Anda di halaman 1dari 12

Penyakit Kaki Gajah dan Ancaman Cacat Permanen

yang Dihadapi Penderita


Vania Rossa | Dini Afrianti Efendi
Sabtu, 28 September 2019 | 05:30 WIB

Pakar Filariasis Prof dr.Agnes Kurniawan, PhD, SpParK dalam Bincang Temu Media di Kemenkes RI, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat
(27/9/2019). (Suara.com/Dini Afrianti Efendi)
Penyakit kaki gajah menyebabkan penurunan aktivitas penderitanya.
Suara.com - Penyakit kaki gajah atau istilah medis dikenal sebagai filariasis memang
sudah jarang ditemukan di berbagai kota besar. Namun penyakit ini masih marak ditemukan
di berbagai daerah terpencil dengan akses kebersihan atau sanitasi yang belum baik.
Penyakit ini masuk kategori parah saat tubuh penderita membengkak dan membesar seperti
kaki gajah. Hal ini tentu saja akan menganggu kualitas hidup penderita. Parahya, kecacatan
yang timbulkan tidak bisa diperbaiki atau cacat permanen meski sudah dioperasi sekalipun.
"Kaki gajah ini sebagai penyakit nomor dua penyebab kecacatan. Kalau begitu, apa bisa
disembuhkan kembali ke mulus halus? Itu tidak mungkin, operasi pun tidak bisa kembali
normal, nanti bakal muncul lagi," ujar pakar filariasis Prof dr. Agnes Kurniawan, PhD,
Sp.ParK, dalam Bincang Temu Media di Kemenkes RI, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat
(27/9/2019).

Banyak orang berpendapat penyakit ini tidak bisa terlihat, mengingat banyak baju over size
atau kebesaran yang bisa menutupi penyakit ini. Tapi dengan penyakit ini, hidup penderita
bisa terganggu akibat aktivitas yang terhambat, tidak bisa bekerja, dan alhasil jadi beban
ekonomi.

"Orang yang bengkak akan alami stigmatisasi, mereka tidak bisa bekerja. Kalau bekerja,
kualitasnya akan menurun. Mereka cerita berobat ke sana dan ke sini, tapi terus saja nggak
kempes-kempes. Ke dokter berharap sembuh, tapi tidak alami kesembuhan," ungkap Prof.
Agnes.

Meski pembengkakan bisa berkurang, mereka yang sudah terinfeksi, menurut Prof. Agnes,
akan sering kambuh. Belum lagi akibat mondar-mandir saat berobat. Luka infeksi di antara
lipatan kulit yang membengkak akan menyimpan kuman, dan itu berbahaya.

"Karena sering kambuh, infeksi berulang bahkan sampai ada masuk rumah sakit, infeksi
seperti itu menyimpan kuman, satu waktu bisa berkembang dan mendapat serangan akut,"
katanya.

Penyakit kaki gajah ini disebabkan oleh tiga jenis cacing filaria, yakni Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori yang hidup di dalam darah manusia.
Penyakit kaki gajah bisa menular jika darah penderita yang terdapat cacing
ditularkan kepada orang lain melalui gigitan semua jenis nyamuk.

Beruntungnya, Kemenkes RI selama lima tahun sejak 2015 telah menetapkan


program utama Eliminasi Penyakit Kaki Gajah, dan setiap tahunnya, terutama di
bulan Oktober, diselenggarakan Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) di
kabupaten/kota endemis penyakit kaki gajah.

https://www.suara.com/health/2019/09/28/053000/penyakit-kaki-gajah-dan-ancaman-cacat-
permanen-yang-dihadapi-penderita?utm_campaign=popupnews

diakses pada tggl 30 oktober 2019.

Tahun Kelima POPM, Targetkan Indonesia Bebas


Penyakit Kaki Gajah
Vania Rossa | Dini Afrianti Efendi
Jum'at, 27 September 2019 | 20:03 WIB

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonik Dr. Nadia Tarmizi, M.Epid dalam acara Bulan Temu Media di
Gedung Kemenkes RI, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (27/9/2019). (Suara.com/Dini Afriani Efendi)

Pelaksanaan Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) untuk penyakit kaki gajah telah
memasuki tahun kelima.
Suara.com - Memasuki tahun ke-5, pemerintah siap mengeliminasi filariasis atau dikenal
sebagai penyakit kaki gajah melalui pelaksanaan Pemberian Obat Pencegahan Massal
(POPM) selama Oktober 2019.
POPM ini akan dilakukan di sebanyak 118 kabupaten/kota endemis filariasis. Daerah tersebut
akan diberikan obat DEC 6 mg/kg BB dan dikombinasikan melalui Albendaz ole 400 mg yang
dikonsumsi satu kali selama lima tahun.
ADVERTISING

inRead invented by Teads

"Terget pemberian POPM minimal 65 persen, terhadap mereka yang berumur 2 sampai 70
tahun. Kenyataannya beberapa provinsi lebih dari 65 persen, dan rata -rata 78 persen di tahun
sebelumnya," ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonik,
Dr. Nadia Tarmizi, M.Epid, dalam acara Bulan Temu Media di Gedung Kemenkes RI,
Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (27/9/2019).
Seperti empat tahun sebelumnya, target pencapaian POPM ini 65 persen dari jumlah
penduduk. Kepulauan Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua adalah beberapa prov insi
yang masih terdapat beberapa daerah yang akan mendapat POPM. Walau masih di atas batas
minimal, di antara semua daerah lainnya, Papua dan Sulawesi Barat selalu di bawah angka
rata-rata penerima POPM yakni di bawah 70 persen.

Pemberian obat nantinya akan diberikan secara langsung ke lapangan selama sebulan penuh,
termasuk menghampiri rumah penduduk. Bahkan untuk anak-anak sekolah, petugas
kesehatan akan mendatangi langsung ke sekolah untuk mendata dan memberikan obat.

"Tapi jika dia berhalangan di bulan Oktober, dan kembali ke kota tempat pemberian POPM,
dia bisa mengakses secara gratis ke puskesmas terdekat dengan memberikan datanya. Tapi
jika cuma sekedar pergi bekerja atau tidak di lokasi, petugas nantinya akan terus mendatangi
mereka yang belum menerima obat," tutur Nadia.

POPM ini dimungkinkan jadi pelaksanaan terakhir untuk menghapus penyakit kaki gajah,
mengingat waktu 5 tahun dipandang sebagai waktu yang cukup untuk menekan cacing filaria
dalam darah. Namun, untuk mengatakan bebas tidaknya dari kaki gajah, harus dilakukan
survei lebih dulu selama 6 tahun.

"Tapi targetnya tidak boleh kurang dari 65 persen, karena kalau kurang itu kita sudah gagal
untuk POPM. Yang ada, POPM akan diperpanjang. Harusmya POPM selesai (di 2019), tapi
kita menunggu sertifikasi itu 6 tahun, harus survei eliminasi itu 3 kali berturut-turut selama
setiap dua tahun," paparnya.

Data Kemenkes menunjukkan dari sebanyak 236 kabupaten/kota sebagai daerah endemis
filariasis atau kaki gajah, 118 kabupaten/kota telah menyelesaikan POP M dan memasuki
tahap surveilans. Sebanyak 36 kabupaten/kota di Indonesia dinyatakan eliminasi kaki gajah.

Sekedar informasi, POPM filariasis ini telah dilaksanakan selama 5 tahun sejak Oktober
2015, melalui pencanangan nasional Bulan Eliminasi Kaki Gajah (BELKAGA) setiap
Oktober. Puncak BELKAGA akan dilaksanakan di Kabupaten Malaka 4 Oktober 2019
bertajuk 'Keluarga Indonesia Bebas Kaki Gajah'.

Dari data yang dilaporkan oleh dinas kesehatan provinsi dan hasil survei di
Indonesia kasus filariasis kronis 10 (sepuluh) tahun terakhir cenderung
meningkat. Pada tahun 2005 ada 8.243 kasus filariasis meningkat menjadi
14.932 orang dari 418 kabupaten/kota di 34 provinsi seperti tampak pada
grafik dibawah ini. Kasus klinis filariasis yang dilaporkan cenderung
meningkat dari tahun ke tahun disebabkan banyaknya kasus yang baru
ditemukan seiring dengan kabupaten/kota yang melaksanakan pendataaan
sasaran sebelum Pemberian Obat Pencegahan Massal ( POPM) Filariasis.

Daritahun 2002-2014 kumulatif kasus filariasis kronis yang cacat yang paling
tertinggi di Nusa Tenggara Timur yaitu 3.175 kasus di 20 kabupaten/kota,
Aceh sebesar 2.375 kasus di 21 kabupaten/kota, Papua Barat dengan 1.765
kasus di 12 kabupaten/kota seperti tampak pada gambar di bawah ini.
Pada tahun 2007, World Health Assembly menetapkan resolusi “Elimination
Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem” yang kemudian dipertegas
oleh World Health Organization (WHO) dengan deklarasi “The Global Goal of
Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year
2020”. Di dunia terdapat 1,3 miliar penduduk yang berisiko tertular penyakit
kaki gajah di lebih dari 83 negara, sementara dari seluruh kasus yang ada di
dunia 60% kasus berada di Asia Tenggara.

Indonesia menetapkan Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas


nasional pemberantasan penyakit menular sesuai dengan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional tahun 2004-2009. Program pemberantasan
filariasis sendiri telah dilaksanakan sejak tahun 1975, terutama di daerah-
daerah endemis tinggi. Menteri Kesehatan pada tanggal 8 April 2002, di Desa
Mainan, Kecamatan Banyuasin II], Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera
Selatan telah mencanangkan dimulainya eliminasi filariasis global di
Indonesia, dan menerbitkan surat edaran kepada Gubernur dan
Bupati/Walikota di seluruh Indonesia tentang Pelaksanaan Pemetaan
Endemisitas Filariasis, Pengobatan Massal Daerah Endemis Filariasis, dan
Tatalaksana Penderita Filariasis di Semua Daerah (Menteri Kesehatan Nomor
612/MENKES/V1/2004). Disamping itu, Program Penatalaksanaan Kasus
Filariasis yang merupakan salah satu program eliminasi filariasis, ditetapkan
menjadi salah satu kewenangan wajib pemerintah daerah, sesuai dengan
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 1457/MENKES/SK/X/2003 tentang
Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Pedoman
pengendalian filariasis tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor: 1582/MENKES/SK/X1/2005 Tanggal 18
Nopember 2005.

Indonesia sepakat untuk memberantas filariasis sebagai bagian dari eliminasi


filariasis global melalui dua pilar kegiatan yaitu:

1. Memutuskan mata rantai penularan filariasis dengan Pemberian Obat


Pencegahan Massal (POPM) Filariasis di daerah endemis sekali setahun
selama 5 tahun berturut-turut. Obat yang dipakai yaitu DEC
(Diethylcarbamazine Citrate) 6 mg/kg BB dikombinasikan dengan
A/bendazole 400 mg.
2. Mencegah dan membatasi kecacatan dengan penatalaksanaan kasus
filariasis mandiri.
Sampai tahun 2014 berdasarkan survei darah jari, dari 511 kabupaten/kota di
Indonesia ada 241 kabupaten/kota sebagai daerah endemis (microfilaria
>1%). Dari 241 kabupaten/kota, sebanyak 46 kabupaten/kota yang telah
melaksanakan POPM Filariasis minimal 5 tahun berturut-turut dengan
cakupan pengobatan di atas 65% berhasil menurunkan microfilaria pada
masyarakat menjadi < 1%. Untuk 195 kabupaten/kota lainnya akan
melaksanakan POPM Filariasis tahun 2015-2019. Daerah endemis
kabupaten/kota di Indonesia dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Untuk pelaksanaan POPM Filariasis ini dibutuhkan biaya yang meliputi biaya
pengadaan obat yang menjadi tanggung jawab pusat dan biaya operasional
yang terdiri dari biaya advokasi sosialisasi, penyuluhan, pelatihan kader,
pendataan sasaran, distribusi obat, rujukan serta biaya monitoring evaluasi
menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota.

Rata rata prevalensi microfilaria di Indonesia tahun 2014 adalah 4,7%. Bila
dilihat berdasarkan penduduk kabupaten/kota daerah endemis jumlah
penduduk berisiko adalah 102.279.736 orang. Jumlah penduduk terinfeksi
filariasis (berisiko menjadi penderita kronis adalah 4.807.148 orang. Sehingga
kerugian yang ditimbulkan bila tidak dilakukan POPM Filariasis adalah:
4.807.148 x Rp. 2.755.440 (asumsi kerugian ekonomi penderita filariasis per
tahun, berdasarkan biaya hidup (UMR) =Rp. 13.245.807.890.000/tahun).

Gambar di bawah ini menunjukan adanya peningkatan cakupan POPM


filariasis dari tahun 2010-2014. Pada tahun 2010 cakupan POPM Filariasis
sebesar 39,4% meningkat menjadi 73,9% pada tahun 2014. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya sosialisasi yang diberikan kepada masyarakat
akan pentingnya minum obat pencegahan filariasis yang diberikan setahun
sekali pada daerah endemis.

Kegiatan tatalaksana kasus filariasis klinis harus dilaksanakan pada semua


penderita. Tatalaksana ini bertujuan untuk mencegah atau mengurangi
kecacatan penderita dan agar penderita menjadi mandiri dalam merawat
dirinya. Setiap penderita dibuatkan status rekam medis yang disimpan di
puskesmas, dan mendapatkan kunjungan dari petugas kesehatan minimal 7
(tujuh) kali dalam setahun.
Gambar di bawah menunjukan kasus filariasis klinis yang ditatalaksana dari
tahun 2005-2014 masih dibawah 50%. Hal ini memperlihatkan kegiatan
penatalaksanaan kasus klinis kurang berjalan dengan baik yang kemungkinan
disebabkan masih adanya stigma pada masyarakat sehingga penderita
filariasis malu untuk berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan setempat.

Untuk mempercepat terwujudnya Indonesia Bebas Kaki Gajah diadakan


Bulan Eliminasi Kaki Gajah (BELKAGA) setiap bulan Oktober selama 5 tahun
(2015-2020) yaitu:

1. Bulan dimanasetiap penduduk kabupaten/kota endemis Kaki Gajah


serentak minum obat pencegahan.
2. Dilaksanakan setiap bulan Oktober selama 5 tahun berturut-turut (2015-
2020)
3. Dicanangkan tanggal 1 Oktober 2015 di Cibinong, Kabupaten Bogor,
Jawa Barat. Pada saat yang bersamaan di provinsi endemik lainnya
dilakukan pencanangan oleh Gubernur maupun Bupati/Walikota.
4. BELKAGA menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Pelaksanaannya memerlukan dukungan kementerian dan
lembaga terkait.
Agar BELKAGA dapat terwujud diperlukan:

1. Koordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring BELKAGA


sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
2. Pemberian dukungan kebijakan dari Pemerintah Daerah dalam
pelaksanaan BELKAGA.
3. Sosialisasi dan advokasi BELKAGA.
4. Mobilisasi sumber daya, anggaran dan logistik pelaksanaan BELKAGA.
5. Penggerakan masyarakat untuk minum obat di kabupaten/kota endemis.
6. Kegiatan lain yang mendukung suksesnya pelaksanaan BELKAGA dalam
koridor peraturan perundangan yang berlaku.
Sumber :
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-
filariasis.pdf

Anda mungkin juga menyukai