Anda di halaman 1dari 128

SKRIPSI

PENGAMBILAN CRUDE TANIN DARI BUAH MAJA (Aegle


marmelos) DENGAN METODE “MODIFIED MACERATION” DAN
PEMANFAATANNYA SEBAGAI BIO-COAGULANT

Diajukan oleh :

Elizabeth Silvia Veronika NRP: 5203013008

Nathania Puspitasari NRP: 5203013047

JURUSAN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
2016
LEMBAR PENGESAHAN

Seminar Skripsi bagi mahasiswa tersebut di bawah ini:


Nama : Elizabeth Silvia Veronika
NRP : 5203013008
Telah diselenggarakan pada tanggal 19 Mei 2016, karenanya yang
bersangkutan dapat dinyatakan telah memenuhi sebagian persyaratan
kurikulum guna memperoleh gelar Sarjana Teknik jurusan Teknik Kimia.

Surabaya, 24 Mei 2016


Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Yohanes Sudaryanto, MT. Herman Hindarso, ST., MT.


NIK. 521.89.0151 NIK. 521.95.0221
Dewan Penguji
Ketua Sekretaris

Antaresti, ST., M.Eng.Sc.,MM. Ir. Yohanes Sudaryanto, MT.


NIK. 521.99.0396 NIK. 521.89.0151

Anggota Anggota

Ery Susiany R., ST., MT. Dra. Adriana Anteng A., M.Si.
NIK. 521.98.0348 NIK. 521.86.0124

Mengetahui
Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia
Dekan Ketua

Ir. Suryadi Ismadji, MT., Ph.D. Wenny Irawaty, ST., MT., Ph.D.
NIK. 521.89.0151 NIK. 521.95.0221

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Seminar Skripsi bagi mahasiswa tersebut di bawah ini:


Nama : Nathania Puspitasari
NRP : 5203013047
Telah diselenggarakan pada tanggal 19 Mei 2016, karenanya yang
bersangkutan dapat dinyatakan telah memenuhi sebagian persyaratan
kurikulum guna memperoleh gelar Sarjana Teknik jurusan Teknik Kimia.

Surabaya, 24 Mei 2016


Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Yohanes Sudaryanto, MT. Herman Hindarso, ST., MT.


NIK. 521.89.0151 NIK. 521.95.0221
Dewan Penguji
Ketua Sekretaris

Antaresti, ST., M.Eng.Sc.,MM. Ir. Yohanes Sudaryanto, MT.


NIK. 521.99.0396 NIK. 521.89.0151

Anggota Anggota

Ery Susiany R., ST., MT. Dra. Adriana Anteng A., M.Si.
NIK. 521.98.0348 NIK. 521.86.0124

Mengetahui

Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia


Dekan Ketua

Ir. Suryadi Ismadji, MT., Ph.D. Wenny Irawaty, ST., MT., Ph.D.
NIK. 521.89.0151 NIK. 521.95.0221

iii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya sebagai mahasiswa Unika


Widya Mandala Surabaya :

Nama : Elizabeth Silvia Veronika


NRP : 5203013008

Menyetujui skripsi/karya ilmiah saya :

Judul:
Pengambilan Crude Tanin dari Buah Maja (Aegle marmelos) dengan
Metode “Modified Maceration” dan Pemanfaatannya sebagai Bio-
Coagulant

Untuk dipublikasikan/ditampilkan di internet atau media lain (Digital


Library Perpustakaan Unika Widya Mandala Surabaya) untuk kepentingan
akademik sebatas sesuai dengan Undang-undang Hak Cipta.

Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah saya buat dengan


sebenarnya.

Surabaya, 24 Mei 2016

Yang menyatakan,

(Elizabeth Silvia Veronika)


NRP. 5203013008

iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya sebagai mahasiswa Unika


Widya Mandala Surabaya :

Nama : Nathania Puspitasari


NRP : 5203013047

Menyetujui skripsi/karya ilmiah saya :

Judul:
Pengambilan Crude Tanin dari Buah Maja (Aegle marmelos) dengan
Metode “Modified Maceration” dan Pemanfaatannya sebagai Bio-
Coagulant

Untuk dipublikasikan/ditampilkan di internet atau media lain (Digital


Library Perpustakaan Unika Widya Mandala Surabaya) untuk kepentingan
akademik sebatas sesuai dengan Undang-undang Hak Cipta.

Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah saya buat dengan


sebenarnya.

Surabaya, 24 Mei 2016

Yang menyatakan,

(Nathania Puspitasari)
NRP. 5203013047

v
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil
karya saya sendiri dan bukan merupakan hasil karya orang lain, baik
sebagian maupun seluruhnya, kecuali dinyatakan dalam teks. Seandainya
diketahui bahwa skripsi ini ternyata merupakan hasil karya orang lain, maka
saya sadar dan menerima kosekuensi bahwa skripsi ini tidak dapat
digunakan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik.

Surabaya, 24 Mei 2016


Mahasiswa,

(Elizabeth Silvia Veronika)


NRP. 5203013008

vi
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil
karya saya sendiri dan bukan merupakan hasil karya orang lain, baik
sebagian maupun seluruhnya, kecuali dinyatakan dalam teks. Seandainya
diketahui bahwa skripsi ini ternyata merupakan hasil karya orang lain, maka
saya sadar dan menerima kosekuensi bahwa skripsi ini tidak dapat
digunakan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik.

7777777777777777777777777777777777777777777777777777777777777
77777777777777777777777777777777777777777777777777

Surabaya, 24 Mei 2016


Mahasiswa,

(Nathania Puspitasari)
NRP. 5203013047

vii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Pengambilan Crude Tanin dari Buah Maja (Aegle marmelos)
dengan Metode “Modified Maceration” dan Pemanfaatannya sebagai Bio-
Coagulant” tepat pada waktunya. Tujuan dari pembuatan skripsi ini adalah
sebagai salah satu prasyarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik di
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universita Katolik Widya Mandala
Surabaya.
Dalam penyelesaian skripsi ini banyak pihak yang membantu
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, oleh karena itu penulis
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ir. Yohanes Sudaryanto, MT. dan Herman Hindarso, ST. MT.,
selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk
memberikan banyak masukan, bimbingan, dan pengarahan yang
baik dalam penelitian ini.
2. Antaresti, ST, M.Eng.Sc., MM.; Ery Susiany Retnotingtyas, ST.,
MT.; dan Dra. Adriana Anteng Anggorowati, M.Si,. selaku Dewan
Penguji yang telah memberikan banyak masukan dalam penelitian
ini.
3. Ir, Suryadi Ismadji, MT., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Teknik,
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.
4. Wenny Irawaty, ST., MT., Ph.D., selaku Ketua Jurusan Teknik
Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Widya Mandala
Surabaya.

viii
5. Ir. Yohanes Sudaryanto, MT. selaku Ketua Labotarium Kimia
Organik dan Kimia Fisika; Dra. Adriana Anteng Anggorowati,
M.Si, selaku Ketua Labotarium Kimia Analisa; Ir. Suryadi Ismadji,
MT., Ph.D., selaku Ketua Labotarium Proses; Dr. Ir. Suratno
Lourentius, MS., selaku Ketua Labotarium Operasi Teknik Kimia;
dan Ery Susiany Retnotingtyas, ST.,MT., selaku Ketua Labotarium
Teknologi Bioproses yang telah memberi kemudahan dalam
pengunaan dan peminjaman alat-alat di labotarium.
6. Bapak Novi Triono selaku laboran pada Labotarium Kimia
Organik dan Kimia Fisika, Bapak Agustinus Soelistiawan selaku
laboran pada Labotarium Teknologi Bioproses, serta Bapak Hadi
Pudjo Kuncoro selaku laboran pada Labotarium Operasi Teknik
Kimia, yang telah banyak membantu dalam penyelesaian penelitian
ini.
7. Seluruh dosen dan staff Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik,
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, yang secara tidak
langsung telah banyak membantu penyelesaian skripsi ini.
8. Orang tua penulis yang telah memberikan dukungan, baik secara
materi maupun non-materi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
9. Seluruh rekan-rekan di lingkungan kampus maupun di luar kampus
yang telah membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat
disebutkan secara satu persatu.

ix
Penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan bagi
pembaca.

Surabaya, 24 Mei 2016

Penulis

x
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... .ii


LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH ...................................................................................................... .iv
LEMBAR PERNYATAAN......................................................................... vi
KATA PENGANTAR .............................................................................. .viii
DAFTAR ISI ............................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xv
INTISARI ................................................................................................. xvii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
I.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
I.2. Perumusan Masalah ............................................................................... 2
I.3. Tujuan Penelitian................................................................................... 3
I.4. Pembatasan Masalah ............................................................................. 3
I.5. Luaran Penelitian ................................................................................... 3
BAB II Tinjauan Pustaka ............................................................................. 4
II.1. Buah Maja ............................................................................................ 4
II.2. Tanin .................................................................................................... 6
II.3. Ekstraksi ............................................................................................. 16
II.4. Kaolin................................................................................................. 26
II.5. Parameter Kualitas Air ....................................................................... 27
II.6. Koagulasi dan Flokulasi ..................................................................... 28
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................. 33
III.1. Rancangan Penelitian......................................................................... 33
III.2. Variabel Penelitian............................................................................. 35
III.3. Bahan ................................................................................................. 40
III.4. Alat . ................................................................................................. 41
III.5. Prosedur Penelitian ............................................................................ 42
BAB IV ...................................................................................................... 46
IV.1. Penentuan Pelarut Terbaik ................................................................. 46
IV.2. Pengaruh Rasio Pelarut dan (Jumlah Siklus x Waktu) Maserasi
terhadap Rendemen Tanin dari Kulit Maja Fresh ............................. 51
IV.3. Aplikasi Crude Tanin sebagai Bio-Coagulant .................................. 54
BAB V ....................................................................................................... 58
V.1. Kesimpulan ......................................................................................... 58
V.2. Saran ................................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 60

xi
LAMPIRAN A ........................................................................................... 66
LAMPIRAN B ............................................................................................ 72
LAMPIRAN C............................................................................................ 82
LAMPIRAN D ........................................................................................... 86
LAMPIRAN E ............................................................................................ 94

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1. Buah Maja ..................................................................... 5


Gambar II.2. Struktur Dasar Tanin ..................................................... 9
Gambar II.3. Struktur Asam Gallat ................................................... 11
Gambar II.4. Proses Koagulasi.......................................................... 29
Gambar II.5. Flokulasi (slow mixing)................................................ 32
Gambar III.1. Skema Proses Maserasi................................................ 34
Gambar III.2. Skema Proses Koagulasi .............................................. 35
Gambar IV.1. Pengaruh Jenis Pelarut dan (Jumlah Siklus x
Waktu) Maserasi terhadap Rendemen Tanin dari
Buah Maja Kering ....................................................... 47
Gambar IV.2. Uji Kualitatif Crude Tanin dari Buah Maja Kering
(a) Sebelum Penambahan Reagen Fehling dan (b)
Sesudah Penambahan Reagen Fehling ........................ 49
Gambar IV.3. Uji Kualitatif Crude Tanin dari Buah Maja Fresh
(a) Sebelum Penambahan Reagen Fehling (b)
Sesudah Penambahan Reagen Fehling ........................ 50
Gambar IV.4. Pengaruh Rasio Pelarut dan (Jumlah Siklus x
Waktu) Maserasi terhadap Rendemen Tanin dari
Kulit Maja Fresh ......................................................... 52
Gambar IV.5. Pengaruh Konsentrasi Crude Tanin terhadap
Penurunan Kekeruhan Air Limbah Sintetis ................. 55
Gambar IV.6. Pengaruh Konsentrasi Crude Tanin terhadap
Perubahan pH Air Limbah Sintetis .............................. 57
Gambar B.1. Uji Kualitatif Crude Tanin (a) Sebelum
Penambahan Pereaksi Gibbs (b) Sesudah
Penambahan Pereaksi Gibbs ....................................... 72
Gambar B.2. Pembentukan Senyawa Kompleks pada Tanin
dengan FeCl3................................................................ 73
Gambar E.1. Proses Persiapan Bahan Baku Kering; (a) Bahan
Baku Buah Maja; (b) Proses Pengeringan; (c)
Pengecilan Ukuran; (d) Serbuk Maja........................... 94
Gambar E.2. Proses Persiapan Bahan Baku Fresh; (a) Bahan
Baku Buah Maja; (b) Proses Pengeringan; (c)
Pengecilan Ukuran; (d) Serbuk Maja........................... 95
Gambar E.3. Pengujian Bahan Baku; (a) Sampel Maja Sebelum
Masuk Furnace; (b) Abu Sampel Maja; (c) Uji
Kadar Air Maja ............................................................ 95

xiii
Gambar E.4. a) Proses Maserasi Buah Maja; (b) Proses
Pengadukan; (c) Proses Pemisahan Padatan; (d)
Proses Penguapan; (e) Crude Tanin............................. 96
Gambar E.5. Pengujian Kualitatif Crude Tanin; (a) Sebelum
diberi FeCl3 ; (b) Setelah diberi FeCl3 ......................... 97
Gambar E.6. Pengujian Kuantitatif Crude Tanin .............................. 97
Gambar E.7. Tahap Koagulasi; (a) Air Limbah Sintetis; (b)
Proses Koagulasi; (c) Setelah Penambahan
Koagulan...................................................................... 97
Gambar E.8. Analisa Air Limbah Setelah ditambahkan
Koagulan Tanin; (a) Pengukuran pH; (b)
Pengukuran Kekeruhan Air Limbah ............................ 98

xiv
DAFTAR TABEL

Tabel II.1. Komposisi Buah Maja tiap 100 gram ............................ 6


Tabel II.2. Kelebihan dan Kekurangan Proses Maserasi
Dibandingkan dengan Metode Ekstraksi yang Lain .... 22
Tabel IV.1. Pengaruh Jenis Pelarut dan (Jumlah Siklus x
Waktu) Maserasi terhadap Rendemen Tanin dari
Buah Maja Kering ....................................................... 46
Tabel IV.2. Hasil Uji Kuantitatif Crude Tanin dari Buah Maja
Kering .......................................................................... 49
Tabel IV.3. Pengaruh Rasio Pelarut dan (Jumlah Siklus x
Waktu) Maserasi terhadap Rendemen Tanin dari
Kulit Maja Fresh ......................................................... 52
Tabel IV.4. Pengaruh Konsentrasi Crude Tanin terhadap
Penurunan Kekeruhan Air Limbah Sintetis ................. 54
Tabel IV.5. Pengaruh Konsentrasi Crude Tanin terhadap
Perubahan pH Air Limbah Sintetis .............................. 56
Tabel A.1. Hasil Kadar Air Kulit Maja Fresh dengan Variasi
(Jumlah Siklus x Waktu) Maserasi dan Rasio
Pelarut Etanol .............................................................. 66
Tabel B.1. Data Kadar Tanin dari Buah Maja Kering dengan
Variasi (Jumlah Siklus x Waktu) Maserasi dan
Jenis Pelarut ................................................................. 74
Tabel B.2. Data Kadar Tanin dari Kulit Buah Fresh Maja
pada Variasi (Jumlah Siklus x Waktu) Maserasi
dan Rasio Pelarut Etanol .............................................. 76
Tabel B.3. Data Rendemen Tanin dari dari Buah Maja Kering
dengan Variasi (Jumlah Siklus x Waktu) Maserasi
dan Jenis Pelarut .......................................................... 78
Tabel B.4. Data Rendemen Tanin dari dari Buah Maja Fresh
dengan Variasi (Jumlah Siklus x Waktu) Maserasi
dan Rasio Pelarut Etanol .............................................. 80
Tabel C.1. Data Perubahan pH pada Air Limbah Sintetis
dengan Variasi Konsentrasi Crude Tanin .................... 82
Tabel C.2. Data Penurunan Kekeruhan pada Air Limbah
Sintetis dengan Variasi Konsentrasi Crude Tanin ....... 84

xv
Tabel D.1. Data Pembakuan Larutan KMnO4 ± 0,1 N dengan
larutan H2C2O4 0,1 N ................................................... 92
Tabel D.2. Data Pembakuan Larutan KMnO4 ± 0,1 N dengan
larutan H2C2O4 0,1 N ................................................... 92

xvi
INTISARI

Saat ini, buah maja kurang populer di Indonesia karena tidak dapat
digunakan sebagai bahan pangan dikarenakan rasa pahitnya, yang
disebabkan oleh kandungan tanin. Buah maja mengandung tanin sebesar 9%
pada bagian daging buah dan 20% pada bagian kulit buah. Tanin merupakan
senyawa polifenol yang memiliki kemampuan untuk membentuk kompleks
yang kuat dengan beberapa molekul lain. Berdasarkan hal tersebut, tanin
berpotensi sebagai bio-coagulant karena dapat mengikat suspended solid
pada air limbah.
Penelitian ini menggunakan metode modifikasi maserasi untuk
mengambil crude tanin dari buah maja, modifikasi yang digunakan adalah
pengadukan dan maserasi ulang. Pada maserasi pertama, bahan baku yang
digunakan adalah buah maja yang telah dikeringkan. Tujuan dari langkah ini
adalah untuk menemukan pelarut terbaik yang dapat memberikan rendemen
tanin tertinggi, dengan memvariasikan jenis pelarut dan variasi (jumlah
siklus x waktu) maserasi. Maserasi kedua menggunakan kulit buah maja
fresh dan diaplikasikan sebagai bio-coagulant.
Kedua maserasi memiliki langkah kerja yang sama yaitu dengan
diawali proses pengecilan ukuran buah maja kemudian serbuk maja
direndam dalam pelarut. Setelah beberapa waktu, crude tanin yang
diperoleh dari proses maserasi dianalisa secara kualitatif dengan pereaksi
Gibbs dan secara kuantitatif dengan metode permanganometri. Tanin
dengan rendemen tertinggi digunakan sebagai bio-coagulant. Parameter
kualitas air limbah yang dianalisa meliputi penurunan kekeruhan dan
perubahan pH.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelarut terbaik untuk
mengekstrak crude tanin dari buah maja adalah etanol. Kemudian pada
waktu maserasi yang sama, semakin besar rasio kulit maja dengan pelarut
(b/v), semakin tinggi rendemen tanin; kenaikan waktu maserasi akan
meningkatkan rendemen tanin, dan semakin besar siklus maserasi maka
akan memberikan rendemen tanin yang tinggi. Pada percobaan koagulasi,
dapat juga dibuktikan bahwa crude tanin dari buah maja berpotensi menjadi
bio-coagulant.

xvii
ABSTRACT

Currently, “Maja” fruit is not popular in Indonesia, because it can


not be used as food stuff due to it is bitter taste which is coming from tannin.
“Maja” fruit contains around 9% of tannin in the flesh and 20 % of tannin
in the peel. Tannin is polifenolic coumpond that can build a strong complex
with protein and other compounds. Therefore, tannin can be used as bio-
coagulant in the water purification.
This research implemented modification maceration method to take
crude tannin from “maja” fruit, by modifying the mixing and the
remaceration. Firstly, the raw material used is dried “maja”. The aim of
this step is to find the best solvent which give the highest yield of tannin, by
varying the solvent and the (cycle x time) maceration. The best solvent
found is ethanol, which is known as polar compound. Therefore it is not
necessary to use dried “maja” anymore. So, the second step is maceration
using fresh “maja” fruit.
The two maceration process has a same research procedure, the raw
material that has been crushed was soaked in the solvent. After a certain
time, the crude tannin was analyzed. Qualitative analysis was conducted by
Gibbs method, while quantitative analysis was carried out by
permanganometry method. Tannin which has highest yield was used as bio-
coagulant.
The result showed that the best solvent to extract the crude tannin
from “maja” fruit is ethanol. Besides, for the same maceration time, the
greater ratio of raw ”maja” peel to solvent (m/v), the higher tannin yield;
the increasing maceration time will increase the tannin yield, and the larger
maceration cycle will give the higher tannin yield. In coagulation, it also
proved that crude tannin from “maja” fruit is potential as a bio-coagulant.

xviii
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Indonesia negara kepulauan yang memiliki banyak sumber daya
alam, salah satunya flora dan fauna yang melimpah. Salah satu flora yang
banyak terdapat di Indonesia, tepatnya di Jawa Timur adalah tanaman maja.
Buah maja memiliki rasa yang sepat pada saat belum matang, hal ini karena
buah maja mengandung tanin sebanyak 9% pada bagian daging dan 20%
pada bagian kulit [2]. Selama ini buah maja hanya digunakan sebagai obat
tradisional, diantaranya obat penenang, diare, disentri, dan sebagainya [1].
Tanin didefinisikan sebagai senyawa polifenol yang memiliki gugus
hidroksil dan gugus lainnya sehingga dapat membentuk kompleks yang kuat
dengan protein [3]. Pada umumnya, tanin terdistribusi dalam kingdom
Gymnospermae dan Angiospermae yang terdapat khusus dalam jaringan
kayu. Berdasarkan penelitian Siama dkk [4], rendemen tanin yang diperoleh
dari buah maja sebesar 2,2% menggunakan pelarut etanol dan sebesar 0,4%
menggunakan pelarut etil asetat.
Pengambilan crude tanin dari buah maja dapat dilakukan dengan
salah satu metode ekstraksi yaitu maserasi. Kelebihan dari metode maserasi
adalah proses dan peralatannya sederhana dalam mendapatkan ekstrak yang
diinginkan [5]. Maserasi dilakukan dengan cara memodifikasi proses
maserasi dengan pengadukan dan maserasi ulang.
Senyawa crude tanin yang diambil dari buah maja sangat berpotensi
sebagai bio-coagulant pada penjernihan air karena dapat mengikat protein
dan beberapa molekul lain. Air merupakan kebutuhan yang sangat penting
bagi hidup manusia sehingga banyak penelitian yang mencoba untuk
menjernihkan air. Hal ini dikarenakan air bersih yang terdapat di bumi

1
2

semakin lama semakin sedikit. Air tidak dapat memenuhi kebutuhan


kualitas dan kuantitas yang terus meningkat. Oleh karena itu, diperlukan
pengelolaan sumber daya air yang maksimal.
Koagulasi merupakan proses penggumpalan yang terjadi karena
penambahan bahan koagulan yang memiliki muatan berbeda dengan
muatan partikel koloid dalam air limbah. Koagulan kimia seperti tawas
(Al2(SO4)3) dan Poly Aluminium Chloride (PAC) memiliki beberapa
kekurangan yaitu dapat menyebabkan air menjadi asam, sedangkan kapur
(CaO) dapat membuat air menjadi sadah karena kandungan ion kalsium
[51].
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu
alternatif bio-coagulant yang mudah didapatkan dan ramah lingkungan.
Sekaligus dapat menambah nilai ekonomi dari buah maja yang belum
dimanfaatkan secara optimal.

I.2. Perumusan Masalah


1. Bagaimana mendapatkan pelarut terbaik dari variasi jenis pelarut
dan (jumlah siklus x waktu) maserasi menggunakan buah maja
kering?
2. Bagaimana pengaruh rasio bahan baku dengan volume pelarut
(b/v) dan (jumlah siklus x waktu) maserasi menggunakan kulit
maja fresh terhadap rendemen tanin?
3. Bagaimana pengaruh konsentrasi crude tanin terhadap %
penurunan kekeruhan dan perubahan pH pada air limbah sintetis?
3

I.3. Tujuan Penelitian


1. Mendapatkan pelarut yang terbaik dari variasi jenis pelarut dan
(jumlah siklus x waktu) maserasi menggunakan buah maja kering.
2. Mempelajari pengaruh rasio bahan baku dengan volume pelarut
(b/v) dan (jumlah siklus x waktu) maserasi menggunakan buah
maja fresh terhadap rendemen tanin.
3. Mempelajari pengaruh konsentrasi crude tanin terhadap %
penurunan kekeruhan dan perubahan pH pada air limbah sintetis.

I.4. Pembatasan Masalah


1. Buah maja diperoleh dari Jalan Mojo Klanggru, Surabaya, Jawa
Timur.
2. Bagian buah maja yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit
dan isi buah.
3. Maserasi dilakukan dengan modifikasi pengadukan dan maserasi
ulang.
4. Air limbah sintetis yang digunakan berupa larutan kaolin.

I.5. Luaran Penelitian


Hasil penelitian ini dapat dipublikasikan di Seminar Ilmiah Nasional
dan/atau Jurnal Nasional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Buah Maja (Aegle marmelos)


Buah maja merupakan buah yang sudah jarang diketahui oleh
masyarakat. Hal ini dikarenakan buah maja kurang populer apabila
dibandingkan dengan buah lokal lainnya yang banyak disukai oleh
masyarakat, contohnya buah apel dari Malang. Buah maja memiliki ciri-ciri
fisik yaitu kulit yang berwarna hijau dengan isi daging buah maja berwarna
kuning hingga jingga, aroma buahnya harum. Kulit buah maja memiliki
tekstur yang keras dalam keadaan yang kering, bahkan lebih keras daripada
kulit kelapa. Buah maja memiliki rasa pahit dikarenakan kandungan tanin
yang terdapat pada buah yang masih muda. Apabila buah maja sudah
masak, maka kandungan tanin dalam buah maja akan berkurang [8].
Maja merupakan tanaman dari suku jeruk-jerukan yang memiliki
penyebaran di dataran rendah sampai ketinggian 500 m di atas permukaan
laut. Tumbuhan maja banyak tersebar di daerah Asia Selatan dan Asia
Tenggara, Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak ditumbuhi
oleh maja. Maja merupakan tanaman yang memiliki kemampuan untuk
beradaptasi dengan baik, tanaman maja bisa tumbuh pada lahan basah
seperti di rawa-rawa maupun pada lahan kering dan pada situasi yang
ekstrim. Pada daerah Punjab, salah satu kota yang terletak di India,
tumbuhan maja dapat tumbuh pada musim kemarau dengan suhu mencapai
49oC dan pada musim dingin pada suhu -7oC, pada ketinggian yang
mencapai lebih dari 1200 m diatas permukaan laut.
Tanaman maja memiliki ciri-ciri pohonnya yang dapat tumbuh
hingga 10-15 meter. Batangnya berkayu, berbentuk bulat, memiliki cabang,
dan berwarna putih kekuningan. Daun maja memiliki bentuk lonjong
4
5

dengan ujung dan pangkal yang runcing, tepinya bergerigi atau berlekuk
tidak dalam. Bunganya termasuk dalam jenis bunga majemuk dengan
bentuk malai, serta memiliki akar tunggang berwarna putih.
Tanaman maja dapat diklasifikasikan sebagai berikut [8]:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Class : Magnoliosida
Ordo : Sapindales
Famili : Rutacease
Ganus : Aegle
Spesies : Aegle marmelos

Gambar II.1. Buah Maja [8]


Buah maja memiliki beberapa kandungan yang penting seperti air,
protein, lemak, karbohidrat, dan lain-lain. Tabel II.1. berikut menunjukkan
komposisi di dalam buah maja setiap 100 gram.
6

Tabel II.1. Komposisi Buah Maja tiap 100 gram

Komponen Jumlah
Air 61,5 gram
Protein 1,87 gram
Lemak 0,39 gram
Karbohidrat 31,8 gram
Abu 1,7 gram
Karoten 55 miligram
Tiamin 0,13 miligram
Riboflavin 1,19 miligram
Niasin 1,1 miligram
Vitamin C 8 miligram

Pada bagian daging buah maja terdapat kadar tanin sebesar 9%,
sedangkan pada kulit buahnya terdapat kadar tanin yang lebih besar yaitu
mencapai 20% [2]. Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
Siama dkk [7], pada buah maja terdapat kadar air sebesar 0,9 % dan kadar
abu sebesar 0,19%. Selain itu Siama dkk [7] juga mengungkapkan bahwa
rendemen tanin yang didapatkan dari buah maja menggunakan pelarut
etanol adalah sebesar 2,2%.

II.2. Tanin
Tanin adalah senyawa fenolik kompleks yang memiliki berat
molekul 500-3000. Tanin memiliki kemampuan untuk dapat menyamak
kulit atau mengendapkan gelatin yang terdapat pada suatu cairan, sifat ini
7

dikenal sebagai sifat astringensi. Tanin yang diketahui memiliki sifat


astringent dapat menyebabkan efek yaitu mengecilkan pori-pori suatu
permukaan padatan sehingga dapat mengurangi proses absorbsi [9].
Apabila ditinjau dari strukturnya, tanin termasuk dalam senyawa
jenis fenol dengan berat molekul yang besar. Tanin terdiri atas gugus-gugus
hidroksi dan gugus-gugus karboksil yang membentuk senyawa kompleks
kuat yang efektif dengan senyawa protein dan beberapa molekul seperti
karbohidrat, membran sel bakteri, dan enzim [10].
Sebagai salah satu senyawa yang memiliki tipe metabolit sekunder,
tanin mempunyai karakteristik-karakteristik sebagai berikut [11]:
1. Senyawa oligomer yang memiliki satuan struktur yang
bermacam-macam dengan gugus fenol yang bebas
2. Berat molekulnya 500-20.000
3. Memiliki kelarutan di dalam air, kecuali beberapa senyawa
dengan berat molekul yang besar
4. Mampu berikatan dengan protein dan membentuk kompleks
senyawa yang dapat larut dan tidak larut
Metabolit sekunder adalah senyawa yang berasal dari hasil
metabolisme sekunder dan merupakan proses dimana senyawa organik
spesifik berperan penuh di dalamnya. Metabolit sekunder hanya terdapat
pada senyawa yang spesifik dan dapat diproduksi pada saat-saat tertentu
[12]. Hingga saat ini telah ditemukan 100.000 senyawa metabolit sekunder
yang telah digolongkan ke dalam dua jenis apabila didasarkan pada
strukturnya, yaitu [13]:
1. Senyawa yang di dalam strukturnya tidak terdapat atom nitrogen
seperti golongan terpen, poliketid, saponin, poliasetilen, dll.
8

2. Senyawa yang di dalam strukturnya terdapat atom nitrogen


seperti golongan alkaloid, amina, glikosida sianogenik, asam
amino non protein, proteinlenzim tertentu, dll.
Selain didasarkan pada strukturnya, senyawa metabolit sekunder
dapat diklasifikasi berdasakan sifat struktur dan asal-usul biosintesisnya.
Hanson [14] membagi senyawa-senyawa metabolit sekunder berdasarkan
sifat strukturnya ke dalam 6 kelompok, yaitu 1) poliketida dan asam lemak,
2) terpenoid dan steroid, 3) fenilpropanoid, 4) alkaloid, 5) asam amino
khusus dan peptida dan 6) karbohidrat khusus. Berdasarkan asal-usul
biosintetisnya, Springbob dan Kutchen [15] membagi ke dalam 4 kelompok,
yaitu 1) alkaloid, 2) fenilpropanoid, 3) poliketida dan 4) terpenoid.
Atas dasar tipe strukturnya dan aktivitas terhadap senyawa hidrolitik
jenis asal, ada dua tipe tanin yaitu tanin terkondensasi (condensed tannin)
dan tanin terhidrolisis (hyrolyzable tannin) [16]. Kedua kelompok tanin
menghasilkan warna yang berbeda apabila direaksikan dengan larutan
FeCl3. Tanin terkondensasi akan menghasilkan warna hijau kehitaman dan
tanin terhidrolisis akan menghasilkan warna biru kehitaman [17].
Selain di dalam buah maja, tanin dapat ditemukan pada tanaman
lain. Penelitian Kristianto [18] menunjukkan kandungan tanin yang
didapatkan dari belimbing wuluh sebesar 6%. Tanin juga bisa didapatkan
dari tanaman alpukat, daun alpukat mengandung tanin sekitar 15-22% [19].
Penelitian Paridah dan Musgrave [20] menunjukkan bahwa pada kulit kayu
bakau memiliki kandungan tanin yang cukup besar yaitu mencapai 26%.

II.2.1. Tanin Terkondensasi


Tanin terkondensasi terbentuk secara kondensasi katekin tunggal
(galokatekin) yang membentuk senyawa dimer lalu menjadi senyawa
9

oligomer yang lebih tinggi. Proantosianidin merupakan nama lain dari tanin
terkondensasi, hal ini dikarenakan apabila tanin terkondensasi direaksikan
dengan larutan asam dapat menyebabkan beberapa ikatan karbon terputus
dan membebaskan monomer antosianin [21].
Proantosianidin dapat didefinisikan sebagai oligo atau polimer yang
termasuk dalam flavonoid (flavan-3-ol atau flavan 3-4 diol), dimana ikatan
tunggal antar karbon (C-C) tidak mudah untuk dihidrolisis [17]. Gambar
struktur dasar tanin disajikan pada Gambar II.2. berikut.

Gambar II.2. Struktur Dasar Tanin [16]

II.2.2. Tanin Terhidrolisis


Tanin terhidrolisis merupakan molekul dengan pollol (umumnya D-
glukosa) sebagai pusatnya. Tanin terhidrolisis adalah pecahnya karbohidrat
dan asam fenolik yang disebabkan oleh asam lemah atau basa lemah [16].
Gugus hidroksil pada karbohidrat sebagian atau semuanya teresterifikasi
dengan gugus karboksil pada asam gallat atau asam ellegat (ellegitanin).
Kandungan tanin terhidrolisis hanya sedikit apabila dibandingkan dengan
tanin terkondensasi di dalam tanaman [11].
10

II.2.2.1. Gallotanin
Gallotanin merupakan senyawa bentukan dari asam gallat dan gula,
biasanya glukosa. Beberapa asam gallat terikat pada satu molekul gula.
Asam gallat dapat terikat pada gugus ester yang terbentuk antara gugus
karboksil molekul satu dan gugus hidroksi pada molekul lain [22].
Sifat fisik dari gallotanin berupa polimer amorf, yang memiliki
warna putih kekuningan, bau yang spesifik, dapat dengan mudah larut
dalam air dan gliserol, sangat larut ke dalam alkohol dan aseton. Tetapi
gallotanin tidak dapat larut di dalam benzena, kloroform, eter, karbon
disulfida, dan karbon tetraklorida [23].
Sifat kimia dari gallotanin seperti yang diungkapkan oleh Tyler [24]
adalah memiliki warna coklat apabila terkena cahaya. Dapat menimbulkan
endapan tak larut apabila direaksikan dengan albumin, tepung, gelatin,
alkaloid dan garam metalik. Sedangkan apabila direaksikan dengan FeCl3
akan memberikan warna biru kehitaman. Gallotanin akan mengalami
dekomposisi menjadi pirogalol dan CO2 pada suhu 215oC.
Gallotanin merupakan suatu ester dimana larutan gugus karboksil
dari gugus esternya dapat diprotonkan, kemudian karbon yang bermuatan
positif (proton) parsial dapat diserang oleh nukleofil lemah seperti air.
Untuk reaksi hidrolisis dengan katalis asam dalam air berlebih dan pada
suhu tinggi, gallotanin akan berubah menjadi asam karboksilat [25].
Gambar struktur dari asam gallat disajikan pada Gambar II.3. berikut.
11

Gambar II.3. Struktur Asam Gallat [16]

II.2.2.2. Ellagitanin
Ellagitanin merupakan senyawa yang dapat terbentuk karena
terikatnya dua molekul asam gallat melalui reaksi oksidasi yang dapat
disebut sebagai asam heksahidroksi difenil [26]. Ellagitanin merupakan
jenis tanin yang terhidrolisis. Hidrolisis dengan asam kuat akan
menghasilkan asam ellagat. Asam ellagat dapat memberikan reaksi warna
yang spesifik apabila direaksikan dengan asam nitrit (HNO 2). Reaksi ini
biasanya digunakan untuk mendeteksi jaringan tumbuhan yang terekstrak
dan merupakan metode yang penting pada saat penentuan ellagitanin [27].
Dalam penentuan ellagitanin diperlukan reaksi warna dengan asam
nitrat dalam lingkungan nitrogen, dimana akan memberikan warna merah
yang lama kelamaan menjadi warna biru. Apabila terdapat udara di
sekelilingnya maka cairan lama kelamaan akan berubah warna menjadi
kuning [27].
Asam ellagat dapat membentuk kristal jarum hijau kuning dengan
piridin yang akan meleleh pada suhu 360oC. Asam ellagat tidak larut dalam
12

eter, tetapi sedikit larut di dalam air dan larut di dalam alkali atau basa
dengan menunjukkan perubahan warna menjadi kuning yang kuat. Asam
ellagat mewarnai katun chrominum-mordant dengan warna hijau pudar
[26].

II.2.3. Sifat-Sifat Tanin


Sifat utama tanin yang terdapat di dalam tumbuh-tumbuhan
bergantung pada jenis gugus fenolik (–OH yang berikatan dengan cincin
fenil) yang terkandung di dalam tanin. Beberapa sifat tanin dapat diuraikan
sebagai berikut:
Secara kimia sifat tanin [28], yaitu:
1. Memiliki gugus fenol
2. Bersifat koloid
3. Semua jenis tanin dapat larut dalam air, metanol, etanol, aseton
dan pelarut organik lainnya. Kelarutannya akan semakin besar
apabila dilarutkan kedalam pelarut yang memiliki suhu yang
tinggi.
4. Apabila bereaksi dengan garam besi dapat memberikan warna
yang spesifik. Reaksi ini biasanya digunakan untuk menguji
klasifikasi tanin, karena dengan garam besi tanin terhidrolisis
akan memberikan warna biru kehitaman dan tanin
terkondensasi akan memberikan hijau kehitaman.
5. Pada suhu 99–102oC tanin akan mengalami dekomposisi
menjadi senyawa pyrogallol, pyrocatechol dan phloroglucinol.
6. Tanin dapat dihidrolisis oleh asam, basa dan enzim.
13

Secara fisik sifat tanin [28] adalah sebagai berikut:


1. Tanin memiliki berat molekul yang tinggi, berkisar 500-3000
2. Tanin cenderung mudah dioksidasi menjadi suatu polimer, hal
ini dikarenakan sebagian besar tanin bentuknya amorf dan tidak
mempunyai titik leleh
3. Tanin berwarna putih kekuningan sampai coklat terang, hal ini
sangat bergantung darimana tanin didapatkan
4. Tanin memiliki bentuk serbuk atau berlapis-lapis seperti kulit
kerang
5. Tanin memiliki bau yang khas
6. Tanin mempunyai rasa sepat (astrigent)
7. Warna tanin akan menjadi gelap apabila terkena cahaya
langsung ataupun dibiarkan pada udara terbuka
8. Tanin mempunyai sifat atau daya bakterostatik dan fungistatik
yang merupakan racun
Sifat tanin yang lain adalah sebagai pengkhelat logam. Umumnya
secara biologis senyawa yang tergolong fenol dapat berperan sebagai
pengkhelat logam. Karena hal itulah, tanin yang termasuk dalam senyawa
fenol dapat memiliki potensi sebagai pengkhelat logam terutama tanin
terhidrolisis. Mekanisme atau proses pengkhelatan akan terjadi sesuai
dengan pola subtitusi dan pH senyawa fenol itu sendiri [29]. Pengkhelatan
adalah proses pengikatan logam dengan cara menambahkan senyawa
pengkelat dan membentuk suatu kompleks logam senyawa pengkelat [30].
Proses pengkelatan dilakukan dengan cara yang sama dengan adsorpsi
hanya dengan mengganti senyawa adsorben menjadi senyawa pengkelat.
14

II.2.4. Kegunaan Tanin


Tanin memiliki beberapa kegunaan [31], yaitu:
1. Sebagai pelindung pada tumbuhan. Pada masa pertumbuhan
kandungan tanin di bagian tertentu pada tanaman dapat membuat
bagian tersebut menjadi terlindungi. Hal ini dikarenakan tanin
memiliki sifat bakterostatik dan fungistatik yang merupakan racun,
sehingga mencegah predator untuk memakan tanaman tersebut.
2. Sebagai anti hama bagi tanaman, sehingga mencegah serangga dan
fungi.
3. Digunakan dalam proses metabolisme pada bagian tertentu
tanaman.
4. Pada industri farmasi, tanin digunakan sebagai antiseptik pada
jaringan luka. Hal ini dikarenakan salah satu sifat tanin yang dapat
mengendapkan protein. Tanin biasanya digunakan untuk campuran
salep luka bakar dan campuran pada obat cacing.
5. Pada industri kulit, tanin digunakan untuk mengawetkan kulit.
Alasan penggunaan tanin karena kemampuan tanin untuk mengikat
berbagai macam protein.
6. Pada industri pembuatan tinta dan cat, tanin digunakan untuk
memberikan warna biru tua atau hijau kehitaman dengan
kombinasi yang tertentu.
7. Tanin dapat berperan sebagai antidotum dengan cara
mengeluarkan asam tamak yang tidak terlarut. Antidotum adalah
senyawa yang dapat mengurangi atau menghilangkan sifat
toksisitas dari suatu senyawa, dalam hal ini alkanoid yang
diabsorpsi.
15

8. Pada industri minuman, tanin biasanya digunakan untuk


mengendapkan serat-serat organik pada minuman anggur dan bir.
Pada saat ini banyak penelitian yang mencari dan mengembangkan
manfaat lain dari tanin. Penelitian yang telah dilakukan oleh Seller dan
George [32], Amilia dkk [33] menggunakan tanin sebagai bahan perekat
kayu. Penelitian Rahim et.al. [34] menggunakan tanin sebagai penghambat
korosi logam.

II.2.5. Uji Kuantitatif Tanin


Uji kuantitatif tanin dapat dilakukan dengan metode
permanganometri. Titrasi permanganometri adalah salah satu bagian dari
titrasi redoks yang menggunakan reaksi antara kalium permanganat dengan
suatu bahan tertentu. Kalium permanganat merupakan lautan standar
sekunder, sehingga perlu dilakukan standarisasi terlebih dahulu sebelum
digunakan. Kalium permanganat merupakan oksidator yang dapat bereaksi
dengan cara yang berbeda-beda, tergantung dari pH larutannya. Reaksi
penguraian MnO4- menjadi oksidanya dapat dilihat sebagai berikut [60]:
4MnO4- + 2H2O  4MnO2 + 3O2 + 4OH-
Kebanyakan titrasi dilakukan dengan cara langsung atas ion yang
dapat dioksidasi seperti Fe2+, asam atau garam oksalat yang dapat larut dan
sebagainya. Beberapa ion logam yang tidak dioksidasi dapat dititrasi secara
tidak langsung dengan permanganometri seperti:
1. Ion-ion Ca, Ba, Sr, Pb, Zn, dan Hg (I) yang dapat diendapkan
sebagai oksalat. Setelah endapan disaring dan dicuci,
dilarutkan dalam H2SO4 berlebih sehingga terbentuk asam
oksalat secara kuantitatif. Asam oksalat inilah yang akhirnya
16

dititrasi dan hasil titrasi dapat dihitung banyaknya ion logam


yang bersangkutan.
2. Ion-ion Ba dan Pb dapat pula diendapkan sebagai garam
kromat. Setelah disaring, dicuci, dan dilarutkan dengan asam,
ditambahkan pula larutan baku FeSO4 berlebih. Sebagian Fe2+
dioksidasi oleh kromat tersebut dan sisanya dapat ditentukan
banyaknya dengan menitrasinya dengan KMnO4.
Titrasi dengan KMnO4 dapat berlangsung menurut 3 cara:
1. Dalam larutan asam untuk menitrasi zat-zat secara langsung.
Biasanya digunakan asam sulfat encer, hal ini dikarenakan
asam sulfat encer tidak bereaksi terhadap permanganat dalam
larutan encer.
2. Dalam suasana asam untuk menitrasi zat-zat secara tidak
langsung.
3. Dalam suasana netral atau sedikit basa.

II.3. Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu proses yang pengambilan komponen-
komponen kimia dari senyawa organik yang terdapat di alam menggunakan
suatu pelarut [35].
Menurut Mc Cabe [36] dalam Muhiedin [37], ekstraksi dapat
dibedakan menjadi dua cara berdasarkan wujud bahannya yaitu:
1. Ekstraksi padat-cair, proses pengambilan komponen-komponen
kimia dari bahan yang memiliki wujud berupa padatan dan
menggunakan pelarut berwujud cair.
17

2. Ekstraksi cair-cair, proses pengambilan komponen-komponen


kimia dari bahan yang memiliki wujud cair dengan
menggunakan pelarut yang berwujud cair.
Ekstraksi padat cair secara umum terdiri dari maserasi, refluktasi,
sokhletasi dan perkolasi. Metode yang akan digunakan sangat
tergantung dengan jenis senyawa yang ingin diekstrak. Jika senyawa
yang diinginkan tidak memiliki ketahanan terhadap pemanasan maka
metode maserasi dan perkolasi merupakan metode yang tepat untuk
digunakan, sedangkan apabila senyawa yang diinginkan memiliki
ketahanan terhadap pemanasan maka metode refluktasi dan sokletasi
dapat digunakan sebagai pilihan [38].

II.3.1. Ekstraksi Padat-Cair


Ekstraksi padat-cair dibedakan menjadi dua cara, yaitu:
1. Cara Dingin
Ekstraksi dengan cara dingin memiliki keunggulan yaitu
mencegah rusaknya bahan yang akan diekstrak apabila bahan
tersebut merupakan bahan yang sensitif terhadap perubahan
suhu. Sebagian besar senyawa yang ada di dalam bahan
organik dapat diekstraksi dengan metode ekstraksi dingin,
walaupun ada beberapa senyawa yang memiliki keterbatasan
kelarutan terhadap suatu pelarut dalam suhu ruangan [39].
Terdapat sejumlah metode ekstraksi, yang paling
sederhana adalah ekstraksi yang dilakukan dengan cara
memasukkan bahan kering yang berukuran serbuk ke dalam
labu besar pada suhu kamar. Kemudian, ditambahkan pelarut
yang memiliki kepolaran yang sama dengan bahan yang akan
18

diekstrak secara berturut-turut. Setelahnya campuran akan


diaduk dengan menggunakan magnetic stirer.
Penggunaan pelarut yang memiliki kepolaran yang
berbeda-beda akan dapat menghasilkan ekstrak bahan yang
berbeda dan spesifik, sehingga proses pemilihan pelarut
dengan cara ini dianggap sebagai proses isolasi. Ada dua jenis
ekstraksi dengan cara dingin yaitu maserasi dan perkolasi.
2. Cara Panas
Ekstraksi dengan cara panas memiliki keunggulan yaitu
dapat menghasilkan ekstrak dalam waktu yang singkat
dibandingkan dengan metode dingin. Hal ini dikarenakan
panas akan membuat kelarutan suatu senyawa menjadi lebih
besar sehingga waktu yang diperlukan untuk mengambil
senyawa dari suatu bahan akan lebih cepat.
Kelemahan dari ekstraksi panas adalah terkadang senyawa
yang akan diesktrak akan mengalami degradasi menjadi
senyawa baru akibat senyawa tersebut tidak tahan dengan suhu
yang tinggi. Oleh karena itu untuk senyawa yang tidak stabil
menggunakan ekstraksi cara dingin [39]. Ada dua jenis
ekstraksi dengan cara panas yaitu refluks dan soxhlet.

3. Cara Ekstraksi Lainnya [40]:


a. Ekstraksi Berkesinambungan
Proses ekstraksi berkesinambungan dilakukan
dengan cara membagi bahan yang akan diesktrak ke
dalam bejana yang berbeda-beda dengan pelarut yang
19

berbeda atau resirkulasi. Hal ini dilakukan karena ingin


mengefisiensikan jumlah pelarut yang dipakai.
b. Superkritikal Karbondioksida
Ekstraksi superkritikal karbondioksida dilakukan
dengan cara mengkontakkan bahan yang akan diekstrak
dengan gas karbondioksida yang memiliki tekanan dan
temperatur yang tertentu. Ekstraksi ini memiliki suatu
keuntungan yaitu tidak perlu waktu lama untuk
menghilangkan pelarut karena karbondioksida yang
digunakan pelarut akan secara mudah pindah ke udara.
c. Ekstraksi Ultrasonik
Ekstraksi ultrasonik dilakukan dengan cara
memberikan getaran ultrasonik (>20.000 Hz) yang
tertentu. Prinsip dari ekstraksi ini adalah getaran dapat
menimbulkan fraksi interfase.
d. Ekstraksi Energi Listrik
Ekstraksi dengan energi listrik memiliki prinsip
medan listrik, medan magnet serta “Eletric-discharges”
dapat menimbulkan gelembung spontan. Sehingga bahan
yang akan diekstrak akan terpisah dari bahan alam.

II.3.2. Maserasi
1. Pengertian maserasi
Maserasi memiliki istilah asli yaitu “macerare”, yang
berasal dari bahasa Latin, memiliki arti merendam, dan
termasuk ke dalam ekstraksi dingin. Ekstraksi dengan cara
maserasi dilakukan dengan cara merendam bahan alam
20

berwujud padat dan berbentuk serbuk ke dalam suatu pelarut


cair dalam periode waktu yang tertentu [41].
2. Prinsip Maserasi
Langkah kerja dari maserasi sangat mudah, hanya dengan
cara merendam bahan alam yang berbentuk padat di dalam
suatu wadah dengan menggunakan pelarut yang telah
ditentukan selama periode waktu tertentu. Metode maserasi
biasanya memakai pelarut non-air atau pelarut non-polar,
tetapi hal ini sangat bergantung kepada bahan yang akan
diesktrak.
Prinsip dari maserasi adalah pada saat bahan berbentuk
serbuk telah direndam dengan pelarut cair, maka pelarut cair
akan masuk ke dalam sel padat. Setelah pelarut mengikat zat
aktif yang akan diekstrak, maka pelarut akan memiliki
konsentrasi yang lebih tinggi daripada plearut yang ada di
luar sel. Hal ini akan membuat pelarut yang telah mengikat
zat aktif akan keluar dari sel. Hal ini terus berlanjut hingga
konsentrasi yang ada di dalam sel dan di luar sel sama atau
setimbang.
3. Beberapa Modifikasi dari Maserasi
a. Remaserasi
Remaserasi dapat dilakukan dengan cara
merendam bahan padat yang telah berbentuk serbuk ke
dalam sejumlah pelarut tententu. Setelah periode waktu
tertentu, campuran tersebut dipisahkan antara filtrat
dengan ampas. Ampas yang telah terpisah direndam
kembali dalam pelarut yang memiliki jumlah dan jenis
21

yang sama dengan proses maserasi yang pertama.


Keuntungan proses remaserasi adalah dapat mengambil
senyawa aktif yang ingin diekstrak lebih banyak
dibandingkan dengan maserasi sederhana yang dilakukan
satu kali. Hal ini dikarenakan setiap kali proses maserasi
pelarut dapat mengambil ekstrak sekitar 50%. Sehingga
pada saat ampas dimasukkan kembali ke dalam pelarut
yang sama, akan mengambil kandungan senyawa aktif
mencapai 50% dari yang tertinggal dalam padatan [41].

b. Maserasi dengan Pengadukan


Proses maserasi dilakukan dengan cara
merendam serbuk bahan ke dalam sejumlah pelarut dalam
waktu tertentu, tetapi campuran antara padatan dan
larutan tersebut mengalami pengadukan dalam periode
waktu yang tertentu. Maserasi dengan pengadukan
memiliki keuntungan yaitu dapat mempersingkat waktu
yang digunakan untuk merendam bahan di dalam pelarut.
Misalnya saja suatu bahan memerlukan waktu untuk
dimaserasi selama 24 jam, tetapi karena mengalami
modifikasi dengan cara pengadukan bahan yang akan
diesktrak hanya memerlukan waktu 12 jam untuk
dimaserasi [42].
22

4. Kelebihan dan Kekurangan Maserasi


Kelebihan dari ekstraksi dengan metode maserasi apabila
dibandingkan dengan ekstraksi metode lain disajikan pada
tabel II.2. berikut.

Tabel II.2. Kelebihan dan Kekurangan Proses Maserasi dibandingkan


dengan Metode Ekstraksi yang Lain
Maserasi Perkolasi Refluks Soxhletasi

Unit alat
sederhana Tidak jenuh Proses cepat Bahan yang
lunak
Biaya
rendah Volume
pelarut sedikit
Kelebihan Tanpa Difusi Bahan yang
pemanasan meningkat kasar
Pemanasan
dapat diatur
Energi yang
dibutuhkan
kecil

Proses tidak Volume Volume Terjadi


sempurna pelarut pelarut dekomposisi
banyak banyak pelarut

Kekurangan Senyawa aktif


Memerlukan Dapat terjadi Memerlukan dapat
waktu yang pencemaran manipulasi mengendap
lama mikroba operator
Membutuhkan
energi cukup
besar
23

II.3.3. Variabel Proses Maserasi


Pada ekstraksi, faktor-faktor yang harus diperhatikan karena dapat
mempengaruhi hasil ekstrak yang akan didapat [42] adalah:
a. Ukuran Partikel
Ukuran partikel yang kecil akan membuat luas permukaan
partikel menjadi besar, begitupun sebaliknya ukuran partikel
yang besar akan membuat luas permukaan partikel menjadi
kecil. Apabila luas permukaan partikel besar akan
memberikan hasil ekstrak yang lebih banyak, hal ini
dikarenakan luas kontak antara ekstrak dengan pelarut
semakin besar.
b. Zat Pelarut
Dalam memilih pelarut yang akan digunakan untuk
melakukan proses ekstraksi, salah satu hal yang harus
diperhatikan adalah sifat-sifat dari senyawa aktif yang ingin
diekstrak. Salah satu sifat yang paling penting adalah sifat
kepolaran yang dimiliki oleh senyawa aktif. Apabila senyawa
aktif yang akan diekstrak termasuk dalam senyawa polar maka
pelarut yang digunakan juga harus termasuk dalam senyawa
polar, sedangkan apabila senyawa aktif yang akan diekstrak
termasuk dalam senyawa non-polar maka pelarut yang
digunakan juga harus termasuk dalam senyawa non-polar.
c. Temperatur
Temperatur dapat memberikan pengaruh kepada hasil
ekstrak karena biasanya senyawa aktif memiliki kelarutan
yang meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur.
Tetapi temperatur yang terlalu tinggi dapat membuat senyawa
24

aktif menjadi terdekomposisi. Apabila temperatur terlalu


rendah dapat menyebabkan senyawa aktif tidak terekstrak
sempurna.
d. Pengadukan
Pada ekstraksi, apabila campuran diaduk akan membuat
kontak antara ekstrak dan pelarut menjadi semakin besar
sehingga perpindahan massa dari ekstrak ke pelarut juga akan
semakin besar.
e. Waktu
Pada maserasi, waktu memberikan pengaruh kepada hasil
ekstrak karena semakin lama waktu yang digunakan untuk
maserasi (perendaman) maka semakin banyak senyawa aktif
yang dapat mengalami perpindahan massa dari bahan padat ke
pelarut. Tetapi perpindahan senyawa aktif akan berhenti
apabila konsentrasi pelarut yang mengikat senyawa aktif di
dalam padatan setimbang dengan konsentrasi pelarut yang ada
di luar padatan.

Pemilihan pelarut umumnya didasarkan pada hal-hal


berikut:
1. Selektivitas
Pelarut yang digunakan untuk melakukan ekstraksi dapat
mengekstrak bahan yang ingin diperoleh, tetapi dalam
prakteknya pelarut juga mengikat bahan yang tidak
diinginkan. Oleh karena itu, dapat dilakukan proses isolasi
dengan cara mencampur hasil ekstrak dengan pelarut yang
lain.
25

2. Kelarutan
Bahan yang diekstrak harus memiliki kelarutan yang
besar dalam pelarut jenis tertentu. Keuntungan dari hal ini
adalah penggunaan jumlah pelarut yang sedikit.
3. Kemampuan tidak saling bercampur
Pada proses ekstraksi, bahan yang terekstrak tidak boleh
bercampur dengan pelarut yang digunakan.
4. Kerapatan
Pada proses ekstraksi, bahan yang terekstrak memiliki
beda kerapatan yang besar dengan pelarut yang akan
digunakan.
5. Reaktifitas
Pelarut harus memiliki reaktivitas yang kecil sehingga
tidak dapat menyebabkan perubahan struktur komponen bahan
yang akan diekstrak. Tetapi ada beberapa bahan yang harus
megalami reaksi kimia dengan pelarut agar dapat berwujud
cair.
6. Titik didih
Beda titik didih antara ekstrak dan plearut haruslah besar.
Hal ini dikarenakan apabila beda titik didih terlalu kecil akan
menyebabkan senyawa aktif yang diekstrak mengalami
penguapan.
7. Kriteria yang lain :
a. Murah
b. Tersedia dalam jumlah besar
c. Tidak beracun
d. Tidak dapat terbakar
26

e. Tidak eksplosif bila bercampur dengan udara


f. Tidak korosif
g. Tidak menyebabkan terbentuknya emulsi
h. Memilliki viskositas yang rendah
i. Stabil secara kimia dan termis.
Jenis pelarut yang sering digunakan dalam ekstraksi
adalah air, asam-asam organik dan anorganik, hidrokarbon
jenuh, toluen, karbon disulfit, eter, aseton, hidrokarbon yang
mengandung khlor, isopropanol, etanol [42].
Untuk mendapatkan senyawa tanin, ekstraksi dapat
dilakukan dengan menggunakan pelarut polar yaitu air, aseton
dan metanol [29]. Metanol merupakan pelarut yang terbaik
apabila dibandingkan dengan aseton dan air. Hal ini
dikarenakan metanol dapat mengikat tanin terhidrolisis dengan
baik. Pelarut lain yang dapat digunakan adalah etil asetat, etil
asetat memiliki kemampuan untuk mengisolasi senyawa tanin
[21].

II.4 Kaolin
Kaolin merupakan salah satu jenis tanah lempung (clay) yang
tersusun dari mineral lempung dengan kandungan besi yang rendah, dan
umumnya berwarna putih. Kaolin mempunyai komposisi hidrous
alumunium silikat (2H2O.Al2O3.2SiO2) dengan disertai beberapa mineral
[58].
Proses pembentukan kaolin (kaolinisasi) dapat terjadi melalui proses
pelapukan dan proses hidrothermal alterasi pada batuan beku felspartik,
mineral-mineral potas alumunium silka dan feldspar diubah menjadi kaolin.
27

Proses kaolinisasi berlangsung pada kondisi tertentu, sehingga elemen-


elemen selain silika, alumunium, oksigen dan hidrogen akan mengalami
pertukaran, seperti pada reaksi berikut [58]:
2KAlSi3O8 + 2H2O  Al2(OH)4(Si2O5) + K2O + 4SiO2
Kaolinit Felspar
Proses pelapukan terjadi dekat dengan permukaan tanah yang
sebagian besar terjadi pada batuan beku. Sementara proses alterasi
hidrothermal terjadi karena larutan hidrothermal mengalir melalui rekaan,
patahan, dan daerah permeabel lainnya sambil mengubah batuan gamping
menjadi endapan kaolin. Endapan kaolin dibedakan menjadi dua macam,
yaitu residual dan sendimen. Di Indonesia banyak terdapat endapan kaolin
residual. [58]
Sifat fisik mineral kaolinit antara lain berwarna putih atau agak
keputihan, tingkat kekerasannya 2-2,5 skala mohs, berat jenis 2,60 – 2,63,
plastis, memiliki pH yang bervariasi, daya hantar panas dan listrik yang
rendah. [58]

II.5. Parameter Kualitas Air


Kualitas air dapat dilihat dari beberapa parameter yang terdapat di
bawah ini:
1) Nilai pH, Keasaman, dan Alkalinitas
pH merupakan suatu ukuran yang menunjukkan derajat
asam-basa dari suatu cairan. pH dapat dilihat melalui konsentrasi
ion hidrogen yang dikandung oleh zat cair. Ion hidrogen
memegang peranan yang cukup penting sehingga dapat
mempengaruhi aktifitas manusia, binatang, mikroorganisme dan
28

proses-proses kimia yang terjadi di dalam air, namun tidak di


dalam pelarut organik [49].
2) Turbidity
Turbidity (kekeruhan) merupakan suatu ukuran pada saat
cahaya tidak dapat menembus air. Pada saat cahaya semakin
sedikit yang diteruskan lewat air, maka berarti nilai turbidity air
tersebut besar. Begitupun sebaliknya, semakin banyak cahaya yang
dapat diteruskan melalui air maka nilai turbidity semakin kecil. Hal
ini dapat diukur dengan metode nefelometri yang memiliki satuan
berupa NTU (Nefelometric Turbidity Units) [49].

II.6. Koagulasi dan Flokulasi


II.6.1. Koagulasi
Koloid berasal dari bahasa Yunani “colla” yang memiliki arti
lengket atau lem. Koloid merupakan partikel yang tidak dapat mengendap
secara alami, tetapi membentuk lapisan film. Hal ini dikarenakan partikel-
partikel memiliki muatan yang sama sehingga terjadi gaya tolak-menolak
antar partikel yang menyebabkan partikel menjadi sukar menggumpal.
Apabila dalam suatu sistem koloid dilakukan penambahan suatu
koagulan yang memiliki muatan yang berbeda dengan partikel koloid, akan
membuat adanya gaya tarik-menarik antar partikel koloid dengan partikel
koagulan sehingga dapat membentuk gumpalan [50].
Koagulasi merupakan proses yang terjadi karena adanya
penambahan suatu bahan koagulan sitentik maupun alami ke dalam air yang
menyebabkan partikel-partikel yang ada di dalam air dapat menggumpal
menjadi satu kemudian berubah menjadi endapan. Kemudian air dan
29

endapan dapat dipisahkan dengan cara sedimentasi [51]. Gambar proses


koagulasi disajikan pada Gambar II.4.
Beberapa koagulan alami yang telah ditemukan dari hasil
penelitian, seperti Enrico [4] meneliti biji asam jawa, Kristianto [18]
meneliti daun belimbing wuluh, Prihatiningtyas [52] meneliti tepung jagung
dan Yuliastri [53] meneliti biji kelor sebagai koagulan alami.

Gambar II.4. Proses Koagulasi [51]

Proses koagulasi dibagi ke dalam dua tahap yaitu secara fisika dan
secara kimia:
1. Secara Fisika
Koagulasi secara fisis dapat terjadi, seperti:
a. Pemanasan
Kenaikan suhu pada sistem koloid menyebabkan
tumbukan antar partikel-partikel dengan molekul-molekul
air bertambah banyak. Hal ini melepaskan elektrolit yang
teradsorpsi pada permukaan koloid. Akibatnya, partikel
menjadi tidak bermuatan.
30

b. Pengadukan
Pengadukan menyebabkan sistem koloid bertumbukan
secara cepat dengan molekul-molekul air.
2. Secara Kimia
Sedangkan secara kimia seperti penambahan elektrolit,
pencampuran koloid dan penambahan zat koagulan. Ada beberapa
hal yang dapat menyebabkan koloid menjadi bermuatan netral,
antara lain:
a. Menggunakan Prinsip Elektroforesis
Proses elektroforesis adalah pergerakan partikel-partikel
koloid yang bermuatan ke elektrode dengan muatan yang
berlawanan. Ketika partikel tersebut mencapai elektrode,
maka sistem koloid akan kehilangan muatannya dan
bersifat netral.
b. Penambahan Koloid
Koloid bermuatan negatif akan menarik diri ke ion positif,
sedangkan koloid bermuatan positif akan menarik diri ke
ion negatif. Ion-ion tersebut akan membentuk selubung
lapisan kedua. Apabila selubung lapisan kedua itu terlalu
dekat maka selubung itu akan menetralkan muatan koloid
sehingga terjadi koagulasi. Makin besar muatan ion makin
kuat daya tariknya dengan partikel koloid, sehingga
makin cepat terjadi koagulasi. [59]
c. Penambahan Elektrolit
Jika suatu leektrolit ditambahkan pada sistem koloid,
maka partikel koloid yang bermuatan negatif akan
mengadsorpsi koloid dengan muatan positif dari
31

elektrolit. Begitu juga sebaliknya, partikel positif akan


mengadsorpsi partikel negatif. Dari proses adsorpsi maka
terjadilah koagulasi.

II.6.2. Flokulasi
Flokulasi adalah suatu proses aglomerasi (penggumpalan) partikel-
partikel terdestabilisasi menjadi flok dengan ukuran yang memungkinkan
dapat dipisahkan oleh sedimentasi dan filtrasi.
Proses flokulasi dalam pengolahan air bertujuan untuk
mempercepat proses penggabungan flok-flok yang telah terjadi pada proses
koagulasi. Partikel-partikel yang telah distabilkan selanjutnya saling
bertumbukan serta melakukan proses tarik-menarik dan membentuk flok
yang ukurannya makin lama makin besar serta mudah mengendap. Gradien
kecepatan merupakan faktor penting dalam desain bak flokulasi. Jika nilai
gradien terlalu besar maka gaya geser yang timbul akan mencegah
pembentukan flok, sebaliknya jika nilai gradient terlalu rendah/tidak
memadai maka proses penggabungan antar partikulat tidak akan terjadi dan
flok besar serta mudah mengendap akan sulit dihasilkan.
Untuk mendapatkan flok yang besar dan mudah mengendap maka bak
flokulasi dibagi atas tiga kompartemen, dimana pada kompertemen pertama
terjadi proses pendewasaan flok, pada kompartemen kedua terjadi
proses penggabungan flok, dan pada kompartemen ketiga terjadi pemadatan
flok. Pengadukan lambat (agitasi) pada proses flokulasi dapat dilakukan
dengan metoda yang sama dengan pengadukan cepat pada proses
koagulasi, perbedaannya terletak pada nilai gradien kecepatan di mana pada
proses flokulasi nilai gradien jauh lebih kecil dibanding gradien kecepatan
koagulasi. Proses flokulasi disajikan pada Gambar II.5. berikut.
32

Gambar II.5. Flokulasi (Slow Mixing)


BAB III
METODE PENELITIAN

III.1. Rancangan Penelitian


Penelitian pengambilan crude tanin dari buah maja sebagai bio-
coagulant ini bertujuan untuk mendapatkan pelarut terbaik serta
mempelajari pengaruh (jumlah siklus x waktu) maserasi dan rasio bahan
baku dengan pelarut (b/v) terhadap rendemen tanin. Selanjutnya, tanin
dengan rendemen tertinggi digunakan sebagai koagulan untuk penjernihan
air limbah sintetis. Analisa kualitas air limbah yang dipelajari meliputi
%penurunan kekeruhan dan perubahan pH.
Pada penelitian ini digunakan dua perlakuan bahan baku untuk
proses maserasi. Pada maserasi pertama menggunakan isi dan kulit buah
maja yang telah dikeringkan. Pada maserasi kedua menggunakan buah maja
yang tidak dikeringkan. Ada dua pertimbangan digunakannya bahan baku
yang fresh. Pertimbangan pertama adalah pengeringan bahan baku
membutuhkan waktu yang relatif lama yaitu 2 minggu, sedangkan
pertimbangan kedua adalah air yang terkandung di dalam bahan baku tidak
menganggu proses transfer massa dikarenakan pelarut dan air sama-sama
bersifat polar. Meskipun kedua jenis bahan baku berbeda tetapi prinsip
maserasi yang digunakan sama, yaitu dilakukan persiapan bahan baku
meliputi proses pemotongan, pengecilan ukuran, dan analisa bahan baku.
Selanjutnya, bahan baku direndam ke dalam pelarut dan dilakukan
pengadukan. Setelah proses maserasi selesai, crude tanin dan pelarut
dipisahkan menggunakan rotary evaporator lalu diuji secara kualitatif dan
kuantitatif. Rendemen tanin dari kulit maja fresh yang tertinggi digunakan
sebagai koagulan pada air limbah sintetis. Pada proses koagulasi dilakukan
pengadukan cepat selama 1 menit (100 rpm), pengadukan lambat selama 15

33
34

menit (30 rpm), dan diendapkan selama 30 menit. Dilakukan analisa


kekeruhan dan pH pada air limbah setelah ditambahkan crude tanin untuk
dibandingkan dengan air limbah awal.

Gambar III.1. Skema Proses Maserasi


35

Gambar III.2. Skema Proses Koagulasi

III.2. Variabel Penelitian


III.2.1. Variabel Tetap
III.2.1.1. Variabel Tetap pada Isi dan Kulit Buah Maja Kering
Tahap Maserasi
a. Massa serbuk maja untuk setiap percobaan = 30 gram
Pemilihan ini dikarenakan apabila massa serbuk maja lebih
sedikit maka ekstrak tanin yang didapat terlalu sedikit untuk
digunakan dalam analisa. Apabila massa serbuk lebih banyak
maka kebutuhan pelarut untuk maserasi juga lebih banyak.
36

b. Rasio massa serbuk maja : volume pelarut = 1:5


Berdasarkan percobaan didapatkan bahwa serbuk maja
terendam sepenuhnya ke dalam pelarut dengan rasio
perbandingan massa serbuk maja : volume pelarut sebesar
sebesar 1:5. Pemilihan ini juga mengacu pada penelitian
Irianty [54] tentang pengaruh perbandingan pelarut terhadap
rendemen ekstrak daun sirsak. Dari penelitian tersebut
didapatkan bahwa semakin besar perbandingan pelarut maka
rendemen ekstrak yang didapat semakin besar. Rendemen
tertinggi diperoleh dari perbandingan bahan dengan pelarut
1:3 yaitu sebesar 32,46%.
c. Ukuran serbuk buah maja = -12/+14 mesh
Pada buah maja yang kering dipilih ukuran -12/+14 mesh
karena fraksi ini merupakan fraksi yang terbanyak setelah
dilakukan pengayakan.
d. Suhu maserasi pada suhu ruangan (±30 )

Suhu ruangan dipilih untuk memudahkan proses maserasi dan


menurut penelitian Senja [55], maserasi pada suhu ruangan
merupakan cara yang efektif dan sederhana untuk
menghasilkan ekstrak tanin.
e. Kecepatan pengadukan pada awal maserasi = 700 rpm
Berdasarkan percobaan pendahuluan, serbuk maja dapat
bercampur dengan baik pada kecepatan pengadukan 700 rpm.
37

III.2.1.2. Variabel Tetap pada Kulit Maja Fresh


1. Tahap Maserasi
a. Massa kulit maja fresh untuk setiap percobaan = 6 gram (berat
kering).
Pemilihan ini dikarenakan apabila massa kulit maja lebih
sedikit maka ekstrak tanin yang didapat terlalu sedikit untuk
digunakan dalam analisa. Apabila massa serbuk lebih banyak
maka kebutuhan pelarut untuk maserasi juga lebih banyak.
b. Ukuran kulit maja fresh = fraksi terbanyak
Pada kulit maja fresh dipilih fraksi yang terbanyak setelah
dilakukan pengecilan ukuran. Hal ini karena kulit maja fresh
memiliki kadar air tinggi sehingga sulit dilakukan proses
pengayakan.
c. Suhu maserasi pada suhu ruangan (±30 )

Suhu ruangan dipilih untuk memudahkan proses maserasi dan


menurut penelitian Senja [55], maserasi pada suhu ruangan
merupakan cara yang efektif dan sederhana untuk
menghasilkan ekstrak tanin.
d. Kecepatan pengadukan pada awal maserasi = 700 rpm
Berdasarkan percobaan pendahuluan, kulit maja dapat
bercampur dengan baik pada kecepatan pengadukan 700 rpm.

2. Tahap Koagulasi
a. Volume air limbah sintetis untuk setiap percobaan = 50 mL
Pemilihan ini mengacu pada penelitian Kristianto [19] yang
menggunakan sampel air limbah sebanyak 50 mL untuk
proses koagulasi menggunakan koagulan tanin.
38

b. Ukuran kaolin = -200/+325 mesh


Pada kaolin dipilih ukuran serbuk -200/+325 mesh karena
fraksi ini merupakan fraksi yang terbanyak setelah dilakukan
pengayakan.
c. Kecepatan pengadukan pada saat awal koagulasi = 100 rpm
selama 1 menit dan 30 rpm selama 15 menit
Pemilihan tersebut mengacu pada penelitian Kristianto [19]
yang melakukan proses pengolahan air menggunakan tanin
dari daun belimbing wuluh sebagai koagulan. Proses koagulasi
dilakukan pada kondisi pengadukan 100 rpm selama 1 menit
dan 30 rpm selama 15 menit, lalu didiamkan selama 30 menit
agar partikel-partikel dalam air mengendap.
d. Suhu koagulasi pada suhu ruangan (±30 )

Suhu ruangan dipilih karena pada proses koagulasi tidak perlu


dilakukan pemanasan.
e. Kekeruhan air limbah sintetis = ±70 NTU
Pemilihan ini didasarkan pada percobaan pendahuluan dimana
larutan kaolin 0,5% yang dibuat memiliki kekeruhan ±70
NTU

III.2.2. Variabel Berubah


III.2.2.1. Variabel Berubah Isi dan Kulit Buah Maja Kering
Tahap Maserasi
1. Jenis pelarut = etanol, aseton, dan aquades
Pemilihan jenis pelarut tersebut didasarkan pada polaritas
senyawa tanin. Tanin merupakan senyawa yang memiliki
gugus fenol sehingga bersifat polar dan dapat larut dalam
39

pelarut polar [28]. Ekstraksi tanin dapat dilakukan dengan


beberapa pelarut polar seperti air, aseton dan etanol [30].
2. Jumlah siklus x waktu maserasi = 1x48 jam, 1x24 jam, 2x24
jam, 2x12 jam, 3x16 jam, dan 3x8 jam
Berdasarkan penelitian Racmat [56] yang melakukan uji
fitokimia dan aktivitas antioksidan ekstrak jantung pisang batu
(Musa balbisiana Colla), didapatkan bahwa metode maserasi
bertingkat akan memaksimalkan ekstraksi senyawa aktif
dalam sampel. Kondisi optimum maserasi bertingkat pada
penelitian tersebut adalah 3x12 jam yang menghasilkan
rendemen tanin sebesar 1,19%.

III.2.2.2. Variabel Berubah Kulit Buah Maja Fresh


1. Tahap Maserasi
a. Rasio massa kulit maja : pelarut (b/v) = 1:25; 1:30
Berdasarkan percobaan didapatkan bahwa kulit maja
terendam sepenuhnya ke dalam pelarut dengan rasio
perbandingan massa kulit maja : volume pelarut sebesar
sebesar 1:25 dan 1:30. Pemilihan tersebut juga mengacu
pada penelitian Irianty [54] tentang pengaruh
perbandingan pelarut terhadap rendemen ekstrak daun
sirsak. Dari penelitian ini didapatkan bahwa semakin
besar perbandingan pelarut maka rendemen ekstrak yang
didapat semakin besar. Rendemen tertinggi diperoleh
dari perbandingan bahan dengan pelarut 1:3 yaitu
sebesar 32,46%.
b. Jumlah siklus x waktu maserasi = 1x48 jam, 1x24 jam,
2x24 jam, 2x12 jam, 3x16 jam, dan 3x8 jam
40

Berdasarkan penelitian Racmat [56] yang melakukan uji


fitokimia dan aktivitas antioksidan ekstrak jantung
pisang batu (Musa balbisiana Colla), didapatkan bahwa
metode maserasi bertingkat akan memaksimalkan
ekstraksi senyawa aktif dalam sampel. Kondisi optimum
maserasi bertingkat pada penelitian tersebut adalah 3x12
jam yang menghasilkan rendemen tanin sebesar 1,19%.

2. Tahap Koagulasi
Konsentrasi tanin = 750, 1000, 1250, 1500, dan 1750
mg/L
Pemilihan tersebut mengacu pada penelitian Kristianto
[19] yang melakukan proses pengolahan air limbah
menggunakan tanin dari daun belimbing wuluh dengan
konsentrasi 200, 500, 750, 1000, 1250, 1500, dan 1750
mg/L. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa pada
konsentrasi 1500 mg/L, terjadi penurunan kekeruhan
dari 25,23 NTU menjadi 20,40 NTU serta perubahan pH
dari 6,26 menjadi 7,47.

III.3. Bahan
1. Buah maja diperoleh dari Jalan Mojo Klanggru, Surabaya
2. Kaolin (Al2O3.2H2O.2SiO2 , BM = 261,96 g/mol)
3. Etanol (C2H5OH, BM = 46,07 g/mol, kadar = 96% , ρ = 0,7985
g/mL)
4. Aseton (CH3COCH3, BM = 58,08 g/mol, ρ = 0,7989 g/mL)
5. Aquades (H2O, BM = 18,02 g/mol)
41

6. Kalium permanganat (KMnO4, BM = 158,04 g/mol, Merck,


Germany)
7. Asam Oksalat (H2C2O4.2H2O, BM = 126,07 g/mol; Merck,
Germany)
8. Asam sulfat (H2SO4, BM = 98,08 g/mol, kadar = 96%, ρ = 1,84
g/mL; Merck, Germany)
9. Indicator indigo carmine (C16H8N2Na2O8S2, trayek pH =11,5 - 14;
tidak bewarna – kuning)
10. Besi (III) Klorida (FeCl3, BM = 162,5 g/mol)
11. Glass wool
12. Kertas saring

III.4. Alat
1. Rotary evaporator (Buchi RE 121, dengan labu Schoot duran 1000
mL)
2. Desikator (Glaswerk)
3. Neraca analitik (Satorius Basic)
4. Neraca kasar (Precisa 3000 D)
5. pH meter (Mettler Toledo)
6. Turbidimeter (Lamotte 2008)
7. Oven (Memmert)
8. Blender (Panasonic MX-J210PN)
9. Furnace (Thermolyne Furnace)
10. Cawan porselen
11. Alat-alat gelas
12. Moisture analyzer (MB35 Halogen)
13. Centrifuge (Hettich EBA 21)
14. Sieve shaker (Retsch AS 200)
42

15. Stirrer
16. Magnetic Stirrer (Labinco L-81)

III.5. Prosedur Penelitian


III.5.1. Persiapan Bahan Baku
III.5.1.1. Persiapan Bahan Baku Kulit dan Isi Buah Maja Kering
1. Buah maja yang masih muda dipotong kecil-kecil lalu dikeringkan
dibawah sinar matahari agar diperoleh kadar air kurang dari 10%.
2. Daging dan biji maja yang telah kering dihancurkan dengan
blender, sedangkan kulit maja dihancurkan dengan penggiling
daging hingga menjadi serbuk. Kemudian serbuk diayak
menggunakan sieve shaker dengan ketentuan lolos saringan
berukuran 12 mesh dan tertahan pada saringan berukuran 14 mesh.
3. Melakukan analisa bahan baku berupa kadar air dan kadar abu pada
serbuk maja.
4. Menimbang sebanyak 30 gram serbuk maja untuk setiap percobaan
dan dimasukkan ke dalam kantong plastik tertutup untuk
penyimpanan.

III.5.1.2. Persiapan Bahan Baku Kulit Maja Fresh


1. Buah maja yang masih muda dikupas kulitnya, kemudian pada
bagian kulit dipotong kecil-kecil dan dihaluskan dengan blender
hingga didapatkan fraksi terbanyak.
2. Menimbang sebanyak 6 gram (berat kering) kulit maja untuk setiap
percobaan.
3. Melakukan analisa bahan baku berupa kadar air dan kadar abu pada
kulit maja.
43

III.5.2. Proses Maserasi


III.5.2.1. Maserasi dengan Kulit dan Isi Buah Maja Kering
1. Serbuk maja yang telah ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam
beaker glass 500 mL.
2. Menambahkan pelarut dengan rasio perbandingan 1:5 ke dalam
beaker glass tersebut, kemudian dilakukan pengadukan awal dan
didiamkan agar terjadi proses maserasi.
3. Setelah waktu tertentu, dilakukan pemisahan antara filtrat dan
padatan menggunakan penyaring, kemudian padatan yang tidak
dapat disaring dipisahkan dengan alat centrifuge pada kecepatan
5000 rpm selama 5 menit.
4. Padatan tersebut dimaserasi lagi menggunakan jenis dan volume
pelarut yang sama, serta perlakuan yang sama seperti tahapan
nomor 2-3.
5. Filtrat yang diperoleh dari hasil pemisahan kemudian disatukan dan
diuapkan menggunakan rotary evaporator hingga tidak ada pelarut
yang menetes pada kondensor. Berikut adalah kondisi operasi
rotary evaporator pada tiap pelarut:
 Etanol : Suhu = 65 , Tekanan = 0,2 bar
 Aseton : Suhu = 60 , Tekanan = 1 bar
 Aquades : Suhu = 70 , Tekanan = 0,2 bar
6. Menimbang filtrat tanin tersebut dengan neraca analitis sebagai
crude tanin.
7. Tahapan nomor 1-6 diulangi kembali dengan variasi jenis pelarut
(etanol, aseton, dan aquades), dan (jumlah siklus x waktu) maserasi
(1x48 jam, 1x24 jam, 2x24 jam, 2x12 jam, 3x16 jam, dan 3x8 jam).
8. Melakukan analisa crude tanin secara kualitatif dan kuantitatif.
44

III.5.2.2. Maserasi dengan Kulit Buah Maja Fresh


1. Kulit maja yang telah ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam
beaker glass 500 mL.
2. Menambahkan pelarut dengan perbandingan 1:25 ke dalam beaker
glass tersebut, kemudian dilakukan pengadukan awal dan
didiamkan agar terjadi proses maserasi.
3. Setelah waktu tertentu, dilakukan pemisahan antara filtrat dan
padatan menggunakan penyaring, kemudian padatan yang tidak
dapat disaring dipisahkan dengan alat centrifuge pada kecepatan
5000 rpm selama 5 menit.
4. Padatan tersebut dimaserasi lagi menggunakan jenis dan volume
pelarut yang sama, serta perlakuan yang sama seperti tahapan
nomor 2-3.
5. Filtrat yang diperoleh dari hasil pemisahan kemudian disatukan dan
diuapkan menggunakan rotary evaporator hingga tidak ada pelarut
yang menetes pada kondensor. Berikut adalah kondisi operasi
rotary evaporator pada pelarut:
 Etanol : Suhu = 65 , Tekanan = 0,2 bar
6. Menimbang filtrat tanin tersebut dengan neraca analitis sebagai
crude tanin.
7. Tahapan nomor 1-6 diulangi kembali dengan variasi perbandingan
massa kulit maja : volume pelarut sebesar 1:30 dan (jumlah siklus x
waktu) maserasi (1x48 jam, 1x24 jam, 2x24 jam, 2x12 jam, 3x16
jam, dan 3x8 jam).
8. Melakukan analisa crude tanin secara kualitatif dan kuantitatif.
45

III.5.3. Aplikasi Tanin sebagai Bio-Coagulant


1. Air limbah sintetis dibuat dengan memasukkan kaolin sebanyak 5
gram ke dalam beaker glass, kemudian ditambahkan aquades
hingga 1000 mL.
2. Larutan kaolin diaduk dengan kecepatan 100 rpm selama 20 menit
menggunakan stirrer dan didiamkan selama 24 jam.
3. Diambil endapan kaolin pada bagian dasar beaker glass lalu
dimasukkan ke beaker glass dan ditambahkan aquades hingga 600
mL.
4. Larutan kaolin diaduk dengan kecepatan 100 rpm selama 20 menit
hingga homogen lalu didiamkan 2 jam sehingga terpisah antara
endapan dan suspensi.
5. Memipet cairan bagian atas air limbah sintetis (suspended solid)
lalu dimasukkan ke dalam beaker glass sebanyak 50 ml.
6. Kemudian dilakukan analisa air limbah sebelum proses koagulasi
meliputi pH dan kekeruhan.
7. Crude tanin dengan rendemen tertinggi ditambahkan ke dalam
sampel air limbah sebanyak 50 ml dengan variasi konsentrasi 750,
1000, 1250, 1500, dan 1750 mg/L.
8. Proses koagulasi dilakukan dengan pengadukan cepat (100 rpm
selama 1 menit), dilanjutkan dengan pengadukan lambat (30 rpm
selama 15 menit), dan diendapkan selama 30 menit.
9. Melakukan analisa kualitas air limbah meliputi pH dan kekeruhan
setelah proses koagulasi.
10. Mengulangi langkah nomor 5-9 sebanyak dua kali.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.1. Penentuan Pelarut Terbaik


Percobaan ini dilakukan dengan metode maserasi menggunakan
bahan baku kulit dan isi buah maja kering. Tujuan dari percobaan ini adalah
untuk mendapatkan pelarut terbaik, yaitu yang menghasilkan rendemen
tanin tertinggi. Tingginya nilai rendemen tanin menandakan banyaknya
kandungan tanin dalam ekstrak. Nilai rendemen tanin dipengaruhi oleh
kondisi pada proses maserasinya, terutama jenis pelarut dan ( jumlah siklus
x waktu) maserasi. Hasil perhitungan rendemen tanin dari kulit dan daging
buah maja kering dapat dilihat pada Tabel IV.1. dan Gambar IV.1. berikut.

Tabel IV.1. Pengaruh Jenis Pelarut dan (Jumlah Siklus x Waktu)


Maserasi terhadap Rendemen Tanin dari Buah Maja Kering
Rendemen Tanin (%)

Pelarut Etanol Aquades Aseton


Jumlah Siklus x
Waktu Maserasi
1 x 24 jam 0,13 0,12 0,03
2 x 12 jam 0,31 0,17 0,05
3 x 8 jam 0,35 0,24 0,09
1 x 48 jam 0,19 0,25 0,04
2 x 24 jam 0,28 0,36 0,07
3 x 16 jam 0,67 0,42 0,11

46
47

Gambar IV.1. Pengaruh Jenis Pelarut dan (Jumlah Siklus x Waktu)


Maserasi terhadap Rendemen Tanin dari Buah Maja Kering

Dari Tabel IV.1. dan Gambar IV.1. dapat dilihat bahwa rendemen
tanin dengan pelarut etanol mempunyai nilai yang lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan pelarut aquades dan aseton pada hampir semua variasi
jumlah siklus x waktu maserasi. Rendemen tanin tertinggi diperoleh dari
hasil maserasi dengan etanol selama 3x16 jam, yaitu sebesar 0,67%. Oleh
sebab itu, dapat disimpulkan bahwa etanol merupakan pelarut terbaik untuk
mengekstrak tanin dari buah maja. Hal ini kemungkinan dikarenakan nilai
konstanta dielektrik etanol cenderung mendekati konstanta dielektrik tanin.
Harga konstanta dielektrik menunjukkan kepolaran suatu senyawa (harga
konstanta dielektrik etanol yaitu 24,6; Harga konstanta dielektrik air yaitu
81; dan harga konstanta dielektrik aseton yaitu 21). Apabila senyawa yang
48

diekstrak yaitu tanin memiliki polaritas yang mendekati polaritas pelarut


etanol maka semakin banyak hasil ekstrak yang diperoleh.
Dari data rendemen diatas terlihat bahwa nilai rendemen tanin
relatif kecil, yaitu hanya berkisar antara 0,03% sampai 0,67%. Rendemen
yang kecil tersebut kemungkinan disebabkan karena pada saat dikeringkan,
kandungan karbohidrat dalam buah maja mengalami proses hidrolisa
menjadi glukosa sehingga terjadi pematangan alami pada buah. Hal ini
diperkuat dengan hasil pengamatan crude tanin dari buah maja kering yang
memiliki bau seperti karamel. Buah maja memiliki rasa pahit dan sepat
dikarenakan adanya kandungan tanin yang terdapat pada buah yang masih
muda, apabila buah telah matang, maka kandungan tanin dalam buah maja
menjadi berkurang [8].
Untuk membuktikan hipotesa bahwa rendemen tanin yang sedikit
disebabkan oleh pengeringan buah maja, maka dilakukan uji glukosa
menggunakan crude tanin dari buah maja kering dan buah maja fresh. Uji
kualitatif glukosa dilakukan dengan larutan Fehling dan uji kuantitatif
glukosa dilakukan dengan refraktometer. Hasil pengujian kualitatif pada
crude tanin dari buah maja kering disajikan pada Gambar IV.2., sedangkan
hasil uji kuantitatif crude tanin dari buah maja kering disajikan pada Tabel
IV.2. berikut.
49

.
(a) (b)
Gambar IV.2. Uji Kualitatif Crude Tanin dari Buah Maja Kering (a)
Sebelum Penambahan Reagen Fehling (b) Sesudah Penambahan
Reagen Fehling

Tabel IV.2. Hasil Uji Kuantitatif Crude Tanin dari Buah Maja Kering
No. Sampel Kandungan Glukosa
(%brix, mass of sucrose)
1. Etanol, 2x24 jam 1
2. Aquades, 2x24 jam 1,1
3. Aseton, 2x24 jam 0,9

Gambar IV.2. menunjukkan bahwa crude tanin dari buah maja


kering pada setiap pelarut memiliki endapan merah bata yang menandakan
positif mengandung glukosa. Kemudian setelah dilakukan uji kuantitatif
pada crude tanin tersebut didapatkan kandungan glukosa berkisar antara 0,9
- 1,1 %brix. Selanjutnya, dilakukan uji kualitatif kandungan glukosa pada
crude tanin dari buah maja fresh yang disajikan pada Gambar IV.3. berikut.
50

(a) (b)
Gambar IV.3. Uji Kualitatif Crude Tanin dari Buah Maja Fresh (a)
Sebelum Penambahan Reagen Fehling (b) Sesudah Penambahan
Reagen Fehling

Berdasarkan Gambar IV.3., pada crude tanin dari buah maja fresh
positif mengandung glukosa. Kemudian dilakukan uji glukosa secara
kuantitatif dan didapatkan kandungan glukosa sebesar 0,3% brix. Hal ini
menunjukkan bahwa kandungan glukosa pada buah maja fresh lebih sedikit
dibandingkan pada buah maja kering.
Ketika buah maja dikeringkan selama 2 minggu, terjadi kontak
antara buah maja dengan udara luar dan menyebabkan buah mengalami
pematangan secara alami. Buah maja tergolong jenis climacteric, yang
mana akan terus melakukan proses pematangan buah walaupun sudah
dipetik dari pohon. Selama proses pematangan ini, terdapat kegiatan
hidrolisa substrat oleh enzim-enzim yang ada didalamnya. Proses ini
ditandai dengan perubahan warna daging buah dari putih menjadi
kecokelatan, munculnya aroma harum, dan tingginya kandungan glukosa
51

pada buah. Adanya proses hidrolisa pada pati akan memecah pati menjadi
glukosa oleh enzim amilase sehingga akan meningkatkan kadar glukosa
pada buah. Kemudian senyawa asam organik seperti tanin akan dihidrolisa
menjadi senyawa bersifat netral oleh enzim kinase. Akibatnya, seiring
dengan meningkatnya kematangan buah maka kandungan glukosa dalam
buah maja kering bertambah sedangkan kandungan tanin menjadi berkurang.
Berikut adalah reaksi pembentukan glukosa dari hidrolisis karbohidrat
dalam buah maja.
enzim
(C6H10O5)n + nH2O nC6H12O6

IV.2. Pengaruh Rasio Pelarut dan (Jumlah Siklus x Waktu) Maserasi


terhadap Rendeman Tanin dari Kulit Maja Fresh
Setelah didapatkan pelarut terbaik yaitu etanol, percobaan maserasi
dilanjutkan dengan menggunakan buah maja fresh. Terdapat dua
pertimbangan yang mendasari hal tersebut. Yang pertama adalah proses
pengeringan bahan baku yang relatif lama mencapai 2 minggu dan yang
kedua adalah kandungan air di dalam buah maja tidak menganggu proses
transfer massa dikarenakan air dan pelarut sama-sama bersifat polar. Pada
tahap ini tidak digunakan daging maja dikarenakan pada percobaan analisa
didapatkan kadar tanin dalam daging maja tidak memberikan nilai
signifikan dibandingkan dengan kadar tanin di dalam kulit. Percobaan
maserasi ini dilakukan dengan variasi (jumlah siklus x waktu) dan rasio
pelarut etanol untuk mendapatkan rendemen tertinggi. Hasil perhitungan
rendemen tanin dari kulit maja fresh dengan variasi rasio pelarut dan
(jumlah siklus x waktu) maserasi disajikan pada Tabel IV.3. dan Gambar
IV.4. berikut.
52

Tabel IV.3. Pengaruh Rasio Pelarut dan (Jumlah Siklus x Waktu)


Maserasi terhadap Rendemen Tanin dari Kulit Fresh
Rendemen Tanin (%)
Rasio Kulit Maja :
Etanol (b/v) 1:25 1:30
Jumlah Siklus x
Waktu Maserasi
1 x 24 jam 0,22 0,39
2 x 12 jam 0,42 0,80
3 x 8 jam 0,87 1,05
1 x 48 jam 0,35 0,58
2 x 24 jam 0,43 0,92
3 x 16 jam 1,03 1,10

Gambar IV.4. Pengaruh Rasio Pelarut dan (Jumlah Siklus x Waktu)


Maserasi terhadap Rendemen Tanin dari Kulit Fresh

Dari Tabel IV.3. dan Gambar IV.4., rendemen tanin tertinggi


diperoleh dari maserasi dengan rasio kulit maja : etanol (b/v) 1:30 selama
3x16 jam, yaitu sebesar 1,1%. Berdasarkan penelitian Chavda [1],
53

kandungan tanin pada kulit maja mencapai 20%. Rendemen tanin yang
didapatkan dari penelitian ini lebih kecil dibandingkan penelitian Chavda
sehingga dilakukan ekstraksi tanin dengan metode soxhlet. Ekstraksi
dengan metode soxhlet dapat mengambil semua kandungan tanin dalam
buah maja sehingga dapat mengetahui rendemen tanin dari bahan baku yang
digunakan dalam penelitian ini. Rendemen tanin yang didapatkan dari hasil
ekstraksi kulit maja fresh tersebut sebesar 2,9%.
Dari hasil percobaan maserasi, didapatkan bahwa kenaikan waktu
maserasi akan meningkatkan rendemen tanin, misalnya pada waktu 1x48
jam memiliki rendemen tanin yang lebih tinggi dari 1x24 jam. Kemudian
pada waktu maserasi yang sama, semakin besar siklus maserasi maka
rendemen tanin juga lebih besar dikarenakan penggantian pelarut baru akan
meningkatkan pengikatan senyawa tanin oleh pelarut tersebut. Misalnya,
pada waktu maserasi 3x16 jam memiliki rendemen tanin yang lebih tinggi
dari 1x48 jam pada setiap rasio pelarut.
Pada percobaan ini, rasio kulit maja : etanol (b/v) 1:30
memberikan nilai rendemen yang lebih besar dibandingkan rasio kulit
maja : etanol (b/v) 1:25 pada semua waktu maserasi. Hal ini disebabkan
semakin besar rasio pelarut pada proses maserasi maka tanin yang
terekstrak juga semakin banyak. Tetapi apabila telah terjadi kesetimbangan
antara konsentrasi pelarut yang mengikat senyawa aktif di dalam padatan
dengan konsentrasi pelarut yang ada di luar padatan maka proses transfer
massa akan berhenti. Misalnya pada rasio kulit maja : etanol (b/v) 1:30
dengan waktu maserasi 2x24 jam memberikan peningkatan rendemen
sebesar 12% dari 2x12 jam. Tetapi pada waktu maserasi 3x16 jam hanya
memberikan peningkatan rendemen sebesar 5% dari 3x8 jam sehingga
54

apabila proses maserasi dilanjutkan untuk waktu yang lebih lama tidak akan
memberikan peningkatan nilai rendemen.

IV.3. Aplikasi Crude Tanin sebagai Bio-coagulant


Tanin dengan rendemen tertinggi digunakan sebagai bio-coagulant
untuk pengolahan limbah air sintetis kaolin. Pada percobaan ini dilakukan
penambahan crude tanin dengan konsentrasi yang berbeda-beda ke dalam
air limbah sintetis kaolin. Penambahan koagulan tersebut dapat
menyebabkan partikel-partikel koloid yang ada di air limbah mengendap
sehingga suspended solid dapat berkurang. Tujuan dari percobaan ini adalah
untuk mengetahui pengaruh konsentrasi crude tanin terhadap persen
penurunan kekeruhan dan perubahan pH. Pengaruh konsentrasi crude tanin
terhadap persen penurunan kekeruhan air limbah sintetis disajikan pada
Tabel IV.4. dan Gambar IV.5. berikut.

Tabel IV.4. Pengaruh Konsentrasi Crude Tanin terhadap


Penurunan Kekeruhan Air Limbah Sintetis
No. Konsentrasi Rata-rata Rata-rata Penurunan
Crude Tanin kekeruhan kekeruhan Kekeruhan
(mg/L) limbah awal limbah akhir (%)
(NTU) (NTU)
1. 750 74 41 16,89

2. 1000 74,5 38 21,48

3. 1250 70 26,5 32,86

4. 1500 71,5 20 43,86

5. 1750 72,5 19 45,52


55

Gambar IV.5. Pengaruh Konsentrasi Crude Tanin terhadap


Penurunan Kekeruhan Air Limbah Sintetis

Pada percobaan ini, sampel air limbah sintetis mengalami persen


penurunan kekeruhan mulai dari 16,89% hingga 45,52%. Konsentrasi crude
tanin 1750 mg/L memberikan nilai persen penurunan yang paling tinggi
dari semua variasi konsentrasi crude tanin, yaitu sebesar 42,52%. Hal ini
disebabkan semakin besar konsentrasi crude tanin yang digunakan maka
semakin banyak tanin yang mengikat padatan terlarut sehingga dapat
menghasilkan endapan atau flok yang lebih banyak.
Dari Tabel IV.4. dan Gambar IV.5. dapat dilihat bahwa pada
konsentrasi crude tanin sebesar 1000 mg/L hingga konsentrasi 1500 mg/L,
persentase penurunan kekeruhan mengalami peningkatan yang signifikan.
Tetapi pada konsentrasi crude tanin 1500 mg/L hingga konsentrasi 1750
mg/L tidak memberikan peningkatan persen penurunan kekeruhan yang
signifikan. Oleh karena itu, apabila proses koagulasi dilanjutkan untuk
56

konsentrasi crude tanin yang lebih besar tidak akan memberikan pengaruh
besar terhadap penurunan kekeruhan air limbah.
Secara garis besar, jika ditinjau dari persen penurunan kekeruhan
air limbah, crude tanin berpotensi menjadi bio-coagulant pada penjernihan
air limbah. Koagulan tanin kemungkinan memiliki muatan yang berbeda
dengan suspended solid pada air limbah kaolin sehingga terjadi gaya tarik-
menarik antar partikel koloid limbah dengan partikel koagulan membentuk
endapan dan dapat menurunkan kekeruhan air limbah.
Pengaruh konsentrasi crude tanin terhadap perubahan pH air limbah
sintetis kaolin disajikan pada Tabel IV.5. dan Gambar IV.6. berikut.

Tabel IV.5. Pengaruh Konsentrasi Crude Tanin terhadap


Perubahan pH Air Limbah Sintetis
Konsentrasi
No. Crude Tanin pH awal rata- pH akhir rata- Perubahan
(mg/L) rata limbah rata limbah pH
1. 750 7,455 7,34 0,115
2. 1000 7,395 7,285 0,110
3. 1250 7,46 7,43 0,030
4. 1500 7,575 7,42 0,155
5. 1750 7,515 7,38 0,135
57

Gambar IV.6. Pengaruh Konsentrasi Crude Tanin terhadap Perubahan


pH Air Limbah Sintetis

Sampel air limbah yang telah diberi tanin mengalami perubahan pH


berkisar antara 0,030-0,155. Pada saat air limbah sintetis belum
ditambahkan tanin, air limbah cenderung basa lemah dikarenakan
kandungan kaolin di dalam limbah tersebut. Namun setelah ditambah oleh
tanin yang cenderung asam, air limbah mengalami penurunan pH. Hal ini
disebabkan karena tanin yang sedikit asam melepaskan ion H+ untuk
berikatan dengan OH- yang dilepaskan oleh kaolin. sehiingga timbul reaksi:
H+ + OH-  H2O

Oleh karena itu pH air limbah sintetis cenderung mengalami


penurunan dari basa menjadi netral (pH=7).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan
Dari percobaan pengambilan crude tanin dari buah maja dan
pemanfaatannya sebagai bio-coagulant, diperoleh kesimpulan sebagai
berikut:
1. Pelarut terbaik untuk mengekstrak crude tanin dari buah maja
adalah etanol.
2. a. Pada waktu maserasi yang sama, semakin besar rasio bahan baku
dengan volume pelarut (b/v) maka rendemen tanin semakin
meningkat.
b. Pada rasio bahan baku dengan pelarut (b/v) yang sama, kenaikan
waktu maserasi akan meningkatkan rendemen tanin. Kemudian
pada waktu maserasi yang sama, semakin besar siklus maserasi
maka rendemen tanin juga semakin meningkat.
3. a. Penambahan crude tanin pada limbah dapat menurunkan nilai pH
dari limbah mendekati pH netral.
b. Pada kondisi air limbah yang sama, semakin besar konsentrasi
crude tanin yang ditambahkan maka semakin tinggi %
penurunan kekeruhan air limbah.
4. Crude tanin dari buah maja berpotensi menjadi bio-coagulant
karena penambahan tanin dapat menurunkan kekeruhan limbah
dengan signifikan.

58
59

V.2. Saran
1. Perlu adanya pemurnian lebih lanjut pada crude tanin untuk
meningkatkan rendemen tanin.
2. Perlu dilakukan penelitian tentang potensi tanin sehingga dapat
diaplikasikan sebagai koagulan ramah lingkungan yang memenuhi
standart mutu air bersih.
DAFTAR PUSTAKA

1. Chavda N., Mujapara A., Mehta S.K and Dodia P.P. Primary
Identification of Certain Phytochemical Constituents of Aegle
Marmelos (L.) Corr. Serr Responsible for Antimicrobial Acticity
Againts Selected Vegetable and Clinical Phatogen. International
Journal of Physical and Social Sciences, (Online), Volume 2, Issue
6 : 194. 2012.
2. Nurcahyati, S. Efektivitas Ekstrak Daun Mojo (Aegle marmelos)
Terhadap Kematian Larva Nyamuk Aedes Aegypti. 2008. Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
3. Harborne, J. B. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern
Menganalisis Tumbuhan. 1987. Bandung: ITB.
4. Siama, Yustina., Alam, Gemini,. dan Wahyudin, Elly. Uji Aktivitas
Hipoglemik Ekstrak Kulit Buah Maja (Aegle marmelos (L.))
Correa sebagai Inhibitor Alfa Glukosidase. 2013.
5. Agoes, G. Teknologi Bahan Alam. 2007 Bandung: ITB Press.
6. Nuraida. Analisis Kebutuhan Air pada Industri Pengolahan Tahu
dan Kedelai. 1985.
7. Enrico, Bernard. Pemanfaatan Biji Asam Jawa (Tamarindus
indica) sebagai Koagulan Alternatif dalam Proses Penjernihan
Limbah Cair Industri Tahu. 2008. Medan : Universitas Sumatera
Utara.
8. BPOM. Aegle marmelos (L.) Correa. (cited 18 November 2015.
Aviliable from : perpustakaan.pom.go.id). 2008.
9. Maryani, Herti dan Suharmiati. Tanaman Obat Untuk Mengatasi
Penyakit pada Usia Lanjut. 2003. Jakarta: Agro Media Pustaka.

60
61

10. Hovart, P. J. The Nutritional and Ecological Significance of Acer-


Tannins and Related Polyphenol Thesis. 1981.
11. Giner-Chavez, B.I. dan Cannas, A. Tannins: Chemical Structural
The Struktur od Hydrolysable Tannins. [cited 26 November 2015.
Avaliable from : http://www.ansci.cornell.edu/plant/toxicagents/
tannin/ image/int.blg.gif.cornert university]. 2001.
12. Dewick, P.M. Medicinal Natural Products. 1999.
13. Wink, M. Functions of Plan Secondary Metabolites and Their
Exploitation in Biotechnology. 1999.
14. Hanson. 2011. Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh
CarlosEnvious. Identifikasi Metabolit Sekunder pada Daun
Mengkudu. 2013.
15. Spingbob dan Kutchan. 2009. Mengacu pada penelitian yang
dilakukan oleh CarlosEnvious. Identifikasi Metabolit Sekunder
pada Daun Mengkudu. 2013.
16. Hagerman, A. E. Tannin Handbook. 2002 Oxford: Departement of
Chemistry and Biochemistry. USA: Miami University.
17. Etherington, R. A Dictionary of Descriptive Terminology :
Vegetable Tannin. 2002.
18. Kristianto, Aries. Pengaruh ekstrak kasar tanin dari daun
belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) pada Pengolahan Air. 2013.
19. Lestari, P., Wijana, S,. dan Putri, W.I.. Ekstraksi Tanin dari Daun
Alpukat (Persea americana Mill.) sebagai Pewarna Alami. 2012.
20. Paridah, M.T. and Musgrave, O.C. Alkaline Treatment of Sulfited
Tannin-Based Adhesive from Mangrove to Increase Bond Integrity
of Beech Slips. 2006.
21. Harborne, J. B. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern
Menganalisis Tumbuhan. 1987. Bandung: ITB.
62

22. Luchner. 1984. Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh


Nuraini, F. Isolasi dan Identifikasi Tannin dari Daun Gamal
(Gliricidia sepium (Jackquin) kunth ex walp). Malang: Universitas
Brawijaya.
23. Gohen. Encyclopedia of Chemical Technology. 1976.
24. Tyler, C.B. Organic Chemistry for Students of Agriculture. 1947.
London 2nd Allan.
25. Solomons, G.T. Organic Chemistry. 1976.
26. Fieser, F.L. Advanced Organic Chemistry. 2009. New York :
Reinhold Publishing.
27. Bate, S. Detection and Determinant od Ellagitannin:
Phytochemistry International Journal od Plant Biochemistry. 1972.
Volume 2. England: Pragaman Press.
28. Risnasari. Tanin. 2002. Medan: Fakultas Pertanian Jurusan Ilmu
Kehutanan USU.
29. Robinson, T. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. 1995.
Penerjemah: Kosasih Padmawinata. Bandung:ITB.
30. Ekholm, P., Virkki, L., Ylinen, M., Johanson, L. The effect of
Phytic Acid and Some Natural Chelating Agents of Solubility of
Mineral Elements in Oat Bran. 2003.
31. Najib, A. Tanin. 2009.
32. Seller, T, Jr. And George, D.M. Jr. Laboratory Manufacture of
High Moisture Southtern Pine Strandboard Bonded with Three
Tannin Adhesive Type. 2004.
33. Amilia, L., Muhdarina, Erman, Azman, Midiarty. Pemanfaatan
Tanin Limbah Kayu untuk Modifikasi Renin Fenol Formaldehid.
2002.
63

34. Rahim, A.A., Rocca, E., Steinmetz, J., Kassim, M.J., Adnan, R.,
and Ibrahim, M.S. Mangrove Tannins and Their Flavonoid
Monomers as Alternative Steel Corrosion Inhibitors in Acidic
Medium. 2007.
35. Anonim. Metode Ekstraksi. 2013 . Fitokimia UMI.
36. McCabe, Warren L., and Smith, J.C.., Unit Operation od Chemical
Engineering. 1999.
37. Muhiedin, F. Efisiensi Proses Ekstraksi Oleorisisn Lada hitam
dengan Metode Ekstraksi Multi Tahap. 2008. Malang: Universitas
Brawijaya.
38. Saifudin, Azis. Standarisasi Bahan Obat Alam. 2011. Yogyakarta:
Graha ilmu.
39. Heinrich, Michael, Barnes, Joanne, Gibbons, Simon, Williamso,
and Elizabeth, M. Fundamental od Pharmacognosy and
Phytotherapi. 2006.
40. Departemen Kesehatan RI. Acuan Sediaan Herbal. 2000.
41. Departemen Kesehatan RI. Parameter Standar Umum Ektrak
Tumbuhan Obat Herbal. 2000.
42. Nurul. Ekstraksi. [cited 26 November 2015. Avaliable at:
http://nurul.kimia.up.edu/]. 2013.
43. EMDI-Bapedal. Limbah Cair berbagai Industri di Indonesia. 1994.
44. BPPT. Teknologi Pengolahan Limbah Tahu-Tempe dengan Proses
Biofilter Anaerob and Aerob. [cited 28 November 2015. Avaliable
at: http://www.enviro.bppt.go.id/kel-1/]. 1997.
45. Tay, Joo-Hwa. Biological Treatment of Soya Bean Waste. 1990.
46. Husin, A, Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu Menggunakan
Biji Kelor (Moringo oleifera seeds) sebagai Koagulan. 2003.
64

47. Isnani, R.M.N. Pengaruh Waktu pada Elektrokoagulasi


Berelektroda Multiplate Fe-Al Terhadap Limbah Cair Industri
Tahu Ditinjau dari Nilai BOD dan TSS. 2010.
48. Anonim. Limbah Cair Tahu. 2013.
49. Risdianto, Dian. Optimisasi Proses Koagulasi Flokulasi untuk
Pengolahan Air Limbah Industri Jamu (Studi Kasus PT. Sido
Muncul). 2007. Semarang: Universitas Diponegoro.
50. Pararaja. Meninjau: Proses Koagulasi dan Flokulasi dalam Suatu
Instalasi Pengolahan Air. 2008.
51. Tebbut, T.H.Y. Principles of Water Quality Control. 1982.
52. Prihatinningtyas, Eka. Aplikasi Koagulan Alami dari Tepun Jagung
dalam pengolahan Air Besih. 2013.
53. Yuliastri, IndraRani. Penggunaan Serbuk Biji Kelor (Moringa
oleifera) sebagai Koagulan dan Floakulan dalam Perbaikan
Kualitas Air Limbah dan Air Tanah. 2010.
54. Irianty, R.S. dan Yenti, S.R. Pengaruh Perbandingan Pelarut
Etanol-Air terhadap Kadar Tanin pada Sokletasi Daun Gambir
(Uncaria gambir Roxb). 2014.
55. Senja, R.Y. Perbandingan Metode Ekstraksi dan Variasi Pelarut
terhadap Rendemen dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kubis Ungu.
2014. Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada.
56. Racmat, F. Uji Fitokimia dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Jntung
Pisang Batu (Musa balbiana Colla).2013. Jakarta: Fakultas Sains
dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
57. Pari, G. Beberapa Sifat Fisis dan Kimia Ekstrak Tanin. 1990.
Jurnal Penelitian Hasil Penelitian Hasil Hutan 6(8) :477-487.
65

58. Adamis, Z, and Floor, J. 2005. Bentonite, Kaolin, and Selected


Clay Minerals, EHC. Geneva
59. Sudarmo. 2004. Koagulasi dan Flokulasi. Jakarta
60. Day, R.A, dan A.L. Underwood. 1998. Kimia Analisa Kuantitatif.
Erlangga : Jakarta.
LAMPIRAN A
ANALISA BUAH MAJA (Aegle marmelos)

A.1. Penentuan Kadar Air


1. Sebanyak ±0,5 gram sampel buah maja yang telah diblender
dimasukkan ke dalam moisture analyzer selanjutnya alat diaktifkan
pada suhu 105 .
2. Proses pemanasan dilakukan oleh alat hingga kadar air konstan dan
lampu meredup.
3. Selanjutnya dilakukan pencatatan persentase kadar air yang terbaca
pada alat sebagai kadar air sampel.
Hasil Percobaan:
 Kadar air serbuk maja kering sebesar 6,8%.
 Kadar air dari kulit maja fresh dengan variasi (jumlah siklus x waktu)
maserasi dan rasio pelarut etanol disajikan pada table A.1. berikut.

Tabel A.1. Hasil Kadar Air Kulit Maja Fresh dengan Variasi
(Jumlah Siklus x Waktu) Maserasi dan Rasio Pelarut Etanol
Kadar Air (%)
Rasio kulit maja:
Etanol (b/v)
1:25 1:30
Jumlah siklus x
Waktu Maserasi
1 x 24 jam 87,5 83,15
2 x 12 jam 88,8 86,40
3 x 8 jam 87,5 73,35
1 x 48 jam 88,55 86,40
2 x 24 jam 85,45 83,15
3 x 16 jam 88,55 73,35

66
67

 Perhitungan berat kering buah maja fresh (rasio massa


kulit maja: volume etanol = 1:25 )
a. Waktu maserasi 1x24 jam
Massa kering = (100% - kadar air) x massa kulit fresh
= (100% - 87,5%) x 48,0150 gram
= 6,0018 gram
b. Waktu maserasi 1x48 jam
Massa kering = (100% - kadar air) x massa kulit fresh
= (100% - 88,55%) x 52,4090 gram
= 6,0008 gram
c. Waktu maserasi 2x12 jam
Massa kering = (100% - kadar air) x massa kulit fresh
= (100% - 88,8%) x 53,7230 gram
= 6,0169 gram
d. Waktu maserasi 2x24 jam
Massa kering = (100% - kadar air) x massa kulit fresh
= (100% - 85,45%) x 41,2422 gram
= 6,0007 gram
e. Waktu maserasi 3x8 jam
Massa kering = (100% - kadar air) x massa kulit fresh
= (100% - 87,5%) x 48,0426 gram
= 6,0053 gram
f. Waktu maserasi 3x16 jam
Massa kering = (100% - kadar air) x massa kulit fresh
= (100% - 88,55%) x 52,4190 gram
= 6,0019 gram
68

 Ditetapkan massa kulit maja sebesar ± 6 gram (variabel


tetap)
 Volume etanol tiap maserasi menggunakan buah maja
fresh (Rasio massa kulit maja : volume etanol = 1:25)
yaitu 25 x 6 = 150 mL

 Perhitungan berat kering buah maja fresh (Rasio massa


kulit maja : volume etanol = 1:30 )
a. Waktu maserasi 1x24 jam
Massa kering = (100% - kadar air) x massa kulit fresh
= (100% - 83,15%) x 35,6021 gram
= 5,9989 gram
b. Waktu maserasi 1x48 jam
Massa kering = (100% - kadar air) x massa kulit fresh
= (100% - 86,4%) x 44,2407 gram
= 6,0167 gram
c. Waktu maserasi 2x12 jam
Massa kering = (100% - kadar air) x massa kulit fresh
= (100% - 86,4%) x 44,2030 gram
= 6,0116 gram
d. Waktu maserasi 2x24 jam
Massa kering = (100% - kadar air) x massa kulit fresh
= (100% - 83,15%) x 35,6215 gram
= 6,0022 gram
e. Waktu maserasi 3x8 jam
Massa kering = (100% - kadar air) x massa kulit fresh
69

= (100% - 73,35%) x 22,5047 gram


= 5,9975 gram
f. Waktu maserasi 3x16 jam
Massa kering = (100% - kadar air) x massa kulit fresh
= (100% - 73,35%) x 22,5480 gram
= 6,0090 gram
 Ditetapkan massa kulit maja sebesar ± 6 gram (variabel
tetap)
 Volume etanol tiap maserasi menggunakan buah maja
fresh (Rasio massa kulit maja : volume etanol = 1:30)
yaitu 30 x 6 = 180 mL

A.2. Penentuan Kadar Abu


1. Cawan porselen kosong bermassa konstan ditimbang secara
analitis, kemudian dimasukkan sampel buah maja sebanyak ±0,5
gram ke dalam cawan porselen.
2. Cawan kemudian dimasukkan ke dalam furnace pada suhu sekitar
600 selama 45 menit.
3. Cawan dikeluarkan dari furnace kemudian didinginkan dalam
desikator selama 15 menit.
4. Cawan yang sudah dingin ditimbang secara analitis (massa cawan
+ abu).
5. Untuk mengukur kadar abu, dilakukan perhitungan sebagai
berikut:

% kadar abu = x100%


70

6. Mengulangi langkah tersebut sebanyak dua kali.

 Hasil percobaan dengan bahan baku kering:


Massa cawan I = 25,6948 gram
Massa cawan II = 35,4118 gram
Massa cawan I + sampel = 26,6989 gram
Massa cawan II + sampel = 36,4176 gram
Massa cawan I + abu = 25,7627 gram
Massa cawan II + abu = 35,4790 gram

% Kadar abu I = x100% = x100%

= 6,76%

% Kadar abu II = x100% = x100%

= 6,68%

% Kadar abu rata-rata = = 6,72%

 Hasil percobaan dengan bahan baku fresh :


Massa cawan I = 19,7282 gram
Massa cawan II = 21,2412 gram
Massa cawan I + sampel = 20,2436 gram
Massa cawan II + sampel = 21,7495 gram
Massa cawan I + abu = 19,7308 gram
Massa cawan II + abu = 21,2445 gram

% Kadar abu I = x100% = x100%

= 0,50%
71

% Kadar abu II = x100% = x100%

= 0,49%

% Kadar abu rata-rata = = 0,5%


LAMPIRAN B
ANALISA CRUDE TANIN

B.1. Uji Kualitatif Crude Tanin [19]


1. Crude tanin yang diperoleh dari maserasi diambil sedikit lalu
dimasukkan ke dalam tabung reaksi.
2. Menambahkan 2-3 tetes larutan FeCl3 1% pada crude tanin dan
dikocok kemudian dilakukan pengamatan perubahan warna larutan.
3. Uji tanin positif jika terjadi perubahan warna larutan menjadi hijau
kehitaman.
Dari hasil percobaan maserasi menggunakan buah maja kering dan
kulit maja fresh didapatkan hasil uji positif mengandung tanin. Hal
ini karena terjadi perubahan warna ekstrak dari cokelat menjadi
hijau kehitaman seperti yang terlihat pada Gambar B.1. berikut.

(a) (b)
Gambar B.1. Uji Kualitatif Crude Tanin (a) Sebelum Penambahan
Pereaksi Gibbs (b) Sesudah Penambahan Pereaksi Gibbs

Reaksi yang terjadi pada uji crude tanin menggunakan reagen


FeCl3 disajikan pada gambar B.2. berikut.

72
73

Gambar B.2. Pembentukan Senyawa Kompleks pada Tanin


dengan FeCl3 [19]

B.2. Uji Kuantitatif Crude Tanin [57]


1. Memasukkan 1 gram crude tanin ke dalam beaker glass 100 mL,
kemudian mengisinya dengan aquades 50 mL dan dipanaskan
selama 30 menit pada suhu 50 .

2. Setelah dingin, menyaring larutan ke dalam labu ukur 250 mL dan


menambahkan aquades sampai tanda batas pada labu ukur.
3. Memipet larutan tanin sebanyak 25 mL dan menambahkan larutan
indigo carmin sebanyak 20 mL untuk dititrasi dengan KMnO4
± 0,1 N.
4. Menambahkan KMnO4 ± 0,1 N sampai larutan berubah dari biru
menjadi hijau. Kemudian menambahkan tetes demi tetes sampai
titik akhir titrasi yaitu larutan berubah menjadi kuning emas.
Mencatat volume KMnO4 yang ditambahkan pada larutan tanin.
5. Larutan blanko dibuat dengan cara memipet 20 mL larutan indigo
carmin ke dalam labu erlenmeyer, lalu menambahkan 25 mL
aquades dan menitrasi dengan KMnO4 ± 0,1 N. Mencatat volume
KMnO4 yang ditambahkan pada larutan blanko.
Rumus untuk menghitung kadar tanin adalah:
74

Kadar Tanin = x 100%

Dimana FP adalah faktor pengenceran, A adalah volume KMnO 4


yang ditambahkan pada larutan tanin (mL), B adalah volume KMnO4 yang
ditambahkan pada larutan blanko (mL), 1 ml KMnO4 0,1 N 0,006235

gram tanin.

Tabel B.1. Data Kadar Tanin dari Buah Maja Kering dengan
Variasi (Jumlah Siklus x Waktu) Maserasi dan Jenis Pelarut
Volume
No Sampel Massa Replikasi Volume rata-rata Kadar
Sampel KMnO4 KMnO4 (%)
(gram) (mL) (mL)
1. Etanol, 1,0226 1 8,6 8,65 0,44
1x24 jam
2 8,7
2. Etanol, 1,0644 1 9 9,25 0,82
2x12 jam
2 9,5
3. Etanol, 1,0135 1 9,2 9,1 0,76
3x8 jam
2 9
4. Etanol, 1,0256 1 9,1 9,05 0,72
1x48 jam
2 9
5. Etanol, 1,0094 1 9 8,9 0,62
2x24 jam
2 8,8
75

Tabel B.1. (Lanjutan)


Volume
No Sampel Massa Replikasi Volume rata-rata Kadar
Sampel KMnO4 KMnO4 (%)
(gram) (mL) (mL)
6. Etanol, 1,0141 1 10,7 10,8 1,94
3x16 jam
2 10,9
7. Aquades, 1,0422 1 8,5 8,55 0,38
1x24 jam
2 8,6
8. Aquades, 1,0072 1 8,5 8,45 0,321
2x12 jam
2 8,4
9. Aquades, 1,0278 1 8,7 8,65 0,44
3x8 jam
2 8,6
10. Aquades, 1,0357 1 9 8,9 0,61
1x48 jam
2 8,8
11. Aquades, 1,0874 1 9 8,95 0,62
2x24 jam
2 8,9
12. Aquades, 1,0568 1 8,5 9 0,66
3x16 jam
2 9,1
13. Aseton, 1,0250 1 8,6 8,7 0,48
1x24 jam
2 8,8
14. Aseton, 1,0304 1 8,7 8,725 0,5
2x12 jam
2 8,75
15. Aseton, 1,0010 1 9,4 9,5 1,06
3x8 jam
2 9,6
76

Tabel B.1. (Lanjutan)


Volume Volume
No Sampel Massa Replikasi KMnO4 rata-rata Kadar
Sampel (mL) KMnO4 (%)
(gram) (mL)
16. Aseton, 1,0040 1 8,7 8,85 0,6
1x48 jam
2 9

17. Aseton, 1,0105 1 9,5 9,45 1


2x24 jam
2 9,4

18. Aseton, 1,0074 1 9,7 9,75 1,22


3x16 jam
2 9,8

Contoh perhitungan kadar tanin menggunakan pelarut etanol selama


1x24 jam maserasi dengan volume blanko rata-rata sebesar 8 mL:

Kadar Tanin = 100%

= 0,44%

Tabel B.2. Data Kadar Tanin dari Kulit Maja Fresh pada
Variasi (Jumlah Siklus x Waktu) Maserasi dan Rasio Pelarut Etanol
Rasio Volume
No Waktu Kulit Massa Replikasi Volume rata-rata Kadar
Maja : Sampel KMnO4 KMnO4 (%)
Etanol
(gram) (mL) (mL)
(b/v)
1. 1x24 1,0137 1 9,2 9,15 0,71
jam 2 9,1
77

Tabel B.2. (Lanjutan)


Rasio Volume
No Waktu Kulit Massa Replikasi Volume rata-rata Kadar
Maja : Sampel KMnO4 KMnO4 (%)
Etanol
(gram) (mL) (mL)
(b/v)
2. 2x12 1,0731 1 9,7 9,85 1,1
jam 2 10
3. 3x8 1,0267 1 11,1 11,2 2,01
jam 2 11,3
4. 1x48 1:25 1,0016 1 9,8 9,85 1,18
jam 2 9,7
5. 2x24 1,0803 1 9,3 9,5 0,88
jam 2 9,7
6. 3x16 1,0109 1 12,1 12,3 2,76
jam
2 12,5
7. 1x24 1,0312 1 9,8 9,9 1,18
jam 2 10
8. 2x12 1,0230 1 10,9 11 1,9
jam 2 11,1
9. 3x8 1,0026 1 10,5 10,7 1,74
jam 2 10,9
1:30
10. 1x48 1,0286 1 10 10,05 1,28
jam 2 10,1
11. 2x24 1,0111 1 10,6 10,7 1,72
jam 2 10,8
12. 3x16 1,0416 1 10,6 10,8 1,73
jam
2 11
78

Contoh perhitungan kadar tanin pada rasio massa kulit maja : volume
etanol 1:25 selama 1x24 jam maserasi dengan volume blanko rata-rata
sebesar 8,05 mL:

Kadar Tanin = x 100%

= x 100%

= 0,71%

B.3. Perhitungan Rendemen Tanin

Tabel B.3. Data Rendemen Tanin dari Buah Maja Kering dengan
Variasi (Jumlah Siklus x Waktu) Maserasi dan Jenis Pelarut
Massa
No Sampel Massa Buah Maja crude tanin Rendemen
(dry mass, gr) (gr) (%)
1. Etanol, 1x24 jam 30,0131 8,8090 0,13
2. Etanol, 2x12 jam 30,0121 11,4369 0,31
3. Etanol, 3x8 jam 30,0449 13,8426 0,35
4. Etanol, 1x48 jam 30,0010 7,9677 0,19
5. Etanol, 2x24 jam 30,0455 13,3427 0,28
6. Etanol, 3x16 jam 30,0558 10,4428 0,67
7. Aquades, 1x24 jam 30,0027 9,6434 0,12
8. Aquades, 2x12 jam 30,0473 15,7285 0,17
9. Aquades, 3x8 jam 30,0570 16,671 0,24
10. Aquades, 1x48 jam 30,1357 12,3927 0,25
79

Tabel B.3. (Lanjutan)

Massa
No Sampel Massa Buah Maja crude tanin Rendemen
(dry mass, gr) (gr) (%)
11. Aquades, 2x24 jam 30,0501 17,3657 0,36
12. Aquades, 3x16 jam 30,0479 18,924 0,42
13. Aseton, 1x24 jam 30,0460 1,8996 0,03
14. Aseton, 2x12 jam 30,0450 2,7221 0,05
15. Aseton, 3x8 jam 30,0458 2,5754 0,09
16. Aseton, 1x48 jam 30,0473 1,8756 0,04
17. Aseton, 2x24 jam 30,0427 2,0427 0,07
18. Aseton, 3x16 jam 30,0577 2,6861 0,11

Contoh perhitungan rendemen tanin menggunakan pelarut etanol


selama 1x24 jam maserasi :
 Dari Tabel B.1 didapatkan kadar tanin menggunakan
pelarut etanol selama 1x24 jam sebesar 0,44%

%Rendemen = x 100%

= x 100% = 0,13%
80

Tabel B.4. Data Rendemen Tanin dari Kulit Maja Fresh pada Variasi
(Jumlah Siklus x Waktu) Maserasi dan Rasio Pelarut Etanol
Rasio
No Waktu Kulit Massa Kulit Massa crude Rendemen
Maja : Maja (dry mass, tanin (g) (%)
Etanol gr)
(b/v)
1. 1x24 6,0008 1,8537 0,22
jam
2. 2x12 6,0007 2,2747 0,42
jam
3. 3x8 1 : 25 6,0053 2,5905 0,87
jam
4. 1x48 6,0018 1,7679 0,35
jam
5. 2x24 6,0019 2,9384 0,43
jam
6. 3x16 6,0169 2,2538 1,03
jam
7. 1x24 5,9989 1,9788 0,39
jam
8. 2x12 6,0116 2,5261 0,80
jam
9. 3x8 1 :30 5,9975 3,6203 1,05
jam
10. 1x48 6,0167 2,7315 0,58
jam
11. 2x24 6,0022 3,2203 0,92
jam
12. 3x16 6,0090 3,8301 1,10
jam
81

Contoh perhitungan rendemen tanin pada rasio massa kulit maja :


volume etanol 1:25 selama 1x24 jam maserasi :
 Dari Tabel B.2. didapatkan kadar tanin menggunakan
pelarut etanol selama 1x24 jam sebesar 0,71%

%Rendemen = x 100%

= 0,22%
LAMPIRAN C
ANALISA APLIKASI CRUDE TANIN SEBAGAI KOAGULAN

C.1. Analisa pH
1. Larutan sampel air limbah sintetis disiapkan terlebih dahulu.
2. Penutup elektroda dibuka dan dibersihkan dengan aquades,
kemudian elektroda dilap hingga kering menggunakan tisu.
3. Alat pH meter dihidupkan, lalu mencelupkan eletroda ke dalam
larutan sampel.
4. Menekan tombol yang bertuliskan Read hingga muncul angka pH
yang konstan dan dicatat nilai pH awal sampel.
5. Langkah tersebut diulangi pada sampel air limbah yang telah
ditambahkan koagulan tanin.
Perhitungan :
Perubahan pH = A-B
A = pH awal rata-rata air limbah sintetis
B = pH akhir air rata-rata limbah sintetis
Hasil percobaan:
Tabel C.1. Data Perubahan pH pada Air Limbah Sintesis dengan
Variasi Konsentrasi Crude Tanin

No Konsentrasi Replikasi pH Rata- pH Rata- Perubahan


crude tanin awal rata akhir rata pH
(mg/L) Limbah pH Limbah pH
awal akhir
1. 750 1 7,44 7,455 7,38 7,34 0,115
2 7,47 7,30

82
83

Tabel C.1. (Lanjutan)

No Konsentrasi Replikasi pH Rata- pH Rata- Perubahan


crude tanin awal rata akhir rata pH
(mg/L) Limbah pH Limbah pH
awal akhir
1. 750 1 7,44 7,455 7,38 7,34 0,115
2 7,47 7,30
2. 1000 1 7,38 7,395 7,31 7,285 0,11
2 7,41 7,26
3. 1250 1 7,46 7,46 7,42 7,43 0,03
2 7,46 7,44
4. 1500 1 7,48 7,575 7,36 7,42 0,155
2 7,67 7,48
5. 1750 1 7,49 7,515 7,35 7,38 0,135
2 7,54 7,41

Contoh perhitungan perubahan pH air limbah sintesis pada konsentrasi


crude tanin 750 mg/L:
 Dari tabel C.1. didapatkan data pH awal rata-rata (A) = 7,455 ; pH
akhir rata- rata (B) = 7,34
Perubahan pH = A-B
= 7,455 – 7,34
= 0,115
84

C.2. Analisa Kekeruhan[4]


1. Sampel air limbah dimasukkan ke dalam botol turbidimeter dan
diusahakan tidak terdapat gelembung udara.
2. Kemudian tabung tersebut ditempatkan pada tempat pengukuran
dan dibaca nilai kekeruhan yang muncul pada alat turbidimeter.
3. Langkah tersebut diulangi pada sampel air limbah yang telah
ditambahkan koagulan crude tanin.
Perhitungan :

% Penurunan kekeruhan = x100%

A = Kekeruhan rata-rata air limbah awal (NTU)


B = Kekeruhan rata-rata air limbah akhir (NTU)
C = Penurunan kekeruhan air limbah tanpa koagulan (NTU)

Hasil Percobaan:

Tabel C.2. Data Penurunan Kekeruhan pada Air Limbah


Sintesis dengan Variasi Konsentrasi Crude Tanin

Konsentrasi Kekeruhan Rata-rata Kekeruhan Rata-rata


No crude tanin awal kekeruhan akhir kekeruha Penurunan
(mg/L) Limbah awal limbah n akhir kekeruhan
(NTU) (NTU) (NTU) (NTU) (%)
1. 750 75 74 40 41 16,89
73 42
85

Tabel C.2. (Lanjutan)


Kekeruhan Rata-rata Kekeruhan Rata-rata
No Konsentrasi awal kekeruhan akhir kekeruhan Penurunan
crude tanin Limbah awal limbah akhir kekeruhan
(mg/L) (NTU) (NTU) (NTU) (NTU) (%)
2. 1000 75 74,5 39 38 21,48
74 37
3. 1250 70 70 27 26,5 32,86
70 26
4. 1500 70 71,5 19 20 43,36
73 21
5. 1750 72 72,5 18 19 45,52
73 20

Contoh perhitungan penurunan kekeruhan air limbah sintesis pada


konsentrasi crude tanin 750 mg/L:
 Dari tabel C.2. didapatkan data kekeruhan awal rata-rata (A) = 74
NTU ; kekeruhan akhir rata-rata (B) = 41 NTU
 Kekeruhan air limbah akhir tanpa koagulan = 52 NTU dengan limbah
awal yang dipakai = 72,5 NTU
 Penurunan kekeruhan air limbah tanpa koagulan = (72,5 – 52) = 20,5
NTU

% Penurunan Kekeruhan = x100% = x100

= 16,89%
LAMPIRAN D
PEMBUATAN DAN PEMBAKUAN LARUTAN

D.1. Pembuatan Larutan


D.1.1. Pembuatan Larutan FeCl3 1% sebanyak 10 mL
Massa minimal = 0,1 – (10% x 0,1) = 0,09 gram
Massa maksimal = 0,1 + (10% x 0,1) = 0,11 gram
1. Menimbang FeCl3 secara analitis sebanyak 0,1082 gram
menggunakan botol timbang.
2. Kemudian padatan dilarutkan dengan 10 mL aquades pada beaker
glass dan diaduk hingga homogen.

D.1.2. Pembuatan Larutan KMnO4 ± 0,1 N sebanyak 1 L


BM kalium permanganat (KMnO4) = 158,04 gram/mol

M KMnO4 = = = 0,02 M

M KMnO4 = x

0,02 M = x

Massa KMnO4 = 3,16 gram


1. Menimbang padatan KMnO4 sebanyak 3,2 gram menggunakan
kaca arloji pada neraca kasar.
2. Melarutkan KMnO4 dengan sedikit aquades pada beaker glass dan
diaduk dengan hingga homogen, kemudian ditambah aquades yang
hingga volume 1 L.
3. Memanaskan larutan selama 1 jam, kemudian didinginkan.
4. Larutan disaring menggunakan glass wool, lalu disimpan dalam
botol coklat di tempat yang gelap dan tertutup selama 24 jam.

86
87

D.1.3. Pembuatan Larutan H2C2O4 ± 0,1 N sebanyak 100 ml


BM asam oksalat (H2C2O4.2H2O) = 126,07 gram/mol

M H2C2O4 = = 0,1 / 2 = 0,05 M

M H2C2O4 = x

0,05 M = x

Massa H2C2O4 = 0,6304 gram


Massa maksimum = 0,6304 g + (10% × 0,6304) = 0,6934 g
Massa minimum = 0,6304 g – (10% × 0,6304) = 0,5674 g
1. Menimbang H2C2O4.2H2O secara analitis sebanyak ±0,6304 gram
menggunakan botol timbang.
2. Kemudian melarutkan padatan dengan sedikit aquades pada beaker
glass dan diaduk dengan hingga homogen.
3. Larutan dituang ke labu ukur 100 mL, lalu ditambahkan aquades
hingga tanda batas dan dikocok hingga homogen.
Perhitungan normalitas asam oksalat adalah sebagai berikut:
 Percobaan bahan baku kering

NH2C2O4 = =

= 0,1001 N
 Percobaan bahan baku fresh

NH2C2O4 = =

= 0,1006 N

D.1.4. Pembuatan Larutan H2SO4 ± 4 N sebanyak 80 ml


BM asam sulfat (H2SO4 ) = 98,08 gram/mol
88

Kadar H2SO4 = 96 %
Densitas (ρ) = 1,84 gram/mL

M1 H2SO4 = =

= 18,0098 M

M2 H2SO4 = = 4N / 2 = 2 M

M 1 x V1 = M 2 x V 2
18,0098 M x V1 = 2 M x 80 mL
V1 = 8,9 mL
1. Mengambil H2SO4 96% sebanyak 8,9 mL menggunakan gelas
ukur kemudian dituang ke dalam beaker glass yang telah diberi
sedikit aquades.
2. Menambahkan pada larutan tersebut aquades hingga volumenya
tepat 80 mL dan larutan diaduk hingga homogen.

D.1.5. Pembuatan Larutan Indigo Carmine 0,6% sebanyak 1,5 L


1. Menimbang padatan indigo carmine secara analitis sebanyak
9,0020 gram menggunakan botol timbang.
2. Kemudian padatan dilarutkan dengan 500 mL aquades pada beaker
glass, kemudian diaduk hingga homogen dan dipanaskan.
3. Setelah dingin, ditambahkan sebanyak 75 mL asam sulfat dan
ditambahkan aquades hingga 1,5 L
4. Larutan disaring menggunakan kertas saring, lalu disimpan dalam
botol coklat.

D.1.6. Pembuatan Larutan Tanin 750 mg/L


Massa maksimum = 0,075 g + (10% × 0,075) = 0,083 g
89

Massa minimum = 0,075 g – (10% × 0,075) = 0,068 g


1. Menimbang crude tanin secara analitis sebanyak ±0,075 gram
menggunakan botol timbang.
2. Melarutkan padatan dengan sedikit aquades pada beaker glass
dan diaduk dengan hingga homogen, kemudian ditambah aquades
hingga volume 100 mL.

D.1.7. Pembuatan Larutan Tanin 1000 mg/L


Massa maksimum = 0,1 g + (10% × 0,1) = 0,11 g
Massa minimum = 0,1 g – (10% × 0,1) = 0,09 g
1. Menimbang crude tanin secara analitis sebanyak ±0,1 gram
menggunakan botol timbang.
2. Melarutkan padatan dengan sedikit aquades pada beaker glass
dan diaduk dengan hingga homogen, kemudian ditambah aquades
hingga volume 100 mL.

D.1.8. Pembuatan Larutan Tanin 1250 mg/L


Massa maksimum = 0,125 g + (10% × 0,0125) = 0,138 g
Massa minimum = 0,125 g – (10% × 0,0125) = 0,112 g
1. Menimbang crude tanin secara analitis sebanyak ±0,125 gram
menggunakan botol timbang.
2. Melarutkan padatan dengan sedikit aquades pada beaker glass
dan diaduk dengan hingga homogen, kemudian ditambah
aquades hingga volume 100 mL.

D.1.9. Pembuatan Larutan Tanin 1500 mg/L


Massa maksimum = 0,150 g + (10% × 0,150) = 0,165 g
Massa minimum = 0,150 g – (10% × 0,150) = 0,135 g
90

1. Menimbang crude tanin secara analitis sebanyak ±0,150 gram


menggunakan botol timbang.
2. Melarutkan padatan dengan sedikit aquades pada beaker glass
dan diaduk dengan hingga homogen, kemudian ditambah aquades
hingga volume 100 mL.

D.1.10. Pembuatan Larutan Tanin 1750 mg/L


Massa maksimum = 0,175 g + (10% × 0,175) = 0,193 g
Massa minimum = 0,175 g – (10% × 0,175) = 0,158 g
1. Menimbang crude tanin secara analitis sebanyak ±0,175 gram
menggunakan botol timbang.
2. Melarutkan padatan dengan sedikit aquades pada beaker glass
dan diaduk dengan hingga homogen, kemudian ditambah aquades
hingga volume 100 mL.

D.1.11. Pembuatan Air Limbah Sintetis Kaolin 0,5%


1. Pada pembuatan air limbah sintetis, kaolin diayak menggunakan
sieve shaker dengan ketentuan lolos saringan berukuran 200 mesh
dan tertahan pada saringan berukuran 325 mesh.
2. Selanjutnya, menimbang kaolin sebanyak 5 gram ke dalam beaker
glass, kemudian ditambahkan aquades hingga 1000 mL.
3. Larutan kaolin diaduk dengan kecepatan 100 rpm selama 20 menit
menggunakan stirrer dan didiamkan selama 24 jam.
4. Diambil endapan kaolin pada bagian dasar beaker glass lalu
dimasukkan ke beaker glass dan ditambahkan aquades hingga 600
mL.
91

5. Larutan kaolin diaduk dengan kecepatan 100 rpm selama 20 menit


hingga homogen lalu didiamkan 2 jam sehingga terpisah antara
endapan dan suspensi.

D.2. Pembakuan Larutan


D.2.1. Pembakuan Larutan KMnO4 ± 0,1 N dengan Larutan H2C2O4
0,1 N
1. Memipet larutan asam oksalat (H2C2O4) 0,1 N dengan pipet
volume sebanyak 10 ml ke dalam labu Elenmeyer 100 mL.
2. Larutan ditambahkan dengan 10 ml larutan H2SO4 4 N.
3. Memanaskan larutan dengan water bath pada 60 selama 30

menit.
4. kemudian larutan dititrasi dengan KMnO4 ±0,1 N hingga terjadi
perubahan warna dari tidak bewarna menjadi merah muda, lalu
mencatat volume KMnO4 yang ditambahkan pada larutan H2C2O4.
5. Melakukan langkah kerja 1-4 sebanyak dua kali.

Reaksi-reaksi yang terjadi pada pembakuan larutan KMnO4


dengan larutan standar asam oksalat:
5 e + 8 H+ + MnO4- → Mn2+ + 4 H2O (x2) (1)

C2O42- → 2 CO2 + 2 e (x5) (2)

16 H+ + 2 MnO4- + 5 C2O42-→ 2 Mn2+ + 8 H2O + 10 CO2 (3)

2 K+ + 3 SO42- → 2 K+ + 3 SO42- (4)

2 KMnO4 + 5 H2C2O4 + 3 H2SO4 2 MnSO4 + K2SO4 + 8 H2O +


10 CO2 (5)
92

 Hasil percobaan pembakuan untuk bahan baku kering:

Tabel D.1. Data Pembakuan Larutan KMnO4 ± 0,1 N dengan


Larutan H2C2O4 0,1 N
Volume H2C2O4 (mL) Volume KMnO4 Perubahan Warna
(mL)
10 9 Tidak bewarna →
10 8,8 merah muda
Volume rata-rata : 10 mL 8,9

Perhitungan normalitas KMnO4 adalah sebagai berikut:


mek H2C2O4 = mek KMnO4
V H2C2O4 x N H2C2O4 = V KMnO4 x N KMnO4
10 mL x 0,1001 = 8,9 mL x N KMnO4
N KMnO4 = 0,1125 N
 Hasil percobaan pembakuan untuk bahan baku fresh:

Tabel D.2. Data Pembakuan Larutan KMnO4 ± 0,1 N dengan


Larutan H2C2O4 0,1 N
Volume H2C2O4 (mL) Volume KMnO4 Perubahan Warna
(mL)
10 9,5
10 9,6 Tidak bewarna →
Volume rata-rata : 10 mL 9,55 merah muda
93

Perhitungan normalitas KMnO4 adalah sebagai berikut:


mek H2C2O4 = mek KMnO4
V H2C2O4 x N H2C2O4 = V KMnO4 x N KMnO4
10 mL x 0,1006 = 9,55 mL x N KMnO4
N KMnO4 = 0,1053 N
LAMPIRAN E
DOKUMENTASI PRAKTIKUM

(a) (b)

(c) (d)

Gambar E.1. Proses Persiapan Bahan Baku Kering; (a) Bahan Baku
Buah Maja; (b) Proses Pengeringan; (c) Pengecilan Ukuran; (d) Serbuk
Maja

(a) (b)

94
95

(c)
Gambar E.2. Proses Persiapan Bahan Baku Fresh; (a) Bahan Baku
Buah Maja; (b) Pengecilan Ukuran; (d) Kulit Maja Fresh

(a) (b)

(c)
Gambar E.3. Pengujian Bahan Baku; (a) Sampel Maja Sebelum Masuk
Furnace; (b) Abu Sampel Maja; (c) Uji Kadar Air Maja
96

(a) (b)

(b) (d)

(e)
Gambar E.4. (a) Proses Maserasi Buah Maja; (b) Proses
Pengadukan; (c) Proses Pemisahan Padatan; (d) Proses Penguapan; (e)
Crude Tanin
97

(a) (b)
Gambar E.5. Pengujian Kualitatif Crude Tanin; (a) Sebelum diberi
FeCl3 ; (b) Setelah diberi FeCl3

Gambar E.6. Pengujian Kuantitatif Crude Tanin

(a) (b) (c)


Gambar E.7. Tahap Koagulasi ; (a) Air Limbah Sintetis; (b) Proses
Koagulasi ; (c) Setelah Penambahan Koagulan
98

(a) (b)
Gambar E.8 Analisa Air Limbah Setelah Ditambahkan Koagulan
Tanin; (a) Pengukuran pH ; (b) Pengukuran Kekeruhan Air Limbah
PENGAMBILAN CRUDE TANIN DARI BUAH MAJA
(Aegle marmelos) DENGAN METODE “MODIFIED
MACERATION” DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI
BIO-COAGULANT

Elizabeth Silvia V., Nathania Puspitasari, Yohanes Sudaryanto*,


Herman Hindarso*

Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik


Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Jl. Kalijudan 37, Surabaya –60114
Telp. (031) 3893933, Fax. (031)3891267,
E-mail: radgo_2005@yahoo.co.id

ABSTRAK

Saat ini, buah maja kurang populer di Indonesia karena tidak dapat
digunakan sebagai bahan pangan dikarenakan rasa pahitnya, yang
disebabkan oleh kandungan tanin. Buah maja mengandung tanin sebesar
9% pada bagian daging buah dan 20% pada bagian kulit buah. Tanin
merupakan senyawa polifenol yang memiliki kemampuan untuk membentuk
kompleks yang kuat dengan beberapa molekul lain. Berdasarkan hal
tersebut, tanin berpotensi sebagai bio-coagulant karena dapat mengikat
suspended solid pada air limbah. Penelitian ini menggunakan metode
modifikasi maserasi untuk mengambil crude tanin dari buah maja,
modifikasi yang digunakan adalah pengadukan dan remaserasi. Pada
maserasi pertama, bahan baku yang digunakan adalah buah maja yang
telah dikeringkan. Tujuan dari langkah ini adalah untuk menemukan
pelarut terbaik yang dapat memberikan rendemen tanin tertinggi, dengan
memvariasikan jenis pelarut dan variasi (jumlah siklus x waktu) maserasi.
Maserasi kedua menggunakan kulit buah maja fresh dan diaplikasikan
sebagai bio-coagulant. Kedua maserasi memiliki langkah kerja yang sama
yaitu dengan diawali proses pengecilan ukuran buah maja kemudian serbuk
maja direndam dalam pelarut. Setelah beberapa waktu, crude tanin yang
diperoleh dari proses maserasi dianalisa secara kualitatif dengan pereaksi
Gibbs dan secara kuantitatif dengan metode permanganometri. Tanin
dengan rendemen tertinggi digunakan sebagai bio-coagulant. Parameter
kualitas air limbah yang dianalisa meliputi penurunan kekeruhan dan
perubahan pH. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelarut terbaik untuk
mengekstrak crude tanin dari buah maja adalah etanol. Kemudian pada
waktu maserasi yang sama, semakin besar rasio kulit maja dengan pelarut
(b/v), semakin tinggi rendemen tanin; kenaikan waktu maserasi akan
meningkatkan rendemen tanin, dan semakin besar siklus maserasi maka
akan memberikan rendemen tanin yang tinggi. Pada percobaan koagulasi,
dapat juga dibuktikan bahwa crude tanin dari buah maja berpotensi
menjadi bio-coagulant.

Kata kunci : Buah maja, Tanin, bio-coagulant, air limbah, koagulasi,


flokulasi

I. Pendahuluan
Indonesia negara kepulauan yang memiliki banyak sumber daya
alam, salah satunya flora dan fauna yang melimpah. Salah satu flora yang
banyak terdapat di Indonesia, tepatnya di Jawa Timur adalah tanaman maja.
Buah maja memiliki rasa yang sepat pada saat belum matang, hal ini
disebabkan buah maja mengandung tanin sebanyak 9% pada bagian daging
dan 20% pada bagian kulit (Chavda, 2012). Selama ini buah maja hanya
digunakan sebagai obat tradisional, diantaranya obat penenang, diare,
disentri, dan sebagainya (Nurcahyati, 2008).
Tanin didefinisikan sebagai senyawa polifenol yang memiliki gugus
hidroksil dan gugus lainnya sehingga dapat membentuk kompleks yang kuat
dengan protein (Harbone, 1987). Pada umumnya, tanin terdistribusi dalam
kingdom Gymnospermae dan Angiospermae yang terdapat khusus dalam
jaringan kayu. Berdasarkan penelitian (Siama, 2013) rendemen tanin yang
diperoleh dari buah maja sebesar 2,2% menggunakan pelarut etanol dan
sebesar 0,4% menggunakan pelarut etil asetat.
Pengambilan tanin dari buah maja dapat dilakukan dengan salah satu
metode ekstraksi yaitu maserasi. Kelebihan dari metode maserasi adalah
proses dan peralatannya sederhana dalam mendapatkan ekstrak yang
diinginkan (Agoes, 200). Maserasi dilakukan dengan cara memodifikasi
proses maserasi dengan pengadukan dan remaserasi.
Senyawa tanin yang diambil dari buah maja sangat berpotensi
sebagai bio-coagulant pada penjernihan air karena dapat mengikat protein
dan beberapa molekul lain. Air merupakan kebutuhan yang sangat penting
bagi hidup manusia sehingga banyak penelitian yang mencoba untuk
menjernihkan air. Hal ini dikarenakan air bersih yang terdapat di bumi
semakin lama semakin sedikit. Air tidak dapat memenuhi kebutuhan
kualitas dan kuantitas yang terus meningkat. Oleh karena itu, diperlukan
pengelolaan sumber daya air yang maksimal.
Koagulasi merupakan proses yang terjadi karena adanya
penambahan suatu bahan koagulan sitentik maupun alami ke dalam air yang
menyebabkan partikel-partikel yang ada di dalam air dapat menggumpal
menjadi satu kemudian berubah menjadi endapan. Kemudian air dan
endapan dapat dipisahkan dengan cara sedimentasi. Koagulan kimia (tawas
(Al2(SO4)3), kapur (CaO) dan Poly Aluminium Chloride (PAC)) memiliki
beberapa kekurangan yaitu dapat menyebabkan air menjadi asam dan kapur
dapat membuat air menjadi sadah karena kapur mengandung ion kalsium
(Tebbut, 1982).
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu
alternatif bio-coagulant yang mudah didapatkan dan ramah lingkungan.
Sekaligus dapat menambah nilai ekonomi dari buah maja yang belum
dimanfaatkan secara optimal.

II. Metode Penelitian


II.1. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Organik dan Kimia
Fisika, Jurusan Teknik Kimia, Universitas Katolik Widya Mandala
Surabaya pada bulan Desember 2015 sampai dengan Mei 2016.
II.2. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan utama dari penelitian ini adalah buah maja yang diperoleh dari
Jalan Mojo Klanggru, Surabaya, Jawa Timur. Bahan-bahan kimia yang
digunakan pada penelitian ini adalah Kaolin, etanol, aseton, aquades,
kalium permanganat, asam oksalat, asam sulfat, indikator indigo carmine,
besi (III) klorida, glass wool, dan kertas saring. Sedangkan alat-alat yang
digunakan untuk pengambilan crude tanin dari buah maja dan analisa
adalah rotary evaporator (Buchi RE 121), desikator (Glaswerk), neraca
analitik (Satorius Basic), neraca kasar (Precisa 3000 D), pH meter (Mettler
Toledo), turbidimeter (Lamotte 2008), oven (Memmert), blender (Panasonic
MX-J210PN), furnace (Thermolyne Furnace), cawan porselen, alat-alat
gelas, moisture analyzer (MB35 Halogen), centrifuge (Hettich EBA 21),
sieve shaker (Retsch AS 200), dan stirrer.
II.3. Prosedur Percobaan
Pada persiapan bahan baku kering, buah maja yang masih muda
dipotong kecil-kecil lalu dikeringkan dibawah sinar matahari agar diperoleh
kadar air kurang dari 10%. Kemudian daging dan biji maja yang telah
kering dihancurkan dengan blender, sedangkan kulit maja dihancurkan
dengan penggiling daging hingga menjadi serbuk. Serbuk maja diayak
menggunakan sieve shaker dengan ketentuan lolos saringan berukuran 12
mesh dan tertahan pada saringan berukuran 14 mesh. Selanjutnya,
dilakukan analisa berupa kadar air dan kadar abu pada serbuk maja.
Menimbang sebanyak 30 gram serbuk maja untuk setiap percobaan dan
dimasukkan ke dalam kantong plastik tertutup untuk penyimpanan.
Pada persiapan bahan baku fresh, buah maja yang masih muda
dikupas kulitnya, kemudian pada bagian kulit dipotong kecil-kecil dan
dihaluskan dengan blender hingga didapatkan fraksi terbanyak. Melakukan
analisa bahan baku berupa kadar air dan kadar abu pada kulit maja.
Menimbang sebanyak 6 gram (berat kering) kulit maja untuk setiap
percobaan.
Pada maserasi pertama digunakan isi dan kulit buah maja kering
dengan variasi jenis pelarut (etanol, aseton, dan aquades) dan (jumlah siklus
x waktu) maserasi selama 1x24 jam, 2x12 jam, 3x8 jam, 1x48 jam, 2x24
jam, dan 3x16 jam. Pada maserasi kedua digunakan kulit buah maja fresh
dengan variasi rasio kulit maja : pelarut (b/v) sebesar 1:25 dan 1:30 serta
variasi (jumlah siklus x waktu) maserasi selama 1x24 jam, 2x12 jam, 3x8
jam, 1x48 jam, 2x24 jam, dan 3x16 jam. Meskipun kedua jenis bahan baku
berbeda tetapi prinsip maserasi yang digunakan sama, yaitu awalnya serbuk
maja yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam beaker glass 500 mL.
Kemudian serbuk maja direndam dalam pelarut dengan jumlah tertentu dan
dilakukan pengadukan awal dengan kecepatan 700 rpm selama 1 jam.
Setelah waktu tertentu, dilakukan pemisahan antara filtrat dan padatan
menggunakan penyaring, kemudian padatan yang tidak dapat disaring
dipisahkan dengan alat centrifuge pada kecepatan 5000 rpm selama 5 menit.
Padatan tersebut dimaserasi lagi menggunakan jenis dan volume pelarut
yang sama, serta perlakuan yang sama seperti tahapan sebelumnya. Filtrat
yang diperoleh dari hasil pemisahan kemudian disatukan dan diuapkan
menggunakan rotary evaporator hingga tidak ada pelarut yang menetes
pada kondensor. Kemudian filtrat tanin ditimbang dengan neraca analitis
sebagai crude tanin. Dilakukan analisa crude tanin secara kualitatif dengan
pereaksi Gibbs dan secara kuantitatif dengan metode permanganometri.
Rendemen tanin dari kulit maja fresh yang tertinggi digunakan
sebagai koagulan pada air limbah sintetis. Air limbah sintetis dibuat dengan
memasukkan kaolin sebanyak 5 gram ke dalam beaker glass, kemudian
ditambahkan aquades hingga 1 L. Larutan kaolin diaduk dengan kecepatan
100 rpm selama 20 menit menggunakan stirrer dan didiamkan selama 24
jam. Endapan kaolin pada bagian dasar beaker glass diambil lalu
dimasukkan ke beaker glass dan ditambahkan aquades hingga 600 mL.
Larutan kaolin diaduk dengan kecepatan 100 rpm selama 20 menit hingga
homogen lalu didiamkan 2 jam sehingga terpisah antara endapan dan
suspensi. Memipet cairan bagian atas air limbah sintetis (suspended solid)
lalu dimasukkan ke dalam beaker glass sebanyak 50 ml. Kemudian
dilakukan analisa air limbah sebelum proses koagulasi meliputi pH dan
kekeruhan. Crude tanin dengan rendemen tertinggi ditambahkan ke dalam
sampel air limbah sebanyak 50 ml dengan variasi konsentrasi 750, 1000,
1250, 1500, dan 1750 mg/L. Proses koagulasi dilakukan dengan
pengadukan cepat (100 rpm selama 1 menit), dilanjutkan dengan
pengadukan lambat (30 rpm selama 15 menit), dan diendapkan selama 30
menit. Melakukan analisa kualitas air limbah meliputi pH dan kekeruhan
setelah proses koagulasi.

III. Hasil Penelitian dan Pembahasan


III.1. Penentuan Jenis Pelarut Terbaik untuk Mengekstrak CrudeTanin
Percobaan ini dilakukan dengan metode maserasi menggunakan
bahan baku kulit dan isi buah maja kering. Tujuan dari percobaan ini adalah
untuk mendapatkan pelarut terbaik, yaitu yang menghasilkan rendemen
tanin tertinggi. Tingginya nilai rendemen tanin menandakan banyaknya
kandungan tanin dalam ekstrak. Nilai rendemen tanin dipengaruhi oleh
kondisi pada proses maserasinya, terutama jenis pelarut dan ( jumlah siklus
x waktu) maserasi. Hasil perhitungan rendemen tanin dari kulit dan daging
buah maja kering dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 1 berikut.

Tabel 1. Pengaruh Jenis Pelarut dan (Jumlah Siklus x Waktu)


Maserasi terhadap Rendemen Tanin dari Buah Maja Kering

Rendemen Tanin (%)

Pelarut Etanol Aquades Aseton


Jumlah Siklus x
Waktu Maserasi
1 x 24 jam 0,13 0,12 0,03
2 x 12 jam 0,31 0,17 0,05
3 x 8 jam 0,35 0,24 0,09
1 x 48 jam 0,19 0,25 0,04
2 x 24 jam 0,28 0,36 0,07
3 x 16 jam 0,67 0,42 0,11
Gambar 1. Pengaruh Jenis Pelarut dan (Jumlah Siklus x Waktu)
Maserasi terhadap Rendemen Tanin

Dari Tabel 1 dan Gambar 1, dapat dilihat bahwa rendemen tanin


dengan pelarut etanol mempunyai nilai yang lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan pelarut aquades dan aseton pada hampir semua variasi
(jumlah siklus x waktu) maserasi. Rendemen tanin tertinggi diperoleh dari
hasil maserasi dengan etanol selama 3x16 jam, yaitu sebesar 0,67%. Oleh
sebab itu, dapat disimpulkan bahwa etanol merupakan pelarut terbaik untuk
mengekstrak tanin dari buah maja. Hal ini kemungkinan dikarenakan nilai
konstanta dielektrik etanol cenderung mendekati konstanta dielektrik tanin.
Harga konstanta dielektrik menunjukkan kepolaran suatu senyawa (harga
konstanta dielektrik etanol yaitu 24,6; Harga konstanta dielektrik air yaitu
81; dan harga konstanta dielektrik aseton yaitu 21). Apabila senyawa yang
diekstrak yaitu tanin memiliki polaritas yang mendekati polaritas pelarut
etanol maka semakin banyak hasil ekstrak yang diperoleh.

III.2. Pengaruh Rasio Pelarut dan (Jumlah Siklus x Waktu) Maserasi


terhadap Rendeman Tanin dari Kulit Maja Fresh
Setelah didapatkan pelarut terbaik yaitu etanol, percobaan maserasi
dilanjutkan dengan menggunakan buah maja fresh. Terdapat dua
pertimbangan yang mendasari hal tersebut. Yang pertama adalah proses
pengeringan bahan baku yang relatif lama mencapai 2 minggu dan yang
kedua adalah kandungan air di dalam buah maja tidak menganggu proses
transfer massa dikarenakan air dan pelarut sama-sama bersifat polar. Pada
tahap ini tidak digunakan daging maja dikarenakan pada percobaan analisa
didapatkan kadar tanin dalam daging maja tidak memberikan nilai
signifikan dibandingkan dengan kadar tanin di dalam kulit. Percobaan
maserasi ini dilakukan dengan variasi (jumlah siklus x waktu) dan rasio
pelarut etanol untuk mendapatkan rendemen tertinggi. Hasil perhitungan
rendemen tanin dari kulit maja fresh dengan variasi rasio pelarut dan
(jumlah siklus x waktu) maserasi disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 2
berikut.

Tabel 2. Pengaruh Rasio Pelarut dan (Jumlah Siklus x Waktu)


Maserasi terhadap Rendemen Tanin dari Kulit Fresh

Rendemen Tanin (%)


Rasio Kulit Maja :
Etanol (b/v) 1:25 1:30
Jumlah Siklus x
Waktu Maserasi
1 x 24 jam 0,22 0,39
2 x 12 jam 0,42 0,80
3 x 8 jam 0,87 1,05
1 x 48 jam 0,35 0,58
2 x 24 jam 0,43 0,92
3 x 16 jam 1,03 1,10

Gambar 2. Pengaruh Rasio Pelarut dan (Jumlah Siklus x Waktu)


Maserasi terhadap Rendemen Tanin dari Kulit Fresh
Dari Tabel IV.3. dan Gambar IV.4., rendemen tanin tertinggi
diperoleh dari maserasi dengan rasio kulit maja : etanol (b/v) 1:30 selama
3x16 jam, yaitu sebesar 1,1%. Berdasarkan penelitian Chavda [1],
kandungan tanin pada kulit maja mencapai 20%. Rendemen tanin yang
didapatkan dari penelitian ini lebih kecil dibandingkan penelitian Chavda
sehingga dilakukan ekstraksi tanin dengan metode soxhlet. Ekstraksi
dengan metode soxhlet dapat mengambil semua kandungan tanin dalam
buah maja sehingga dapat mengetahui rendemen tanin dari bahan baku
yang digunakan dalam penelitian ini. Rendemen tanin yang didapatkan
dari hasil ekstraksi kulit maja fresh tersebut sebesar 2,9%.
Dari hasil percobaan maserasi, didapatkan bahwa kenaikan waktu
maserasi akan meningkatkan rendemen tanin, misalnya pada waktu 1x48
jam memiliki rendemen tanin yang lebih tinggi dari 1x24 jam. Kemudian
pada waktu maserasi yang sama, semakin besar siklus maserasi maka
rendemen tanin juga lebih besar dikarenakan penggantian pelarut baru
akan meningkatkan pengikatan senyawa tanin oleh pelarut tersebut.
Misalnya, pada waktu maserasi 3x16 jam memiliki rendemen tanin yang
lebih tinggi dari 1x48 jam pada setiap rasio pelarut.
Pada percobaan ini, rasio kulit maja : etanol (b/v) 1:30
memberikan nilai rendemen yang lebih besar dibandingkan rasio kulit
maja : etanol (b/v) 1:25 pada semua waktu maserasi. Hal ini disebabkan
semakin banyak volume pelarut pada proses maserasi maka tanin yang
terekstrak juga semakin banyak. Tetapi apabila telah terjadi
kesetimbangan antara pelarut dan zat yang diektrak maka proses transfer
massa akan berhenti. Misalnya pada rasio kulit maja : etanol (b/v) 1:30
dengan waktu maserasi 2x24 jam memberikan peningkatan rendemen
sebesar 12% dari 2x12 jam. Tetapi pada waktu maserasi 3x16 jam hanya
memberikan peningkatan rendemen sebesar 5% dari 3x8 jam sehingga
apabila proses maserasi dilanjutkan untuk waktu yang lebih lama tidak
akan memberikan peningkatan rendemen.

III.3 Aplikasi Crude Tanin sebagai Bio-coagulant


Tanin dengan rendemen tertinggi digunakan sebagai bio-coagulant
untuk pengolahan limbah air sintetis kaolin. Pada percobaan ini dilakukan
penambahan crude tanin dengan konsentrasi yang berbeda-beda ke dalam
air limbah sintetis kaolin. Penambahan koagulan dapat menyebabkan
partikel-partikel koloid yang ada di air limbah dapat terendapkan sehingga
partikel-partikel pencemar dapat berkurang. Parameter kualitas air yang
diukur adalah kekeruhan dan nilai pH.
III.3.1. Kekeruhan
Turbidity (kekeruhan) merupakan suatu ukuran pada saat cahaya
tidak dapat menembus air. Pada saat cahaya semakin sedikit yang
diteruskan lewat air, maka berarti nilai turbidity air tersebut besar.
Begitupun sebaliknya, semakin banyak cahaya yang dapat diteruskan
melalui air maka nilai turbidity semakin kecil. Hal ini dapat diukur dengan
metode nefelometri yang memiliki satuan berupa NTU (Nefelometric
Turbidity Units).
Pada percobaan ini, sampel air limbah sintetis mengalami persen
penurunan kekeruhan mulai dari 16,89% hingga 45,52%. Konsentrasi crude
tanin tertinggi yaitu 1750 mg/L memberikan nilai persen penurunan yang
paling tinggi dari semua variasi konsentrasi crude tanin, yaitu sebesar
42,52%. Hal ini disebabkan semakin besar konsentrasi crude tanin yang
digunakan maka semakin banyak tanin yang mengikat padatan terlarut
sehingga dapat menghasilkan endapan atau flok yang baik. Pengaruh
konsentrasi crude tanin terhadap persen penurunan kekeruhan air limbah
sintetis disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 3 berikut.

Tabel 3. Pengaruh Konsentrasi Crude Tanin terhadap


Penurunan Kekeruhan Air Limbah Sintetis

No. Konsentrasi Crude Tanin (mg/L) Penurunan Kekeruhan


(%)
1. 750 16,89

2. 1000 21,48

3. 1250 32,86

4. 1500 43,86

5. 1750 45,52
Gambar 3. Pengaruh Konsentrasi Crude Tanin terhadap
Penurunan Kekeruhan Air Limbah Sintetis

Dari Tabel 3 dan Gambar 3 dapat dilihat bahwa pada konsentrasi


crude tanin sebesar 1000 mg/L hingga konsentrasi 1500 mg/L, persentase
penurunan kekeruhan mengalami peningkatan yang signifikan. Tetapi pada
konsentrasi crude tanin 1500 mg/L hingga konsentrasi 1750 mg/L tidak
memberikan peningkatan persen penurunan pH yang signifikan. Sehingga
apabila proses koagulasi dilanjutkan untuk konsentrasi crude tanin yang
lebih besar tidak akan memberikan peningkatan persen penurunan
kekeruhan.
Secara garis besar, jika ditinjau dari persen penurunan kekeruhan
air limbah, crude tanin berpotensi menjadi bio-coagulant pada penjernihan
air limbah. Koagulan tanin kemungkinan memiliki muatan yang berbeda
dengan suspended solid pada air limbah kaolin sehingga terjadi gaya tarik-
menarik antar partikel koloid limbah dengan partikel koagulan membentuk
endapan dan dapat menurunkan kekeruhan air limbah.

III.3.2. Nilai pH
pH merupakan suatu ukuran yang menunjukkan derajat asam-basa
dari suatu cairan. pH dapat dilihat melalui konsentrasi ion hidrogen yang
dikandung oleh zat cair. Ion hidrogen memegang peranan yang cukup
penting sehingga dapat mempengaruhi aktifitas manusia, binatang,
mikroorganisme dan proses-proses kimia yang terjadi di dalam air, namun
tidak di dalam pelarut organik. Pengaruh konsentrasi crude tanin terhadap
persen penurunan kekeruhan air limbah sintetis disajikan pada Gambar 4
berikut.

Gambar 4. Pengaruh Konsentrasi Crude Tanin terhadap Perubahan


pH Air Limbah Sintetis

Dari gambar 4 dapat dilihat bahwa sampel air limbah sintetis yang
telah diberi tanin mengalami perubahan pH berkisar antara 0,030-0,155.
Pada saat air limbah sintetis belum ditambahkan tanin, air limbah cenderung
basa lemah dikarenakan kandungan kaolin di dalam limbah tersebut.
Namun setelah ditambah oleh tanin yang cenderung asam, air limbah
mengalami penurunan pH. Oleh karena itu pH air limbah sintetis cenderung
mengalami penurunan dari basa ke arah netral (pH=7). Hal ini disebabkan
karena tanin yang sedikit asam melepaskan ion H + untuk berikatan dengan
OH- yang dilepaskan oleh kaolin, reaksi yag terjadi adalah:

H+ + OH-  H2O

IV. Kesimpulan
Dari percobaan pengambilan crude tanin dari buah maja dan
pemanfaatannya sebagai bio-coagulant, diperoleh kesimpulan sebagai
berikut:
1. Pelarut terbaik untuk mengekstrak crude tanin dari buah maja
adalah etanol.
2. a. Pada waktu maserasi yang sama, semakin besar rasio bahan baku
dengan volume pelarut (b/v) maka rendemen tanin semakin
meningkat.
b. Pada rasio bahan baku dengan pelarut (b/v) yang sama, kenaikan
waktu maserasi akan meningkatkan rendemen tanin. Kemudian
pada waktu maserasi yang sama, semakin besar siklus maserasi
maka rendemen tanin juga semakin meningkat.
3. a. Penambahan crude tanin pada limbah dapat meningkatkan nilai
pH dari limbah mendekati pH netral.
b. Pada kondisi air limbah yang sama, semakin besar konsentrasi
crude tanin yang ditambahkan maka semakin tinggi %
penurunan kekeruhan air limbah.
4. Crude tanin dari buah maja berpotensi menjadi bio-coagulant
karena penambahan tanin dapat menurunkan kekeruhan limbah
dengan signifikan.

Daftar Pustaka
1. Chavda N., Mujapara A., Mehta S.K and Dodia P.P. (2012). Primary
Identification of Certain Phytochemical Constituents of Aegle
Marmelos (L.) Corr. Serr Responsible for Antimicrobial Acticity
Againts Selected Vegetable and Clinical Phatogen. International
Journal of Physical and Social Sciences, (Online), Volume 2, Issue 6 :
194.
2. Nurcahyati, S.2008. Efektivitas Ekstrak Daun Mojo (Aegle marmelos)
Terhadap Kematian Larva Nyamuk Aedes Aegypti. Skripsi. Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
3. Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern
Menganalisis Tumbuhan. Bandung: ITB.
4. Siama, Yustina., Alam, Gemini,. dan Wahyudin, Elly. 2013. Uji
Aktivitas Hipoglemik Ekstrak Kulit Buah Maja (Aegle marmelos (L.))
Correa sebagai Inhibitor Alfa Glukosidase.
5. Agoes, G. Teknologi Bahan Alam. 2007.Bandung: ITB Press.
6. Tebbut, T.H.Y. 1982. Principles of Water Quality Control.

Anda mungkin juga menyukai