G1P0A0 Usia 29 Tahun Hamil 38 Minggu Janin Tunggal Mati Intra Uterin
Presentasi Kepala Punggung Kanan Inpartu Kala 1 Fase Aktif
Disusun Oleh :
Pembimbing
dr. Surya Andri Antara, Sp.OG
KEPANITERAAN KLINIK
SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RUMAH SAKIT UMUM JENDRAL AHMAD YANI METRO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2017
DAFTAR ISI
Lampiran
1
BAB I
LAPORAN KASUS
STATUS OBSTETRI
A. Anamnesis
Diambil dari : Autoanamnesa
Tanggal/Pukul : 29 Mei 2017 Pukul 11.00 WIB
1. Identitas
Istri Suami
Nama Ny. J Tn. S
Umur 29 tahun 70 tahun
Suku / Bangsa Jawa Jawa
Agama Islam Islam
Pendidikan Tidak Sekolah Tidak Sekolah
Pekerjaan Petani Petani
Alamat Rumbia, Rumbia, Lampung
Lampung Tengah Tengah
Masuk RSAY 28 Mei 2017 -
Pukul 12.00 WIB
2. Keluhan utama :
Merasa tidak terdapat gerakan bayi
2
3. Keluhan Tambahan :
Mulas-mulas seperti ingin mengejan, sakit saat buang air kecil, edema
pada kedua tungkai, lendir darah dari jalan kelahiran
3
Riwayat Menstruasi :
a. Menarche : 14 tahun
b. Siklus : 28+ 4 hari
c. Lama haid : 4 hari
d. Banyak : 2x ganti pembalut/hari
e. Dismenorrhea : (-)
f. HPHT : pertengahan Agustus 2016
g. TP : Mei 2017
5. Riwayat Perkawinan :
Menikah satu kali, usia perkawinan 2 tahun, status masih menikah
9. Riwayat ANC :
a. Kontrol : 5 kali rutin selama kehamilan
b. Hamil saat ini : mual (-), muntah (-), perdarahan (-), trauma (+)
4
B. PEMERIKSAAN FISIK
I. STATUS PRESENT
a. Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
b. Status Emosional : Stabil Labil
c. Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Berat Badan : 60
Tinggi Badan : 154
Denyut Nadi : 86x/menit
Pernafasan : 24x/menit
Suhu : 36,4oC
5
III. STATUS OBSTETRIKUS
Inspeksi : Perut tampak buncit,striae gravidarum (+), linea nigra
(+), luka bekas SC (-)
Palpasi :
a. Leopold I :
TFU 30 cm, teraba satu bagian besar, lunak, bokong
b. Leopold II :
Kanan : teraba bagian keras melebar seperti papan
Kiri : teraba bagian – bagian kecil janin
c. Leopold III :
Teraba satu bagian besar,bulat, keras, kepala
d. Leopold IV :
Divergen
His : (-)
Kesan :
Pemeriksaan Genitalia
6
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium:
Hematologi 28 Mei 2017
Trombosit 164000/
uL
Leukosit 28080/uL
7
Hematologi 02 Juni 2017
Hb 10,2 g/dL Eritrosit 3,63 jt/uL
Leukosit 21900/uL
C. RESUME
Ny. J, 29 tahun dengan G1P0A0 datang dengan keluhan tidak merasakan
gerakan bayi sejak 1 hari SMRS. Keluhan tersebut disertai rasa ingin
mengejan, sakit saat buang air kecil, edema pada kedua tungkai, lendir
darah dari jalan kelahiran. Pada os didapatkan konjungtiva anemis dan
edema pretibia. Setelah cek laboratorium 28 Mei 2017, didapatkan
Hemoglobin 10,5 gr/dL, hematokrit 31,6%, leukosit 159000/uL dan
trombosit 286.000/uL dan cek laboratorium 29 Mei 2017 Hemoglobin
10,5 gr/dL, hematokrit 31,6%, leukosit 159000/uL dan trombosit
286.000/uL. Hasil USG didapatkan gerakan bayi tidak ada dan denyut
jantung bayi tidak ada.
D. DIAGNOSIS
G1P0A0, 29 tahun, Hamil 38 minggu
8
E. PROGNOSIS
Ibu : Dubia ad Malam
Janin : Malam
F. PENATALAKSANAAN
Sebelum persalinan
Medikamentosa:
IVFD Ringer Laktat 20 tpm
Oxytocic agent; Oxytosin drip 20 IU
Antibiotik golongan sefalosporin generasi III; cefotaxime 2x1
gram
Analgesik golongan NSAID; ketorolac 2x30mg
Anti fibrinolitik; Asam tranexamat drip 3x100mg
Vitamin C 1x200mg
B-Complex 2x500mg p.o
Obstetrik :
Pantau Tanda Tanda Vital Ibu
Rencana Induksi Persalinan
Setelah persalinan
Medikamentosa:
IVFD Ringer Laktat 20 tpm
Antibiotik golongan sefalosporin generasi III; Cefotaxime 2x1
gram
Analgesik golongan NSAID; ketorolac 2x30mg
Vitamin C 1x200mg
B-Complex 2x500mg
9
Obstetrik :
Pantau Tanda Tanda Vital Ibu
Tranfusi PRC 864cc=~800cc (3 kolf) dengan Hb target 10 gr/dL
Follow up
Tanggal S O A P
29/05/2017 Rasa ingin Keadaan umum: G1P0A0 Usia Medikamentosa:
06.00 mengejan, Baik, compos 29 Tahun
- IVFD Ringer
keluar mentis Hamil 38
darah Minggu Janin Laktat 20 tpm
kental TTV: Tunggal Mati
- Oxytosin drip 20
pervagina TD: 110/70 mmHg Intra Uterin
m N: 96 x/mnt Presentasi IU
RR: 20 x/mnt Kepala
- Cefotaxime 2x1
T: 36,7oC Punggung
Kanan Inpartu gram
TFU: 30 cm Kala 1 Fase
- Ketorolac
Aktif
His: tidak teratur, 2x30mg
2x10’, lamanya 20”
- Asam tranexamat
DJJ: (-) drip 3x100mg
- VitaminC
Bundle ring: (-)
1x200mg
Tanda-tanda kala II:
- B-Complex p.o
Pembukaan lengkap,
anus vulva 2x500mg
membuka,
Perineum menonjol,
Obstetrik :
Ibu ingin mengejan
- Pantau Tanda
Tanda Vital Ibu
- Rencana Induksi
Persalinan.
10
Tanggal Identitas Diagnosis Tindakan Diagnosis Post Operator
Pre Operasi Operasi
Rencana induksi persalinan pervaginam gagal lalu di berikan Advice dari spesialis Obgyn untuk
dilakukan persalinan dengan ekstraksi forceps.
Intraoperatif:
Operasi dimulai 14.30
diputuskan untuk melakukan persalinan pervaginam dengan forceps
Pukul 15.00 WIB
Dilakukan ekstraksi percobaan. Ujung-ujung jari telunjuk dan jari tengah tetap
menyentuh bagian terbawah kepala janin yang bearti ekstraksi berhasil
Lahir neonatus meninggal laki-laki, BB 3000 gr, PB 49 cm
Plasenta lahir lengkap
Pukul 16.00 WIB : Operasi selesai
Tanggal S O A P
30/5/2017 Nyeri perut Keadaan umum: P1A0, 29 Medikamentosa:
06.00 kiri dan kaki Baik, compos mentis tahun, post
- IVFD Ringer
sudah bisa ekstraksi
digerakkan TTV: forceps a.i Laktat 20 tpm
TD: 120/80 mmHg intra uterine
- Cefotaxime 2x1
N: 102 x/mnt fetal death
RR: 27 x/mnt dengan anemia gram
T: 36,1oC e.c ruptur
- Ketorolac
perineum
TFU: 2 jari dibawah grade III 2x30mg
pusar
- VitaminC
BAB: (-) 1x200mg
BAK: kateter + 1500cc
- B-Complex
11
Payudara: ASI (-) 2x500mg
Cairan Pervagwinam:
lochea rubra Obstetrik :
- Pantau Tanda
Tanda Vital Ibu
- Perawatan luka
post hecting
perineum
- Tranfusi PRC 2
kolf pada tanggal
29/5/17 dan 1 kolf
pada tanggal
30/05/17 dengan
Hb target 10 gr/dL
31/5/2017 Keluhan tidak Keadaan umum: P1A0, 29 Medikamentosa:
06.00 ada Baik, compos mentis tahun, post
- IVFD Ringer
ekstraksi
TTV: forceps a.i Laktat 20 tpm
TD: 120/80 mmHg intra uterine
- Cefotaxime 2x1
N: 97 x/mnt fetal death
RR: 20 x/mnt dengan anemia gram
T: 36,9oC e.c ruptur
- Metronidazole
perineum
TFU: 2 jari dibawah grade III infus 3x500mg
pusar
12
Tanggal S O A P
01/6/2015 Keluhan Keadaan umum: P1A0, 29 tahun, Medikamentosa:
06.00 tidak ada Baik, compos mentis post ekstraksi
- IVFD Ringer
forceps a.i intra
TTV: uterine fetal Laktat 20 tpm
TD: 120/80 mmHg death dengan
- Cefotaxime 2x1
N: 81 x/mnt anemia e.c
RR: 24 x/mnt ruptur perineum gram
T: 36,1oC grade III
- Metronidazole
TFU: 2 jari dibawah infus 3x500mg
pusar
Cairan Pervaginam:
lochea sangulenta
Mobilisasi : baik
13
BAB II
ANALISA KASUS
Pada kasus ini wanita, 39 tahun dengan diagnosa kematian janin intra uterin.
Dalam kasus ini, diagnosis Intra Uterine Fetal Death ( IUFD ) ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
disesuaikan dengan literatur.
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien dengan G3P2A0 dengan perkiraan usia
kehamilan 38 minggu datang ke RSAY Metro karena ibu tidak merasakan gerakan
bayi sejak 1 hari SMRS. Keadaan ini sesuai dengan salah satu dasar diagnosis
IUFD yang bersifat subjektif. Selain itu ibu merasa perut bagian bawahnya terasa
mules yang hilang timbul dan tidak teratur sejak 10 jam SMRS. Pasien juga
merasakan keluar lendir darah dari kemaluannya. Pemeriksaan kehamilan
(antenatal care) teratur, sebanyak lebih dari 3x selama kehamilan. Pemeriksaan
USG tidak pernah dilakukan.
Pada pasien ini tidak ada riwayat trauma, infeksi, dan alergi dalam kehamilannya
ini. Pasien juga mengaku tidak punya kebiasaan minum alkohol, merokok, dan
minum obat- obatan lama. Pasien juga tidak memiliki binatang peliharaan.
14
USG, ditemukan Janin Tunggal, Intra uterine dengan letak memanjang.
Didapatkan kesan janin IUFD disertai dengan deskripsi yang menjadi dasar
diagnosis IUFD, seperti tidak adanya gerakan janin dan DJJ ( - ), akan tetapi
Spalding’s Sign ( - ).
Penyebab IUFD bisa karena faktor maternal dan fetal. Berdasarkan anamnesis,
pasien ini tidak mengalami infeksi, dan alergi dalam kehamilannya ini. Pasien
juga mengaku tidak punya kebiasaan minum alkohol, merokok, dan minum obat-
obatan lama. Akan tetapi pasien mengaku terdapat riwayat trauma yaitu selama
kehamilan pasien pernah terjatuh dan diurut oleh dukun beranak sebanyak 2 kali.
Dari tingkat pendidikan ibu yang rendah dan pengetahuan ibu yang minim tentang
kehamilan juga dapat mempengaruhi kejadian dari IUFD
Faktor fetal terdapat kelainan kongenital mayor pada janin. Yaitu ditemukannya
hidrocele pada testis bayi. Pasien tidak memiliki binatang peliharaan maupun
makan daging setengah matang, yang menurut literatur dapat menyebabkan
infeksi toksoplasmosis pada janin. Anomali kromosom biasanya terjadi pada ibu
dengan usia diatas 40 tahun, dan dibutuhkan analisa kromosom. Inkompatibilitas
Rhesus juga sangat kecil kemungkinannya mengingat pasien dan suaminya dari
suku yang sama.
Penatalaksanaan pada pasien ini sesuai dengan literatur, yaitu dilakukan dengan
penanganan aktif. Terminasi kehamilan segera pada pasien ini dipilih melalui
induksi persalinan pervaginam namun gagal sehingga dipilih kelahiran
pervaginam menggunankan teknik ekstraksi forceps dengan mempertimbangkan
kehamilan aterm dan mengurangi gangguan psikologis pada ibu dan keluarganya.
Menurut literatur penatalaksanaan dari IUFD hanya mengusahakan secepat
mungkin untuk mengterminasi kehamilan. Namun, dapat juga diberikan
pengobatan simptomatik sesuai gejala yang dikeluhkan pasien. Pada kasus ini
pasien diberikan antibiotik, analgesik, anti fibrinolitik, vitamin c dan vitamin b
complex.
15
Berikut ini adalah alasan dari penggunaan masing-masing obat. Penggunaan
antibiotik pada kasus ini bertujuan untuk mencegah adanya infeksi nosokomial
pada saat persalinan dan pada hasil laboratorim pasca persalinan didapatkan nilai
yang cukup tinggi pada leukosit yaitu 28080/uL. Antibiotik yang digunakan yaitu
antibiotik golongan sefalosporin generasi 3 yaitu cefotaxime ditambah dengan
antibiotik metronidazole. Penggunaan analgesik golongan NSAID disini bertujuan
untuk mengurangi rasa nyeri yang dialami oleh pasien. Penggunaan dari anti
fibrinolotik yaitu asam tranexamat berfungsi untuk menghentikan perdarahan
yang dialami oleh pasien sebelum persalinan dimana pasien mengeluhkan
keluarnya lendir darah dalam jumlah cukup banyak. Penggunaan vitamin C
sebagai penyerapan zat besi dimana apabila terus terjadi perdarahan namun
penyerapan besi rendah dapat menurunkan nilai Hb pasien. Penggunaan dari b
complex bertujuan untuk menigkatkan kontraksi otot dan berperan dalam
pemecahan energi untuk otak. Sehingga, penanganan secara aktif pada pasien ini
juga sudah sesuai dengan prosedur yang seharusnya.
Edukasi pada pasien ini ialah memberikan dukungan psikologis agar pasien tidak
terganggu akibat kematian janin yang dialaminya saat ini, dan menyarankan
kepada keluarga pasien untuk memberikan dukungan yang besar untuk ibu.
Edukasi lain yang dapat diberikan yaitu mengenai perawatan luka sobek post
ruptur perineum grade III untuk mencegah kemungkinan terjadinya infeksi
nosokomial pasca bedah.
16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Intrauterine fetal death (IUFD) menurut ICD 10 – International Statistical
Classification of Disease and Related Health Problems adalah kematian fetal
atau janin pada usia gestasional ≥ 22 minggu (Petersson, 2002) WHO dan
American College of Obstetricians and Gynecologist (1995) menyatakan
Intra Uterine Fetal Death ( IUFD ) ialah janin yang mati dalam rahim dengan
berat badan 500 gram atau lebih tau kematian janin dalam rahim pada
kehamilan 20 minggu atau lebih. The US National Center for Health
Statistics menyatakan bahwa Intrauterine fetal death adalah kematian pada
fetus dengan berat badan 350 gram atau lebih dengan usia kehamilan 20
minggu atau lebih (Petersson, 2002; Prawiharjo, 2014).
B. Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya IUFD menurut Petterson (2002) diantaranya yaitu:
1. Usia maternal
Peningkatan usia maternal juga akan meningkatkan risiko IUFD. Wanita
diatas usia 35 tahun memiliki risiko 40-50% lebih tinggi akan terjadinya
IUFD dibandingkan dengan wanita pada usia 20-29 tahun. Risiko terkait
usia ini cenderung lebih berat pada pasien primipara dibanding multipara.
Alasan yang mungkin dapat menjelaskan sebagian risiko terkait usia ini
adalah insiden yang lebih tinggi akan terjadinya kehamilan multiple,
diabetes gestasional, hipertensi, preeklampsia dan malformasi fetal pada
wanita yang lebih tua.
17
2. Merokok
Merokok selama kehamilan berhubungan dengan sejumlah risiko
kematian fetal. Merokok meningkatkan risiko terhambatnya pertumbuhan
intrauterine dan solusio plasenta. Merokok menjadi faktor kausatif utama
pada kehamilan prematur.
4. Faktor sosioekonomi
Faktor sosial seperti status sosioekonomi dan edukasi juga mempengaruhi
risiko terjadinya IUFD. Mereka yang berada dalam status sosioekonomi
rendah ternyata memiliki risiko dua kali lipat menderita IUFD.
C. Etiologi
Menurut Prawiharjo (2014) penyebab kematian janin dalam kandungan dapat
disebabkan oleh faktor maternal, fetal, atau kelainan patologik plasenta.
1. Faktor maternal antara lain adalah
Post term (>42 minggu), diabetes melitus tidak terkontrol, sistemik lupus
erimatosus, infeksi, hipertensi, preeklampsi, eklampsia, hemoglobinopati,
umur ibu tua, penyakit rhesus, antifosfolipid syndrome, hipotensi akut
ibu, kematian ibu
2. Faktor fetal antara lain adalah
Hamil kembar, hamil tumbuh terhambat, kelainan kongenital, kelainan
genetik dan infeksi
18
3. Faktor plasental antara lain adalah
Kelainan tali pusat, lepasnya plasenta, ketuban pecah dini, vasa previa
4. Sedangkan faktor resiko terjadinya kematian janin intra uterin meningkat
pada usia ibu >40 tahun, pada ibu infertil, kemokonsentrasai pada ibu,
riwayat bayi dengan berat badan lahir rendah, infeksi ibu (ureplasma
urealitikum), kegemukan dan ayah berusia lanjut.
Untuk mendiagnosis secara pasti ada baiknya dilakukan otopsi janin dan
pemeriksaan plasenta serta selaupt. Diperlukan evaluasi secara
komprehensif untuk mencari penyebab kematian janin termasuk analisis
kromosom, kemungkinan terpapar infeksi untuk mengantisipasi
kehamilan selanjutnya (Prawiharjo, 2014)
19
2. Penyakit Medis Maternal
20
3. Kelainan kromosom dan Kelainan Kongenital Janin
21
desidua dan tanda adanya solusio. Komplikasi tali pusat juga
dilaporkan memicu IUFD secara langsung (Petterson, 2002).
.
Kompresi tali pusat dapat menghambat aliran darah dan oksigen ke
janin, sehingga dapat menyebabkan iskemik, hipoksia dan kematian.
Lilitan tali pusat juga pernah dilaporkan sebagai salah satu penyebab
kematian pada janin. Gambar di bawah ini menunjukkan perubahan
warna pada tubuh janin yang berhubungan dengan keadaan hipoksia
janin yaitu kekurangan oksigen akibat tertekannya arteri umbilikalis.
22
Perdarahan fetomaternal masif (FMH) juga berhubungan dengan
IUFD dan anomali fetal. Angka kejadian IUFD akibat FMH sebesar
4%. Trauma terhadap uterus dan solusio plasenta dapat memicu
terjadinya transfusi fetomaternal.
Abruptio Plasenta.
5. Infeksi
Plasenta dan janin dapat terinfeksi baik melalui transmisi
transplasental (hematogen) maupun melalui ascending infection dari
vagina. Proporsi IUFD terkait infeksi dilaporkan berkisar 6-15 % dari
seluruh kasus IUFD.
23
Rubela maternal pada awal kehamilan juga dapat memicu IUFD. Pada
kasus yang jarang, IUFD juga dapat disebabkan oleh infeksi
intrauterine dari herpes simpleks. Infeksi maternal primer oleh
Toxoplasma gondii juga dapat ditransmisikan menuju janin dan
memicu toksoplasmosis kongenital bahkan kematian janin. Beberapa
agen bakterial yang berhubungan dengan mortalitas perinatal ialah
Streptococcus grup B, Escherichia coli, Listeria monocytogenes,
mycoplasma genital dan Ureaplasma urealyticum. Korioamnionitis
akibat infeksi kandida juga dipertimbangkan dapat memicu IUFD.
24
pecahnya ketuban sebelum waktunya yang mengakibatkan persalinan
pre-term bahkan dapat berakhir dengan kematian janin (Petersson,
2002).
25
Huang et.al melaporkan dari 196 studi IUFD dari tahun 1961-1974
dan 1978-1996 bahwa faktor independen yang terkait dengan IUFD
yang tidak dapat dijelaskan meliputi berat pra kehamilan lebih dari 68
kg, rasio berat kelahiran 0,75 dan 0,85 atau lebih dari 1,15, kunjungan
antenatal yang lebih jarang, primiparitas, paritas lebih dari tiga, status
sosioekonomi rendah dan usia maternal lebih dari 40 tahun (Petersson,
2002).
D. Klasifikasi
Menurut United States National Center for Health Statistic Kematian janin
dapat dibagi menjadi 4 golongan, yaitu: (Prawiharjo, 2014; Cuningham et al.,
2001)
1. Golongan I : Kematian sebelum massa kehamilan mencapai 20 minggu
penuh (early fetal death)
2. Golongan II : Kematian sesudah ibu hamil 20-28 minggu (intermediate
fetal death)
3. Golongan III : Kematian sesudah masa kehamilan >28 minggu (late fetal
death)
4. Golongan IV : Kematian yang tidak dapat digolongkan pada ketiga
golongan diatas.
Bila janin mati dalam kehamilan yang telah lanjut terjadilah perubahan-
perubahan sebagai berikut :
1. Rigor mortis (tegang mati)
Berlangsung 2,5 jam setelah mati, kemudian lemas kembali.
2. Maserasi grade 0 (durasi < 8 jam) :
kulit kemerahan ‘setengah matang’
3. Maserasi grade I (durasi > 8 jam) :
Timbul lepuh-lepuh pada kulit, mula-mula terisi cairan jernih tapi
kemudian menjadi merah dan mulai mengelupas.
26
4. Maserasi grade II (durasi 2-7 hari) : kulit mengelupas luas, efusi cairan
serosa di rongga toraks dan abdomen. Lepuh-lepuh pecah dan mewarnai
air ketuban menjadi merah coklat.
.
E. Diagnosis
Untuk mendiagnosis IUFD dari anamnesis biasanya didapatkan gerakan janin
yang tidak ada, perut tidak bertambah besar, bahkan mungkin mengecil
(kehamilan tidak seperti biasanya), perut sering menjadi keras, merasakan
sakit seperti ingin melahirkan, dan penurunan berat badan (Agudelo et al.,
2004; Mu etal., 2003; Prawiroharjo, 2014).
Pemeriksaan fisik pada pasien IUFD biasanya didapatkan tinggi fundus uteri
berkurang atau lebih rendah dari usia kehamilan, tidak terlihat gerakan
gerakan janin yang biasanya dapat terlihat pada ibu yang kurus. Pada palpasi
didapatkan tonus uterus menurun, uterus teraba flaksid, dant idak teraba
gerakan-gerakan janin. Pada auskultasi tidak terdengar denyut jantung janin
setelah usia kehamilan 10-12 minggu (Agudelo et al., 2004; Mu etal., 2003;
Prawiroharjo, 2014).
27
Pada pemeriksaan laboratorium, dilakukan pemeriksaan darah lengkap
termasuk pemeriksaan fibrinogen untuk mengetahui ada tidaknya
permasalahan pada faktor pembekuan darah dari faktor janin terhadap
maternal.
1. Deskripsi bayi
malformasi
bercak/ noda
warna kulit – pucat, pletorik
derajat maserasi
2. Tali pusat
prolaps
pembengkakan - leher, lengan, kaki
28
hematoma atau striktur
jumlah pembuluh darah
panjang tali pusat
3. Cairan Amnion
warna – mekoneum, darah
konsistensi
volume
4. Plasenta
berat plasenta
bekuan darah dan perlengketan
malformasi struktur – sirkumvalata, lobus aksesorius
edema – perubahan hidropik
5. Membran amnion
bercak/noda
ketebalan
F. Penatalaksanaan
Bila diagnosis kematian janin telah ditegakkan, penderita segera diberi
informasi. Diskusikan kemungkinan penyebab dan rencana
penatalaksanaannya. Rekomendasi untuk segera diintrervensi.
Bila kematian janin lebih dari 3-4 minggu kadar fibrinogen menurun dengan
kecendrungan terjadinya koagulopati. Masalah menjadi rumit bila kemtian
janin terjadi pada salah satu dari bayi kembar.
Bila kematian janin telah ditegakkan, dilakukan pemeriksaan tanda vital ibu;
dilakukan pemeriksaan darah perifer, fungsi pembekuan dan gula darah.
Diberikan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) pada pasien dan keluarga
tenrang kemungkinan penyebabk kematian janin; rencana tindakan; dukungan
mental emosional pada penderita dan keluarga, yakinkan bahwa kemungkinan
lahir pervaginam.
29
Persalinan pervaginam dapat ditunggu lahir spontan setelah 2 minggum
umumnya tanpa komplikasi. Persalinan daoat terjadi secara aktif dengan
induksi persalinan dengan oksitosin maupun misoprostol. Tindakan
perabdominan bila janin letak lintang. Induksi persalinan dapat dikombinasi
oksitosin dan misoprostol. Hati-hati pada induksi dengan uterus pasca seksio
sesarea ataupun miomektomi, bahaya terjadinya ruptura uteri.
Setelah bayi lahir dilakukan ritual keagamaan merawat mayat bayi bersama
keluarga. Idealnya pemeriksaan otopsi atau patologi plasenta akan membantu
mengungkap penyebab kematian janin (American Collage of Obstetrician and
Gynecologists, 1993).
G. Pencegahan
Upaya pencegahan kematian janin, khususnya yang sudah atau mendekati
aterm adalah bila ibu merasa gerakan janin menurun, tidak bergerak, atau
gerakan janin terlalu keras perlu dilakukan pemeriksaan USG. Perhatikan
apakah terdapat solusio plasenta. Pada gemelli twin to twin tranfussion
pencegahan dilakukan dengan koagulasi pembuluh anastomosis (American
Collage of Obstetrician and Gynecologists, 1993).
A. Definisi
Perineum adalah daerah yang terletak antara vulva dan anus, panjangnya rata-
rata 4 cm (Prawiharjo, 2014). Perineum merupakan daerah tepi bawah vulva
dengan tepi depan anus. Perineum meregang pada saat persalinan kadang
perlu dipotong (episiotomi) untuk memperbesar jalan lahir dan mencegah
robekan. Ruptur perineum adalah robeknya perineum pada saat jalan lahir.
30
Berbeda dengan episiotomy, robekan ini bersifatnya traumatik karena
perineum tidak kuat menahan regangan pada saat janin lewat (Sumara et. al,
2002).
B. Klasifikasi
a. Robekan derajat pertama
Robekan derajat pertama melitupi mukosa vagina, fourchetten dan kulit
perineum tepat dibawahnya (Oxorn,2010). Robekan perineum yang
melebihi derajat satu di jahit. Hal ini dapat dilakukan sebelum plasaenta
lahir, tetapi apabila ada kemungkinan plasenta harus dikeluarkan secara
manual, lebih baik tindakan itu ditunda sampai menunggu palasenta lahir.
Dengan penderita berbaring secara litotomi dilakukan pembersihan luka
dengan cairan anti septik dan luas robekan ditentukan dengan
seksama(Sumarah,2009).
Pada robekan perineum derajat dua, setelah diberi anastesi local otot-otot
difragma urogenetalis dihubungkan digaris tengah jahitan dan kemudian
luka pada vagina dan kulit perineum ditutup dengan mengikut sertakan
jaringan-jaringan dibawahnya (Sumarah,2009).
31
c. Robekan derajat ketiga
Robekanderajat ketiga meluas sampai corpus perineum, musculus
transverses perineus dan spinter recti. Pada robekan partialis derajat ketiga
yang robek hanyalah spinter recti; pada robekan yang total, spinter recti
terpotong dan laserasi meluas hingga dinding anterior rectum dengan jarak
yang bervariasi. Sebagaian penulis lebih senang menyebutkan keadaan ini
sebagai robekan derajat keempat (Oxorn,2010).
Menjahit robekan perineum derajat tiga harus dilakukan dengan teliti, mula-
mula dinding depan rectum yang robek dijahit, kemudian fasia prarektal
ditutup, dan muskulus sfingter ani eksternus yang robek dijahit. Selanjutnya
dilakukan penutupan robekan seperti pada robekan perineum derajat kedua.
Untuk mendapatkan hasil yang baik pada robekan perineum total perlu
diadakan penanganan pasca pembedahan yang sempurna (Sumarah,2009).
Semua robekan derajat ketiga dan keempat harus diperbaiki diruang bedah
dengan anastesi regional atau umum secara adekuat untuk mencapai
relaksasi sfingter. Ada argument yang baik bahwa robekan derajat ketiga
dan keempat, khususnya jika rumit, hanya boleh diperbaiki oleh profesional
berpengalaman seperti ahli bedah kolorektum, dan harus ditindak-lanjuti
hingga 12 bulan setelah kelahiran. Beberapa unit maternitas memiliki akses
ke perawatan spesialis kolorektal yang memiliki bagian penting untuk
berperan (Mauree boyle,2009).
C. Etiologi
Robekan pada perineum umumnya terjadi pada persalinan dimana:
a) Kepala janin terlalu cepat;
32
b) Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya;
c) Sebelumya pada perineum terdapat banyak jaringan parut;
d) Pada persalianan dengan distosia bahu (Prawiharjo, 2014);
e) Presentasi defleksi (dahi,muka);
f) Primipara;
g) Letak sungsang;
h) Pada obstetri dan embriotomi: ekstraksi vakum, ekstraksi forsep, dan
embriotomi (Mochtar,2005).
D. Penatalaksanaan
Menurut Oxorn (2010) ada beberapa langkah menangani ruptur perineum
1) Robekan derajat pertama
Robekan ini kecil dan diperbaiki sesederhana mungkin. Tujuannya adalah
merapatkan kembali jaringan yang terpotong dan menghasilkan
hemostatis. Pada rata-rata kasus beberapa jahitan terputus lewat mukosa
vagina, fourchette dan kulit perineum sudah memadai. Jika perdarahannya
banyak dapat digunakan jahitan angka-8, jahitan karena jahitan ini kurang
menimbulkan tegangan dan lebih menyenagkan bagi pasiennya.
33
b. Garis perbaiki ulang dengan merapatkanfascia perirectal dan fascia
septum rectovaginalis. Digunakan jahitan menurus atau jahitan terputus.
c. Pinggir robekan spincter recti (yang telah mengerut) diidentifikasi
dijepit dengan forceps allis dan dirapatkan dengan jahitan terputus atau
jahitan berbentuk angka- 8 sebanyak dua buah.
d. Mukosa vagina kemudian diperbaiki seperti pada episotomi garis
tengah, dengan jahitan menerus atau terputus.
e. Musculusperineus dijahit menjadi satu dengan jahitan terputus.
f. Kedua tepi kulit dijahit menjadi satu dengan jahitan subculus menerus
atau jahitan terputus yang disimpulkan secara longgar. Perbaikan pada
robekan partial. Perbaikan pada robekan partial derajat ketiga serupa
dengan perbaikan pada robekan total, kecuali dinding rectum masih
utuh dan perbaikan dimulai dengan menerapkan kembali kedua ujung
spchinter recti terobek (Oxorn,2010).
34
DAFTAR PUSTAKA
35
LAMPIRAN
36