Oleh :
A. LATAR BELAKANG
A. JURNAL UTAMA
1. Judul Jurnal
“EFFECTS OF SOOTHING MUSIC ON LABOR PAIN AMONG
FILIPINO MOTHERS” Oleh Leodoro J. Labrague, Rheajane A. Rosales,
Gilbey L. Rosales, Gerald B. Fiel, tahun 2013.
2. Tujuan
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh musik yang
menenangkan pada perasaan nyeri selama fase laten.
3. Metodologi
Penelitian ini menggunakan desain quasi ekperimen dengan metode random
terlebih dahulu dengan VAS (Visual Analogue Scale) dan BRS (Behavioural
4. Hasil
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna antara
kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hal ini ditunjukkan dengan hasil
VAS : p value < 0,05 (t =7,317) dan BRS : p value , 0,05 (t=8,128).
5. Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa musik yang menenangkan efektif
mengurangi nyeri dalam kelompok intervensi selama fase laten persalinan.
Setelah diberikan terapi musik pada kelompok intervensi, subyek melaporkan
dan menunjukkan pengurangan rasa sakit dari tingkat nyeri yang parah hingga
sedang. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Liu et al (2010), diamati bahwa dibandingkan dengan kelompok non-musik,
kelompok musik memiliki signifikan menurunkan rasa sakit dan kecemasan
selama fase laten persalinan. O'Connell dan Fulton (2005), juga mengamati
bahwa wanita menunjukkan lebih sedikit respons rasa sakit pada kelompok
intervensi musik dibandingkan kelompok kontrol. Phumdoung & Good
(2003), juga memberikan kesimpulan yang sama dan mencatat bahwa wanita
yang terpapar dengan musik lembut dilaporkan mengurangi sensasi dan
tekanan nyeri persalinan aktif.
Musik dapat berfungsi dalam beberapa cara untuk mengurangi persepsi
nyeri. Tindakan mendengarkan musik mengubah transmisi impuls nyeri
melalui pengaktifan sistem limbik dan daerah sensorik otak . Selain itu, musik
yang dirasakan oleh otak dapat merangsang hipofisis kelenjar untuk
melepaskan endorfin yang mengendalikan rasa sakit [27, 28]. Mendengarkan
musik juga meningkatkan kadar dopamin yang berkontribusi untuk
pengalaman individu kesenangan dan motivasi [29].
6. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dapat disimpulkan bahwa musik yang tenang dapat
menurunkan skala nyeri pada proses persalinan khususnya fase laten di rumah
sakit.
B. JURNAL PEMBANDING 1
1. Judul Jurnal
“PENGARUH TERAPI MUSIK INSTRUMENTALIA TERHADAP
PENURUNAN INTENSITAS NYERI PERSALINAN KALA I AKTIF DI 3
BIDAN PRAKTEK MANDIRI NGEMPLAK BOYOLALI ”, oleh KH. Endah
Widhi Astuti, RD Rahayu, Noris Hadi Sri Mulyani tahun 2019.
2. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara penggunaan
Standar Operasi Prosedur (SOP) untuk menerima pasien baru menggunakan
ATS triage yang dimodifikasi dengan waktu respons perawat darurat.
3. Metodologi
Penelitian ini menggunakan desain analitik korelatif dengan pendekatan studi
kasus. Total populasi adalah 31 orang dan sampel 28 orang diperoleh melalui
kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi yaitu perawat yang mengikuti
lebih dari 3 (tiga) kali observasi dan perawat yang pernah mengikuti sosialisasi
traise. Kriteria eksklusi diantaranya perawat yang sedang cuti, perawat yang
bekerja kurang dari enam bulan di IGD, perawat magang, dan perawat yang
tidak langsung melayani pasien. Besar sampel sesuai kriteria inklusi adalah 28
responden. Variabel independen dalam penelitian ini adalah penggunaan ATS
dan variabel dependen dalam penelitian ini adalah waktu tanggap. Data
diperoleh dengan cara mengobservasi sampel dan dianalisis menggunakan uji
korelasi Spearman rho.
4. Hasil
a. Hasil Observasi Nilai Penggunaaan ATS Modifikasi
Hasil penilaian ATS modifikasi dari 28 responden yang diteliti sebagian
besar cukup sesuai dalam melakukan pemilahan dan prosedur tindakan
sesuai prioritas pada dinas pagi yaitu sebanyak 16 orang (57,1%), pada
dinas siang yaitu sebanyak 16 orang (57,1%) dan pada dinas malam yaitu
sebanyak 15 orang (53,6%).
b. Hasil Observasi Response Time Perawat Di IGD
Response time perawat pada dinas pagi dari 28 responden yang diteliti
sebagian besar responden memiliki response time cepat sebanyak 19 orang
(67,9%), pada dinas siang cukup cepat sebanyak 14 orang (46,4%) dan
pada dinas malam respon cepat sebanyak 15 orang (53,6%).
c. Hubungan antara Penggunaan ATS Modifikasi dan Kecepatan Response
Time Perawat Di IGD
Dari hasil uji analisis statistik menggunakan Spearman Rho didapatkan
p=0,720> α ≤ 0,05 maka hal ini menunjukkan tidak terdapat hubungan
antara penggunaan ATS modifikasi dan response time perawat dinas pagi.
Dari hasil uji analisis statistik menggunakan Spearman Rho didapatkan
p=0,866> α ≤ 0,05 maka hal ini menunjukkan tidak terdapat hubungan
antara penggunaan ATS modifikasi dan response time perawat dinas siang.
Dari hasil uji analisis statistik menggunakan Spearman Rho didapatkan
p=0,173> α ≤ 0,05 maka hal ini menunjukkan tidak terdapat hubungan
antara penggunaan ATS modifikasi dan response time perawat dinas
malam.
5. Kesimpulan
Kesesuaian penggunaan ATS modifikasi oleh perawat di ruangan IGD
RSUD Prof. dr. W. Z. Johannes Kupang sebagian besar perawat sudah cukup
sesuai menggunakan SOP penerimaan pasien baru dalam memilah sesuai
kategori atau label pasien. Response time perawat di ruangan IGD RSUD Prof.
dr. W. Z. Johannes Kupang sebagian besar cepat dalam menangani pasien
sesuai kategori ATS modifikasi pada dinas pagi. Penggunaan ATS modifikasi
tidak berhubungan dengan response time perawat di ruangan IGD RSUD Prof.
dr. W. Z. Johannes Kupang baik pada dinas pagi, dinas siang maupun dinas
malam.
BAB III
PEMBAHASAN
A. ANALISIS JURNAL
Triage adalah salah satu metode perawatan gawat darurat (PPGD) yang
mana mereka mendahulukan pelayanan untuk pasien yang terancam jiwa atau
beresiko kecacatan. Triage juga diartikan sebagai proses menentukan prioritas
penatalaksanaan pasien atau korban saat sumber daya terbatas. Triage merupakan
tindakan mengklasifikasikan kasus cedera secara cepat berdasarkan keparahan
cedera dan peluang kelangsungan hidup melalui pemberian intervensi medis yang
sesegera mungkin (Pan American Health Organization, 2006). Triage merupakan
proses pengkajian pasien secara cepat menurut tingkat keparahan cedera atau
kesakitannya serta memprioritaskan pengobatan menurut ketersediaan sumber
daya dan kemungkinan pasien bisa bertahan hidup (SCHR, 2006).
Masalah yang sering muncul saat melakukan triage adalah kesalahan
identifikasi pasien, kesalahan klasifikasi pasien (undertriage dan overtriage). Oleh
karena itu dalam Jurnal Paul, Susan, Chandra, Caruso & Kestler (2014) yang
berjudul “Reduced overtriage and undertriage with a new triage system in an
urban accident and emergency department in Botswana: a cohort study”
menjelaskan cara untuk mengatasi masalah dalam triage dengan menghindari
kesalahan triage (undertriage dan overtriage). Overtiage adalah membolehkan
pasien dengan tanda merah dan kuning untuk pulang (rawat jalan), sedangkan
undertriage adalah memberikan pelayanan rawat inap pada pasien dengan tanda
darurat rendah (hijau).
Penelitian Paul, Susan, Chandra, Caruso & Kestler (2014) menjelaskan triage
dinilai dari 4 tingkat dengan menggunakan PMH Accident & Emergaency Triage
Scale (PATS) yaitu merah (membutuhkan perawatan segera), orange (sangat
mendesak), kuning (mendesak), hijau (ringan). PATS digunakan sesuai dengan
paremeter tertentu yaitu denyut jantung, pernapasan, tekanan darah, suhu,
mobilitas status mental dan ada tidaknya trauma. Selain penelitian tersebut The
American College of Surgeons di Komite Standar trauma untuk mengurangi
overtriage dan undertriage perlu menggunakan lima tingkat yang digunakan di
Amerika Serikat yaitu The Emergency Severity Index (ESI) yang telah divalidasi
untuk pasien emergency dewasa. The Emergency Severity Index (ESI) adalah
algoritma triage sederhana dengan lima tingkat dalam mengkategorikan pasien
gawat darurat yaitu dengan mengevaluasi keparahan dan sumber daya kebutuhan
pasien. Prosesnya yaitu pertama perawat menilai keparahan pasien (tingkat 1 dan
2) kemudian perawat mengevaluasi sumber daya yang dibutuhkan untuk
menentukan triage tingkat 3,4, dan 5. ESI bertujuan untuk meningkatkan
pengalaman trise bagi perawat secara komprehensif. Empat poin keputusan dalam
empat pertanyaan kunci dalam ESI adalah :
a. Apakah pasien membutuhkan intervensi segera dalam menyelamatkan
nyawa?
b. Apakah pasien darurat yang tidak bisa menunggu ?
c. Berapa banyak kebutuhan yang diperlukan pasien ?
d. Apa tanda-tanda vital pasien ?
Berikut penjelasan dari empat pertanyaan ESI :
a. ESI tingkat 1 : pasien membutuhkan penyelamatan segera
Poin tersebut meliputi napas yang digunakan pasien spontan atau tidak,
pernapasan pasien cepat atau lambat dan denyut nadi pasien. Pada umumnya
triage pada poin satu sama dengan triage pada umumnya yang ditandai dengan
simbol merah. Penelitian telah menunjukkan bahwa triage perawat adalah
mampu memprediksi secara akurat kebutuhan mendesak dalam
menyelamatkan nyawa (Tanabe, et al., 2005). Intervensi tidak dianggap
menyelamatkan nyawa termasuk beberapa intervensi yang diagnostic atau
terapi, tetapi tidak ada yang akan menyelamatkan kehidupan. Intervensi
menyelamatkan nyawa ditujukan untuk mengamankan napas,
mempertahankan pernapasan, mendukung sirkulasi atau mengatasi perubahan
besar dalam tingkat kesadaran.
b. ESI tingkat 2 : haruskah pasien menunggu ?
Pertanyaan kedua merupakan ESI tingkat 2, dimana pasien telah lolos
dalam tingkat satu atau tidak termasuk dalam tingkat 1. Tiga pertanyaan dapat
digunakan untuk mengidentifikasi ESI tingkat 2 yaitu : pasien memiliki risiko
tinggi, pasien bingung, lesu serta pasien sakit parah atau kesusahan. Pasien
beresiko tinggi adalah pasien yang kondisinya bisa mudah memburuk. ESI
tingkat 2 juga harus dilakukan dengan cepat karena pasien memiliki prioritas
tinggi. Bingung adalah adanya penurunan kesadaran pada pasien. Pertanyaan
ketiga adalah pasien nyeri hebat. Sakit adalah alasan pasien datang kerumah
sakit dengan skala nyeri 7/10. Tetapi perawat perlu memperhatikan sakit
seperti apa yang dapat masuk ke ESI tingkat 2 karena sebagian pasien
mengatakan nyeri skala 7 tetapi masalah dapat diatasi tanpa masuk kriteria
tingkat 2.
c. ESI tingkat 3 : kebutuhan sumber daya
Tingkat 3 dilakukan jika pasien tidak masuk kriteria 1 dan 2. Untuk
mengidentifikasi tingkat 3 perawat triage harus akrab dengan standar gawat
darurat. Perawat harus memiliki pengetahuan tentang “urban & rural”. Salah
satu cara berpikir yang mudah pada konsep ini adalah mengajukan pertanyaan,
mengingat keluhan utama. Tindakan yang dapat dilakukan pada tingkat 3
yaitu pasien membutuhkan dua atau lebih sumber daya. Ada beberapa
pertanyaan umum yang sering ditanyakan terkait sumber daya, antara lain: tes
darah, tes urin, dan X-ray. Perawat triage harus menghitung jenis sumber daya
yang dibutuhkan pasien untuk menentukan disposisi pasien.
d. ESI tingkat 4: tanda-tanda vital
Perawat perlu mengukur TTV pasien untuk mengetahui apakah TTV
pasien dalam rentang normal atau tidak. Tanda – tanda yang penting
digunakan adalah nadi, pernapasan, saturasi oksigen. Dan untuk anak dibawah
umur 3 tahun suhu merupakan TTV penting bagi anak.
Dalam jurnal yang berjudul “The Effect Of Positional Changes On
Oxygenation In Patiens With Head Injury In The Intensive Care Unit” dinyatakan
bahwa perubahan posisi tubuh dapat berpengaruh terhadap oksigenasi/saturasi
oksigen pasien. Posisi yang digunakan dalam jurnal ini yaitu terdapat empat posisi
yaitu posisi berbaring terlentang, posisi miring ke kiri, posisi miring ke kanan, dan
posisi setengah duduk (30⁰-70⁰). Perubahan posisi dapat mempengaruhi nilai
saturasi oksigen pasien cedera kepala. Setiap posisi dipertahankan selama 15
menit, parameter terpenting yaitu pada akhir setiap interval 5 menit diamati dan
dicatat. Perubahan posisi dalam meningkatkan oksigenasi pada cedera kepala
dapat mengoptimalkan rasio ventilasi-paru, perubahan posisi memiliki efek kuat
dan langsung terhadap transportasi oksigen. Nilai saturasi oksigen (SpO2)
dipertahankan pada tingkat hemodinamik yang stabil disetiap posisi dan terdapat
peningkatan saturasi oksigen pada akhir 15 menit. Peningkatan nilai SpO2 yang
signifikan secara statistik terdapat pada posisi duduk berbaring (30⁰-70⁰).
Penerapan triase yang kurang dan belum memadai akan membahayakan
kehidupan klien yang tiba di IGD. Tindakan pengobatan kepada klien dalam
urutan kedatangan tanpa penilaian sebelum menentukan tingkat kegawatan dari
penyakitnya atau tanpa melakukan triase terlebih dahulu dapat mengakibatkan
penundaan intervensi klien dengan kondisi kritis sehingga berpotensi mematikan
(Aloyce, Leshabari and Brysiewicz, 2014). Peneliti berpendapat bahwa walaupun
penggunaan ATS masuk dalam kategori cukup sesuai dengan SOP, namun perawat
tetap memiliki response time yang baik. Perawat yang tidak menggunakan SOP
ATS tidak sesuai pada dinas pagi dari 28 responden rata-rata dikarenakan mereka
menerima pasien dengan kategori ATS modifikasi 3 (kategori 5) pada saat jam
kerja yang seharusnya diarahkan ke poliklinik bukan ditangani di IGD.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
penggunaan ATS dengan kecepatan respon time perawat IGD baik pada shift pagi,
siang, dan malam. Hal ini dikarenakan karena perawat hanya diberikan sosialisasi
tentang ATS tanpa adanya pelatihan simulasi triase. Rata-rata pelatihan yang
diikuti sebagian besar responden adalah 1 kali untuk pelatihan dasar gawat
darurat/BHD. Tujuan pelatihan triase adalah untuk meningkatkan konsistensi
peserta dalam menetapkan kategori triase dan menurunkan lama pasien berada di
IGD. Peneliti berpendapat, penggunaan ATS modifikasi yang belum semuanya
sesuai dikarenakan perawat masih kurang dalam hal pengetahuan mengenai triase
ATS. Selain dengan pelatihan, kurangnya jumlah perawat dengan pasien tidak
sebanding terlebih pada shift siang, sehingga dengan jumlah perawat yang terbatas
pada saat dinas beberapa pasien yang baru masuk seolah-olah terabaikan karena
ada response time perawat yang kurang sesuai.
Pelaksanaan triase dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor
kinerja (performance), faktor pasien, faktor perlengkapan triase, faktor
ketenagaan, dan faktor model of caring yang digunakan di instalasi tersebut (Christ
et al., 2010). Beban kerja juga dapat dijadikan sebagai faktor yang dapat
mempengaruhi triase, sedangkan yang dapat mempengaruhi penggunaan ATS dan
respon time yaitu pengetahuan (tingkat pendidikan) dan keterampilan mengenai
triase yang kurang. Pelaksanaan triage sangat penting dilaksanakan dalam kondisi
kegawatdaruratan, sehingga faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan triase
perlu diidentifikasi serta diperlukan rekomendasi tindak lanjut untuk
memperbaikinya, khususnya masalah peningkatan mutu dan jumlah tenaga
perawat, serta melengkapi dan mengoptimalkan penggunaan perlengkapan triage.
B. IMPLIKASI
Kemampuan dalam melakukan triage harus dimiliki dan dikuasai oleh tenaga
kesehatan, khusunya perawat. Melalui jurnal ini, diketahui bahwa kesalahan dalam
melakukan triage dapat menyebabkan overtriage dan undertriage, yang
menyebabkan prioritas dan penanganan masalah yang kurang tepat. Penting untuk
memperdalam dan melatih kemampuan dalam melakukan triage untuk
menghindari kesalahan pengelompokan. Triage dilakukan oleh perawat triage
yang sudah terlatih, sedangkan di RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata
Purbalingga sudah melakukan pengelompokan triage sesuai dengan SOP yang ada,
akan tetapi IGD RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga tidak memiliki
perawat khusus triage.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Triage merupakan proses pengkajian pasien secara cepat menurut tingkat
keparahan cedera atau kesakitannya serta memprioritaskan pengobatan menurut
ketersediaan sumber daya dan kemungkinan pasien bisa bertahan hidup (SCHR,
2006). Masalah yang sering muncul saat melakukan triage adalah kesalahan
identifikasi pasien, kesalahan klasifikasi pasien (undertriage dan overtriage).
Overtiage adalah membolehkan pasien dengan tanda merah dan kuning untuk
pulang (rawat jalan), sedangkan undertriage adalah memberikan pelayanan rawat
inap pada pasien dengan tanda darurat rendah (hijau). Overtriage dan undertriage
dapat dikurangi dengan mengkategorikan pasien gawat darurat dalam lima
tingkatan berdasarkan The Emergency Severity Index (ESI) yaitu dengan
mengevaluasi keparahan dan sumber daya kebutuhan pasien.
B. SARAN
1. Bagi rumah sakit
Rumah sakit diharapkan dapat memfasilitasi pengembangan kemampuan
dalam melakukan triage dengan pemberian pelatihan triage dan pengadaan
fasilitas yang mendukung.
2. Bagi perawat
Perawat diharapkan memiliki keahlian dalam melakukan triage dan mampu
untuk melakukan triage secara tepat sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini & Hafifah (2014). Hubungan antara oksigenasi dan tingkat kesadaran pada
pasien cedera kepala non trauma di ICU RSU Uin Banjarmasin, Semarang:
Program studi Ilmu Keperawatan
Damanik, R. P., Jemadi, Hiswani. 2012, Karakteristik penderita cedera kepala akibat
kecelakaan lalu lintas darat rawat inap di RSUD Dr. H. Kumpulan Pane Tebing
Tinggi tahun 2010-2011.
Hudak, C.M, & Gallo, B.M. 2010. Critical care Nursing: A Holistic Approach.
Philadelphia: JB Lippincott Company
Morris, S., Ridley, S., Lecky, F. E., Munro, V., Christensen, M. C. 2008, Determinants
of hospital costs associated with traumatic brain injury in England and Wales,
Anaesthesia, vol.63,no.3,499–508
Safrizal, S., Bachtiar, H. 2013. Hubungan nilai oxygen delivery dengan outcome
rawatan pasien cedera kepala sedang. Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran.
Padang: Universitas Andalas.
Sunardi. 2011. Pengaruh Pemberian Posisi Kepala Terhadap Tekanan Intrakanial
Pasien Stroke Iskemik Di Rscm Jakarta. Jurnal publikasi dan komunikasi karya
ilmiah bidang kesehatan.
Wijaya, A.S dan Putri, Y.M. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan
Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika.
DAFTAR PUSTAKA