Pakar Filariasis Prof dr.Agnes Kurniawan, PhD, SpParK dalam Bincang Temu Media di Kemenkes RI, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat
(27/9/2019). (Suara.com/Dini Afrianti Efendi)
Penyakit kaki gajah menyebabkan penurunan aktivitas penderitanya.
Suara.com - Penyakit kaki gajah atau istilah medis dikenal sebagai filariasis memang
sudah jarang ditemukan di berbagai kota besar. Namun penyakit ini masih marak ditemukan
di berbagai daerah terpencil dengan akses kebersihan atau sanitasi yang belum baik.
Penyakit ini masuk kategori parah saat tubuh penderita membengkak dan membesar seperti
kaki gajah. Hal ini tentu saja akan menganggu kualitas hidup penderita. Parahya, kecacatan
yang timbulkan tidak bisa diperbaiki atau cacat permanen meski sudah dioperasi sekalipun.
"Kaki gajah ini sebagai penyakit nomor dua penyebab kecacatan. Kalau begitu, apa bisa
disembuhkan kembali ke mulus halus? Itu tidak mungkin, operasi pun tidak bisa kembali
normal, nanti bakal muncul lagi," ujar pakar filariasis Prof dr. Agnes Kurniawan, PhD,
Sp.ParK, dalam Bincang Temu Media di Kemenkes RI, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat
(27/9/2019).
Banyak orang berpendapat penyakit ini tidak bisa terlihat, mengingat banyak baju over size
atau kebesaran yang bisa menutupi penyakit ini. Tapi dengan penyakit ini, hidup penderita
bisa terganggu akibat aktivitas yang terhambat, tidak bisa bekerja, dan alhasil jadi beban
ekonomi.
"Orang yang bengkak akan alami stigmatisasi, mereka tidak bisa bekerja. Kalau bekerja,
kualitasnya akan menurun. Mereka cerita berobat ke sana dan ke sini, tapi terus saja nggak
kempes-kempes. Ke dokter berharap sembuh, tapi tidak alami kesembuhan," ungkap Prof.
Agnes.
Meski pembengkakan bisa berkurang, mereka yang sudah terinfeksi, menurut Prof. Agnes,
akan sering kambuh. Belum lagi akibat mondar-mandir saat berobat. Luka infeksi di antara
lipatan kulit yang membengkak akan menyimpan kuman, dan itu berbahaya.
"Karena sering kambuh, infeksi berulang bahkan sampai ada masuk rumah sakit, infeksi
seperti itu menyimpan kuman, satu waktu bisa berkembang dan mendapat serangan akut,"
katanya.
Penyakit kaki gajah ini disebabkan oleh tiga jenis cacing filaria, yakni Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori yang hidup di dalam darah manusia.
Penyakit kaki gajah bisa menular jika darah penderita yang terdapat cacing
ditularkan kepada orang lain melalui gigitan semua jenis nyamuk.
https://www.suara.com/health/2019/09/28/053000/penyakit-kaki-gajah-dan-ancaman-cacat-
permanen-yang-dihadapi-penderita?utm_campaign=popupnews
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonik Dr. Nadia Tarmizi, M.Epid dalam acara Bulan Temu Media di
Gedung Kemenkes RI, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (27/9/2019). (Suara.com/Dini Afriani Efendi)
Pelaksanaan Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) untuk penyakit kaki gajah telah
memasuki tahun kelima.
Suara.com - Memasuki tahun ke-5, pemerintah siap mengeliminasi filariasis atau dikenal
sebagai penyakit kaki gajah melalui pelaksanaan Pemberian Obat Pencegahan Massal
(POPM) selama Oktober 2019.
POPM ini akan dilakukan di sebanyak 118 kabupaten/kota endemis filariasis. Daerah tersebut
akan diberikan obat DEC 6 mg/kg BB dan dikombinasikan melalui Albendaz ole 400 mg yang
dikonsumsi satu kali selama lima tahun.
ADVERTISING
"Terget pemberian POPM minimal 65 persen, terhadap mereka yang berumur 2 sampai 70
tahun. Kenyataannya beberapa provinsi lebih dari 65 persen, dan rata -rata 78 persen di tahun
sebelumnya," ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonik,
Dr. Nadia Tarmizi, M.Epid, dalam acara Bulan Temu Media di Gedung Kemenkes RI,
Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (27/9/2019).
Seperti empat tahun sebelumnya, target pencapaian POPM ini 65 persen dari jumlah
penduduk. Kepulauan Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua adalah beberapa prov insi
yang masih terdapat beberapa daerah yang akan mendapat POPM. Walau masih di atas batas
minimal, di antara semua daerah lainnya, Papua dan Sulawesi Barat selalu di bawah angka
rata-rata penerima POPM yakni di bawah 70 persen.
Pemberian obat nantinya akan diberikan secara langsung ke lapangan selama sebulan penuh,
termasuk menghampiri rumah penduduk. Bahkan untuk anak-anak sekolah, petugas
kesehatan akan mendatangi langsung ke sekolah untuk mendata dan memberikan obat.
"Tapi jika dia berhalangan di bulan Oktober, dan kembali ke kota tempat pemberian POPM,
dia bisa mengakses secara gratis ke puskesmas terdekat dengan memberikan datanya. Tapi
jika cuma sekedar pergi bekerja atau tidak di lokasi, petugas nantinya akan terus mendatangi
mereka yang belum menerima obat," tutur Nadia.
POPM ini dimungkinkan jadi pelaksanaan terakhir untuk menghapus penyakit kaki gajah,
mengingat waktu 5 tahun dipandang sebagai waktu yang cukup untuk menekan cacing filaria
dalam darah. Namun, untuk mengatakan bebas tidaknya dari kaki gajah, harus dilakukan
survei lebih dulu selama 6 tahun.
"Tapi targetnya tidak boleh kurang dari 65 persen, karena kalau kurang itu kita sudah gagal
untuk POPM. Yang ada, POPM akan diperpanjang. Harusmya POPM selesai (di 2019), tapi
kita menunggu sertifikasi itu 6 tahun, harus survei eliminasi itu 3 kali berturut-turut selama
setiap dua tahun," paparnya.
Data Kemenkes menunjukkan dari sebanyak 236 kabupaten/kota sebagai daerah endemis
filariasis atau kaki gajah, 118 kabupaten/kota telah menyelesaikan POP M dan memasuki
tahap surveilans. Sebanyak 36 kabupaten/kota di Indonesia dinyatakan eliminasi kaki gajah.
Sekedar informasi, POPM filariasis ini telah dilaksanakan selama 5 tahun sejak Oktober
2015, melalui pencanangan nasional Bulan Eliminasi Kaki Gajah (BELKAGA) setiap
Oktober. Puncak BELKAGA akan dilaksanakan di Kabupaten Malaka 4 Oktober 2019
bertajuk 'Keluarga Indonesia Bebas Kaki Gajah'.
Dari data yang dilaporkan oleh dinas kesehatan provinsi dan hasil survei di
Indonesia kasus filariasis kronis 10 (sepuluh) tahun terakhir cenderung
meningkat. Pada tahun 2005 ada 8.243 kasus filariasis meningkat menjadi
14.932 orang dari 418 kabupaten/kota di 34 provinsi seperti tampak pada
grafik dibawah ini. Kasus klinis filariasis yang dilaporkan cenderung
meningkat dari tahun ke tahun disebabkan banyaknya kasus yang baru
ditemukan seiring dengan kabupaten/kota yang melaksanakan pendataaan
sasaran sebelum Pemberian Obat Pencegahan Massal ( POPM) Filariasis.
Daritahun 2002-2014 kumulatif kasus filariasis kronis yang cacat yang paling
tertinggi di Nusa Tenggara Timur yaitu 3.175 kasus di 20 kabupaten/kota,
Aceh sebesar 2.375 kasus di 21 kabupaten/kota, Papua Barat dengan 1.765
kasus di 12 kabupaten/kota seperti tampak pada gambar di bawah ini.
Pada tahun 2007, World Health Assembly menetapkan resolusi “Elimination
Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem” yang kemudian dipertegas
oleh World Health Organization (WHO) dengan deklarasi “The Global Goal of
Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year
2020”. Di dunia terdapat 1,3 miliar penduduk yang berisiko tertular penyakit
kaki gajah di lebih dari 83 negara, sementara dari seluruh kasus yang ada di
dunia 60% kasus berada di Asia Tenggara.
Rata rata prevalensi microfilaria di Indonesia tahun 2014 adalah 4,7%. Bila
dilihat berdasarkan penduduk kabupaten/kota daerah endemis jumlah
penduduk berisiko adalah 102.279.736 orang. Jumlah penduduk terinfeksi
filariasis (berisiko menjadi penderita kronis adalah 4.807.148 orang. Sehingga
kerugian yang ditimbulkan bila tidak dilakukan POPM Filariasis adalah:
4.807.148 x Rp. 2.755.440 (asumsi kerugian ekonomi penderita filariasis per
tahun, berdasarkan biaya hidup (UMR) =Rp. 13.245.807.890.000/tahun).