Anda di halaman 1dari 6

EKONOMI MARITIM

Sejak berdiri 17 Agustus 1945 Indonesia terus mengalami perbaikan di semua bidang
kehidupan. Kini Indonesia merupakan anggota G-20 dengan PDB mencapai 1,1 trilyun dolar
AS, terbesar ke-16 di dunia. Pada 1970 sekitar 60 persen penduduknya masih miskin, tahun
ini tinggal 9,82 persen (25,95 juta orang), pertama kali dalam sejarah NKRI, dimana angka
kemiskinan dibawah 10 persen.

Namun, sudah 73 tahun merdeka, Indonesia masih sebagai negara berkembang


berpendapatan menengah bawah dengan rata-rata pendapatan nasional kotor (Gross National
Income = GNI) perkapita 3.800 dolar AS. Padahal, sebuah negara dinobatkan sebagai negara
makmur (berpendapatan tinggi), bila GNI perkapitanya diatas 12.235 dolar AS (World Bank,
2017).

Kapasitas IPTEK bangsa Indonesia sampai sekarang baru berada di kelas-3, dimana
lebih dari 75% kebutuhan teknologinya berasal dari impor. Sedangkan, suatu bangsa
dikategorikan sebagai bangsa maju, bila kapasitas IPTEK nya mencapai kelas-1 atau lebih
dari 75% kebutuhan IPTEK nya merupakan hasil karya bangsa sendiri (UNDP, 2010).

Dengan kekayaan SDA, jumlah penduduk 267 juta jiwa (terbesar keempat di dunia),
dan bonus demografi pada 2020 -- 2040, Indonesia diprediksi bakal menjadi negara maju dan
makmur pada 2045 (Pricewater Cooper, 2018). Pada saat itu kekuatan ekonomi (PDB)
Indonesia mencapai 7,3 trilyun dolar AS (terbesar keempat di dunia) dengan rata-rata GNI
perkapita 15.000 dolar AS.

Dari persepektif ekonomi, prediksi tersebut akan menjadi kenyataan, bila bangsa
Indonesia mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (diatas 7 persen/tahun),
berkualitas (banyak menyerap tenaga kerja), inklusif (mensejahterakan seluruh rakyat), dan
berkelanjutan (sustainable).

Potensi ekonomi maritim

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.504 pulau, yang tiga perempat
wilayahnya berupa laut; ekonomi maritim menawarkan segudang potensi, bukan saja untuk
mengatasi permasalahan kekinian. Tetapi, juga untuk menghadirkan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi, berkualitas dan inklusif secara berkelanjutan. Ekonomi maritim adalah semua
aktivitas ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan di daratan lahan atas
yang menggunakan bahan baku dari wilayah pesisir dan lautan.

Dari definisi ini, ekonomi maritim Indonesia meliputi 11 sektor: (1) perikanan
tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan perikanan dan hasil laut, (4) industri
bioteknologi kelautan, (5) ESDM, (6) pariwisata bahari, (7) perhubungan laut, (8) kehutanan,
(9) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritime, dan (11) SDA
non-konvensional. Potensi total nilai ekonomi dari kesebelas sektor tersebut sebesar 1,5
trilyun dolar AS/tahun atau 1,5 kali PDB, dengan potensi lapangan kerja sekitar 45 juta orang
atau 35% total angkatan kerja. Potensi ekonomi maritim hingga saat ini baru dimanfaatkan
sekitar 25 persen.

Sebagai ilustrasi betapa raksasanya ekonomi maritim Indonesia adalah 3 juta ha lahan
pesisir yang cocok untuk budidaya tambak udang Vaname. Bila kita mampu
mengembangkan usaha 500.000 ha tambak udang Vaname dengan produktivitas rata-rata 40
ton/ha/tahun (moderat), maka bisa dihasilkan 20 juta ton atau 20 milyar kg udang setiap
tahunnya.

Dengan harga udang saat ini 5 dolar AS/kg, maka nilai ekonomi langsungnya sebesar
100 milyar dolar AS/tahun atau sekitar 10% PDB saat ini. Keuntungan bersihnya rata-rata Rp
10 juta/ha/bulan. Artinya, jika mulai tahun depan sampai 2024 kita buka usaha 100.000
tambak udang Vaname setiap tahunnya, maka dari udang ini saja bisa menyumbangkan 2
persen pertumbuhan ekonomi per tahun. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi sebesar 7%
per tahun bagi maritim Indonesia adalah keniscayaan.

Kesempatan kerja langsung (on farm) yang bisa diciptakan dari 500.000 ha tambak
udang ini sekitar 2 juta orang, dan tidak langsung (off farm) sekitar 1,5 juta orang. Padahal,
banyak sekali komoditas budidaya laut lainnya dengan nilai ekonomi sangat tinggi, seperti
udang windu, ikan bandeng, nila salin, kerapu, kakap, bawal bintang, kepiting, lobster,
gonggong, abalone, teripang, kerang mutiara, dan rumput laut.

Sejak 2012 IPB menemukan 4 spesies mikrolaga laut dengan kandungan hidrokarbon
sekitar 20% dari total berat keringnya, dan telah menghasilkan biofuel. Jika kita kembangkan
budidaya mikroalga ini seluas 2 juta ha areal laut pesisir (0,3% total wilayah laut Indonesia)
terintegrasi dengan industri pengilangannya, maka bisa diproduksi sekitar 2 juta barel
biofuel/hari.

Jumlah ini melampaui kebutuhan minyak mentah nasional, sekitar 1,4 juta
barel/hari. Dengan demikian, kita tidak perlu lagi menghamburkan devisa untuk impor
minyak sekitar Rp 500 trilyun/tahun, yang sejak 2012 merupakan penyebab utama dari defisit
nercara perdagangan dan transaksi berjalan. Jutaan orang tenaga kerja akan terserap oleh
usaha budidaya mikroalga laut dan industri biofuel ini, dan masyarakat pesisir yang selama
ini kebanyakan hidup miskin juga akan sejahtera.

Dengan keanekaragaman hayati laut (marine biodiversity) terbesar di dunia,


Indonesia memiliki potensi industri bioteknologi kelautan yang luar biasa besar, dengan total
nilai ekonomi empat kali lipat dari industri teknologi informasi. Industri ini meliputi 3 cabang
industri: (1) genetic engineering untuk menghasilkan bibit dan benih fauna serta flora yang
unggul; (2) ekstraksi senyawa bioaktif dari organisme laut yang menghasilkan bahan baku
untuk industri farmasi, kosmetik, pewarna, film, dan beragam industri lainnya; dan (3)
bioremediasi lingkungan. Dalam dekade terakhir, China berhasil membudidayakan padi di
perairan laut dengan produktivitas 9 ton/ha/panen (Yangzhou University, 2017). Artinya,
budidaya laut berbasis bioteknologi bisa menjadi terobosan untuk mewujudkan kedaulatan
pangan.

Seiring dengan pergesaran pusat ekonomi dunia dari Poros Atlantik Asia-Pasifik, dan
posisi geoekonomi - geopolitik Indonesia yang begitu strategis (penghubung Samudera
Pasifik dan Hinida serta Benua Asia dan Australia); peran kemaritiman bagi Indonesia bakal
semakin krusial. Betapa tidak, sekitar 45% dari total barang yang diperdagangkan di dunia
diangkut dengan ribuan kapal melalui 3 ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia), dengan total
nilai ekonomi rata-rata sebesar 15 trilyun dolar AS/tahun (UNCTAD, 2010).

Oleh sebab itu, sangat tepat Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla menjadikan
kemaritiman sebagai salah satu prioritas kebijakan pembangunannya, dengan tagline
Indonesia sebagai PMD (Poros Maritim Dunia). Banyak kemajuan di bidang maritim telah
direngkuh dalam empat tahun terakhir. Penegakkan kedaulatan, khususnya pemberantasan
Illegal fishing oleh nelayan asing, dan program konservasi lingkungan telah membuahkan
hasil menggembirakan.

Pembenahan manajemen pelabuhan mampu memangkas dwelling time, dari 9 hari


pada 2014 menjadi rata-rata 4 hari sejak 2016. Pada 2014 sekitar 70% ekspor produk
Indonesia harus melalui Pelabuhan Singapura, sejak 2016 hanya tinggal 40%. Beroperasinya
18 trayek Tol Laut telah memperlancar, mempermudah, dan mempermurah arus penumpang
dan barang di seluruh wilayah Nusantara. Sehingga, disparitas harga barang-barang antar
wilayah pun menurun cukup signifikan.

Destinasi pariwisata bahari semakin atraktif, indah, dan berkembang di berbagai


wilayah NKRI, sehingga mampu meningkatkan jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke
Indonesia untuk menikmati pariwisata bahari, dari hanya 3 juta pada 2014 menjadi sekitar 6
juta pada 2017.

Namun, kehidupan nelayan, pembudidaya ikan, pengolah dan pedagang hasil


perikanan semakin susah akibat terlalu rumit, lama, dan mahalnya mendapatkan izin usaha
perikanan. Sebagian besar kebijakan dan regulasi hanya mengutamakan pelestarian sumber
daya ikan, tetapi kurang memperhatikan aspek ekonomi dan kesejahteraan nelayan,
pembudidaya perikanan, dan stakeholders perikanan lainnya.

Nelayan cantrang, pukat hela, dan pukat tarik lainnya tidak bisa melaut. Usaha
budidaya ikan kerapu, lobster, kepiting soka, dan kepiting bertelur gulung tikar. Puluhan
pabrik pengolahan ikan dan seafood di hampir semua kawasan industri perikanan, seperti
Belawan, Sibolga, Bungus, Muara Baru (Jakarta), Cilacap, Benoa, Bitung, Ambon, Tual,
Kaimana, dan Sorong sekarat, lantaran kekurangan bahan baku. Dengan sebab yang sama,
14 pabrik surimi di Pantura matisuri.

Nilai ekspor perikanan turun drastis, dari 4,6 milyar dolar AS pada 2014 menjadi 3,2
milyar dolar AS pada 2017. Ratusan ribu nelayan, pembudidaya, buruh pabrik dan pedagang
ikan jadi pengangguran. Ujungnya, gelombang demonstrasi masif merebak dimana-mana
sejak Maret 2015 hingga awal tahun ini memprotes keras kebijakan perikanan yang
mematikan itu.

Agenda pembangunan maritim

Oleh karena itu, ke depan kita mesti meluruskan orientasi pembangunan maritim
sesuai dengan yang dimaksud Presiden Jokowi dan Wapres JK, yakni menjadikan Indonesia
sebagai PMD. Sebuah Indonesia yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis ekonomi,
hankam dan budaya maritim. Lebih dari itu, Indonesia juga diharapkan bisa menjadi teladan
(a role model) bangsa-bangsa lain di dunia dalam hal pendayagunan dan pengelolaan wilayah
pesisir, pulau-pulau kecil, dan lautan bagi kemajuan dan kesejahteraan umat manusia secara
adil dan berkelanjutan.

Maka, bauran kebijakan pembangunan kemaritiman harus seimbang dan proporsional


antara tujuan untuk menegakkan kedaulatan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan, dan pelestarian lingkungan. Karena, masalah utama bangsa adalah kemiskinan,
stunting growth, gizi buruk, ketimpangan sosial, dan rendahnya daya saing; maka upaya
untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan haruslah mendapat
prioritas utama sesuai dengan daya dukung lingkungan dan batas-batas kelestarian SDA
kelautan.

Dalam jangka pendek -- menengah (2019 -- 2024), pertama yang harus dilakukan
adalah penyusunan/penyempurnaan, dan implementasi RTRW (Rencana Tata Ruang
Wilayah) secara terpadu dari lahan atas -- pesisir -- lautan di tingkat Kabupaten/Kota,
Propinsi, dan Nasional. Dalam ruang wilayah antara daratan pesisir dan laut sampai 12 mil
harus dialokasikan minimal 30% dari total wilayah untuk kawasan lindung. Yakni berupa
daerah pemijahan dan asuhan bagi biota perairan, sempadan pantai, lokasi rawan bencana,
dan areal lain yang mesti dilindungi.

Di dalam 70% wilayah sisanya bisa digunakan untuk berbagai macam kegiatan
(sektor) pembangunan, seperti budidaya perikanan tambak, budidaya laut, perikanan tangkap
dengan ukuran kapal dibawah 30 GT, pariwisata bahari, pertambangan ramah lingkungan,
kawasan industri ramah lingkungan, pemukiman, dan pelabuhan. Lokasi setiap sektor
pembangunan harus cocok dengan kesesuaian lahannya.

Kedua, optimalisasi sektor perikanan tangkap, dengan cara mengembangkan 10.000


armada kapal ikan modern ukuran 50 GT -- 500 GT untuk memanfaatkan sumber daya ikan
di wilayah-wilayah laut yang masih underfishing dan selama ini menjadi ajang illegal
fishing oleh nelayan asing. Wilayah-wilayah laut yang dimaksud antara lain adalah Laut
Natuna, Laut Sulawesi, Laut Banda, Laut Arafura, Perairan Barat Sumatera, dan ZEE (Zona
Ekonomi Eksklusif) Indonesia.

Kapal-kapal ikan modern diatas 400 GT juga bisa kita gunakan untuk menangkap
cakalang, tuna, dan ikan pelagis besar lainnya di laut lepas (diatas 200 mil), dimana kita
mendapatkan kuota penangkapan di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Selain di
Bitung, untuk mendaratkan, mengolah, dan memasarkan ikan hasil tangkapan 10.000 kapal
ikan modern itu, kita harus membangun pelabuhan-pelabuhan perikanan baru yang
terintegrasi dengan kawasan industri perikanan berkelas internasional di Aceh, Natuna,
Bangka-Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Baubau, Morotai, Sorong, Biak,
Tual/Aru, dan Kupang.

Di wilayah-wilayah laut yang sudah overfishing, seperti Pantura dan Pantai Selatan
Sulawesi, kita kurangi jumlah kapal ikan dan nelayannya sampai intensitas penangkapannya
lebih kecil atau sama dengan potensi produksi lestari (MSY = Maximum Sustainable Yield)
nya. Hanya kapal-kapal ikan yang berukuran dibawah 30 GT yang boleh beroperasi di
wilayah laut di bawah 12 mil.

Sarana produksi perikanan tangkap dan perbekalan melaut yang berkualitas dan harga relatif
murah harus tersedia bagi nelayan di seluruh wilayah NKRI. Untuk menjaga stabilitas rantai
suplai dan harga, setiap pabrik pengolahan perikanan harus dimitra kerjakan dengan kapal-
kapal ikan yang jumlahnya sesuai dengan kapasitas pabrik secara saling menguntungkan.

Ketiga, selain pengembangan budidaya tambak udang Vaname seluas 500.000 ha


seperti diuraikan diatas, kita kembangkan tambak udang windu seluas 50.000 ha, tambak
bandeng 100.000 ha, nila salin 50.000 ha, kepiting soka 50.000 ha, kepiting bertelur 50.000
ha, kerapu lumpur 50.000 ha, dan rumput laut Gracillaria spp 500.000 ha. Dengan
menggunakan KJA produksi dalam negeri yang berkualitas, kita kembangkan budidaya di
perairan laut dangkal dan laut lepas (offshore aquaculture) dengan ikan kerapu, kakap,
bawal bintang, gobia, dan spesies lainnya.

Di perairan laut dangkal, kita kembangkan budidaya rumput laut penghasil karagenan,
Euchema spp seluas 1 juta ha, lobster, teripang, abalone, gonggong, kerang hijau, kerang
mutiara, dan komoditas unggulan lainnya. Supaya menguntungkan dan mensejahterakan
secara berkelanjutan, semua usaha budidaya ini harus menerapkan cara budidaya yang terbaik
(Best Aquaculture Practices), teknologi mutkahir (termasuk teknologi Industri 4.0), dan
manajemen yang benar.

Keempat, peningkatan kualitas dan sertifikasi semua UPI (Unit Pengolahan Ikan)
yang ada sekarang (61.603 unit) yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara, supaya produk
olahannya lebih bernilai tambah, berdaya saing, dan laku di pasar domestik maupun
ekspor. Dari total UPI itu, hanya 718 unit (1,2%) yang berskala besar dan modern,
selebihnya 60.885 unit berskala Menengah, Kecil, dan Mikro (MKM).

Oleh sebab itu, perlu peningkatan skala dan modernisasi UPI MKM ini. Untuk
memproses lonjakan bahan baku dari kebijakan -- 2 dan 3 diatas, perlu dibangun sejumlah
UPI baru, terutama di luar Jawa sesuai volume bahan baku dan kondisi lokal.

Kelima, pengembangan industri bioteknologi kelautan dengan fokus pada industri


makanan dan minuman sehat, farmasi, kosmetik, dan biofuel.

Keenam, penguatan dan pengembangan pariwisata bahari agar mampu mendatangkan


10 juta orang wisatawan mancanegara dan mendulang devisa sedikitnya 10 milyar dolar
AS/tahun mulai tahun 2020. Target ini sangat mungkin tercapai dengan meningkatkan
kualitas dan daya tarik destinasi wisata bahari yang ada sekarang, pengembangan destinasi
baru berkelas dunia, peningkatan aksesibilitas dan amentities, peningkatan promosi dan
pemasaran, dan pengembangan kualitas SDM pengelola pariwisata bahari maupun
masyarakat lokal supaya kondusif bagi para wisatawan.

Ketujuh, revitalisasi semua usaha produksi dan pengolahan sektor ESDM yang
sekarang terdapat di wilayah pesisir dan lautan supaya lebih efisien, berdaya saing, inklusif,
dan ramah lingkungan. Peningkatan kegiatan eksplorasi, produksi, pengolahan, dan
pemasaran sumber-sumber baru ESDM di wilayah pesisir dan lautan secara ramah
lingkungan dan sosial.

Kedelapan, industri dan jasa maritim yang ada sekarang (industri galangan kapal,
dockyads, pabrik jaring dan alat tangkap lainnya, industri Karamba Jaring Apung berbahan
polietelin, industri kabel laut, dan lainnya) harus ditingkatkan produktivitas, efisiensi, daya
saing, inklusivitas, dan sustainability nya. Sampai sekarang negara produsen kapal terbesar di
dunia adalah Korea Selatan, yang wilayah lautnya hanya sekitar 15% dari wilayah laut
Indonesia.

Kembangkan jenis-jenis industri dan jasa maritim lainnya, seperti kincir air
tambak udang, mesin dan suku cadang kapal, aplikasi manajemen pelabuhan, aplikasi
peringatan dini tsunami, fiber optic bawah laut, dan coastal and ocean engineering
yang hingga kini masih kita impor.
Kesembilan, sampai sekarang sekitar 90% dari barang yang diekspor dan diimpor
oleh Indonesia diangkut oleh perusahaan-perusahaan kapal asing, dan 50% total kapal angkut
antar pulau (dalam negeri) juga masih oleh perusahaan-perusahaan asing. Wajar, bila jasa
transportasi laut merupakan salah satu penyumbang terbesar terhadap defisit neraca
perdagangan RI. Meskipun, kita berhasil menurunkan biaya logistik dari 26% PDB pada
2014 menjadi 21% PDB tahun lalu, tetapi masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
Singapura, Malaysia, dan Tahiland yang kurang dari 15% PDB.

Oleh sebab itu, kita harus meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan daya saing
perusahaan-perusahaan transportasi laut nasional, dan pelabuhan-pelabuhan kita. Sehingga,
pada 2024 ekspor-impor sedikitnya 50 persen sudah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
nasional, dan seluruh angkutan laut antar pulau sudah dikerjakan oleh perusahaan-perusahaan
domestik.

Dalam jangka panjang (2024 -- 2045), kita harus mampu mengembangkan minimal
75 persen dari ruang lingkup (domain) sebelas sektor ekonomi maritim RI. Seperti industri
bioteknologi dan nanoteknologi kelautan, industri air laut dalam, pertambangan mineral laut
dalam (deep sea mining), deep sea fisheries, dan energi dari gelombang, arus laut, dan
OTEC. Melalui aplikasi teknologi generasi Industri 4.0, diyakini kita akan mampu untuk
mendayagunakan seluruh potensi ekonomi maritim.

Segenap kebijakan pembangunan maritim itu akan berhasil, bila didukung oleh SDM
berkualitas, kapasitas IPTEK dan inovasi berbasis riset, anggaran yang cukup, skim kredit
perbankan yang relatif murah dan lunak, dan kebijakan politik-ekonomi yang kondusif.

Dengan mengimplementasikan peta jalan pembangunan ekonomi maritim diatas,


niscaya Indonesia akan naik kelas, dari negara berpendapatan-menengah bawah menjadi
negara berpendapatan- menengah atas dengan rata-rata GNI sebesar 8.000 dolar AS pada
2024. Dan, pada 2045 menjadi negara maritim yang maju, adil-makmur, kuat, dan berdaulat
dengan rata-rata GNI 15.000 dolar AS.

Anda mungkin juga menyukai