Anda di halaman 1dari 11

IDENTITAS PASIEN

Nama Pasien : Ny. K


Nomor RM : 0044XXXX
Tanggal lahir : 27 Mei 1987
Usia : 31 tahun 7 bulan 13 hari
Alamat : Karangjati, Banjarnegara
Tanggal operasi : 08 Januari 2019
Rawat Inap : Sawojajar

STATUS UMUM
Keadaan umum : baik, compos mentis
Tinggi badan : 150 cm
Berat badan : 46 kg
Status Gizi : baik

KELUHAN
Keluhan utama : Ada benjolan di leher
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien mengeluhkan adanya benjolan yang cukup besar pada
bagian leher
Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien tidak memiliki alergi, tidak pernah operasi dan mondok
sebelumnya
Riwayat penyakit keluarga : Pasien menyangkal memiliki riwayat serupa di keluarganya.
Riwayat pengobatan :-
ASSESMENT PRA ANESTESI
Kebiasaan : merokok (-) , teh (-) dan alkohol(-)
Aktivitas Fisik : Tidak pernah
Sesak saat beraktivitas : (-)
Riwayat minum obat : (-)
Riwayat operasi : (-)
Riwayat pembiusan : (-)
Riwayat penyakit berat : (-)
Riwayat alergi obat/makanan : (-)
Pemakaian alat bantu : (-)
Pelepasan aksesoris : sudah
Makan-minum terakhir : 13.00 WIB

PEMERIKSAAN FISIK PRA ANESTESI


Keadaan umum : CM
GCS : E4 V5 M6
Tanda vital :
 Tekanan darah : 110/70 mmHg
 Nadi : 92x/menit
 RR : 26x/menit
 Suhu : 36,7 o C
Nyeri :5

A : airway
Jalan napas : Bebas (tidak menggunakan alat bantu nafas)
Hidung : patensi hidung (+)
Mulut : gigi palsu/goyang/maju/ompong (-)
Lidah : simetris; ukuran normal
Faring : malapati 1
Mandibula : tidak ada kelainan mandibula
B : Breathing
Respirasi : 26x/menit
Suara nafas : vesikuler
Pergerakan dinding dada : simetris

C : Circulation
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 92x/menit; adekuat
Saturasi : 100%
CPR : <2 detik
Kondisi akral : hangat

D : Disability
Keadaan umum : baik
GCS : E4V5M6
Kelainan neurologis : (-)

Kesimpulan asessment pra anestesi


Tindakan operasi : Strumektomy
Status ASA : I, non emergency
Rencana teknik anestesi : General anestesi dengan ET

PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM

Darah rutin
Hematologi : Hasil Rujukan
Darah Rutin
Hemoglobin 13,1 12-16 g/dl
Lekosit 7,79 4.8 – 10.8 ribu
Eritrosit 4,72 4,2 – 5,4 juta
Hematokrit 38,2 37-47 %
MCV 80,9 79.0 – 99.0 mikro m3
MCH 27.8 27.0 – 31.0 pg
MCHC 34,3 33.0 – 37.0 g/dl
RDW 37,7 35 – 47 %
Trombosit 272 150 – 450 ribu
PDW 10,6 9.0 – 13.0 %
P-LCR 23.2 15.0 – 25.0 %

Pemeriksaan Hasil Rujukan


MPV 9,8 7.2 – 11.1 fL
Neutrofil % 64,5 50 – 70%
Limfosit % 28,2 25 – 40%
Basofil% 0,4 0-1%
Monosit% 5,5 2-8 %
Eosinofil % 1,4 L 2-4 %

ASSESMENT PRA INDUKSI


Identitas pasien benar √
Persetujuan medis telah ditandatangani √
Teknik anestesi sudah ditentukan √
Tensi sistolik antara 90-180 mmHg √
Tensi diastolik antara 50-110 mmHg √
Anak dan remaja antara 60-150 kali per menit √
Laju nafas anak 10-40 kali per menit √
Suhu antara 36,5 sampai 39oC √
Saturasi oksigen antara 90-100% √
Jalan nafas bebas/terkontrol √
Nyeri minimal/tidak ada √

LAPORAN ANESTESI
Tanggal operasi : 09 Januari 2019
Mulai anestesi : 22.45 WIB
Selesai anestesi : 23.30 WIB
Anestesi : General anestesi dengan ETT
Posisi pasien : terlentang
Dokter bedah : dr. Samuel Sp.B
Dokter Anestesi : dr.Yos Kresno Wardhana Sp.An, M.Sc

Intra operatif
Keadaan umum : baik
Subyektif : pasien merasa nyaman dan siap menjalani operasi
Obyektif : Posisi pasien sudah nyaman
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Obat Anestesi :
 Fentanyl 100 mcg → obat pramedikasi
(Fentanyl 100 mcg)
Onset : 0-3 menit
Durasi : 30-60 menit
 Propofol 200 mg →obat induksi
(Propofol 200 mg, 10 cc)
Onset : 30 detik
Durasi : 3-10 menit
 Tramus 25 mg → Muscle relaxant
(Atracurium besylate 25mg/2,5ml)
Onset : 2-3 menit
Durasi : 20-45 menit
 Ondansetron
→ obat anti
mual- muntah
(Ondansetron 4mg/2ml)
Onset : 30 menit
 Ketorolac 3% →
obat analgesi
(Ketorolac 30mg/ml, 1cc)
Onset : 30 menit
Durasi : 4-6 jam

Maintenance : O2, N20, Sevoflurane 3%


Infus : Nacl I (500 cc)
RL As I (500 cc)

Monitoring Hemodinamik saat Op


No. Pukul Tekanan Darah Nadi
1. 22.45 122/80 mmHg 80 x/menit
2. 23.00 125/85 mmHg 110 x/menit
3. 23.15 115/70 mmHg 103 x/menit
4. 23.30 110/75 mmHg 100 x/menit

Recovery Room
Monitoring hemodinamik
No. Pukul Tekanan Darah Nadi
1. 23.30 112/75 mmHg 90 x/menit
2. 23.30 120/90 mmHg 80 x/menit

Skor kepulihann
ALDRETE Skor Masuk Keluar
Aktifitas motoric 0 2
Pernafasan 2 2
Kesadaran 0 2
Tekanan darah 2 2
Saturasi 2 2
Jumlah 6 10

PEMBAHASAN
Terdapat beberapa proses yang dilakukan sebelum proses operasi akan dilakukan. Proses
ini disebut sebagai kunjungan pra-anastesi. Beberapa asessment yang dilakukan pada pra-
anastesi adalah anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pre-operation.
Tujuan dari pra-anastesi adalah untuk mengetahui jenis proses anastesi, kesulitan yang akan
dialami, cukup tidaknya durasi puasa, riwayat penyakit pasien, penjelasan persetujuan
anastesi dan menentukan tingkat risiko pasien (ASA).
Pasien termasuk dalam ASA I karena tidak ada gangguan organik, fisiologis ataupun
kejiwaan yang dapat menganggu atau mempersulit tindakan anastesi serta recovery pasca
anastesi. Status fisik dinyatakan dalam status ASA (American Society of Anesthesiologist)
dibagi menjadi beberapa tingkatan yaitu
 ASA 1
Pasien normal (sehat), tidak ada gangguan organik, fisiologis, atau kejiwaan, tidak
termasuk sangat muda dan sangat tua; sehat dengan toleransi latihan yang baik
 ASA 2
Pasien memiliki kelainan sistemik ringan (misal: hipertensi, riwayat asma, diabetes
mellitus terkontrol)
 ASA 3
Pasien dengan kelainan sistemik berat terdapat beberapa keterbatasan fungsional,
memiliki penyakit lebih dari satu sistem tubuh atau satu sistem utama yang terkendali,
tidak ada bahaya kematian, gagal jantung kongestif terkontrol, angina stabil, serangan
jantung tua, hipertensi tidak terkontrol, obesitasi morbid, gagal ginjal kronis, penyakit
bronkospastik dengan gejala intermiten
 ASA 4
Pasien dengan kelainan sistemik berat dan incapacitance (misalnya pasien dengan
gagal jantung derajat tiga dan hanya bisa berbaring di tempat tidur saja). Pasien
dengan setidaknya satu penyakit berat yang tidak terkontrol atau pada tahap akhir,
kemungkinan risiko kematian, angina tidak stabil, PPOK bergejala, gejala CHF,
kegagalan hepatorenal.

 ASA 5
Pasien yang dengan atau tanpa operasi diperkirakan meninggal dalam 24 jam atau
tidak diharapkan untuk hidup lebih dari 24 jam tanpa operasi, risiko besar akan
kematian, kegagalan multiorgan, sindrom sepsis dengan tidak kestabilan
hemodinamik, hipotermia, dan koagulopati tidak terkontrol

Pada kasus ini pasien akan dilakukan anastesi metode GA dengan ETT. ETT
dilakukan dengan cara memasukan tube melalui mulut dan akan diarahkan masuk kedalam
plica vocalis menuju trakea.

Indikasi dilakukan ETT:


 Ventilasi mekanis jangka lama
 Penurunan kesadaran
 Trauma bagian wajah atau leher
 Mencegah aspirasi, dan membantu menghisap secret
 Oprasi sulit dan lama untuk mempertahankan jalan napas
 Mencegah obstruksi laring
Pedoman puasa sebelum operasi:
 Normalnya 6 sampai 8 jam sebelum operasi
 Makan ringan 6 jam sebelum operasi
 Makan berat 8 jam sebelum operasi
 Bayi minum ASI 4 jam sebelum operasi
 Susu formula 6 jam sebelum operasi
 Clear liquid 2 jam sebelum operasi (Pada anak boleh minum air putih atau air teh
2 jam sebelum operasi untuk mencegah hipoglikemia)

Prosedur
1. Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik dengan metode STATICS
2. Premedikasi
3. Induksi
4. Pemeliharaan (Maintenance)

Premedikasi, yaitu suatu langkah pemberian obat yang bertujuan supaya pasien optimal
pada saat proses anastesi. Tujuan premedikasi: Menenangkan penderita/meredakan
kecemasan, memberikan rasa nyaman, memperlancar induksi, mengurangi sekresi mucus dan
saliva (saluran mulut dan nafas), mengurangi rasa sakit, menciptakan amnesia anterograde
(mencegah penderita mengingat situasi selama operasi), meminimalkan pemakaian obat
anestesi, dan mengurangi reflek yang tidak diinginkan. Obat yang digunakan dalam kasus ini
adalah fentanyl 100 mcg untuk mencegah rasa nyeri pada irisan pertama. Fentanyl
merupakan analgesia opioid yang memiliki efek analgesia sangat kuat sehingga dipakai untuk
menghilangkan rasa nyeri selama operasi atau untuk menumpulkan respons terhadap tindakan
manipulasi saluran napas seperti intubasi. Keuntungan dari fentanyl tidak menyebabkan
pelepasan histamin, dan onset serta durasi lebih singkat dibanding morfin dan petidin. Cara
kerja opioid adalah dengan terikat reseptor opioid dalam berbagai tingkatan (yaitu reseptor
mu, kappa, delta, dan sigma), efek samping yang dihaslikan beragam. Efek samping berupa:
nausea, pruritus, dan sedasi.
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya stadium anastesi
yang diinginkan dan ini mempermudah untuk proses intubasi. Stadium yang sesuai atau
menjadi acuan untuk pemasangan intubasi terdapat pada stadium III plana 2. Stadium III ini
ditandai dengan hilangnya reflek klopak mata dan kepala dapat digerakan dengan mudah
kekanan dan kekiri. Pada stadium III plana 2 didapatkan pasien masih bernapas teratur,
spontan, perut-dada, pupil midriasis, dan reflek laring hilang. Sehingga setadium ini menjadi
tempat yang ideal untuk melakukan proses intubasi.
. Propofol merupakan salah satu obat intravena yang saat ini paling banyak digunakan.
Senyawa ini bekerja dengan cara menghambat kerja neurotransmiter yang dimediasi oleh
GABA. Dosis untuk induksi adalah 1-2,5 mg/kg BB yang diberikan secara bolus lambat
dengan jalur intravena. Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu
bersifat isotonik dengan kepekatan 1%. Maka dari itu sering menyebabkan nyeri pada saat
injeksi. Hal ini dapat dicegah dengan cara propofol dicampur dengan lidokain 2% sebanyak
0,5-1 ml. Waktu paruh pendek, yaitu antara 2-8 menit,
Pemeliharaan anestesi bertujuan agar pasien tetap tertidur dalam. Metode pemeliharaan
ini dapat menggunakan obat secara induksi intravena ataupun gas secara berkesinambungan.
Gas yang digunakan untuk fase pemeliharaan adalah Sevoflurance, N2O, dan O2.
Sevoflurance lebih dipilih dibanding isoflurance karena baunya harum, tidak iritatif,
kedalaman anestesi dan kesadaran menjadi pulih cepat tercapai. Sevofluran cocok digunakan
untuk induksi pada anak- anak maupun dewasa. Sevofluran dikenal dengan obat single
breath induction, yaitu hanya dalam satu tarikan napas dapat membuat pasien tertidur dan
otot rangka lemas. Efek induksi dan relaksasi terjadi dengan cepat hal ini terjadi karena
sevofluran mempunyai sifat yang mudah mencapai konsentrasi yang tinggi di alveolus
dengan MAC sebesar 1,5-2 %. Kelarutan dalam darah yang rendah menyebabkan pasien
cepat bangun begitu obat ini dihentikan pemberianya. Isofluran memiliki bau yang tajam
(menyengat) dan bersifiat iritatif (terutama pada anak) sehingga dapat menyebabkan spasme
laring akibat mukosa laring mengalami iritasi. N20 merupakan analgesik kuat namun anestesi
lemah, baunya manis, tidak iritasi, tidak terbakar. Sifat analgesiknya kira-kira setara dengan
15 mg morfin pada konsentrasi 20% Jarang digunakan tunggal, harus disertai O2 minimal
25%.
Medikasi yang diberikan pasca operasi ondansetron (obat anti mual- muntah), dan
ketorolac 3% (obat analgesi). Ondansetron 4 mg/2 ml diberikan sebagai sebagai pasca
operation. Ondansetron merupakan suatu antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang
diindikasikan sebagai pencegahan dan pengobatan mual dan muntah pasca bedah. Pelepasan
5-HT3 ke dalam usus dapat merangsang refleks muntah dengan mengaktifkan serabut aferen
vagal lewat reseptornya. Ondansetron diberikan pada pasien ini untuk mencegah aspirasi.
Pada saat oprasi ETT juga bermanfaat untuk mencegah aspirasi dengan cara memblok bukaan
pada rima glottis sampai trakea sehingga reflux dari gaster tidak masuk kedalam paru-paru.
Sediaan injeksi ondansentron sebanyak 4mg/2ml. Pemberian pada kasus ini menggunakan
dosis 4 mg atau 1 ampul, dengan maksimal pemberian 8 mg.
Ketorolac meruapakan analgesik golongan NSAID yang biasanya dipakai untuk
mengatasi nyeri pasca-operasi. Cara kerja golongan NSAID adalah mengatasi dengan
mencegah pembentukan prostaglandin. Sebagai analgetik digunakan Ketorolac sebanyak 1
ampul (1 ml) berisi 30 mg/ml, disuntikan iv untuk terapi pasca operasi.
Tramus (Atracurium) merupakan obat jenis muscle relaksan yang pada kasus ini
bertujuan untuk merelaksaasi jalan napas sehingga akses oprasi tonsilektomy dapat dilakukan
dengan mudah. Atracurium merupakan tipe muscle relaksan non-depolarisasi, yang bekerja
secara kompetitif terhadap acetylcholine (Ach). Dosis obat ini 0,3-0,5mg/kgBB. Obat ini
bekerja dengan mengikat reseptor Ach pada motor-end-plate pada sinaps saraf dengan durasi
15-35 menit, apabila durasi efek atracurium berkepanjangan maka dapat diberikan prostigmin
sebagai reversal dari obat ini. Prostigmin ini bekerja sebagai acetylcholinesterase inhibitor
yang bertujuan untuk mencegah hidrolisis dari Ach.

Setelah selesai dilakukan operasi maka pasien dipindahkan ke Recovery Room (RR) untuk
dilakukan pemantauan secara intensif maka dilakukan proses:
 Monitoring hemodinamik (tensi, nadi, respirasi, saturasi O2, suhu tubuh)
 Aldrete Skor merupakan metode pengukuran tingkat pemulihan pasca GA, hal ini
melihat pasien dalam segi tingkat kesadaran, respirasi, dan aktifitas motor. Skor ini
banyak digunakan untuk anak-anak. Skor >8 ini yang dapat dikatakan pasien dapat
kembali ke bangsal.

Evaluasi post operatif harus dilakukan dalam 24 jam setelah operasi dan dicatat dalam
rekam medis pasien. Evaluasi ini dilakukan untuk melihat efek anastesi jangka lanjut setelah
dilakukannya suatu proses anastesi. Indikator kepulihan dapat dilihat dari proses anamnesis,
serta pemeriksaan fisik dan tada vital. Hal ini berkepentingan untuk melihat efek samping
seperti mual muntah, retensi jalan napas, dan lain-lain.
Daftar Pustaka

Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI

Pramono, A., Widjaja, D.S. 2015. Buku Kuliah Anastesi. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai