Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit infeksi jamur, masih memiliki prevalensi yang cukup tinggi di
Indonesia, mengingat negara kita beriklim tropis yang mempunyai kelembapan
tinggi. Jamur bisa hidup dan tumbuh di mana saja, baik di udara, tanah, air,
pakaian, bahkan di tubuh manusia. Jamur bisa menyebabkan penyakit yang cukup
parah bagi manusia. Penyakit tersebut antara lain mikosis yang meyerang
langsung pada kulit, mikotoksitosis akibat mengonsumsi toksin jamur yang ada
dalam produk makanan, dan misetismus yang disebabkan oleh konsumsi jamur
beracun.1
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan
sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat
merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi akut dapat terbatas
pada daerah genitor-krural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus
dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain. Kelainan kulit yang tampak
pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada tepi lebih nyata
daripada daerah tengahnya. Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk yang
primer dan sekunder (polimorfi). Bila penyakit ini menjadi menahun dapat berupa
bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat
garukan.2
Kebanyakan Tinea cruris penyebarannya pada musim panas dan banyak
berkeringat. Paling banyak di daerah tropis. Penyebab terseringnya
Epidermophyton Floccosum, namun dapat pula oleh T. Rubrum dan T.
Mentagrophytes, yang ditularkan secara langsung atau tak langsung. Laki-laki
sering dijumpai daripada perempuan dengan perbandingan 3:1.3 Pada orang
dewasa lebih sering dijumpai daripada anak-anak. Pada daerah yang
kebersihannya kurang diperhatikan juga beresiko serta lingkungan yang kotor dan
lembap.4

1
Penulisan makalah laporan kasus dapat meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman dokter muda mengenai penegakan anamnesa Tinea Cruris dalam
anamnesa, pemeriksaan fisik, penunjang, penatalaksanaan, serta penanganan
prognosis yang tepat.

2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
 Nama penderita : Tn. A
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Tanggal lahir : 22 Juni 1967 (52 tahun)
 No. Rekam Medik : 31.64.74
 Pendidikan terakhir : S1
 Pekerjaan : PNS
 Alamat : Jl. Pinguin, Palangka Raya

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada hari kamis, 8 Maret pukul 10.00 WIB dengan
pasien sendiri (auto-anamnesis) di ruang Edelwis kamar 38 RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya.

Keluhan Utama:
Nyeri dan bengkak pada area skrotum
Riwayat Penyakit Sekarang :
Nyeri sejak ±1 hari pada bagian skrotum dan bengkak disertai kemerahan.
Pada bagian kulit, penderita mengeluh gatal pada area selangkangan sampai ke
pantat sejak ±3-4 hari sebelum masuk rumah sakit. Pada awalnya muncul bercak
merah kecil di selangkangan yang makin lama makin besar. Bercak merah
tersebut disertai rasa gatal yang ia rasakan terus menerus dan rasa gatal tersebut
makin hebat bila lembab, atau makan ayam dan ikan. Sebelumnya pernah
dirasakan seperti ini, awal muncul ± 2 tahun yang lalu dan diobati sendiri oleh
pasien dengan salep yang dibeli di warung-warung obat. Pasien mengaku mandi
dan mengganti celana dalam dua kali sehari, dan tidak pernah bergantian pakaian
dengan orang lain, namun pasien sering menggunakan celana jeans yang agak
ketat. Riwayat alergi makanan dan obat disangkal.

3
Riwayat Penyakit Dahulu :
 Pasien pernah mengalami seperti ini sebelumnya ± 2 tahun yang lalu.
 Riwayat darah rendah
 Riwayat mudah lelah.
Riwayat Penyakit Keluarga :
 Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan sama seperti pasien.
 Tidak ada riwayat asma.

2.2 Pemeriksan Fisik (Tanggal 8 Maret 2018)


Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Kompos Mentis
Tanda Vital :
Tekanan Darah : 90/60 mmHg
Nadi : 96 x/m, kuat angkat , reguler
Pernafasan : 25 x/m
Suhu : 36,5 ‘C

Status Dermatologis
 Ad Regio : Inguinal Sinistra, Dextra dan Gluteus
 Efloresensi : Tampak plak eritematosa, sirkumkripta, ukuran
numular, bentuk irreguler, berkonfluens, distribusi
bilateral dan terdapat central healing. Permukaan kasar
dan kering ditutupi skuama halus.

4
Gambar 2.1 Lesi kulit di regio inguinal sinistra dan dextra

2.3 Pemeriksaan Penunjang


Pewarnaan basah KOH

Gambar 2.2 Pewarnaan basah dengan KOH

5
Rhontgen Thorax

Gambar 2.3 Tampak Left Ventrikel Hipertrofi

2.4 Diagnosis Banding


 Tinea Kruris
 Eritrasma
 Psoriasis

2.5 Diagnosis Kerja


 Tinea Kruris

2.6 Penatalaksanaan
 Medikamentosa :
- Ketokonazol 2x 250mg
- Ceterizine 1x 10 mg
- Ketokonazol 10mg + betametason 5mg Cream 2 dd ue
 Non-medikamentosa :
- Edukasi untuk menghindari garukan atau gosokan pada kulit yang gatal.

6
- Menghindari faktor pencetus, seperti menghindari makan ayam dan
ikan.
- Konsumsi obat secara teratur.
- Kontrol ke dokter teratur.

2.7 Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam

7
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Tinea kruris adalah penyakit dermatofitosis (penyakit pada jaringan yang
mengandung zat tanduk) yang disebabkan infeksi golongan jamur dermatofita
pada daerah kruris (sela paha, perineum, perianal, gluteus, pubis) dan dapat
meluas ke daerah sekitarnya.3 Berikut ini adalah gambar predileksi terjadinya
Tinea kruris.

Gambar 3.1 Predileksi Tinea Kruris


Paling banyak mengenai daerah tropis karena tingkat kelembapannya yang
tinggi dan dapat memicu pengeluaran keringat yang banyak menjadikan faktor
predisposisi penyakit ini. Higiene dan sanitasi yang tidak dijaga dengan baik juga
mempengaruhi pertumbuhan infeksi jamur dermofita. Untuk faktor keturunan
tidak ada hubungannya dengan penyakit ini.

3.2 Etiologi
Tinea kruris disebabkan oleh infeksi jamur golongan dermatofita. Dermatofita
adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini
mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas Fungi
imperfecti, yang terbagi dalam tiga genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton. Penyebab tinea kruris terutama adalah Epidermophyton

8
floccosum dan Trichophyton rubrum. Selain itu juga dapat disebabkan oleh
Trichophyton mentagrophytes dan walaupun jarang dapat disebabkan oleh
microsporum gallinae. Berikut karakteristik dari dermatofita yang umum
menyebabkan tinea kruris secara morfologi koloni dan mikroskopis. 4,5

Gambar 3.2 Karakteristik Dermatofita

3.3 Patogenesis

Tinea kruris biasanya terjadi setelah kontak dengan individu atau binatang
yang terinfeksi. Penyebaran juga mungkin terjadi melalui benda misalnya
pakaian, perabotan, dan sebagainya. Tinea kruris umumnya terjadi pada pria.
Maserasi dan oklusi kulit lipat paha menyebabkan peningkatan suhu dan
kelembaban kulit sehingga memudahkan infeksi, selain itu dapat pula terjadi
akibat penjalaran infeksi dari bagian tubuh lain.3,4

Dermatofita mempunyai masa inkubasi selama 4-10 hari. Infeksi dermatofita


melibatkan tiga langkah utama : perlekatan ke keratinosit, penetrasi melalui dan
diantara sel, dan perkembangan respon pejamu.

a. Perlekatan jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa


melekat pada jaringan keratin diantaranya sinar UV, suhu, kelembaban,
kompetisi dengan flora normal dan sphingosin yang diproduksi oleh

9
keratinosit. Asam lemak yang di produksi oleh kelenjar sebasea juga
bersifat fungistatik.4
b. Penetrasi. Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan
menembus stratum korneum dengan kecepatan yang lebih cepat daripada
proses desquamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase, lipase
dan enzim mucinolitik, yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur.
Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur ke keratinosit.
Pertahanan baru muncul ketika jamur mencapai lapisan terdalam
epidermis.4
c. Perkembangan respon tubuh. Derajat inflamasi di pengaruhi oleh status
imun penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe
IV, atau Delayed Type Hipersensitivity (DHT) memainkan peran yang
sangat penting dalam melawan dermatofita. Pasien yang belum pernah
terinfeksi dermatofita sebelumnya, Infeksi primer menyebabkan inflamasi
dan tes trichopitin hasilnya negatif. Infeksi menghasilkan sedikit eritema
dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit.
Terdapat hipotesis menyatakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh
sel langerhans epidermis dan di presentasikan dalam limfosit T di nodus
limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ke tempat yang
terinfeksi untuk menyerang jamur. Saat ini, lesi tiba-tiba menjadi
inflamasi, dan barier epidermal menjadi permeable terhadap transferin dan
sel-sel yang bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi secara spontan
menyembuh.4
3.4 Faktor yang Mempengaruhi
Faktor risiko adalah faktor yang dapat mempermudah timbulnya suatu
penyakit. Peran faktor risiko itu dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar,
yaitu
1. Yang menyuburkan pertumbuhan jamur.
 Pemberian antibiotik yang mematikan kuman akan
menyebabkan keseimbangan antara jamur dan bakteri
terganggu.

10
 Adanya penyakit diabetes militus, dan kehamilan menimbulkan
suasana yang menyuburkan jamur.
2. Yang memudahkan terjadinya invasi ke jaringan karena daya tahan
yang menurun :
 Adanya rangsangan setempat yang terus menerus pada lokasi
tertentu oleh cairan yang menyebabkan pelunakan kulit,
misalnya air pada sela jari kaki, kencing pada pantat bayi,
keringat pada daerah lipatan kulit, atau akibat liur disudut
mulut orang lanjut usia.
 Adanya penyakit tertentu, seperti gizi buruk, penyakit darah,
keganasan, diabetes militus, dan atau kehamilan menimbulkan
suasana yang menyuburkan jamur.
3.5 Gejala Klinis
Penderita merasa gatal dan kelainan lesi berupa plakat berbatas tegas terdiri
atas bermacam-macam efloresensi kulit (polimorfik). Bentuk lesi yang beraneka
ragam ini dapat berupa sedikit hiperpigmentasi dan skuamasi menahun. Kelainan
yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas, terdiri
atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi lesi.
Daerah di tengahnya biasanya lebih tenang, sementara yang di tepi lebih aktif
yang sering disebut dengan central healing. Kadang-kadang terlihat erosi dan
krusta akibat garukan.7

Gambar 3.3 Tampak lesi pada Tinea Kruris

11
Kelainan kulit juga dapat dilihat secara polisiklik, karena beberapa lesi kulit
yang menjadi satu. Lesi dapat meluas dan memberikan gambaran yang tidak khas
terutama pada pasien imunodefisiensi6.
3.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakan berdasarkan gambaran klinis yaitu adanya kelainan kulit
berupa lesi berbatas tegas dan peradangan dimana pada tepi lebih nyata daripada
bagian tengahnya, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.4
3.6.1 Anamnesis
Dari anamnesis, penderita dengan Tinea kruris mengeluh gatal dan
kemerahan di daerah lipat paha, sekitar ano-genital, sering bertambah berat
sewaktu berkeringat sehingga digaruk kemudian timbul erosi dan infeksi
sekunder. Gatal di derah lipat paha, sekitar ano-genital, sering bertambah berat
sewaktu tidur sehingga digaruk kemudian timbul erosi dan infeksi sekunder.3
Riwayat pasien sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien
berada pada tempat yang beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat, bertukar
pakaian dengan orang lain, aktif berolahraga, menderita diabetes mellitus.
Penyakit ini dapat menyerang pada tahanan penjara, tentara, atlit olahraga dan
individu yang beresiko terkena dermatophytosis5,7.
3.6.2 Pemeriksaan Fisik
Kelainan kulit yang tampak pada Tinea kruris pada sela paha merupakan
lesi berbatas tegas yang simetris pada lipat paha kiri dan kanan, dapat bersifat akut
atau menahun.5,11 Mula-mula sebagai bercak eritematosa, gatal lama kelamaan
meluas, dapat meliputi skrotum, pubis, gluteal, bahkan sampai paha, bokong dan
perut bawah. Tepi lesi aktif (peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah
tengahnya), polisiklis, ditutupi skuama dan kadang-kadang dengan banyak vasikel
kecil-kecil3,7.
Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai
sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan. Keluhan sering
bertambah sewaktu tidur sehingga digaruk-garuk dan timbul erosi dan infeksi
sekunder.5 Pada infeksi akut, ruam biasanya basah dan eksudatif. Pada infeksi
kronik, permukaannya kering dengan tepi papuler anular atau asiner3.

12
3.6.3 Pemeriksaan Penunjang
Dari anamnesis, gambaran klinis dan lokalisasinya, tidak sulit untuk
mendiagnosis. Namun tetap diperlukan pemeriksaan penunjang untuk
menyingkirkan Differential Diagnosis. Sebagai penunjang diagnosis dapat
dilakukan pemeriksaan sediaan langsung dari kerokan bagian tepi lesi dengan
KOH dan kultur. Kadang – kadang diperlukan pemeriksaan dengan lampu Wood,
yang mengeluarkan sinar ultraviolet dengan gelombang 3650 Ao. 4
1. Pemeriksaan Dengan Sediaan Basah
Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% → kerok skuama dari bagian
tepi lesi dengan memakai scalpel , pinggir gelas, atau selotip → taruh
di obyek glass → tetesi KOH 10-20 % 1-2 tetes → tunggu 10-15 menit
untuk melarutkan jaringan → lihat di mikroskop dengan pembesaran
10-45 kali, akan didapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh
sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada
kelainan kulit yang lama atau sudah diobati, dan miselium7.

Gambar 3.4 Hifa dan spora pada pemeriksaan KOH

2. Pemeriksaan Dengan Kultur Jamur


Kultur jamur merupakan metode diagnostik yang lebih spesifik namun
membutuhkan waktu yang lebih lama dan memiliki sensitivitas yang
rendah, harga yang lebih mahal dan biasanya digunakan hanya pada

13
kasus yang berat dan tidak berespon pada pengobatan sistemik. Kultur
perlu dilakukan untuk menentukan spesiesnya karena semua spesies
dermatofita tampak identik pada sediaan langsung. Metode dengan
kultur jamur menurut Summerbell dkk. di Belanda pada tahun 2005
bahwa kultur jamur untuk onikomikosis memiliki sensitivitas sebesar
74,6%. Garg dkk. pada pada tahun 2009 di India melaporkan
sensitivitas kultur jamur pada dermatofitosis yang mengenai kulit dan
rambut sebesar 29,7% dengan spesifisitas 100%. Sangat penting bagi
masing-masing laboratorium untuk menggunakan media standar yakni
tersedia beberapa varian untuk kultur. Media kultur diinkubasi pada
suhu kamar 26°C (78,8°F) maksimal selama 4 minggu, dan dibuang
bila tidak ada pertumbuhan4.
3. Punch Biopsy
Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun
sensitifitasnya dan spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan Peridoc
Acid–Schiff, jamur akan tampak merah muda atau menggunakan
pengecatan methenamin silver, jamur akan tampak coklat atau hitam4
4. Lampu wood
Penggunaan lampu wood bisa digunakan untuk menyingkirkan adanya
eritrasma dimana akan tampak floresensi merah bata.

3.7 Diagnosis Banding


1. Eritrasma
Eritrasma merupakan penyakit yang tersering berlokalisasi di sela paha
dan ketiak. Effloresensi yang sama, yaitu eritema dan skuama, pada
seluruh lesi merupakan tanda-tanda khas penyakit ini. batas lesi tegas,
jarang disertai infeksi, flouresensi merah bata yang khas dengan sinar
wood. Pemeriksaan dengan lampu wood dapat menolong dengan
adanya fluoresensi merah (coral red).5

14
Gambar 3.5 Tampak lesi pada Eritrasma

2. Kandidiasis Intertriginosa
Merupakan infeksi jamur dengan predileksi lipatan kulit terutama
aksila, gluteal, genitokrural, interdigiti, retroaurikuler, perianal, yang
sebagian besar disebabkan oleh spesies Candida terutama candida
albican, C. glabrata, C.tropicalis, C. krusei, C.dubliniensis,
C.parapsilosis. Dari anamnesis ditemukan bercak merah pada lipatan
kulit, meluas, disertai bintik-bintik merah kecil disekitarnya dengan
keluhan sangat gatal dan rasa panas seperti terbakar. Effloresensinya
berupa bercak eritema, berbatas tegas, maserasi disertai dengan lesi
satelit vesikopustul3.

Gambar 3.6 Tampak lesi kandidiasis intertrigenosa yang mengenai skrotum


dan daerah inguinal

15
3. Psoriasis
Penyakit peradangan kulit kronik residif ditandai oleh plak eritema
batas tegas dengan skuama tebal keperakan, kasar dan berlapis, disertai
fenomena bercak lilin, tanda Auspitz dan fenomena Koebner. Bercak
merah bersisik tebal, kumat-kumatan, kadang gatal, dapat disertai
nyeri sendi, dan dapat dicetuskan oleh adanya stres psikologis,
kelelahan, infeksi. Tipe vulgaris: plak eritema batas tegas ditutupi
skuama tebal keperakan yang kasar dan berlapis pada daerah predileksi
ekstensor ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala,
lumbosakral bagian bawah, pantat, dan genital3.

Gambar 3.7 Predileksi Psoriasis dan lesinya.

3.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tinea kruris berupa terapi medikamentosa dan non-
medikamentosa. Penatalaksanaan medikamentosa dapat dimulai berdasarkan hasil
pemeriksaan mikroskopik langsung pada sampel kulit. Pemeriksaan mikroskopik
tidak dapat membedakan spesies namun umumnya semua spesies dermatofit
diyakini memberikan respon yang sama terhadap terapi anti jamur sistemik dan
topikal yang ada.8
3.8.1 Non-Medikamentosa
Dalam penatalaksanaan secara non medikamentosa, sangatlah penting untuk
mengedukasi pasien mengenai kebersihan diri dan lingkungan untuk membantu
mengatasi penyakit dan pencegahannya. Berikut edukasi yang dapat diberikan
kepada pasien.8

16
1. Untuk mencegah infeksi berulang, daerah yang terinfeksi dijaga agar tetap
kering dan terhindar dari sumber-sumber infeksi serta mencegah
pemakaian peralatan mandi bersama-sama.
2. Memakai pakaian yang tipis, memakai pakaian yang berbahan cotton.
3. Tidak memakai pakaian dalam yang terlalu ketat untuk mencegah
kelembaban daerah sela paha.
4. Menggunakan handuk terpisah untuk mengeringkan daerah sela paha
setelah mandi,
5. Pasien dengan Tinea kruris yang mengalami obesitas dianjurkan untuk
menurunkan berat badan,
6. Memakai kaus kaki sebelum mengenakan celana untuk meminimalkan
kemungkinan transfer jamur dari kaki ke sela paha (autoinokulasi).4,8
3.8.2 Medikamentosa
Untuk lesi yang ringan dan tidak luas cukup diberikan terapi topikal saja.
Terapi sistemik diberikan untuk lesi yang lebih luas dan meradang, sering kambuh
dan tidak sembuh dengan obat topikal yang sudah adekuat.9,10 Beberapa pilihan
obat antijamur topikal dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pilihan obat antijamur topikal1,10,11


Golongan Imidazol Golongan Alilamin Golongan Naftionat Golongan lain

mikonazol 2% naftitin 1% tolnaftat 1% siklopiroksolamin 1%


klotrimazol 1% terbinafin 1% tolsiklat salep Whitfield
ekonazol 1% butenafin 1% salep 2-4/3-10
isokonazol vioform 3%
sertakonazol
tiokonazol 6,5%
ketokonazol 2%
bifonazol
oksikonazol 1%

Lama pengobatan tinea kruris menggunakan antijamur topikal umumnya


sampai 1-2 pekan. Untuk pengobatan topikal dengan antijamur yang bersifat

17
fungistatik, pengobatan dilanjutkan 1-2 pekan setelah lesi hilang/sembuh. Hal ini
bertujuan untuk mencegah terjadinya kekambuhan sehingga pengobatan diberikan
selama sekurang-kurangnya 3-4 pekan. Untuk pengobatan topikal dengan
antijamur yang bersifat fungisidal, pengobatan cukup diberikan selama 1-2 pekan,
tidak perlu diteruskan 1-2 pekan setelah lesi hilang/ sembuh.11,12
Sebelum dioles, daerah yang akan diolesi obat dibersihkan dan dikeringkan.
Obat dioles di atas lesi menjadi satu lapisan tipis yang menutupi paling sedikit
sampai 3 cm ke arah luar lesi. Obat digunakan 2 kali sehari, kecuali butenafin,
terbinafin, sertakonazol hanya dioles 1 kali sehari. Hasil maksimal bila lesi dijaga
tetap bersih, kering dan sejuk, misalnya dengan menggunakan celana yang tidak
sempit dan menyerap keringat.11
Untuk terapi sistemik, beberapa pilihan obat antijamur yang dapat
digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.

18
Tabel 2. Pilihan obat antijamur sistemik9,10,11
Golongan Sediaan dan dosis
Alilamin
- terbinafin - Bersifat fungisidal, paling efektif untuk infeksi
jamur dematofita
- Sediaan: Tablet 250 mg
- Dosis: 250 mg/hari selama 2 pekan (Dewasa)
- Dosis: 3-6 mg/kgBB/hari selama 2 pekan (Anak)
Imidazol
- itrakonazol
- Bersifat fungistatik
- Interaksi dengan obat lain cukup banyak
- Sediaan: Kapsul 100 mg, solusio oral 10mg/ml
- Dosis: 100 mg/hari selama 2 pekan (Dewasa)
- Dosis: 5 mg/kgBB/hari selama 1 pekan (Anak)
- flukonazol
- Bersifat fungistatik
- Sediaan: Tabel 100, 150, 200 mg, suspensi oral 10
dan 40 mg/ml, injeksi 400 mg
- Dosis: 150 mg/pecan selama 4-6 pekan
- ketokonazol

- Bersifat fungistatik
- Bersifat hepatotoksik
- Sediaan: Tablet 200 mg
- Dosis: 200 mg/hari selama 10-14 hari

Griseofulvin - Bersifat fungistatik, aktif untuk golongan


dermatofita
- Efek samping: sefalgia, gejala gastrointestinal,
fotosensitivitas
- Dikonsumsi dengan makanan berlemak
- Sediaan:
- Micronized: Tabel 250 dan 500 mg, oral
suspensi 125mg/ sendok teh
- Ultramicronized: Tablet 165 dan 330 mg
- Dosis: 500 mg/hari selama 2-6 pekan (Dewasa)
- Dosis: 10-20 mg (ultramicronized)/kgBB/hari
selama 6 pekan (Anak)

19
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Tn. A laki-laki berusia 52 tahun di konsulkan dari ruang Edelwis


oleh sp. PD RSUD dr. Doris Sylvanus dengan keluhan gatal pada selangkangan
yang sudah berlangsung lama.
Penderita mengeluh gatal pada area selangkangan sampai ke pantat sejak
±3-4 hari sebelum masuk rumah sakit. Pada awalnya muncul bercak merah kecil
di selangkangan yang makin lama makin besar. Bercak merah tersebut disertai
rasa gatal yang ia rasakan terus menerus dan rasa gatal tersebut makin hebat bila
lembab, atau makan ayam dan ikan. Dari anamnesis, penderita dengan Tinea
kruris mengeluh gatal dan kemerahan di daerah lipat paha, sekitar ano-genital,
sering bertambah berat sewaktu berkeringat sehingga digaruk kemudian timbul
erosi dan infeksi sekunder. Gatal di derah lipat paha, sekitar ano-genital, sering
bertambah berat sewaktu tidur sehingga digaruk kemudian timbul erosi dan
infeksi sekunder.
Insidensi dermatomikosis di Indonesia masih cukup tinggi. Dari segi usia,
data dari beberapa rumah sakit di Indonesia menunjukan kelompok usia produktif
adalah kelompok usia terbanyak menderita dermatomikosis superfisialis
dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih tua. Kemungkinan karena segmen
usia tersebut lebih banyak mengalami faktor predisposisi atau pencetus misalnya
pekerjaan basah, trauma, banyak berkeringat. Dimana pada pasien ini berusia 52
tahun, sering mengenakan celana jeans yang ketat dan infeksi berulang yang awal
muncul ± 2 tahun yang lalu.
Berdasarkan gejala klinis yang ditimbulkan pada penderita tinea kruris
Penderita merasa gatal dan kelainan lesi berupa plakat berbatas tegas terdiri atas
bermacam-macam efloresensi kulit (polimorfik). Bentuk lesi yang beraneka ragam
ini dapat berupa sedikit hiperpigmentasi dan skuamasi menahun. Kelainan yang
dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas, terdiri atas
eritema, skuama. Daerah di tengahnya biasanya lebih tenang, sementara yang di

20
tepi lebih aktif yang sering disebut dengan central healing. Berdasarkan uraian
tersebut, keluhan pada pasien sesuai dengan teori yang didapat.
Dari pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan basah
dengan KOH. Pada sediaan KOH tampak hifa bersepta dan bercabang tanpa
penyempitan maupun spora berderet (artospora) pada kelainan kulit lama.
Terdapatnya artspora pada sediaan mikroskopis dengan potasium hidroksida
(KOH) dapat memastikan diagnosis dermatofitosis. Berdasarkan uraian tersebut,
gambaran dari kerokan pada lesi pasien di mikroskop sesuai dengan teori yang
didapat. Walaupun pemeriksaan mikroskopik sediaan langsung KOH memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih rendah serta hasil negatif palsu sekitar l5%-
30%, namun teknik ini memiliki kelebihan tidak membutuhkan peralatan yang
spesifik, lebih murah dan jauh lebih cepat. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang di atas sangat menunjang diagnosis ke arah tinea kruris.
Penatalaksanaan pada pasien diberikan secara medikamentosa dan non-
medikamentosa. Penatalaksanaan medikamentosa pada hari pertama kunjungan
kulit diberikan obat per oral ketokonazol 2x 250 mg dan cetirizin 1x 10 mg, serta
obat topikal ketokonazol 10mg dan betametason 5 mg cream. Berdasarkan teori,
tatalaksana pada dermatofitosis yaitu pada umumnya diatasi dengan pemberian
griseofulvin. Untuk mempercepat proses penyembuhan dapat ditambahkan obat
topikal. Pada kasus-kasus yang resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan
dengan ketokonazol per oral sebanyak 200mg per hari selama 10 hari- 2 minggu
pada pagi hari setelah makan. Akan tetapi ketokonazol merupakan kontraindikasi
untuk penderita kelainan hepar.
Pada pasien ini diberikan antibiotik topikal ketokonazol 10mg yang
ditambah dengan krim betametason 5mg. Penggunaan krim campuran dengan
kortikosteroid ditujukan untuk mengatasi peradangan serta iritasi pada tubuh.
Obat ini biasanya juga bekerja untuk menekan reaksi imun dan mempersempit
pembuluh darah. Untuk memutuskan siklus gatal-garuk, pasien diberikan
antihistamin yaitu cetirizin 10 mg 1x sehari. Pada pengobatan hari ke 4 pada
pasien ini ditambahkan asam fusidat krim 5mg. Diduga pada kondisi individu
dengan sistem imun yang lemah (immunocompromized), cenderung mengalami

21
dermatofitosis yang berat atau menetap. Kemampuan spesies dermatofi tertentu
untuk memproduksi penicilin-like antibiotics memungkinkan jamur ini
memanfaatkan flora normal, staphylococcus aureus dapat bertindak sebagai ko-
patogen yang meningkatkan derajat keradangan infeksi dermatofit.

Gambar 4.1 Hari-1 Pengobatan Gambar 4.2 Hari-3 Pengobatan Gambar 4.3 Hari-4Pengobatan

Untuk tatalaksana non-medikamentosa yaitu pasien diberikan edukasi agar


menghindari garukan atau gosokan pada kulit yang gatal, menghindari faktor
pencetus, seperti menghindari makanan ayam maupun ikan.

BAB V

22
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Telah dilaporkan kasus Tinea Kruris pada laki-laki usia 52 tahun ditegakan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan dermatologis yang ditemukan pada
pasien. Dimana pada anamnesis didapatkan pada bagian kulit, penderita mengeluh
gatal pada area selangkangan sampai ke pantat sejak ±3-4 hari sebelum masuk
rumah sakit. Pada awalnya muncul bercak merah kecil di selangkangan yang
makin lama makin besar. Bercak merah tersebut disertai rasa gatal yang ia rasakan
terus menerus dan rasa gatal tersebut makin hebat bila lembab, atau makan ayam
dan ikan. Sebelumnya pernah dirasakan seperti ini, awal muncul ± 2 tahun yang
lalu dan diobati sendiri oleh pasien dengan salep yang dibeli di warung-warung
obat. Pasien mengaku mandi dan mengganti celana dalam dua kali sehari, dan
tidak pernah bergantian pakaian dengan orang lain, namun pasien sering
menggunakan celana jeans yang agak ketat. Riwayat alergi makanan dan obat
disangkal.
Pada pemeriksaan dermatologis ditemukan tampak plak eritematosa,
sirkumkripta, ukuran numular, bentuk irreguler, berkonfluens, distribusi bilateral
dan terdapat central healing. Permukaan kasar dan kering ditutupi skuama halus,
pada regio inguinal senistra dan dextra serta glutea. Pada pemeriksaan penunjang
dengan pemeriksaan sediaan basah KOH didapatkan spora berderet (artrospora)
pada kelainan kulit yang lama atau sudah diobati
Pada kasus ini pasien mendapatkan tatalaksana medikamentosa dan non-
medikamentosa. Untuk tatalaksana medikamentosa diberikan obat per oral
ketokonazol 250mg 2x1 tab, cetirizine 10mg 1x1 tab, krim ketokonazol 10mg
dicampur betametason 5 mg.Pada perawatan hari ke 4 ditambahkan krim asam
fusidat 5 mg.

DAFTAR PUSTAKA

23
1. Riyanto, Eko, Suyoso, Sunarso. 2005. Artikel Deramtomikosis di Instalasi
Rawat Inap Medik. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr.Soetomo-
Surabaya.
2. Barankin, B. dan Freiman, A., 2006. Derm Notes: Clinical Dermatology
Pocket Guide. China: FA Davis Company, p.169-70.
3. Wolff K, dan Johnson RA. 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology, 8th ed, New York: Mc Graw Hill. p.336-9.
4. Sterry, W., Paus, R., dan Burgdorf, W., 2006. Thieme Clinical Companions:
Dermatology. Jerman: Georg Thieme Verlag KG, p.375-377.
5. William D,Timothy G, Dirk M, George C. 2006. Andrews' diseases of the skin
: clinical dermatology. 10th ed, New York: Mc Graw Hill.
6. Djuanda, Adhi. Dkk. 2007. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
7. Wiederkehr M. Tinea Cruris. Available at: www.emedicine.com
/DERM/topic42.htm. Akses: 10 Maret 2019.
8. Panduan praktek klinis SMF Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah.2016.
9. Siswati AS, Ervianti E. Tinea korporis dan tinea kruris. Dalam. Bramono,
Kusmarinah, dkk. (Editor). Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ke-2. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013. Hal. 58-74
10. Yosella T. Diagnosis and treatment of tinea cruris. J MAJORITY, 4(2): 2015.
Hal. 122-28
11. Kelly BP, Superficial fungal infections. Pediatrics in Review, 33(4): 2012.
p.22-37

24

Anda mungkin juga menyukai