Defisiensi Vitamin A
Pembimbing :
dr. Moch Soewandi, Sp.M
Disusun Oleh :
Nia Nilawati
030.15.137
Telah diterima dan disetujui oleh dr. Moch Soewandi, Sp.M selaku dokter
pembimbing Departement Mata RSAU Dr. Esnawan Antariksa
A. LATAR BELAKANG
Vitamin A adalah nutrisi esensial yang berperan penting dalam pengaturan
imunitas dalam respon antibodi humoral. Kekurangan vitamin A adalah masalah
kesehatan umum yang luas. Anak usia prasekolah dan wanita di usia reproduktif
merupakan dua kelompok populasi yang paling berisiko. Suplementasi vitamin A
menunjukkan adanya pengurangan insiden campak, diare, dan kematian, serta
meningkatkan beberapa aspek kesehatan mata.
Vitamin A merupakan salah satu zat gizi penting yang larut dalam lemak
dan disimpan dalam hati, tidak dapat dibuat oleh tubuh, sehingga harus dipenuhi
dari luar (esensial). Vitamin A berfungsi untuk penglihatan, pertumbuhan dan
meningkatkan daya tahan terhadap penyakit.
Kekurangan vitamin A (KVA) merupakan salah satu masalah serius
terutama di negara berkembang. Kawasan Asia Tenggara memiliki prevalensi
KVA pada balita tertinggi di antara wilayah lain. Di Indonesia sendiri, KVA
masih merupakan masalah gizi utama. Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan
bahwa kadar serum vitamin A balita rata-rata hanya 11 µg/dl dengan prevalensi
xeroftalmia buta senja (XN) sebesar 1,18%.
Kurang Vitamin A (KVA) merupakan salah satu masalah gizi utama di
Indonesia. Salah satu indikator KVA sebagai masalah kesehatan masyarakat
menurut WHO adalah jika prevalensi xeroftalmia (X1B) lebih dari sama dengan
0,5% atau lebih dari 0,5% populasi memiliki kadar serum retinol dibawah 20
µg/dl. KVA dapat menyebabkan kebutaan, mengurangi daya tahan tubuh
sehingga sering menyebabkan kematian pada anak-anak. Penyebab masalah KVA
adalah kemiskinan, kurangnya asupan vitamin A dan kurangnya pengetahuan
tentang gizi.
Di Indonesia sendiri, KVA masih merupakan masalah gizi utama.
Meskipun KVA tingkat berat (xerophthalmia) sudah jarang ditemui, tetapi KVA
tingkat subklinis, yaitu tingkat yang belum menampakkan gejala nyata, masih
menimpa masyarakat luas terutama kelompok balita dan anak-anak. KVA tingkat
subklinis ini hanya dapat diketahui dengan memeriksa kadar vitamin A dalam
darah di laboratorium.
Masalah KVA dapat diibaratkan sebagai fenomena “gunung es”. Artinya
adalah gejala KVA yaitu berupa xerophthalmia hanya tampak sedikit
dipermukaan namun KVA subklinis yang ditandai dengan rendahnya kadar
vitamin A dalam darah masih merupakan masalah besar yang perlu mendapat
perhatian serius. Hal tersebut menjadi lebih penting lagi karena erat kaitannya
dengan masih tingginya angka penyakit infeksi dan kematian pada balita.
Layaknya fenomena gunung es, dikhawatirkan masih banyak kasus
xeroftalmia di masyarakat yang belum terdiagnosis. Oleh karena itu, penting
sekali untuk mendeteksi secara dini dan menangani kasus xeroftalmia ini dengan
cepat dan tepat untuk mencegah timbulnya komplikasi kebutaan seumur hidup
yang berakibat menurunnya kualitas sumber daya manusia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Kornea
Kornea berasal dari bahasa Latin “cornum” yang berarti seperti tanduk adalah
selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis
jaringan yang menutup bola mata sebelah depan. Kornea merupakan jaringan yang
avaskular, bersifat transparan, sehingga dapat ditembus oleh berkas cahaya untuk
masuk ke interior mata, sedangkan sumber nutrisi untuk kornea didapatkan melalui
pembuluh-pembuluh darah limbus, aquos humor, dan air mata. Saraf-saraf sensorik
kornea didapat dari cabang pertama Nervus V yaitu Nervus Opthtalmicus.
Kornea yang transparan, mempunyai fungsi utama merefleksikan cahaya yang
masuk ke mata. Di posterior berhubungan dengan humor aquosus. Kornea adalah
avaskular dan sama sekali tidak mempunyai aliran limfe. Kornea mendapatkan nutrisi
dengan cara difusi dari humor aquous dan dari kapiler yang terdapat dipinggirnya.
Persarafan yang mempersarafi kornea adalah nervi ciliares longi dari divisi
ophthalmica nervus trigeminus.
Sifat tembus cahaya kornea disebabkan oleh strukturnya yang uniform, avaskular,
dan deturgesens. Deturgesens atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea,
dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel
dan endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi,
sehingga kerusakan pada endotel jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan
kerusakan pada epitel.
Secara histologis, kornea terdiri dari lima lapisan, yaitu lapisan epitel, membran
bowman, stroma, membran descement, dan endotel.
Gambar 2.1. Gambaran Histologi Kornea.
1. Epitel
Tebalnya 50 𝜇m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal; sel poligonal dan sel gepeng (Ilyas & Yulianti,
2014). Terdapat dua fungsi utama epitel: (1) membentuk barier antara dunia luar
dengan stroma kornea dan (2) membentuk permukaan refraksi yang mulus pada
kornea dalam interaksinya dengan tear film. Berbagai proses metabolik,
biokemikal dan fisikal tampaknya mempunyai tujuan primer mempertahankan
keadaan lapisan sel epitel yang berfungsi sebagai barier dan agar permukaan
kornea tetap licin. Permukaan kornea yang licin berperan penting dalam
terbentuknya penglihatan yang jelas.
2. Membran Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolgen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
Lapisan ini tidak memiliki daya regenerasi sehingga bila terjadi trauma akan
digantikan dengan jaringan parut.
3. Stroma
Stroma tersusun atas matriks ekstraselular seperti kolagen dan
proteoglikan. Matriks ekstraselular ini memegang peranan penting dalam struktur
dan fungsi kornea. Stroma terdiri atas kolagen yang diproduksi oleh keratosit dan
lamella kolagen. Karena ukuran dan bentuknya seragam menghasilkan
keteraturan yang membuat kornea menjadi transparan. Serat-serat kolagen
tersusun seperti lattice (kisi-kisi), pola ini berfungsi untuk mengurangi hamburan
cahaya. Transparansi juga tergantung kandungan air pada stroma yaitu 70%.
Proteoglikan yang merupakan substansi dasar stroma, memberi sifat hidrofilik
pada stroma. Hidrasi sangat dikontrol oleh barier epitel dan endotel serta pompa
endotel.
4. Membran Descement
Membran descement merupakan membran aselular, batas belakang stroma
kornea, dihasilkan sel endotel serta merupakan membran basalnya. Bersifat sangat
elastik dan berkembang terus menerus seumur hidup elastis serta lebih resisten
terhadap trauma dan penyakit, dari pada bagian lain dari kornea.
5. Endotel
Dua faktor yang berkontribusi dalam mencegah edem stroma dan
mempertahankan kandungan air tetap pada 70% adalah fungsi barier dan pompa
endotel. Fungsi barier endotel diperankan oleh adanya tight junction diantara sel-
sel endotel. Pompa endotel dalam menjalankan fungsinya tergantung pada
oksigen, glukosa, metabolisme karbohidrat dan adenosine
triphosphatase. Keseimbangan antara fungsi barier dan pompa endotel akan
mempertahankan keadaan deturgesensi kornea.
B. Definisi
Vitamin A adalah vitamin yang larut dalam lemak. Berdasarkan struktur kimianya
disebut retinol, retinal, asam retinoat. Pada jaringan hewan retinol disimpan dihati
sebanyak 90-95%. Vitamin A merupakan salah satu zat gizi dan golongan vitamin
yang sangat diperlukan oleh tubuh yang berguna untuk kesehatan mata dan kesehatan
tubuh (meningkatkan daya tahan tubuh).
Dalam buku panduan pemberian suplemen vitamin A, kekurangan vitamin A
adalah suatu kondisi dimana simpanan Vitamin A dalam tubuh berkurang. Keadaan
ini ditunjukan dengan kadar serum retinol dalam darah kurang dari 20µg/dl.
Xeroftalmia merupakan istilah yang menerangkan gangguan pada mata akibat
kekurangan vitamin A, termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata dan gangguan
fungsi sel retina yang dapat menyebabkan kebutaan. Defisiensi vitamin A
adalah suatu keadaan, ditandai rendahnya kadar Vitamin A dalam jaringan
penyimpanan (hati) dan melemahnya kemampuan adaptasi terhadap gelap dan sangat
rendahnya konsumsi atau masukan karotin dari Vitamin A.
Retinol, retinal, asam retinoat dikenal sebagai faktor pencegahan xeroftalmia
berfungis untuk pertumbuhan sel epitel dan pengatur kepekaan rangsang sinar pada
saraf mata, jumlah yang dianjurkan berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) per
hari 400ug retinol untuk anak-anak dan dewasa 500ug retinol. Tubuh menyimpan
retinol dan betacarotene dalam hati dan mengambilnya jika tubuh memerlukannya.
C. Etiologi
Kekurangan vitamin A disebabkan oleh :
1. Konsumsi makanan yang tidak mengandung cukup Vitamin A atau Pro Vitamin A
untuk jangka waktu yang lama.
2. Bayi tidak diberikan ASI eksklusif.
3. Menu tidak seimbang (kurang mengandung lemak, protein, Zn/seng atau zat gizi
lainnya) yang diperlukan untuk penyerapan Vitamin A dan penyerapan Vitamin A
dalam tubuh.
4. Adanya gangguan penyerapan Vitamin A atau Pro Vitamin A seperti pada penyakit-
penyakit antara lain, diare kronik, KEP dan lain-lain.
5. Adanya kerusakan hati seperti pada kwashiorkor dan hepatitis kronis, menyebabkan
gangguan pembentukan RBP (Retinol Binding Protein) dan pre-albumin yang
penting dalam penyerapan Vitamin A.
Kebutuhan vitamin A tergantung golongan umur, jenis kelamin dan kondisi
tertentu. Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan adalah seperti pada tabel berikut:
D. Epidemiologi
Kekurangan vitamin A (KVA) merupakan salah satu masalah serius terutama di
negara berkembang. Kekurangan vitamin A dapat terjadi pada semua umur akan tetapi
kekurangan yang disertai kelainan pada mata umumnya terdapat pada anak berusia 6
bulan sampai 4 tahun. Biasanya pada anak juga terdapat kelainan protein kalori
malnutrisi. Kawasan Asia Tenggara memiliki prevalensi KVA pada balita yang
tertinggi di antara wilayah lain. Tabel 1 mencantumkan prevalensiKVA pada balita
yang tercatat di berbagai penjuru dunia.
4. X2 (Xerosis Kornea)
Pada xerosis kornea akan ditandai dengan hal-hal sebagai berikut :
a. Kekeringan pada konjungtiva berlanjut sampai kornea.
b. Kornea tampak suram dan kering dengan permukaan tampak kasar.
c. Keadaan umum anak biasanya buruk (gizi buruk dan menderita, penyakit
infeksi dan sistemik lain)
Xerosis kornea (X2) merupakan keadaan gawat darurat medis, tampak
bilateral, granular, berkabut dan tidak bercahaya, pada pemeriksaan dengan
senter gambarannya seperti kulit jeruk. Edema stroma merupakan keadaan
yang sering ditemukan pada xerosis kornea. Penebalan plak keratinisasi dapat
ditemukan pada permukaan kornea, biasanya didaerah interpalpebra.
Keadaan umum anak biasanya buruk (gizi buruk dan menderita penyakit
infeksi dan sistemik lain). Xerosis kornea dapat berkembang cepat menjadi
ulkus dan keratomalasia bila tidak diterapi dengan vitamin A dan terapi
suportif lainnya.
6. X3B (Keratomalasia)
Keratomalasia (perlunakan kornea) mencakup seluruh permukaan
kornea, lesi berwarna kuning keabuan. Biasanya satu mata lebih berat dari
yang lainnya. Kerusakan lapisan stroma pada tahap ini umumnya dapat
menyebabkan kebutaan. Xeroftalmia kornea aktif pada kedua mata jarang
terjadi. Vitamin A dan terapi suportif dapat menghindari kerusakan lebih
berat.
7. XS (Xeroftalmia Scar)
Pada xeroftalmia scar akan ditandai dengan hal-hal sebagai berikut :
a. Kornea mata tampak menjadi putih atau bola mata tampak mengecil. Bila
luka pada kornea telah sembuh akan meninggalkan bekas berupa sikatrik
atau jaringan parut.
b. Penderita menjadi buta yang sudah tidak dapat disembuhkan walaupun
dengan operasi cangkok kornea.
Gejala sisa dari lesi kornea atau sikatriks kornea akibat dari proses
perbaikan dari lapisan stroma yang bisa terletak di tepi ataupun di sentral.
Kornea tampak menjadi putih atau bola mata mengecil. Penderita menjadi
buta yang sudah tidak dapat disembuhkan walaupun dengan operasi cangkok
kornea.
F. Patofisiologi
Kekurangan atau defisiensi vitamin A disebabkan oleh malfungsi berbagai
mekanisme seluler yang di dalamnya turut berperan senyawa-senyawa retinoid.
Defisiensi vitamin A terjadi gangguan kemampuan penglihatan pada senja hari (buta
senja). Ini terjadi karena ketika simpanan vitamin A dalam hati hampir habis. Deplesi
selanjutnya menimbulkan keratinisasi jaringan epitel mata, paru-paru, traktus
gastrointestinal dan genitourinarius, yang ditambah lagi dengan pengurangan sekresi
mucus. Kerusakan jaringan mata, yaitu seroftalmia akan menimbulkan kebutaan.
Defisiensi vitamin A terjadi terutama dengan dasar diet yang jelek dengan kekurangan
komsumsi sayuran, buah yang menjadi sumber provitamin A. Jaringan epitel di
mata, paru-paru, dan usus menjadi rusak pada keadaan defisiensi vitamin A. Pada
jaringan-jaringan tersebut, turnover atau pergantian sel epitel tinggi. Pada manusia,
berbagai penelitian menunjukkan bahwa level vitamin A yang rendah di sirkulasi
berhubungan dengan meningkatnya risiko kerusakan epitel di mata, Rusaknya
integritas epitel dan barier mukosa akan memfasilitasi translokasi mikroorganisme dan
berkontribusi terhadap meningkatnya derajat infeksi.
Pada retina terdapat 2 sistem fotoreseptor yang berbeda, sel kerucut dan sel
batang. Sel batang bertanggung jawab terhadap penglihatan dalam situasi cahaya yang
redup atau rendah, sedangkan sel kerucut bertanggung jawab penglihatan berwarna
dan situasi cahaya yang terang. Vitamin A merupakan kekuatan utama dari pigmen
visual kedua macam sel ini. Perbedaannya terletak pada jenis protein yang terikat pada
retinol. Pada sel batang, bentuk aldehid dari vitamin A (retinol) dan protein opson
bergabung membentuk rhodopsin yang merupakan pigmen fotosensitif.
Gejala klinis defisiensi vitamin A akan tampak bila cadangan vitamin A dalam
hati dan organ-organ tubuh lain sudah menurun dan kadar vitamin A dalam serum
mencapai bawah garis yang diperlukan untuk mensuplai kebutuhan metabolik mata.
Deplesi vitamin A dalam tubuh merupakan proses yang memakan waktu lama. Diawali
dengan habisnya persediaan vitamin A di dalam hati, menurunnya kadar vitamin A
plasma (kelainan biokimia), kemudian terjadi disfungsi sel batang pada retina (kelainan
fungsional), dan akhirnya timbul perubahan jaringan epitel (kelainan antomis).
Penurunan vitamin A pada serum tidak menggambarkan defisiensi vitamin A dini,
karena deplesi telah terjadi jauh sebelumnya.
Retinol dalam mata (bentuk vitamin A yang terdapat di dalam darah) dioksidasi
menjadi retinal. Retinol kemudian mengikat protein opsin dan membentuk rhodopsin
(suatu pigmen penglihatan). Rhodopsin merupakan zat yang menerima rangsangan
cahaya dan mengubah energi cahaya menjadi energi biolistrik yang merangsang indera
penglihatan. Beta karoten efektif dalam memperbaiki fotosenstivitas pada penderita
dengan protoporfiria erithropoetik.
Mata membutuhkan waktu untuk beradaptasi dan dapat melihat dari ruangan
dengan cahaya terang ke ruangan dengan cahaya remang-remang. Bila seseorang
berpindah dari tempat terang ke tempat gelap, akan terjadi regenerasi rhodopsin secara
maksimal. Rhodopsin sangat penting dalam penglihatan di tempat gelap. Kecepatan
mata untuk beradaptasi, berhubungan langsung dengan vitamin A yang tersedia di
dalam darah untuk membentuk rhodopsin. Apabila kurang vitamin A, rhodopsin tidak
terbentuk dan menyebabkan timbulnya tanda pertama kekurangan vitamin A yaitu
rabun senja.
Kekurangan vitamin A dapat mengakibatkan kelainan pada sel-sel epitel termasuk
sel-sel epitel pada selaput lendir mata. Kelainan tersebut karena terjadinya proses
metaplasi sel-sel epitel, sehingga kelenjar tidak memproduksi cairan yang dapat
menyebabkan terjadinya kekeringan pada mata yang disebut xerosis konjungtiva. Bila
kondisi ini berlanjut akan terjadi yang disebut bercak bitot (Bitot Spot) yaitu suatu
bercak putih, berbentuk segi tiga di bagian temporal dan diliputi bahan seperti busa.
Defisiensi lebih lanjut menyebabkan xerosis kornea, yaitu kornea menjadi kering
dan kehilangan kejernihannya karena terjadi pengeringan pada selaput yang menutupi
kornea. Pada stadium yang lanjut, kornea menjadi lebih keruh, terbentuk infiltrat,
berlaku pelepasan sel-sel epitel kornea, yang berakibat pada pelunakan dan pecahnya
kornea. Mata juga dapat terkena infeksi. Tahap akhir dari gejala mata yang terinfeksi
adalah keratomalasia (kornea melunak dan dapat pecah), sehingga menyebabkan
kebutaan total.
G. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
a. Faktor Risiko
1) Anak dengan Berat Badan Lahir Rendah (BB < 2,5 kg).
2) Anak yang tidak mendapat ASI Eksklusif dan tidak diberi ASI sampai usia
2 tahun.
3) Anak yang tidak mendapat MP-ASI yang cukup baik kualitas maupun
kuantitas.
4) Anak kurang gizi atau dibawah garis merah (BGM) dalam KMS.
5) Anak yang menderita penyakit infeksi (campak, diare,tuberkulosis (TBC),
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), pneumonia dan kecacingan.
6) Frekuensi kunjungan ke posyandu, puskesmas/pelayanan kesehatan (untuk
mendapatkan kapsul vitamin A dan imunisasi).
b. Keluhan utama dan keluhan tambahan
Keluhan yang biasa dijumpai pada kasus xeroftalmia akibat defisiensi
vitamin A adalah tidak bisa melihat pada sore hari (buta senja) atau ada kelainan
dengan matanya. Selain itu, dapat juga ditemukan kelainan pada kulit berupa
kulit bersisik yang dikenal sebagai “kulit katak” atau phrynodema yang
merupakan hiperkeratosis folikularis. Defisiensi vitamin A subklinis biasanya
tidak memiliki gejala, namun resiko terjadinya infeksi saluran pernapasan, diare,
dan pertumbuhan terhambat.
c. Riwayat penyakit yang diderita sebelumnya
1) Riwayat campak dalam waktu < 3 bulan
2) Riwayat menderita diare dan atau ISPA
3) Riwayat menderita pneumonia
4) Riwayat menderita infeksi cacingan
5) Riwayat menderita tuberculosis
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan fisik umum
Dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit-penyakit yang terkait
langsung maupun tidak langsung dengan timbulnya xeroftalmia seperti gizi
buruk, penyakit infeksi, dan kelainan fungsi hati. Yang terdiri dari :
1) Antropometri: pengukuran berat badan dan tinggi badan.
2) Penilaian Status gizi.
a) Bila BB/TB: > -3 SD - < -2 SD, anak menderita gizi kurang atau kurus.
b) Bila BB/TB : ≤ 3, anak menderita gizi buruk atau sangat kurus.
3) Pemeriksaan tanda-tanda xeroftalmia
a) Kekeringan pada konjungtiva (X1A).
b) Bercak bitot (X1B).
c) Tanda-tanda xerosis kornea (X2).
d) Tanda-tanda ulkus kornea dan keratomalasia (X3A/X3B).
e) Tanda-tanda sikatriks akibat xeroftalmia (XS)
f) Gambaran seperti cendol pada fundus oculi dengan opthalmoscope (XF).
4) Pemeriksaan kelainan pada kulit : kering, bersisik.
b. Pemeriksaan fisik khusus
1) Tes adaptasi gelap
Jika pasien menabrak sesuatu ketika cahaya diremangkan tiba-tiba di
dalam ruangan maka kemungkinan pasien mengalami buta senja. Tes adaptasi
gelap juga dapat menggunakan alat yang bernama adaptometri. Adaptometri
adalah suatu alat yang dikembangkan untuk mengetahui kadar vitamin A
tanpa mengambil sampel darah menggunakan suntikan. Derajat gelap yang
dijadikan patokan berdasarkan kondisi seseorang yang berada di dalam ruang
gelap tersebut tidak dapat melihat huruf berukuran tinggi 10 sentimeter dan
tebal 1,5 sentimeter dengan tinta hitam pada kertas putih.
2) Sitologi impresi konjungtiva
Dari pemeriksaan sitologi konjungtiva didapatkan keberadaan sel goblet
dan sel-sel epitel abnormal yang mengalami keratinisasi.
3) Uji Schirmer
Uji schirmer dilakukan untuk menilai kuantitas air mata, menilai
kecepatan sekresi air mata dengan memakai kertas filter Whatman 41 bergaris
5 mm–30 mm dan salah satu ujungnya berlekuk berjarak 5 mm dari ujung
kertas. Kertas lakmus merah dapat juga dipakai dengan melihat perubahan
warna. Perbedaan kertas lakmus dengan kertas filter hanya sedikit. Rata–rata
hasil bila memakai Whatman 41 adalah 12 mm (1 mm–27 mm) sedangkan
lakmus merah 10 mm (0 mm–27 mm).
Uji Schirmer I dilakukan tanpa anestesi topikal, ujung kertas berlekuk
diinsersikan ke sakus konjuntiva forniks inferior pada pertemuan medial dan
1/3 temporal palpebra inferior. Pasien dianjurkan menutup mata perlahan–
lahan tetapi sebagian peneliti menganjurkan mata tetap dibuka dan melihat
keatas. Lama pemeriksaan 5 menit dan diukur bagian kertas yang basah,
diukur mulai dari lekukan. Nilai normal adalah 10 mm–25 mm 11, 10 mm–
30 mm 12.
Uji Schirmer II dengan penetesan anestesi topikal untuk menghilangkan
efek iritasi lokal pada sakkus konjuntiva. Kemudian syaraf trigeminus
dirangsang dengan memasukkan kapas lidi kemukosa nasal atau dengan zat
aromatik amonium, maka nilai schirmer akan bertambah oleh adanya reflek
sekresi. Pemeriksaan ini yang diukur adalah sekresi basal karena stimulasi
dasar terhadap refleks sekresi telah dihilangkan.
Gambar 2.10. Schirmer test
Pada wanita yang menderita rabun senja, bercak bitot hingga xerosis
konjungtiva perlu diberikan vitamin A dengan dosis 100.000 IU secara oral setiap
harinya selama 2 minggu. Sedangkan pada penderita dengan gangguan pada
korneanya diberikan dosis vitamin A sesuai dengan dosis pada anak diatas 1
tahun.
Tabel 2.4. Pemantauan dan Respon Pengobatan dengan Vitamin A.
I. Komplikasi
Pada awal perjalanan xeroftalmia, penglihatan sedikit terganggu. Pada kasus
lanjut dapat timbul ulkus kornea, penipisan kornea dan perforasi. Sesekali dapat terjadi
infeksi bakteri sekunder dan berakibat jaringan parut serta vaskularisasi pada kornea
yang memperberat penurunan penglihatan. Komplikasi terburuk dari xeroftalmia
adalah kebutaan (Mansjoer et al., 2007).
J. Prognosis
Jika pasien masih tahap xerosis kornea (X2), pengobatan yang tepat dapat
menyembuhkan sepenuhnya dalam beberapa minggu. Penyembuhan sempurna biasanya
terjadi dengan pengobatan tiap hari. Gejala dan tanda KVA biasanya menghilang dalam
waktu 1 minggu setelah pemberian vitamin A dihentikan. Lesi pada mata akan
mengancam penglihatan (25% benar-benar buta, dan sisanya sebagian buta). Mortalitas
pada kasus-kasus yang berat mencapai 50%atau lebih kerana sering disertai oleh
malnutrisi yang berat.
KESIMPULAN
1. Almatsier, S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Ed ke-6. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
2. Annstas, George. Vitamin A Deficiency. 2012. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/126004-overview.
3. Departemen Kesehatan RI. 2003. Deteksi Dan Tatalaksana kasus Xeroftalmia
Pedoman bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta.
4. Departemen Kesehatan RI. 2005. Yang Perlu Diketahui Petugas Kesehatan
tentang Vitamin A. Jakarta.
5. Herman S. 2006. Masalah kurang vitamin A (KVA) dan prospek
penanggulangannya. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan volume:
XVIII no. 4/2007.
6. Ilyas, S dan Yulianti S.R. 2014. Ilmu Penyakit Mata Edisi 4 Cetakan ke-5. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
7. Jauqin, M.S., dan Molyneux,M.E. 2009. Malaria and Vitamin A Deficiency in
African Children: a vicious cicrle. Malaria Journal.
8. Khurana AK. 2007.Disease of Kornea: Comprehensive Ophthalmology. Ed. 4.
New Delhi. New Age International (P) Ltd, pp. 91-96.
9. Salam, dkk . 2013. Peranan Suplemen Vitamin A Pada Pengobatan TB. PDII
LIPI.
10. Snell, S. Richard. 2013. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6.
Jakarta: EGC.
11. Triana, Vivi. 2006. Macam-macam Vitamin dan Fungsinya dalam Tubuh
Manusia. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 1(1), pp. 40-47.
12. Vaughan Asbury. 2012. Oftalmologi Umum. Edisi 17.Jakarta : EGC.