BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk mengetahui hubungan titik temu antara niliai Islam dengan budaya dan
kearifan lokal, maka yang terlebih dahulu harus dipahami adalah pengertian budaya dan
kearifan lokal itu sendiri, agar unsur-unsur yang membentuk budya dan kearifan lokal itu
dapat diketahui. Salah satu definisi menyebutkan bahwa budaya dan kearifan lokal adalah
gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,bernilai baik,
yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam kearifan lokal terkandung
pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang
sudah sedemikian menyatu dengan system kepercayaan, norma, dan budaya serta
diekspressikan dala mtradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.
Pelaku budaya adalah manusia.Kenapa manusia dapat menjadi pelaku dan pencipta
budaya dan kearifan? Untuk memahaminya, kita harus menelusuri hakikat dari manusia
itu sendiri.Dalam pandangan Al-Qur`an atau Al-Kitab manusia terbangun dari jasad dan
ruh. Manusia tanpa ruh hanyalah jasmaniah yang tak bernyawa. Jasmaniah manusia
tersusun atas empat anasir yaitu, angin, air, tanah, dan api. Dari empat anasir itulah maka
manusia memiliki keempatnya, yaitu sifat angin yang membuat manusia bersifat pantang
kalah, sifat air yang membuatnya pantang kerendahan, sifatnya tanah yang membuatnya
pantang kekurangan, dan sifatnya api yang membuatnya patang kalah. Sifat itu lah yang
menjadikan manusia memilik nafsu lawwamah dan nafsu ammarah, yang menjadikannya
sebagai perusak dan penghancur, bukan pencipta
kebudayaan.
1
2
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas dapat ditarik beberapa rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimana Nilai-nilai islam dalam tradisi Masyarakat Sulawesi-Selatan?
2. Bagaimana Imlikasi Siri’ (malu) dalam ekonomi masyarakat bugis ?
C. Tujuan
Sesuai dengan masalah yang dihadapi maka makalah ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui Nilai-nilai islam dalam tradisi Masyarakat Sulawesi-Selatan.
2. Untuk mengetahui Imlikasi Siri’ (malu) dalam ekonomi masyarakat bugis.
2
3
BAB II
PEMBAHASAN
3
4
sangat menekankan adanya pesta pernikahan. Hal ini cukup beralasan karena
masyarakat Bugis menganggap pernikahan adalah hal yang sakral dan bukan main-
main. Untuk itu, prosesinya harus dijalankan sesuai dengan adat. Selain itu, pesta
pernikahan dipahami sebagai bentuk ekspresi syukur mereka atas keberhasilannya
menjaga kehormatan keluarga hingga sampai pada jenjang pernikahan. Rasa syukur
tersebut harus dirayakan oleh keluarga dengan mengundang seluruh keluarga, baik
keluarga dekat (sijing mareppe) maupun keluarga jauh (siajing mabela). Tentu saja,
menghadirkan mereka bukanlah biaya sedikit, mulai dari biaya pencetakan undangan,
mengantar undangan (mappalettu selleng), sampai pada biaya konsumsi mereka
selama berada di tempat pernikahan, menjadi tanggungan keluarga pengantin.
Nilai-nilai budaya yang positif yang terkandung dalam proses pernikahan tersebut
seharusnya dilestarikan dari generasi ke generasi tanpa menutup diri dari kritikan yang
sifatnya membangun. Untuk itu, reinterpretasi makna pernikahan adat Bugis dalam
rangka mengembalikan makna yang sesungguhnya tetap penting untuk dilakukan
sebagai bahan renungan. Ide-ide tersebut mengandung nilainilai yang mempengaruhi
pendukungnya ketika dalam situasi tertentu mereka mengambil keputusan. Nilai-nilai
itu merupakan warisan budaya karena dimiliki dan ditaati, dihormati dan dihargai,
serta dibela dan dipertahankan oleh masyarakatnya. Dalam tradisi Bugis, pelanggaran
atas nilai-nilai tradisi menimbulkan konsekuensi runtuhnya kehormatan pribadi, baik
dalam keluarga maupun masyarakat.
Pernikahan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan sosial
masyarakat. Pernikahan tidak hanya sekadar menyatukan dua insan dalam suatu ikatan
kekeluargaan, tapi lebih jauh pernikahan merupakan media untuk mengembangkan
status sosial, ekonomi, dan pelestarian nilai-nilai budaya itu sendiri. Adapun tahapan-
tahapan pernikahan ditinjauan dari nilai-nilai Islam yaitu :
4
5
5
6
6
7
7
8
8
9
Bagi orang Bugis, pernikahan bukan sekedar menyatukan dua insan yang
berlainan jenis menjadi hubungan suamiistri, tetapi lebih kepada menyatukan dua
keluarga besar. Dengan demikian, pernikahan merupakan salah satu sarana untuk
menjalin dan mengeratkan hubungan kekerabatan. Al-Qur’an menegaskan tentang
prinsip kekerabatan sebagai tergambar dalam satu keluarga. Islam menjadikan
hubungan kekerabatan sebagai hubungan yang saling melengkapi dan mencukupi satu
dengan yang lainnya. Keluarga yang kuat membantu keluarga yang lemah, keluarga
yang kaya membantu keluarga yang miskin, keluarga yang mampu akan
memberdayakan keluarga yang tidak mampu. Semua disebabkan oleh jalinan tali
persaudaraan yang kuat dalam satu hubungan kekerabatan atau keluarga tersebut.
9
10
Selatan, khususnya etnis Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Falsafah ini selalu
diyakini dalam menjalankan kehidupan sehari-hari dan terbentuk menjadi budaya Siri.
Dalam Budaya Bugis atau Makassar mempunyai empat kategori, yaitu :
1. Siri’ Ripakasiri’ adalah Siri’ yang berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga
diri atau harkat dan martabat keluarga. Siri’ jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan
pantang untuk dilanggar karena taruhannya adalah nyawa. Contohnya adalah kasus
kekerasan, seperti penganiayaan atau pembunuhan dimana pihak atau keluarga korban
yang merasa terlanggar harga dirinya (Siri’na) wajib untuk menegakkannya kembali,
kendati ia harus membunuh atau terbunuh. Utang darah harus dibalas dengan darah,
utang nyawa harus dibalas dengan nyawa. Dalam keyakinan orang Bugis atau Makassar
bahwa orang yang mati terbunuh karena menegakkan Siri’, matinya adalah mati syahid,
atau yang mereka sebut sebagai Mate Risantangi atau Mate Rigollai, yang artinya
bahwa kematiannya adalah ibarat kematian yang terbalut santan atau gula. Dan, itulah
sejatinya Ksatria.
2. Siri’ Mappakasiri’siri’, merupakan Siri’ yang berhubungan dengan etos kerja. Dalam
falsafah Bugis disebutkan, “Narekko degaga siri’mu, inrengko siri’.” Artinya, kalau
Anda tidak punya malu maka pinjamlah kepada orang yang masih memiliki rasa malu
(Siri’). Begitu pula sebaliknya, “Narekko engka siri’mu, aja’ mumapakasiri’-siri.”
Artinya, kalau Anda punya malu maka jangan membuat malu (malu-maluin).
Bekerjalah yang giat, agar harkat dan martabat keluarga terangkat. Jangan jadi
pengemis, karena akan memalukan. Dengan dimotori dan dimotivasi oleh
semangat siri’, usaha harus dimulai sejak mata terbuka. Mereka selalu meyakini lebih
baik tenggelam daripada balik haluan sebelum tercapai cita-cita.
3. Siri’ Tappela’ Siri’ (Makassar) atau Siri’ Teddeng Siri’ (Bugis) artinya rasa malu
seseorang itu hilang “terusik” karena sesuatu hal. Misalnya, ketika seseorang memiliki
utang dan telah berjanji untuk berusaha sekuat tenaga untuk menepati janjinya atau
membayar utangnya sebagaimana waktu yang telah ditentukan. Ketika sampai waktu
yang telah ditentukan yang berutang tidak menepati janji, artinya mempermalukan
dirinya sendiri.
4. Siri’ Mate Siri’, adalah Siri’ yang berhubungan dengan iman. Dalam pandangan orang
Bugis/Makassar, orang yang mate siri’-nya adalah orang yang di dalam dirinya sudah
10
11
tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan
pernah merasa malu, atau yang biasa disebut sebagai bangkai yang hidup. Berdasar
pokok hidup siri’ na pacce’ ini, masyarakat Sulawesi Selatan menjadikannya pola
tingkah laku dalam berpikir, merasa, bertindak, dan melaksanakan aktivitas dalam
membangun dirinya menjadi seorang manusia. Juga dalam hubungan sesama manusia
dalam masyarakat. Antara siri’ dan pacce’ saling terjalin dalam hubungan
kehidupannya, saling mengisi, dan tidak dapat dipisahkan yang satu dari lainnya.
Adapun Budaya ‘siri’ yang ditekankan orang tua Suku Bugis itu menggugah
anak agar tidak melakukan pelanggaran Ade’ atau hukum. Sementara nilai-nilai harga
diri atau martabat menuntut seseorang untuk selalu patuh dan hormat pada kaidah-
kaidah ade’ . Karena itu, terhadap anak-anaknya, orang bugis sangat ketat mengajarkan
soal keagamaan, kesetiaan memegang janji dan persahabatan, saling memaafkan, saling
mengingatkan untuk berbuat kebajikan, tak segan saling memberi
pertolongan/pengorbanan, dan memelihara ketertiban adat perkawinan. Konsep
“siri” dalam pengasuhan terungkap dalam paseng atau nasehat yaitu roloi naptiroang,
ritenggai naparaga-raga, rimunriwi napa ampiri (dari depan menjadi suri tauladan, di
tengah aktif memberikan bantuan dan dari belakang aktif memberikan dukungan dan
dorongan).
11
12
12
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari pernyataan diatas bahwa nilai-nilai di kalangan masyarakat
Sulawesi selatan khususnya Bugis-Makassar masih dijunjung tinggi karena dipandang
sangat urgen di dalam kehidupan baik secara individual maupun secara bermasyarakat.
Bagi orang Bugis, pernikahan bukan sekedar menyatukan dua insan yang berlainan jenis
menjadi hubungan suamiistri, tetapi lebih kepada menyatukan dua keluarga besar.
Dengan demikian, pernikahan merupakan salah satu sarana untuk menjalin dan
mengeratkan hubungan kekerabatan. Al-Qur’an menegaskan tentang prinsip kekerabatan
sebagai tergambar dalam satu keluarga. Islam menjadikan hubungan kekerabatan sebagai
hubungan yang saling melengkapi dan mencukupi satu dengan yang lainnya. Setiap orang
yang mempunyai hubungan kekerabatan yang apabila dihadapkan pada sesuatu pilihan,
maka mereka akan berada pada posisi terakhir untuk memilih tidak memutus hubungan
kekerabatan dan membangun solidaritas kaum atau solidaritas kekerabatan dimana
didalamnya terdapat kesepakatan alamiah untuk saling menolong, saling menguatkan
antar mereka.
Siri` bagi kalangan masyarakat Bugis-Makassar dipandang atau diartikan sebagai
malu dan atau harkat serta martabat. Tanpa siri` berarti manusia itu tidak ada artinya
hidup di dunia. Siri dikalangan masyarakat Bugis-Makassar nampaknya telah mengalami
pergeseran nilai. Ini diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
sehingga sebagian masyarakat Bugis-Makassar sudah tidak memahami lagi arti
sebenarnya, utamanya bagi kalangan generasi muda. Untuk mempertahankan nilai-nilai
budaya siri` di kalangan masyarakat Bugis-Makassar, maka setiap keluarga berupaya
meneruskan (mewariskan) kepada anak-anaknya melalui pendidikan dalam rumah tangga
dengan cara para orang tua memberikan penjelasan dan pemahaman tentang siri` apabila
terjadi kasus yang berkaitan dengan Siri` dan memberikan contoh tauladan yang baik
melalui sikap dan prilaku.
13
14
B. Saran
Alhamdulillah, makalah ini bisa diselesaikan, walaupun masih banyak kekurangan
baik dalam pembahasan maupun tulisan. Kami berharap bagi mahasiswa semoga bisa
belajar dengan sungguh–sungguh, mendalam dan universal, mengenai hal apasaja baik
masalah dunia maupun akhirat. Dan tentunya juga harus bersungguh–sungguh didalam
mempelajari ekonomi wilayah ini semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Aamiin.
14
15
Daftar Pustaka
Mattulada, Latoa : Lukisan Analisis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis Makassar.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1985.
Taufiq Abdullah: Islam di Sulawesi Selatan. Dalam Islam dan Perubahan Sosial. Jakarta :
Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, 1983.
file:///C:/Users/User/Downloads/5217-Article%20Text-10947-1-10-20180630%20(3).pdf
15