“SINDROM NEFROTIK”
Pembimbing :
dr. Heka Majasari, Sp.A
Oleh :
Dwiana Rosida
NIDM : 2015730032
1
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. S
Umur : 4 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Lembur tengah Rt 02/18
Ayah : Tn. A
Usia : 30 tahun
Ibu : Ny. D
Usia : 28 tahun
Tanggal MRS : 14 Mei 2019
Tanggal Pemeriksaan : 15 Mei 2019
B. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanmnesis dan alloanamnesis pada 15 Mei 2018
Riwayat Pengobatan
Os mengonsumsi sirup paracetamol untuk menurunkan demam. Ibu os menyangkal adanya
riwayat pengobatan OAT.
Riwayat Alergi
Os tidak alergi makanan, obat, cuaca, maupun debu.
Riwayat kelahiran
Os lahirkan di bidan secara spontan dengan usia kehamilan 38 minggu. Saat lahir, os
langsung menangis. BBL: 3200 gram PB : 49 cm.
Riwayat Perkembangan
Perkembangan os sama seperti sebayanya. Tidak ada keterlambatan dalam perkembangan.
Kesan: Perkembangan sesuai dengan usia.
Riwayat Imunisasi
BCG = 1x (Usia 1 bulan)
Hep B = 4x ( Saat lahir, Usia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan)
Polio = 4x (Usia 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan)
DPT = 3x (Usia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan)
3
Hib = 3x (Usia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan)
Kesan = Imunisasi tidak lengkap
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda-tanda vital :
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 92 x/menit
RR : 28 x/menit
Suhu : 38,2 ◦ C
Status Antropometri
BB : 22 kg
BB koreksi : 18 kg (koreksi 20%)
TB : 98 cm
BB / U : 18/16 x 100 % : 112,5% (Gizi baik)
TB / U : 98/102 x 100 % : 99,96% (Normal)
BB / TB : 18/15 x 100% : 120 % (Gizi baik)
Kesan : Status gizi os baik
Status Generalis
Kepala : Rambut tidak mudah dicabut, terdistribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-) oedema palpebra (+/+) mata cekung (-/-)
4
Muka : Oedema seluruh wajah (+), malar rash (-)
Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-)
Telinga : Serumen (-/-)
Mulut : coated tongued (-), tonsil hiperemis (-)
Leher : Tidak teraba pembesaran KGB, tidak teraba pembesarah tiroid, JVP normal
Pemeriksaan KGB
• Submental (-)
• Submandibular (-)
• Preauricular (-)
• Posterior auricular (-)
• Cervical (-)
• Supraclavicular (-)
• Aksila (-)
• Inguinal (-)
Paru :
Inspeksi : simetris (pergerakan dinding dada simetris)
Palpasi : simetris (vocal fremitus kiri = kanan)
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : vesikular pada kedua lapang paru, tidak terdapat rhonchi maupun
wheezing
Jantung :
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba pada ICS V line midklavikula sinistra
Perkusi :
Batas atas : ICS II
Batas kiri : line midklavikula sinistra
Batas kanan : linea parasternal dextra
Auskultasi : bunyi jantung I dan II regular, murmur(-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
5
Palpasi : terdapat nyeri tekan epigastrium.
Hati, lien, ginjal tidak teraba. Tidak teraba adanya massa.
Perkusi :Suara redup. Pada pemeriksaan shifting dulnes dan undulasi di
dapatkan positif yang menandakan adanya asites.
Ektremitas :
Atas : akral hangat , capillary refill time < 2 detik, edema +/+
Tidak terdapat clubbing finger (jari tabuh)
Bawah : akral hangat , capillary refill time < 2 detik, edema +/+
Pitting edema (+) grade +2 (2-4mm, dan hilang 10 – 25 detik)
Tidak terdapat nyeri otot dan sendi
Tubuh tidak tampak kuning.
Genitalia :
Terdapat oedema pada scrotum.
6
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal 14 Mei 2018
7
Tanggal 15 mei 2019
8
E. RESUME
An. S 4 tahun, mengeluh bengkak pada seluruh tubuh sejak ± 1 minggu SMRS. Keluhan
bengkak awalnya pada bagian kelopak mata yang menjalar ke wajah, kaki, perut dan
seluruh tubuh. keluhan disertai demam > 1 minggu, dan BAK >5x sehari dengan urin
berwarna kuning agak keruh.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital os demam, oedema palpebra dan wajah,
nyeri tekan epigastrium, terdapat asites, pitting oedema +2, dan oedema pada skrotum.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis (12.43 10^3/𝜇L), dan urin agak
keruh, albumin <2.15 g/dL, kolesterol total >250mg/dL (471 mg/dL), protein urin 500/
+4.
F. DIAGNOSA DIAGNOSIS
Sindrom nefrotik + DD Sepsis
Thypoid fever
Hepatitis B
TB Paru
Malaria
Autoimun (SLE / systemic lupus erythematosus)
Sindrom nefritik akut + DD Sepsis
Thypoid fever
Hepatitis B
TB Paru
Malaria
Autoimun (SLE / systemic lupus erythematosus)
G. DIFERENSIAL DIAGNOSIS
Sindrom nefrotik + DD Sepsis
Thypoid fever
Hepatitis B
TB Paru
Malaria
Autoimun (SLE / systemic lupus erythematosus)
9
H. TATALAKSANA
18𝑥100
Inf D5% = = 18,75 𝑐𝑐/𝑗𝑎𝑚
96
Cefotaxime 2 x 900 mg IV
Gentamicin 2 x 72 mg IV
Furosemide 1 x 20 mg IV
Albumin 1 x 50 cc
Prednison 5mg tab (3 – 3 – 2) tiap 8 jam
Paracetamol 125 mg/ 5mL syr 3 x 2 cth (tiap 8 jam)
Diet Rendah Garam tinggi protein
I. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad Bonam
Ad Functionam : Dubia ad Bonam
Ad sanationam : Dubia ad Bonam
10
FOLLOW UP
14/05/19
15/05/19
11
16/05/19
17/05/19
12
18/05/19
20/05/19
13
21/05/19
22/05/19
14
BAB II
PENDAHULUAN
15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari
proteinuria massif (≥40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine
sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥2+), hipoalbuminemia (≤2,5 gr/dL), edema, dan
dapat disertai hiperkolestrerolemia (250 mg/uL).
Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada Sindrom Nefrotik,
antara lain :
1. Remisi, yaitu proteinuria negatif atau trace (proteinuria <4 mg/m2
LBP/jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
2. Relaps, yaitu proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥40 mg/m2 LBP/jam) selama 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu.
3. Relaps jarang, yaitu relaps yang terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan
pertama setelah respon awal, atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan.
4. Relaps sering (frequent relapse), yaitu relaps terjadi ≥2 kali dalam 6 bulan
pertama atau ≥ 4 kali dalam periode satu tahun.
5. Dependen steroid, yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis steroid
diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dalam hal ini
terjadi 2 kali berturut-turut.
6. Resisten steroid, yaitu suatu keadaan tidak terjadinya remisi pada
pengobatan prednisone dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4
minggu.
3.2 Epidemiologi
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (2:1) dan
kebanyakan terjadi pada umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling muda
pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa. SNKM terjadi pada 85-
90% pasien dibawah umur 6 tahun dan paling; di Indonesia dilaporkan 6 kasus per
100.000 anak per tahun. Pada penelitian di Jakarta (Wila Wirya) menemukan
hanya 44,2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer
16
yang dibiopsi, sedangkan ISKDC melaporkan penelitiannya diantara 521 pasien,
76,4% merupakan tipe kelainan minimal.
Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak dibawah usia 18 tahun
diperkirakan berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan onset tertinggi
pada usia 2-3 tahun. Hampir 50% penderita mulai sakit saat berusia 1-4 tahun, 75%
mempunyai onset sebelum berusia 10 tahun.
3.3 Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Sindrom nefrotik primer
Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau idiopatik
adalah sebagai berikut :
Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Mesangial proliferative difuse (MPD)
Glomerulonefritis membranoproliferative (GNMP)
Glomerulopati membranosa (GM)
3.4 Patofisiologi
17
Protenuria
Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar berasal
dari kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil
berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana
basalis glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang dieksresikan
dalam urin adalah albumin. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus
(MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein.
Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan
yang kedua berdasarkan muatan listrik (change barrier). Pada SN kedua
mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain konfigurasi molekul
protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG. Proteinuria
dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein
yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila yang keluar terdiri dari
molekul kecil misalnya albumin. Sedangkan non-selektif apabila protein yang
keluar terdiri dari molekul besar seperti immunoglobulin. Selektivitas
proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG.
Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemi disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya
meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam
urin), tetapi mungkin normal atau menurun.
Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan
intestitium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan
bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia dan ginjal melakukan
kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme
kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan
18
mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin
berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama.
Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat
sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan
ginjal akan menambah retensi natrium dan edema akibat teraktivasinya sistem
Renin-angiotensin-aldosteron terutama kenaikan konsentrasi hormone
aldosteron yang akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi
ion natrium sehingga ekskresi ion natrium (natriuresis) menurun. Selain itu juga
terjadi kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang
menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat, hal ini
mengakibatkan penurunan LFG dan kenaikan desakan Starling kapiler
peritubuler sehingga terjadi penurunan ekskresi natrium.
Hiperlipidemia
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein
(HDL) dapat meningkat, normal, atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan
sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan
pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density
lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh
penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.
19
3.5 Manifestasi Klinis
Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih
berat akan disertai dengan asites, efusi pleura, dan edema scrotum (pada laki-laki).
Kadang-kadang disertai oligouria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang dan
diare.
Diagnosis pada SN berdasarkan anamnesis, manifestasi klinis, dan pemeriksaan
fisik serta pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisik harus disertai
pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar perut, dan tekanan darah. Dalam
laporan ISKDC pada SNKM ditemukan 22% dengan hematuri mikroskopi, 15-
20% dengan hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum
darah yang bersifat sementara.
20
o Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,
hematokrit, LED)
o Kadar albumin dan kolesterol plasma
o Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau
dengan rumus Schwartz
o Titer ASTO
o Kadar komplemen C3 bila dicurigai Lupus Eritematosus Sistemik,
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (Ana nuclear
antibody) dan anti ds-DNA
3.7 Penatalaksanaan
Pada kasus sindrom nefrotik yang diketahui untuk pertama kalinya, sebaiknya
penderita di rawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan
dan evaluasi pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid,
dan edukasi bagi orang tua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan uji
Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH bersama steroid, dan bila
ditemukan tuberculosis (OAT). Perawatan pada sindrom nefrotik relaps dilakukan
bila disertai edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi
berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas
disesuaikan dengan kemampuan pasien.
Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan. Bahkan sekarang dianggap
kontra indikasi, karena akan menambah beban glomerolus untuk mengeluarkan
sisa metabolisme protein (hiperfiltasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis
glomerolus. Sehingga cukup diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA
(Recommended Daily Allowances) yaitu 2gram/kgBB/hari. Diet rendah protein
akan menyebabkan malnutrisi energy protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan
anak. Diet rendah garam (1-2gram/hari) hanya diperlukan jika anak menderita
edema.
21
a. Pengobatan Inisial
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney
Diseases in Children) pengobatan inisial pada sindrom nefrotik dimulai
dengan pemberian prednisone dosis penuh (full dose) 60 mg/m2 LPB/hari
(maksimal 80mg/hari), dibagi dalam 3 dosis, untuk menginduksi remisi.
Dosis prednisone dihitung berdasarkan berat badan ideal (berat badan
terhadap tinggi badan). Prednisone dalam dosis penuh inisial diberikan
selama 4 minggu. Setelah pemberian steroid dalam 2 minggu pertama,
remisi telah terjadi pada 80% kasus, dan remisi mencapai 94% setelah
pengobatan steroid 4 minggu. Bila terjadi remisi pada remisi pada 4 minggu
pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua
dengan dosis 40mg/m2 LPB/hari (2/3 dosis awal) secara alternating (selang
sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan
steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten
steroid. (Gambar 1)
b. Pengobatan Relaps
Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total pada 94% pasien,
tetapi pada sebagian besar akan mengalami relaps (60-70%) dan 50%
diantaranya mengalami relaps sering. Skema pengobatan relaps dapat
dilihat di gambar 2, yaitu diberikan prednisone dosis penuh sampai remisi
(maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan prednisone dosis alternating
selama 4 minggu. Pada sindrom nefrotik yang mengalami proteinuria ≥ 2+
kembali tetapi tanpa edema, sebelum dimulai pemberian prednisone,
terlebih dahulu dicari pemicunya, biasanya infeksi saluran napas atas. Bila
ada infeksi, diberikan antibiotic 5-7 hari dan bila setelah pemberian
22
antibiotic kemudian proteinuria menghilang, tidak perlu diberikan
pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ 2+ disertai
edema, maka didiagnosis sebagai relaps, dan diberi pengobatan relaps.
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan
inisial, sangat penting, karen dapat meramalkan perjalanan penyakit
selanjutnya. Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca
pengobatan steroid inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa
penggolongan, yaitu :
1. Tidak ada relaps sama sekali (30%)
2. Relaps jarang : jumlah relaps < 2 kali (10-20%)
3. Relaps sering : jumlah relaps ≥ 2 kali (40-50%)
4. Dependen steroid : yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis
steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan
dihentikan, dalam hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.
Selain itu perlu dicari focus infeksi, seperti tuberculosis, infeksi di gigi
atau cacingan. Bila telah dinyatakan sebagai sindrom nefrotik relaps
sering/dependen steroid, setelah mencapai remisi dengan prednisone dosis
23
penuh, diteruskan dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan
perlahan/ bertahap 0,2mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5mg/kgBB alternating. Dosis ini
disebut threshold dan dapat diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba
dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat mentolerir prednisone
0,5mg/kgBB dan anak usia pra sekolah sampai 1mg/kgBB secara
alternating.
24
Keterangan : prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu) dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500-750
mg/m2 LPB diberikan melalui infuse 1x sebulan selama 6 bulan berturut-
turut dan prednisone alternating 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu.
Kemudian prednisone di-tapering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama
1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama
tapering-off 2 bulan).
Atau
prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal
selama 12 minggu dan prednisone alternating 40 mg/m2 LPB/hari selama
12 minggu. Kemudian prednisone di-tapering-off dengan dosis 1
mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5mg/kgBB/hari selama
1 bulan (lama tapering-off 2 bulan).
25
1. Siklofosfamid
Sebagai alkylating agent, siklofosfamid bersifat sitotoksik dan
imunosupresif. Siklofosfamid menunjukan kemampuan memperpanjang
masa remisi dan mencegah kambuh sering. Indikasi penggunaan
siklofosfamid yaitu bila terjadi kegagalan mempertahankan remisi
dengan menggunakan terapi prednisone tanpa menyebabkan keracunan
steroid. Siklofosfamid diberikan 3 mg/kgBB/hari sebagai dosis tunggal
selama 12 minggu. Terapi prednisone selang sehari tetap diberikan
selama penggunaan siklofosfamid ini.
Selama pemberian siklofosfamid perlu diperhatikan efek samping yang
mungkin terjadi antara lain : leucopenia, gangguan gastrointestinal,
infeksi varicella disseminate, sistisis hemoragik, alopesia, keganasan,
azoospermia, dan infertilitas. Selama terapi dengan siklofosfamid, kadar
leukosit perlu diperiksa setiap minggu, dan pengobatan perlu dihentikan
dahulu bila kadar leukosit menjadi ≤ 5000/mm3.
2. Klorambusil
Klorambusil efektif bila dikombinasikan dengan terapi steroid dalam
menginduksi remisi pada penderita ketergantungan steroid dan kambuh
sering. Dosis yang umumnya digunakan adalah 0,2 mg/kgBB/hari
selama 8-12 minggu.
3. Levamisol
26
Levamisol sebenarnya merupakan obat antihelmentik. Obat ini juga
mempengaruhi fungsi sel T seperti imunosupresan lainnya, tetapi
sifatnya memberikan stimulasi terhadap sel T. Dosis levamisol 2,5
mg/kgBB diberikan selang sehari selama 4-12 bulan.
4. Siklosporin
Pemberian siklosporin (CyA) dilakukan sesudah remisi dicapai dengan
steroid. Umumnya terapi ini digunakan bila siklofosfamid kurang
efektif. Dosis awal yang digunakan yaitu 5 mg/kgBB/hari.
Dalam penggunaannya, kadar dalam darah perlu dikontrol karena
memberikan efek nefrotoksik. Siklosporin dapat menyebabkan kelainan
histologist bahkan pada penderita yang ginjalnya normal sekalipun.
Efek samping lain yang sering ditemukan yaitu hipertrikosis,
hyperplasia gusi, gejala gastrointestinal, dan hipertensi.
27
+/++ tanpa edema dan disertai gejala infeksi, berikan antibiotika (ampisillin
atau amoksisillin) 3-5 hari. Bila tetap ada proteinuria maka dianggap
sebagai relaps.
g. Pengobatan tambahan
Mengatasi edema anasarka dengan memberikan diuretik, furosemid
1-2mg/kgBB/kali, 2 kali sehari peroral
Edema menetap, berikan albumin (IVFD) 0,5-1g/kgBB atau plasma
10-20 ml/kgBB/hari, dilanjutkan dengan furosemid i.v. 1
mg/kgBB/kali
Mengatasi renjatan yang diduga karena hipoalbuminemia (1,5g/dL)
berikan albumin atau plasma darah
3.8 Komplikasi
1. Infeksi
Pada sindrom nefrotik mudah terjadi infeksi dan paling sering adalah
selulitis dan peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadi kebocoran IgG
dan komplemen faktor B dan D di urin. Bila terjadi penyulit infeksi
bacterial (pneumonia pneumokokal atau peritonitis, selulitis, sepsis, ISK)
diberikan antibiotic yang sesuai dan dapat disertai pemberian
immunoglobulin G intravena. Untuk mencegah infeksi digunakan vaksin
pneumokokus. Pemakaian imunosupresan menambah resiko terjadinya
infeksi virus seperti campak, herpes. Bila terjadi peritonitis primer
(biasanya disebabkan oleh kuman gram negatif dan Streptococcus
pneumoniae) perlu sefalosporin generasi ketiga yaitu sefataksim atau
seftriakson, selama 10-14 hari.
2. Hiperlipidemia
Pada sindrom nefrotik relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan
kadar kolesterol LDL dan VLDL, trigliserida, dan lipoprotein (a) (Lpa)
sedangkan kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat
aterogenik dan trombogenik. Pada sindrom nefrotik sensitive steroid, karena
peningkatan zat-zat tersebut sementara, cukup dengan pengurangan diit
lemak.
28
3. Hipokalsemia
Terjadi hipokalsemia karena :
Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis
dan osteopenia
Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada sindrom nefrotik relaps sering dan sindrom nefrotik
resisten steroid dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 500mg/hari dan
vitamin D. Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas
50mg/kgBB intravena.
4. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan sindrom
nefrotik relaps dapat mengakibatkan hipovolemia dengan gejala hipotensi,
takikardia, ekstremitas dingin dan sering disertai sakit perut.
Penyulit lain yang dapat terjadi diantaranya hipertensi, syok
hipovolemik, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15 tahun).
Penanganan sama dengan penanganan keadaan ini pada umumnya. Bila
terjadi gagal ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat dilakukan transplantasi
ginjal.
3.9 Prognosis
Prognosis baik bila penderita sindrom nefrotik memberikan respons yang baik
terhadap pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Prognosis jangka
panjang sindrom nefrotik kelainan minimal selama pengamatan 20 tahun
menunjukan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada
glomerulosklerosis, 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun, dan pada
sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Alatas, Husein dkk. 2005. Kosensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada
Anak. Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, h.1-18.
2. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom Nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI pp. 381-426
3. Travis L, 2002. Nephrotic syndrome. Emed J (on line) (20) : screens. Available from :
URL:http//www.emedicine.com/PED/topic1564.htm. akses : on September 8, 2009
th
4. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2007. Nelson Textbook of Pediatric 18 ed.
Saunders. Philadelpia.
5. Gunawan, AC. 2006. Sindrom Nefrotik: Pathogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin
Dunia Kedokteran No. 150. Jakarta, h.50-54
6. Mansjoer Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius : Jakarta
7. Pardede, Sudung O. 2002. Sindrom Nefrotik Infantil. Cermin Dunia Kedokteran No.
134. Jakarta, h.32-37
8. Markum, et.al. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
9. Noer MS, Soemyarso N. 2009. Sindrom Nefrotik. (on line) (1) : screens. Available
from : URL:http//www.pediatrik.com. Akses : 8 september 2009
10. Suraatmaja S, Soetjiningsih, Penyunting. Pedoman Diagnosis Terapi Ilmu Kesehatan
Anak RSUP Sanglah Denpasar. Cetakan ke-2. Denpasar:Lab./SMF Ilmu Kesehatan
Anak FK UNUD/RSUP Sanglah; 2000. h.159-162
11. Cohen Eric P. Nephrotic Syndrome: Differential Diagnoses & Workup. Update: Aug
25, 2009
12. Garna, Herry dkk. 2012. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak FK
UNPAD. Edisi ke-4. Bandung: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD.
h.601-606
30