Anda di halaman 1dari 19

5.

1 Hubungan Karakteristik Responden Dengan Resiko Waterborne Disease Dan


Foodborne Disease

Berdasarkan hasil penelitian dari 25 pedagang makanan, pedagang yang berjenis


kelamin perempuan (76 %) lebih banyak dibandingkan laki-laki.Banyaknya responden
yang sebagian besar berjenis kelamin perempuan.terdapat kecenderungan perbedaan
perilaku higiene sanitasi pada masing-masing jenis kelamin. Pada umumnya jenis
kelamin perempuan dinilai mempunyai perhatian lebih terhadap higiene sanitasi
dan kebersihan diri dalam mengolah makanan juga tentunya daripada laki-laki
dikarenakan perempuan lebih sering berhubungan dengan proses pengolahan makanan
ketika berada di rumah.

Dengan lebih banyaknya perempuan yang bekerja sebagai pedagang makanan,


terdapat kemungkinan higiene sanitasi makanan maupun kebersihan diri yang lebih baik
jika dibandingkan dengan responden laki-laki, namun kesadaran akan pentingnya
higiene sanitasi perlu ditingkatkan dengan cara pelatihan dan penyuluhan, terutama pada
responden laki-laki. Higiene pribadi dari pedagang sangat penting karena akan saling
berkaitan dengan penyakit yang biasanya berkaitan dengan makanan seperti diare, tipus,
bisa saja hepatitis E dapat disebabkan oleh karena tidak baiknya pengelolaan makanan
yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan (fisik, biologi, dan kimia) dan faktor perilaku,
yaitu kebersihan orang yang mengolah makanan

Hasil penelitian menunjukkan responden paling banyak berada pada kelompok


umur≥ 40 tahun (40 %) dan paling sedikit yaitu umur ≤ 20 (4 %). Banyaknya kelompok
usia ≥40 tahun yang bekerja sejalan dengan data dari Portal Data Indonesia (2012),
dimana jumlah penduduk yang bekerja menurut umur yang jumlahnya paling besar
adalah kelompok umur 31-40 dan ≥40 tahun (1.440.182 jiwa). Kelompok umur 31-≥40
tahun menempati jumlah terbesar dikarenakan rentang usia tersebut merupakan puncak
usia produktif.Banyaknya jumlah responden pada usia produktif tergolong sebagai orang
yang dewasa dan dapat mengerti segala sesuatu. Setidaknya dengan keadaan ini,
responden dapat berpikir dan menanggapi secara positif bagaimana cara menangani
makanan yang sesuai dengan persyaratan higiene sanitasi jika sewaktu -waktu diberikan
penyuluhan.

Hasil penelitian diketahui bahwa jenjang pendidikan tertinggi dan terbanyak yang
pernah ditempuh oleh pedagang makanan jajanan adalah SMA/ sederajat dan SMP /
sederajat (44 %) dari 35 responden dan jenjang pendidikan paling sedikit danpaling
rendah yang pernah ditempuh responden adalah SDyaitu 4 %. Responden yang
sebagian besar tingkat pendidikannya SMA / sederajat memilih langsung bekerja
selepas SMA /sederajat dikarenakan biaya untuk melanjutkan pendidikan yang mahal
serta harus membantu keluarga.Dan ditemukannya responden yang berasal dari tingkat
pendidikan perguruan tinggi / akademi. Mayoritas responden dengan tamatan SMA /
sederajat dapat dikatakan memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi.Hal ini secara
tidak langsung dapat mempengaruhi pengetahuan sehingga diharapkan perilaku higiene
sanitasi pribadi pedagang dapat lebih baik lagi minamal dalam membiasakan mencuci
tangan agar tidak menimbulkan pencemaran terhadap makanan yang diolah dan
disajikan oleh responden. Meskipun tingkat pengetahuan tidak selalu berbanding dengan
tingkat pendidikan, pelatihan dan pendampingan kepada pedagang tetap perlu
dilaksanakan agar dapat tercipta suatu kebiasaan yang positif terhadap higiene sanitasi
makanan dan dapat meminimalisir terjadinya penularan penyakit oleh makanan maupun
melelui kebersihan air yang digunakan.

5.2 Hubungan Pengetahuan Responden Tentang Higiene Sanitasi Pribadi Dengan


Resiko Waterborne Disease Dan Foodborne Disease

Hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar tingkat pengetahuan pedagang


makanan mengenai kebersihan diri sudah baik (100 %). Dari penelitian tersebut, semua
poin mengenai pengetahuan kebersihan diri seperti manfaat dan pentingnya kebersihan
diri, akibat kebersihan makanan yang buruk terhadap tubuh serta bagaimana cara
menjaga kebersihan diri sudah dikatakan baik.Meskipun secara umum pengetahuan
pedagang makanan mengenai kebersihan diri sudah baik, masih ditemukan beberapa
pedagang makanan pengetahuan yang buruk mengenai akibat kebiasaan hidup yang
tidakbersih (56 %) karena tidak mengetahui bahwa hal tersebut menimbulkan
pencemaran pada makanan yang dapat meningkatkan angka kesakitan/kejadian penyakit
akibat dari kurangnya memperhatikan kebersihan diri pada responden yang bisa
berdampak pada konsumen makanan yang bisa terkena resiko penyakit foodborne
disease dan waterborne disease.

Sikap terhadap kebersihan yang buruk misalnya mereka tidak mengetahui dengan
pasti bahwa pencemaran makanan/air yang mereka gunakan bisa saja tercemar oleh
bakteri dan penjamah pembawa virus dapat terjadi jika langsung memegang makanan.
Memegang makanan secara langsung setelah memegang uang ternyata umum dilakukan
oleh responden. Pengetahuan mengenai kebersihan diri yang secara umum sudah baik
meskipun ada sebagian poin yang termasuk buruk tidak terlepas dari
karakteristik responden. Responden yang sebagian besar menempuh pendidikan
tertinggi SMA / sederajat diperkirakan memiliki pengaruh terhadap tingkat
pengetahuan yang diperoleh. Kurangnya pengetahuan mengenai akibat kebiasaan
hidup tidak bersih serta pencemaran makanan yang terjadi karena memegang makanan
secara langsung setelah memegang uang dikarenakan kebiasaan sehari-hari dari
lingkungannya sehingga dianggap lumrah.

Tingkat pengetahuan kebersihan diri yang tidak sebanding dengan tingkat


pendidikan diduga karena responden tidak mau tahu tentang bagaimana penjaja
makanan yang memenuhi syarat kesehatan. Persepsi seperti ini muncul juga karena
kurangnya sumber informasi lain seperti penyuluhan atau media masa yang didapat
sehingga menghasilkan pengetahuan yang kurang. Pelatihan dan pendampingan perlu
dilakukan agar pengetahuan dan kesadaran mengenai kebersihan diri dapat ditingkatkan.

Berdasarkan hasil wawancara diketahui tingkat pengetahuan mengenai peralatan


pada sebagian besar pedagang makanan jajanan adalah baik (100 %). Sebagian besar
pertanyaan pengetahuan mengenai peralatan dapat dijawab dengan baik oleh responden
kecuali poin pertanyaan tentang tindakan yang dapat menyebabkan pencemaran
makanan.Poin ini hanya 44 % responden yang menjawab dengan benar. Masih
banyaknya responden yang tidak mengetahui cara pencegahan kontaminasi makanan
dikarenakan responden beranggapan bahwa mencampur makanan dengan bahan
makanan tambahan dapat mencemari makanan dan menimbulkan penyakit.

Responden beranggapan bahan tambahan makanan yang dimaksud adalah seperti


pengawet, pewarna, pemanis dan sebagainya dapat mempengaruhi kesehatan.
Responden juga tidak terlalu menyadari bahwa makanan yang sudah kadaluarsa
berdampak lebih buruk jika di campurkan dengan makanan matang karena efeknya
dapat terjadi beberapa jam setelah makanan tersebut dikonsumsi. Dan mengenai hal-hal
yang harus dihindarkan dari tempat penyimpanan makanan pengetahuan responden
sudah baik namun dalam tindakannya tidak sesuai dengan yang mereka ketahui seperti,
debu, bau tak sedap, dan asap yang harusnya selalu dihindarkan dari tempat
penyimpanan makanan. Makanan yang tercemar oleh debu dan asap kendaraan
bermotor dapat mengandung logam berat seperti Pb atau timbal yang dapat
membahayakan kesehatan, bahaya yang ditimbulkan oleh penggunaan pb ini adalah
sering menyebabkan keracunan (Persatuan Ahli Gizi Indonesia, 2009).

Meskipun sebagian besar respondennya memiliki tingkat pendidikan SMA /


sederajat dan seluruhnya setuju jika peralatan harus dicuci sebelum digunakan.
Responden secara keseluruhan tidak mengetahui jika peralatan yang digunakan
harus dalam keadaan utuh (tidak patah, gompel dan retak), kedap air dan tidak terdapat
ukiran. Ketidaktahuan responden kemungkinan dikarenakan responden tidak menyangka
jika keadaan bentuk fisik peralatan makan dapat mempengaruhi kebersihannya.
Responden mengira jika peralatan sudah cukup baik jika dibersihkan terlebih dahulu
tanpa melihat kualitasnya secara fisik. Oleh karena itu saat pelatihan dan pendampingan,
perlu diinformasikan mengenai jenis - jenis bahan tambahan makanan yang aman dan
aturan penggunaannya serta pentingnya kualitas peralatan makan dan peralatan masak
yang digunakan.

Hasil wawancara pengetahuan penyajian pada pedagang makanan jajanan diperoleh


informasi bahwa sebanyak 100 % pedagang makanan jajanan sebagai responden
memiliki tingkat pengetahuan mengenai penyajian yang baik. Di sisi lain terkadang
makanan yang dijajakan langsung habis terjual, responden tidak pernah mengalami
basinya makanan yang dijajakan meskipun disajikan dalam keadaan terbuka.
Makanan yang tidak dipanaskan menyebabkan berkembangnya bakteri
Clostridium perfringens sehingga timbul penyakit enteritis (Arisman, 2009).
Makanan yang siap saji seperti makanan kalengan dan mie instan tidak menimbulkan
dampak buruk selama tidak terlalu sering dikonsumsi.kebiasaan memakan makanan
instan dan makanan yang diawetkan berisiko menimbulkan kanker (Utami, 2013).

Sebagian besar responden dapat menjawab dengan baik pertanyaan pada aspek: cara
pengolahan, bahan makanan, penyimpanan dan pemisahan jenis bahan makanan tetapi
banyak responden yang salah saat menjawab bagian pertanyaan: pemisahan bahan sesuai
jenis, penggunaan wadah tertutup, pemisahan bahan mentah dengan makanan matang.
Menggunakan perlengkapan yang bersih dan pembungkus atau wadah yang bersih dapat
dijawab dengan baik oleh seluruh responden, namun meniup pembungkus makanan
dan memanaskan kembali makanan setelah 6 jam tidak diketahui oleh seluruh
responden.Hal tersebut dikarenakankurangnya informasi yang diperoleh responden
mengenai apa saja yang boleh atau dilarang dipergunakan untuk makanan serta
pengakuan responden yang belum pernah mendapat pelatihan mengenai higiene sanitasi
makanan sehingga perlu diadakan oleh instansi terkait.

Dari aspek pengetahuan sarana, secara umum pengetahuan responden untuk


berjualan sudah dinilai baik (100 %) .Tingkat pengetahuan yang baik pada sebagian
besar responden dimungkinkan oleh pendidikan yang telah ditempuh oleh mayoritas
responden (SMA / sederajat) serta informasi yang mungkin tidak dengan sengaja
diketahui oleh responden, seperti dari percakapan harian, pengalaman hidup serta
informasi dari media masa. Pentingnya pendidikan dan pelatihan hygiene sanitasi
makanan. Kebersihan diri serta pendidikan dan pelatihan tentang hygiene sangat
penting karena derajat kebersihan suatu usaha tergantung pada perilaku higiene
perseorangan yang ditunjukkan oleh responden.

5.3 Hubungan Sikap Responden Tentang Higiene Sanitasi Pribadi Dengan Resiko
Waterborne Disease Dan Foodborne Disease
Sikap adalah kesiapan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku atau merespon
sesuatu, baik rangsangan positif maupun rangsangan negatif dari suatu objek. Meskipun
sikap belum merupakan wujud tindakan, sikap merupakan faktor predisposisi seseorang
untuk berperilaku (Sarwono, 2003). Secara umum, sebesar 92 % responden menanggapi
dengan baik pernyataan mengenai higiene sanitasi makanan. Berikut ini uraian mengenai
sikap responden higiene sanitasi :
Hasil penelitian dari aspek sikap mengenai kebersihan diri responden diketahui
sebagian besar responden (92%) memiliki sikap yang baik terhadap standar kebersihan
diri. Saat proses wawancara mengenai sikap terhadap kebersihan diri, sebagian responden
yang mengatakan bahwa tidak perlu mengobati dan menutup luka terbuka saat berjualan
asalkan saat menjamah makanan tetap menggunakan alat. Responden tersebut tidak
mengobati dan menutup luka terbuka (9 responden, 36%). Ditemukan juga sebanyak
100 % yang berarti dari seluruh responden yang bersikap positif terhadap boleh saja
pengolahan makanan merokok saat memasak karena hal tersebut dianggap tidak dapat
mencemari makanan.
Ahli kimia lingkungan Eunha Hoh, menyatakan bahwa asap rokok mengandung
ribuan zat kimia yang sebagian besar bersifat beracun dan karsinogenik.Penelitian oleh
Sleiman pada tahun 2010, menunjukkan bahwa penyerapan nikotin dari asap rokok dapat
berlangsung lebih cepat, dan jumlah yang terserap cenderung konsisten pada permukaan
di dalam ruangan, termasuk makanan, permukaan kulit dan pakaian. Zat nikotin tersebut
akan tersimpan dan dapat bereaksi dengan asam nitrat di udara sehingga membentuk
karsinogen nitrosamine yang dapat diserap tubuh melalui pernapasan, pencernaan dan
kontak dengan kulit. Zat sisa asap rokok dapat dideteksi dengan adanya bau rokok pada
permukaan benda setelah tidak adanya asap rokok. Hal ini juga menunjukkan adanya
racun dari rokok pada permukaan benda tersebut yang bisa saja menyebabkan penyakit
kanker ataupun penyakit pernafasan akibat kurang memperhatikan kebersihan diri dalam
pengelolaan makanan.
Dalam penelitian Muthmainnah (2012) pada sebaran responden berdasarkan sikap
terhadap kebersihan diri dilihat dari 11 pertanyaan pada sebaran berdasarkan daftar
pertanyaan, 9 pertanyaan diantaranya mampu dijawab dengan baik oleh sebagian besar
responden. Di sisi lain, terdapat 50% responden yang menanggapi secara positif terhadap
pernyataan mengenai mengobati dan menutup luka terbuka tidak begitu penting.
Padahal luka kecil atau luka besar, kalau tidak diobati atau ditangani dengan baik, bisa-
bisa tak kunjung sembuh atau bahkan memburuk karena luka tersebut berubah jadi infeksi
dan bisa saja mikroba pada luka menular ke makanan meskipun tidak terlihat dengan
kasat mata hal tersebut bisa saja menyebabkan penyakit diare ataupun penyakit menular
lainnya. Namun responden juga pernah memiliki luka terbuka seperti terkena pisau dan
lain-lain, sehingga responden menganggap hal itu diperbolehkan.Penyebaran informasi
mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri sangat diperlukan, terutama dalam bentuk
penyuluhan secara lisan atau melalui media.
Penelitian dari sikap terhadap peralatan responden diketahui sebesar 100 % memiliki
sikap yang baik terhadap standar kebersihan peralatan.Pada sebaran pertanyaan mengenai
sikap terhadap peralatan, semua pertanyaan mampu dijawab dengan baik oleh
responden.Banyaknya responden yang menanggapi secara positif seluruh poin kebersihan
peralatan dikarenakan alat masak dan alat makan yang kotor tidak enak dilihat dan tidak
nyaman digunakan.Sebesar 100 % responden atau seluruh responden menanggapi secara
positif (setuju) dengan tidak dalam penggunaan kertas bekas untuk alas
makanan.Penggunaan kertas bekas dapat mencemari makanan karena terdapat logam
berat berupa timbal (Pb) pada tinta yang masih melekat pada kertas (Persatuan Ahli Gizi
Indonesia, 2009). Timbal sangat berbahaya jika termakan terutama oleh ibu hamil karena
dapat mengganggu perkembangan dan merusak otak janin (Sinsin,2008). Sikap tersebut
kurang mereka ketahui akan bahaya pemakian nkertas koran untuk alas makanan dan
kontamiasi timbal atau bahan kimia lainnya dari proses pengollahan maupun penyajian
makanan, bahaya yang ditimbulkan oleh penggunaan pb sendiri yaitu dapat menyebabkan
keracunan dan timbunan sel – sel kanker dalam tubuh.
Penelitian pada variabel sikap terhadap penyajian menunjukan banyaknya responden
yang memiliku sikap yang baik terhadap penyajian sebesar 92 %.Hal ini terlihat dari
sebaran pernyataan sikap terhadap penyajian sebanyak empat soal menunjukkan semua
soal dapat dijawab dengan baik oleh responden. Semua responden menanggapi secara
positif jika pengolah bahan makanan harus memilih bahan makanan yang baik dan
bersih. Makanan yang baik dan bersih menurut responden diharapkan tidak menyebabkan
penyakit setelah dikonsumsi. Karena pemisahan bahan makanan mentah dan matang
dengan menutup makanan dengan penutup yang bersih juga ditanggapi secara positif oleh
masing-masing sebesar 92 % responden. Pemisahan bahan makanan dilakukan karena
mereka beranggapan bahwa bahan makanan yang mereka gunakan juga tidak
memungkinkan untuk disimpan dalam satu wadah. Menutup makanan juga diyakini
responden dapat melindungi makanan dari pencemaran. Sebanyak 8% meskipun sedikit
responden juga menanggapi secara negatif jika tidak harus juga memisahkan makanan
mentah dengan makanan matang. Hampir serupa dengan penelitian Muthmainnah
(2012), semua responden setuju dengan penggunaan bahan makanan yang baik dan
bersih, baik sebelum maupun sesudah pendampingan dan pelatihan. Sebanyak 71,4%
responden setuju dengan pemisahan bahan mentah dan matang, jumlah tersebut
meningkat menjadi 100% setelah pelatihan. Semua responden setuju jika harus menutup
makanan jadi dengan penutup yang bersih, baik sebelum maupun sesudah pelatihan.
Sedangkan terjadi peningkatan dari 92,8% menjadi 100% responden yang setuju pada
pemanasan sayuran hijau tidak boleh dilakukan berulang kali.
Penelitian pada sikap terhadap sarana responden menunjukkan hampir semua
responden (96 %) memiliki sikap yang baik terhadap persyaratan higiene sanitasi
sarana berjualan. Sebanyak 96 % responden menanggapi secara positif jika mereka
harus menyediakan tempat sampah yang memadai dan semua responden menunjukkan
sikap positif jika kebersihan tempat berjualan harus dijaga dan hanya 1 responden
makanan yang sikapnya tidak setuju terhadap persyaratan kebersihan terutama mengenai
sarana sampah di tempat makannya karena responden tersebut tidak menggunakan
sampah tetap namun sampah – sampah makanan dimasukkan kedalam kresek dan
langsung dikumpulkan dibelakang rumah responden. Hal ini dikarenakan tempat sampah
sangat diperlukan untuk membuang sisa dan bungkus makanan, serta kebersihan tempat
berjualan mempengaruhi kenyamanan dan pengunjung yang datang membeli sehingga
responden setuju saja dengan pernyataan tersebut.
Sehubungan mengenai teori tentang sikap yang digunakan, sikap responden terhadap:
kebersihan diri, peralatan, penyajian dan sarana berjualan yang ada di Daerah Aliran
Sungai Brantas Kecamatan Mojoroto masih ditemukan hal yang tidak konsisten dalam
menyikapi higiene sanitasi makanan. Ketidakkonsistenan itu terlihat 9 responden yang
berpikir tidak perlu mengobati dan menutup luka terbuka saat berjualan asalkan saat
menjamah makanan tetap menggunakan alat (36%), sehingga dibutuhkan serangkaian
pelatihan atau pemasangan media penyuluhan agar sikap higiene sanitasi kebersihan diri
responden dalam menyikapi saat pengelolaan makanan yang baik dan tidak dapat
menimbulkan penyakit untuk konsumen dapat dibiasakan oleh responden.

5.4 Hubungan Tindakan/ Perilaku Responden Tentang Higiene Sanitasi Pribadi


Dengan Resiko Waterborne Disease Dan Foodborne Disease

Sikap yang diwujudkan menjadi suatu perbuatan nyata oleh suatu individu disebut
tindakan (Budiman dan Riyanto, 2013). Makanan merupakan kebutuhan mendasar bagi
hidup manusia. Makanan tersebut sangat mungkin sekali terkontaminasi sehingga dapat
menyebabkan keracunan. Keracunan makanan yang disebabkan oleh adanya cemaran
mikrobiologis pada makanan masih banyak terjadi setiap tahun. Berdasarkan
Kepermenkes No.942/Menkes/SK/VII/2013 tentang pedoman persyaratan Higiene dan
Sanitasi Makanan, hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek hygiene sanitasi
perorangan masih rendah yaitu mencapai skor 25% , aspek higiene sanitasi tempat
dan fasilitasnya masih rendah yaitu hanya mencapai skor 35% dan aspek higiene
sanitasi peralatan dan perlengkapan masih sangat rendah yaitu mencapai skor 20%.

Upaya higiene dan sanitasi makanan pada dasarnya meliputi penjamah makanan,
proses pengolahan, penyimpanan, dan penyajian makanan. Maka dari itu berikut
tindakan responden diketahui dari aspek higiene sanitasi personal responden serta
dampak pencemaran mikrobiologis melalui aspek pengolahan, penyimpanan dan
penyajian makanan.

Dari hasil observasi di 8 tempat makan semuanya masih tergolong dalam Makanan
tradisional dan pengolahan juga tradisional/masih secara bersentuhan langsung dengan
bahan makanan dalam pengolahan makanan pada umumnya memiliki kelemahan dalam
hal keamanannya terhadap bahaya biologi atau mikrobiologi, kimia atau fisik. Adanya
bahaya atau cemaran tersebut seringkali terdapat dan ditemukan karena rendahnya mutu
bahan baku, teknologi pengolahan, belum diterapkannya praktik sanitasi dan higiene
yang memadai dan kurangnya kesadaran pekerja yang menangani makanan tradisional
berbeda dengan restoran atau pengolahan makanan di pabrik yang murni menggunakan
alat tanpa ada campur tangan manusia bisa meminimalisir adanya kontaminasi pada
makanan hasil olahan yang bisa saja menimbulkan resiko penyakit foodborne disease
atau waterborne disease.

Berdasarkan observasi, ditemukan sebanyak 88 % responden bertindak buruk


terhadap higiene sanitasi perseorangan dan pengelolaan makanan. Fasilitas sanitasi yang
dimiliki responden adalah sebagai berikut: masih terdapat kualitas fisik sumber air yang
tidak memenuhi syarat, dan belum semua mempunyai saluran air kotor. Kebanyakan
responden tidak mempunyai lap khusus, meskipun hampir semua menggunakan sabun.
Semua penjual mempunyai tempat sampah, tetapi masih ada beberapa yang tidak ada
tutupnya. Berikut ini penjabaran analisis hasil penelitian pada aspek tindakan hygiene
sanitasi perseorangan. Hasil skoring dari tindakan terhadap kebersihan diri responden
menunjukkan bahwa sebagian besar responden (88 %) kebersihan dirinya baik dan
berdasarkan pada pengamatan langsung tentang riwayat penyakit yang mudah menular,
ternyata tidak seorang pun responden yang sedang menderita penyakit mudah menular
pada saat penelitian, seperti menderita batuk, pilek, influenza, diare dan penyakit perut
sejenis diare.

Penjamah makanan dapat menjadi sumber pencemaran terhadap makanan, terutama


apabila penjamah makanan sedang menderita suatu penyakit atau karier. Menurut
Tamaroh (2002) beberapa faktor yang menentukan keamanan makanan di antaranya
jenis makanan olahan, cara penanganan bahan makanan, cara penyajian, waktu antara
makanan matang dikonsumsi dan suhu penyimpanan baik pada bahan makanan mentah
maupun makanan matang dan perilaku penjamah makanan itu sendiri.

Berdasarkan pada pengamatan dan wawancara langsung pada responden saat


penelitian, ternyata semua responden tidak memiliki luka dan atau bisul pada tubuhnya.
Luka menyebabkan bakteri pada kulit akan masuk ke bagian dalam kulit dan terjadilah
infeksi. Adanya luka koreng atau luka bernanah mempunyai risiko yang besar dalam
menularkan penyakit kepada makanan (Depkes RI, 2001).

Di sisi lain, pada distribusi frekuensi tindakan kebersihan diri responden yang
diperoleh dari observasi dan wawancara, ditemukan jumlah responden yang sebagian
besar tidak memenuhi aspek tindakan kebersihan diri, seperti: tidak menjaga kebersihan
(tangan, kuku dan rambut) sebanyak 12 %, tidak memakai celemek dan tutup kepala
(100 %) serta tidak mencuci tangan setiap kali hendak menangani makanan (80 %). Hal
tersebut sangat memungkinkan bakteri yang menempel pada baju,tangan yang terluka
atau tangan yang kurang bersih dapat masuk ke dalam makanan,hal tersebut menjadi
salah satu tempat untuk berkembangbiaknya bakteri dan mengkontaminasi
makanan,seperti Bakteri salmonella dan e.coli .Infeksi bakteri salmonella dapat bersifat
fatal,terutama pada bayi berumur kurang dari satu tahun.Selain di pengaruhi umur juga
bergantung pada jumlah bakteri yang masuk.

Diketahui bahwa kebersihan pakaian dan diri pada responden paling banyak masuk
dalam kategori baik. Hasil wawancara dan observasi diketahui responden paling banyak
menjawab selalu menjemur pakaian di bawah terik matahari. Panas matahari dapat
membunuh bakteri pada pakaian. Responden selalu mengganti baju yang telah basah dan
lembab oleh keringat. Keringat merupakan tempat berkumpulnya bakteri. Biang keringat
yang lembab serta kebersihan diri pedagang di lihat dari segi kebersihan pakaian jika
tidak dijaga kebersihannya dapat mengakibat Keluhan penyakit kulit yang disebabkan
oleh berbagai faktor.Penyakit kulit karena infeksi bakteri adalah skrofuloderma,
tuberkolosis kutis verukosa, kusta (lepra), patek. Gangguan kulit karena infeksi bakteri
pada kulit yang paling sering adalah pioderma (Harahap,2000).

Beberapa responden yang kebersihan tangan, kuku dan rambutnya buruk memiliki
kuku yang panjang dan kehitaman serta mengenakan pakaian yang terlihat kotor.
Kebersihan diri yang buruk tersebut dikarenakan para pedagang makanan yang terlihat
tidak peduli pada kebersihan kuku serta pakaiannya. Bentuk kuku yang menyerupai
celah dapat membuat berbagai kotoran masuk ke dalamnya. Kuku yang panjang dan
kotor dapat menjadi tempat bersarangnya bakteri. Sehingga kebersihan kuku perlu
diperhatikan dalam melakukan pengolahan makanan untuk mencegah kontaminasi
bakteri Escherichia coli yang menyebabkan timbulnya penyakit diare. Menurut Stevens
(2000), adapun tujuan perawatan kuku yaitu membersihkan kuku, mengembalikan batas-
batas kulit ditepi kuku ke keadaan normal serta mencegah terjadinya perkembangan
kuman penyakit maka dari itu perlu perawatan kuku dengan cara menggunting kuku
sekali seminggu dan menyikat kuku menggunakan sabun.
Dalam Elfira (214) Padahal pakaian, tangan dan kuku yang kotor dapat
memindahkan agen penyakit ke makanan (Purnawijayanti, 2001). Pemakaian celemek
tidak ditemukan pada responden, namun pemakaian tutup kepala berupa kerudung atau
topi dilakukan karena alasan kebiasaan, bukan karena untuk menghindari kontaminasi
makanan oleh rambut.Pemakaian tutup kepala sangat penting untuk mencegah rambut
terjatuh dan masuk kedalam makanan, meskipun berpeluang kecil mengontaminasi
makanan dengan bakeri yang melekat, keberadaan sehelai rambut pada makanan dapat
menurunkan nilai estetis dari makanan itu sendiri.

Masih ada responden yang tidak mencuci tangan saat observasi dikarenakan mereka
sudah terbiasa tidak mencuci tangan padahal untuk sarana air bersih sudah tersedia. Di
tempat - tempat berjualan yang tersedia tempat air bersih juga ditemukan pedagang
makanan yang tidak mencuci tangannya karena merasa malas harus mondar –mandir
setiap akan menangani makanan,terlebih saat pembeli yang datang dalam jumlah banyak
ketika waktu istirahat dan pulang sekolah. Karena saat tersebut ramai untuk membeli
makanan dan pedagang makanan sibuk melayani, pedagang tersebut tidak mencuci
tangannya, padahal selalu memegang uang setelah selesai menangani makanan lalu
kembali menangani makanan untuk pembeli berikutnya.

Penjual berpendapat bahwa mencuci tangan dengan menggunakan air sudah cukup
untuk menghilangkan kotoran yang ada pada tangan namun tidak lantas menyebabkan
jumlah koloni bakteri menjadi sedikit dan negatif mengandung bakteri E. coli.
Penggunaan sabun pada saat mencuci tangan efektif dalam menghilangkan bakteri
karena lemak dan kotoran dimana terdapat bakteri didalamnya yang menempel pada
tangan dapat terlepas pada saat tangan digosok. Menurut WHO langkah mencuci tangan
yang baik adalah dengan membasahi kedua tangan dengan air mengalir, memberi sabun
pada tangan, menggosok kedua telapak tangan, punggung tangan dan sela-sela jari.

Kebersihan diri yang buruk seperti: bersin didekat makanan, meludah, merokok
ataupun tidak mencuci tangan menyebabkan kontaminasi silang terhadap makanan yang
disajikan atau diproses. Dalam elfira (2014), Kontaminasi silang dapat menyebabkan
makanan tercemar sehingga kuman penyebab diare masuk kedalam tubuh dan
menginfeksi saluran pencernaan (Arisman, 2009). Sebagian besar penjual juga menutup
hidung dan mulutnya ketika bersin dan batuk. Namun penjual tidak mencuci tangan
setelah batuk atau bersin.
Mencuci tangan penting dilakukan karena bakteri mampu mengkontaminasi
makanan melalui cairan tubuh seperti liur maupun ingus. Penjual tidak menggunakan
alat pelindung seperti masker atau penutup mulut dan sarung tangan saat menangani
pembeli. Mereka berpendapat bahwa menggunakan alat pelindung merupakan hal yang
mengganggu saat mengolah makanan. Contohnya pada penggunaan masker, responden
merasa tidak bisa bernafas dengan lancar karena terhalang oleh masker padahal alat
pelindung diri penting untuk digunakan untuk menghindari adanya kontaminasi bakteri
dari mulut dan hidung.

Penelitian pada tindakan terhadap peralatan pada pedagang makanan besar utara
menunjukkan bahwa sebagian besar responden (100 %) kebersihan peralatannya baik.
Ditribusi frekuensi tindakan responden berdasarkan observasi terlihat bahwa sebanyak 4
persyaratan mengenai kebersihan peralatan dapat dipenuhi dengan baik. Dari hasil
observasi 2 responden jumlah air untuk pencucian sudah memadai untuk praktik
pencucian peralatan. Kemudian sudah membuang sisa makanan terlebih dahulu dan
menggunakan sabun saat mencuci peralatan seperti piring ini sudah memenuhi salah satu
kriteria Kepmenkes No. 1098 (2003) tentang pencucian peralatan. Untuk bak cuci
responden rata – rata menggunakan 2 bak air pencucian padahal semestinya harus terdiri
dari 3 bak air pencucian. Berdasarkan Kepmenkes No. 1098 (2003) bak pencuciannya
sedikit terdiri dari 3 bak pencuci yaitu mengguyur, menyabun, dan membilas.

Dan semua responden sudah mempunyai persediaan air yang cukup dan semua
responden sudah menggunakan air pdam dalam penggunaan sehari – hari. Hal tersebut
dapat meminimalisir adanya penularan penyakit yang ditularkan melalui air yang
disebabkan oleh mikroorganisme patogen. Kejadian paling menonjol adalah timbulnya
penyakit diare yang ditularkan melalui air. Namun meskipun banyaknya responden
sudah penggunakan air pdam tidak memungkiri akan terjadinya pencemaran air yang
bisa berasal dari kondisi sekitar sumber air bersih seperti kontaminasi tinja, sampah, air
limbah maupun kotoran hewan. Dan bisa saja bak penampungan air yang sebelum
dipakai tidak dicuci terlebih dahulu dapat menjadi salah satu penyebab banyaknya
jumlah kuman dalam air.

Jika responden memperhatikan dalam penyediaan air bersih seperti dalam


menggunakan air minum yang direbus, mencuci semua peralatan masak dan makan
dengan air yang bersih dan cukup. Maka hal tersebut mempunyai risiko menderita diare
lebih kecil bila dibandingkan dengan penyediaan air yang sekadarnya. Meskipun cara
pencucian yang dilakukan sudah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan, namun media
yang digunakan mempengaruhi hasil pencucian. Hal itu dikarenakan pada proses
pencucian dengan air mengalir semua kotoran yang terlarut akan mengalir tanpa
mencemari alat makan kembali, sedangkan pada proses pencucian yang hanya
menggunakan bak dimungkinkan kotoran-kotoran dari hasil bilasan peralatan makan
akan terakumulasi pada air rendaman tersebut sehingga dapat mencemari air yang
digunakan untuk mencuci dan peralatan lain yang akan dicuci.

Penggunaan bak saat pencucian peralatan makan sebenarnya diperbolehkan, namun


harus sesuai dengan syarat yang telah ditentukan, yaitu terdiri dari tiga bak dan harus
dicuci sebelum dan sesudah digunakan agar bersih. Kebersihan bak pencucian memang
harus diperhatikan karena bak yang kotor memungkinkan terjadinya kontaminasi silang
antara bak dan peralatan. Menurut prinsip-prinsip dasar pencucian peralatan makan yang
terpenting adalah tersedianya sarana pencucian peralatan dengan memiliki tiga bagian,
yaitu bagian pencucian, bagian pembersihan/pembilasan dan bagian desinfeksi. Bak
pertama berisi air sabun, bak kedua berisi air bersih untuk membilas, dan bak ketiga
berisi air yang diberi desinfektan atau dengan air panas.

Sedangkan mikroorganisme yang secara spesifik menyebabkan penyakit yang


ditularkan melalui air diantaranya protozoa dan bakteri, banyak parasit usus, atau
menyerang jaringan atau sistem peredaran darah melalui dinding saluran pencernaan.
Berbagai penyakit ditularkan melalui air lainnya disebabkan oleh virus, parasit
metazoan, nematoda tertentu, dan lain sebagainya. Meskipun secara umum tindakan
terhadap kebersihan peralatan sudah baik, mereka beranggapan bahwa peralatan yang
sudah dicuci ditiriskan sampai kering lalu dilap kembali saat hendak dipakai. Selain itu,
meskipun peralatan yang dicuci sudah kering, lap yang digunakan untuk mengeringkan
peralatan terlihat cukup bersih. Penggunaan lap yang sudah kotor untuk mengelap
peralatan dapat mencemari makanan dikarenakan mikroorganisme dapat berpindah ke
peralatan tersebut (Setyorini,2013).

Menurut Kusmayadi (2007) terdapat 4 (empat) hal penting yang menjadi prinsip
higiene dan sanitasi makanan meliputi perilaku sehat dan bersih orang yang mengelola
makanan, sanitasi makanan, sanitasi peralatan dan sanitasi tempat pengolaha makanan
dapat terkontaminasi mikroba karena beberapa hal, di antaranya adalah menggunakan
kain lap kotor untuk membersihkan meja, perabotan bersih dan lain-lainnya serta
makanan disimpan tanpa tutup sehingga serangga dan tikus dapat menjangkaunya serta
pengolah makanan yang sakit atau karier penyakit.

Penjamah makanan merupakan sumber utama kontaminasi makanan. Tangan, napas,


rambut dan keringat dapat mencemari makanan. Kebersihan penjamah, terutama
kebersihan tangan sangat perlu diperhatikan. Keadaan tangan yang kotor, memiliki kuku
panjang dan kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum dan setelah menjamah makanan
ataupun peralatan memungkinkan terjadinya kontaminasi bakteri pada air yang
digunakan untuk mencuci dan peralatan makan. Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, kebersihan tangan sangatlah penting bagi penjamah makanan. Tangan yang
kotor atau terkontaminasi pada penjamah makanan dapat memindahkan bakteri dan virus
patogen dari tubuh, feses, atau sumber lainnya ke air yang digunakan saat mencuci,
makanan atau peralatan makan yang tersentuh. Oleh karena itu mencuci tangan dengan
air mengalir dan sabun sebelum melakukan pekerjaan merupakan suatu keharusan.
Pencucian tangan, meskipun tampaknya merupakan kegiatan ringan dan sering dianggap
remeh, terbukti cukup efektif dalam upaya mencegah kontaminasi pada makanan.
Pencucian sebaiknya dilakukan memakai sabun yang mengandung anti bakteri karena
lebih efektif membunuh kuman dibanding sabun biasa.

Pedagang makanan juga ada yang tidak menyimpan peralatan ditempat yang bebas
pencemaran (100%). Ketika diwawancara dan diobservasi, responden mengatakan
bahwa tempat penyimpanan peralatan yang digunakan adalah rak piring yang terbuka
serta ada yang menggunakan tempat yang tertutup tetapi permukaannya kotor. Mereka
beranggapan bahwa tempat penyimpanan yang bersih, tertutup serta terlindungi
merupaka hal yang tidak terlalu penting selama peralatan yang disimpan masih terlihat
bersih secara kasat mata. Kebersihan peralatan yang dipakai seperti sendok, mangkok,
gelas, piring dan sebagainya sangat menentukan kebersihan makanan.

Hal tersebut dapat menjadi perantara melekatnya bakteri ke peralatan yang akan di
gunakan.Tidak menyimpan peralatan di tempat yang bebas pencemaran menjadi tempat
berkembangbiaknya Bakteri Salmonella,Ecoli dan Closstridium,karena bakteri
Clostridium dapat menyebabkan sakit tenggorokan sehingga tidak dapat menelan dan
diikuti kelumpuhan otot yang menyebabkan lidah den leher tidak dapat di gerakkan.

Selain Bakteri tersebut,hewan pengerat seperti tikus dapat dengan mudah menjamah
dan mengkontaminasi peralatan yang tidak di simpan bebas dari pencmaran.Urin tikus
yang mengandung bakteri Leptospira dapat menyebabkan penyakit Leptospirosis.
Infeksi dengan leptospira umumnya berlangsung melalui luka atau erosi pada kulit
maupun selaput lendir, namun infeksi juga dapat berlangsung melalui kulit utuh yang
terpapar dalam waktu yang cukup lama.

Hasil penelitian pada tindakan saat penyajian berdasarkan hasil observasi dan
wawancara menunjukkan sebagian besar (12 %) pedagang makanan memiliki cara
penyajian yang baik. Pada distribusi frekuensi tindakan terhadap penyajian, semua
persyaratan mengenai higiene sanitasi saat penyajian dapat dipenuhi dengan baik oleh
sebagian besar pedagang. Ditemukan juga adanya makanan yang tidak disajikan dalam
keadaan tebungkus atau tertutup tipis (88 %) dengan makanan yang dijajakan secara
tertutup (12 %). Selain itu, sebesar 88% responden tidak mengangkut makanan dalam
keadaan tertutup atau terbungkus dalam wadah yang bersih. Pada umumnya hal ini
ditemukan pada makanan yang digoreng.Setelah bahan mentah digoreng lalu diletakkan
di tempat makanan matang tetapi tidak tertutup, seringkali angin bertiup dan debu yang
beterbangan dapat mengenai makanan, walaupun ada yang menggunakan penutup,
hanya digunakan sesekali saat sedang tidak ada pembeli.

Hasil pengamatan menunjukkan responden menjajakan dagangannya dalam keadaan


terbuka. Kalaupun ada yang ditutup, hanya sesekali saja ketika sedang tidak ada
pembeli. Penutup yang digunakan sebagian berupa selembar plastik yang sudah tampak
kotor. Penutup makanan jajanan tidak ada atau kurang memadai, misalnya hanya ditutup
selembar kertas atau daun pisang. Sehingga lalat banyak menghinggapi makanan jajanan
tersebut. sarana penjaja makanan berupa lemari makanan yang dipajang di warung dan
kantin sebagian besar dalam keadaan tidak tertutup. Kalaupun ada, penutup itu hanya
berupa kain bekas gorden tipis yang jarang sekali dirapatkan terutama ketika tamu
sedang ramai.

Ditemukannya beberapa pedagang makanan jajanan yang tidak menutup makanan


ketika disajikan dan diangkut menunjukkan kurangnya kesadaran mengenai manfaat jika
makanan terlindungi dengan cara ditutup. Makanan yang tertutup dapat terhindar dari
berbagai kontaminasi serta vektor seperti lalat, kecoa dan tikus (Ide,2007).

Responden membungkus makanan jajanan dengan menggunakan pembungkus yang


dapat mencemari makanan, misalnya menggunakan kertas koran dan
kantong kresek berwarna. Beberapa kertas non kemasan (kertas koran dan majalah) yang
sering digunakan untuk membungkus pangan, terdeteksi mengandung timbal (Pb)
melebihi batas yang ditentukan. Banyak makanan jajanan seperti gorengan dibungkus
dengan koran karena pengetahuan yang kurang, padahal bahan yang panas dan berlemak
mempermudah berpindahnya timbal ke makanan tersebut (Jaringan Informasi Pangan
dan Gizi, 2008). Menurut Sartono (2002) timbale terdapat pada kertas koran dan majalah
karena terdapat pada tinta cetak. Efek toksik timbale terutama pada otak dan sistem saraf
pusat. Akibat keracunan timbal ialah gangguan sistem saraf pusat, saluran cerna dan
dapat juga timbul anemia.

Kantong plastik kresek berwarna terutama yang berwarna hitam kebanyakan


merupakan produk daur ulang yang sering digunakan untuk mewadahi makanan. Dalam
proses daur ulang tersebut riwayat penggunaan sebelumnya tidak diketahui, apakah
bekas wadah pestisida, limbah rumah sakit, kotoran hewan atau manusia, limbah logam
berat dan lain-lain. Dalam proses tersebut juga ditambahkan berbagai bahan kimia yang
menambah dampak bahayanya bagi kesehatan (BPOM RI, 2009).

Hasil skoring pada tindakan mengenai sarana pada tindakan terhadap sarana,
diketahui sebagian besar responden memiliki kondisi sarana berjualan yang buruk (12
%). Berdasarkan distribusi frekuensi tindakan higiene sanitasi terhadap sarana berjualan,
ditemukan satu syarat sarana berjualan yang tidak terpenuhi, yaitu sarana penjaja
makanan yang sulit dibersihkan 12 %. Pada kios, ada beberapa hal yang menyebabkan
kios tersebut sulit dibersihkan, antara lain: luas kios yang sempit dijejali berbagai macam
makanan dan barang – barang yang dikemas didalam kardus serta ditumpuk
dibawahmeja, penggunaan meja kayu yang permukaannya tidak rata serta ditemukannya
barang-barang bekas yang tidak ada hubungannya dengan penyajian makanan di bawah
meja tersebut, seperti tumpukan kayu dan alas kaki yang berdebu.

Meja kayu yang permukaannya tidak rata membuat proses pembersihan lebih sulit
karena kotoran dapat menempel di sela-sela kayu tersebut. Barang-barang rongsokan
berupa tumpukan kayu serta alas kaki yang berdebu dapat mencemari makanan yang
sedang dimasak diatasmeja tersebut.Pada sarana berjualan berupa gerobak, adanya
celah-celah diantara kaca dan kayu serta permukaan kayu yang terlihat berpori besar
menyebabkan menumpuknya kotoran dan sulit dibersihkan.Bagian tempat penyimpanan
peralatan yang berada di sisi bawah bagian dalam gerobak seringkali menjadi bagian
yang terlupakan untuk dibersihkan karena gelap dan penggunanya lebih fokus pada
pembersihan peralatannya saja.

Meskipun gambaran tindakan pedagang makanan secara umum adalah buruk.


Tindakan terhadap: kebersihan diri, peralatan dan penyajian masih bisa dinilai baik,
kecuali tindakan terhadap sarana yang digunakan. Hal ini dimungkinkan karena
pengetahuan dan sikap yang secara umum adalah baik.Disisi lain, gambaran sikap
yang secara umum baik, dan gambaran sikapyangsangat positif terhadap pernyataan
“mencuci tangan menggunakan sabun harus dilakukan oleh pengolah makanan sebelum
memasak” ternyata belum sepenuhnya diwujudkan, terlihat dari banyaknya pedagang
makanan jajanan yang tidak mencuci tangannya sebelum menangani
makanan.Dikarenakanadanya pengetahuan yang baik dan sikap positif yang
bertentangan dengan tindakan, perlu diadakan pengawasan secara berkala oleh dinas
kesehatan / instansisetempat.

Berdasarkan Permenkes Nomor 1096/MENKES/PER/VI/2011, pekerja penjamah


makanan harus selalu memakai pakaian khusus atau pakaian kerja. Pakaian kerja
tersebut harus bersih dan tidak dipakai diluar instalasi gizi. Selainhal tersebut, pekerja
penjamah makanan tidak boleh menggunakan perhiasan. Perhiasan tidak boleh
digunakan pada saat bekerja karena perhiasan dapat membawa bakteri yang dapat
menyebabkan penyakit bawaan makanan. Perhiasaan yang dipakai juga dikhawatirkan
jatuh ke dalam makanan dan menjadi bahaya fisik pada makanan tersebut. Dan banyak
rongga pada cincin yang kemungkinan itu kotor dan responden yang khususnya wanita
dan memakai cincin tidak melepasnya saat mandi ataupun buang air besar maupun kecil.
Kondisi semacam ini dapat menularkan penyakit, yakni ketika kita setelah berak tidak
mencuci tangan dengan bersih hingga bakteri yang ada pada tangan berpindah ke
makanan. Di antara penyakit yang dipindahkan adalah semua penyakit yang dibawa lalat
terutama typhoeid, solamania, desentri, keracunan makanan, dan telur cacing
terutama cacing aksoris dan ascaris (cacing gelang, yaitu cacing yang hidup di dalam
usus halus manusia) dan cacing pita dengan segala macamnya.

5.5 Dampak Pencemaran Mikroba Pada Makanan

Hal ini menunjukkan bahwa Makanan yang terkontaminasi dapat menimbulkan


gejala penyakit baik infeksi maupun keracunan. Kontaminasi makanan adalah
terdapatnya bahan atau organisme berbahaya dalam makanan secara tidak sengaja.
Bahan atau organism berbahaya tersebut disebut kontaminan. Terdapatnya kontaminan
dalam makanan dapat berlangsung melalui 2 (dua) cara yaitu kontaminasi langsung dan
kontaminasi silang. Kontaminasi langsung adalah kontaminasi yang terjadi pada bahan
makanan mentah, baik tanaman maupun hewan yang diperoleh dari tempat hidup atau
asal bahan makanan tersebut. Sedangkan kontaminasi silang adalah kontaminasi pada
bahan makanan mentah maupun makanan masak melalui perantara. Bahan kontaminan
dapat berada dalam makanan melalui berbagai pembawa antara lain serangga, tikus,
peralatan ataupun manusia yang menangani makanan tersebut yang biasanya meru-
pakan perantara utama.

Pencemaran mikrobia di dalam makanan dapat berasal dari lingkungan, bahan-bahan


mentah, air, alat-alat yang digunakan dan manusia yang ada hubungannya dengan proses
pembuatan sampai siap disantap. Jenis mikrobia yang sering menjadi pencemar bagi
makanan salah satunya adalah bakteri. Bakteri yang mengkontaminasi makanan dapat
berasal dari tempat/bangunan, peralatan, orang dan bahan makanan.

Bakteri terdapat dimana-mana misalnya dalam air, tanah, udara, tanaman, hewan dan
manusia. Di dalam pengolahan makanan, bakteri dapat berasal dari pekerja, bahan
mentah, lingkungan, binatang dan fomite (benda-benda mati). Sumber-sumber ini dapat
menyebarkan bakteri yang mungkin menyebabkan pembusukan makanan atau
tersebarnya suatu penyakit. Bakteri yang tinggal dalam usus dapat pindah ke dalam
makanan jika penjamah makanan tidak mencuci tangan dengan benar setelah
menggunakan kamar kecil. Mencuci tangan yang benar sangat penting setelah
menggunakan toilet, tidak hanya setelah buang air besar, karena bakteri patogen juga
dapat diperoleh dari pengguna toilet sebelumnya melalui pegangan pintu, keran dan
handuk pengering.

Bakteri patogen di dalam makanan juga dapat menyebabkan keracunan makanan.


Hal ini disebabkan oleh tertelannya racun (toksin) yang diproduksi oleh bakteri selama
tumbuh dalam makanan. Gejala keracunan makanan oleh bakteri dapat berupa sakit
perut, diare, mual, muntah atau kelumpuhan. Bakteri yang tergolong ke dalam bakteri
penyebab keracunan misalnya Staphylococcus aureus, Clostridium perfringens, Bacillus
cereus yang memproduksi racun yang menyerang saluran pencernaan (Badan POM,
2002)
REFERENSI
Mufidatul Khotimah, 2015. GAMBARAN PENERAPAN FOOD SAFETY PADA
PENGOLAHAN MAKANAN DI INSTALASI GIZI RUMAH SAKIT BHAKTI
WIRA TAMTAMA SEMARANG. Universitas Negeri Semarang November 2015

Agsa Sajida, Dkk, 2012. HUBUNGAN PERSONAL HYGIENE DAN SANITASI


LINGKUNGAN DENGAN KELUHAN PENYAKIT KULIT DI KELURAHAN
DENAI KECAMATAN MEDAN DENAI KOTA MEDAN TAHUN 2012.
Departemen Kesehatan Lingkungan

Retno Hestiningsih, 2019. HUBUNGAN ANTARA KEBERSIHAN DIRI DAN PRAKTIK


HIGIENE PENJUAL DENGAN KEBERADAAN Escherichia coli PADA NASI

Antara, Dr. Nyoman Semadi. 2004, Menyehatkan Makanan Jajanan [online],


dari http://balipost@indo.net.id, [18 januari 2020]
Depkes RI. 2000, Prinsip-Prinsip Hygiene dan Sanitasi Makanan, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.
Djaja, I Made. 2008, Kontaminasi E.Coli Pada Makanan Dari Tiga Jenis Tempat Pengelolaan
Makanan (TPM) di Jakarta Selatan 2003, Makara Kesehatan 12 (1): 36- 41. 5. Negara
Urusan Pangan Republik Indonesia, Jakarta, pp. 597-603.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 942/Menkes/SK/VII/2003 tentang
Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan, Depkes RI.
Kusmayadi, Ayi dan Dadang Sukandar. 2007, Cara Memilih dan Mengolah Makanan untuk
Perbaikan Gizi Masyarakat. [on line]. Special Programme For Food Security: Asia Indonesia,
dari webmaster@deptan.go.id. Diakses [18 januari 2020]
WHO. 2006, Penyakit Bawaan Makanan : Fokus Pendidikan Kesehatan, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
1 Slamet, Juli Soemirat. 1994, Kesehatan Lingkungan, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Susanna, Dewi dan Budi Hartono. 2003, ‘Pemantauan Kualitas Makanan Ketoprak dan Gado-
Gado di Lingkungan Kampus UI Depok Melalui Pemeriksaan Bakteriologis’ Makara Seri
Kesehatan 7(1) : 21-29.
1 Thaheer, Hermawan. 2005, Sistem Manajemen HACCP (Hazard Analysis Critical Control
Point), PT. Bumi Aksara, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai