Di negara maju seperti Amerika Serikat, 15% dari anak sekolah mempunyai risiko
meninggal akibat tenggelam dalam air. Ini dihubungkan dengan perubahan musim. Pada
musim panas anak-anak lebih tertarik bermain di kolam renang, danau, sungai, dan laut karena
mereka menganggap bermain air sama dengan santai sehingga mereka lupa terhadap tindakan
pengamanan.
Di Indonesia, kita tidak banyak mendengar berita tentang anak yang mengalami
kecelakaan di kolam renang sesuai dengan keadaan sosial ekonomi negara kita. Tetapi,
mengingat keadaan Indonesia yang dikelilingi air, baik lautan, danau, maupun sungai, tidak
mustahil jika banyak terjadi kecelakaan dalam air seperti hanyut dan terbenam yang belum
diberitahukan dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.
Kejadian hampir tenggelam, 40% terjadi pada sebagian besar anak-anak laki-laki untuk
semua kelompok usia dan umumnya terjadi karena kurang atau tidak adanya pengawasan
orangtua. Beberapa faktor lainnya yang menyebabkan kejadian hampir tenggelam pada anak
adalah tidak ada pengalaman/ketidakmampuan berenang, bernapas terlalu dalam sebelum
tenggelam, penderita epilepsi, pengguna obat-obatan dan alkohol, serta kecelakaan perahu
mesin dan perahu dayung.
Dalam hal ini, maka pertolongan kegawatdaruratan dengan pasien tenggelam harus
dilakukan secara cepat dan tepat untuk menghindari terjadinya kolaps pada alveolus, lobus atas
atau unit paru yang lebih besar. Penatalaksanaan tindakan kegawatdaruratan ini tentunya harus
dilakukan secara benar dengan tujuan untuk mencegah kondisi korban lebih buruk,
mempertahankan hidup serta untuk peningkatan pemulihan.
DEFINISI TENGGELAM
Tenggelam dapat diartikan sebagai kematian akibat pembenaman di dalam air. Konsep
asli mekanisme kematian akibat tenggelam adalah asfiksia, ditandai dengan masuknya air ke
dalam saluran pernapasan. Penelitian pada akhir tahun 1940-an dan awal tahun 1950-an
menyebutkan bahwa kematian akibat tenggelam disebabkan oleh gangguan elektrolit atau
aritmia jantung, yang dihasilkan oleh sejumlah besar air yang masuk ke sirkulasi melalui paru-
paru. Sekarang, konsep dasar tersebut benar, dan fisiologi kematian yang terpenting pada kasus
tenggelam adalah asfiksia.
1. Wet drowning. Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran pernapasan setelah
korban tenggelam.
2. Dry drowning. Pada keadaan ini cairan tidak masuk ke dalam saluran pernapasan,
akibat spasme laring. Paru-paru tidak menunjukkan bentuk yang bengkak (udem).
Tetapi, terjadi hipoksia otak yang fatal akibat spasme laring. Dry drowning terjadi 10-
15% dari semua kasus tenggelam. Teori mengatakan bahwa sejumlah kecil air yang
masuk ke laring atau trakea akan mengakibatkan spasme laring yang tiba-tiba yang
dimediasi oleh refleks vagal.
3. Secondary drowning/near drowning. Terjadi gejala beberapa hari setelah korban
tenggelam (dan diangkat dari dalam air) dan korban meninggal akibat komplikasi.
4. Immersion syndrome. Korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam dalam air dingin
akibat refleks vagal. Alkohol dan makan terlalu banyak merupakan faktor pencetus.
FISIOLOGI TENGGELAM
GEJALA KLINIS
Gambaran klinik korban tenggelam sangat bervariasi berhubungan dengan lamanya tenggelam.
Conn dan Barker mengembangkan suatu klasifikasi yang dianggap bermanfaat untuk pedoman
mekanik jantung terjadi. Bradikardi bisa timbul akibat refleks diving fisiologis pada air dingin,
sedangkan vasokonstriksi perifer bisa juga terjadi akibat hipotermi atau peninggian
kadar katekolamin.
Hipoksia dan iskemia selama tenggelam akan terus berlanjut sampai ventilasi, oksigenasi,
dan perfusi diperbaiki. Sedangkan iskemia yang berlangsung lama bisa menimbulkan trauma
sekunder meskipun telah dilakukan resusitasi jantung paru yang adekuat. Oedem cerebri yang
difus sering terjadi akibat trauma sitotoksik yang disebabkan oleh anoksia dan iskemia susunan
syaraf pusat yang menyeluruh. Kesadaran yang hilang bervariasi waktunya, biasanya setelah 2
sampai 3 menit terjadi apnoe dan hipoksia. Kerusakan otak yang irreversible mulai terjadi
setelah 4 sampai 10 menit anoksia. Ini memberikan gambaran bahwa hipoksia mulai terjadi
dalam beberapa detik setelah orang tenggelam, diikuti oleh berhentinya perfusi dalam 2 sampai
6 menit. Otak dalam suhu normal tidak akan kembali berfungsi setelah 8 sampai 10 menit
anoksia walaupun telah dilakukan tindakan resusitasi. Anoksia dan iskemia serebri yang berat
akan mengurangi aktivitas metabolik akibat peninggian tekanan intrakranial serta perfusi
serebri yang memburuk. Ini dipercayai menjadi trauma susunan saraf pusat sekunder.
Hampir sebagian besar korban tenggelam memiliki konsentrasi elektrolit serum normal
atau mendekati normal ketika masuk rumah sakit. Hiperkalemia bisa terjadi karena
kerusakan jaringan akibat hipoksemia yang menyeluruh.