Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas dapat dirumuskan suatu
perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana aktualisasi dan impementasi nilai-nilai pancasila dalam menumbuh
kembangkan karakter bangsa?
2. Bagaimana penerapan Pancasila sebagai dalam dalam kehidupan masyarakat?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, sekaligus untuk
memperjelas saat mengumpulkan data, dirumuskan tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk menggambarkan muatan materi aktualisasi dan implementasi
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Untuk memberikan contoh penerapan Pancasila dalam kehidupan
masyarakat.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang rumusan masalah dan tujuan di atas, maka manfaat
penelitian ini sebagai berikut:
a. Hasil penelitian ini dimanfaatkan untuk mengembangkan konsep materi
aktualisasi dan implementasi Pancasila dalam kehidupan masyarakat
b. Sebagai contoh pemikiran untuk penerapan Pancasila di kehidupan masyarakat
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Pendahuluan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara merupakan kesepakatan politik para
foundingfathers ketika negara Indonesia didirikan. Namun dalam perjalanan panjang
kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila sering mengalami berbagai deviasi dalam
aktualisasi nilai-nilainya. Deviasi pengamalan Pancasila tersebut bisa berupa penambahan,
pengurangan, dan penyimpangan dari makna yang seharusnya. Walaupun seiring dengan
itusering pula terjadi upaya pelurusan kembali. Pancasila sering digolongkan ke dalam
ideologi tengah di antara dua ideologi besar dunia yang paling berpengaruh, sehingga sering
disifatkan bukan ini dan bukan itu.
Pancasila bukan berpaham komunisme dan bukan berpaham kapitalisme. Pancasila
tidak berpaham individualisme dan tidak berpaham kolektivisme. Bahkan bukan berpaham
teokrasi dan bukan perpaham sekuler. Posisi Pancasila inilah yang merepotkan aktualisasi
nilai-nilainya ke dalam kehidupan praksis berbangsa dan bernegara. Dinamika aktualisasi
nilai Pancasila bagaikan pendelum (bandul jam) yang selalu bergerak ke kanan dan ke kiri
secara seimbang tanpa pernahberhenti tepat di tengah.Pada saat berdirinya negara Republik
Indonesia, kita sepakat mendasarkan diri pada ideologiPancasila dan UUD 1945 dalam
mengatur dan menjalankan kehidupan negara. Namun sejak November 1945 sampai sebelum
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pemerintah Indonesia mengubah haluan politiknya dengan
mempraktikan sistem demokrasi liberal. Dengan kebijakan ini berarti menggerakan pendelum
bergeser ke kanan. Pemerintah Indonesia menjadi pro Liberalisme. Deviasi ini dikoreksi
dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Alfred North Whitehead (1864 – 1947), tokoh utama filsafat proses, berpandangan bahwa
semua realitas dalam alam mengalami proses atau perubahan, yaitu kemajuan, kreatif dan
baru.Realitas itu dinamik dan suatu proses yang terus menerus “menjadi”, walaupun unsur
permanensi realitas dan identitas diri dalam perubahan tidak boleh diabaikan. Sifat alamiah
itu dapat pula dikenakan pada ideologi Pancasila sebagai suatu realitas (pengada).
Masalahnya, bagaimanakah nilai-nilai Pancasila itu diaktualisasikan dalam praktik kehidupan
berbangsa dan bernegara? dan, unsur nilai Pancasila manakah yang mesti harus kita
pertahankan tanpa mengenal perubahan ? Masalahnya, bagaimanakah nilai-nilai Pancasila itu
diaktualisasikan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara? dan, unsur nilai
Pancasila manakah yang mesti harus kita pertahankan tanpa mengenal perubahan ?
Moerdiono (1995/1996) menunjukkan adanya 3 tataran nilai dalam ideologi Pancasila.
Tigatataran nilai itu adalah:
Pertama, nilai dasar, yaitu suatu nilai yang bersifat amat abstrak dan tetap, yang
terlepas dari pengaruh perubahan waktu. Nilai dasar merupakan prinsip, yang bersifat amat
abstrak, bersifat amat umum, tidak terikat oleh waktu dan tempat, dengan kandungan
kebenaran yang bagaikan aksioma. Dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan
dengan eksistensi sesuatu, yang mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khasnya.
Nilai dasar Pancasila ditetapkan oleh para pendiri negara. Nilai dasar Pancasila tumbuh baik
dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yang telah menyengsarakan
rakyat, maupun dari cita-cita yang ditanamkan dalam agama dan tradisi tentang suatu
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan seluruh
warga masyarakat.
Kedua, nilai instrumental, yaitu suatu nilai yang bersifat kontekstual. Nilai
instrumental merupakan penjabaran dari nilai dasar tersebut, yang merupakan arahan
kinerjanya untuk kurun waktu tertentu dan untuk kondisi tertentu. Nilai instrumental ini dapat
dan bahkan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun nilai instrumental haruslah
mengacu pada nilai dasar yang dijabarkannya. Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif
dan dinamik dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama, dalam
batas-batas yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu.Dari kandungan nilainya, maka nilai
instrumental merupakan kebijaksanaan, strategi, organisasi, sistem, rencana, program, bahkan
juga proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar tersebut. Lembaga negara yang
berwenang menyusun nilai instrumental ini adalah MPR, Presiden, dan DPR.
Ketiga, nilai praksis, yaitu nilai yang terkandung dalam kenyataan sehari-hari, berupa
cara bagaimana rakyat melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila. Nilai praksis
terdapat pada demikian banyak wujud penerapan nilai-nilai Pancasila, baik secara tertulis
maupun tidak tertulis, baik oleh cabang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, oleh
organisasi kekuatan social politik, oleh organisasi kemasyarakatan, oleh badan-badan
ekonomi, oleh pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan.
Dari segi kandungan nilainya, nilai praksis merupakan gelanggang pertarungan antara
idealisme dan realitas.
Jika ditinjau dari segi pelaksanaan nilai yang dianut, maka sesungguhnya pada nilai
praksislah ditentukan tegak atau tidaknya nilai dasar dan nilai instrumental itu. Ringkasnya
bukan pada rumusan abstrak, dan bukan juga pada kebijaksanaan, strategi, rencana, program
atau proyek itu sendiri terletak batu ujian terakhir dari nilai yang dianut, tetapi pada kualitas
pelaksanaannya di lapangan. Bagi suatu ideologi, yang paling penting adalah bukti
pengamalannya atau aktualisasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Suatu ideologi dapat mempunyai rumusan yang amat ideal dengan ulasan yang
amat logis serta konsisten pada tahap nilai dasar dan nilai instrumentalnya. Akan tetapi, jika
pada nilai praksisnya rumusan tersebut tidak dapat diaktualisasikan, maka ideologi tersebut
akan kehilangan kredibilitasnya. Bahkan Moerdiono (1995/1996: 15) menegaskan, bahwa
bahwa tantangan terbesar bagi suatu ideologi adalah menjaga konsistensi antara nilai dasar,
nilai instrumental, dan nilai praksisnya. Sudah barang tentu jika konsistensi ketiga nilai itu
dapat ditegakkan, maka terhadap ideologi itu tidak akan ada masalah. Masalah baru timbul
jika terdapat inkonsisitensi dalam tiga tataran nilai tersebut. Untuk menjaga konsistensi dalam
mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam praktik hidup berbangsa dan bernegara, maka
perlu Pancasila formal yang abstrak-umum-universal itu ditransformasikan menjadi rumusan
Pancasila yang umum kolektif, dan bahkan menjadi Pancasila yang khusus individual
(Suwarno, 1993: 108). Artinya, Pancasila menjadi sifat-sifat dari subjek kelompok dan
individual, sehingga menjiwai semua tingkah laku dalam lingkungan praksisnya dalam
bidang kenegaraan, politik, dan pribadi.
Pancasila sebagai dasar negara dan landasan idil bangsa Indonesia, dewasa ini dalam
zaman reformasi telah menyelamatkan bangsa Indonesia dari ancaman disintegrasi selama
lebih dari lima puluh tahun. Namun sebaliknya sakralisasi dan penggunaan berlebihan dari
ideologi Negara dalam format politik orde baru banyak menuai kritik dan protes terhadap
pancasila. Sejarah implementasi pancasila memang tidak menunjukkan garis lurus bukan
dalam pengertian keabsahansubstansialnya, tetapi dalam konteks implementasinya.
Tantangan terhadap pancasila sebagai kristalisasi pandangan politik berbangsa dan bernegara
bukan hanya bersal dari faktor domestik, tetapi juga dunia internasional.
Pada zaman reformasi saat ini pengimplementasian pancasila sangat dibutuhkan oleh
masyarakat, karena di dalam pancasila terkandung nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang
sesuai dengan kepribadian bangsa. Selain itu, kini zaman globalisasi begitu cepat menjangkiti
negara-negara di seluruh dunia termasuk Indonesia. Gelombang demokratisasi, hak asasi
manusia, neo-liberalisme, serta neo-konservatisme dan globalisme bahkan telah memasuki
cara pandang dan cara berfikir masyarakat Indonesia. Hal demikian bisa meminggirkan
pancasila dan dapat menghadirkan sistem nilai dan idealisme baru yang bertentangan dengan
kepribadian bangsa. Implementasi pancasila dalam kehidupam bermasyarakat pada
hakikatmya merupakan suatu realisasi praksis untuk mencapai tujuan bangsa. Adapun
pengimplementasian tersebut di rinci dalam berbagai macam bidang antara lain politik,
ekonomi, sosial budaya dan pertahanan dan kemananan (POLEKSOSBUDHANKAM) serta
aspek Hak Asasi Manusia (HAM).
5. Implementasi Pancasila dalam Aspek Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Manusia
Masih jauh impian dengan kenyataannya. Ketika hak-hak sebagai warga negara masih
sangat sedikit yang menikmati, namun kewajibannya harus tetap dilaksanakan. Dilihat dari
pasal kelima seharusnya saat ini hak warga negara lebih diperhatikan, misalnya hak yang
paling mendasar yakni Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat
pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat
diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai
hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, agama, jabatan, dan
lain sebagainya. Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di
Indonesia. Hak Asasi Manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan
seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran HAM di Indonesia
memang masih banyak yang belum terselesaikan/tuntas sehingga diharapkan perkembangan
dunia HAM di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Di Indonesia ini
pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM menyebabkan banyak rakyat yang sangat menderita.
Contoh nyata akibat pelanggaran tersebut adalah Kemiskinan.
Indonesia adalah sebuah negara yang penuh paradoks. Negara ini subur dan kekayaan
alamnya melimpah, namun sebagian cukup besar rakyat tergolong miskin. Hal ini sebenarnya
didasari oleh rendahnya kualitas SDM Karena latar belakang pendidikan yang masih
tergolong rendah dan kualitas moral para pemimpin yang tidak baik. Maksudnya adalah
ketidak merataan pembangunan dibeberapa daerah sehingga beberapa wilayah di Indonesia
memiliki nilai kemiskinan yang rendah sedangkan daerah lainnya memiliki angka kemiskinan
yang tinggi. Jadi ini adalah bukti tidak adilnya pemerintah terhadap kehidupan sosial
masyarakat Indonesia yang menyebabkan kemiskinan.
Ketimpangan dalam pendidikan, dimana banyak anak usia sekolah harus putus sekolah
karena biaya, mereka harus bekerja dan banyak yang menjadi anak jalanan. Walaupun sudah
diberlakukannya beberapa program untuk mengurangi biaya sekolah atau bahkan
membebaskan biaya sekolah BOS (Biaya Operasional Sekolah) tapi kenyataannya pem-
bagiannya masih belum merata diseluruh wilayah Indonesia dan masih banyak dipotong oleh
pihak-pihak tertentu.
Ketimpangan dalam pelayanan kesehatan, dimana persoalan keadilan dalam
kesehatan masih belum dirasakan oleh masyarakat miskin Indonesia. Didalam hal ini
maksudnya adalah belum dirasakan manfaat PJKMM (Program Jaminan Kesehatan
Masyarakat Miskin) atau ASKESKIN (Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin) sehingga
munculnya anggapan “orang miskin dilarang sakit” karena biaya berobat di Indonesia bisa
dikatakan cukup tinggi dan hanya untuk kalangan menengah ke atas.
Didalam sila pertama Pancasila ini memiliki sebuah makna bahwa setiap warga negara
memiliki keyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa serta negara berdasar pada
ketuhanan. Dengan begitu negara menjamin setiap hak dan kewajiban warga negara dalam
melaksanakan keyakinannya dalam memeluk agama sesuai dengan yang diyakini.
Mendorong adanya sikap toleransi umat beragama sehingga dapat timbul kehidupan yang
harmonis serta terhindar dari segala konflik sosial.
Pengakuan tentang adanya hakikat ketuhanan tersebut dapat diterapakan melalui sikap-sikap
berikut:
1. Percaya dan takwa terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa sesuai kepercayaan dan juga
keyakinan yang timbul dari dalam hati.
2. Saling menghormati antar sesama umat beragama dalam melaksanakan keyakinan masing-
masing demi terciptanya kerukunan antar umat beragama dalam upaya menjaga keutuhan
NKRI.
3. Saling tolong-menolong dalam kehidupan beragama agar tercipta kehidupan yang rukun dan
damai.
4. Peran akhlak dalam pembentukan karakter bangsa karena didorong adanya sebuah keyakinan
dalam beragama yang dilindungi oleh negara