saw).
“Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap Muslimin, Sesungguhnya Allah mencintai
para penuntut ilmu.” (Hadis Nabi saw).

Ayat ini menguraikan bagaimana kedudukan dari setiap umat manusia yang
memiliki tingkat keimanan yang tinggi yang dibarengi dengan Penguasaan terhadap
ilmu pengetahuan. Tidak akan beriman seseorang jika tidak memiliki pengetahuan
dan sesungguhnya pengetahuan itu akan melahirkan kemudharatan jika tidak
dibarengi dengan kaar keimanan yang baik. Hal ini memberikan indikasi bahwa
sesungguhnya antara Islam dan Ilmu Pengetahuan adalah maerupakan dua sisi mata
uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Allah telah menentukan segala perkara untuk makhluk-Nya sesuai dengan ilmu-
Nya yang terdahulu (azali) dan ditentukan oleh hikmah-Nya. Tidak ada sesuatupun
yang terjadi melainkan atas kehendak-Nya dan tidak ada sesuatupun yang keluar
dari kehendak-Nya. Maka, semua yang terjadi dalam kehidupan seorang hamba
adalah berasal dari ilmu, kekuasaan dan kehendak Allah, namun tidak terlepas dari
kehendak dan usaha hamba-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

‫إنا كل رشء خلقنه بقدر‬

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Qs. Al-


Qamar: 49)

‫ تقديرا‬,‫وخلق كـل رشء فقدره‬

“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya
dengan serapi-rapinya.” (Qs. Al-Furqan: 2)

‫وإن من رشء إال عنده بمقدار‬

“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya, dan
Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (Qs. Al-Hijr:
21)

C. Dakwah Bilhal Melalui Pengembangan dan Penerapan IPTEKS


a. Setiap Muslim adalah Da’i
“Kita adalah da’i sebelum menjadi apapun”. Dari kalimat tersebut dapat kita
simpulkan bahwa pada dasarnya, kita adalah seorang da’i sebelum kita menjabat
suatu profesi apapun. Perkataan Hassan Al-Banna tersebut dapat menjadi cerminan,
bahwa pada hakikatnya, seorang muslim adalah pendakwah. Ketika seseorang
menuntut ilmu dan memiliki pengetahuan, saat itu pula ia memiliki kewajiban untuk
menyebarluaskan ilmu yang dimilikinya tersebut. Ketika seseorang sadar bahwa ia
telah memiliki bekal untuk mengamalkan sunnah, saat itu pula ia berkewajiban
menyeru orang lain kepada Islam. Banyak hal yang dapat kita lakukan untuk
mengaktualisasikan amanah dalam kita menjadi seorang da’i, salah satunya adalah
menjadi seorang murobby.

Murobby merupakan sumber atau penyalur ilmu dari sumber untuk disampaikan
dan dipahamkan kepada mad’u atau sang murobby. Sebab itulah peranan murobby
sangat mempengaruhi keberlangsungan serta output dari kegiatan tarbiyah. Sebagai
simpul dakwah terhadap jama’ah, seorang murobby dituntut memikirkan kegiatan
dakwah dengan segenap perhatiannya. Untuk menjadi seorang murobby idaman,
kita hendaknya memperhatikan beberapa hal, seperti ruhiyah. Ruhiyah adalah dasar
keberhasilan dakwah. Jika ruhiyah terabaikan, sebagus apapun retorika dakwah kita
dan pemahaman kita terhadap kondisi mad’u semuanya akan sia-sia.Seorang
murobby harus memiliki niat yang ikhlas. Ikhlas karena Allah Ta’ala semata,
membuang jauh-jauh tendensi untuk mencari popularitas atau pujian apalagi
niatnya adalah untuk mencari pengikut yang banyak. Niat yang ikhlas karena Allah
Ta’ala bermakna seorang murobby melakukan tarbiyah untuk mendekatkan diri
(taqarrub) kepada Allah subuhanahu wa ta’ala, memperbaiki hamba-Nya dan
mengeluarkan mereka dari kegelapan kebodohan dan kemaksiatan menuju cahaya
ilmu ketaatan. Niat yang ikhlas juga akan menggiring seorang murobby melahirkan
dakwahnya dari dasar kecintaan kepada Allah dan untuk agama-Nya, serta kecintaan
kepada kebaikan untuk semua manusia. Allah Ta’ala berfirman :

ِْ ‫ل فِي َها َوهُمْ فِي َها أَع َمالَ ُهمْ إِلَي ِهمْ نُ َو‬
ْ‫ف َو ِزي َنت َ َها الدُّنيَا ال َحيَا ْة َ ي ُِري ْد ُ كَانَْ َمن‬ ُ ‫( يُب َخ‬15) َْ‫س الَّذِينَْ أُولَئِك‬
ْ َ َْ‫سون‬ َْ ‫فِي لَ ُهمْ لَي‬
ِْ‫اآلخ َرة‬
ِ ‫ار ِإل‬ َْ ‫ص َنعُوا َما َو َح ِب‬
ُْ َّ‫ط الن‬ ِ َ‫َيع َملُونَْ كَانُوا َما َوب‬
َ ‫اطلْ فِي َها‬

Artinya :

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami


berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan
mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh
akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan
di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?” (QS. Hud: 15-16)

b. Bekerja adalah Dakwah

Di dalam dunia pekerjaan, seorang Muslim adalah bertanggungjawab untuk


berdakwah. Tidak kiralah apa kategori pekerjaan, sama ada bekerja di dalam pejabat
yang berhawa dingin, di tapak pembinaan ladang dan sawah sekalipun,
tanggungjawab sebagai Da’i itu terletak di bahu kita. Kita perlu dakwah di tempat
kerja. Ia selaras dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Surah Ali Imran
ayat 110 :

ِ ‫اس ُت َأ ْ م ر و َن ُ ب ِ ال ْ مَ ع ْ ر و‬
ُ ‫ف ُ َو ت َ ن ْ ه َ ْو َن ُ ع َ ِن ُ ال ْ م ن ْ ك َ ِر ُ َو ت ْؤ ِم ن و َن‬ ِ َّ ‫ت ُ ل ِ ل ن‬ ْ ‫كُ ن ْ ت م ْ ُ خَ ي ْ َر ُأ مَّ ة ٍ ُأ‬
ْ َ‫خ ِر ج‬

َُ‫ب ِ اَّللَّ ِ ُ ُۗ َو ل َ ْوُ ُ آ مَ َن ُأ َ ه ْ ل ُال ْ كِ ت َا ب ِ ُ ل َ ك َ ا َن ُ خَ ي ْ ًر اُ ل َ ه مْ ُ ُۚ ِم ن ْ ه م ُال ْ م ْؤ ِم ن و َن ُ َو أ َ ك ْ ث َ ر ه م ُال ْ ف َ ا سِ ق و ن‬

Artinya : ‘Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah daripada yang munkar, dan beriman kepada
Allah.’

Usaha berdakwah di tempat kerja ini janganlah disalahartikan dengan pengertian


yang sempit. Dakwah bukan bermaksud untuk mengajak manusia melupakan
tanggungjawab bekerja dan melaksanakan amal ibadah yang spesifik semata-mata.
Bekerja itu sendiri merupakan satu ama libadah apa lagi jika ianya diniatkan kerana
Allah subhanahu wa ta’ala dan dilaksanakan dengan penuh amanah, fokus dan
ikhlas. Usaha dakwah juga jangan ditafsirkan sebagai ‘hendak tunjuk alim’ atau
‘hendak tunjuk pandai’. Jika begitu, semua orang akan takut untuk berdakwah
kerana seorang Da’i yang member dakwah tidak mau dipandang sebagai penyibuk
manakala yang menerima dakwah pula berasa tidak selaras dan menganggap
konteks dakwah itu sebagai sesuatu yang tidak bermanfaat.

Adapun ganjaran usaha dakwah. Firman-Nya dalam surah Ali-Imran ayat104 :

ْ‫فْ َو ي َ أ مُ ُر و نَْ ال خَ ي ِرْ إ ِ ل َ ى ي َ د ع ُ و نَْ أ ُ مَّ ةْ ِم ن ك ُ مْ َو ل ت َ ك ُ ن‬


ِ ‫ْۚال مُ ن ك َ ِرْ ع َ ِنْ َو ي َ ن ه َ و نَْ ب ِ ال مَ ع ُر و‬
َْ‫ال مُ ف ل ِ حُ و نَْ ه ُ مُْ َو أ ُ و ل ََٰ ئ ِ ك‬

Artinya :
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung."

Sebagai da’i di dalam konteks dunia pekerjaan, seseorang itu perlulah terlebih
dahulu memperlengkapkan dirinya supaya usaha dakwahnya akan menjadi
sempurna.

c. Kewajiban Mengembangkan dan Menyampaikan Ilmu

Menyampaikan ilmu sangatlah penting untuk kemajuan Agama, Bangsa dan Negara,
baik dalam segi moral maupun material. Dan ilmulah yang memperbaiki semuanya.
Memyampaikan ilmu bermanfaat untuk kehidupan, kebahagian dunia dan akherat.
Orang yang mendengarkan dan menyampaikan ilmu bagaikan tanah yang terkena air
hujan, mereka adalah orang alim yang mengamalkan ilmunya dan mengajar. Seperti
yang diterangkan dalam Al-Quran

ْ‫فْ َو ي َ أ مُ ُر و نَْ ال خَ ي ِرْ إ ِ ل َ ى ي َ د ع ُ و نَْ أ ُ مَّ ةْ ِم ن ك ُ مْ َو ل ت َ ك ُ ن‬


ِ ‫ْۚال مُ ن ك َ ِرْ ع َ ِنْ َو ي َ ن هَْو نَْ ب ِ ال مَ ع ُر و‬
َْ‫ال مُ ف ل ِ حُ و نَْ ه ُ مُْ َو أ ُ و ل ََٰ ئ ِ ك‬

Artinya :

“Dan hendaklah ada di antara kalian segolong umat yang menyeru pada kebaikan,
menyeru kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-
orang yang beruntung. “ (Ali Imran, 104).

Menuntut ilmu adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk merubah
tingkah laku dan perilaku kearah yang lebih baik, karena pada dasarnya ilmu
menunjukkan jalan menuju kebenaran dan meninggalkan kebodohan.

Menuntut ilmu merupakan ibadah sebagaiman sabda Nabi Muhammad salallahu


alahi wassalam.

Sabda nabi :

“Menuntut Ilmu diwajibkan atas orang islam laki-laki dan perempuan”

Dengan demikian perintah menuntut ilmu tidak di bedakan antara laki-laki dan
perempuan. Hal yang paling di harapkan dari menuntut ilmu ialah terjadinya
perubahan pada diri individu ke arah yang lebih baik yaitu perubahan tingkah laku,
sikap dan perubahan aspek lain yang ada pada setiap individu.
BAB III

PENUTUP
KESIMPULAN

Sebagaimana yang kita telah ketahui dalam uraian diatas, perlunya ilmu
pengetahuan untuk dapat mengembangkan teknologi. Kita sebagai umat yang
mayoritas muslim hendaknya kita mengetahui dan mempelajari apa itu hakekat
IPTEKS dalam pandangan Islam dan bagaimana caranya dengan ilmu pengetahuan
yang kita miliki kita dapat menemukan riset yang besar melebihi orang barat pada
umumnya.
Sebagaimana yang kita tahu bahwa akhir akhir ini IPTEKS kita banyak dipelopori oleh
negara asing yang bahkan non muslim. Seharusnya kita dapat mengambil pelajaran
dari mereka. Mereka saja yang bukan agama Islam alias Non Muslim dapat
menemukan riset yang besar., bahkan sebagai pelopor berkembangnya IPTEKS
secara pesat., itu tak lain karena mereka telah belajar dan memami konsep Islam
yang sesungguhnya. Tak heran jika mereka maju dalam dunia teknologi.

SARAN

Semoga setelah membaca makalah ini kita dapat memahami apa itu hakekat IPTEKS
dalam pandangan Islam dan mengetahui prinsip ajaran islam dalam ilmu serta dapat
mengerti tentang dakwah bilhal melalui pengembangan dan penerapan IPTEKS.

Anda mungkin juga menyukai