Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

BUTA WARNA

1
REFERAT
BUTA WARNA

Pembimbing:
dr. Moch Soewandi, Sp.M

Disusun Oleh :
Jean Rosdiantoro
11 – 2017 – 221

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR ESNAWAN ANTARIKSA
PERIODE 28 Oktober – 30 November 2019

2
Pembimbing:
dr. Moch Soewandi, Sp.M

Disusun Oleh :
Jean Rosdiantoro
11 – 2017 – 221

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR ESNAWAN ANTARIKSA
PERIODE 28 Oktober – 30 November 2019

3
Pendahuluan
Warna merupakan unsur desain yang paling menarik perhatian seseorang dalam kondisi
apapun. Setiap permukaan benda akan tampak berwarna, karena benda tersebut menyerap dan
memantulkan cahaya secara selekif yang disebut dengn cahaya visual. Penglihatan warna
merupakan salah satu fungsi penglihatan yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Terutama
untuk pekerjaan tertentu yang sangat membutuhkan kemampuan untuk membedakan warna
dengan baik. Akan tetapi, tidak semua individu dikaruniai dengan penglihatan warna yang normal,
salah satunya adalah penderuta defisiensi penglihatan warna atau lebih dikenal dengan istilah buta
warna.1,2
Tinjauan pustaka kali ini akan membahas mengenai anatomi dan fisiologi penglihatan
khususnya bagian penglihatan warna, definisi, epidemiologi, etiopatogenesis, manifestasi klinis,
diagnosis, dan penatalaksanaan yang dapat diberikan bagi penderita buta warna.

Anatomi dan Fisiologi


Penglihatan manusia yang berwarna membantu manusia untuk dapat mengingat benda dan
memicu emosi. Perlu diketahui bahwa objek yang dilihat sejatinya tidak mempunyai warna, namun
memiliki kemampuan untuk menyerap sebagian dan memantulkan sebagian sisa dari cahaya yang
memiliki panjang gelombang tertentu dan tampak sebagai warna tertentu oleh otak manusia.
Spektrum cahaya tampak (visible light) yang dapat dilihat oleh manusia berada dalam rentang
antara sinar ultraviolet hingga sinar merah, dan diperkirakan bahwa manusia dapat membedakan
hingga 10 juta macam warna.3
Penglihatan warna juga menjadi salah satu hal yang penting bagi manusia, yang juga
merupakan salah satu dari lima parameter yang menentukan fungsi penglihatan, yaitu ketajaman
penglihatan, sensitivitas kontras, kesilauan, lapang pandang, dan penglihatan warna. Gangguan
pada penglihatan warna dapat terjadi karena adanya gangguan dari organ yang memungkinkan
manusia untuk membedakan warna, yaitu sel-sel sensorik di mata, lebih tepatnya fotoreseptor yang
berada di retina.4
Retina sendiri adalah suatu lapisan tipis dengan ketebalan 150-400 mikron yang merupakan
suatu jaringan saraf transparan yang melapisi sekitar dua pertiga dari permukaan dalam bola mata
(lihat Gambar 1). Retina sebenarnya adalah suatu modifikasi langsung secara embrionik dari
forebrain (otak depan) yang mampu menangkap cahaya, mengkodekan informasi tersebut sebagai

4
sinyal elektrik, dan menyampaikannya ke area penglihatan di otak melalui nervus optikus. Karena
retina sebenarnya merupakan suatu “penonjolan” otak, nervus optikus sebenarnya bukanlah suatu
nervus melainkan suatu traktus.5,6

Gambar 1. Anatomi mata 7

Secara histologis retina terdiri dari dua lapisan utama, yaitu lapisan epitel pigmen retina
(retinal pigment epithelium; RPE) dan lapisan retina sensoris. Epitel pigmen retina merupakan
lapisan terluar dari retina, yang merupakan satu lapisan epitel kuboid yang mengandung pigmen
melanin. Lapisan RPE ini berfungsi sebagai sawar darah retina yang mencegah terjadinya infeksi
langsung ke retina. Selain itu, lapisan ini juga berfungsi untuk metabolisme vitamin A, regenerasi
siklus visual, fagositosis dan degradasi ujung fotoreseptor segmen luar, absorpsi kelebihan sinar,
pertukaran panas, sekresi matriks interseluler fotoreseptor, serta transpor aktif material dari kapiler
koroid ke ruang subretina.6
Lapisan retina sensoris lebih tebal dibandingkan dengan RPE, yaitu setebal 0,23 mm pada
polus posterior dan setebal 0,1 mm pada ora serrata. Adapun lapisan retina sensoris (lihat Gambar
1) terdiri dari 3 lapisan yang berisi badan sel neuron, yaitu lapisan sel ganglion (ganglion cell
layer; GCL), lapisan nuklear dalam (inner nuclear layer; INL), dan lapisan nuklear luar (outer
nuclear layer; ONL), 2 lapisan yang berisi sinapsis akson neuron-neuron tersebut, yaitu lapisan
pleksiform dalam (inner plexiform layer; IPL) dan lapisan pleksiform luar (outer plexiform layer;
OPL), 2 lapisan membran limitan, yaitu membran limitan dalam (inner limiting membrane; ILM)

5
dan membran limitan luar (outer limiting membrane; OLM), dan satu lapis serabut saraf yang
merupakan akson neuron orde III (neural fibre layer; NFL).6

Gambar 2. Lapisan retina 7

Bagian dari retina yang mengandung sel-sel epitel dan retina sensoris disebut dengan retina
pars optika (yaitu bagian retina yang berfungsi untuk melihat), sementara bagian retina yang hanya
mengandung RPE yang meluas dari ora serrata hingga ke tepi belakang pupil disebut sebagai retina
pars seka (yang berarti bagian “buta”, namun harus dibedakan dari bitnik buta). Pada retina
terdapat makula lutea (bintik kuning) atau fovea yang terletak 3,5 mm di sisi temporal dari papil
nervus II. Makula lutea mempunyai serabut saraf yang sangat banyak dan merupakan lokasi
optimal untuk “melihat” bayangan yang dibiaskan ke retina.6
Terdapat dua macam fotoreseptor cahaya pada retina, yaitu sel kerucut (konus) dan sel
batang (rod) yang memiliki keistimewaannya masing-masing (lihat Gambar 3 dan Tabel 1). Sel
fotoreseptor ini memiliki tiga bagian, yaitu segmen luar yang menghadap ke koroid dan
mendeteksi stimulus cahaya, segmen interior yang berada di tengah fotoreseptor dan berfungsi
sebagai tempat metabolisme, dan terminal sinaptik yang berada paling dekat dengan sisi dalam
dari bola mata dan berhubungan dengan sel bipolar untuk mentransduksikan sinyal sensorik.8,9

6
Gambar 3. Dua jenis sel fotoreseptor: konus dan rod 8

Tabel 1. Perbedaan antara konus dan rod 9

Kriteria Konus Rod


Jumlah per retina 6 juta 120 juta
Lokasi Terkonsentrasi di fovea Terkonsentrasi di perifer
Sensitivitas Rendah Tinggi
Fungsi Penglihatan siang Penglihatan malam
Ketajaman penglihatan Tinggi Rendah
Konvergensi pada jalur saraf Sedikit Banyak
Penglihatan warna Berwarna Hitam-putih

Masing-masing sel fotoreseptor ini memiliki fotopigmen yang spesifik, dimana rod
memiliki rhodopsin dan konus memiliki iodopsin. Fotopigmen ini memiliki konfigurasi yang
berbeda dalam keadaan gelap (tidak terpapar cahaya) dan dalam keadaan terang (terpapar cahaya).
Dalam keadaan gelap, fotopigmen akan berbentuk sebagai 11-cis retinal, sedangkan dalam
keadaan terang fotopigmen akan berbentuk sebagai all-trans retinal (lihat Gambar 4).9
Membran sel fotoreseptor berbeda dengan membran sel pada umumnya yang biasanya
memiliki saluran Na+ yang dikendalikan secara kimia, dimana pada membran sel fotoreseptor hal
ini dikendalikan oleh pembawa pesan sekunder internal, yaitu GMP siklik (cyclic GMP; cGMP).
Terikatnya cGMP pada saluran Na+ ini akan menjaganya tetap terbuka, dimana absorpsi cahaya

7
oleh fotoreseptor akan menyebabkan kerusakan dari cGMP dan menurup saluran Na+. Hal ini
membuat membran sel fotoreseptor berbeda dari membran sel pada umumnya, dimana terjadi
depolarisasi dalam keadaan inaktif (tidak ada cahaya, cGMP banyak, saluran Na+ terbuka) dan
terjadi hiperpolarisasai dalam keadaan aktif (ada cahaya, cGMP berkurang, saluran Na+ tertutup).9

Gambar 4. Bentuk fotopigmen dalam keadaan gelap dan terang 9

Pada saat terpapar cahaya, konsentrasi dari cGMP akan menurun karena aktivasi
fotopigmen dan mengubah bentuk 11-cis retinal menjadi all-trans retinal. Perubahan ini adalah
satu-satunya aktivitas kimiawi yang tergantung pada cahaya. Akibat adanya perubahan ini, retinal
tidak lagi berikatan dengan baik pada opsin dan menyebabkan perubahan polarisasi membran sel
fotoreseptor yang mengaktifkan transdusin. Fotopigmen memiliki siklus hidup yang sangat pendek
dan akan kembali berdisosiasi menjadi opsin dan retinal, dimana retinal akan kembali dalam
bentuk 11-cis. Dalam keadaan tanpa cahaya, terdapat mekanisme yang termediasi oleh enzim
untuk mengembalikan opsin dan retinal kembali menjadi bentuk fotopigmen.9
Konus memberikan penglihatan yang berwarna sementara rod memberikan penglihatan
hitam-putih. Terdapat empat jenis fotopigmen, yaitu 1 jenis pada rod dan 3 jenis pada konus
(merah, hijau, dan biru). Masing-masing jenis fotopigmen ini sensitif pada cahaya dengan panjang
gelombang yang berbeda-beda, dimana rentang ini saling tumpang tindih satu dengan yang lainnya

8
pada konus (lihat Gambar 5), dan membuat otak mampu membedakan warna karena satu warna
dapat merangsang lebih dari satu fotopigmen denan intensitas yang berbeda. Hal ini tidak terjadi
pada rod karena hanya memiliki satu jenis fotopigmen dengan rentang panjang gelombang yang
besar.9

Gambar 5. Rentang sensitivitas masing-masing jenis


fotopigmen pada konus 9

Masing-masing jenis konus ini juga memiliki nama berdasarkan rentang panjang
gelombang sensitifnya, yaitu fotopigmen tipe S (S=short; pendek) untuk fotopigmen biru yang
sensitif pada cahaya dengan panjang gelombang pendek, tipe M (M=medium, sedang) untuk
fotopigmen hijau yang sensitif pada cahaya dengan panjang gelombang menengah, dan tipe L
(L=long; panjang) untuk fotopigmen merah yang sensitif pada cahaya dengan panjang gelombang
panjang. Hasil dari persepsi warna diinterpretasikan berdasarkan persentase stimulasi dari masing-
masing fotopigmen ini, misalnya warna yang hanya menstimulasi warna biru secara sepenuhnya
diinterpretasikan melalui persentase RGB (red green blue) 0:0:100. Contoh lain misalnya warna
kuning yang merangsang fotopigmen merah dan hijau dengan rasio 83:83:0, sedangkan warna
hijau merangsang ketiga fotopigmen dengan rasio 31:67:36.9
Dalam keadaan normal, penglihatan manusia dalam keadaan terang memiliki tiga
fotopigmen ini yang kombinasi intensitasnyanya menghasilkan ribuan warna yang dapat

9
dibedakan oleh mata manusia. Kombinasi intensitas rangsangan ini kemudian akan diteruskan
menuju jalur proses warna di otak yang terletak di korteks visual primer, di lobus oksipital otak.9
Orang-orang tertentu terlahir atau mendapatkan gangguan dimana terjadi kekurangan atau
ketidakadaan dari salah satu atau lebih jenis fotopigmen, yang menyebabkan insensitivitas untuk
membedakan warna, yang dikenal dengan buta warna. Buta warna terjadi dalam berbagai
intensitas, misalnya orang dengan gangguan penglihatan warna merah masih dapat melihat warna
merah karena masih dapat diterima oleh reseptor hijau dan biru, namun tidak semerah apabila
dilihat dengan reseptor warna merah.6,9
Selain teori trikromatik yang menjelaskan bagaimana retina mendeteksi warna dengan tiga
tipe konus, terdapat teori opponent-process yang menambahkan penjelasan mengenai bagaimana
gambar diproses dari saat konus mendeteksinya hingga terjadi hubungan neurologis. Teori
opponent-process tentang buta warna ini menyatakan bahwa sinyal warna dari konus melibatkan
respon antagonis terhadap warna yang berlawanan dalam tiga saluran proses yang berbeda, yaitu
merah berlawanan dengan hijau, biru berlawanan dengan kuning, dan hitam berlawanan dengan
putih. Sel ganglion khusus bernama opponent color cells mempunyai respon berlawanan terhadap
warna yang lain dari pasangan sinyal tersebut.9

Definisi dan Klasifikasi


Buta warna merupakan kondisi dimana terdapat kesulitan atau ketidakmampuan dalam
membedakan panjang gelombang cahaya tertentu yang dapat dibedakan oleh mata normal
sehingga menyebabkan penderitanya sulit atau tidak mampu membedakan warna. Buta warna
diakibatkan oleh ketidakmampuan sel-sel kerucut (sel konus) pada retina mata untuk menangkap
suatu spektrum warna tertentu sehingga objek yang terlihat bukanlah warna yang
sesungguhnya.6,10
Buta warna dapat merupakan kelainan kongenital atau buta warna kongenital atau buta
warna didapat. Buta warna didapat memiliki berbagai macam tipe dan tingkat bahaya, tergantung
pada lokasi dan sumber patologi okular, dan seringkali mengenai salah satu mata. Kemudian, buta
warna kongenital memiliki tipe dan tingkat bahaya yang konstan dan biasanya terjadi pada kedua
mata secara bersamaan.6
Buta warna diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan bahawa Yunani, yaiti
protos (pertama), deutros (kedua), tritos (ketiga), yaitu yang pertama merah, kedua hijau, dan

10
ketiga biru. Buta warna terjadi oleh karena terganggunya salah satu atau lebih fungsi reseptor
warna pada sel konus di retina. Apabila reseptor (konus) lemah disebut anomali, dan apabila
reseptor (konus) tidak bekerja atau rusak disebut anopia, sehingga kerusakan reseptor merah
disebut sebagai protanopia (buta warna merah), kelemahan pada reseptor merah disebut sebagai
protanomali (kelemahan merah). Kemudian, kerusakan pada reseptor hijau disebut deuteranopia
(buta warna hijau), sedangkan kelemahan reseptor hijau disebut sebagai deuteranomali. Dan
adapun kerusakan reseptor biru disebut sebagai tritanopia (buta warna biru), sedangkan
kelemahannya disebut sebagai tritanomali (Lihat Gambar 6). Buta warna merah dan hijau sering
terjadi bersama-sama, oleh karena gen untuk reseptor merah dan hijau berdekatan letaknya pada
ujung lengan panggang (lengan q) pada kromosom X.1,6

Gambar 6. Jenis buta warna 11

Buta warna juga diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu (lihat Gambar 7):

Monokromasi
Monokromasi merupakan keadaan dimana seseorang hanya memiliki sebuah sel pigmen
konus atau tidak berfungsinya sel konus. Monokromasi terdiri dari dua jenis, yaitu
rodmonokromasi (tipikal) dikenal juga sebagai akromatopsia adalah jenis buta warna yang sangat
jarang terjadi dan yang paling parah diantara jenis buta warna, yaitu ketidakmampuan dalam
membedakan warna sebagai akibat dari tidak berfungsinya semua konus retina. Penderita
11
rodmonokromasi tidak dapat membedakan warna sehingga yang terlihat hanyalah hitam, putih,
dan abu-abu (inilah yang disebut buta warna total) dan juga dapat memiliki pandangan yang tidak
jernih (diakibatkan oleh autosomal resesif). Cahaya yang terlalu terang atau silau juga dapat
menyakiti mata penderita, dan penderita juga dapat mengalami gerakan mata yang tidak terkontrol
(nistagmus).1,6,11,12
Kemudian, konus monokromasi (atipikal) adalah tipe monokromasi yang juga sangat
jarang terjadi yang diakibatkan oleh tidak berfungsinya dua sel konus (diakibatkan oleh resesif X-
linked). Penderita konus monokromasi masih dapat melihat warna tertentu, karena masih memiliki
satu sel konus yang berfungsi. Saat hanya satu jenis sel konus yang berfungsi, tetap saja penderita
akan sulit membedakan satu warna dari warna yang lain. Dan apabila sel konus yang terganggu
adalah yang berwarna biru, kemungkinan penglihatan penderita akan setajam orang normal,
kemungkinan mengalami rabun jauh, dan mungkin juga mengalami nistagmus.1,6,11,12

Dikromasi
Dikromasi merupakan jenis buta warna dimana salah satu dari tiga sel konus tidak ada atau
tidak berfungsi. Akibat dari disfungsi salah satu sel pigmen pada konus, seseorang yang menderita
dikromatis akan mengalami gangguan penglihatan terhadap warna-warna tertentu. Dikromasi
dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan sel pigmen yang rusak, yaitu seperti yang telah disebutkan
di atas, protanopia, deuteranopia, dan tritanopia. Protanopia juga dikenal dengan buta warna
merah-hijau, kemudian tritanopia disebut juga dengan buta warna biru-kuning dan merupakan tipe
yang sangat jarang dijumpai.1,12

Anomalous Trikromasi
Anomalous trikromasi merupakan gangguan penglihatan warna yang dapat disebabkan
oleh faktor keturunan atau kerusakan pada mata setelah dewasa. Penderita buta warna dengan tipe
ini memiliki tiga sel konus yang lengkap, namun terjadi kerusakan mekanisme sensitivitas
terhadap terhadap salah satu dari tiga sel reseptor warna. Jenisnya telah disebutkan diatasm yaitu
protanomali (kelainan terhadap pigmen merah long-wavelength, sehingga menyebabkan
rendahnya sensitifitas terhadap cahaya merah). Artinya, penderita protanomali tidak akan mampu
membedakan warna dan melihat campuran warna yang dapat dilihat oleh mata normal. Penderita
juga mengalami penglihatan yang buram terhadap warna spektrum merah. Hal ini dapat
mengakibatkan penderita dapat salah membedakan warna merah dan hitam.1,12

12
Jenis selanjutnya, yaiu deuteranomali, merupakan kelainan pada bentuk pigmen hijau
middle-wavelength. Sama halnya dengan protanomali, deuteranomali tidak mampu melihat
perbedaan kecil dalam area spektrum untuk warna merah, orange, kuning, hijau. Penderita buta
warna tipe ini dapat salah dalam menafsirkan warna dalam region tersebut karena mendekati warna
merah. Perbedaan antara keduanya, yaitu penderita deuteranomali tidak memiliki masalah dalam
hilangnya penglihatan terhadap kecerahan (brightness).1,12
Kemudian, jenis yang terakhir adalah tritanomaly, dimana ini merupakan anomalous
trikromasi yang jarang terjadi. Kelainan terdapat pada pigmen biru short wavelength. Pigmen ini
bergeser ke area hijau dari spektrum warna. Tidak seperti protanomali dan deuteranomali,
tritanomali diwariskan oleh kromosom 7.1,12

Gambar 7. Jenis buta warna 13

Epidemiologi
Buta warna terjadi pada sekitar 300 juta orang di seluruh dunia, dimana prevalensi ini
adalah hampir sama dengan prevalensi di Amerika Serikat. Kemudian, Inggris memperkirakan
terdapat sekitar 3 juta penderita buta warna (4,5% dari seluruh populasi), dan yang terbanyak
diantaranya adalah laki-laki. 1 dari 12 laki-laki dan 1 dari 200 perempuan di seluruh dunia.
Sedangkan buta warna didapat memiliki prevalensi yang hampir sama pada laki-laki dan
perempuan. Angka kejadian buta warna di beberapa negara secara keseluruhan, didapatkan adalah
8% pada ras Kaukasia Eropa, 4% pada Chinese, 6,5% pada Jepang, dan di Indonesia berdasarkan
keluhan penderita didapatkan 0,7%.5,14,15
Pada buta warna didapat, prevalensi berdasarkan jenis kelamin adalah sama antara
perempuan dan laki-laki, sedangkan pada buta warna kongenital, laki-laki memiliki prevalensi
yang lebih besar dibandingkan perempuan.6

13
Buta warna kongenital yang paling sering terjadi adalah buta warna atau defisiensi terhadap
warna merah-hijau (merupakan jeis dari dikromasi). Jenis ini adalah terkaid resesif X-linked
sehingga frekuensinya lebih tinggi pada laki-laki, yaitu 5% hingga 8%, serta 0,4 hingga 0,5% pada
perempuan. Buta wara biru frekuensinya lebih atau sangat sedikit dan diwariskan secara resesif
autosom, dimana gen untuk buta warna biru terletak pada kromosom nomor 7, sehingga
frekuensinya adalah sama antara laki-laki dan perempuan. Kemudian, untuk buta warna jenis
monokromasi, pada tipe konus monokromasi dilaporkan terjadi pada 1 dari 100.000 orang, dan
untuk tipe rodmonokromasi memiliki prevalensi yang lebih sedikit lagi, yaitu 1 dari 30.000
orang.5,6
Tabel di bawah ini menunjukkan tipe masalah penglihatan warna, persentase penderita,
dan implikasinya menurut assesment report oleh Case.16

Tabel 2. Epidemiologi gangguan penglihatan wara menurut assesment report oleh Case.16

Keadaan Persentasi dari Populasi Penderita


Trikromasi 92%
Anomalous trikromasi 1% insensitif-merah (sensitif merah konus bergeser ke hijau)
4,9% insensitif-hijau (sensitif hijau konus bergeser ke merah)
Dikromasi 1% buta warna merah
1,1% buta warna hijau

Etiologi
Defisiensi warna atau buta warna biasanya merupakan kondisi herediter (pada buta warna
kongenital). Namun, pada buta warna didapat, keadaan tersebut diakibatkan oleh karena penyakit
lain yang mendasari, yaitu kondisi retina, saraf optik, atau lebih banyak jalur visual posterior di
otak, dan dapat juga sebagai akibat paparan racun dan obat-obatan tertentu (misalnya salah satu
obat tuberkulosis, yaitu etambutol). Degenerasi makula, neuritis optik, dan stroke yang
mempengaruhi area tertentu dari lobus oksipital juga dapat mempengaruhi persepsi warna. Cidera
kepala, penyakit sistemik yang merusak saraf (misalnya multipel sklerosis), keracunan logam
berat, juga dapat mempengaruhi penglihatan warna secara buruk.17

Manifestasi Klinis
Gejala dari buta warna dapat berkisar dari ringan hingga berat. Kebanyakan orang
mengalami gejala yang ringan sehingga para penderita tersebut tidak menyadari bahwa mereka

14
memiliki defisiensi penglihatan terhadap warna atau buta warna (karena penderita buta warna
terbiasa melihat warna dengan cara mereka melihat warna). Kebanyakan gejala didapat dari orang
tua yang melaporkan bahwa terdapat masalah pada anak ketika mereka sedang belajar mengenal
warna.18,19
Gejala utama dari buta warna adalah penderita tidak mampu melihat warna seperti orang
normal pada umumnya. Penderita buta warna memiliki masalah dalam melihat warna dan
kecerahan warna dengan cara yang biasa, ketidakmampun dalam menjelaskan perbedaan antara
nuansa warna yang sama atau serupa (hal ini sering terjadi pada warna merah dan hijau atau biru
dan kuning). Kemudian, kecuali pada bentuk yang parah, buta warna tidak mempengaruhi
ketajaman penglihatan dari penderitanya. Kemudian, pada buta warna tipe akromatopsia, gejala
yang dialami adalah ketidakmampuan dalam melihat warna apapun dan melihat segalanya hanya
dalam nuansa abu-abu. Kondisi yang jarang tersebut sering disertai dengan gejala lain, yaitu seperti
ambliopia atau mata malas, nistagmus, sensitivitas terhadap cahaya, dan penglihatan yang
buruk.18,19

Diagnosis
Selain menanyakan gejala dari yang dijelaskan pada subbab manifestasi klinis di atas, perlu
juga ditanyakan apakah pasien memiliki keluarga dengan riwayat gangguan penglihatan warna,
riwayat penyakit tertentu, dan riwayat konsumsi obat tertentu untuk mengetahui etiologi dari buta
warna (kongenital atau didapat). Selanjutnya, dokter akan melakukan pemeriksaan buta warna
untuk memastikan apakah pasien tersebut mengalami defisiensi atau buta warna.18-19
Pasien biasanya akan diperiksa dengan menggunakan uji skrining sederhana, yaitu uji
Ishihara, The Hardy-Rand Rittler test. Uji lain yang dapat digunakan, yaitu The City University
test, The Farnsworth-Munsell 100-hue test, red desaturation, Holmes Wright lantern, Farnsworth-
D15 test. Pemeriksaan lain juga dapat dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain dari buta
warna (buta warna didapat) seperti yang telah dijelaskan pada subbab etiologi.3,20

Uji Ishihara
Uji Ishihara di desain untuk melakukan skrining buta warna kongenital, terutama defek
protan (protanopia/komplit atau protanomali/parsial) dan deuteran (deuteranopia/komplit atau
deuteranomali/parsial), tetapi sederhana untuk digunakan dan sangat tersedia sehingga pada
praktek sehari-hari sering digunakan untuk skrining defisiensi atau buta warna berbagai tipe.

15
Pemeriksaan ini berbentuk plates (berjumlah 16), dimana masing-masing terdiri dari serangkaian
lingkaran berwarna dalam berbagai warna dan ukuran. Di dalam lingkaran terdapat titik-titik yang
diatur dan menunjukkan bentuk atau angka pada area sentral yang harus diidentifikasi oleh subjek
atau penderita (Lihat Gambar 8). Orang yang mengalami defisiensi atau buta warna hanya mampu
mengidentifikasi beberapa angka atau bentuk dengan benar. 3,18-20

Gambar 8. Contoh plates uji Ishihara 20


Pemeriksaan ini cocok digunakan pada ruangan yang mendapat sinar matahari yang cukup.
Namun, apabila pemeriksaan digunakan pada tempat yang terkena sinar matahari langsung atau
penggunaan lampu listrik dapat menghasilkan beberapa perbedaan dalam hasil karena perubahan
dalam penampilan nuansa warna. Apabila menggunakan cahaya listrik, haruslah disesuaikan
sejauh mungkin menyerupai efek siang hari alami. Plate atau plat dipegang pada jarak 75 cm dari
subjek dan dimiringkan hingga halaman Ishihara terletak pada sisi yang tegak lurus dari
penglihatan. Posisi yang benar dari setiap plat ditunjukkan dengan nomor yang di bagian belakang
plat. Pada Ishiraha dengan edisi 38 plat, pasien harus mengidentifikasi dan menyebutkan angka
yang terlihat pada plat 1 hingga 25, dan setiap jawaban harus diberikan tanpa penundaan yang
lebih dari 3 detik. Jika subjek atau penderita tidak dapat membaca angka, maka plat 26 hingga 38
digunakan dan garis atau alur berliku antara kedua X disusuri atau dilacak dengan kuas. Setiap
pelacakan tersebut harus diselesaikan dalam waktu sepuluh detik. Tidak semua kasus
membutuhkan semua seri plat dalam pemeriksaan buta warna. Plat 22, 23, 24, dan 25 dapat
dihilangkan jika tujuan pemeriksaan hanya untuk mengetahui apakah seseorang mengalami buta
warna atau tidak. Bahkan, pada pemeriksaan skala besar, hanya perlu menggunakan 6 plat, yaitu
salah satu dari plat nomor 2,3,4,5, salah satu dari plat 6,7,8,8, salah satu dari plat 10,11,12,13,
salah satu dari plat 14,15,16,17, dan salah satu dari plat 18,19,20,21. Mungkin perlu dilakukan

16
variasi dalam mengidentifikasi plat apabila dicurigai penderita sengaja menghafal angka
berdasarkan urutan dari plat. Jawaban dan interpretasi dari identifikasi subjek pada uji Ishihara
dapat dijelaskan pada Tabel 3.21

Tabel 3. Jawaban dan interpretasi subjek terhadap uji Ishihara 21

Tanda X menunjukkan bahwa plat tidak dapat dibaca. Ruang atau kolom kosong menunjukkan bahwa
bacaan tidai bisa ditentukan. Angka di dalam kurung menunjukkan bahwa angka dapat terbaca tetapi
relatif tidak jelas

Tabel 3 menunjukkan bahwa baik orang normal waupun defisiensi atau buta warna dapat
membaca angka yang tampak pada plat nomor 1 dengan benar (angka 12). Pada mereka dengan
defisiensi atau buta warna merah-hijau dapat membaca angka yang salah pada plat nomor 2-21.

17
Kemudian, penderita dengan buta warna total tidak dapat membaca angka apapun (kecuali plat
1).21
Plat 1-21 adalah untuk menentukan normalitas atau cacat pada penglihatan warna. Jika 17
atau lebih plat dibaca dengan normal, penglihatan warna dianggap normal. Jika hanya 13 atau
kurang dari 13 plat yang dapat dibaca normal, penglihatan warna dianggap mengalami defisiensi.
Namun, mengacu pada plat 18,19,20, dan 21, hanya mereka yang membaca angka 2,2,45, dan 73
dan membacanya lebih mudah dibandingkan dengan plat 14,10,13, dan 17 dicatat sebagai
abnormal. Pada penggunaan 6 plat atau metode pendek yang telah disebutkan di atas (untuk uji
dalam skala besar), semua plat harus dapat di baca dengan benar. Apabila terdapat plat yang salah
diidentifikasi, maka uji dengan semua plat harus dilakukan sebelum mendiagnosis buta warna
merah-hijau.21

The Hardy-Rand Rittler Test


Pemeriksaan ini memiliki kemiripam dengan Ishihara, namun dapat mendeteksi seluruh
dari ketiga jenis buta warna kongenital (lihat Gambar 9). Namun, dibandingkan dengan Ishihara,
metode ini jarang dilakukan.3,20

Gambar 9. The Hardy-Rand-Rittler test 20

The City University Test


Pemeriksaan ini terdiri dari 10 plat, dimana masing-masing plat mengandung warna sentral
dan empat warna tepi (lihat Gambar 10), dimana subjek atau penderita diminta untuk memilih
warna yang paling mendekati.20

18
Gambar 10. The City University test 20

The Farnsworth-Munsell 100-Hue Test


Pemeriksaan ini merupakan uji atau tes yang sensitif namun membutuhkan waktu yang
lebih lama untuk mendeteksi buta warna kongenital atau buta warna didapat. Pemeriksaan ini
merupakan pemeriksaan yang lebih memakan waktu untuk mengetahui diskriminasi warna dimana
pasien diminta membedakan 85 keping warna berdasarkan hue dari warna tersebut. Apabila
dicocokkan dengan bagannya, dapat menunjukkan secara detil mengenai sistem protan, deutan,
dan tritan. Pemeriksaan ini sering digunakan sebagai pemeriksaan lanjutan terakhir (penentu)
terhadap kemampuan melihat warna untuk profesi (lihat Gambar 11). Subjek diminta untuk
mengatur ulang kepingan yang acak dalam urutan warna secara progresif, dan temuan dicatat pada
bagan lingkaran. Masing-masing dari tiga bentuk dikromatisme ditandai dengan kegagalan dalam
meridian spesifik dari grafik (Gambar 12).3,20

Gambar 11. The Farnsworth-Munsell 100-hue test 20

19
Gambar 11. Hasil pemeriksaan defisiensi warna dengan The
Farnsworth-Munsell 100-hue test. (A) Protan; (B) Deuteran;
(C) Tritan 20

Red Desaturation
Pemeriksaan ini membandingkan persepsi ‘merah’ (misalnya pin merah) di antara mata,
berhenti satu persatu. Ini dapat dilakukan untuk penglihatan sentral (dimana berkurang pada
neuropati optik) atau bidang perifer (sedikit berkurang pada lesi kiasma). Pasien kemudian akan
membandingkan gambar yang dipudarkan dengan yang aslinya.3

Holmes Wright Lantern


Pemeriksaan ini merupakan sebuah pemeriksaan pilihan biner dari dua atau tiga titik-titik
berwarna dari cahaya yang dilihat pada jarak 6 m, yaitu arna merah, hijau, dan putih. Pemeriksaan
ini merupakan penilaian yang lebih praktis yang bertujuan untuk memprediksi diskriminasi merah-

20
hijau dalam situasi kerja, misalnya dalam membedakan lampu merah dan hijau pada landasan
pacu. Digunakan juga dengan plat Ishihara untuk menguji penglihatan warna pada personil
militer.3

Farnsworth-D15 Test
Memiliki kemiripan dengan The Farnsworth-Munsell 100-hue test, dimana dapat
memberikan informasi namun terbatas tentang sistem protan, deutan, dan tritan. Penderita diminta
mengurutkan dengan benar set plat atau cakram berwarna.3,16,20

Penatalaksanaan
Buta warna kongenital tidak dapat diobati atau disembuhkan. Namun, langkah-langkah
tertentu dapat diambil untuk mengkompensasi keadaan penderita. Misalnya, beberapa penderita
mengembangkan sistem mereka sendiri dalam mengenali warna dengan kecerahan atau menurut
lokasi, seperti posisi merah, kuning, dan hijau pada lampu lalu lintas.17,19
Terdapat juga kacamata khusus dan lensa berwarna yang menormalkan warna. Penderita
tergolong buta warna akromatopsia atau buta warna total dapat menggunakan kaca pembesar yang
kuat untuk membaca dan melakukan tugas-tugas dekat dan menggunakan kacamata hitam untuk
mengurangi sensitivitas terhadap cahaya.17,19
Pada buta warna didapat, perawatan dapat dilakukan terhadap penyebab yang mendasari.
Dalam beberapa kondisi, persepsi warna atau penglihatan warna dapat kembali normal ketika
kondisi yang mendasari telah diatasi. (pengobatan terhadap penyakit tertentu atau penghentian
obat tertentu).17,19

Kesimpulan
Buta warna merupakan suatu kondisi dimana seseorang tidak dapat melihat atau
mempersepsikan warna seperti orang normal pada umumnya. Buta warna memiliki beberapa jenis
atau tipe, dengan yang paling sering adalah buta warna merah-hijau, dan buta warna total terbilang
sangat jarang. Kondisi ini dapat bersifat diturunkan atau didapat. Buta warna seringkali tidak
disadari oleh penderitanya, sehingga perlu dilakukan skrining terhadap buta warna melalui
anamnesis dan pemeriksaan khusus buta warna serta pemeriksaan lain untuk mengetahui atau
menyingkirkan penyebab yang mendasari dari buta warna (didapat). Buta warna bukanlah suatu
penyakit yang mengancam nyawa, namun dapat menurunkan kualitas hidup penderita dimana

21
penderita terbatas dalam memilih pekerjaan tertentu yang mengharuskan seseorang memiliki
penglihatan warna yang normal, disamping terkadang menyulitkan aktivitas sehari-hari. Buta
warna tidak dapat diobati, namun dapat diupayakan agar penderita dapat mengkompensasi
keadaannya tersebut.

22
Daftar Pustaka

1. Bahari DS, Adianto, Hidayanti A. Pengenalan warna untuk penyandang buta warna dengan
output suara dan text. Jurnal Simantec. 2014; 4(2): 95-104.
2. Octaviano A, Umbari A. Penerapan metode ishihara untuk mendeteksi buta warna sejak dini
berbasis android. Jurnal Universitas Pamulang. 2017; 2(1): 42-50.
3. Mukamal R, Janigian RH. How humans see in color. American Academy of Ophthalmology.
June 8th 2017. Downloaded from https://www.aao.org/eye-health/tips-prevention/how-
humans-see-in-color, November 19th 2019.
4. Lundstrom M. Outcomes of cataract surgery. In: Yanoff M, Duker JS. Ophthalmology. 5th
edition. China: Elsevier; 2019. p. 415-6.
5. Denniston AKO, Murray PI. Oxford handbook of ophthalmology. 3rd edition. Oxford: Oxford
University Press; 2014. p. 516.
6. Suhardjo, Hartono. Ilmu kesehatan mata. Yogyakarta: Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada; 2007. h. 20-4, 351-2.
7. Riordan-Eva P. Anatomy & embryology of the eye. In: Riordan-Eva P, Augsberger JJ.
Vaughan & Asbury’s general ophthalmology. 19th edition. New York: McGraw-Hill
Education; 2018. h. 26, 37, 49.
8. American Academy of Ophthalmology. Retina and vitreous. Italy: American Academy of
Ophthalmology; 2014. p. 14.
9. Sherwood L. Human physiology. 9th edition. Boston: Cengage Learning; 2016. p. 200-6.
10. Hamid N, Adi K. Penentuan tingkat buta warna dengan metode segmentasi ruang warna fuzzy
dan rule-based forward chaining pada citra ishihara. Youngster Physics Journal. 2015; 4(2):
211-8.
11. Seltman W. What is color blindness. WebMD. September 6th 2019. Downloaded from
https://www.webmd.com/eye-health/color-blindness#3, November 19th 2019.
12. Agusta S, Mulia T, Sidik M. Instrumen pengujian buta warna otomatis. Jurnal Ilmiah Elite
Elektro. 2012; 3(1): 15-22.
13. Bastiampillai G and Associates. Colour blindness. DoctorOfEye.com. June 1st 2018.
Downloaded from https://doctorofeye.com/colour-blindness/, November 23rd 2019.

23
14. Colour Blind Awereness. Colour blindness. Colour Blind Awareness. 2019. Downloaded from
http://www.colourblindawareness.org/colour-blindness/, November 19th 2019.
15. Purwoko M. Prevalensi buta warna pada mahasiswa Universitas Muhammadiyah Palembang.
Jurnal Kedokteran Brawijaya. 2018; 30(2): 159-62.
16. Case BJ. Color Blindness. Assessment report. Pearson. 2003.
17. Stanley J, Swierzewski. Color blindness causes, risk factors, symptoms, diagnosis, treatment.
Health Communities.com. September 8th 2015. Downloaded from
http://www.healthcommunities.com/color-vision-deficiency/causes.shtml, November 23rd
2019.
18. Tubert D, Mendoza O. What are the symptoms and causes of color blindness. American
Academy of Ophtalmology. September 6th 2019. Downloaded from https://www.aao.org/eye-
health/diseases/color-blindness-symptoms, November 20th 2019.
19. National Eye Institute. Color blindness. NIH. 2019. Downloaded from
https://www.nei.nih.gov/learn-about-eye-health/eye-conditions-and-diseases/color-blindness,
November 20th 2019.
20. Bowling B. Kanski’s clinical ophthalmology. A systematic approach. 8th edition. China:
Elsevier. 2016; p. 645-6.
21. Ishihara S. Ishihara instractions. Good-Lite Company. 2019. Downloaded from
https://www.good-lite.com/cw3/Assets/documents/730019%20Ishihara%20Instructions-web,
November 23rd 2019.

24

Anda mungkin juga menyukai