Anda di halaman 1dari 9

JPPDANUM PAMBELUM, Jilid ….,Januari~Juni 2019,hlm.

1~4
ISSN: 2089-029X
1

TANTANGAN POSTMODERNISME TERHADAP PELAYANAN PUBLIK DI


PERGURUAN TINGGI NEGERI

Ratih Sulistyowati1, Yolantya Widyasari2


1
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Palangka Raya
2
Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Palangka Raya
E-mail: ratihsw13@gmail.com1, yolantyawidyasari@gmail.com2

Abstract
The quality of public services is needed by the community in facing the postmodernism era.
Therefore, the cooperation with other parties is expected to accelerate the creation of Minimum
Service Standards. One example of public service is at the State University. In Higher Education,
public service is a very important activity in compliance of student needs. Therefore, the quality of
public services provided by univeristy will ultimately greatly affect the welfare of students and the
sustainability or existence of the university. The quality of public services is greatly influenced by
many things, such as the adequacy of the budget, effective and efficient organization, and above all
are the competent leadership elements (bureaucrats) to provide services for the entire academic
community at university. Therefore, to deal with this, preventive efforts are needed to face the
challenges of postmodernism.

Keywords: Postmodernism, Public Services, Public Universities

Abstrak
Kualitas pelayanan publik sangat dibutuhkan masyarakat dalam menghadapi era
postmodernisme. Karenanya kerjasama dengan pihak lain diharapkan mampu mempercepat
terciptanya Standar Pelayanan Minimal (SPM). Salah satu contoh pelayanan publik terdapat pada
Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Pada Perguruan Tinggi, pelayanan publik merupakan kegiatan yang
sangat penting dalam rangka pemenuhan kebutuhan mahasiswa. Sehingga, kualitas pelayanan publik
yang diberikan oleh PTN pada akhirnya akan sangat mempengaruhi kesejahteraan mahasiswa serta
keberlangsungan atau eksistensi dari perguruan tinggi tersebut. Kualitas pelayanan publik sangat
dipengaruhi oleh banyak hal, seperti kecukupan anggaran, organisasi yang efektif dan efisien, dan di
atas itu semua adalah unsur pimpinan (birokrat) yang cakap untuk memberikan pelayanan bagi
seluruh civitas akademika di PTN. Oleh sebab itu untuk menghadapinya, diperlukan usaha preventif
untuk menghadapi tantangan postmodernisme tersebut.

Kata Kunci: Postmodernisme, Pelayanan Publik, Perguruan Tinggi Negeri

Postmodernisme pada awalnya lahir sebagai reaksi kritis terhadap modernisme yang
dipandang gagal dalam menuntaskan proyek Pencerahan serta menyebabkan munculnya berbagai
patologi modernitas. Pauline M. Rosenau, dalam kajiannya mengenai postmodernisme dan ilmu-ilmu
sosial, mencatat setidaknya lima alasan penting gugatan postmodernisme terhadap modernisme.
Pertama, modernisme dipandang gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan ke arah masa depan
untuk kehidupan yang lebih baik sebagaimana diharapkan oleh para pendukungnya. Kedua, ilmu
pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan
otoritas keilmuan demi kepentingan kekuasaan. Ketiga, terdapat banyak kontradiksi antara teori dan
fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern. Keempat, ada semacam keyakinan bahwa ilmu
pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia. Namun ternyata
keyakinan ini keliru dengan munculnya berbagai patologi sosial. Kelima, ilmu-ilmu modern kurang
JPPDANUM PAMBELUM, Jilid …. ISSN: 2089-029X

memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisis manusia karena terlalu menekankan atribut fisik
individu. Dengan latar belakang demikian, modernisme mulai kehilangan kekuatannya. Modernisme
yang dulu diagung-agungkan sebagai pembebas manusia dari belenggu mitos dan berhala kebudayaan
pada abad pertengahan yang menindas, kini justru membuat manusia terbelenggu dengan mitos dan
berhala baru yang bahkan lebih menindas dan memperbudak manusia.
Memasuki abad XXI di milenium ketiga ini, banyak ahli dan pakar memprediksi kehidupan
jauh ke depan sebagai era postmodernisme, dimana inti pokok dari alur pemikirannya adalah
menentang segala hal yang berbau kemutlakan dan baku, menolak dan menghindari suatu sistematika
uraian atau pemecahan masalah yang sederhana dan sistematis, serta memanfaatkan nilai-nilai yang
berasal dari berbagai aneka ragam sumber. Terlepas dari suka atau tidak, sadar atau tidak, kita semua
akan memasuki era arus pemikiran spektakuler yang telah masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan
manusia di bidang sosial, ekonomi, budaya, politik, dan lain-lain sebagai dampak dari globalisasi
(Abdullah, 1995). Sebagaimana halnya dengan globalisasi tersebut, arus pemikiran postmodernisme
juga membawa sisi positif dan negatif di berbagai bidang kehidupan manusia termasuk dalam hal
pelayanan publik.
Dalam menghadapi era postmodernisme, kualitas pelayanan publik sangat dibutuhkan
masyarakat. Oleh karena itu kerjasama dengan pihak lain diharapkan mampu mempercepat terciptanya
Standar Pelayanan Minimal (SPM). Salah satu bentuk pelayanan publik juga terdapat pada Perguruan
Tinggi Negeri (PTN). Pada Perguruan Tinggi, pelayanan publik merupakan kegiatan yang sangat
penting dalam rangka pemenuhan kebutuhan mahasiswa. Sehingga kualitas pelayanan publik yang
diberikan oleh PTN pada gilirannya akan sangat mempengaruhi kesejahteraan mahasiswanya serta
keberlangsungan atau eksistensi perguruan tingginya sendiri. Kualitas pelayanan publik itu sendiri
sangat dipengaruhi oleh banyak hal, seperti: kecukupan anggaran, organisasi penyelenggara yang
efektif dan efisien, dan tentunya unsur pimpinan (birokrat) yang cakap untuk memberikan pelayanan
bagi seluruh civitas akademika di PTN. Oleh sebab itu untuk menghadapinya, diperlukan usaha
preventif untuk menghadapi tantangan postmodernisme tersebut.

Postmodernisme
Meskipun sudah muncul puluhan tahun silam, definisi mengenai istilah “postmodernisme”
tetap saja masih belum jelas dan masih kontroversial. Hal ini ditandai dengan munculnya beragam
definisi dan masih adanya perdebatan di kalangan para ahli ilmu sosial-budaya yang bisa didapat
dalam berbagai literatur. Featherstone menganggap aliran ini sebagai sebuah refleksi perubahan sosial
yang bersifat reaksioner dan mekanik (Featherstone, 2008). Bahkan menurutnya, para akademisi dan
intelektual adalah orang yang paling bertanggung jawab akan kondisi ini karena telah menciptakan
istilah “postmodernisme” sebagai bagian dari permainan mereka. Banyak ilmuan yang masih ragu
dalam pemisahan antara “modernism” dan “postmodernisme”. Misalnya kegalauan ini dirasakan oleh
Smart, Ia mengatakan istilah “modernism” dan “postmodernisme” tidak hanya tak memiliki ketegasan,
bahkan istilah-istilah tersebut terkadang nampak memiliki konotasi yang sangat berbeda bagi kritikus
benua Eropa dan Amerika” (Smart, 2008). Dalam pandangan Butler (dalam Ryadi, 2004),
postmodernisme menunjuk pada kritik-kritik filosofis terhadap fenomena yang ada di dunia,
epistemologi dan ideologi-ideologi modern. Sementara “postmodernitas” menunjuk pada situasi dan
tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang
berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara bangsa dan membangun
kembali dimensi historis melalui mencari kembali inspirasi-inspirasi tradisi lama yang sudah terkubur
(Ryadi, 2004).
Kebingungan ini juga seringkali dihubungkan dengan masa sebelum postmodernisme hadir,
yaitu masa modernisme. Namun, terkait dengan awalan “post”, Ryadi mengajukan pertanyaan
bagaimana pemaknaan “post” dalam pandangan para ahli, apakah “post” itu berarti pemutusan
hubungan pemikiran total dari segala pola modern sebagaimana pemikiran Lyotard? Atau hanya
sebatas koreksi dalam permasalahan-permasalahan tertentu dari modern sebagaimana yang dimaksud
David Griffin? Atau apakah postmodernisme itu merupakan bentuk radikal dari modern itu sendiri,
yang akhirnya bunuh diri, sebagaimana diungkap Derrida? Atau sebagaimana yang dilontarkan
Giddens bahwa postmodernisme adalah wajah baru dari modern yang terkesan lebih “dewasa” dan
2
JPPDANUM PAMBELUM, Jilid …. ISSN: 2089-029X

sadar diri? atau ini merupakan proyek modernisme yang belum selesai sebagaimana disampaiakan
Habermas? (Ryadi, 2004). Secara etimologi, pendapat yang mengatakan bahwa postmodernisme hadir
setelah modernisme ada, bukanlah sesuatu yang mustahil, di mana “postmodernisme” terdiri dari dua
suku kata, “post” dan “modernism”. “Post” berarti suatu keadaan yang sudah lewat, lepas, terpisah,
atau terputus. Serta kata “modern” yang jika dirujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna
“terbaru atau mutakhir”. Jadi, menjadi logis ketika ada yang mengatakan bahwa postmodernisme lahir
setelah modernisme ada. Lantas, timbul pertanyaan “Kapan sebenarnya gerbang pemisah antara masa
modernisme dan masa postmodernisme tercipta”?. Tentu tidaklah mudah untuk menjawab pertanyaan
ini, Turner sendiri mengakui kesulitan dalam menentukan periodesasi yang tepat mengenai dua aliran
pemikiran ini, modernisme dan postmodernisme.
Kata “postmodern” sendiri sulit untuk dimengerti secara tepat. Asal kata “postmodern” adalah
dari kata “modern” yang berarti “terbaru, barusan, mutakhir”. Sedangkan kata “post (pasca)” berarti
“sesudah”. Jadi secara harfiah sesungguhnya pengertian postmodern mengandung makna sesuatu yang
bukan modern lagi (Harianto, 2001).Postmodernisme adalah wacana kesadaran yang mencoba
mempertanyakan kembali batas-batas, implikasi dan realisasi asumsi-asumsi modernism, tanda dan
kode seni modern; wacana kebudayaan yang ditandai dengan kejayaan kapitalisme, penyebaran
informasi dan teknologi secara massif, meledaknya komsumerisme, lahirnya realitas semu dan
simulasi serta tumbangnya nilai guna dan nilai tukar oleh nilai tanda dan nilai simbol.
Postmodernisme yang muncul pada abad ke 20 Masehi sebagai sebuah reaksi kritis dan
reflektif terhadap paradigma modernisme yang dipandang gagal menyelesaikan proyek Pencerahan
dan menyebabkan munculnya sebagai patologi modernitas. Sasaran dari munculnya Postmodernisme
dapat dikatakan untuk menggugat watak modernisme yang monoton, postivistik, rasionalistik dan
teknosentris. Sementara Postmodernisme sendiri menawarkan watak yang bertolak belakang dari era
pendahulunya yakni menekankan emosi daripada rasio, media daripada isi, tanda dan makna,
kemajemukan daripada penunggalan, kemungkinan daripada kepastian, permainan daripada
keseriusan, keterbukaan daripada pemusatan, lokal daripada universal, fiksi daripada fakta, estetika
daripada etika, narasi daripada teori (Ariel, 1994).Ciri khas postmodernisme adalah komputer, media,
bentuk-bentuk baru pengetahuan, dan perubahan sistem sosio-eko-nomik (Best &Kellner, 1993).
Postmodernisme juga menurunkan 8 ciri karakter sosiologis postmodernisme, yakni (Ahmed, 1992):
1). Pemberontakan secara kristis terhadap proyek modernitas, memudarnya kepercayaan pada agama
yang bersifat transenden dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran. 2).
Meledaknya industri, media massa sehingga hal itu seolah perpanjangan dari sistem indera, organ dan
syarat manusia. Sehingga kondisi ini pada gilirannya menjadikan dunia dan ruang realitas kehidupan
terasa menyempit. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma menjadi Agama dan Tuhan
baru yang menentukan kebenaran dan kesalahan manusia. 3). Munculnya radikalisme etnis dan
keagamaan. Fenomena ini muncul sebagai reaksi manakala orang semakin meragukan kebenaran ilmu,
teknologi dan filsafat modern yang dinilai gagal memenuhi janji emansipatoris untuk membebaskan
manusia dan menciptakan kehidupan yang lebih baik. 4). Munculnya kecenderungan baru untuk
menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisme dengan masa lampau. 5). Semakin
menguatnya wilayah perkotaan (urban area) sebagai pusat kebudayaan dan sebaliknya wilayah
pedesaan (rural area) sebagai daerah pinggiran. 6). Semakin terbukanya peluang bagi pelbagai kelas
sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas dan terbuka. Jelasnya, era
Postmodernisme telah turut mendorong proses demokratisasi. 7). Munculnya kecenderungan bagi
tumbuhnya ekletisisme dan percampuradukkan berbagai diskursus, nilai kenyakinan dan potret
serpihan realitas, sehingga sekarang sulit untuk menempatkan suatu objek budaya secara ketat pada
kelompok budaya tertentu secara eksklusif. 8). Bahasa yang digunakan dalam diskursus
postmodernisme seringkali mengesankan tidak lagi memiliki kejelasan makna dan konsistensi
sehingga bersifat paradoks.

Budaya dalam Postmodernisme


Dalam Postmodernisme dikenal dengan beberapa budaya yang mempengaruhi pola kehidupan
masyarakat, yakni: Kebudayaan postmodern menurut Jean Baudrillard ada dua hal yakni nilai tanda
dan nilai simbol juga simulaera/simulacrum dan simulasi.
3
JPPDANUM PAMBELUM, Jilid …. ISSN: 2089-029X

Nilai Tanda dan Nilai Simbol.


Pada era kapitalisme awal, produksi menjadi faktor dominan yang membentuk pasar
kapitalisme kompetitif, maka dalam era kapitalisme lanjut, konsumsi adalah pasar kapitalisme yang
juga berubah menjadi semakin bersifat monopoli. Upaya yang ditujukan pada penciptaan dan
peningkatan kapasitas konsumsi dilakukan melalui pemassalan produk dan manajemen pemasaran.
Oleh karena itu, iklan, pameran teknologi, media massa dan shopping mall merupakan strategi baru
sebagai ujung tombak di era konsumsi. Inilah awal lahirnya masyarakat konsumer yang selalu
memiliki hasrat untuk mengkonsumsi. Dalam masyarakat konsumer, objek-objek konsumsi tidak lagi
sekedar memiliki manfaat (nilai guna) dan harga (nilai tukar), namun kini menjadi penandaan status,
prestise dan kehormatan (nilai tanda dan nilai simbol). Menurut Marx nilai guna adalah nilai yang
secara alamiah terdapat dalam setiap objek dan berdasarkan manfaatnya setiap objek itu dinilai sesuai
dengan kegunaannya bagi kepentingan manusia. Sedangkan, nilai tukar adalah nilai yang diberikan
kepada objek-objek produksi berdasarkan ukuran nilai gunanya, makanya setiap objek komoditi
memiliki kedua nilai dasar tersebut. Oleh sebab itu, pergeseran nilai ini terjadi seiring dengan
perubahan karakter masyarakat postmodern.
Bagi masyarakat konsumer, konsumsi sebagai sistem pemaknaan tidak lagi diatur oleh faktor
kebutuhan untuk mendapatkan kenikmatan, namun oleh menjadi kebutuhan untuk mendapatkan
kehormatan, prestise, status dan identitas bahkan pujian melalui sebuah mekanisme penandaan. Tidak
heran bahwa masyarakat konsumer yang sedang berkembang saat ini adalah individu yang menerima
identitas mereka dalam hubungannya dengan orang lain bukan dari siapa dan apa yang dilakukannya
namun dari tanda dan makna yang mereka konsumsi, miliki, dan tampilkan dalam interaksi sosial,
sehingga ada satu prinsip masyarakat bahwa tanda adalah bentuk aktualisasi dari individu yang paling
menyakinkan. Di era kapitalisme awal, uang sebagai sarana tukar pemenuhan kebutuhan, sedangkan
dalam era kapitalisme lanjut, uang telah menjadi tujuan akhir dengan komoditi sebagai sarananya
sehingga nilai tukar menjadi lebih penting dari nilai guna dan komoditi diciptakan bukan untuk nilai
gunannya lagi melainkan demi nilai tukarnya yaitu berupa uang, makanya uang telah menjadi bahasa
baru yang membentuk dan memberi makna realitas bahkan dengan uang maka setiap orang dapat
membeli dan memiliki berbagai kualitas hidup manusia yang diinginkan sesuai dengan budaya moral
keinginannya. Pemikiran manusia tentang “Siapakah saya dan apa keahlian saya tidaklah dapat
ditentukan oleh individualitas saya”, sekalipun “saya bertampang jelek bahkan bersikap jelek namun
saya bisa menjadi cantik karena saya bisa membeli pria tampan / wanita cantik yang saya inginkan.
Saya kini tak jelek lagi seperti yang semula karena efek kejelekan tersebut sebagai faktor determinan
telah dihapuskan oleh uang.” Maka, disinilah manusia telah berubah menjadi benda (uang) yang akan
menggantikan kebenaran menjadi kekuasaan manusia.
Faktor yang ditunjukkan oleh benda (uang) adalah komoditi tontonan (commodity of
spectacle) yang menghasilkan masyarakat tontonan pula (society of spectacle). Masyarakat tontonan
adalah masyarakat yang hampir di segala aspek kehidupannya dipenuhi oleh berbagai bentuk tontonan
dan menjadi kaumnya sebagai rujukan nilai dan tujuan hidup. Jadi, jelas tontonan telah memanipulasi
dan mengeksploitasi nilai guna dan kebutuhan manusia sebagai sarana untuk memperbesar
keuntungan sepihak dan mengontrol idiologis atas manusia.
Masyarakat tontonan bisa terjadi dalam bidang budaya, pendidikan, olahraga, politik bahkan
juga agama yang dikemas sebagai tontonan publik saja. Misalnya, dewasa ini dengan banyaknya
gedung gereja yang dibangun dengan semewah-mewahnya bahkan ada yang berusaha berlomba-lomba
membangun gedung gereja terbesar dan termewah di kota tersebut sekalipun ada juga nilai baiknya,
namun yang menjadi pertanyaan, apakah pembangunan ini memang memiliki nilai guna atau sekedar
nilai tontonan saja tanpa memperhatikan nilai gunanya? (Kellner, 1994)
Begitulah, kelahiran nilai tanda selanjutnya diikuti oleh nilai simbol. Dalam aktivitas
konsumsi yang dibutuhkan masyarakat konsumsi pada dasarnya bukan hanya dilakukan karena alasan
kebutuhan, namun lebih pada alasan simbolis, kehormatan, prestise dan status. Objek komoditi diberi
karena makna simbolik yang ada didalamnya dan bukan karena harga atas manfaatnya. Misalnya, ada
banyak orang akhir-akhir ini datang ke gereja bukan lagi mencari manfaat teologi dan doktrin yang
menjadi fokus ibadah tetapi kemewahan gedung, fasilitas, alat musik didalam ibadah, bahkan yang

4
JPPDANUM PAMBELUM, Jilid …. ISSN: 2089-029X

lebih fatal ingin mencari prestise sebagai majelis dan tak jarang sebagai simbol untuk berdagang dan
mencari keuntungan di tengah-tengah gereja (Lechte, 1994).

Simulacra dan Simulasi.


Simulasi dalam kamus Bahasa Indonesia memberi arti yaitu suatu metode yang
memperagakan sesuatu dalam bentuk tiruan yang mirip dengan keadaan sebenarnya. Dalam
perkembangan zaman ilmu dan teknologi maka berubah pula arah peradaban. Ketika media elektronik
televisi ditemukan, maka dalam sekejab terjadi sebuah revolusi kesadaran tentang dunia yang
mengecil. Dimensi ruang lipat dalam sebuah kotak layar kaca. Dunia inilah yang menggantikan peran
komoditi tradisionil Marx. Didalam layar kaca televisi, segala sesuatu, berita politik, film telenova,
opera sabun, bencana alam, acara keagamaan dikemas dalam kerangka tontonan yang menghibur. Tak
ada lagi kekhusukan, kekudusan dan kerinduan terhadap makna luhur. Dengan kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi yang dahsyat, menurut Baulrillard, tidak hanya nilai-nilai sublim dan luhur
yang menguap/menghilang bahkan realitas itu sendiri. Realitas kini dapat dibuat, direkayasa dan
disimulasi. Dalam realitas buatan, realitas simulasi ini, segala sesuatu bercampur-baur. Raelitas-
realitas buatan adalah ciri zaman ini, sebuah zaman tengah menjelangnya sebuah era kebudayaan baru
yang disebut dengan kebudayaan postmodern yang ditandai dengan logika simulasi.
Menurut William F.Fore bahwa teknologi menentukan masyarakat. Teknologi adalah
kemajuan dan kemajuan tidak dapat dihindari. Ia tidak bisa dihentikan dan tak peduli dengan
implikasi-implikasi manusiawinya. Jadi, teknologi mempergunakan realitas yang berada di luar
pengaruh manusiawi. Masyarakat tidak memutuskan bagaimana menggunakan teknologi saja, tetapi
teknologi juga memutuskan bagaimana masyarakat akan digunakan (William, 1999).
Dalam era postmodern, prinsip simulasi menjadi panglima dimana teknologi, informasi,
komunikasi serta industri pengetahuan menggantikan prinsip produksi, sementara permainan tanda
dan citra mendominasi hampir seluruh proses komunikasi manusia. Makanya, dalam masyarakat
simulasi, segala sesuatu ditentukan oleh relasi, tanda, citra dan kode.
Tanda ialah segala sesuatu yang mengandung makna yang mengikuti teori semiologi. Citra
adalah segala sesuatu yang nampak oleh indera, namun sebenarnya tidak memiliki eksistensi dan
substansial. Kode adalah cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial untuk
memungkinkan satu pesan dapat disampaikan seseorang kepada orang lain (Piliang, 1998).
Dalam wacana simulasi, manusia mendiami suatu ruang realitas, dimana perbedaan antara
yang nyata dan khayalan, yang asli dan yang palsu sangat sulit kelihatannya. Manusia kini hidup
dalam ruang fantasi yang nyata, sebuah fiksi yang aktual. Realitas-realitas simulasi menjadi ruang
kehidupan dimana manusia menemukan dan mengaktualisasikan eksistensi dirinya. Lewat televisi,
dunia simulasi tampil secara sempurna. Inilah ruang yang tidak lagi peduli dengan katagori-katagori
nyata, semu, benar, salah, referensi, fakta, produksi, reproduksi, dimana semuanya dilebur menjadi
satu dalam tanda. Dengan televisi, realitas tidak hanya diproduksi, disebarluaskan atau direproduksi
bahkan juga dimanipulasi. Simulasi seperti ini membentuk sebuah kesadaran baru bagi masyarakat
dewasa ini. Dalam realitas seperti ini, manusia tidak lebih sebagai kumpulan massa mayoritas yang
diam, yang menerima segala sesuatu yang diberikan padanya. Kumpulan massa yang diam ini sebagai
lubang hitam (black hole), dimana berbagai hal informasi, sejarah, kebenaran, nilai moral, nilai agama
terserap kedalamnya tanpa meninggalkan bekas apapun juga. Bahkan tidak jarang seringnya massa
dapat diatur dengan cara menanamkan informasi kepada mereka dan energi sosial dapat dibentuk
melalui sarana penanaman informasi dan pesan-pesan. Namun yang terjadi sebenarnya sungguh
berlainan sama sekali dan pesan-pesan ternyata cuma menghasilkan massa yang pasif dan tertutup
terhadap berbagai informasi sosial klasik dan terhadap kandungan informasi yang terdalam. Makanya
dalam dunia simulasi, identitas seseorang tidak ditentukan oleh dan dari dalam dirinya sendiri.
Identitas kini lebih ditentukan oleh konstruksi tanda, citra dan kode yang membentuk cermin
bagaimana seorang individu memahami diri mereka dan hubungannya dengan orang lain dan juga
kode serta model-model ini menentukan bagaimana seorang harus bertindak dan memahami
lingkungannya.

5
JPPDANUM PAMBELUM, Jilid …. ISSN: 2089-029X

Pelayanan Publik
Pelayanan publik adalah “Sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan
oleh Instansi Pemerintahan di Pusat dan Daerah, dan di lingkungan BUMN/BUMD dalam bentuk
barang dan /atau jasa, baik dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. (Lembaga Administrasi Negara:
1998) Sementara Departemen Dalam Negeri menyebutkan bahwa: Pelayanan publik adalah suatu
proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan
interpersonal tercipta kepuasan dan keberhasilan. Setiap pelayanan menghasilkan produk, baik berupa
barang dan jasa (Pengembangan Kelembagaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, 2004). Sedangkan
definisi yang saat ini menjadi rujukan utama dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana
termuat dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, dijelaskan bahwa
pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
pelayanan sesuaidengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas
barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Siklus pelayanan itu sendiri menurut A. Imanto, 2002, adalah “Sebuah rangkaian peristiwa yang
dilalui pelanggan sewaktu menikmati atau menerima layanan yang diberikan Dikatakan bahwa siklus
layanan dimulai pada saat konsumen mengadakan kontak pertama kali dengan service delivery system
dan dilanjutkan dengan kontak-kontak berikutnya sampai dengan selesai jasa tersebut diberikan”
(Purwanto dkk, 2017).
Lovelock, Christoper H, 1991:7, mengatakan bahwa ”service adalah produk yang tidak
berwujud, berlangsung sebentar dan dirasakan atau dialami” Artinya service merupakan produk yang
tidak ada wujud atau bentuknya sehingga tidak ada bentuk yang dapat dimiliki, dan berlangsung sesaat
atau tidak tahan lama, tetapi dialami dan dapat dirasakan oleh penerima layanan. Kemudian menurut
Davit Mc Kevitt; dalam bukunya Managing Core Public Services (1998), membahas secara spesifik
mengenai inti pelayanan publik yang menjadi tugas pemerintah dan pemerintah daerah, menyatakan
bahwa “Core Public Services maybe defined as those sevices which are important for the protection
and promotion of citizen well-being, but are in are as where the market is in capable of reaching or
even approaching a socially optimal state; heatlh, education, welfare and security provide the most
obvious best know example” (Purwanto dkk, 2017).
Dari beberapa pengertian pelayanan publik yang diuraikan tersebut, maka pelayanan publik
dapat disimpulkan sebagai pemberian layanan atau melayani keperluan orang atau masyarakat
dan/atau organisasi lain yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu, sesuai dengan aturan pokok
dan tata cara yang ditentukan dan ditujukan untuk memberikan kepuasan kepada penerima pelayanan.
Dengan demikian, terdapat 3 unsur penting dalam pelayanan publik, yaitu unsur pertama, adalah
organisasi penyelenggara pelayanan publik, unsur kedua, adalah penerima layanan (pelanggan) yaitu
Pelayanan Publik orang, masyarakat atau organisasi yang berkepentingan, dan unsur ketiga, adalah
kepuasan yang diberikan dan atau diterima oleh penerima layanan (pelanggan) (Purwanto dkk, 2017).

Pelayanan Publik di Perguruan Tinggi Negeri


Dalam tataran PTN, mahasiswa dapat menilai langsung kelayakan kinerja penyelengara
pelayanan publik yang berhubungan langsung dengannya. Penyelenggara pelayanan publik di PTN
mulai dari unsur pelaksana akademik yakni Fakultas. Kemudian lembaga yang terdiri dari Lembaga
Penelitian, Lembaga Pengabdian Masyarakat, dan Lembaga Sistem Informasi Komputer. Selanjutnya
Biro yang terdiri dari BAAKPSI (Biro Administrasi Akademik, Kemahasiswaan, Perencanaan dan
Sistem Informasi) dan BAUK (Biro Administrasi Umum dan Keuangan), hingga akhirnya Unit
Pelaksana Teknis seperti perpustakaan dan kebahasaan harus memberikan pelayanan yang layak
sebagaimana kewajiban pengemban tugas sebagai penyelenggara pelayanan publik.
Dewasa ini penyelenggara pelayanan publik dalam birokrasi kampus mengalami polemik
dengan tidak layaknya pelayanan yang diberikan sedangkan dimensi perkembangan zaman menuntut
adanya kelayakan kinerja yang sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik.
Sungguh ironi, citra pelayanan di sejumlah lembaga birokrasi kampus terkesan lambat dan proses yang
cukup menyita waktu sehingga menimbulkan keluhan dari berbagai pihak penerima pelayanan
publik.Tidak layaknya sistem komputerisasi sebagai penunjang informasi, tertutupnya mekanisme
pendaftaran beasiswa, sedikitnya waktu kunjungan perpustakaan, lambatnya proses pencarian dana
6
JPPDANUM PAMBELUM, Jilid …. ISSN: 2089-029X

kemahasiswaan dan penelitian dosen, kebijakan penetapan besaran UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang
tidak sesuai jangkauan, dan berbagai permasalahan birokrasi kampus menjadi catatan panjang atas
tidak layaknya pelayanan publik. Suatu permasalahan yang harus segera di cari solusi agar
terwujudnya kelayakan pelayanan publik di Perguruan Tinggi.
Prinsip-prinsip yang perlu dipenuhi agar pelayanan publik dapat diselenggarakan lebih baik
untuk mewujudkan pelayanan prima adalah (Purwanto dkk, 2017): 1).Partisipatif. Dalam
penyelenggaraan pelayanan publik perlu melibatkan seluruh komponen civitas akademika PTN dalam
merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasilnya; 2). Transparan. Dalam penyelenggaraan
pelayanan publik, harus menyediakan akses bagi seluruh civitas akademika untuk mengetahui segala
hal yang terkait dengan pelayanan publik yang diselenggarakan tersebut, seperti: persyaratan,
prosedur, biaya, dan sejenisnya. Selain itu juga harus diberi akses yang sebesar-besarnya untuk
mempertanyakan dan menyampaikan pengaduan apabila merasa tidak puas dengan pelayanan publik
yang diselenggarakan oleh PTN; 3). Responsif. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik PTN wajib
mendengar dan memenuhi tuntutan kebutuhan yang ada. Tidak hanya terkait dengan bentuk dan jenis
pelayanan publik yang mereka butuhkan akan tetapi juga terkait dengan mekanisme penyelenggaraan
layanan, jam pelayanan, prosedur, dan biaya penyelenggaraan pelayanan. 4).Tidak diskriminatif.
Pelayanan publik yang diselenggarakan tidak boleh dibedakan antara satu dengan yang lain atas dasar
perbedaan identitas, seperti: status sosial, agama, profesi, jenis kelamin atau orientasi seksual, difabel,
dan sejenisnya; 5). Mudah dan Murah. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, maka berbagai
persyaratan yang dibutuhkan terkait dengan pelayanan publik harus masuk akal dan mudah untuk
dipenuhi. Murah dalam arti biaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan layanan tersebut terjangkau;
6). Efektif dan Efisien. Penyelenggaraan pelayan publik harus mampu mewujudkan tujuan-tujuan
yang hendak dicapainya (untuk melaksanakan mandat konstitusi dan mencapai tujuan-tujuan strategis
negara dalam jangka panjang) dan cara mewujudkan tujuan tersebut dilakukan dengan prosedur yang
sederhana, tenaga kerja yang sedikit, dan biaya yang murah; 7). Aksesibel. Pelayanan publik yang
diselenggarakan oleh PTN harus dapat dijangkau dalam arti fisik (dekat, terjangkau dengan kendaraan
publik, mudah dilihat, gampang ditemukan, dan lain-lain.) dan dapat dijangkau dalam arti non-fisik
yang terkait dengan biaya dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan layanan tersebut.
8). Akuntabel.Penyelenggaraan pelayanan publik harus dapat dipertanggung-jawabkan secara terbuka.
9). Berkeadilan. Penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh PTN harus dapat dijadikan
sebagai alat melindungi dan mampu menghadirkan rasa keadilan.

Postmodernisme dan Pelayanan Publik di Perguruan Tinggi Negeri


Postmodern mengakibatkan hubungan antar manusia menjadi bergeser, sehingga faktor
otoritas individu dengan individu lainnya sangat berperan atas bagaimana hubungan antar manusia itu
sendiri. Teknologi adalah sebuah produk dari konstruksi rasional, yang berawal dari kesadaran
rasional manusia terhadap sesama, lingkungan dan Tuhannya.Berkembangnya teknologi, khususnya
teknologi informasi menjadikan batasan antara wilayah dan manusia menjadi semakin lebih
sempit.Otoritas antar individu dan wilayahpun menjadi semakin pendek.
Berbagai pelayanan publik yang diperlukandi PTN, mulai dari pelayanan dalam bentuk
pengaturan ataupun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan terkait dalam
bidang pendidikan. Dalam konsep pelayanan, terdapat dua pelaku pelayanan yaitu penyedia pelayanan
dan penerima pelayanan.Penyedia pelayanan atau service provider (Barata, 2003) adalah pihak yang
memberikan pelayanan tertentu kepada konsumen, baik berupa pelayanan dalam bentuk penyediaan
dan penyerahan barang (goods) atau jasa-jasa (services).Sedangkan penerima pelayanan (service
receiver) adalah pelanggan (customer) atau konsumen (consumer) yang menerima layanan para
penyedia pelayanan. Pelayanan publik adalah representasi dan eksistensi dari birokrasi PTN yang
memangku fungsi sebagai pemberi layanan jasa di bidang pendidikan.Oleh karena itu, kualitas layanan
yang diberikan merupakan cerminan dari kualitas birokrasi PTN.
Permasalahan terkait postmodernisme adalah, bahwasanya peran dan tugas pelayan publik
dalam era postmodernisme yang bersifat antisipasi, preventif-protektif, dan rehabilitasi terhadap
masalah-masalah kompleks yang timbul dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang canggih, misalnya pola budaya individualistis, hedonistis, konsumeristis, permissif
7
JPPDANUM PAMBELUM, Jilid …. ISSN: 2089-029X

(serba boleh) dan bahkan chauvinistis (menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan). Kemudian,
bermunculan masalah yang bersifat krusial dilematis, seperti semakin berkembangnya jurang pemisah
yang semakin dalam antara yang kaya dengan yang miskin, antara kaum terdidik dan yang terbelakang
yang bekerja secara profesional dengan kemampuan SDM yang tinggi dengan kelompok kerja
(Rahman, 2017).
Terkait dengan postmodernisme, sebagian dari tantangan tersebut dapat dilihat dalam poin-
poin berikut: 1). Postmodernisme mengedepankan aspek-aspek humanis dan pluralis yang akan
dihadapi oleh Pelayan Publik. Perlu faham akan adanya rasa kemanusiaan, karena sebagai seorang
manusia kita punya rasa humanis (kemanusiaan), rasa kemanusiaan itu kita wujudkan dengan berbagai
aktivitas yang ditentukan, seperti saling tolong menolong, dan menolak segala bentuk ketidakadilan
dalam memberikan pelayanan publik; 2). Postmodernisme mengedepankan sikap bekerjasama melalui
suatu cara dialogis untuk mengidentifikasi pelbagai pandangan dalam pelayanan publik; 3)..
Postmodernisme menekankan bahwa perhatian-perhatian konkrit, lokal adalah penting dan harus
diaplikasikan dalam pelayanan publik.
Berdasarkan permasalahan dan tantangan yang telah dipaparkan, maka upaya-upaya yang
dapat digunakan sebagai bentuk usaha preventif menghadapi postmodernisme, ialah(Purwanto dkk,
2017) : 1). Responsif terhadap pelanggan/memahami pelanggan. Agar kita bisa memahami pelanggan
dan lebih responsif dalam memberikan pelayanan terlebih dahulu kita harus tahu siapa pelanggan kita,
dan apa yang diperlukan dari pelayanan yang kita sediakan. Pelaksanaan survei pelanggan, penyediaan
kotak saran dan pengaduan untuk menjaring informasi dan keluhan, merupakan salah satu strategi
yang dapat dilakukan untuk memahami kebutuhan pelanggan. 2). Membangun visi dan misi
pelayanan. Pembangunan visi dan misi pelayanan penting untuk mempermudah pelaksanaan
pengukuran kinerja. Visi dan misi pelayanan dapat dibuat tersendiri, dengan mengacu pada visi misi
organisasi. Namun dapat pula menggunakan visi dan misi organisasi yang sudah ada, sepanjang visi
dan misi tersebut memperhatikan pemberian pelayanan yang berkualitas. 3). Menetapkan standar
pelayanan dan ukuran kinerja pelayanan, sebagai dasar pemberian pelayanan. 4). Pemberian pelatihan
dan pengembangan pegawai terkait bagaimana memberikan pelayanan yang baik, serta pemahaman
tugas dan fungsi organisasi. 5). Memberikan apresiasi kepada pegawai yang telah melaksanakan tugas
pelayanannya dengan baik.
Budaya pelayanan merupakan cerminan dari praktek komunikasi yang dibangun antara
pemberi layanan dan penerima layanan. Komunikasi yang terjadi mempunyai andil dalam membangun
iklim organisasi, juga berdampak pada membangun budaya organisasi (Organization Culture) dalam
memberikan pelayanan, yaitu nilai dan kepercayaan yang menjadi titik pusat organisasi. Iklim
organisasi pelayanan adalah iklim organisasi yang menggambarkan suasana kerja organisasi atau
sejumlah keseluruhan perasaan dan sikap orang-orang yang bekerja dalam organisasi, sedangkan
budaya pelayanan, merupakan sistem nilai, dan akan mempengaruhi cara pekerjaan dilakukan dan cara
para orang berperilaku. Iklim dan budaya organisasi pelayanan tersebut pada akhirnya berpengaruh
terhadap efisiensi dan produktivitas pelayanan para pegawai pelayan publik. Karena itu merupakan
satu hal yang sangat penting untuk terus memelihara dan mengembangkan budaya pelayanan. Sebuah
budaya yang kuat akan mewarnai sifat hubungan antar instansi atau organisasi pemberi pelayanan
dengan pelanggannya. Budaya pelayanan dibentuk oleh sikap karyawannya serta manajemen
organisasi pemberi pelayanan.
Sikap pelayanan dapat digambarkan melalui 7 P sebagai berikut: 1). Passionate (Sangat
bergairah = Bersemangat, Antusias); 2). Progressive (Memakai cara yang terbaik = termaju): 3).
Proactive (Antisipatif, proaktif dan tidak menunggu); 4). Prompt (Positif = tanpa curiga dan
kekhawatiran); 5). Patience (Penuh rasa kesabaran); Proporsional (Tidak mengada-ada); Punctional
(Tepat waktu).

Kesimpulan
Postmodernisme pada awalnya lahir sebagai reaksi kritis dan reflektif terhadap paradigma
modernisme yang dipandang gagal menuntaskan proyek pencerahan dan menyebabkan munculnya
berbagai patologi modernitas. Inti dari kebijakan postmodern terletak pada spirit utama dalam
pelayanan publik, bahwa yang paling penting dalam setiap proses adalah bagaimana pelayanan yang
8
JPPDANUM PAMBELUM, Jilid …. ISSN: 2089-029X

diberikan tersebut efektif dan partisipatif. Pandangan postmodernisme mempunyai implikasi atau
pengaruh praktis yang menjanjikan bila nantinya dapat diterapkan dalam pelayanan publik, terkhusus
di PTN. Pandangan postmodernis menyadari bahwa manusia membentuk realitas sesuai dengan
kebutuhan, kepentingan, prasangka dan tradisi budaya yang dimilikinya.

Daftar Rujukan

Abdullah, A. 1995.Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Ahmed, A. 1992. Postmodernism and Islam. New York. Routledge.
Ariel, H. 1994. Postmodernisme, Yang Mana? Tentang Kritik Dan Kebingungan Dalam Debat
Postmodernisme di Indonesia Dalam Jurnal Kalam, Edisi 1. Jakarta.
Best & Kellner. 1993.Postmodern Theory : Critical Interogations,Mac Millan EducationLtd.
Featherstone, Mike. 2008. Posmodernisme dan Budaya Konsumen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Harianto, GP. 2001.Postmodrenisme dan Konsep Kekeristenan, Jurnal pelita Zaman 15/1.
Kellner, D. 1994. Baudrillard Reader. Blackwell. Cambridge.
Lechte, J. 1994. Key Contemporary Thinkers From Structuralis to Postmodernism. Routledge,
London.
Piliang, AY. 1998. Sebuah Dunia Yang Dilipat, Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga
Dan Matinya Postmodernisme. Bandung. Mizan.
Purwanto, dkk. 2017. Modul Pelatihan Dasar Calon PNS Pelayanan Publik. Jakarta: LAN
Rahman, F. 2017. Tantangan Pendidikan di Era Postmodernisme. Al-Riwayah : Jurnal Kependidikan
Volume 9, Nomor 2, September 2017, 323-348.
Ryadi, Agustinus. 2004. Postmodernisme Versus Modernisme. Jurnal Studia Philosophica et
Theologica 4(2):90-100
Smart, Barry. 2008. “Modernitas, Posmodernitas dan Masa Kini”. Dalam Teori-Teori Sosiologi;
Modernitas dan Posmodernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
William, F. 1999. Para Pembuat Mitos, Injil, Kebudayaan dan Media. Jakarta. PT. BPK Gunung
Mulia.

Anda mungkin juga menyukai