Anda di halaman 1dari 15

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Untuk mengetahui hubungan titik temu antara niliai Islam dengan budaya dan
kearifan lokal, maka yang terlebih dahulu harus dipahami adalah pengertian budaya dan
kearifan lokal itu sendiri, agar unsur-unsur yang membentuk budya dan kearifan lokal itu
dapat diketahui. Salah satu definisi menyebutkan bahwa budaya dan kearifan lokal adalah
gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,bernilai baik,
yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam kearifan lokal terkandung
pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang
sudah sedemikian menyatu dengan system kepercayaan, norma, dan budaya serta
diekspressikan dala mtradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.
Pelaku budaya adalah manusia.Kenapa manusia dapat menjadi pelaku dan pencipta
budaya dan kearifan? Untuk memahaminya, kita harus menelusuri hakikat dari manusia
itu sendiri.Dalam pandangan Al-Qur`an atau Al-Kitab manusia terbangun dari jasad dan
ruh. Manusia tanpa ruh hanyalah jasmaniah yang tak bernyawa. Jasmaniah manusia
tersusun atas empat anasir yaitu, angin, air, tanah, dan api. Dari empat anasir itulah maka
manusia memiliki keempatnya, yaitu sifat angin yang membuat manusia bersifat pantang
kalah, sifat air yang membuatnya pantang kerendahan, sifatnya tanah yang membuatnya
pantang kekurangan, dan sifatnya api yang membuatnya patang kalah. Sifat itu lah yang
menjadikan manusia memilik nafsu lawwamah dan nafsu ammarah, yang menjadikannya
sebagai perusak dan penghancur, bukan pencipta
kebudayaan.

1
2

B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas dapat ditarik beberapa rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimana Nilai-nilai islam dalam tradisi Masyarakat Sulawesi-Selatan?
2. Bagaimana Imlikasi Siri’ (malu) dalam ekonomi masyarakat bugis ?

C. Tujuan
Sesuai dengan masalah yang dihadapi maka makalah ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui Nilai-nilai islam dalam tradisi Masyarakat Sulawesi-Selatan.
2. Untuk mengetahui Imlikasi Siri’ (malu) dalam ekonomi masyarakat bugis.

2
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Nilai-Nilai Islam Dalam Tradisi Masyarakat Sulawesi Selatan


1. Nilai-nilai Islam dalam proses pernikahan Masyarakat bugis.
Masyarakat Bugis sangat kental sifat kebersamaan dan rasa solidaritasnya, jika di
suatu kampung ada yang melakukan acara perkawinan, maka semua masyarakat turun
ikut andil agar acara tersebut berjalan dengan lancar tanpa ada halang rintangan. Di
dalam proses pelamaran hanya diwakili oleh orang-orang yang dituakan bukan orang
tuanya, dan bahasanya aga’ sindiran misalnya perempuan di ibaratkan bunga yang
mekar di taman dan laki-lakinya sabagai kumbang yang menghampiri bunga tersebut.
Kegiatan yang dibayangkan, bahkan dipercayai sebagai perwujudan ideal hubungan
cinta antara dua individu dan telah menjadi urusan banyak orang atau institusi, mulai
dari orang tua, keluarga besar, institusi agama sampai negara. Perkawinan tidak hanya
menjadi aktivitas sosial saja tetapi juga memiliki nilai-nilai sakral. Perkawinan
merupakan ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk
hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat
yang meresmikan hubungan pribadi.
Dalam pernikahan masyarakat Bugis banyak nilai-nilai Islam diantara nilai
kekerabatan, tolong menolong bahkan ada tentang mengingatkan kepada kejujuran dan
Nabi Muhammad saw yang terdapat dalam mappaci. Masyarakat Bugis langsung
mengajarkan dan membimbing kepada mempelai wanita tentang makna dan simbol
yang terkandung dalam acara pernikahan masyarakat Bugis.
Menyikapi berbagai pandangan miring terhadap adat pernikahan Bugis, maka
disikapi secara bijaksana. Boleh jadi kritikan itu benar adanya, atau mungkin karena
mereka tidak mengenal adat Bugis, misalnya terkait uang belanja (dui balanca). Dui
balanca dalam budaya Bugis dimaknai sebagai biaya prosesi pernikahan yang
diberikan kepada keluarga calon mempelai wanita. Pemberian ini didasarkan pada
asumsi bahwa pihak keluarga wanita diperhadapkan pada hajatan besar yang sifatnya
mendadak dan mendesak, di mana mereka belum tentu memiliki persiapan materi
dalam menyambut hajatan tersebut. Hanya saja perlu dipahami bahwa budaya Bugis

3
4

sangat menekankan adanya pesta pernikahan. Hal ini cukup beralasan karena
masyarakat Bugis menganggap pernikahan adalah hal yang sakral dan bukan main-
main. Untuk itu, prosesinya harus dijalankan sesuai dengan adat. Selain itu, pesta
pernikahan dipahami sebagai bentuk ekspresi syukur mereka atas keberhasilannya
menjaga kehormatan keluarga hingga sampai pada jenjang pernikahan. Rasa syukur
tersebut harus dirayakan oleh keluarga dengan mengundang seluruh keluarga, baik
keluarga dekat (sijing mareppe) maupun keluarga jauh (siajing mabela). Tentu saja,
menghadirkan mereka bukanlah biaya sedikit, mulai dari biaya pencetakan undangan,
mengantar undangan (mappalettu selleng), sampai pada biaya konsumsi mereka
selama berada di tempat pernikahan, menjadi tanggungan keluarga pengantin.
Nilai-nilai budaya yang positif yang terkandung dalam proses pernikahan tersebut
seharusnya dilestarikan dari generasi ke generasi tanpa menutup diri dari kritikan yang
sifatnya membangun. Untuk itu, reinterpretasi makna pernikahan adat Bugis dalam
rangka mengembalikan makna yang sesungguhnya tetap penting untuk dilakukan
sebagai bahan renungan. Ide-ide tersebut mengandung nilainilai yang mempengaruhi
pendukungnya ketika dalam situasi tertentu mereka mengambil keputusan. Nilai-nilai
itu merupakan warisan budaya karena dimiliki dan ditaati, dihormati dan dihargai,
serta dibela dan dipertahankan oleh masyarakatnya. Dalam tradisi Bugis, pelanggaran
atas nilai-nilai tradisi menimbulkan konsekuensi runtuhnya kehormatan pribadi, baik
dalam keluarga maupun masyarakat.
Pernikahan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan sosial
masyarakat. Pernikahan tidak hanya sekadar menyatukan dua insan dalam suatu ikatan
kekeluargaan, tapi lebih jauh pernikahan merupakan media untuk mengembangkan
status sosial, ekonomi, dan pelestarian nilai-nilai budaya itu sendiri. Adapun tahapan-
tahapan pernikahan ditinjauan dari nilai-nilai Islam yaitu :

No Tahapan Pernikahan Nilai-Nilai Islam


Masyarakat
Bugis
1 Pemilihan Jodoh Seorang perempuan biasanya dinikahi karena
empat perkara: Harta, nasab, kecantikan dan

4
5

agamanya. Maka utamakan memilih wanita


yang beragama, kamu akan merugi (bila tidak
memilihnya).
2 Tahap Penjajakan, Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu
(Mapesekpesek) ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan ciri wanita
sholihah yang salah satunya, “Jika
memandangnya, membuat suami senang.”
Oleh karena itu, Islam menetapkan adanya
nazhor, yaitu melihat wanita yang yang hendak
dilamar. Sehingga sang lelaki dapat
mempertimbangkan wanita yang hendak
dilamarnya dari segi fisik. Sebagaimana ketika
ada seorang sahabat mengabarkan pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
ia akan melamar seorang wanita Anshar.
3 Kunjungan Lamaran Melamar wanita adalah dengan memperhatikan
(Madduta) jarak lamaran. Jarak lamaran dan pernikahan
hendaklah tidak terlalu jauh. Jika sudah ada
lamaran yang diterima oleh seorang wanita,
hendaklah pihak keluarga menyegerakan
proses pernikahan agar tidak timbul fitnah bagi
keduanya. Apabila datang kepada kalian
seseorang yang kalian ridhai agama dan
akhlaknya (untuk meminang wanita kalian),
hendaknya kalian menikahkannya dengan
wanita kalian. Jika tidak, akan terjadi fitnah di
bumi dan kerusakan. Islam memuliakan wanita
dengan begitu indah. Dalam cara melamar
wanita menurut Islam, ada banyak hal yang
perlu diperhatikan. Setiap hal itu patutnya
dilakukan dengan saksama sehingga wanita

5
6

dan pria yang melamar pun tetap dalam koridor


nilai Islam dan Rasulullah menganjurkan
keduanya agar tetap menjaga diri.
4 Mappaisseng dan mattampa Inti dari mattapa adalah menjalin persaudaraan
(menyebarkan undangan) sesama muslim karena dengan ikatan
persaudaraan akan diperoleh persatuan.
Dengan adanya persatuan dapat diraih
kekuatan. Jika persatuan dan kekuatan telah
dimiliki oleh umat Islam maka segala apa yang
menjadi hajat hidup kaum muslimin Insya
Allah dapat diwujudkan.
5 Mappatettong sarapo atau Dari Abu Hurairah ra, Nabi SAW, bersabda:
baruga (mendirikan “Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan
bangunan) seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan
darinya satu kesusahan pada hari kiamat.
Barang siapa yang menjadikan mudah urusan
orang lain, pasti Allah akan memudahkannya
di dunia dan di akhirat. Apabila mengetahui
bahwa sebenarnya mampu berbuat sesuatu
untuk menolong kesulitan orang lain, maka
segeralah lakukan, segeralah berikan
pertolongan. Terlebih lagi bila orang itu telah
meminta pertolongan. Karena pertolongan
yang diberikan, akan sangat berarti bagi orang
yang sedang kesulitan.
6 Mappassau Botting dan Rasulullah sendiri mengajarkan kepada
Cemme Passili (merawat dan keponakannya yang masih kecil agar hanya
memandikan pengantin). meminta dan memohon kepada Allah, “Jika
cemmé passili’ berarti mandi kamu meminta, mintalah kepada Allah. Jika
tolak bala, yaitu sebagai meminta pertolongan, mintalah pertolongan
bentuk permohonan kepada kepada Allah

6
7

Allah swt agar kiranya kedua


mempelai dijauhkan dari
segalam macam bahaya atau
bala.
7 Mappanre Temme (khatam Dari Ibnu Abbas r.a., beliau mengatakan ada
alQuran) seseorang yang bertanya kepada Rasulullah
saw. “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang
paling dicintai Allah?” Beliau menjawab, “Al-
hal wal murtahal.” Orang ini bertanya lagi,
“Apa itu al-hal wal murtahal, wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu yang
membaca AlQur’an dari awal hingga akhir.
Setiap kali selesai ia mengulanginya lagi dari
awal.
8 Mappacci atau Mappacci bukan merupakan suatu kewajiban
Tudammpenni (mensucikan agama dalam Islam, tapi mayoritas ulama di
diri) daerah BugisMakassar menganggapnya
sebagai sennusennungeng ri decengnge
(kecintaan akan kebaikan). Yang terjadi
kemudian, pemuka agama berusaha untuk
mencari legalitas atau dalil Mappacci dalam
kitab suci untuk memperkuat atau
mengokohkan budaya ini.
9 Ipanikka (Akad Nikah) Dan nikahkanlah orang-orang yang masih
membujang di antara kalian. Jika mereka
miskin, Allah akan memberi kemampuan
kepada mereka dengan karuniaNya.” (QS. An
Nur: 32)
10 Mappasikaraw a atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mappasiluka (persentuhan menuntunkan kepada para suami, ketika
pertama) mereka menikahi seorang wanita, hendaklah

7
8

mereka memegang ubunubunnya, membaca


basmalah, mendoakan keberkahan dan
membaca, yang mana Artinya, “Ya Allah,
sesungguhnya aku mohon kepadamu kebaikan
dirinya dan kebaikan yang engkau tentukan
atas dirinya. Dan Aku berlindung kepadamu
dari kejelekannya dan kejelekan yang engkau
tetapkan atas dirinya”
11 Maréllau Dampeng Maréllau Dampeng atau meminta maaf kepada
kedua orang tua, Berbakti kepada kedua orang
tua sering sekali disebutkan dalam al-Quran,
bahkan digandengkan dengan tuntunan
menyembah Allah. Hal ini menunjukan bahwa
berbakti kepada Kedua orang tua (ibu dan
bapak) adalah wajib. Anak berkewajiban
berbuat baik kepada kedua orang tuanya yang
harus ditunaikan semaksimal mungkin.
Apalagi jkia sering menyakitinya dengan cara
membantah dan berkata kasar pada mereka.
12 Marola Marola atau mapparola adalah kunjungan
balasan dari pihak mempelai wanita ke rumah
mempelai pria. Pengantin wanita diantar oleh
iringiringan yang biasanya membawa hadiah
sarung tenun untuk keluarga suaminya. Setelah
mempelai wanita dan pengiringnya tiba di
rumah mempelai pria, mereka langsung
disambut oleh seksi padduppa (penyambut)
untuk kemudian dibawa ke pelaminan. Kedua
orang tua mempelai pria segera menemui
menantunya untuk memberikan hadiah
paddupa berupa perhiasan, pakaian, dan

8
9

sebagainya sebagai tanda kegembiraan. Inti


dalam marola adalah untuk menyambungkan
silaturahim antara pihak keluarga laki-laki dan
keluarga dari pihak perempuan.

Bagi orang Bugis, pernikahan bukan sekedar menyatukan dua insan yang
berlainan jenis menjadi hubungan suamiistri, tetapi lebih kepada menyatukan dua
keluarga besar. Dengan demikian, pernikahan merupakan salah satu sarana untuk
menjalin dan mengeratkan hubungan kekerabatan. Al-Qur’an menegaskan tentang
prinsip kekerabatan sebagai tergambar dalam satu keluarga. Islam menjadikan
hubungan kekerabatan sebagai hubungan yang saling melengkapi dan mencukupi satu
dengan yang lainnya. Keluarga yang kuat membantu keluarga yang lemah, keluarga
yang kaya membantu keluarga yang miskin, keluarga yang mampu akan
memberdayakan keluarga yang tidak mampu. Semua disebabkan oleh jalinan tali
persaudaraan yang kuat dalam satu hubungan kekerabatan atau keluarga tersebut.

B. Imlikasi Siri' (malu) dalam ekonomi masyarakat bugis.


a. Makna Siri`
Istilah siri` dapat dilihat dari dua segi yaitu menurut bahasa dan dari segi cultural
yaitu: Dari segi bahasa kata Siri` menurut makna harfiah dalam bahasa Bugis-
Makassar berarti malu atau rasa malu. Seorang pemalu dinamakan tau passiri`-
siriseng. (bahasa Bugis), tau passirikang, (bahasa Makassar). Istilah siri` yang dikenal
di kalangan masyarakat Makassar merupakan penamaan bagi seorang yang berada
dalam keadaan sangat malu, sehingga digambarkan ibarat sehelai daun pinang yang
berkerut karena terkena terik matahari. Siri’ji nanimmantang attalasa’ ri linoa,
punna tenamo siri’nu matemako kaniakkangngami angga’na olo-oloka. Artinya,
hanya karena rasa malu kita bisa hidup di dunia ini jika rasa malu itu sudah hilang
maka lebih baik mati karena engkau tak bearati lagi sama sekali bahkan binatang lebih
berharga dibanding dirimu. Falsafah ini dipegang teguh oleh masyarakat di Sulawesi

9
10

Selatan, khususnya etnis Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Falsafah ini selalu
diyakini dalam menjalankan kehidupan sehari-hari dan terbentuk menjadi budaya Siri.
Dalam Budaya Bugis atau Makassar mempunyai empat kategori, yaitu :
1. Siri’ Ripakasiri’ adalah Siri’ yang berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga
diri atau harkat dan martabat keluarga. Siri’ jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan
pantang untuk dilanggar karena taruhannya adalah nyawa. Contohnya adalah kasus
kekerasan, seperti penganiayaan atau pembunuhan dimana pihak atau keluarga korban
yang merasa terlanggar harga dirinya (Siri’na) wajib untuk menegakkannya kembali,
kendati ia harus membunuh atau terbunuh. Utang darah harus dibalas dengan darah,
utang nyawa harus dibalas dengan nyawa. Dalam keyakinan orang Bugis atau Makassar
bahwa orang yang mati terbunuh karena menegakkan Siri’, matinya adalah mati syahid,
atau yang mereka sebut sebagai Mate Risantangi atau Mate Rigollai, yang artinya
bahwa kematiannya adalah ibarat kematian yang terbalut santan atau gula. Dan, itulah
sejatinya Ksatria.
2. Siri’ Mappakasiri’siri’, merupakan Siri’ yang berhubungan dengan etos kerja. Dalam
falsafah Bugis disebutkan, “Narekko degaga siri’mu, inrengko siri’.” Artinya, kalau
Anda tidak punya malu maka pinjamlah kepada orang yang masih memiliki rasa malu
(Siri’). Begitu pula sebaliknya, “Narekko engka siri’mu, aja’ mumapakasiri’-siri.”
Artinya, kalau Anda punya malu maka jangan membuat malu (malu-maluin).
Bekerjalah yang giat, agar harkat dan martabat keluarga terangkat. Jangan jadi
pengemis, karena akan memalukan. Dengan dimotori dan dimotivasi oleh
semangat siri’, usaha harus dimulai sejak mata terbuka. Mereka selalu meyakini lebih
baik tenggelam daripada balik haluan sebelum tercapai cita-cita.
3. Siri’ Tappela’ Siri’ (Makassar) atau Siri’ Teddeng Siri’ (Bugis) artinya rasa malu
seseorang itu hilang “terusik” karena sesuatu hal. Misalnya, ketika seseorang memiliki
utang dan telah berjanji untuk berusaha sekuat tenaga untuk menepati janjinya atau
membayar utangnya sebagaimana waktu yang telah ditentukan. Ketika sampai waktu
yang telah ditentukan yang berutang tidak menepati janji, artinya mempermalukan
dirinya sendiri.
4. Siri’ Mate Siri’, adalah Siri’ yang berhubungan dengan iman. Dalam pandangan orang
Bugis/Makassar, orang yang mate siri’-nya adalah orang yang di dalam dirinya sudah

10
11

tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan
pernah merasa malu, atau yang biasa disebut sebagai bangkai yang hidup. Berdasar
pokok hidup siri’ na pacce’ ini, masyarakat Sulawesi Selatan menjadikannya pola
tingkah laku dalam berpikir, merasa, bertindak, dan melaksanakan aktivitas dalam
membangun dirinya menjadi seorang manusia. Juga dalam hubungan sesama manusia
dalam masyarakat. Antara siri’ dan pacce’ saling terjalin dalam hubungan
kehidupannya, saling mengisi, dan tidak dapat dipisahkan yang satu dari lainnya.
Adapun Budaya ‘siri’ yang ditekankan orang tua Suku Bugis itu menggugah
anak agar tidak melakukan pelanggaran Ade’ atau hukum. Sementara nilai-nilai harga
diri atau martabat menuntut seseorang untuk selalu patuh dan hormat pada kaidah-
kaidah ade’ . Karena itu, terhadap anak-anaknya, orang bugis sangat ketat mengajarkan
soal keagamaan, kesetiaan memegang janji dan persahabatan, saling memaafkan, saling
mengingatkan untuk berbuat kebajikan, tak segan saling memberi
pertolongan/pengorbanan, dan memelihara ketertiban adat perkawinan. Konsep
“siri” dalam pengasuhan terungkap dalam paseng atau nasehat yaitu roloi naptiroang,
ritenggai naparaga-raga, rimunriwi napa ampiri (dari depan menjadi suri tauladan, di
tengah aktif memberikan bantuan dan dari belakang aktif memberikan dukungan dan
dorongan).

Nilai-nilai Siri yang ditekankan orang tua di suku Bugis mencakup :


1. Sipakatau, saling menghargai dan menghormati sesama manusia.
2. Pesse, bermakna kesetiakawanan terhadap manusia.
3. Parakai sirimu, perasaan tanggung jawab dan pengendalian diri
4. Cappa lila, keterampilan berkomunikasi dan berdialog dengan penuh
keterbukaan dan tutur kata yang santun.
5. Rupannamitaue dek naullei ripinra atau hanya wajah manusia yang tidak bisa
diubah. Petuah ini bermakna percaya diri dan sikap optimisme terhadap peluang
terjadinya perubahan pada diri manusia ke arah yang lebih baik.

11
12

6. Sipatuo sipatokkong dan sipamali siparappe (saling mengembangkan dan


saling menghidupkan) yang berimplikasi kepada saling membantu dan
memahami orang lain.
7. Pajjama (usaha dan kerja keras)mengandung makna kemandirian, sikap
optomis dan dinamis menghadapi masa depan disertai ketekunan dan kerja
keras.

12
13

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan dari pernyataan diatas bahwa nilai-nilai di kalangan masyarakat
Sulawesi selatan khususnya Bugis-Makassar masih dijunjung tinggi karena dipandang
sangat urgen di dalam kehidupan baik secara individual maupun secara bermasyarakat.
Bagi orang Bugis, pernikahan bukan sekedar menyatukan dua insan yang berlainan jenis
menjadi hubungan suamiistri, tetapi lebih kepada menyatukan dua keluarga besar.
Dengan demikian, pernikahan merupakan salah satu sarana untuk menjalin dan
mengeratkan hubungan kekerabatan. Al-Qur’an menegaskan tentang prinsip kekerabatan
sebagai tergambar dalam satu keluarga. Islam menjadikan hubungan kekerabatan sebagai
hubungan yang saling melengkapi dan mencukupi satu dengan yang lainnya. Setiap orang
yang mempunyai hubungan kekerabatan yang apabila dihadapkan pada sesuatu pilihan,
maka mereka akan berada pada posisi terakhir untuk memilih tidak memutus hubungan
kekerabatan dan membangun solidaritas kaum atau solidaritas kekerabatan dimana
didalamnya terdapat kesepakatan alamiah untuk saling menolong, saling menguatkan
antar mereka.
Siri` bagi kalangan masyarakat Bugis-Makassar dipandang atau diartikan sebagai
malu dan atau harkat serta martabat. Tanpa siri` berarti manusia itu tidak ada artinya
hidup di dunia. Siri dikalangan masyarakat Bugis-Makassar nampaknya telah mengalami
pergeseran nilai. Ini diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
sehingga sebagian masyarakat Bugis-Makassar sudah tidak memahami lagi arti
sebenarnya, utamanya bagi kalangan generasi muda. Untuk mempertahankan nilai-nilai
budaya siri` di kalangan masyarakat Bugis-Makassar, maka setiap keluarga berupaya
meneruskan (mewariskan) kepada anak-anaknya melalui pendidikan dalam rumah tangga
dengan cara para orang tua memberikan penjelasan dan pemahaman tentang siri` apabila
terjadi kasus yang berkaitan dengan Siri` dan memberikan contoh tauladan yang baik
melalui sikap dan prilaku.

13
14

B. Saran
Alhamdulillah, makalah ini bisa diselesaikan, walaupun masih banyak kekurangan
baik dalam pembahasan maupun tulisan. Kami berharap bagi mahasiswa semoga bisa
belajar dengan sungguh–sungguh, mendalam dan universal, mengenai hal apasaja baik
masalah dunia maupun akhirat. Dan tentunya juga harus bersungguh–sungguh didalam
mempelajari ekonomi wilayah ini semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Aamiin.

14
15

Daftar Pustaka

Mattulada, Latoa : Lukisan Analisis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis Makassar.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1985.
Taufiq Abdullah: Islam di Sulawesi Selatan. Dalam Islam dan Perubahan Sosial. Jakarta :
Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, 1983.
file:///C:/Users/User/Downloads/5217-Article%20Text-10947-1-10-20180630%20(3).pdf

15

Anda mungkin juga menyukai