Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sungai
Sungai adalah suatu saluran drainase yang terbentuk secara alamiah. Akan tetapi
disamping fungsinya sebagai saluran drainase dan dengan adanya air yang mengalir di
dalamnya, sungai menggerus tanah dasarnya secara terus-menerus sepanjang masa
existensinya dan terbentuklah lembah-lembah sungai. Volume sedimen yang sangat besar
yang dihasilkan dari keruntuhan tebing-tebing sungai di daerah pegunungan dan tertimbun di
dasar sungai tersebut, terangkut ke hilir oleh aliran sungai. Hal ini diakibatkan karena pada
daerah pegunungan kemiringan sungainya curam dan gaya tarik aliran airnya cukup besar,
setelah itu gaya tariknya menjadi sangat menurun ketika mencapai dataran. Dengan demikian
beban yang terdapat dalam arus sungai berangsur-angsur diendapkan (Sosrodarsono,1984:4).
Proses terjadinya sungai adalah air yang berada di permukaan daratan, baik air hujan,
mata air, maupun cairan gletser, akan menglir melalui sebuah saluran menuju tempat yang
lebih rendah. Namun, secara proses alamiah aliran ini mengikis daerah-daerah yang
dilaluinya. Akibatnya, saluran ini semakin lama semakin lebar dan panjang, dan terbentuklah
sungai. Perkembangan suatu lembah sungai menunjukan umur dari sungai tersebut. Umur
disini merupakan umur relatif berdasarkan ketampakan bentuk lembah tersebut yang terjadi
dalam beberapa tingkat (stadium). Alur Sungai dikategorikan menjadi tiga, sebagai berikut:
a. Bagian hulu sungai memiliki ciri arus deras, erosi yang besar pada bagian bawah
sungai. Dengan demikian hasil erosi tidak hanya sedimen pasir,krikil, atau batu dapat
terbawa ke arah hilir.
b. Bagian tengah yang merupakan bagian perpindahan dari hulu sungai ke bagian hilir
dan memiliki kemringan dasar sungai yang relatif lebih landai sihingga kekuatan
erosinya tidak terlalu besar dan arah erosinya mengarah ke bagain dasar dan samping
serta terjadinya pengendapan.
c. Bagian hilir yang memiliki bagian kemiringan dasar sungai yang landai sehingga
kecepatan alirannya lambat, sehingga arusnya tenang, daya erosi akibat aliran kecil
dengan arah ke samping dan akan banyak endapan.
2.1.1 Morfologi Sungai
Sifat-sifat suatu sungai dipengaruhi oleh luas, dan bentuk daerah pengaliran serta
kemiringannya. Topografi suatu daerah sangat berpengaruh terhadap morfologi sungai yang

11
12

ada, daerah dengan bentuk pegunungan pendek-pendek mempunyai daerah pengaliran yang
tidak luas dan kemiringan dasarnya besar. Sebaliknya daerah dengan kemiringan dasarnya
kecil biasanya mempunyai daerah pengaliran yang luas. Kategori kelas bentuk sungai yang
umum diperkenalkan oleh Leopold dan Wolman (1957) adalah sungai berkelok (meandering),
sungai berburai (braided), dan sungai lurus (straight).

a. Sungai Berkelok (Meandering Reaches)


Sungai yang mengandung aliran satu arah dengan kelokan-kelokan yang tajam.
Bentuk geometrik sungai cenderung berubah seiring waktu menyesuaikan dengan erosi
pengendapan yang terjadi.

Gambar 2.1 Sungai Berkelok (Meandering Reaches)


Sumber : Google Image

b. Sungai Berburai (Braided Reaches)


Sungai berburai (braided reaches) adalah sungai yang terbentuk dari saluran-saluran
kecil yang saling terhubung tidak beraturan. Sungai ini ditandai dengan sedimentasi yang
relative tinggi di beberapa titik sehingga membentuk aliranaliran kecil baru dimana
mempunyai aliran atau arus yang bervariasi. Sungai dengan tipe ini umumnya memiliki
perbedaan kemiringan yang relative tinggi dan lereng/tebingnya tidak stabi serta kurang
bervegetasi.

Gambar 2.2 Sungai Berburai (Braided Reaches)


13

Sumber : Google Image

c. Sungai Lurus (Straight Reaches)


Sungai lurus adalah sungai yang bentuk alinemen sungainya relative lurus tanpa
kelokan. Sungai jenis ini umumnya memiliki kemiringan lereng yang hamper datar, atau
curam yang mengakibatkan kecepatan aliran yang tinggi.

Gambar 2.3 Sungai Lurus (Straight Reaches)


Sumber : Google Image

2.2. Arah Aliran


Bilangan Reynold adalah bilangan yang menyatakan perbandingan antara kecepatan
rerata dengan kekentalan kinematik. Berdasarkan bilangan Reynold, aliran dibagi menjadi
beberapa macam yaitu:

a. Aliran laminer, yaitu apabila bilangan Reynold < 500, secara fisik suatu aliran
dikatakan laminer bila setiap partikel yang melalui titik tertentu selalu mempunyai
lintasan (garis arus) yang tertentu pula.

Gambar 2. 4 Aliran Laminer


Sumber : Google Image

b. Aliran turbulen yaitu apabila bilangan Reynold > 25000, sutau aliran dikatakan
turbulen apabila setiap pertikel yang melalui titik tertentu selalu mempunyai lintasan
(garis arus) yang tidak berupa garis lurus, tetapi berupa garis berkelak-kelok (acak).
14

Gambar 2. 5 Aliran turbulen


Sumber : Google Image

c. Aliran transisi yaitu apabila bilangan Reynold antara 500 dan 2500

Gambar 2. 6 Aliran transisi


Sumber : Google Image

Berdasarkan bilangan froude, bilangan froude adalah bilangan yang menyatakan


perbandinga antara kecepatan aliran dengan kecepatan gelombang pada air dangkal berdasar
bilangan Froude maka aliran dapat dibagi menjadi 3 yaitu;

a. Aliran subkritik apabila Fr < 1, pada aliran ini kecepatan rerata dibanding dengan
kecepatan gelombang adalah lebih kecil, sehingga gelombang masih terjadi ke segala
arah.
b. Aliran kritik apabila Fr = 1, pada aliran ini kecepatan rerata dibanding dengan kecepatan
gelombang adalah sama, sehingga gelombang hanya terjadi ke arah aliran hilir dan kiri-
kanan.
c. Aliran superkritik apabila Fr > 1, pada aliran ini kecepatan rerata dibanding dengan
kecepatan gelombang adalah lebih besar, sehingga geomang hanya terjadi ke arah aliran
hilir dan kiri-kanan, sedangkan gerakan gelombang disertai dengan pergeseran pusat
terjadinya gelombang kearah aliran.

2.3. Debit Aliran


Menurut Triatmodjo (2016) debit fluida adalah volume fluida yang mengalir persatuan
waktu.
15

Q = V. A (2- 1)
Dengan:
Q = Debit aliran, m³/detik
V = Kecepatan rata-rata, m/detik
A = Luas penampang melintang tegak lurus terhadap arah aliran, m².

2.3.1. Debit Dominan


Debit dominan adalah suatu debit dimana efek pembentukan alur sama dengan hasil aksi
komprehensif oleh debit yang sesuai dengan hidrograf debit jangka panjang. Debit dominan
memiliki pengaruh paling besar dalam membentuk alur sungai. Walaupun banjir tertinggi
mempunyai potensi besar, hal tersebut tidak memegang peranan maksimum karena
periodenya yang pendek. Karenanya debit dominan adalah debit yang cukup besar namun
tidak merupakan debit maksimum.

2.4. Pengukuran Kecepatan Aliran


Menurut Chow (1989) kecepatan aliran rata-rata merupakan perbandingan antara debit
aliran yang melewati saluran (Q) dengan luas tampang basah saluran (A) seperti persamaan
berikut:
V= Q/A (2- 2)

Dengan:
V = Kecepatan Aliran rata-rata, (m/detik)
B = Lebar Saluran (m)
Q = Debit Aliran (l/detik)
A = Luas Penampang (m²)
Berikut faktor yang dapat mempengaruhi aliran pada saluran terbuka, yaitu:
1. Kedalaman aliran (y) yaitu jarak dari dasar dari saluran yang tegak lurus dengan saluran
sampai ke permukaan sebuah saluran.
2. Lebar puncak (T atau b) yaitu lebar atas dari penampang saluran.
3. Luas basah (A) yaitu dari luas penampang aliran dengan arah melintang aliran yang tegak
lurus dengan arah aliran.
4. Keliling basah (P) yaitu dari garis perpotongan permukaan basah saluran dengan bidang
penampang yang melintang secara tegak lurus sebuah saluran.
16

5. Jari-jari hidraulik (R) yaitu dari rasio luas saluran basah dengan keliling saluran basah
A
R
P
6. Kedalaman hidraulik (D) yaitu dari rasio luas saluran basah dengan lebar puncak saluran
A
D
T
7. Kemiringan saluran pada dasar saluran yang diatur dengan keadaan topografi yang
diperlukan untuk aliran air. Untuk kemiringan dinding saluran tergantung dari jenis bahan
yang digunakan.

Tabel 2. 1 Kemiringan Dinding Saluran yang Berdasarkan Bahan


No Bahan Kemiringan Dinding Saluran
1 Batu Hampir Tegak Lurus / Vertikal
2 Tanah Gambut 1⁄ : 4
4
3 Lempung Teguh 1⁄ : 4 atau 1 : 1
2
4 Tanah Berpasir Batu 1:1
5 Lempung Kaku 1:5:1
6 Tanah Berpasir Lepas 2:1
7 Lempung Berpasir 3:1
Sumber : Ven The Chow (1989)

2.5. Gerusan (Local Scouring)


Pemanfaatan lahan di bantaran aliran sungai sulit dihindari, mengingat perkembangan
peradaban manusia dimulai dari daerah yang memudahkan sarana transportasi seperti sungai
dan pantai, dan untuk kondisi saat ini kebutuhan lahan untuk permukiman dan pembangunan
prasarana umum semakin meningkat. Gerusan terjadi di sepanjang aliran sungai dan
umumnya mengalami peningkatan pada daerah belokan yang akan mengacam kestabilan
bangunan dan fasilitas yang dibangun di sekitar lokasi tersebut. Gerusan di tikungan sungai
akan terjadi di daerah awal masuk tikungan, sedangkan pengendapan dimulai dari bagian
tengah tikungan hingga akhir tikungan. Gerusan adalah transport sedimen, yaitu perpindahan
tempat bahan sedimen oleh air yang sedang mengalir dengan pergerakan searah aliran air.
Perbedaan morfologi dan sudut belokan sungai mempengaruhi bentuk pola aliran dan
selanjutnya berpengaruh terhadap perbedaan besarnya gerusan yang terjadi (Djufri, 2017).
Gerusan merupakan suatu proses yang dapat mengakibatkan kerusakan pada sebuah
bangunana yang terdapat pada aliran sungai. Semakin banyak gerusan yang terjadi dapat
merubah bentuk dari aliran sungai, perubahan seperti bentuk dasar dari sungai serta adanya
halangan seperti banguanan yang menghalangi aliran sungai. Bangunan yang menghalangi
17

aliran air sungai menyebabkan berubahnya pola aliran air sungai yang dapat terjadinya
gerusan lokal pada sekitar bangunan. Dengan berubahnya pola aliran air sungai tersebut yang
disebabkan adanya bangunan seperti abutmen jembatan, krib sungai, pintu air dan sebagainya,
bangunan seperti ini dianggap dapat merubah dari pola aliran air sungai di sekitar bangunan
tersebut Legono, (1990) .
Peristiwa gerusan lokal selalu akan berkaitan erat dengan fenomena perilaku aliran
sungai, yaitu hidraulika aliran sungai dalam interaksinya dengan geometri sungai, geometri
dan tata letak pilar jembatan, serta karakteristik tanah dasar di mana pilar tersebut dibangun
Istiarto, (2002) dalam Ariyanto, (2009).
Menurut Ettema dan Raudkivi (1982) dalam Istiarto (2002) dalam Ariyanto (2009),
perbedaan gerusan dapat dibagi menjadi:
a. Gerusan umum general scour. Gerusan yang terjadi akibat dari proses alam dan tidak
berkaitan sama sekali dengan ada tidaknya bangunan sungai.
b. Gerusan dilokalisir constriction scour. Gerusan yang diakibatkan penyempitan alur
sungai sehingga aliran menjadi terpusat.
Peristiwa gerusan tersebut dapat terjadi bersamaan namun pada tempat yang berbeda.
Gerusan dilokalisir di alur sungai dan gerusan lokal di sekitar bangunan. Selanjutnya dapat
dibedakan menjadi gerusan dengan air bersih clear water scour maupun gerusan dengan air
bersedimen live-bed scour. Gerusan dengan air bersih berkaitan dengan suatu keadaan dimana
dasar sungai di sebelah hulu bangunan dalam keadaan diam (tidak ada material yang
terangkut), atau secara teoritik (t0 < tc) dimana t0 adalah tegangan geser yang terjadi,
sedangkan tc adalah tegangan geser kritik dari butiran dasar sungai. Perbedaan prinsip antara
gerusan oleh air bersih dibandingkan dengan air bersedimen adalah mengikuti skema seperti
disajikan pada gambar berikut.

Gambar 2. 7 Hubungan kedalaman gerusan dengan waktu


Sumber: Istiarto, 2002 dalam Ariyanto, 2009
18

Gerusan lokal (local scouring) ini menurut Yulistiyanto dkk (1998) merupakan gerusan
yang terjadi disekitar abutmen jembatan atau pilar, disebabkan oleh pusaran air vortex system,
karena adanya gangguan pada pola aliran akibat rintangan. Aliran yang mendekati pilar dan
tekanan stagnasi akan menurun dan menyebabkan aliran ke bawah down flow yaitu aliran dari
kecepatan tinggi menjadi rendah. Kekuatan down flow akan mencapai maksimum ketika
berada tepat pada dasar saluran.
Penggerusan lokal Garde dan Raju, (1977) terjadi akibat adanya turbulensi air yang
disebabkan terganggunya aliran, baik besar maupun arahnya, sehingga menyebabkan
berubahnya material dasar atau tebing sungai. Turbulensi disebabkan oleh berubahnya
kecepatan terhadapt waktu, dan keduanya. Penggerusan lokal pada material dasar dapat terjadi
secara langsung oleh kecepatan aliran sehingga daya tahan material terlampaui. Secara teori
tegangan geser yang terjadi lebih besar dari tegangan geser kritis dari butiran dasar.
Menurut Miller, (2003:10) dalam Prasetyo, (2006). Menjelaskan tahap-tahap gerusan
yang terjadi antara lain sebagai berikut:
a. Peningkatan aliran yang terjadi pada saat perubahan garis aliran di sekeliling pilar.
b. Pemisahan aliran dan peningkatan pusaran tapal kuda yang lebih intensif sehingga
menyebabkan pembesaran lubang gerusan.
c. Longsor/turunnya material di sekitar lubang gerusan pada saat lubang cukup besar
setelah terkena pusaran tapal kuda.

2.6. Transportasi Sedimen


Intensitas Transportasi Sedimen (T) adalah banyaknya sedimen yang melewati pada suatu
penampang melintang sungai yang dinyatakan dalam berat (kg/dt) atau volume (m3/dt).
Biasanya T dinyatakan banyaknya sedimen tiap satuan lebar sungai/saluran.

Gambar 2. 8 Denah tampang A-A menunjukkan intensitas transportasi sedimen


Sumber: Priyantoro, (1987:77)
19

Mekanisme transportasi sedimen menunjukkan suatu sungai dalam kedalaman tertentu


apakah akan terjadi erosi (erosion), pengendapan (deposition/silting) atau mengalami
angkutan seimbang (equilibrium).

Gambar 2.9 Mekanisme transportasi sedimen pada penampang memanjang


Sumber: Priyantoro, (1987:9)

Tabel 2. 2 Proses sedimentasi dan pengaruhnya pada dasar saluran


Perbandingan Proses
T Sedimen Dasar

T1 = T2 Seimbang Stabil
T1 < T2 Erosi Degradasi
T1 > T2 Pengendapan Agradasi

Sumber: Priyantoro, (1987:1)

2.6.1 Perhitungan Empiris Angkutan Muatan Dasar


Sebagian besar rumus-rumus menggunakan parameter yang menentukan keadaan batas
(kritis) dimana belum terjadi angkutan, misalnya mengkaitkan hubungan:

  o -  c (tegangan geser kritis)


 Qo – Qc (debit kritis)
 Uo – Uc (kecepatan kritis)

Rumus yang digunakan untuk menghitung angkutan muatan dasar :

1. Meyer – Peter dan Muller (1948:39-64)


Formula ini sangat sesuai digunkan dalam menentukan angkutan sedimen yang
bergradasi, dan kondisi aliran yang menyebabkan terbentuknya konfigurasi dasar (dunes,
ripples, antidunes). Formula yang digunakan yakni (Anonim, 2017: 11):
1
 w 
3/ 2
Qs  ks  3
w  h.s  0,047s  wdm  0,25  Tb2 3 (2- 3)
Q  k ' s   g 
20

Qs R
  Faktor koreksi penampang saluran (2- 4)
Q h

Qs
1 Untuk B = ~ (2- 5)
Q
3
 ks  2  26 
 k ' s     ripple factor K ' s   1 / 6  (2- 6)
 d 90 
dengan:
dm = diameter median = d 50-90 (m)
γs = berat jenis sedimen (t/m3)
Tb = berat sedimen (padat) dalam air (t/m.det)
Tb
Volume sedimen (padat) = (m3/dtm’)
s  w
w = berat jenis (t/m3)

2. Van Rijn (1984)


Rumus angkutan muatan dasar menurut Van Rijn (1984) berikut (Pilarczyk, 1995:95):
2,5
  D 
1, 2

Sb  U  Uc   50 
 0,005
   h 
 g..D 50 s   
u.h
 
(2- 7)

s
s (2- 8)

Dengan kecepatan aliran rata-rata kritis dihitung dengan rumus:

12.Rb 
Uc  0,19D50  log  , 0,1  D50  0,5m
0 ,1

 3.D90  (2-9)

12.Rb 
Uc  8,5D50  , 0,5  D50  2mm
0, 6
log 
 3.D90  (2-10)

dengan:
Sb = kapasitas muatan dasar (m3/dt/m)
Rb = radius (m)
U = kecepatan rata-rata aliran (m/dt)
Uc = kecepatan rata-rata kritis
D50, D90 = diameter butir material dasar (m)
21

H = kedalaman aliran
S = relatif densitas butiran

3. Schoklitsch Formula (1935)


Formula Schoklitsch menggunakan parameter dengan batas (kritis) dimana belum terjadi
angkutan dengan hubungan debit kritis (Qo-Qc) yakni (Shulits, 1935: 4-10):
Gs = 7000 ( I3/2/D500,5).(q1-qc) (2-11)
Qc = 1,94.10-5.D50/I4/3 (2-12)
dengan:

Gs = debit sedimen (kg/dt/m,)


I = Slope dasar
D50 = diameter butiran rerata (mm)
q1 = debit per lebar (m3/dt/m’)
qc = debit per lebar kritis (m3/dt/m’)

2.6.2. Konfigurasi bentuk dasar saluran


Penelitian mengenai bentuk dasar dapat dibagi menjadi 2 macam pendekatan yaitu secara
teoritik dan empiris. Pada perkembangan terakhir pendekatan empiris memilik kemajuan yang
cukup besar.

Gambar 2.10 Berbagai kofigurasi bentuk dasar yang terjadi saluran alluvial
Sumber :
22

2.7. Bangunan Pengaman Sungai


Pemilihan bangunan pengaman sungai yang diperlukan untuk menanggulangi bahaya
kerusakan sungai maupun banjir yang terjadi didasarkan factor-faktor seperti besarnya debit
banjir yang terjadi, topografi sungai, kondisi sungai akibat aliran sedimen yang menimbulkan
sedimentai dan kecepatan aliran yang dapat menimbulkan erosi serta factor-faktor lainnya.

2.7.1 Bangunan Krib


Krib merupakan bangunan yang dibuat mulai dari tebing sungai ke arah tengah guna
mengatur arus sungai dan tujuan utamanya adalah :
1. Mengatur arah arus sungai
2. Mengurangi kecepatan arus sungai sepanjang arus tebing, mempercepat sedimentasi
dan menjamin keamanan tanggul atau tebing sungai terhadap gerusan.
3. Mempertahankan lebar dan kedalaman air pada alur sungai.
4. Mengkonsentrasikan arus sungai dan memudahkan penyadapan.

Krib merupakan bangunan air yang secara efektif mengatur arah arus sungai dan
mempunyai efek positif yang besar jika dibangun secara benar. Sebaliknya apabila krib
dibangun kurang semestinya, maka tebing disebrangnya dan bagian sungai disebelah hilir dari
krib tersebut akan mengalami pengaruh yang merusak, seperti terjadi kerusakan-kerusakan
tebing dan menjangkau jauh ke sebelah hilir dari bagian sungai tersebut.

2.7.2 Klasifikasi Krib


Secara garis besar ada dua type konstruksi krib, yaitu;
1. Krib permeabel
Pada tipe ini, air dapat mengalir melalui krib (perbeable spur). Krib permeable
melindungi tebing terhadap gerusan arus sungai dengan cara meredam energy yang
terkandung dalam aliran sepanjang tebing sungai dan bersamaan dengan itu
mengendapkan sedimen yang terkandung dalam aliran tersebut.
Krib perbeabel terbagi dalam beberapa jenis lagi, antara lain jenis tiang pancang, jenis
rangka pyramid dan jenis rangka kotak.
2. Krib Impermeabel
Disebut juga krib tipe padat, karena air sungai tidak dapat mengalir melalui tubuh krib.
Krib tipe ini digunakan untuk membelokan arah arus sungai dan karenanya sering terjadi
gerusan yang cukup dalam didepan ujung krib tersebut atau bagian sungai sebelah
hilirnya. Untuk mencegah gerusan tersebut, biasanya pelindung dengan konstruksi yang
23

fleksibel seperti matras atau hamparan pelindung batu sebagai pelengkap dari krib
tersebut.
Dari jenis konstruksinya terdapat beberapa jenis krib impermiabel, antara lain bronjong,

2.7.3 Kalkulasi pemasangan krib


Kalkulasi pemasangan krib merupakan suatu hasil penyempurnaan dengan bantuan uji
model fisik. Berdasarkan gambar rencana hidraulik apabila dipandang perlu dilakukan
penyelidikan geoteknik lengkap dan detail untuk menunjang kestabilan susunan krib dan
bagian-bagiannya.

1. Panjang krib efektif tergantung dari tampang lintang sungai. Pada tebing yang terjal : Leff
= 70-90% Ltotal . sedangkan pada tebing yang landai : Leff = 50-70% Ltotal . Kemiringan
mercu krib biasanya dibuat dengan 1/20 – 1/100 ke ujung dengan maksud mengurangi
pukulan air. lihat pada gambar dibawah

Gambar 2. 11 tebing terjal l eff = 70 - 90% l tot


Sumber :

Gambar 2. 12 tebing landai l eff = 50 - 70% l total


Sumber :
24

Tabel 2. 3 Hubungan Antara Panjang dan Interval Krib


Lokasi Krib Hubungan antara interval (L) dan panjang (LP)
Bagian Lurus L = ( 1,7 – 2,3 ) LP
Bagian Luar L = (1,4 – 1,8 ) LP
Bagian Dalam L = (2,8 – 3,6) LP
Sumber :
2. Panjang total krib
Panjang total krib terhadap lebar sungai (B) 1 < 0,1B
3. Jarak antar krib
Jarak antar krib adalah d = (5 – 7,5) X panjang efektif krib
dalam penentuan jarak krib, kehilangan energi antara dua krib harus lebih kecil dari
kehilangan energy kecepatan.

(2-13)
Dimana :
L = jarak antar krib (m)
c = krib kekasaran Chezy
h = kedalaman air rerata (m)
g = percepatan gravitasi
4. Lengkung sungai
Perletakan krib pada tikungan sungai dinyatakan bahwa ujung-ujung krib ditentukan
oleh alur sungai atau pelurusan sungai adalah aliran yang merata yaitu sebagai berikut:
 Dicari lebar sungai rata-rata (B)
 Dibuat garis lengkung sentral dengan jari2 yang paling besar (Rc) dimana
Rcmin = 3B
 Salah satu ujung dari pada lengkung sentral digambar 2 buah kurva lingkaran
dengan jari-jari 2 x Rc
 Kurva garis lengkung di atas dibuat garis lengkung yang dihaluskan
 Dibuat kurva lengkung yang sejajar dengan kurva garis lengkung di atasnya.
Garis lengkung ini merupakan batas ujung-ujung daripada krib yang berarah
tegak lurus
25

Gambar 2.13 Lengkung sungai


Sumber :

5. Jarak antar tiang pancang


Jarak antara tiang untuk krib tiang pancang berkisar 1,00-1,50 mm, pada pangkalkrib
jarak tiang lebih rapat dari pada di tengah maupun di ujung krib.

Gambar 2.13 Jarak antar tiang pancang


Sumber :
6. Elevasi puncak krib
Elevasi puncak krib biasanya diambil sama dengan elevasi banjir normal (umumnya
1,0-1,5m dibawah Q25). Untuk krib tiang pancang disesuaikan dengan kondisi dan
panjang tiang pancang.
26

7. Panjang tiang di atas dasar sungai


Direncanakan tergantung dari pada dalamnya gerusan (scouring) yang akan terjadi.
ds – 2 dm, dm = 0,4 (Q/f)1/3 , f= 1,76 d

2.8. Pemodelan Sungai


Untuk mengadakan penelitian pada sungai sesungguhnya sangat sulit, memakan waktu
dan biaya yang banyak. Model sungai dapat digunakan untuk mengidentifikasi proses-proses
fisik yang mempengaruhi pekerjaan teknik sungai dan jangkauan rencana penelitian alternatif
yang diijinkan pada kondisi yang sama.
Model digunakan apabila ditemui persoalan-persoalan yang tidak diketahui secara pasti,
atau belum adanya standarisasi parameter-parameter perencanaan. Tujuan pembuatan model,
yaitu:
1. Untuk memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi setelah bangunan
selesai dilaksanakan.
2. Untuk memperoleh tingkat keamanan yang tinggi dari suatu perencanaan bangunan
3. Memprediksi sifat-sifat bangunan dan pengaruhnya terhadap lingkungan

2.8.1 Pendekatan Empiris


Van Rijn (1985) memberikan suatu model dalam memprediksi bentuk dasar saluran
alluvial dengan asumsi adalah faktor utama yang berperan adalah angkutan muatan dasar (bed
load transport). Selanjutnya angkutan muatan dasar ini dapat dijelaskan oleh parameter
bilangan tak berdimensi dan parameter transport stage, sebagai berikut:

 ( s  1) g 
1/ 3

D*  D50   (2-14)
 v
2

dengan
D50 = diameter ukuran butir material dasar
s = specific density
v = kekentalan kinematik

(u* ) 2  (u*cr ) 2 g
T 2
dengan u*  u (2-15)
(u*cr ) c'
dimana:
u = kecepatan geser di dasar yang berhubungan dengan butiran
27

12Rb 
c’ = koefisien Chezy = 18 log  
 3D90 
Rb = perbandingan jari-jari hidraulik dengan dasar saluran
D50 = diameter partikel material dasar
u = kecepatan rata-rata
u*.cr =kecepatan geser kritis dasar saluran, sesuai Shields

Gambar 2.13 Klasifikasi bentuk dasar menurut Van Rijn (1985)


Sumber :

2.8.2 Skala Model


Dasar-dasar penyekalaan model adalah membentuk kembali masalah atau problema yang
ada di prototipe dalam skala yang lebih kecil (model), sehingga kejadian (fenomena) yang ada
di model tersebut sebangun (mirip) dengan yang ada di prototipe. Kesebangunan tersebut
dapat berupa :
- Kesebangunan geometris
- Kesebangunan kinematik
- Kesebangunan dinamik
Hubungan antara model dan prototype diturunkan dengan skala, untuk masing-masing
parameter mempunyai skala tersendiri dan besarnya tidak sama. Skala dapat didenfinisikan
28

sebagai rasio antara nilai parameter yang ada di prototype dengan nilai parameter tersebut
pada model (Yuwono, 1996:5).
1) Kesebangunan Geometris
Kesebangunan geometris antara model dan prototype tercapai jika semua dimensi
(ukuran panjang) yang bersesuaian antara model dan prototype adalah sama, dan ini
merupakan persyaratan utama yang harus dipenuhi oleh skala model. Perbandingan
ini dinamakan skala geometris, yang termasuk dalam kelompok kesebangunan
geomteris adalah (Yuwono, 1996:5):
- Panjang, lebar
Skala panjang pada umumnya diberi notasi nL
𝐿𝑝 𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑜𝑡𝑖𝑝𝑒
𝑛𝐿 = = (2-16)
𝐿𝑚 𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑚𝑜𝑑𝑒𝑙

- Tinggi, kedalaman
Skala tinggi pada umumnya diberi notasi nh
ℎ𝑝 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑜𝑡𝑖𝑝𝑒
𝑛ℎ = = (2-17)
ℎ𝑚 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑚𝑜𝑑𝑒𝑙

- Luas
𝐴𝑝 𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑥 𝑙𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑜𝑡𝑖𝑝𝑒
𝑛𝐴 = = = 𝑛𝐿 2 (2-18)
𝐴𝑚 𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑥 𝑙𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑚𝑜𝑑𝑒𝑙

Volume
𝑉𝑝 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑜𝑡𝑖𝑝𝑒
𝑛𝑉 = = = 𝑛𝐿 3 (2-19)
𝑉𝑚 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑚𝑜𝑑𝑒𝑙

2) Kesebangunan Kinematis
Kesebangunan kinematis antara model dan prototype terpenuhi jika garis alirannya
serupa secara geometris dan semua besaran yang bergantung waktu mempunyai
perbandingan yang konstan. Perbandingan ini biasa disebut skala waktu. Sebangun
kinematik, terjadi jika prototipe dan model sebangun geometrik dan perbandingan
antara kecepatan dan percepatan di duatitik yang bersangkutan pada model dan
prototype untuk seluruh pengaliran adalah sama,yang termasuk dalam kelompok
kesebangunan kinematis adalah (Yuwono, 1996:7):
- Kecepatan
𝑈𝑝 𝑛𝐿 𝑛
𝑛𝑈 = = atau 𝑛ℎ (2-20)
𝑈𝑚 𝑛𝑇 𝑇

- Percepatan
𝑎𝑝 𝑛𝐿 𝑛
𝑛𝑎 = = 2 atau 𝑛 ℎ2 (2-21)
𝑎𝑚 𝑛𝑇 𝑇
29

- Debit
𝑄𝑝 𝑛𝐿 3 𝑛𝐿 2 𝑛ℎ
𝑛𝑄 = = atau (2-22)
𝑄𝑚 𝑛𝑇 𝑛𝑇

- Kesebangunan Dinamis
Jika prototipe dan model sebangun geometris dan kinematis, dan gaya-gaya yang
bersangkutan pada model dan prototype untuk seluruh pengaliran pada arah yang
sama, maka dikatakan bahwa keduanya adalah sebangun dinamis.

Untuk mendapatkan kesebangunan dinamis antara model dan prototype tidak perlu
semua gaya tersebut diatas mempunyai perbandingan yang sama, hanya dipilh gaya-
gaya yang penting saja.
Prinsip pembuatan skala model adalah membentuk kembali masalah yang ada di
prototype dengan suatu angka pembanding, sehingga kejadian yang ada di model sebangun
dengan kondisi di prototipe.
Pemilihan skala model dilakukan dengan memperhitungkan faktor-faktor berikut ini
(Yuwono, 1996:50).
a. Ruangan yang tersedia dalam membuat model.
b. Ketersediaan debit dan tekanan (pompa, suplai air).
c. Ketersediaan bahan dan material.
d. Ketersediaan instrument dan system control.
e. Ketersedian staf peneliti (pengalaman).
f. Ukuran prototipe.
g. Pelaksanaan pekerjaan.
Untuk suatu bangunan pelimpah, analisa tinggi aliran di atas pelimpah dapat digunakan
untuk menentukan skala model dengan penjabaran sebagai berikut:

H e  H  kh (2-23)
dengan:
He = Tinggi efektif air di atas pelimpah (m)
H = Tinggi air di ataspelimpah (m)
kh = Kehilangan tinggi(0,457 mm)
Debit aliran per satuan lebar di atas pelimpah dengan mempertimbangkan kedua
ketinggian air tersebut adalah:
q1  C.H 3 2 (2-24)
30

q1  C.H e3 2 (2-25)
Penyelesaian Persamaan (2-10) dan (2-11) berdasarkan kontinuitas aliran menghasilkan:
3/ 2
q H 
1   e  (2-26)
q H 
q
Dalam hal ini adalah rasio perbedaan yang diharapkan (ketelitian yang diharapkan).
q
Skala yang digunakan dalam uji model tes Barrage Karangnongko adalah skala model
sama (undistorted model), yaitu skala model yang dibuat dengan perbandingan antara skalah
orisontal dan vertical sama. Perumusan beberapa parameter yang penting dalam suatu model
aliran melalui saluran terbuka yang didasarkan pada skala geometrika antara lain:

a. Skala luas (nA) dan volume (nV)


Skala geomterik = nL
- Luas
A = L2, sehingga skala luas adalah nA = nL2 (2-27)
- Volume
V = L3sehingga skala luas adalah nV = nL3 (2-28)
Skala kecepatan (nU)
𝑢
𝐹𝑟 =
√𝑔ℎ

(𝐹𝑟)𝑃
𝑛𝐹𝑟 = =1
(𝐹𝑟)𝑚

𝑢 𝑢
( ) = ( )
√𝑔ℎ 𝑝 √𝑔ℎ 𝑚

𝑢𝑝 𝑔𝑝 ℎ𝑝 1/2
=[ 𝑥 ]
𝑢𝑚 𝑔𝑚 ℎ𝑚
Nu = ng1/2 nh1/2dalam hal ini ng = 1
Nu = nh1/2 (2-29)
b. Skala debit (nQ)
Q = A.u = b.h.u
nQ = nL . nh . nu
nQ = nL2 . nL1/2
nQ= nL5/2 (2-30)
31

c. Skala waktu pengaliran (nL)


𝐿
𝑡=
𝑢
𝑛𝐿 𝑛𝐿
𝑛𝑡 = =
𝑛𝑢 𝑛𝐿 1/2
𝑛𝑡 = 𝑛𝐿 1/2 (2-31)
d. Skala koefisienChezy

u = C hI
nu = nC nL1/2nI1/2

h
mengingat: I = , maka:
L
1/ 2
nL
nL1/2 = nC nL1/2 1/ 2
nL

1/ 2
n 
nC =  L  =1 (2-32)
 nL 
e. Skala koefisien Manning
1 2 / 3 1/ 2
u R I
n

nu = 1 nR2/3 nI1/2
nn
1/ 2
nL
nL1/2 = 1 nR2/3 1 / 2
nn nL
nn = nL1/2 (2-33)

2.8.4 Perencanaan Model Dasar Tidak Tetap (Movable Bed Model)


Movable Bed Model digunakanuntukstudipermasalahan-permasalahan yang berhubungan
dengan angkutan sedimen, seperti gerusan dan pengendapan yang umumnya pada jarak relatif
pendek pada sungai (10-20 mil). Model ini baik digunakan untuk menghasilkan aliran
sekunder yang termasuk dalam angkutan sedimen. Untuk menghasilkan pergerakan sedimen
seperti yang terjadi pada prototipe, pada model distorsi biasanya dikehendaki dalam banyak
kasus. Material dasar yang sebaiknya digunakan pada model antara lain fine sand dan crusted
coal.
32

Fasilitas di laboratorium yang tersedia perlu dipertimbangkan sebagai pembatas


penentuan skala model, fasilitas tersebut antara lain:
1. Ketersediaan ruangan (kaitannya dengan skala panjang, nL).
2. Ketersediaan bahan pasir (bed material model).
3. Ketersediaan pompa (kaitannya dengan debit yang dapat disediakan untuk keperluan
model).
4. Ketersediaan pengatur sedimen (sediment supplier).
5. Ketersediaan alat pengukur dan instrumentasi.
Penentuan skala model (Yuwono, 1996:59):
1. Pilih skala vertikal (nv) berdasarkan ketelitian yang diinginkan. Nilai h pada model
diambil > 0,10 m.
2. Ambil nilai skala horisontal (nh) berdasarkan fasilitas ruangan yang ada.
3. Hitung skala transpor sedimen dan waktu proses morfologi dengan rumus:
nS= n∆1/2nD3/2nL (2-34)
dengan:

nS = skala transpor sedimen


n∆ = skala berat jenis
nD = skala butiran sedimen
nL = skala horisontal
ntm = nL2 nh/nS (2-30)
dengan:
ntm = skala waktu proses morfologi
nh = skala vertikal

4. Buat suatu tabel tentang rangkuman berbagai bahan pasir yang tersedia di laboratorium
yang mungkin dipakai untuk keperluan model. Lewat tabel tersebut dapat diadakan
pemilihan jenis pasir yang akan dipakai di model, dengan syarat:
- Apabila yang diinginkan adalah keseimbangan akhir dari proses morfologi,
sebaiknya dipilih jenis pasir yang memberikan hasil dalam waktu singkat model
cepat (quick model).
- Apabila proses perubahan keseimbangan yang akan diamati, maka perlu dipilih
model lambat atau sedang.
5. Taksir kekasaran di model dan hitung skala kecepatan. Pengalaman dan literatur
diperlukan untuk menaksir kekasaran di model. Model yang menggunakan pasir alam
33

dapat ditentukan skala kecepatan dengan harga taksiran kekasaran Cme. Skala kecepatan
berdasarkan kriteria sebangun proses morfologi:
nV2 = n∆ nD nCe2nµ-1
dengan nilai µ = (C/C90)3/2sehingga persamaan diatas menjadi:
nV2 = n∆ nD nCe1/2nC903/2 (2-35)
dengan:
nV = skala kecepatan
n∆ = skala berat jenis
nCe = skala kekasaran nilai kekasaran pada model (Cestimate)
nC90 = skala butiran D90
6. Pilih kemiringan tambahan (tilting angle) berdasarkan:
It = ip([nCe2nh/nV2]– r) (2-36)
dengan:
It = kemiringan tambahan
ip = kemiringan pada prototipe
nCe = skala kekasaran nilai kekasaran pada model (Cestimate)
nV = skala kecepatan
r = nilai skala horisontal/ skala vertikal
Ambil nilai r ≤ 3, nh dan nL bukan bilangan pecahan.
7. Hitung kesalahan elevasi muka air maksimum (∆h) yang mungkin terjadi, dengan
rumus:
∆h/hm = ½ [Lp ip/hp] [nh/nV2] ([Cme2/Cma2]-1) (2-37)
dengan:
∆h = tinggi muka air maksimum
hm = tinggi air pada model
Cma = skala kekasaran nilai kekasaran pada prorotipe (Cactual)
8. Hitung skala kecepatan berdasarkan kriteria sebangun Froude: nV = nh1/2.
9. Pemakaian/pemilihan debit pada model untuk sungai yang tidak terpengaruh pasang
surut, disarankan untuk digunakan debit dominan (dominant discharge).
10. Penentuan batas sungai yang dimodelkan didasarkan pada:
 Kemungkinan perbaikan dasar sungai.
 Kemungkinan membuat sudetan (shortcut).
 Permasalahan harus diletakkan di tengah model, sehingga pengaruh penambahan
kemiringan (tilting) tidak begitu besar.
34

11. Kalibrasi dan verifikasi model.


12. Pemilihan material untuk model dilakukan dengan tabulasi dari beberapa alternatif bahan
material. Dengan tabulasi ini, tiap material diberikan skor dan yang mendapatkan skor
terbaik merupakan material terpilih. Pemilihan material yang paling sesuai untuk model
didasarkan pada:
 Kondisi bilangan Froude yang sama atau paling mendekati 1.
 Kondisi kekasaran yang sama atau paling mendekati 1.
 Tilting positif.
 Skala waktu proses morfologi yang lama.

2.8.5 PerhitunganKemiringan Dasar Sungai


a) PerhitunganKeseimbanganStatis
Keseimbangan statis adalah suatu kondisi dimana aliran akan berubah menjadi aliran
tetap (steady flow) dan aliran tersebut tidak mengandung sedimen. Bila gaya hidrodinamik
bekerja pada suatu butiran sedimen atau agregat dari partikel non kohesif telah mencapai suatu
nilai yang bertambah sedikit saja akan menimbulkan pergerakan, dikatakan suatu keadaan
kritis. Bila suatu kondisi kritis tersebut mencapai suatu nilai besaran sebesar gaya gesek dasar
saluran, maka kecepatan rata-ratanya telah mencapai kondisi kritis.
Pada saat aliran sungai meningkat mencapai suatu kecepatan yang mulai menggerakan
butiran bahan dasar sungai, maka gaya tarik yang timbul pada aliran tersebut dinamakan gaya
tarik kritis, dan dinyatakan dengan U*c.
Apabila bahan dasar sungai yang berupa pasir-kerikil dengan ukuran butiran yang
seragam, maka gaya tarik kritis aliran air sungai dapat dinyatakan sebagai berikut ini
(Sosrodarsono, S. & Tominaga, M., 1994: 330):
U*c2 = 80,9d50 (2-38)

Ukuran butiran pasir-kerikil bahan dasar sungai(d) ≥0,303 cm.


Untuk𝜎/ρ = 2,65 , v = 0,01 cm3/dt, dan g = 981cm/dt2
𝜎/ρ =berat jenis pasir-kerikil
v =viskositas kenitis (cm3/dt)
Untuk dasar sungai yang terdiri dari butiran yang ukurannya tidak seragam, andaikan
rata-rata butiran dinyatakan dengan dm dan gaya tarik kritis untuk bahan tersebut dinyatakan
dengan τcm, maka dapat diperoleh persamaan sebagai berikut:
𝜏𝑐𝑚
(𝜎− 𝜌).𝔤 𝑑𝑚
= 0,05 (2-39)
35

Dari Persamaan (2-63) dan (2-64) dapat diambil kesimpulan, bahwa pasir-kerikil di
atas permukaan dasar sungai akan mulai bergerak terbawa aliran apabila dicapai kon disi
sebagai berikut:
𝑈∗2
≥1 (2-40)
𝑈∗𝐶 2

Tetapi apabila air sungai mengalir dengan kondisi sebagai berikut:


𝑈∗2
<1 (2-41)
𝑈∗𝐶 2

dengan:
U*c = gaya tarik kritis (cm)
Butiran dengan ukuran yang lebih halus akan hanyut dan permukaan dasar sungai akan
tertutup oleh kerikil dengan ukuran yang lebih besar.
b) Perhitungan Keseimbangan Dinamis
Aliran sedimen yang bergerak dari hulu dengan debit sedimen yang konstan akan
membentuk alur dasar sungai yang stabil yang disebut dengan keseimbangan dinamis.
Kemiringan dinamis dapat diperoleh dari formula angka transportasi sedimen;
𝑈5
𝑞𝐵 = 10 {(𝜎⁄𝜌−1)2 𝑔∗2 𝑑 (1−𝜆)}

(𝑔 .𝐻 ±𝐼)5/2
𝑞𝐵 = {(𝜎⁄𝜌−1)2 𝑔2 𝑑 (1−𝜆)} (2-42)

ApabilaR = H , maka
𝑄 1
𝑞= = 𝐻𝑣 = 𝐻 5/3 𝐼1/2 (2-43)
𝐵 𝑛

dan selanjutnya :
𝑛.𝑞 3/5
𝐻 = (𝐼1/2 ) (2-44)

Dengan memasukkan harga H pada Persamaan (2-67) maka:


𝑔5/2 (𝑛𝑞)3/2 ∙ 𝐼 7/4
𝑞𝐵 = 10 {(𝜎⁄𝜌−1)2 𝑔2 𝑑 (1−𝜆)}

0,1 ×𝑞𝐵 (𝜎⁄𝜌− 1)𝑑(1−𝜆) 4/7


𝐼={ } (2-45)
𝑔1/2 (𝑛𝑞)3/2

dengan:
qB = Debit beban dasar (volume sedimen yang masuk kedalam alur sungai) persatuan
lebar (m2/dt)
d = Ukuran butiran rata-rata (m)
λ = Angka pori pada pasir-kerikil (0,4)
n = Koefisien kekasaran Manning
q = Debit persatuan lebar (m2/dt)
36

R = Kedalaman rata-rata hidrolis, R=H

2.9. Kesalahan Relatif


Nilai Kesalahan Relatif (KR) dimaksudkan agar hasil perbandingan antara perhitungan
analitik dengan hasil uji model fisik didapatkan hasil yang mendekati. Oleh karena itu batasan
untuk KR ≤ 5%.

Debit Rencana - Debit Uji Model Fisik


KR  x100 % (2-46)
Debit Uji Model Fisik

dengan:
KR = Kesalahan Relatif
37

(halaman dikosongkan)

Anda mungkin juga menyukai