Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

KETOASIDOSIS DIABETIKUM

Pendamping
Dr. Rima Virgantini
Dr. Veimina Surya
Dr. Ratu Wulandari

Disusun Oleh
Dr. Raka Petra Prazasta

PROGRAM DOKTER INTERNSIP


RSU KOTA TANGERANG SELATAN
PUSKESMAS KAMPUNG SAWAH
FEBRUARI 2019 – FEBRUARI 2020
2
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. ED
Usia : 57 tahun
Status Pernikahan : Menikah
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Cipinang Muara

A. ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis dan Alloanamnesis

Keluhan Utama
Sesak sejak 3 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSU Kota Tangerang Selatan dengan keluhan sesak
sejak 3 hari SMRS. Sesak tidak dipengaruhi aktivitas dan posisi. Riwayat
terbangun tengah malam karena sesak disangkal. Pasien juga mengeluh batuk
berdahak berwarna putih kekuningan dan demam sejak 3 hari yang lalu.
Demam yang dirasakan pasien cenderung naik turun. Demam tidak disertai
dengan menggigil, dan keringat malam. Pasien juga merasakan nyeri dada
sejak 3 hari yang lalu. Nyeri dada dirasakan hilang timbul dan tidak
dipengaruhi aktivitas. Selain itu, pasien juga mengeluh lemas, mual dan
muntah sebanyak dua kali sejak 1 hari SMRS. Pasien mengatakan sering
berkemih terutama pada malam hari. Pasien juga mengeluh sering kebas pada
kaki dan tangan sejak 6 bulan yang lalu. Os mengaku berat badan turun 7 kg
dalam waktu 3 bulan terakhir. Pasien memiliki riwayat hipertensi tidak

3
terkontrol, DM tidak terkontrol, asma, dan TB paru tuntas pengobatan selama
6 bulan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 1 tahun yang lalu, diabetes melitus
sejak 2 tahun yang lalu, asma sejak usia 21 tahun dan TB paru tahun 2014.

Riwayat Keluarga
Ibu pasien memiliki riwayat Diabetes Melitus dan asma. Ayah pasien
memiliki riwayat Hipertensi.

Riwayat Pengobatan
Pasien menggunakan insulin untuk mengontrol kadar gula darah. Insulin yang
digunakan adalah lantus 1 x 20 ui dan apidra (os lupa dosis yang digunakan).
Pasien menggunakan Amlodipin 10 mg untuk mengontrol tekanan darah.

Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak usia 11 tahun sebanyak 2 bungkus
perhari dan jarang berolah raga
Riwayat mengkonsumsi minum minuman ber-alkohol disangkal.

Riwayat Makanan
Pasien selalu makan nasi, sayur dan daging.
Pasien memiliki kebiasaan minum teh manis setiap hari 5 gelas dan kopi 4
gelas perhari.

Anamnesis menurut sistem


a. Umum : Lemas (+), demam (+), polidipsi (+)
b. Kepala : Pusing (-), trauma (-), rambut rontok (-)

4
c. Hidung : trauma (-), nyeri (-), secret (-) epistaksis (-),
sumbatan (-)
d. Telinga : nyeri (-), secret (-), perdarahan (-), tinnitus (-),
gangguan
pendengaran (-)
e. Mulut : mukosa kering (-), gusi berdarah (-), lidah kotor (-
), sariawan
(-), gangguan kecap (-)
f. Tenggorokan : dysphagia (-) serak (-)
g. Leher : benjolan (-) nyeri (-)
h. Thoraks : Jantung: berdebar (-), nyeri dada (+)
Paru: sesak (+), batuk (+),hemaptoe (-), orthopnoe
(-), PND (-)
i. Abdomen : kembung (-), mual (+), muntah (+), darah (-),
Nyeri (-), nyeri kolik (-), perut membesar (-),
mencret (-), tinja berdarah (-), tinja hitam (-)
j. Sal. Kemih : nyeri BAK (-), poliuria (+), hematuria (-)
k. Ekstremitas atas : kulit kering (-), bengkak (-), deformitas (-),
sianosis (-), kebas (+)
l. Ekstremitas bawah: kulit kering (-), bengkak (-), nyeri sendi (-),
deformitas (-), sianosis (-), kebas (+)

5
B. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis (GCS: E4V5M6)
Cara bicara : Normal
Cara berbaring : Semi fowler
Cara duduk : Tegap
Penampilan : Penampilan rapi dan bersih
Keadaan khusus : Sesak (+) sianosis (-) oedem (-) ikterik (-)
Status gizi : TB 160 cm BMI : 18,75 (Normal)
BB 48 kg
Tanda Vital : Tekanan darah 160/100 mmHg
: Nadi 100 x/menit
: Pernapasan 26 x/menit
: Suhu 37,0o C
Status Generalis
Kulit
Warna kulit sawo matang, pucat (-), sianosis (-), ikterik (-), turgor kulit
baik, kulit kering (-), efloresensi bermakna (-)
Kepala
 Normosefali, bentuk lonjong tidak ada deformitas, rambut hitam, distribusi
merata, tidak mudah dicabut.
 Telinga : daun telinga bentuk normal simetris (normotia), nyeri tarik atau
nyeri lepas (-/- ), liang telinga lapang (+/+), serumen (-/-)
 Hidung : ukuran normal, tidak ada deformitas / septum deviasi, tidak
terdapat sekret, tidak ada pernapasan cuping hidung, kavum nasi tampak
lapang (+/+)
 Mata : konjungtiva anemis (-/- ), sklera ikterik (-/- ), pupil isokor (+/+),
refleks cahaya langsung (+/+), reflek cahaya tidak langsung (+/+)
 Mulut : sianosis (-), bibir kering (-), mukosa mulut kering (-), tidak ada
efloresensi yang bermakna, oral hygine baik, uvula letak di tengah, tidak

6
hiperemis, arkus faring tidak hiperemis dan tidak tampak detritus, tonsil
T2/T2, lidah tampak kotor (-)

Leher
 Inspeksi : bentuk dan ukuran proporsional, tidak tampak benjolan KGB
dan kelenjar tiroid
 Palpasi : Kelenjar getah bening tidak teraba membesar, kelenjar tiroid
tidak teraba membesar, letak trakea normal tidak ada deviasi
Thorax
Inspeksi : Tidak tampak efloresensi yang bermakna, gerak pernafasan
simetris, tulang iga tidak terlalu vertikal maupun horizontal, retraksi otot-
otot pernapasan (-)
Palpasi : gerakan nafas kanan – kiri simetris, vocal fremitus simetris. Ictus
cordis teraba setinggi ICS 5 1 cm dari garis midclavicula kiri.
Perkusi
 didapatkan perkusi sonor pada paru kiri maupun kanan.
 batas paru dan hepar : setinggi ICS 5 linea midclavicula kanan
dengan suara redup dan ditemukan peranjakan (+) ± 2 jari
pemeriksa.
 batas paru dan jantung kanan : setinggi ICS 3 hingga 5 linea
sternalis kanan dengan suara redup.
 batas paru dan jantung kiri : setinggi ICS 5 ± 1 cm linea
midclavicula kiri dengan suara redup.
 batas atas jantung : setinggi ICS 3 linea parasternalis kiri.
 batas paru dan lambung : setingi ICS 7 linea aksilaris anterior kiri
dengan suara timpani.
Auskultasi
 Paru : suara napas vesikuler +/+, wheezing -/- , ronchi +/+
 Jantung : Bunyi jantung I & II regular, murmur (-) gallop (-).

7
Abdomen
Inspeksi
 Bentuk abdomen normal, mendatar dan simetris.
 Warna kulit sawo matang, pucat (-), ikterik (-), kemerahan (-), spider
navy (-), tidak tampak efloresensi yang bermakna
 Gerak dinding simetris, tipe pernapasan abdominothorakal.
Auskultasi
 Bising usus (+) 1-3 x/menit.
 Tidak terdengar arterial bruit ataupun venous hum.
Perkusi
 Pada keempat kuadran didapatkan suara timpani
 Batas bawah hepar didapatkan setinggi ICS 7 garis midklavikula kanan
dengan suara pekak.
 Batas atas hepar didapatkan setinggi ICS 5 linea midclavicula kanan
dengan suara redup
Palpasi
 Dinding abdomen rata, supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas tekan (-),
turgor kulit normal
 Tidak teraba pembesaran hepar ataupun lien.
Ekstremitas
 Bentuk dan proporsi ukuran terhadap tubuh baik.
 Inspeksi : Simetris, tidak tampak efloresensi yang bermakna, oedem (--/--
), palmar eritema (-/- ).
 Palpasi : kulit kering (-), akral hangat, oedem (--/--).

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium (19/03/2017)
JENIS HASIL NILAI NORMAL
HEMATOLOGI
Leukosit 8.7 ribu/µL 3.8 – 10.6

8
Eritrosit 5.6 juta/µL 4.4 – 5.9
Hemoglobin 16.0 g/dL 13.2 – 17.3
Hematokrit 49 % 40 – 52
Trombosit 233 ribu/µL 150 – 440
MCV 86.5 fL 80 – 100
MCH 28.4 pg 26 – 34
MCHC 32.9 g/dL 32 – 36
RDW 11.8 % < 14
KIMIA KLINIK
ANALISA GAS DARAH
PH 7.39 7.35 - 7.45
PCO2 27 mmHg 35 – 45
PO2 95 mmHg 80 – 100
Bikarbonat (HCO3) 16 mmol/L 21 – 28
Total CO2 17 mmol/L 23 – 27
Saturasi O2 97 % 95 – 100
Kelebihan basa (BE) -6.3 mEq/L -2.5 – 2.5
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa darah CITO 570 mg/dL < 110
Keton Darah 2.0 < 0.6
GINJAL
Ureum 37 mg/dL 17 – 49
Kreatinin 1.10 mg/dL < 1.2
ELEKTROLIT
Natrium 133 mmol/L 135 – 155
Kalium 5.0 mmol/L 3.6 – 5.5
Klorida 94 mmol/L 98 – 109
URINALISIS
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih

9
Glukosa 2+ Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Keton 2+ Negatif
PH 5.5 4.6 – 8
Berat Jenis 1.005 1.005 – 1.030
Albumin Urine Negatif Negatif
Urobilinogen 0.2 E.U./dL 0.1 – 1
Nitrit Negatif Negatif
Darah Negatif Negatif
Esterase Leukosit Negatif Negatif
Sedimen Urine :
Leukosit 2-3 <5
Eritrosit 0-1 <2
Epitel Positif Positif
Silinder Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Jamur Negatif Negatif

D. RINGKASAN
Tn. ED, 57 tahun, datang dengan keluhan dyspnoe, batuk berdahak putih
kekuningan, febris yang cenderung naik turun, nyeri dada hilang timbul,
nausea dan vomitus sebanyak 2x sejak 3 hari SMRS. Pasien mengalami
polidipsi, polyuria, nocturia, kebas pada kedua tungkai dan penurunan berat
badan. Riwayat penyakit hipertensi tidak terkontrol, DM tidak terkontrol,
Asma, dan TB paru. Pada pemeriksaan fisik didapatkan Hipertensi (160/100
mmHg) dan takipnoe (26x/menit). Dari hasil laboratorium didapatkan
hiperglikemia (570 mg/dl), ketosis (2.0), Glukosuria (2+) dan ketonuria 2+
dan hiponatremia (133 mmol/L).

10
E. DAFTAR MASALAH
1. Ketoasidosis Diabetikum
2. CAP dd TB paru
3. Hiponatremia
4. DM Tipe 2
5. Hipertensi

F. ANALISIS MASALAH
1. Ketoasidosis Diabetikum (KAD)
Diagnosis KAD ditegakkan berdasarkan anamnesis didapatkan lemas (+),
mual (+), muntah (+), dan adanya riwayat diabetes mellitus sejak 2 tahun yang
lalu dan tidak terkontrol. Pasien juga sudah menggunakan insulin sejak 3 bulan
yang lalu. Dari hasil pemeriksaan lab yang sudah dilakukan ditemukan adanya
trias biokimiawi KAD pada pasien yaitu hiperglikemia (Gula darah sewaktu :
570 mg/dL), ketonemia (keton darah : 2.0), ketonuria (keton urin : 2+), dan
asidosis metabolik (HCO3 : 16 mmol/L).
Adapun rencana tatalaksana yang akan dilakukan adalah :
a. Rencana diagnostik
 Pemeriksaan laboratorium darah lengkap, elektrolit, tes
fungsi ginjal, GDS per 2 jam, keton darah, dan EKG.
b. Rencana Terapi
 Non-Medikamentosa
- Rawat inap
- Bedrest
- Diet kalori
 Medikamentosa:
- Protokol ketosis
- Nacl 0.9% / 8 jam
- Drip insulin 50 ui

11
2. Community Acquired Pneumonia (CAP)
Masalah ini ditegakkan berdasarkan anamnesis yaitu pasien mengeluh demam
naik-turun, batuk, nyeri dada dan sesak. Pasien ini juga memiliki faktor risiko
terjadinya CAP yaitu merokok 2 bungkus/hari. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan adanya rh+/+. Klasifikasi dan penentuan tingkat keparahan pada
CAP ditentukan terutama ditentukan untuk mengetahui rekomendasi rawat
inap dan untuk menentukan prognosis dari CAP ini. Ada 2 macam grading
yang digunakan pada CAP yaitu CURB – 65 / CRB – 65 dan Pneumonia
Severity Index (PSI).

-65 dan CRB-65 Severity Scores untuk Community-Acquired Pneumonia


(CAP)4,5

Faktor Klinis Poin


Confusion (terlihat bingung) 1
Blood Urea nitrogen > 19 mg per dL (BUN) 1
Respiratory rate > 30 breaths per minute 1
(frekuensi napas)
Systolic Blood pressure < 90 mm Hg (tekanan 1
darah sistolik)
or
Diastolic Blood pressure < 60 mm Hg ( tekanan
darah diastolik)
Age > 65 years (usia) 1

Total poin:
Skor CURB-65 Tingkat kematian (%) Rekomendasi
0 0.6 Resiko rendah, dipertimbangkan untuk rawat
1 2.7 di rumah.

12
2 6.8 Rawat inap sementara atau rawat jalan dengan
pengawasan ketat.
3 14.0 Pneumonia berat; rawat inap dan pertimbangkan
4 or 5 27.8 untuk rawat di ICU
CURB-65 = Confusion, Urea nitrogen, Respiratory rate, Blood pressure, 65 years
of age and older.
CRB-65 score Tingkat kematian (%) Rekomendasi
0 0.9 Resiko kematian sangat rendah; biasanya
tidak perlu dirawat di rumah sakit
1 5.2 Resiko kematian meningkat; perlu
2 12.0 dipertimbangkan untuk dirawat inap
3 or 4 31.2 Resiko kematian tinggi; perlu secepatnya dirawat
inap.
CRB-65 = Confusion, Respiratory rate, Blood pressure, 65 years of age and older

Pneumonia Severity Index (PSI)

Faktor Resiko Nilai

Usia

Pria usia (57th)

Wanita usia (th) −10

Tinggal dalam panti jompo atau panti asuhan +10

Penyakit komorbid lain

Penyakit Keganasan +30

Penyakit Hepar +20

Penyakit Ginjal +10

13
Penyakit Cerebrovaskular +10

Gagal Jantung Kongestif +10

Pemeriksaan Fisik

Gangguan mental +20

Takipneu (>30 kali/menit) +20

Hipertensi Sistolik (<90 mm Hg) +20

Suhu tubuh (<35° atau >40° C) +15

Detak jantung >125 beats/min +10

Laboratorium dan Hasil Radiografi

pH darah (arterial) <7.35 +30

Hipoxemia (arterial Pao2<60 mm Hg atau saturasi O2 <90%) +10

Serum urea nitrogen (BUN) >30 mg/dL +20

Na <130 mEq/L +20

Gula darah >250 mg/dL +10

Anemia (hematokrit <30%) +10

Efusi pleura 10

Table 6: Pneumonia Severity Index: Resiko kematian dalam 30 hari


berdasarkan PSI
Kelas Resiko Poin Tingkat kematian (%)

I 0 0.1

14
II <70 0.6

III 71-90 2.8

IV 91-130 8.2

V >130 29.2

Adapted from Kolleff MH, Micek ST: Methicillin-resistant Staphylococcus


aureus—a new community-acquired pathogen? Curr Opin Infect Dis
2006;19:161-168. © 2002 The Cleveland Clinic Foundation.

Dari hasil perhitungan skoring, pasien ini di dapatkan skor CURB-65nya


adalah 0 dengan risiko rendah dapat dipertimbangkan untuk rawat dirumah
(Tingkat kematian 0.6%). Sedangkan untuk skor PSI (Pneumonia Severity
Index) didapatkan 87 yang berarti termasuk ke dalam kelas risiko III dimana
harus dipertimbangkan untuk rawat inap sementara atau dapat rawat jalan,
diputuskan sesuai dengan kondisi klinisnya.
Adapun rencana tatalaksana yang akan dilakukan adalah :
a. Rencana diagnostik:
 Pemeriksaan laboratorium darah lengkap, Rontgen Thorax,
dan BTA 3x.
b. Rencana terapi:
 Non-Medikamentosa
- Edukasi
- Bedrest
 Medikamentosa:
- O2 nasal kanul 3 liter/menit
- Pemberian antibiotik:
 Inj. Fosmicin 2 x 2 gr
 Azitromycin 1 x 500 mg
 Flumucyl 3 x 1

15
 Inhalasi : Ventolin 3x/hari
 Inhalasi : Pulmicort 2x/hari

3. Hiponatremia
Masalah hiponatremia ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
penunjang yaitu pemeriksaan elektrolit serum Na 133 mmol/L.
a. Rencana diagnostik:
 Pemeriksaan elektrolit serum.
b. Rencana terapi:
 IVFD NaCl 0.9% / 8 jam
4. DM Tipe II
Masalah DM tipe II pada pasien ini ditegakkan melalui anamnesis,
dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis pasien mengatakan bahwa ia
mengalami polidipsi, poliuri dan penurunan berat badan sebanyak 7 kg dalam 3
bulan tanpa sebab yang jelas. Pasien juga mengeluh kaki dan tangannya sering
mengalami kebas sejak 6 bulan yang lalu. pasien juga memiliki riwayat DM,
dan menggunakan insulin sejak 3 bulan yang lalu. Pada pemeriksaan lab
didapatkan gula darah sewaktu meningkat (>110 mg/dl), dan pada pemeriksaan
berulang tidak didapatkan adanya kadar gula darah yang normal. Adapun
rencana tatalaksana yang akan dilakukan adalah :
a. Rencana diagnostik:
 Pemeriksaan laboratorium gula darah, pemeriksaan fungsi
ginjal, dan HbA1c.
b. Rencana terapi:
 Non-Medikamentosa
- Edukasi
- Terapi nutrisi medis
- Aktivitas fisik: berolahraga ringan min. 3 x/minggu,
menerapkan dalam aktivitas sehari-hari (berjalan kaki ke
kantor, menggunakan tangga).
- Observasi keadaan umum dan tanda vital

16
- Evaluasi gula darah per 6 jam
 Medikamentosa:
- Sliding scale insulin

5. Hipertensi
Masalah hipertensi ditegakkan melalui pemeriksaan fisik
didapatkan tekanan darah pasien sebesar 160/100 mmHg. Menurut JNC 7
pasien mengalami Hipertensi stage 2.

a. Rencana diagnostik:
 Pemeriksaan Tekanan Darah berkala
b. Rencana terapi:
 Amlodipin 1 x 10 mg
G. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad malam
Ad Fungsionam : dubia ad malam

17
BAB III
TINJUAN PUSTAKA

1. Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah kelompok penyakit metabolik yang ditandai


dengan karakteristik hiperglikemia karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau keduannya. Hiperglikemik kronik pada diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh,
terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.(5,6)

Beberapa proses patogenik terlibat dalam perkembangan diabetes. Mulai


dari autoimun yang menghancurkan sel β pankreas yang mengakibatkan defisiensi
insulin sampai keabnormalitasan yang menyebabkan resistensi insulin. Dasar dari
abnormalitasan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein pada diabetes
adalah karena kurangnya kerja insulin di target jaringan. Kurangnya kerja insulin
karena kurang adekuatnya sekresi insulin dan/atau rendahnya respon oleh jaringan
atau satu atau lebih poin di jalur komplek kerja hormon.

Gejala dan tanda hiperglikemia termasuk polyuria, polydipsia,penurunan


berat badan, polyphagia, dan gangguan penglihatan. Gangguan pertumbuhan dan
kerentanan berbagai macam infeksi juga beriringan dengan kronik hiperglikemia.
Konsekuensi akut yang mengancam jiwa dengan diabetes tak terkontrol biasanya
adalah hiperglikemia dengan ketoasidosis atau nonketotic hyperosmolar
syndrome. Sedangkan komplikasi jangka panjang diabetes meliputi retinopathy
dengan kemungkinan kehilangan penglihatan; nephropathy menuju gagal ginjal;
peripheral neuropathy dengan resiko ulkus, amputasi, dan charcot joints; dan
autonomic neurophaty penyebab gejala gastrointestinal, genitourinary, dan
cardiovascular dan disfungsi sexual. (5)

18
2. KLASIFIKASI DM

Diabetes dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori:

2.1.1 Diabetes tipe 1 (rusaknya sel β, biasanya sangat membutuhkan


insulin eksogen/ insulin-dependent)

Immune-mediated diabetes. Tipe ini hanya berkisar 5-10% dari


seluruh penderita diabetes. Diabetes tipe 1 atau juga disebut
juvenile-onset diabetes timbul karena proses autoimmune (selular-
mediated autoimmune) yang merusak sel β pankreas. Pada tipe ini
produksi insulin sangat sedikit atau bahkan tidak ada, biasanya
terlihat dari rendahnya atau tidak terdeteksinya kadar C-peptide
plasma.(4,8) Immune mediated diabetes ini lebih sering diderita
anak-anak dan remaja, namun tipe ini juga dapat diderita semua
usia, termasuk dekade ke 8 dan 10 kehidupan. Pasien diabetes ini
biasanya juga cenderung menderita kelainan autoimun lainya
seperti Graves’ disease, Hashimoto’s thyroiditis, Addison’s
disease, vitiligo, celiac sprue, autoimmune hepatitis, myasthenia
gravis dan pernicious anemia.

Idiopathic diabetes. Merupakan bentuk lain tipe 1 diabetes, namun


penyebabnya tidak diketahui. Pasien diabetes ini biasanya
menderita insulinopenia permanen dan cenderung ketoasidosis.
Tipe ini sangat jarang, namun jika ada biasanya pada ras Afrika
dan Asia. (5)

2.1.2 Diabetes tipe 2 (resistensi insulin dikarenakan gangguan sekresi


insulin)

Tipe ini berkisar 90-95% dari seluruh penderita diabetes dan lebih
sering pada wanita. Dikenal juga sebagai non-insulin dependent
atau diabetes onset dewasa. (5)

19
Kebanyakan penderita diabetes ini mengalami obesitas,
karena obesitas itu sendiri dapat menyebabkan resisten insulin.
Pasien diabetes tipe 2 biasanya tidak terdiagnosis karena
hiperglikemia berkembang secara bertahap dan pada tahap awal
biasanya tidak parah sehingga pasien sulit untuk menyadari gejala-
gejala klasik diabetes.(5,7)

Pada penderita diabetes ini kadar insulin dapat normal atau


meningkat, peningkatan gula darah pada penderita dikarenakan
walaupun kadar insulin tinggi dari fungsi sel β yang normal,
namun sekresi insulin tersebut tidak dapat mengkompensasi
resistensi insulin itu sendiri. Faktor resiko perkembangan diabetes
ini meningkat dengan bertambahnya usia, obesitas, dan kurangnya
aktifitas fisik. (5,8)

2.1.3 Diabetes mellitus tipe Spesifik

Dikarenakan penyebab lain seperti monogenic diabetes syndrome (


neonatal diabetes and maturity-onset diabetes of the young
[MODY]), penyakit kelenjar eksokrin pancreas (cystic fibrosis),
dan obat atau diabetes dikarenakan bahan kimia ( contohnya pada
pasien HIV/AIDS yang sedang menjalani pengobatan atau pada
orang pasca transplantasi organ) (5)

2.1.4 Gestational diabetes mellitus (GDM)

Diabetes didiagnosis pada kehamilan trimester kedua atau ketiga


dengan penyebab diabetes yang tidak jelas.(4,10) Biasanya faktor
resiko meningkat pada kehamilan dengan peningkatan berat badan
berlebihan.(9)

3. Faktor Resiko Diabetes Melitus(5):

1. Obesitas (kegemukan) Terdapat korelasi bermakna antara obesitas


dengan kadar glukosa darah, pada derajat kegemukan dengan IMT >

20
23 dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah menjadi
200mg%.
2. Hipertensi Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan
erat dengan tidak tepatnya penyimpanan garam dan air, atau
meningkatnya tekanan dari dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh
darah perifer.
3. Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus Seorang yang menderita Diabetes
Mellitus diduga mempunyai gen diabetes. Diduga bahwa bakat
diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang yang bersifat homozigot
dengan gen resesif tersebut yang menderita Diabetes Mellitus.
4. Dislipedimia Universitas Sumatera Utara Adalah keadaan yang
ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah (Trigliserida > 250
mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin dengan
rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien Diabetes.
5. Umur Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes
Mellitus adalah > 45 tahun.
6. Riwayat persalinan Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat
atau berat badan bayi > 4000 gram.

4. Kriteria Diagnostik

Selama ini, diabetes militus didiagnosis berdasarkan kriteria


pengukuran gula darah yaitu ketika kadar GDP ≥126mg/dl (7.0 mmol/l)
atau ≥200mg/dL (11.1 mmol/l) 75-g TTGO. Pada orang dengan gejala
hiperglikemik, kadar gula darah sewaktu (GDS) 200mg/dL (11.1mmol/l)
juga dapat digunakan sebagai diagnosis (5,10,11)

Sebelum 2010 semua asosiasi diabetes merekomendasikan analisis


gula darah sebagai metode eksklusif untuk mediagnosis diabetes. Namun,
beberapa tahun belakangan banyak dokter yang mulai menggunakan
hemoglobin A1C (HbA1c) untuk pemeriksaan penyaring (screening) dan
mendiagnosis diabetes. (10)

21
2.2.1 Tes Gula Darah Puasa (GDP)

Tes GDP adalah tes untuk mengukur kadar gula darah pada orang
yang tidak makan atau puasa paling tidak selama 8 jam, tes ini sering
digunakan untuk mendiagnosis diabetes karena mudah dan murah. Akan
tetapi tes ini dapat melewatkan beberapa diabetes atau pre-diabetes yang
dapat dideteksi dengan TTGO. Test GDP ini memberikan hasil yang lebih
dipercaya pada saat pagi hari. (10,11)

Baik American Diabetes Association (ADA) maupun World Health


Organization (WHO) memiliki setandar nilai tes GDP yang sama pada
orang diabetes yaitu ≥126 mg/dl (7.0 mmol/l) dan 110-125 mg/dl (6.1-6.9
mmol/l) pada orang dengan gula darah puasa terganggu (GDPT),
walaupun kemudian nilai GDPT diturunkan oleh ADA menjadi 100-125
mg/dl (5.6-6.9 mmol/l) untuk meningkatkan sensitifitas pada orang
beresiko tinggi diabetes. Walaupun demikian, hal ini tidak diikuti oleh
WHO. Orang dengan GDPT memiliki kemungkinan 5 sampai 10 kali lebih
besar menderita diabetes dibanding orang dengan GDP/ TTGO normal.
(10,11,12)

2.2.2 Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)

TTGO lebih sensitif dibanding Tes GDP untuk


mediagnosis pre-diabetes, namun lebih susah diolah.
Sebelum melakukan TTGO pasien diharuskan puasa
setidaknya 8 jam. Kadar Glukosa darah diukur tepat
sebelum dan 2 jam setelah pasien meminum air mengadung
75 gram gula. Jika gula darah 140-199 mg/dl dua jam
setelah minum air gula, maka orang tersebut merupakan
pre-diabetes atau toleransi glukosa terganggu (TGT). Jika
setelah 2 jam minum kadar glukosa darah ≥200 mg/ dl, tes
ulang pada hari lain, dan jika hasilnay sama berarti orang
tersebut menderita diabetes. (10,11,)

22
2.2.3 Tes Glukosa Sewaktu (GS)

Orang dapat dikatakn diabetes bila kadar TGS


≥200mg/dl disertai dengan munculnya gejala-gejala
hiperglikemia.(5,10)

2.2.4 Tes Hemoglobin A1c (HbA1c)

HbA1c diidentifikasi sebagai abnormal hemoglobin


pada penderita diabetes sejak 40 tahun yang lalu
Pemeriksaaan HbA1c dapat dilakukan kapan saja tanpa
harus memerlukan persiapan seperti puasa Selain itu juga
dapat mendiagnosis penderita diabetes yang bahkan
terlewatkan atau tidak terdeteksi oleh pemeriksaan lain. (13)

Pada tes HbA1c ini, ADA dan WHO menetapakan


bahwa kadar ≥48 mmol/mol (≥6.5%) sebagai kadar
diagnostik diabetes. Hal ini didasarkan pada bahwa kadar
6.5% telah terbukti akurat dalam mengidetifikasi resiko
retinophaty. Selain itu ADA juga menetapkan kadar 5.7-
6.4% sebagai resiko tinggi atau pre-diabetes. (10)

HBA1C (%) NORMAL/ABNORMAL GULA DARAH

4-6.5 Normal, tidak menderita 3-8 mmol/l


diabetes

6.5-7.5 Penderita diabetes 8-10 mmol/l

8-9.5 Tinggi 11-14 mmol/l

>9.5 Sangat tinggi ≥15 mmol/l

Kadar Diagnostik HbA1c untuk Diabetes(10)

23
Kriteria Mayor Diagnostik untuk Diabetes dan pre-Diabetes atau Resiko Tinggi(11)

Pemeriksaan American World Health Organization


Diabetes
Association

Diabetes Pre-Diabetes Diabetes Regulasi glukosa


terganggu

Gula Darah Puasa ≥126 mg/dl 100-125 ≥126 mg/dl 110-125 mg/dl
mg/dl (GDPT)
(GDPT)

Tes Toleransi ≥200 mg/dl 140-199 ≥200 mg/dl 140-199 mg/dl


Glukosa Oral mg/dl (TGT) (TGT)

Gula Darah ≥200 mg/dl ≥200 mg/dl


Sewaktu

HbA1c ≥6.5% ≥5.7-6.4% ≥6.5%

24
5. Komplikasi Diabetes Mellitus

 Komplikasi Akut
A. Hipoglikemia
Hipoglikemia didefinisikan sebagai keadaan di mana kadar
glukosa plasma lebih rendah dari 45 mg/dl– 50 mg/dl.2
Bauduceau, dkk mendefinisikan hipoglikemia sebagai keadaan di
mana kadar gula darah di bawah 60 mg/dl disertai adanya gelaja
klinis pada penderita. Pasien diabetes yang tidak terkontrol dapat
mengalami gejala hipoglikemia pada kadar gula darah yang lebih
tinggi dibandingkan dengan orang normal, sedangkan pada pasien
diabetes dengan pengendalian gula darah yang ketat (sering
mengalami hipoglikemia) dapat mentoleransi kadar gula darah
yang rendah tanpa mengalami gejala hipoglikemia.
B. Hiperglikemia
Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi
pada Diabetes Mellitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan
tersebut merupakan komplikasi serius yang mungkin terjadi
sekalipun pada DM yang terkontrol baik. Krisis hiperglikemia
dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetik, status
hiperosmolar hiperglikemik atau kondisi yang mempunyai elemen
kedua keadaan diatas. Diabetes keto asidosis adalah keadaan yang
ditandai dengan asidosis metabolik akibat pembentukan keton yang
berlebihan, sedangkan koma hyperosmolar hiperglikemik ditandai
dengan hiperosmolalitas berat dengan kadar glukosa serum yang
biasanya lebih tinggi dari diabetes keto asidosis murni
Hiperglikemia terdiri dari:
 Keto Asidosis Diabetes (KAD)
Diabetes Ketoasidosis (KAD) adalah keadaan dekompensasi-
kekacauan metabolik yang ditandai dengan trias yaitu:
hiperglikemia, asidosis dan ketosis.

25
 Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (HONK)
Sindrom KHHNK ditandai dengan hiperglikemia, hiperosmolar
tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah
dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan sering kali disertai
ganguan neurolis dengan atau tanpa adanya ketosis (14).

 Komplikasi kronis
o Makroangiopati
 Pembuluh darah jantung : penyakit jantung
koroner
 Pembuluh darah tepi : penyakit arteri perifer
yang sering terjadi pada penyandang DM.
Gejala tipikal yang biasa muncul pertama kali
adalah nyeri pada saat beraktivitas dan
berkurang saat istirahat (claudicatio
intermittent), namun sering juga tanpa disertai
gejala.
o Mikroangiopati
 Retinopati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik
akan mengurangi risiko atau memperlambat
progresi dari retinopati.
 Nefropati diabetik
Untuk penyakit ginjal diabetik, menurunkan
asupan protein sampai dibawah 0.8
gram/kgBB/hari tidak direkomendasikan karena
tidak memperbaiki risiko kardiovaskuler dan
dapat menurunkan GFR.
 Neuropati diabetik
Pada neuropati perifer, hilangnya sensasi distal
merupakan faktor penting yang berisiko tinggi

26
untuk terjadinya ulkus kaki yang meningkatkan
risiko amputasi. Gejala yang sering dirasakan
berupa kaki terasa terbakar, bergetar sendiri dan
terasa lebih sakit di malam hari.

B.1. Pathofisiologi
Pada semua krisis hiperglikemik, hal yang mendasarinya
adalah defisiensi insulin, relatif ataupun absolut, pada keadaan
resistensi insulin yang meningkat. Kadar insulin tidak adekuat
untuk mempertahankan kadar glukosa serum yang normal dan
untuk mensupres ketogenesis. Hiperglikemia sendiri selanjutnya
dapat melemahkan kapasitas sekresi insulin dan menambah berat
resistensi insulin sehingga membentuk lingkaran setan dimana
hiperglikemia bertambah berat dan produksi insulin makin kurang.
Pada keto asidosis diabetik dan hyperosmolar hiperglikemik,
disamping kurangnya insulin yang efektif dalam darah, terjadi juga
peningkatan hormon kontra insulin, seperti glukagon,
katekholamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan. Hormon-
hormon ini menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh ginjal
dan hepar dan gangguan utilisasi glukosa dijaringan, yang
mengakibatkan hyperglikemia dan perubahan osmolaritas
extracellular. Kombinasi kekurangan hormon insulin dan
meningkatnya hormon kontrainsulin pada KAD juga
mengakibatkan penglepasan/release asam lemak bebas dari
jaringan adipose (lipolysis) ke dalam aliran darah dan oksidasi
asam lemak hepar menjadi benda keton (ß- hydroxybutyrate [ß-
OHB] dan acetoacetate) tak terkendali, sehingga mengakibatkan
ketonemia dan asidosis metabolik. Pada sisi lain, SHH mungkin
disebabkan oleh konsentrasi hormon insulin plasma yang tidak
cukup untuk membantu ambilan glukosa oleh jaringan yang
sensitif terhadap insulin, tetapi masih cukup adekuat ( dibuktikan

27
dengan C-peptide) untuk mencegah terjadinya lipolisis dan
ketogenesis; akan tetapi bukti-bukti untuk teori ini masih lemah.
KAD dan hyperosmolar hiperglikemik berkaitan dengan
glikosuria, yang menyebabkan diuresis osmotik, sehingga air,
natrium, kalium, dan elektrolit lain keluar(8)

Skema Penyebab Hiperglikemik

Skema Ketosis

28
B.2. FAKTOR PENCETUS

Krisis hiperglikemia pada diabetes tipe 2 biasanya terjadi karena ada keadaan
yang mencetuskannya. Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini antara lain :
1. Infeksi : meliputi 20 – 55% dari kasus krisis hiperglikemia dicetuskan oleh
Infeksi. Infeksinya dapat berupa : Pneumonia Infeksi traktus urinarius
Abses Sepsis Lain-lain.
2. Penyakit vaskular akut: Penyakit serebrovaskuler Infark miokard akut
Emboli paru Thrombosis V.Mesenterika
3. Trauma, luka bakar, hematom subdural.
4. Heat stroke
5. Kelainan gastrointestinal: Pankreatitis akut Kholesistitis akut Obstruksi
intestinal
6. Obat-obatan : Diuretika Steroid Lain-lain
Pada diabetes tipe 1, krisis hiperglikemia sering terjadi karena yang
bersangkutan menghentikan suntikan insulin ataupun pengobatannya tidak
adekuat. Keadaan ini terjadi pada 20-40% kasus KAD. Pada pasien muda dengan
DM tipe 1, permasalahan psikologis 5 yang diperumit dengan gangguan makan
berperan sebesar 20% dari seluruh faktor yang mencetuskan ketoasidosis. Faktor
yang bisa mendorong penghentian suntikan insulin pada pasien muda meliputi
ketakutan akan naiknya berat badan pada keadaan kontrol metabolisme yang baik,
ketakutan akan jatuh dalam hypoglikemia, pemberontakan terhadap otoritas, dan
stres akibat penyakit kronis

B.3. DIAGNOSIS
Presentasi klinik Keadaan dekompensasi metabolik akut biasanya didahului
oleh gejala diabetes yang tidak terkontrol. Gejala-gejalanya antara lain lemah
badan, pandangan kabur, poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan. KAD
berkembang dengan cepat dalam waktu beberapa jam. Bau nafas seperti buah
mengindikasikan adanya aseton yang dibentuk dengan ketogenesis. Mungkin
terjadi pernafasan Kussmaul sebagai mekanisme kompensasi terhadap asidosis

29
metabolik.. Hipotermia, jika ada, adalah suatu petanda buruknya prognosis. (6)
Nyeri abdomen lebih sering terjadi pada KAD dibandingkan dengan hiperosmolar
hiperglikemik. Diperlukan perhatian khusus untuk pasien yang mengeluh nyeri
abdomen, sebab gejala ini bisa merupakan akibat ataupun faktor penyebab
(terutama pada pasien muda) KAD. Evaluasi 6 lebih lanjut harus dilakukan jika
keluhan ini tidak berkurang dengan perbaikan dehidrasi dan asidosis metabolic(15)

Parameter KAD ringan KAD sedang KAD berat

Glukosa darah >250 >250 >250

Osmolaritas Bervariasi Bervariasi Bervariasi


serum

Keton darah/urin Positif Positif Positif

PH arteri 7.25 – 7.30 7.00 – 7.24 <7,00

Bikarbonat 15 – 18 10 – 15 <10

Anion gap >10 >12 >12

Status mental Sadar Apatis Stupor atau koma

B.4. PEMERIKSAAN LABORATORIK


Evaluasi Laboratorium awal pasien dengan kecurigaan KAD meliputi
penentuan kadar glukosa plasma, urea nitrogen/kreatinin serum, keton, elektrolit,
osmolaritas, analisa urine, benda keton urin dengan dipstik, analisa gas darah
pemeriksaan sel darah lengkap dengan hitung jenis, dan elektrokardiogram.
Kultur bakteri dari air seni, darah, dan tenggorokan dan lain-lain harus
dilakukan dan antibiotik yang sesuai harus diberikan jika dicurigai ada infeksi.
A1c mungkin bermanfaat untuk menentukan apakah episode akut ini adalah
akumulasi dari suatu proses evolusiner yang tidak didiagnosis atau DM yang tidak

30
terkontrol ,atau suatu episode akut pada pasien yang terkendali dengan baik. Foto
thorax harus dikerjakan jika ada indikasi.
Pada mayoritas pasien DKA kadar amilase meningkat, tetapi ini mungkin
berkaitan dengan sumber nonpankreatik. Serum lipase bermanfaat untuk
menentukan diagnosa banding dengan pankreatitis. Nyeri abdominal dan
peningkatan kadar amilase dan enzim hati lebih sering terjadi pada DKA(15)

B.5. TERAPI
Kebehasilan pengobatan KAD dan HONK membutuhkan koreksi dehidrasi,
hiperglikemia dan gangguan keseimbangan elektrolit; identifikasi komorbid yang
merupakan faktor presipitasi; dan yang sangat penting adalah perlu dilakukan
monitoring pasien yang ketat. Faktor presipitasi diobati, serta langkah-langkah
pencegahan rekurensi perlu dilaksanakan dengan baik.
Terapi cairan: Pasien Orang dewasa. Terapi cairan pada awalnya ditujukan
untuk memperbaiki volume intravascular dan extravascular dan mempertahankan
perfusi ginjal. Terapi cairan juga akan menurunkan kadar glukosa darah tanpa
bergantung pada insulin, dan menurunkan kadar hormon kontra insulin (dengan
demikian memperbaiki sensitivitas terhadap insulin). Pada keadaan tanpa kelainan
jantung, NaCl 0.9% diberikan sebanyak 15–20 ml/kg berat badan/jam. Pilihan
yang berikut untuk mengganti cairan tergantung pada status hidrasi, kadar
elektrolit darah, dan banyaknya urin. Secara umum, NaCl 0.45% diberikan
sebanyak 4–14 ml/kg/jam jika sodium serum meningkat atau normal; NaCl 0.9%
diberikan dengan jumlah yang sama jika Na serum rendah. Selama fungsi ginjal
diyakinkini baik, maka perlu ditambahkan 20–30 mEq/l kalium ( 2/3 KCl dan 1/3
KPO4) sampai pasien stabil dan dapat diberikan secara oral. Keberhasilan
penggantian cairan dapat dilihat dengan pemantauan hemodinamik (perbaikan
dalam tekanan darah), pengukuran input/output cairan, dan pemeriksaan fisik.
Penggantian cairan diharapkan dapat mengkoreksi defisit dalam 24 jam pertama.
Pasien berusia < 20 tahun Terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk
memperbaiki volume intravascular dan extravascular ,dan mempertahankan
perfusi ginjal. Kebutuhan untuk mempertahankan volume vaskuler harus

31
disesuaikan untuk menghindari risiko edema cerebral karena pemberian cairan
yang terlalu cepat. Dalam 1 jam pertama cairan yang bersifat isotonik (NaCl
0.9%) sebanyak 10–20 ml/kgbb/jam. Pada pasien dengan dehidrasi berat,
pemberian ini perlu diulang, tetapi awal pemberian kembali mestinya tidak
melebihi 50 ml/kg pada 4 jam pertama therapy. Terapi Cairan selanjutnya untuk
menggantikan defisit cairan dilakukan dalam 48 jam. Secara umum NaCl, 0.45–
0.9% ( tergantung pada kadar sodium serum) diberikan dengan kecepatan 1.5 kali
dari kebutuhan pemeliharaan selama 24-h ( 5 ml/kg/jam) akan mencukupi
kebutuhan rehidrasi, dengan penurunan 9 osmolaritas tidak melebihi 3 mOsm· kg-
1 H2O· h-1. Sekali lagi jikTa fungsi ginjal diyakini baik dan kalium serum
diketahui, maka perlu diberikan 20–40 mEq/l kalium ( 2/3 KCl atau potassium-
acetate dan 1/3 KPO4). Jika glukosa serum mencapai 250 mg/dl, cairan harus
diubah menjadi dextrose 5% dan NaCl 0.45–0.75%, dengan kalium seperti
diuraikan di atas. (16)
Pengelolaan juga meliputi pemantauan status mental agar dapat dengan cepat
mengidentifikasi perubahan apabila terjadi overload yang iatrogenik, yang dapat
mengakibatkan edema cerebral.
Terapi Insulin Pada keadaan KAD ringan , insulin reguler diberikan dengan
infus intravena secara kontinu adalah terapi pilihan. Pada pasien dewasa, jika
tidak ada hipokalemia ( K+ < 3.3 mEq/l, maka pemberian insulin intravena secara
bolus dengan dosis 0.15 unit/kg bb, diikuti pemberian insulin reguler secara infus
intravena yang kontinu dengan dosis 0.1 unit· kg-1· h-1 ( 5–7 unit/jam pada orang
dewasa). Dosis insulin rendah ini pada umumnya dapat menurunkan konsentrasi
glukosa plasma sebanyak 50–75 mg(16)· .

B.6. KOMPLIKASI(17)
Seringnya komplikasi terjadi karena ketoasidosis itu sendiri ataupun dari
terapi yang diberikan.
1. Oedem cerebral
Walaupun mekanisme dari edema cerebral tidak diketahui, diduga

32
diakibatkan oleh perubahan osmolaritas dari air pada sistem saraf
pusat dimana terjadi penurunan osmolaritas dengan cepat pada
terapi ketosis.
2. hipoglikemia dalam kaitan dengan pemberian insulin yang
berlebihan,
3. hipokalemia dalam kaitan dengan pemberian insulin berlebihan

B.7. PROGNOSIS
Prognosis pasien biasanya tergantung dari early diagnosis dan
kecepatan dan ketepatan dari tatalaksana yang diberikan pasien. Apabila
diagnosis dan tatalaksana telah benar maka dapat menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas pasien dengan ketoasidosis.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Inouye SK. Delirium in older persons. N Engl J Med. 2006; 354: 1157-65. 

2. Wass S, Webster PJ, Nair BR. Delirium in the elderly: A review. Oman Med
J. 2008; 23(3): 150-7. 

3. Fong TG, Tulebaev SR, Inouye SK. Delirium in elderly adults: Diagnosis,
prevention and treatment. Nat Rev Neurol. 2009; 5(4): 210-20. doi:
10.1038/nrneurol.2009.24 

4. Soejono CH. Sindrom delirium. In: Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th ed.
Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 907-12. 

5. Flinn DR, Diehl KM, Seyfried LS, Malani PN. Prevention, diagnosis, and
management of postoperative delirium in older adults. J Am Coll Surg. 2009;
209(2): 261-8. doi: 10.1016/j. 
amcollsurg.2009.03.008 

6. Lorenzi S, Fusgen I, Noachtar S. Acute confusional states in the elderly-
diagnosis and treatment. Dtsch Arztebl Int. 2012; 109(21): 391-400. 

7. Mattar I, Chan MF, Childs C. Risk factors for acute delirium in critically ill
adult patients: A systematic review. ISRN Critical Care 2013: 1-10. doi:
10.5402/2013/910125 

8. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of
mental disorders. 5th ed. Arlington, VA: American Psychiatric Publishing;
2013. 

9. Wei LA, Fearing MA, Sternberg EJ, Inouye SK. The confusion assessment
method: A systematic review of current usage. J Am Geriatr Soc. 2008; 56:
823-30. 

10. McNicoll L, Inouye SK. Delirium. In: Landefeld CS, Palmer RM, Johnson
MA, Johnston CB, Lyons WL, editors. Current geriatric diagnosis and
treatment. 1st ed. McGraw-Hill: New 
York; 2004. 

11. Flaherty JH, Gonzales JP, Dong B. Antipsychotics in the treatment of
delirium in older hospitalized adults: A systematic review. J Am Geriatr Soc.

34
2011; 59: 269-76. 

12. Campbell N, Boustani MA, Ayub A, Fox GC, Munger SL, Ott C, et al.
Pharmacological management of delirium in hospitalized adults- a systematic
evidence review. J Gen Intern Med. 2009; 
24(7): 848-53. doi:
10.1007/s11606-009-0996-7
13. Fatimah Restyana N. Diabetes Melitus Tipe 2. J Majority. 2015; vol 4 (5);
93-101
14. Willian T, Bakris G, Blonde L, Andrew B, et al. Standards of medical care in
diabetes 2015. American Diabetes Association. Diabetes care; January 2015;
vol 38 (1); S70-S85

15. Soelistijo S, Novida H, Soewondo P, Suastika K, et al. Konsensus
pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia. PERKENI;
Juli 2015.

35

Anda mungkin juga menyukai